Anda di halaman 1dari 556

Negeriku

di Atas Awan
-----------------novel pemantik inspirasi-----------------

Ilham Kadir
Negeriku di Atas Awan
novel pemantik inspirasi

Penulis:
Ilham Kadir

ISBN: XXX-XXX-XXX-XX-X

Layout Isi:
Sona Purwana

Desain Sampul:
Sona Purwana

Penerbit:
CV. Media Jaya Abadi

Redaksi:
Bandung - Jawa Barat
Telp. +62 812 22205182
Email: penerbit.mja.bandung@gmail.com

Cetakkan Pertama: November 2019

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Saya persembahkan kepada:
Kedua Orangtua, Kadir & Hawa.

Lebih khusus persembahan ini kepada:


Ustadzah Siti Nurhasanah ‘Petta Cinnong’.
Negeriku di Atas Awan - vii

Pada awal pagi


Dia mendaki gunung mencari kayu bakar
Hingga larut malam,
Dia menganyam sandal dari jerami
Sambil berjalan
Dia tidak pernah berhenti membaca
Siapa gerangan remaja ini?
Dengan rajin dan sederhana
Berhasil dalam pertanian
Dia mengajarkan ilmu akhlak dan ekonomi
Dia bertani di padang tandus demi membela generasi
bangsa
Di sini, di Tugu Ninomiya
Bakti dan namanya kekal abadi.
---Kinjiro Ninomiya, 1902---
viii - Ilham Kadir
Daftar Isi

1. Kiamat Semakin Mendekat......................................... 1


2. Empat Kali Mogok........................................................... 7
3. Negeriku di Atas Awan ................................................. 21
4. Pertemuan Pertama ........................................................ 27
5. Keempat Belas ................................................................... 33
6. Berawal dari Mimpi ........................................................ 37
7. Masih Sekadar Mimpi ................................................... 43
8. Sang Jawara Bugis ............................................................ 49
9. Meninggalkan Kota Pahlawan ................................... 55
10. Jam 07.00, 7 Agustus, 7 Santri ................................... 61
11. My First Day ....................................................................... 67
12. Gara-gara Aksen ............................................................... 73
13. Tata Boga .............................................................................. 79
14. Agent of Change ............................................................... 85
15. Darul Hijrah ....................................................................... 93
16. A Gift ...................................................................................... 101
17. Sang Algojo.......................................................................... 109
18. Preman Tengik Kelas Teri ........................................... 115
19. Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu ................. 123
20. Patah Tumbuh Hilang Berganti ................................ 137
21. Belajar Bekerja Beramal .............................................. 145
22. Garis-garis Kecil ............................................................... 153
23. Hari Barongko ................................................................... 161
24. Panrita Loppo..................................................................... 167
25. Kehilangan ........................................................................... 175
26. Relokasi Tinja .................................................................... 189
27. Pasukan Nabi Sulaiman ................................................ 195

ix
x - Ilham Kadir

28. Mengajar dan Belajar ..................................................... 203


29. Raja Daeng Manyonri, Karaeng Tumenanga ri
Bontobiraeng ...................................................................... 213
30. Kaum Marjinal................................................................... 223
31. Karaeng Bunga Rosina Tallo....................................... 229
32. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila ............................................................................... 245
33. Rotterdan atau Sombaopu ........................................... 253
34. Mahasiswa vs Polisi ......................................................... 269
35. Nabi Daud dan Nabi Musa .......................................... 281
36. Salomekko ........................................................................... 291
37. Negeri Para Jasus ............................................................. 299
38. Wajah Buruk Poligami? ................................................. 315
39. Selamat Tinggal Bunda… ............................................. 331
40. Menjadi Tangan Kanan .................................................. 339
41. Tempat Curhat................................................................... 347
42. Musuh Dalam Selimut ................................................... 357
43. Assikalaibeneng................................................................. 365
44. First Love Never Die ...................................................... 375
45. Surat Cinta........................................................................... 385
46. Pesan Terakhir .................................................................. 399
47. Oh Indahku… ..................................................................... 405
48. Ashabus Syimal ................................................................. 413
49. Mutualisme Simbiosis .................................................... 421
50. My First Date ..................................................................... 435
51. Menembus Tujuh Petala Langit ................................ 445
52. On The Spot........................................................................ 459
53. Surat Dari Malaysia ........................................................ 481
54. Bukan Pengemis Cinta ................................................... 497
55. Shu Tsai, Chi Yen, Chin Shih...................................... 515
Harapan dan Terima Kasih

Segala puji hanya milik Allah, salawat dan salam


semoga tercurah kepada nabi dan rasul terakhir, Mu-
hammad putra Abdullah.
Pada hari Kamis, 5 Agustus 1989 saya diantar ayah
untuk berguru pada seorang ulama besar, KH. Lanre
Said yang mengasuh Pondok Majelisul Qurra’ wal-Huf-
fazh—kelak berubah nama menjadi Pondok Pesantren
Al-Qur’an Darul Huffadh—bertapak di Tuju-tuju Kaju-
ara Bone, Sulawesi Selatan. Di sini saya berguru selama
satu windu, dan menemukan banyak bekal untuk menga-
rungi bahtera kehidupan. Selama diasuh oleh Sang Pan-
rita—orang Bugis menyebut ulama sebagai anregurutta,
gurutta, dan panrita—saya banyak mendapatkan petuah-
-petuah, ajaran, serta berbagai sisi dalam hidupnya yang
layak dijadikan pegangan sekaligus panutan. Untungnya,
selama mondok, saya rajin membuat catatan-catatan
terkait apa saja yang berlaku di pondok, termasuk ma-
teri tausiah maupun kebijakan-kebijakan yang berasal
dari sosok ulama tersebut. Akhirnya, saya dapat menye-
lesaikan sebuah buku, “Jejak Dakwah KH. Lanre Said:
Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi”, terbit
di Yogyakarta, 2010.
Seorang teman yang juga sempat berguru pada KH.
Lanre Said membaca buku tersebut, lalu berkomentar.
“Bukunya bagus, tapi akan lebih menarik jika ditulis

xi
xii - Negeriku di Atas Awan

dalam bentuk fiksi agar dapat dinikmati oleh berbagai


kalangan, saya yakin kamu pasti bisa. Cobalah!”. Sejak
itu, saya terus belajar, merangkai kata menjadi kalimat,
alinea, halaman, dan inilah hasilnya. 
Penulisan novel ini juga memiliki cerita tersendi-
ri. Pada tahun 2010 saya dipanggil ke Jakarta oleh  KH.
Bachtiar Nasir untuk membantu beliau di Arrahman
Qur’anic Learning (AQL), saya diberi tugas, antara lain
menghimpun ceramah-ceramah beliau agar dapat dibu-
kukan. Justru yang saya tulis adalah novel yang ada di
tangan pembaca. Adapun buku yang diharap, baru be-
nar-benar jadi kenyataan  pada tahun 2016, “Tadabbur
Ayat-Ayat Kehidupan: Menyelami Mutiara Al-Qur’an”,
atau enam tahun kemudian setelah kembali ke Jakarta
saat melanjutkan studi doktoral di Sekolah Pascasarjana
UIKA Bogor, sambil bergabung kembali di AQL Pustaka
di bawah manajemen AQL Center yang sekarang berpu-
sat di Tebet Jakarta Selatan. 
Pada tanggal 27-28 Oktober 2010, Gunung Merapi
Meletus, Yogyakarta dan sekitarnya praktis butuh ban-
tuan dari berbagai pihak. ‘AQL Peduli Merapi’ sebagai
relawan dibentuk, saya diminta bergabung, meliput dan
memberikan informasi terkait keadaan korban, ke-
butuhan mereka, serta posisi relawan yang tersebar di
berbagai titik. Tapi, sesibuk apapun, saya sisihkan waktu
untuk menulis setiap selesai salat Subuh. Walau, secara
umum, novel ini lebih banyak saya tulis dalam rumah
kontrakan kedua kakak saya di daerah Setu, Bekasi.
Harapan dan Terimakasih - xiii

Pada awalnya novel ini saya persembahkan pada


guru-guru saya di Pondok Pesantren Majelisul Qurra’
wal Huffazh, terutama istri KH. Lanre Said, Andi Siti
Nurhasanah ‘Petta Cinnong’. Begitu selesai penulisan
langsung saya berikan kepadanya. “Ananda mengingat-
kan saya masa-masa berjuang  bersama suami, seakan
ditulis seutuhnya, tidak ada yang tersisa. Saya tidak bisa
membaca semuanya, karena tak tahan menahan tangis,”
komentarnya. Karena itu, walaupun penulisannya sudah
rampung sejak tahun 2010, namun baru bisa  terbit se-
karang.
Sejujurnya, selama ini tetap ada usaha ‘tidak serius’
untuk dicetak dan diedar agar dinikmati khalayak ramai.
Beberapa teman sudah saya kasih naskahnya untuk di-
edit supaya diksi dan narasinya lebih menarik. Mereka
berjanji untuk membantu, walaupun pada akhirnya tidak
ada yang terwujud dengan berbagai alasan. Lalu, saya be-
rinisiatif untuk kembali membaca dan mengoreksi sana-
-sini yang memang banyak harus dibenahi. Setiap saya
baca, setiap itu pula menemukan kesalahan. 
Intinya, mulai proses penulisan, editing hingga pe-
nerbitan hampir semua saya yang kerjakan, semacam
‘bisnis tukang sate’, bukan karena one man show tapi ti-
dak banyak teman yang punya waktu untuk bisa mem-
bantu dalam menggarap novel ini. Kecuali seorang rekan,
wartawan Gatra, Irfan yang rela mengorbankan waktu
memeriksa aksaranya agar lebih ‘gurih dikonsumsi’.
Dan, jika menemukan kekeliruan dan kekurangan, saya
xiv - Negeriku di Atas Awan

sangat berharap agar para pembaca menjadi bagian dari


editor supaya dapat disempurnakan pada edisi berikut-
nya.
Fiksi ini terinspirasi dari kisah nyata perjalanan
hidup saya, kerena itu banyak tokoh yang saya ‘catut’
namanya secara jelas dan lainya sengaja saya samarkan.
Adapun seting ruang dan waktu peristiwanya, saya tu-
lis dengan jelas. Maka, beberapa narasi saya masukkan
tanggal, bulan dan tahunnya.
Karena novel ini persembahan seorang santri kepa-
da guru-gurunya, maka lazim saya berterima-kasih pada
mereka. KH. Haji Lanre Said rahimahullah, Ustadzah
Andi Siti Nurhasanah ‘Petta Cinnong’ di Pondok Pesan-
tren Pendidikan Islam Darul-Abrar, Palattae bersama
putranya, Dr. Muttaqien Said. Kepada guru dan mentor
saya,  KH Bachtiar Natsir, Dr. Syamsuddin Arif, Dr. Iz-
zuddin Edi Susanto, Dr. Attabiq Lutfi, Dr. Muhammad
Ajir, Dr. Zulfahmi Alwi, Ust. Yusuf Rusydi, Ust. Syekh
Bajuri Kubro, Ust. Abduh Yazid, Ust. Fuadzein, Ust. Yus-
di Tamrin, Ust. Abd. Rosyid, Ust. Zainul Mufakhir, Ust.
Yusran Achsani, Ust. Yusuf Iskandar—daftarnya terlalu
banyak.
Kepada rekan-rekan sesama santri yang kini te-
lah menemukan jati diri, Azhar Azis, Subhan Hamzah,
Muh. Hatta, Sultan Hadi, Ely Fachruddin, Kamaruddin,
dan Dr. Saifuddin Amin. Terkhusus kepada Dr. Muhai-
min Muhammadiyah, teman kuliah angkatan pertama di
kampus STAIN Watampone. Rasa hormat penuh peng-
Harapan dan Terimakasih - xv

hargaan juga saya tujukan pada teman-teman Majelis In-


telektual dan Ulama Muda (MIUMI) Pusat, dan Sulawesi
Selatan. Kepada rekan-rekan di Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) Makassar, KH. Said Abd. Sha-
mad dan Muhammad Istiqamah. Kepada guru-guru saya
di SDN 288 Watangcani-Bontocani, Bapak Syamsuddin
rahimahullah, Pak Fajaruddin, Pak Amir, dan Ibu Mar-
diah. Juga teman-teman sekelas di SDN 288, angkatan
1989.
Kepada guru-guru dan pembimbing disertasi saya
khususnya kepada, Prof Didin Hafidhuddin, Prof Ah-
mad Tafsir, Prof. Abuddin Nata, Syamsudin Arif, Ph.D.,
Dr. Adian Husaini, Dr. Abbas Tamam, dan Dr. Nirwan
Syafrin, Dr. Hendri Tanjung, dan Dr. Ending Bahruddin.
Untuk rekan-rekan pemburu ilmu di sekolah pascasar-
jana Universitas Ibn Khaldun angkatan 2014, utamanya
kepada Dr. Didik Harianto, Dr. Agus Hasan Bashori, Dr.
Juju Saipuddin, Dr. Abdurrahim, Dr. Imam Wahyudi, Dr.
Dewi Suriyani Djamjuri, Dr. Dede, Dr. Muslich Taman,
Dr. (cand.) Maria Ulfa, dan seterusnya. Untuk rekan-
-rekan yang ada di kampus STKIP Muhmmadiyah Enre-
kang, Bapak Yunus Busa dan Adinda Baharuddin, semo-
ga keduanya segera menyelesaikan doktoralnya. Kepada
guru dan pengasuh serta para santri Pondok Pesantren
Modern Darul Falah Enrekang, khususnya kelas XII IPA
dan IPS.
Demikian juga untuk rekan-rekan penerima bea-
siswa dari program Kaderisasi Seribu Ulama BAZNAS-
-DDI, para pengurus Ikatan Alumni Beasiswa BAZNAS
xvi - Negeriku di Atas Awan

(IABB), dan para pengurus BAZNAS RI, utamanya Bapak


Nasir Tajang dan Farid Septian. Tak lupa saya haturkan
terima kasih kepada rekan-rekan Pimpinan BAZNAS
Enrekang, Mursyid S Mallappa, Baharudddin, Basruddin,
dan Kadir Lesang, juga kepada para staf, terutama Imam
dan Wahid.
Last but not least. Kepada keluarga, terkhusus Ibu
dan Ayah di Watangcani, Bontocani—negeri di atas
awan—keempat saudara saya, Kak Lina, Kak Darma,
Abd. Syukur dan Weli Wulandari yang semuanya berada
di Jabodetabek. Kepada istri, Neni Marlina, dan kedua
putri kami, Alkhansa Hadziqah dan Nasya Adibah. Nama
terakhir, hari ini merupakan hari lahirnya yang kedua.
Semoga mereka menjadi anak salehah, berbakti pada
orangtua, agama, dan bangsa. 
Banyaknya nama saya sebut menunjukkan bahwa
tanpa mereka saya bukan apa-apa dan bukan pula siapa-
-siapa. Manusia biasa yang terlalu banyak kekurangan,
tapi tak pernah berhenti untuk berbagi kebaikan wa-
lau sekecil mungkin, salah satunya lewat narasi dalam
‘Negeriku di Atas Awan’ ini. Mari bekerja secara tekun
agar jadi washilah turunnya rahmat Allah, resofa temma-
-ngingngi naletei pammase Puang Allah ta’ala!

Enrekang, 2 Februari 2019


                Penulis
Dr. Ilham Kadir, MA.
Pintu 1
Kiamat Semakin
Mendekat

Di Jakarta atau lebih tepatnya Ibu Kota Republik


Indonesia. Hiruk pikuk politik sudah mulai reda. Para
separatis yang hendak memisahkan diri dari Negara Ke-
satuan Republik Indonesia (NKRI) dibabat habis-habis-
an. Itu dari segi fisik. Sedangkan yang besifat ideologi
juga tak kalah dahsyatnya. Seluruh isi tempurung ke-
pala yang ada di bumi Nusantara haruslah berideologi
Pancasila bertafsir tunggal sekularisme. Ia merupakan
asas tunggal, keramat dan mahasakral. Bila saja ada yang
menolak akan dianggap bersebelahan oleh pemerintah,
maka ia pun dicap sebagai pembangkang, penghambat
laju pembangunan, benalu dan sejenisnya. Mereka ha-
rus menerima konsekuensinya, ditangkap tanpa surat
perintah, diadili tanpa pembelaan, selanjutnya dikurung,
disiksa, atau bahkan didor dengan senapan. Para intel
berkeliaran di mana-mana laksana laron beterbangan
di bawah cahaya neon yang terang benderang di malam
hari. Masyarakat hanya punya dua pilihan: ikut ideologi
pemerintah atau menjadi almarhum.

1
2 - Ilham Kadir

Dalam bidang ekonomi, Jakarta berkembang pesat,


diikuti beberapa daerah tertentu. Infrastruktur dibangun.
Khusus Jakarta, ringroad dalam tahap penyelesaian, dan
jalan bebas hambatan untuk Jakarta-Bogor, dan Ciawi
sedang menunggu waktu untuk dieksekusi. Jalan-jalan
bertingkat dibangun, fly over diperbanyak agar meng-
hindari kemacetan sekaligus menghindari para kritikus
yang menyatakan, Jangankan mengurus negara, mengurus
lalu lintas saja tidak becus! Gedung pencakar mulai digali
pondasinya. Hotel, restoran, rumah kelas menegah atas
real estate tumbuh bak jamur di musim hujan.
Televisi Republik Indonesia tak henti-hentinya me-
nampilkan seluruh kegiatan Bapak Pembangunan seba-
gai head line news, dibantu oleh para menteri, gubernur,
dan seluruh aparatur negera. Ditambah dengan beri-
ta dari Radio Republik Indonesia yang cakupan gelom-
bangnya sampai ke pelosok terpencil bumi pertiwi. Te-
rus menggema, isi utama setiap beritanya, pembangunan
melaju kencang, sekencang kepakan sayap burung garu-
da, setiap closing news-nya senantiasa mengajak segenap
rakyat bumi pertiwi agar siap menyambut era tinggal
landas, sebagaimana yang dicanangkan Sang Bapak Pem-
bangunan.
Di belahan bumi lain, masih dalam kawasan NKRI,
persis di mata kaki huruf “K” peta Pulau Sulawesi, ter-
dapat sebuah kampung yang dipagari oleh gunung tinggi
berpancang batu cadas yang menghunjam ke bumi, be-
batuan bergerigi bak graham buaya itu membuat gunung
Negeriku di Atas Awan - 3

makin kuat mengakar ke dalam perut bumi, juga bukit


terjal, tebing yang menjulang ke angkasa, jurang-jurang
yang menganga lebar, padang ilalang menghampar, dan
hutan lebat berisi ragam predator. Teritorial yang ter-
pagari oleh gunung berbatu cadas ini luasnya menyamai
perjalanan dari woodland hingga siloso beach di Singa-
pura. Semenjak dibentuknya pasukan rider dalam tubuh
TNI, kawasan ini merupakan tempat latihan pamungkas-
nya, tidak sedikit yang meregang nyawa sebelum dikirim
ke medan tempur sesungguhnya. Jika di Ibu Kota, gaung
era tinggal landas terdengar di mana-mana, maka kam-
pung ini justru tertinggal jauh dari landasan.
Kampung yang berpenghuni melebihi seribu jiwa
ini terisolasi dari dunia luar. Mulai dari informasi, eko-
nomi, pendidikan, dan hiburan, kecuali olahraga berja-
lan cepat, mendaki gunung, dan memanjat tebing, hea-
king. Jika di Ibu Kota, sarana hiburan berkembang pesat,
artis-artis sebagai penghibur bercokol di mana-mana
makin menggairahkan. Di sini, sarana informasi dan
hiburan hanya bersumber dari sebuah radio transistor.
Televisi hitam putih yang pertama kali aku raba dan ton-
ton hanyalah di kala duduk di bangku kelas dua sekolah
dasar ketika ayah mengajakku ke Kota Ujung Pandang.
Tiga tahun kemudian barulah masuk televisi jenis itu di
kampungku, terpajang di sebuah rumah kepala sekolah
yang di-on-kan sekali dalam sepekan. Kalau tivi itu on,
warga sudah membludak di pelataran rumah sang guru
SD itu, dan acara favoritnya adalah “dunia dalam be-
4 - Ilham Kadir

rita”, pembawa acaranya tidak pernah tampak kecuali


sejuta bintik hitam dipadu dengan suara kresek-kresek
seperti gemuruh hujan menerpa atap seng.
Pertumbuhan penduduk di desa yang terisolasi dari
dunia luar ini sangatlah pesat. Setiap anggota keluarga
tidak ada yang memiliki anak kurang dari tiga roh ber-
jasad, makin banyak anaknya, maka ia akan dianggap
makin perkasa dan status sosialnya dapat terangkat. Se-
baliknya, maka ia dianggap lemah syahwat dan tak ber-
daya.
Dalam ranah transportasi, karena ukuran lebar ja-
lan rayanya hanya setapak dan berkubang, maka armada
utama adalah hewan peliharaan bernama kuda. Di kam-
pung ini hanya ada tiga unit motor. Satu milik kepala se-
kolah dasar negeri sekaligus pemilik televisi, satu milik
juragan sapi, dan satu lainnya pemilik kebun kemiri yang
sangat luas, sekaligus berprofesi sebagai pedagang ba-
rang campuran. Mobil hanya dapat disaksikan masyara-
kat setempat lima tahun kemudian. Itu pun sekali dalam
satu bulan. Dan, bila mobil itu tiba, ia akan dikerumuni
oleh penduduk kampung bak pahlawan baru pulang dari
medan perang membawa kemenangan. Jika terbenam
ke dalam lumpur jalanan yang mencapai 50 sentimeter,
maka dengan sekejap mobil itu dogotong seperti mayat
dalam keranda. Sebelum itu, tidak jarang kami sesama
anak-anak berdebat kusir tentang bentuk sebuah mobil,
atau dari bahan baku apa mobil terbuat, dan kenapa ia
bisa jalan? Hingga muncul film “Kiamat Sudah Dekat”,
Negeriku di Atas Awan - 5

mimpi penduduk di kampungku untuk bercahayakan te-


maran lampu dari perusahaan listrik milik negara masih
sekadar mimpi.
Secara administrasi daerah ini berada pada ujung
Kabupaten Tingkat Dua Bone, di bawah Kecamatan
Bontocani, Desa Watangcani. Sebelah timur kampung
ini, masuk Kabupaten Sinjai, sebelah selatan Kabupaten
Gowa dan Maros, sedangkan Pangkep ada di barat. Bone
sendiri menjorok masuk dari sebelah utara. Setiap per-
batasan disekat dengan gunung berpancang batu cadas,
susunan batu karst bak kue lapis, dan goa yang dalam
lagi gelap, hutan rimba, serta padang ilalang seluas mata
memandang.
Persis di bawah pancang gunung berpondasi batu
cadas itu, terdapat jejeran rumah yang berpenghuni ti-
dak kurang dari delapan puluh anggota keluarga, salah
satunya berupa gubuk berukuran empat kali enam, ber-
atap alang-alang, berdinding anyaman daun kelapa, ber-
lantai papan tak berseruk. Keluarga miskin ini memiliki
lima orang anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Anak
pertama, kedua dan terakhir perempuan. Anak ketiga
dan keempat laki-laki. Aku anak ketiga itu.
Menurut penuturan ibuku, di kala aku masih beru-
mur empat bulan, aku ditinggal ayah merantau ke pro-
vinsi sebelah di Sulawesi Tenggara demi mencari peng-
hidupan yang lebih layak. Namun, di sana pun tak kalah
pahitnya. Dua tahun kemudian ayah pulang kampung
tanpa membawa apa-apa, hanya sehelai kain sepinggang.
6 - Ilham Kadir

Dalam waktu ditinggal ayah itulah, ibu mati-matian


menghidupi ketiga anaknya, termasuk aku yang masih
berumur lima bulan. Ibu terpaksa menjadi buruh tani.
Jika panen tiba, aku pun dibawanya ke sawah dan digele-
takkan di atas tumpukan daun jerami.
Sekembalinya dari rantau, ayah makin giat bekerja,
hingga pada suatu saat dapatlah ia mendirikan rumah
panggung yang lebih layak sedikit dibanding sebelum-
nya. Sawah yang selama ini jika digarap hanya ludes dip-
reteli babi hutan dan monyet-monyet nakal, kini mulai
mendapatkan hasil untuk dapat dinikmati bersama demi
mempertahankan hidup. Di samping juga sudah memi-
liki beberapa ekor sapi peliharaan yang berfungsi seba-
gai mesin pembajak sawah.
Satu-satunya sumber cahaya dalam kegelapan di
kampung ini adalah sebuah sekolah tingkat dasar mi-
lik pemerintah bernomor kode 288. Di sinilah para ge-
nerasi pelanjut mendapat ilmu membaca, menghitung,
sembahyang, dan mengabdi terhadap para guru, kecuali,
mengaji aku belajar kepada imam desa.
Di umurku yang menginjak enam tahun, aku pun
dimasukkan untuk belajar di SD 288. Agar lekas dapat
membaca dan berhitung. Sekolah inilah yang beberapa
tahun kemudian rubuh diterjang angin musim hujan, ke-
lak mengubah arah hidupku, kakakku, seluruh keluar-
gaku, dan juga orang lain di kampung ini.
Pintu 2
Empat Kali Mogok

D
alam bilik yang gelap gulita tanpa ditemani se-
cercah cahaya, aku terbaring sambil termenung
menunggu mata terpejam. Tiba-tiba terdengar
pintu rumah terbuka, sudah kupastikan kalau yang da-
tang membuka pintu itu ayahku. Dia datang ditemani
oleh senternya yang cukup terang dengan menggunakan
dua batu baterai cap puma hitam bertuliskan evready.
Sejenak dia beranjak ke ruang tengah yang sempit.
Kupastikan juga kalau gaya busananya itu-itu saja,
sama seperti seluruh orang kampung di kampungku ini:
celana pendek, sarung digulung, badik di pinggang, dan
kaos oblong pemberian cuma-cuma dari pohon beringin
kala itu.
Ya, rumah ini memang tidak terlalu besar bahkan
tergolong kecil, tidak seperti rumah-rumah yang berje-
jer di samping rumahku, mereka memiliki rumah yang
besar dan menurutku cukup nyaman dan cantik. Adapun
rumahku yang kecil dan tua ini terbuat dari kayu mulai
dari tiang, dinding, dan juga lantainya. Sebagaimana la-
zimnya rumah panggung di daerah Sulawesi.

7
8 - Ilham Kadir

Tidak lama kemudian ayahku bangkit ke dapur


mancari pelita untuk dijadikan penerang, dalam waktu
sekejap, ruang tengah terlihat bercahaya.
Sebelum melangkah ke kamar untuk tidur, ayah
menghampiriku di kamar.
“Wan, besok selesai salat Subuh segera keluarkan
sapi dari kandangnya, terus bawa ke kaki gunung. Dan,
segera pulang untuk siap-siap ke sekolah!” perintah
Ayah.
“Iya, Yah..!” jawabku, lalu aku kembali meraih sa-
rung untuk kupergunakan sebagai selimut dan selanjut-
nya terlelap.
Ya, aku memang anak gembala. Saat udara di pagi
buta dinginnya terasa menembus kulit hingga ke tulang
sumsum. Dalam kondisi itu, aku harus bangun pagi-pagi
untuk mengurus tujuh ekor sapi. Sapi-sapi gembalaan-
ku itu kulepaskan di kaki bukit, sebuah padang rumput
yang luas nan subur, tiap pagi hari sapi-sapi itu mema-
kan rumput yang masih segar dan berembun. Jarak tem-
puh dari rumah ke kaki bukit lumayan jauh dan sulit,
harus melewati hutan kemiri dengan jalanan setapak di-
apit tebing dari tumpukan batu cadas, dan bagian kiri ja-
lan terdapat sungai kecil yang tepinya ditumbuhi semak
belukar. Namun, ini bukan sekadar semak tapi semak
yang gatal, sebut saja rawe yang menempati urutan per-
tama sebagai tumbuhan tergatal di dunia. Kerjaanku ini
selesai dalam durasi enam puluh menit.
Selesai itu, aku langsung bergegas ke sungai untuk
mandi pagi, mandi tanpa sabun dan juga sikat gigi. Hanya
Negeriku di Atas Awan - 9

lompat dari atas batu besar ke tengah air yang mengalir


lambat di kedalaman sembilan puluh sentimeter. Mandi
seadanya agar terlihat rambut di kepala basah. Soalnya
kalau tak seperti itu, akan jadi bahan tertawaan teman-
-temanku di kelas. Rambut kering identik dengan tidak
mandi.
Kini saatnya berangkat ke sekolah, buku pelajaran,
pulpen, buku catatan, telah aku persiapkan. Buku hanya
aku genggam, aku tak punya tas, sebagaimana teman-
-temanku. Aku memang anak termiskin di antara para
siswa. Perjalanan ke sekolah menelan waktu paling tidak
satu jam dengan berjalan kaki. Melewati bukit, hutan le-
bat, kuburan, dan sungai. Sekolah itu terletak pada du-
sun sebelah utara. Aku berjalan kaki tanpa alas. Sepatu
atau pun sandal. Karena tak mampu memiliki. Dan, gu-
ruku juga maklum akan hal itu. Berkali-kali menegur,
namun akhirnya mereka mengalah juga.
Pak Ammir, guru kelasku di kelas VI SD 288 Wa-
tangcani. Sekolah ini menjadi satu-satunya sekolah di
desa kami. Terdapat dua bangunan panjang, satu bangun-
an di belah menjadi empat lokal. Yang sebelah selatan
terdiri dari lokal kelas satu sampai empat. Di bagian uta-
ra ruang kelas lima dan enam, dua ruangan lainnya un-
tuk perpustakaan, kantor kepala sekolah, dan para guru.
Pak Ammir, terkenal sebagai guru killer, mukanya
kecil bulat, klopak matanya cekung, warna biji matanya
merah, hidungnya pesek, postur tubuhnya pendek, tak-
sirku hanya 140 sentimeter, rambutnya kribo kemerah-
merahan, dan berkulit gelap.
10 - Ilham Kadir

Kebiasaannya yang sering membuat jantungku ber-


detak kencang tatkala menakut-nakuti para murid dan
teman sekelasku dengan sebilah sangkur atau badik jika
kami tidak dapat menjawab pertanyaan. Jadinya, kami
semua dipaksa harus lebih giat belajar, dan mampu
menjawab soal-soal yang keluar dari mulutnya.
Pagi itu, dia masuk menyapa dengan salam,
“Assalamu alaikum,”
“Wa Alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Baraka-
tuh,” jawab kami serentak.
Kemudian dia lanjutkan, “Baiklah, anak-anakku se-
kalian… dalam waktu dekat ini kita akan mengikuti ujian
akhir atau EBTANAS untuk kelas VI. Oleh karena itu,
pak guru berharap agar kalian harus belajar sungguh-
-sungguh supaya dapat lulus dan memperoleh nilai tinggi
sehingga kalian dapat melanjutkan pendidikan di seko-
lah menengah pertama, karena apabila hasil ujian kalian
rendah, maka jangan harap dapat menyambung sekolah
di luar. Hasilnya kalian hanya akan tinggal menjadi peta-
ni bagi laki-laki dan ibu rumah tangga bagi perempuan.
Tidak lama setelah itu ia meraih absen, disebutlah nama
mereka satu persatu, “Alim…! Setelah tamat dari SD
Kamu mau lanjut kemana? Tanya Pak Ammir.
“Ke SMP, Pak!” Jawab Alim tanpa ragu-ragu.
“SMP di mana?”
“Di Maros, Pak”
“Owh, bagus.”
Negeriku di Atas Awan - 11

Siang itu semua murid seakan diinterogasi satu per-


satu. Waktu menyebut namaku,
“Iwan Palimai…!”
“Hadir, Pak!” jawabku.
“Kamu mau lanjut di mana?”
“Kata ayahku di pesantren, Pak!” jawabku mantap.
Para teman-teman yang mendengarkan jawabanku
semuanya terkejut. Pesantren? Apa bisa? Bukannya susah
dan jauh tempatnya? Mana ada pesantren dekat-dekat?
Terus, kalau tamat pesantren mau jadi apa? Kira-kira
itulah yang ada di benak mereka. Belum juga selesai, aku
menerka-nerka pikiran teman-temanku, tiba-tiba Pak
Ammir bertanya lagi, “Kenapa sekolah di pesantren?
Apa manfaatnya?” Untuk menjawab pertanyaan ini, aku
harus mengingat-ingat alasan ayahku untuk memasuk-
kan aku ke pondok dua tahun lalu. Ketika ditanya oleh
Pak Imam Desa, saat itu ayahku dicecar beberapa per-
tanyaan, kenapa tetap ngotot untuk memondokkan anak-
nya. Waktu itu yang tersimpan dalam memori otakku,
ketika ayah menjawab, “Kita semua suatu saat akan me-
ninggal, termasuk Pak Imam kan? Nah, kalau semua
generasi kita kirim belajar di sekolah umum, lantas sia-
pa nanti yang mau mengajar mengaji? Mengajar fardhu
‘ain, mengafani kita jika meninggal, mensalati... Siapa..?”
Aku masih ingat, kalau yang hadir pada acara baca ber-
zanji itu semuanya terdiam dan tidak ada yang mampu
menjawab.
12 - Ilham Kadir

Jawaban ayahku itulah yang kusampaikan pada


pak guru, kataku, “Supaya kelak bisa menggantikan Pak
Imam jika telah meninggal…” sambil ketawa dia berko-
mentar, “Kita lihat saja nanti, apakah kamu bisa meng-
gatikan Pak Imam atau tidak!”
Di kampungku, pesantren adalah lembaga pendi-
dikan yang asing bagi para penduduknya, belum pernah
ada anak dari sini yang keluar kampung untuk menuntut
ilmu di lembaga pendidikan Islam itu. Sehingga ketika
kusebut kata pesantren, sontak para teman-teman heran
dan tidak percaya.
Aku sendiri pada hakikatnya tidaklah begitu perca-
ya dapat masuk pesantren, tapi karena ayahku semenjak
akhir-akhir ini selalu saja berbicara tentang sebuah pon-
dok yang terletak di sebuah kampung yang tidak jauh
dari kota Sinjai, namun masih berada dalam Kabupaten
Bone. Nama kampung yang sering disebut-sebut ayahku
itu adalah Pitu-pitu.
Aku ragu dan belum yakin sepenuhnya, apakah ke-
lak aku mampu belajar di sana, atau tidak? gumanku da-
lam hati.
Prestasi belajarku semenjak menginjak kelas empat
SD, termasuk murid yang berotak encer, kendati belum
pernah meraih rangking tiga besar, namun bisa dikata
aku selalu saja jadi pesaing para teman-tamanku yang
rajin dan lebih pintar.
Tentang ini, ayahku punya analisa tersendiri. Me-
nurutnya, “Pantas saja teman-teman kamu seperti Susi,
Negeriku di Atas Awan - 13

Ishak, dan Yohan lebih bagus nilainya dari kamu, karena


mereka hanya bergelut dengan buku dan pensil, semen-
tara kamu, harus mengembala, bekerja di sawah, dan
berkebun,”
Pikirku, ada betulnya juga kata ayahku. Susi anak-
nya pintar dan cantik, dia putri kepala desa. Ishak juga
begitu, anaknya rajin dan cerdas ayahnya seorang PNS.
Yohan, seorang putri seorang pedagang sukses di kam-
pungku.
Memang, jadwalku dalam seharian sangatlah pa-
dat. Mulai dari menjemput dan mengantar ternak di pagi
buta, berangkat ke sekolah, setelah itu ke sawah, kemu-
dian kembali menjemput hewan-hewan ternak sambil
mengambil kayu bakar sebagai bahan bakar utama di
rumah. Melebihi “Si Budi Kecil” yang menjual koran di
Tugu Pancoran Jakarta, sebagaimana yang digambarkan
oleh Iwan Fals dalam syair lagunya.
Yang cukup melelahkan bagiku, perjalanan menu-
ju ke sawah, yang harus menumpuh jarak tidak kurang
dari tujuh kilometer, itu artinya sama dengan jalan kaki
14 kilometer pulang pergi. Yang jalanannya terdiri dari
pematang yang sempit dan becek, sebab jika lewat jalan
umum di tengah kampung bisa menempuh rute yang cu-
kup lama dan lebih jauh.
Mungkin yang cukup menghibur, saat padi sudah
mulai bunting lalu keluar buahnya, selanjutnya mengu-
ning. Terlihat sawah-sawah itu laksana hamparan per-
madani yang indah. Sehingga perjalanan yang jauh itu
seakan tidak terasa. Sungguh eksotis.
14 - Ilham Kadir

Ya, kini ayahku juga punya sawah, bisa dibilang lu-


mayan untuk menopang ekonomi keluarga kami. Cukup
untuk dimakan dan selebihnya untuk ongkos sekolah ke-
dua kakakku. Kami lima bersaudara, Kak Lina yang ter-
sulung, yang kini telah duduk di tahun terakhir sekolah
menengah atas di daerah Kabupaten Maros. Disusul ka-
kak kedua, namanya Darmawati, dia sedang menghadapi
ujian akhir sebuah SMP di daerah Sinjai Barat yang per-
batasan dengan daerah Gowa. Karena aku merupakan
anak lelaki pertama, maka praktis seluruh kerjaan yang
bisa meringankan beban ayahku akan aku usahakan de-
ngan semampu mungkin. Sedangkan kedua adikku ma-
sih terlalu kecil. Adik lelaki di bawahku, masih kelas dua
SD, dan yang bungsu baru berumur lima tahun.
Rutinitas demi rutinitas tak pernah bosan meng-
hampiri diri ini. Sebagaimana aku terpaksa menikmati-
nya. Aku rasa ini sebagai anugrah dan kesempatan untuk
berbuat yang terbaik untuk orangtua, kakak, dan adikku.
Aku berbuat tak kenal pamrih, tak mengharap ba-
lasan, tak meminta upah, harapanku yang terbesar ha-
nyalah bermimpi agar suatu saat juga bisa merasakan
sekolah dengan setinggi mungkin, dan selanjutnya seda-
pat mungkin lulus masuk tentara atau polisi.
Tentara. Sepatu laras panjang, baju loreng dengan
dilipat sampai siku, topi jenderal, dan yang paling me-
ngagumkan, senjatanya itu. Yang buat orang takut, hor-
mat, respek dan entah apalagi...
Negeriku di Atas Awan - 15

Masih teringat dalam benakku, sewaktu Bapak Ko-


mando Rayon Militer (Koramil) datang dengan rom-
bongannya, para rakyat jelata seakan-akan menyambut
mereka dengan suka hati, ayam-ayam milik penduduk
bisa dipotong dan dinikmati sesukahati. Tak ada yang be-
rani melawan, bahkan mereka dengan senang hati. Aku
ingin seperti mereka!
Kata ayahku, “Kalau mau jadi tentara, jangan mi-
num air putih ketika sedang makan, gigi harus teratur,
tinggi minimal 160 sentimeter …” akibatnya kadang aku
keselek waktu makan, namun tetap tidak mau minum ka-
rena takut tidak bisa jadi tentara. Entah dari mana ayah-
ku dapat informasi itu. Atau akal-akalan saja agar tidak
minta minum ketika sedang makan. Selain PNS, dan po-
lisi, tentara masih menjadi idaman favorit para pemuda
di kampungku. Karena hanya menjadi polisi dan tentara
seseorang dapat menumpas para pencuri dan perampok
yang bergentayangan di kampung kala itu.
Ini semua terjadi sebelum ayahku mendengar ka-
bar tentang seorang Kiai dan pondok pesantren di dae-
rah Pitu-pitu.

Ceramahnya lembut, soft speech, berisi kisah-kisah


teladan, aqidah, syariah, ibadah, dan akhlak, cepat me-
nusuk ke sanubari, mudah diingat dan mengena, juga
dibumbuhi dengan guyonan yang segar. Ayahku pernah
berkata padaku, “Saya bisa berjam-jam mendengarkan
16 - Ilham Kadir

ceramah Pak Mustamir dan tanpa merasa bosan sedikit


pun…”
Pak Mustamir, Kepala Kantor Urusan Agama da-
erah Bontocani. Daerah ini dari dulu sampai sekarang
menjadi surga bagi para penyamun, betapa tidak, me-
dannya yang diselimuti hutan lebat, aur dan tebing, ong-
gokan batu cadas yang tingginya hampir sama dengan
Grand Cainyon, gunung, hutan pinus yang menjulang
tinggi, padang yang ilalangnya lebih tinggi dari manusia
sejauh mata memandang, goa-goa yang dalam lagi ge-
lap, sungai-sungai yang luas, dalam, dan berarus deras,
binatang buas di tengah hutan, membuat para penyamun
itu lebih nyaman, mereka dapat meloloskan diri dengan
mudah dari satu kabupaten ke kabupaten lain yang tidak
memiliki garis kordinasi keamanan di antara mereka.
Kecamatan ini terdiri dari enam desa, Bana, Pam-
musureng, Bontojai, Langi, Pattuku, dan Watangcani. Pak
Mustamir sebagai KUA diharuskan setiap bulan menggi-
lir desa-desa tersebut di atas dalam rangka mengadakan
ceramah-ceramah agama sebagai pencerahan, karena
kawasan itu memang tidak tersentuh oleh para pendak-
wah.
Ketika keliling bertausiyah itulah, dalam setiap
ceramahnya, Pak KUA menyelipkan sebuah informasi
yang tidak kalah pentingnya. Informasi tentang sebuah
lembaga pendidikan tradisionil bernama pondok pesan-
tren yang terletak di daerah Pitu-pitu.
Negeriku di Atas Awan - 17

“Pondoknya gratis, tidak memungut bayaran dari


santrinya..” begitu kira-kira promosi Pak KUA tentang
pondok itu, dan katanya lagi, “para santri hanya diwajib-
kan menghafal Alqur’an dan belajar saja...”
Satu kecamatan, enam desa, hanya satu orang yang
kepincut untuk menyekolahkan anaknya di pondok yang
disanjung-sanjung Pak KUA itu. Dialah Pak Palimai, aya-
ku, yang selalu intens mendengar dan mengikuti cera-
mah-ceramahnya. Menurutnya, selain ceramahnya yang
enak didengar, juga informasi tentang pondok di Pitu-
-pitu itu sangat berharga baginya. Bahkan, kata ayahku,
itu merupakan informasi yang berharga bagi masyara-
kat pedalaman seperti di daerah ini. Tapi sayang karena
tidak begitu dipedulikan oleh mayoritas jamaah.
Dalam hal pendidikan, ayahku lumayan tanggap,
kedua kakakku semuanya keluar kampung untuk me-
lanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, pa-
dahal kedua orangtuaku hidup dalam tekanan ekonomi
yang dahsyat. Tidak memiliki harta pusaka berupa sa-
wah, ternak, kebun kemiri, kakao, dan cengkeh seperti
orang-orang sekelilingnya. Untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, ibuku juga turut menjadi buruh serabutan agar
mendapat upah harian agar terus menjaga eksistensi su-
paya asap dapurnya tetap mengepul.
Tapi ayahku tidak mau putus asa, “Biar kita bisa
miskin harta tapi jangan sampai miskin pengetahuan.
Buktikan pada dunia kalau orang susah seperti kita bisa
juga belajar dan hidup terhormat!” Itulah kata-kata
18 - Ilham Kadir

ayahku sesaat sebelum meminta aku untuk sedia berse-


kolah di Pesantren Pitu-pitu.

Waktu terus bergulir, mengalir bak air bah, dari


detik ke menit, menjadi jam, hari, minggu, bulan, dan
tahun.
Tidak terasa ujian akhir siswa kelas enam SD telah
dihelat, pengumuman kelulusan tinggal menunggu wak-
tu saja.
“Ibu, besok saya harus berangkat ke Watampone,
ada surat perintah dari bapak kepala desa untuk mewa-
kili beliau. Jadi tolong persiapkan barang-barang saya!”
Begitu kata ayah kepada ibu pada malam itu. Dia ha-
rus segera berangkat ke Ibu Kota Kabupaten Bone, ayah
menjadi salah satu sukarelawan di desaku. Hidupnya ba-
nyak dedikasikan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Bahkan katanya, sejak baru menikah dengan ibuku, dia
sudah bergabung menjadi pasukan penjaga keamanaan,
hansip. Menjaga ketertiban dan keamanan kampung dari
berbagai gangguan yang sering datang menghadang, ada
perampokan, pencurian, penculikan, perkelahian, dan
sejenisnya.
Kampungku memang termasuk daerah rawan, di
samping karena susah diakses oleh kendaraan, maka
berimbas kepada malasnya para oknum berwajib da-
tang ke daerah ini.
Namun, setelah pensiun dari hansip, ayahku diang-
kat oleh kepala desa sebagai salah satu pembantunya
Negeriku di Atas Awan - 19

dengan jabatan kepala urusan pembangunan dengan gaji


Rp 25.000 per bulan.
Pagi itu, ayah berangkat ke Kota Watampone. Ber-
jarak sekitar 200 KM, dari kampungku. Untuk menjang-
kau kota itu, penduduk setempat harus melewati rute
dengan melintasi daerah Kabupaten Maros terlebih
dulu, karena melewati ibu kota kecamatan akan menja-
dikan perjalanan lebih jauh ditempuh.
Kali ini tugas ayahku ke Bone untuk mengikuti dik-
lat pertanian. Mungkin untuk mengajarkan kepada peta-
ni tatacara bercocok tanam dengan baik dan benar.
Perjalanan dinasnya ke Bone itu juga dimanfaatkan
untuk mencari peserta yang berasal dari daerah Pitu-
-pitu tempat pesantren itu. Benar saja, tidak begitu su-
sah, salah seorang peserta diklat yang tinggal tidak jauh
dari pondok dimaksud. Namanya Pak Mahir. Pak Ma-
hir inilah memberikan informasi yang detil serta akurat
tentang keberadaan pondok Pitu-pitu.
Seusai diklat, ayahku dengan Pak Mahir bersama
ke Pitu-pitu, sempat juga singgah sekejap kerumah Pak
Mahir sebeluam bertamu ke pondok.
Sewaktu bertamu, ayahku dengan Pak Mahir di-
sambut dengan hangat, sangat takzim dengan seorang
Kiai yang sangat masyhur itu. Ayahku tidak menyangka
kalau Pak Kiai yang selama ini hanya didengarnya le-
wat cerita-cerita Bapak KUA Bontocani saja, memiliki
kepribadian yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata,
terutama caranya menyambut, melayani dan memperla-
kukan tamu. Begitu kenang ayahku ketika pertama ber-
20 - Ilham Kadir

temu dengan Pak Kiai yang belakangan dikenal dengan


nama lengkap Kiai Said Lanre.
Ayahku dan Pak Mahir disuguhi makan siang de-
ngan menu lawa’ bale,1 lauk ikan khas suku Bugis.
Pada pertemuan itulah ayahku mengutarakan mak-
sud kedatangannya bertemu dengan Pak Kiai, yaitu un-
tuk menitipkan anaknya agar dapat belajar di pondok ini.
Dan, dengan sangat terbuka Pak Kiai bersedia.
Artinya pondok akan bertambah satu lagi santri-
nya, dan itu adalah aku.
Akhirnya sampailah pAdapuncaknya, pengumuman
kelulusan SD dikeluarkan, semua siswa lulus, yang ber-
beda mungkin tinggi dengan rendah nilainya saja. Dan,
aku termasuk yang biasa-biasa saja. Tidak terlalu rendah
juga tidak pula terlalu tinggi, sekitar tujuh koma seki-
an. Akhirnya, aku tamat juga di sekolah ini setelah me-
nempuh pendidikan selama sepuluh tahun, karena telah
mogok alias tinggal kelas sebanyak empat kali, dua kali
di kelas satu, dan masing-masing sekali di kelas dua dan
empat.

1 Lauk ikan mentah, terbuat dari ikan laut yang masih segar, biasanya baru saja
tiba dari laut. Ikan tersebut hanya dicampur dengan kelapa parut yang dipa-
naskan dengan arang, kemudian diberi limau purut dan bumbu yang khas lalu
dihidangkan.
Pintu 3
Negeriku di Atas Awan

B
akda Asar, sekitar pukul 16.00 waktu Indonesia
bagian tengah, tepat pada tanggal 5 Agustus 1989,
dengan restu dari ibu, aku dan ayah meninggal-
kan kampung halaman menuju pesantren yang terletak
di kampung Pitu-pitu.
Berat rasanya meninggalkan kampung halaman
yang banyak mengukirkan kenangan buat aku seca-
ra pribadi. Sungainya yang panjang nan berliku seakan
membelah dua gunung besar, airnya sangat jernih yang
penuh dengan bebatuan, dalam celah-celah batu itu ter-
dapat ragam jenis ikan: mulai dari ikan lele, emas, mu-
jair, gabus, masapi2, dan beragam jenis ikan air tawar.
Kampung ini juga sangat asri jika dipandang dari
kejauhan, hutan-hutannya lebat, terdiri dari pepohon-
an pinus, kemiri, jati, mahoni, dan beragam jenis pohon
yang menjadikan udara di kampung ini sangat fresh, di

2 Sidat ordo (Anguilliformes) atau yang biasa disebut belut adalah kelompok ikan
yang memiliki tubuh berbentuk menyerupai ular. Ikan ini masuk dalam Ordo
Anguilliformes, yang terdiri atas 4 subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spe-
sies. Kebanyakan hidup di laut namun ada pula yang hidup di air tawar. Ikan
ini adalah antitesa dari salomon, jika salomon menetas di hulu sungai air tawar
lalu membesar di laut, maka sidat justru bertelur dan menetas di laut lalu mem-
besar di sungai air tawar.

21
22 - Ilham Kadir

malam hari udaranya dingin, menusuk hingga ke sum-


sum tulang, dan terasa adem di siang hari akibat terpa-
an angin spoi-spoi musim kemarau.
Tiap pagi, kami orang gunung yang tinggal di ke-
tinggian tak bosan-bosannya disapa oleh keajaiban alam
yaitu gumpalan awan kental seperti lautan awan di kaki
gunung karst dan batu cadas. Moment tidak langka ini
akan mudah disaksikan saat sunrise tiba tepatnya di pagi
hari sebelum matahari memecahkan gumpalan-gum-
palan awan yang melayang-layang. Kampungku, adalah
surga pertemuan antara matahari, awan, kabut, gunung,
onggokan karst, lempengan batu gamping, aliansi batu
cadas, dan pepohonan bersekutu menghadirkan indah-
nya hamparan pemandangan yang membuat panca in-
dera bergetar karena keindahannya. Kawan, jika suatu
saat kau berkunjung ke sini, baik musim penghujan ma-
upun musim kemarau akan kau dapati bahwa awan dari
musim hujan dan kemarau akan berbeda. Biasanya saat
musim kemarau gumpalan lautan awan terlihat tidak
terlalu tebal tapi saat musim penghujan justru sebalik-
nya. Negeriku di atas awan, Bontocani.
Di dalam hutan, terdapat beragam jenis margasat-
wa, mulai dari jenis burung-burung seperti beo, tekukur,
ayam hutan, kakatua dan alo. Daftarnya terlalu banyak.
Alo atau burung rangkong memang hanya ada di hutan
dengan pohon besar dan lebat seperti pohon beringin.
Burung ini sangat waspada. Diganggu sedikit saja lang-
sung terbang. Rangkong memiliki ciri khas berupa pa-
Negeriku di Atas Awan - 23

ruh besar dan panjang yang dihiasi semacam mahkota


cosque berlubang. Beberapa jenis paru bergaris-garis
kerut. Jumlahnya menunjukkan umur sebagai ‘burung
tahunan’. Ciri lain, yakni bulu mata yang menarik dan
kekurangan penutup sayap bagian bawah, menyebabkan
suara mendesing seperti baling-baling helikopter ketika
dikepakkan. Dikarenakan sayapnya jauh lebih panjang
dari kakinya, sehingga rangkong tidak bisa menyentuh
tanah, ruang hampa untuk mendongkrak naik tubuhnya
lewat kepakan pertama sayapnya tak akan mampu. Di
kampungku, warga kerap menangkap burung seperti itu
yang biasanya baru mulai terbang lalu terjatuh. Regene-
rasi rangkong sangat unik, tiada duanya. Burung betina
ketika mengerami telurnya, paling banyak tiga butir. Di-
eraminya di dalam lubang kayu ditutupi semacam semen
dari tanah liat, hanya sedikit celah yang tersisa beru-
pa lubang sempit untuk menjulurkan makanan melalui
ujung paru. Setiap hari, si jantan dengan setia memba-
wakan makanan untuk pasangannya.
Padang kampungku penuh dengar rumput yang su-
bur. Juga alang-alang yang tingginya melebihi manusia,
tidak sedikit sapi liar senang merumput di padang ini,
sapi-sapi yang sudah tidak bertuan, karena sudah beta-
hun-tahun tidak diketahui siapa pemiliknya. Sapi jenis
ini hanya dapat ditangkap jika menggunakan senjata be-
rupa senapan angin. Selain itu, juga terdapat kijang dan
anoa3.
3 Binatang khas Sulawesi, seperti kerbau kecil yang tingginya sekitr 1 m, dengan
tanduk yang lurus dan tajam, binatang ini termasuk sinsitif dan dapat menye-
24 - Ilham Kadir

Tapi yang tidak dapat kulupakan di kampung ini ka-


rena mudahnya mendapatkan sarang lebah yang berisi
madu. Jenis madunya juga berbeda sesuai dengan jenis
bunga yang diisap oleh lebah. Bahkan, pada bulan-bulan
tertentu, madu di kampung ini terasa pahit disebabkan
bunga yang diisap oleh para lebah berasal dari bunga
yang juga pahit rasanya, seperti bunga pohon pualam.
Pohon ini memiliki ragam khasiat. Apabila kulitnya di-
rebus lalu diminum, airnya akan menjadi penawar ra-
cun atau untuk menurunkan suhu panas badan di kala
demam. Khasiat pohon ini juga diketahui oleh binatang
buas sejenis babi hutan, jika terlihat ada bekas gigitan
babi hutan pada batang pohon pualam ini, satu tanda ka-
lau babi tersebut terserang penyakit atau telah makan
racun. Pohon penawar racun.
Mengenai madu pahit ini, orang di kampungku ti-
dak begitu suka, namun anehnya jika dibawa ke kota jus-
tru madu inilah yang paling laku. Katanya lebih banyak
khasiatnya dari madu-madu pada umumnya. Konon
madu ini pada zaman dahulu minuman wajib para raja
agar dapat menggilir selir-selirnya setiap malam. Madu
pendongkrak stamina pria.
Di sini, cara pengambilan madu dari sarang lebah
juga tergolong unik dan masih sangat konvensional. Bia-
sanya para pengambil lebah hanya menggunakan bambu
yang dibelah ujungnya menjadi delapan, lalu diletakkan
ke dalam sabuk kelapa, kemudian bambu yang telah di-

rang manusia. Bubalus depresicornis.


Negeriku di Atas Awan - 25

belah ujungnya kembali diikat, lalu dibakar mengguna-


kan korek api, sehingga dari ujung bambu itu menyem-
bul asap yang tebal, yang mengakibatkan para lebah itu
pergi meninggalkan sarangnya. Dari sarang lebah itu-
lah kita dapat mengambil beragam manfaat, mulai dari
madu, sarang, telur, royal jeli, propolis, dan sebagainya.
Maha suci Allah yang telah menciptakan madu sebagai
obat berbagai penyakit.
Kampungku sendiri bernama Watangcani, yang
berarti kampung madu. Jadi, tidak heran kalau setiap ta-
hunnya daerah ini dapat menghasilkan madu hingga le-
bih dari satu ton. Sangat fantastis, namun sayang karena
belum dikelola secara profesional. Jadinya, masyarakat
setempat belum bisa menikmati industri natural madu
ini secara maksimal.

Petang itu, berdua dengan ayah mulai melang-


kahkan kaki. Di sini, jangan pernah bermimpi tentang
kendaraan umum, jenis apa pun itu. Tidak akan pernah
ada. Daerah ini hanya dapat diakses dengan kendaraan
roda dua bagi mereka yang mampu memiliki, dan berja-
lan kaki pastinya. Kami pun berjalan, mendaki gunung-
-gemunung, membelah hutan pinus, padang ilalang, me-
lintasi sungai yang dalam lagi deras, hingga sampailah di
sebuah desa tetangga yang bernama Pattuku.
Mujurnya, di tengah jalan kami bertemu dengan se-
orang pejalan kaki, ia dalam perjalanan pulang dari Kota
26 - Ilham Kadir

Makassar menuju ke rumahnya di Desa Pattuku. Akhir-


nya sampailah kami di kampung Pattuku pada malam
hari, mungkin sekitar pukul 22.00, dan kami pun me-
numpang bermalam semalaman di tempat kawan mu-
safir tadi .
Esok harinya yang bertepatan dengan Jumat, kami
lanjutkan perjalanan ke Pitu-pitu, kembali melewati hu-
tan belantara, menyeberangi sungai-sungai, naik turun
bukit terjal, menelusuri celah-celah batu cadas yang
tajamnya hampir menyamai pedang, dan gunung yang
tinggi lagi berjurang. Aku dan ayah menempuh perja-
lanan tidak kurang dari 90 kilometer, mulai dari Desa
Watangcani, Pattuku, Bontojai, Langi, hingga turun ke
kecamatan sebelah, yaitu Kecamatan Kahu. Di sanalah,
kami melaksanakan salat Jumat. Sempat juga singgah
di rumah Pak Mustamir. Sebelum akhirnya naik pete’-
pete’4 menuju Pitu-pitu.

4 Angkutan umum, sejenis angkot.


Pintu 4
Pertemuan Pertama

K
endati manusia makhluk pelupa, sebagaimana
yang dapat dipahami dari kata asalnya. Yang
berakar dari bahasa Arab, manusia merupakan
bentukan dua kata dasar, yaitu kata ma ‘apa-apa’ dan
kata nasia atau nusia ‘lupa, dilupakan’. Dua kata dasar ini
sebagai kata sifat kemudian membentuk kata majemuk
yaitu manusia.
Karena itulah dapat dipahami jika di negara kita,
kasus demi kasus datang dan pergi. Otak dan watak da-
sar manusia pada umumnya pelupa dan khususnya ma-
nusia Indonesia, lebih khusus lagi para pemimpin kita di
eksekutif dan wakil kita di legislatif, namun lebih khusus
lagi, para penegak hukum. Mereka bukan saja pelupa se-
bagai manusia, tapi telah menjadikan lupa sebagai alat
pembenaran dan pembelaan agar lepas dari tuntutan hu-
kum.
Tapi percayalah. Kalau ada momen-momen terten-
tu yang tak munkin Anda lupakan, apalagi kejadian ter-
sebut dapat mengubah arah hidup Anda. Misalkan per-
nikahan atau seseorang yang memberi kesan mendalam

27
28 - Ilham Kadir

pada diri Anda. Sebagaimana yang pernah kurasakan


terhadap pertemuanku dengan seseorang yang kelak da-
pat mengubah arah hidupku.
Pada hari itu, yang bertepatan dengan hari Jumat,
persis menjelang salat Ashar, sampailah kami pada tu-
juan, tepatnya di sebuah kampung bernama Pitu-pitu.
Kami turun dari pete’-pete’, tepat di depan sebuah ru-
mah panggung yang terbuat dari kayu dengan sedikit ha-
laman tanpa taman dan tumbuhan, kecuali sebuah bibit
pohon mangga yang baru saja tertanam. Ukuran rumah
ini tidak begitu besar, menurutku sangat sederhana se-
kali, kutaksir skalanya hanya sekitar enam puluh meter
persegi, lebar enam meter dan panjang ke belakang se-
kitar sepuluh meter. Rumah itu juga tidak begitu tinggi,
mungkin tiangnya sekitar seratus lima puluh sentimeter.
Jadi, anak-anak dapat bermain di kolong rumah.
Rumahnya menghadap ke timur dan tangganya
menghadap ke selatan. Anak tangganya berjumlah tujuh
tingkat, mungkin terbuat dari batang kayu nangka yang
sudah terlihat lapuk. Tepat di ujung tangga terdapat te-
ras sekitar 4x2 meter. Di teras itu terdapat satu meja
berukuran 40x80 sentimeter. Juga terdapat bangku dan
beberapa kursi. Rumah ini pernah dicat dengan warna
biru, namun catnya sudah luntur karena faktor umur
hingga terlihat bekas-bekasnya saja, dan telah didomi-
nasi dengan warna kayu asalnya. Pada dinding bagian de-
pan terdapat beberapa jendela. Setiap jendela pernah di-
pasangi kaca lalu disanggah dengan besi, seperti jendela
yang terbuat dari kaca nako. Tapi kacanya sudah hampir
Negeriku di Atas Awan - 29

pecah semuanya. Yang tinggal hanya besi yang berfungsi


sebagai penyangga. Besinya juga sudah terlihat karatan.
Dan, dindingnya telah usang dimakan usia.
Rumah ini dibelah menjadi empat bagian, teras,
ruang utama, ruang tengah, dan dapur. Di ruang utama
terlihat lumayan luas dan plong, tidak terdapat apa-apa,
kecuali lemari panjang yang bersandar pada dinding te-
ngah, seperti etalase yang terdapat di toko-toko penjual
bahan alat tulis kantor (ATK).
Ada sekitar empat lemari panjang terpajang di ruang
ini. Seluruh lemari tersebut penuh dengan kitab-kitab,
kelihatannya sudah usang, nampaknya itu kitab-kitab
lama semuanya. Juga hampir seluruhnya menggunakan
aksara Arab gundul. Namun terdapat juga beberapa ber-
bahasa Indonesia, bahkan di antara susunan buku-buku
itu ada juga bacaan dari beragam jenis majalah.
Adapun di ruang tengah ukurannya lebih sempit,
terdapat ruang kosong dan sebuah kamar tidur. Kamar
tidur tersebut hanya terhalang oleh lemari pada bagian
depan ranjang dan dinding rumah pada bagian selatan,
sedangkan bagian utara ranjang ini hanya terhalang oleh
tabir yang terbuat dari kain. Ranjang ini menghadap ke
timur sedang bagian baratnya dipisah oleh dinding pe-
misah dengan ruang terakhir, dengan jelasnya terlihat
serpihan-serpihan dari atap daun rumbia berserakan
pada atap kelambu. Sedangkan ruang terakhir itu adalah
tempat masak-memasak, mandi, dan mencuci. Terdapat
juga satu kamar tidur pada ruang ini.
30 - Ilham Kadir

“Silakan duduk!”, kata tuan rumah kepada kami


berdua.
“Kenapa kok baru datang sekarang? Padahal dari
kemarin ditunggu…” Tanya tuan rumah kepada ayahku.
“Maaf ustadz, kami masih sibuk mengurus padi yang
baru saja dipanen beberapa waktu lalu,” jawab ayahku.
Ayahku dan tuan rumah sudah mulai cair berbin-
cang-bincang dalam segala hal. Dan, aku juga sudah
mulai nyambung. Aku sudah dapat mereka-reka kalau
orangtua inilah yang disebut Kiai Said. Kelihatan me-
mang orangnya sangat kharismatik. Sosoknya yang sa-
ngat sederhana. Beliau mengenakan sarung dan baju
koko warna biru langit saat menerima kami. Matanya
tajam, dagunya agak lebar, keningnya juga begitu, pi-
pinya agak panjang, alisnya lumayan tebal, gigi-giginya
terlihat masih utuh semua. Rambutnya juga terlihat ma-
sih hitam, kendati terlihat satu atau dua helai rambut
putihnya. Suaranya agak serak-serak basah.
Kiai Said menerima kami dengan sangat ramah,
menyuguhi kami segelas teh manis dan kue barongko5.
Tidak lama kemudian muncul seorang ibu, yang kelihat-
annya sangat baik dan lemah lembut. Aku dapat mener-
ka dari tutur katanya yang melambangkan kalau ibu ini
merupakan sosok pendidik yang memang terdidik. Da-
pat pula kupastikan kalau wanita ini istri Kiai Said, yang
kemudian kuketahui kalau namanya adalah Andi6 Siti

5 Sejenis kue yang terbuat dari pisang. Makanan khas Sulawesi.


6 Panggilan kehormatan bagi keturunan anakarung, atau lapisan tertinggi dalam
strata sosial masyarakat Bugis (bangsawan).
Negeriku di Atas Awan - 31

Hasanah yang akrab dipanggil Bunda Hasanah.


“Bu… masih ada tidak mushaf Alqur’an yang tersisa
untuk santri baru ini?” tanya Pak Kiai kepada istrinya.
“Masih ada Puang7…” jawab Bunda Hasanah.
“Tolong berikan satu pada anaknya Pak Palimai,”
pinta Pak Kiai pada istrinya.
“Iyye’8 Puang,” jawab sang istri.
Hanya dalam hitungan helaan nafas, Bunda Hasa-
nah masuk ke dalam dan kemudian muncul dengan se-
buah mushaf berwarna merah dalam genggaman tangan
kanannya yang langsung diberikan kepadaku.
“Ini mushaf buat Ananda. Dijaga baik-baik, ya?” pe-
san Bunda Hasanah padaku.
“Iyye’ Puang,” jawabku meyakinkan.
Aku periksa, mushaf ini lain daripada yang biasa
aku temukan. Ukurannya agak mini, sekitar 14x19 cm.
Dicetak di Kudus. Aku hitung setiap halaman terdiri dari
15 baris. Di ujung bawah halaman kedua sebelah kiri
tertulis potongan ayat sekitar satu atau dua perkataan
untuk baris awal halaman berikutnya. Setiap satu juz
terdiri dari 20 halaman dan persis 10 lembar, padahal
Alqur’an yang selama ini kuketahui dalam satu juz itu
hanya sembilan lembar dan 18 halaman.
“Ini Alqur’an khusus untuk para penghafal Nak…”
komentar Bunda Hasanah padaku. Mungkn karena beli-
au menyaksikan aku keheranan dan tak henti-hentinya
7 Panggilan penghormatan yang bersifat umum, seperti istri yang hormat kepada
suaminya atau sebaliknya, anak-anak kepada orang yang dituakan, atau juga
sebagai tanda bahwa seseorang itu keturunan bangsawan.
8 Bahasa Bugis yang berarti, Iya, atau baiklah.
32 - Ilham Kadir

mebolak-balik halaman mushaf ini dari kulit ke hala-


man dan kembali ke kulitnya.
Tapi aku merasa terkejut. Dipanggil “Nak”, apa-
kah ibu ini akan menggantikan posisi ibuku di kampung,
yang telah aku tinggal pergi ke sini? Tanyaku membatin.
“Jika iya, apakah ibu ini akan betul-betul bisa meng-
ambil peran ibuku di kampung?” aku kembali tertanya-
-tanya.
Sementara ayahku dan Kiai Said terus saja berdi-
alog dalam beragam topik. Namun, sepertinya ayahku
yang banyak melemparkan pertanyaan, dan selanjutnya
Kiai Said memberikan jawaban-jawaban dengan tuntas
dan meyakinkan.
“Tanggal 7 Agustus yang jatuh pada hari Senin lusa,
kita akan adakan ulang tahun pondok ini sekaligus akan
diadakan penamatan bagi santri yang telah menyele-
saikan hafalannya. Selain itu, ada beberapa santri akan
diresmikan, termasuk Iwan juga akan diikutsertakan da-
lam prosesi peresmian tersebut,” kata Pak Kiai kepada
ayahku.
“Kalau begitu saya akan tunggu sampai selesai pe-
resmian baru saya pulang,” kata ayahku kepada Kiai
Said.
“Memang sebaiknya begitu,” timpal Kiai Said.
Pintu 5
Keempat Belas

T
epat pada pukul 07.00, hari Senin, tanggal 7 ta-
hun 1989, di sebuah kampung bernama Pitu-
-pitu, kami bersama dengan teman-teman yang
kesemuanya berjumlah 17 orang, mulai diresmikan
menjadi santri yang baru. Aku ketahui kalau nama pon-
dok ini adalah Majelisul Huffazh, tempat para penghafal
Alqur’an.
Di pondok ini, para calon santri harus diresmikan
lebih dulu oleh Bapak Pimpinan, Kiai Said.
Prosesi peresmiannya diawali dengan menyebut
nama-nama santri yang akan diresmikan, termasuk pe-
nyebutan daerah dari mana ia berasal. Saat itu, dari 17
santri mayoritas berasal dari luar Sulawesi Selatan. Se-
lebihnya datang dari Kalimantan, Surabaya, Jakarta, dan
Sulawesi Tenggara. Setelah itu, Kiai Said meminta kepa-
da para calon santri agar berniat dengan benar.
“Sebelum kita memulai peresmian, saya persilakan
kepada anak-anakku semua agar berniat, karena setiap
orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan,” begitu
kata Kiai Said sambil memberikan jeda sekitar tiga me-
nit untuk melakukan niat.

33
34 - Ilham Kadir

“Baiklah anak-anakku, besiap-siaplah, kita akan


memulai belajar menghafal Alqur’an. Nah, sekarang
ikuti saya dalam hati,” pinta Kiai kepada kami semua
sebagai calon santri.
“Bismillahirrahmanirrahim, Iqro’…3x
Iqro’ bismirabbika al ladzi khalak,
Khalaqal insana min ‘alaq
Iqro’ wa robbukal akram.”9
Selanjutnya beliau membaca surah al-A’la (87), dari
ayat pertama hingga pertengahan ayat keenam.
Kemudian ditutup dengan doa.
“Anak-anakku sekalian, mulai saat ini, kalian telah
resmi menjadi santri di pondok ini. Olehnya itu, supaya
Allah memudahkan segala upaya kalian untuk meng-
hafal Alqur’an, maka marilah kita sama-sama berdoa,”
sambung Kiai Said.
“Ikuti saya dalam hati,” kata Kiai Said.
“Allahumma agnini bil ‘ilmi, wa zayyeni bil hilmi, wa
akrimni bit taqwa, wa jammilni bil ‘afiyah”10 baca Kiai
Said.
Setelah jedah beberapa tarikan nafas, beliau kem-
bali membaca doa berikut,
“Allahumma inni audzubika min ‘ilmin laa yanfa’,
wa min qalbin laa yakhsya’, wa min nafsin laa tasyba’, wa

9 Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang, Bacalah…3x., bacalah
dengan menyebut nama Tuhann-Mu Yang telah Menciptakan, Menciptakan ma-
nusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia. (al Alaq: 1-5).
10 Ya Allah perkayalah daku dengan ilmu, hiasilah daku dengan kelemahlembut-
an, muliakanlah daku dengan ketakwaan, dan percantiklah akan daku dengan
kesehatan.
Negeriku di Atas Awan - 35

min du’ain laa yustajaab laha.”11


Selesai pembacaan doa di atas, Pak Kiai memberi-
kan kisi-kisi tentang pantangan para penghafal dan sedi-
kit trik-trik untuk menghafal Alqur’an. Diawali dengan
menyebutkan beberapa pantangan.
“Harus minta maaf kepada kedua orangtua, teru-
tama pada ibu yang telah mengasuh atau melahirkan.
Jangan makan makanan haram. Jangan berhubungan de-
ngan wanita (pacaran). Juga jangan kekenyangan di kala
makan. Tidak boleh banyak tidur!”
“Jika pantangan di atas dilanggar, maka akan susah-
lah menghafal Alqur’an,” Imbuhnya lagi.
Selanjutnya, beliau memberikan trik-trik atau me-
tode khusus untuk memudahkan menghafal Alqur’an.
“Dalam memulai menghafal, pertama-tama harus-
lah lancar dalam membaca Alqur’an. Olehnya itu, harus
diawali dengan membaca satu halaman hingga lancar,
sebanyak empat puluh kali,”.
“Setelah merasa lancar dan benar makhraj-nya12,
maka pastikan kalau setiap bacaan sudah betul dan pas
panjang pendeknya. Bagilah dalam satu halaman menjadi
tiga hingga lima bagian. Mulailah menghafal dari bagian
pertama yang terdiri dari baris pertama sampai ketiga.
Setelah lancar barulah pindah kepada bagian kedua dan
seterusnya,” lanjutnya.

11 Ya Allah aku berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat, dengan hati yang
tidak memiliki rasa takut, dari jiwa (nafsu) yang tidak pernah puas, dan dari doa
yang tidak terkabul.
12 Cara penyebutan huruf-huruf hijia’iyyah, atau abjad Arab.
36 - Ilham Kadir

“Ingat, dalam satu halaman terdiri dari lima belas


baris. Jika dibagi lima akan menjadi tiga baris. Nah, mu-
lailah menghafal dari baris pertama hingga selesai de-
ngan cara membagi lima setiap halaman supaya lebih
mudah,” tambah Kiai Said.
Karena pada hari itu, ulang tahun pondok yang ke-
empat belas, maka acaranya bukan hanya peresmian,
tapi juga dilakukan penamatan santri.
Setelah prosesi peresmian dan penamatan usai,
maka Kiai Said selaku pimpinan pondok menceritakan
lika-liku perjuangannya dalam mendirikan pondok ini.
Majelisul Huffazh sendiri berdiri tepatnya di dae-
rah Pitu-pitu pada jam 7 pagi tanggal 7 Agustus 1975
dengan 7 santri. Jadi, hari ini usia pondok pesantren yang
khusus menghafal Alqur’an ini telah mencapai empat
belas tahun.
Konon tanggal pendirian Pondok Pesantren ini erat
kaitannya dengan tanggal deklarasi berdirinya Negara
Islam Indonesia (NII) yang diproklamirkan oleh Kartos-
wirjo pada tanggal 7 Agustus 1949, dan deklarasi Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selat-
an yang diproklamirkan penggabungannya kepada NII
oleh Abdul Qahhar Mudzakkar pada tanggal 7 Agustus
tahun 1952.
Pintu 6
Berawal dari Mimpi

P
ada acara peresmian dan penamatan santri, se-
kaligus ulang tahun pondok Majelisul Huffazh
ke-14, Kiai Said mengisahkan proses pendirian
pondok ini.
“Pondok ini berdiri atas perintah Allah kepada saya
melalui mimpi,” Kiai Said memulai ceritanya.
Mimpi Kiai Said terjadi sewaktu bertugas sebagai
kepala Mahkamah Agung pada pemerintahan Negara
Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Qahhar Mud-
zakkar di Sulawesi Selatan, perpanjangan dari pemerin-
tahan Kartoswirjo yang berpusat di Jawa Barat. Pak Kiai
sendiri merupakan orang kepercayaan Qahhar Mud-
zakkar, sehingga beliau diamanahi sebagai Ketua Mah-
kamah Agung yang pada awalnya Pak Kiai tidak setuju
dengan pengangkatannya. Tapi karena perintah langsung
dari atasan, maka beliau terpaksa mengemban tugas itu.
Untuk menopang perjuangan NII, Kartoswirjo mem-
bentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Yang men-
daulat Qahhar Mudzakkar sebagai ketuanya di daerah

37
38 - Ilham Kadir

Sulawesi. Pasukan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas


dan kontinuitas NII serta memastikan di setiap tempat
berlaku syariat Islam. Juga berfungsi untuk menentang
siapa saja yang menghalangi penegakan syariat di bumi
Indonesia, termasuk pasukan pemerintah, yaitu Tentara
Nasional Indonesia (TNI) di bawah pemerintahan Pre-
siden Sukarno yang dianggap telah mengkhianati umat
Islam di Indonesia, yang telah banyak berjasa dalam me-
rengkuh kemerdekaan. Betapa tidak, menurut kelompok
DI/TII, yang paling dominan dalam memperjuangkan ke-
merdekaan adalah para mujahid-mujahid muslim sejati.
Mereka berjuang dengan deraian keringat dan cucuran
darah. Namun sejarah seakan mengabaikan mereka.
Mereka berjuang bukan untuk ambisi pribadi, tapi
untuk kemaslahatan orang banyak.
Mereka berjuang bukan untuk gagah-gagahan, tapi
ikhlas lillahi ta’ala13.
Mereka tidak pernah minta agar namanya dicatat
dalam buku sejarah, karena catatan malaikat Raqib14 dan
Atid15 jauh lebih bermakna.
Mereka berjuang bukan untuk memperluas terito-
rial, apalagi hanya untuk merebut lahan, karena mereka
bukanlah tuan tanah.
Perjuangan mereka hanya untuk menegakkan ka-
limat tauhid16, dan menerapkan hukum Allah di bumi
Nusantara ini.
13 Hanya karena Allah Ta’ala.
14 Malaikat yang mencatat amal kebaikan.
15 Malaikat yang diberi tugas untuk mencatat amal keburukan.
16 Disebut juga kalimatul ikhlas, atau Laa Ilaha Illallah.
Negeriku di Atas Awan - 39

Perjuangan mereka dengan penuh semangat demi


untuk menggapai derajat para syuhada17.
Perjuangan mereka untuk mengusir para musuh
agama dan negara, yang senantiasa menjarah harta rak-
yat dan negara, menindas, menghalangi dakwah, dan
memakmurkan maksiat. Mereka harus ditumpas, apa
pun taruhannya.
Inilah semua yang ada di dalam benak para pasuk-
an DI/TII. Keinginan mereka untuk membumikan syariat
Islam merasa dihalang-halangi. Olehnya, mereka mela-
wan habis-habisan para musuh agama itu.
Kiai Said ada dalam barisan di atas.
Kiai Said menuturkan, mimpi itu terjadi ketika be-
liau bertugas pada salah satu distrik yang bernama Pa-
timpeng. Di tempat inilah menjadi sentra pelaksanaan
syariat Islam di daerah Bone saat itu.
Cara NII sendiri melaksanakan roda pemerintahan
tergolong sederhana, perpanjangan administrasi peme-
rintahannya dibagi menjadi dua, yaitu pusat dan distrik.
Pusatnya terletak di Luwu, daerah asal Qahhar Mudzak-
kar.
Di daerah Patimpeng, terdapat sebuah gunung na-
manya Bulu’18 Bilalan.
“Di atas gunung itu saya bermimpi menyalakan
lampu petromaks yang menerangi seluruh penjuru
bumi,” Kiai Said menuturkan mimpinya.

17 Mereka yang meninggal dalam memperjuangkan agama Allah.


18 Bahasa Bugis berarti gunung.
40 - Ilham Kadir

“Namun, sayang karena hanya menerangi bumi


dengan lampu petromaks. Cakupan cahayanya terbatas,
dan di bawah lampu, tepat di bawah tangkinya, terlihat
agak remang-remang, bahkan nyaris gelap,” tambahnya
lagi dengan menggunakan aksen khas Bugis Bone Selat-
an.
Kiai Said menakwilkan sendiri mimpinya itu.
Menurutnya, Bulu’ Bilalan, bukanlah sembarang
gunung, ia memiliki makna tersendiri, jika kata “bilalan”
dipecah menjadi tiga suku kata, maka ia akan menjadi
“bi-la-lan”.
“Bi” dalam bahasa Arab “dengan”
“La” bermakna “la nas’alukum ajran, kami tidak
meminta upah,” terang Kiai Said.
“Lan” artinya, “la nuridu minkum jaza’an wa laa
syukuran, kami tidak mengharap upah dan belas kasih,”
tambah Kiai Said.
Adapun tafsir menyalakan lampu adalah sama de-
ngan memberikan penerangan. Itu maknanya membe-
rikan pencerahan kepada penduduk bumi dengan ilmu
pengetahuan, dengan agama yang benar, dengan tuntun-
an yang menyelamatkan penduduk bumi dari kegelap-
an dan kesesatan. Gamblangnya, sebuah perintah untuk
mendirikan lembaga pendidikan yang dapat menjadi ca-
haya dan petunjuk bagi segenap umat manusia agar ti-
dak tersesat. Ada korelasi dengan pendapat Imam Syafi’
yang mengatakan bahwa ilmu ditamsilkan sebagai nur,
cahaya.
Negeriku di Atas Awan - 41

Jadi, jika digabungkan antara menyalakan lampu di


Bulu’ bilalan. Itu bermakna perintah untuk mendirikan
lembaga pendidikan yang tidak mengambil keutungan
duniawi, tidak mengharap laba dari para santrinya, juga
tidak mengharap belas kasih dari manusia. Hanya satu
tumpuan, yaitu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya
kepada-Nya tempat berharap, meminta, dan bertumpu
segala bentuk harapan. Intinya kata Kiai Said, pondok
yang akan berdiri kelak adalah milik Allah Ta’ala.
Karena mimpi itu terjadi di kala masih bergabung
dalam pemerintahan NII/DI-TII. Kiai Said pun tidak bisa
berbuat banyak dalam merealisasikan mimpinya.
Sejarah NII/DI-TII berakhir setelah wafatnya Qah-
har Mudzakkar pada bulan Februari 1965. Dengan itu,
seluruh anggota dan pasukannya, termasuk simpatisan
dan masyarakat umum, secara otomatis kembali ke
pangkuan ibu pertiwi. Negara Kesatuan Republik Indo-
nesia.
Para pasukan elit DI/TII juga secara otomatis men-
dapatkan hak yang sama. Bahkan tidak sedikit langsung
bergabung di bagian pemerintahan dan bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam berbagai sektor, wa-
laupun mereka lebih dominan pada pegawai syariat di
Departemen Agama yang tersebar di Sulawesi Selatan.
Tapi tidak sedikit pula pergi merantau, meninggal-
kan kampung halaman, mencari suasana baru dengan
satu misi. Mengejar mimpi.
42 - Ilham Kadir

“Semenjak saya telah bermimpi, maka bermula


dari situlah saya berusaha mencari lahan untuk mendi-
rikan lembaga pendidikan,” tutur Kiai Said.
Tahun 1965, setelah bubarnya DI/TII. Kiai Said,
bersama 20 veteran berangkat dari Sinjai menuju Ka-
limantan untuk mencari tapak agar dapat mendirikan
lembaga pendidikan.
Di Kalimantan, tepatnya daerah Kota Baru, di se-
buah pulau bernama Tanjung Salamantakan, di sanalah
Pak Kiai dengan beberapa temannya memulai hidup
baru. Layaknya masyarakat biasa, sambil menghimpun
masyarakat untuk dapat mengajar, dengan mendirikan
semacam karang taruna. Para pemuda pun sangat terta-
rik belajar dengan Kiai yang serba bisa ini.
Untuk menopang kebutuhannya, beliau dengan te-
man-temannya mengambil kayu di hutan untuk memba-
ngun perahu layar phinisi. Perahu ini dijadikan sebagai
armada jasa angkutan laut.
Pintu 7
Masih Sekadar Mimpi

P
enuturan orang-orang yang pernah bertemu Kiai
Said di Kalimantan Selatan, di sebuah Tanjung
bernama Salamantakan, termasuk dalam territo-
rial Kabupaten Kota Baru, konon kedatangan Kiai Said
di tempat itu menjadikan masyarakat terbelah menjadi
dua bagian. Satu bagian mendukung Kiai Said, dan bagi-
an lain menentang keberadaannya.
Pendukungnya berasal dari kalangan muda yang
progres, menghendaki perubahan, serta beberapa sese-
puh kampung tersebut.
Para penentangnya, mereka yang merasa terusik
kepentingannya semenjak Kiai Said bertapak di kam-
pung ini dan penganut aliran status quo. Selain itu, para
pemuka agama merasa tersaingi karena selama ini tidak
ada yang berani mempertanyakan tata cara beribadah-
nya, fatwa-fatwa agamanya seakan menjadi kredo, dan
beberapa kebijakannya terhadap masyarakat umum
yang dianggap menyimpang.
Sedangkan Kiai Said, memiliki pemahaman tidak
jauh dengan Persatuan Islam (Persis) atau Muhamma-

43
44 - Ilham Kadir

diyah, misalnya tidak men-jaharkan (membesarkan


pengucapan) basmalah dalam bacaan surah al-Fatihah
pada salat jahar19, tidak qunut Subuh, tidak mewajibkan
mengangkat tangan di kala berdoa, juga menentang ke-
ras bentuk beragam peraktik tahayyul, bid’ah dan khu-
rafat, seperti menyediakan sesajen, dan beragam ritual
sejenisnya di kampung tersebut.
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh mereka yang
tidak setuju. Dipelopori oleh kepala desa setempat, de-
ngan kedatangan Kiai Said itu, masuk laporan kepada
pihak yang berwajib pada tingkat pemerintah kecamatan
dan kabupaten, yang menuduh dan menebar isu bahwa
ada golongan veteran pemberontak DI/TII yang berada
di Tanjung. Kelompok ini mengajarkan masyarakat se-
tempat beragam bentuk kesesatan.
Dengan sigap, dikirimlah satu regu polisi untuk
menjemput paksa Kiai Said.
“Kenapa Anda berani-beraninya datang ke sini un-
tuk menebarkan aliran sesat?” tanya Pak Camat pada
Kiai Said, sesaat setelah tiba di Kota Baru.
Dengan santainya, Kiai menjawab, “Siapa yang me-
nyebarkan kesesatan?”
“Menurut laporan Kepala Desa setempat, Anda
orangnya?” tanya Pak camat dengan didampingi Bapak
Kapolsek dan Danramil.
“Mana buktinya?” tanya Kiai Said.

19 Mengeraskan suara bacaan Alqur’an dalam salat.


Negeriku di Atas Awan - 45

Pak camat beserta jajaran pemegang hegemoni di


kecamatan terdiam, membisu, dan seakan terhipnotis.
Mulut mereka seakan terkunci.
“Saya hanyalah ingin mengajarkan agama kepada
masyarakat dengan baik dan benar berdasarkan tuntun-
an Alqur’an dan Sunnah Nabi yang telah diperaktikkan
oleh para sahabat, dan yang hidup sesudahnya, karena
mereka merupakan generasi terbaik umat ini,” imbuh
Pak Kiai.
“Dosa bagi saya jika hidup di tengah masyarakat
dan membiarkan mereka beribadah dengan kebodohan-
nya,” tambahnya.
Namun, para aparat pemerintah ini masih terdiam
dan seakan mendapatkan pencerahan dari Sang Kiai.
“Apakah Bapak pernah belajar agama?” tanya Kiai
Said pada Pak Camat dan konco-konconya.
“Pernah,” jawab mereka seakan serentak.
Bahkan lebih dari itu, Pak Camat secara khusus
mengatakan kalau dirinya pernah sekolah di Pondok Pe-
santren yang terletak di daerah Martapura Banjarmasin.
“Lalu apa masalahnya kepada saya? Mengapa saya
yang menyebarkan ajaran yang benar dihalang-halangi?
Sedangkan mereka yang secara terang-terangan menye-
barkan ajaran virus komunisme jusrtu dibiarkan. Mere-
kalah sesungguhnya para penebar ajaran sesat, bukan
kami!” Sekali lagi, para aparatur itu mengangguk-ang-
gukkan kepalanya laksana burung tekukur berdendang
di sore hari.
46 - Ilham Kadir

Pada waktu yang sama, para pelapor yang diketuai


oleh Kepala Desa, telah terlebih dahulu menyebarkan
isu di kampung Tanjung.
“Tunggulah dua tahun kemudian, Kiai Said baru
akan keluar dari tahanan, dia akan dikerangkeng,” kata
Kepala Desa kepada masyarakat setempat dengan aro-
gansinya, seakan memberikan ultimatum bahwa siapa
saja yang berani menentangnya, maka sama saja dengan
menentang pemerintah dan segenap aparatur negara. Di
luar dugaan, tiba-tiba muncul Kiai Said di dalam sebuah
kapal pengangkut penumpang.
Masyarakat terkejut. Betapa tidak, seluruh isi kam-
pung sudah menyangka kalau Pak Kiai sudah benar-
-benar dipenjara.
Tapi berkat keilmuan dan gaya diplomasi, mantan
Ketua Mahkamah Agung DI/TII ini telah menjadikan ja-
jaran pemerintah setingkat kecamatan itu ciut nyalinya.
Di sana, seakan kharisma dan pesonanya timbul kemba-
li, seperti di kala mendampingi sang paglima tertinggi,
Qahhar Muzakkar.
Akhirnya, Kiai Said dilepas tanpa syarat.
Tidak begitu lama, dua bulan kemudian. Masyara-
kat Tanjung kembali gempar.
Kepala Desa, yang selama ini selalu berseberangan
dengan Kiai Said, tiba-tiba dijemput paksa oleh aparat
keamanan dari pihak kecamatan.
Selanjutnya di sana dia diproses dan mendapat hu-
kuman penjara selama dua tahun. Di antara kesalahan-
Negeriku di Atas Awan - 47

nya adalah mengadakan pungutan ilegal kepada para


penduduk setempat yang mayoritas berprofesi sebagai
nelayan.
Akhirnya, si Kepala Desa itu termakan kata-kata-
nya, bukannya Kiai Said yang dikerangkeng, sebaliknya
dialah yang merasakan dinginnya jeruji besi, dan panas-
nya atap penjara, serta pengapnya udara kamar tidur.
Dia terjerumus.
Sejak itu, masyarakat setempat, bertambah respek
pada sang Kiai, kian hari secara natural, kharismanya
makin bercokol.
Hari beganti hari, menjadi hitungan minggu, bu-
lan, dan tahun. Empat tahun lamanya Kiai Said berada
di rantau. Sudah berdiri pula sekolah di Tanjung atas
prakarsa Kiai Said. Namun sekolah itu, laksana orang
sedang sekarat. Hidup segan, mati pun tidak!
Masyarakat setempat lebih memilih menyibukkan
diri di tengah lautan, mencari ragam ikan dan mahluk
laut lainnya untuk ditukar menjadi lembaran rupiah. Ke-
timbang harus duduk di bangku kelas dan belajar bersa-
ma Kiai Said.
“Masyarakat Tanjung acuh akan ilmu.” Simpul Kiai
Said.
Keadaan ini, menjadikan mimpinya untuk mene-
rangi bumi dengan cahaya ilmu, masih sekadar mimpi.
48 - Ilham Kadir
Pintu 8
Sang Jawara Bugis

P
rosesi Peresmian hari itu terasa penuh sesak.
Rumah sempit, beratap daun rumbia itu menjadi
pengap, bercampur dengan asap kayu bakar oleh
para pemasak dari dari ibu-ibu sekampung dengan su-
karela di kolong rumah. Aroma daging menusuk ke lam-
bung yang sedari tadi sudah minta diisi.
Tamu tak henti-hentinya berdatangan, wajah-wajah
mereka menampakkan, kalau para hadirin berasal dari
suku, bahasa, dan warna, bahkan aroma yang berbeda.
Tapi sepertinya masih didominasi suku Bugis. Walau ber-
ada dari pulau atau propinsi yang berbeda. Tandanya, ak-
sen Bugisnya tidak ada yang selaras.
Orang Bugis, bahkan suku lain juga mungkin begitu.
Jangankan berbeda kabupaten, cukup dengan beda ke-
camatan saja, sudah memiliki gaya dan struktur bahasa
tersendiri. Ada, atau banyak di antara mereka berkela-
hi, baku tikam, hanya karena saling mengejek logat dan
gaya penyampaian. Kendati masih dalam kalimat yang
sama. Yang membedakan hanya intonasi.

49
50 - Ilham Kadir

Pagi itu Kiai Said meneruskan kisah pengembara-


annya dalam mencari tempat untuk mendirikan lembaga
pendidikan.
“Di pulau Kalimantan saya bertahan sekitar empat
tahun lebih menunggu petunjuk dari Allah untuk men-
dirikan lembaga pendidikan di sana. Namun ternyata
tanda-tanda itu belum datang juga, akhirnya saya pu-
tuskan meninggalkan pulau itu…” begitu kata Kiai Said
pada para hadirin dengan khidmat mendengar penyam-
paiannya.
Kiai Said mulai menceritakan pengembaraannya
ke Pulau Flores, namun di sana juga tidak berlangsung
lama, sekadar numpang lewat, menuju Nusa Tenggara
Barat. Tepatnya di pedalaman Lombok bernama Sum-
bawa. Dengan satu harapan, merealisasikan mimpinya.
Di Sumbawa, Kiai Said menggencarkan silaturra-
him, bertemu dengan beberapa kolega lamanya ketika
berjuang mengangkat senjata pada zaman DI/TII.
Daerah Sumbawa, memang dikenal memiliki pen-
duduk bersuku Bugis di atas lima puluh persen.
Pada abad ke-16 sampai ke-17, ketika Sultan Alaud-
din Awwalul Islam hingga cucunya Sultan Hasanuddin
memerintah di kerajaan Gowa dan Tallo, sudah banyak
orang Bugis yang bermigrasi ke daerah Sumbawa. Da-
erah ini pernah masuk dalam lingkaran kekuasaan ke-
rajaan Gowa-Tallo. Bahkan menurut catatan lontara, di
zaman Sultan Alauddin yang berkolaborasi dengan pa-
mannya sendiri yaitu Karaeng Matoya, penguasa yang
Negeriku di Atas Awan - 51

berprofesi sebagai dai ini memperluas supremasi keku-


asaannya dengan cara islamisasi pada kerajaan-kerajaan
sebelah Timur dan sebagian di sebelah Barat nusantara.
Jadi bukanlah hal aneh jika penduduk daerah Sum-
bawa ini dijejali orang-orang Bugis yang doyan meran-
tau. Walaupun tidak semuanya menyisakan cerita yang
enak dari para perantau ini. Betapa tidak, tidak sedikit di
antara mereka berprofesi sebagai perompak di laut dan
perampok di darat. Juga mereka dikenal dengan hantu
laut.
Selama di sana, Kiai Said. Kembali menghadapi tan-
tangan. Kali ini datang dari masyarakat setempat. Para
kaum muslim yang juga imigran dan telah beranak pinak
di sana.

Terjadi masalah besar.


Pemicunya, pemahaman Kiai Said yang dianggap
sesat. Sama seperti sewaktu di Kalimantan, namun di sini
lebih ganas, lebih frontal, dan sporadis. Mereka main fi-
sik.
Tapi bagi Kiai Said, itu sunnatullah, hal biasa pada
dirinya.
Satu perkara yang juga unik, selama dalam peng-
embaraannya, Kiai Said selalu saja ditemani dengan be-
berapa orang kepercayaan. Yang mereka siap membe-
la mati-matian. Pokoknya nyawa mereka pertaruhkan
demi membela Kiai Said yang notabene-nya, mereka ini
para jawara Bugis.
52 - Ilham Kadir

Terkaan Kiai Said, agar mendapatkan tapak untuk


mendirikan lembaga pendidikan di daerah Sumbawa se-
suatu yang keliru. Dirinya hanya diberi kesempatan un-
tuk naik mimbar selama dua kali saja, dalam durasi dua
bulan di daerah ini.
Lebih parah dari tempat sebelumnya.
Jika di Kalimantan orang serba cuek terhadap pen-
didikan, ditempat ini lain pula ceritanya. Mereka malah
melarang tampil siapa saja yang tidak memiliki pema-
haman beragama yang selaras dengan mereka. Tidak
ada ruang untuk penganut kepercayaan ala Muhamma-
diyah di sini.
Pernah pula Kiai Said nyaris dihakimi oleh massa
dalam sebuah masjid. Nyawanya hampir saja melayang
jika para massa tersebut tidak ada yang menghalang ak-
sinya.
Seorang pendamping setia Kiai Said yang juga ja-
wara di daerah ini. Dialah yang maju memasang badan
membela Kiai Said.
“Siapa yang ingin maju? Silahkan..!” kata kawan
setia Kiai Said yang bernama Puang Nessa itu sambil
menggenggam badik di tangan kirinya yang siap dihunus.
“Jika kalian ingin mencederai Kiai Said, maka ha-
dapi saya lebih dulu, langkahi dulu mayatku..!” Suasana
menjadi hening. Tiada seorang pun yang berani melawan
jawara Bugis ini, para massa ciut nyalinya. Perlahan ber-
geser mundur, keluar melalui pintu masjid, dan akhirnya
bubar.
Negeriku di Atas Awan - 53

Puang Nessa, orang yang menjadi pembela dakwah


Kiai Said, dia juga veteran DI/TII, sangat kenal dan ak-
rab dengan sang Kiai. Bahkan masih tergolong keluarga
dekatnya. Ia lebih dulu merantau dan menginjakkan kaki
di daerah Sumbawa.
Melihat keadaan kacau begitu. Kiai Said merasa ti-
dak kondusif lagi berdomisili di daerah ini, harus pergi
dengan segera mungkin. Meninggalkan Sumbawa, me-
ninggalkan massa yang ingin menghabisi dirinya, juga
meninggalkan Puang Nessa, sang jawara Bugis.
54 - Ilham Kadir
Pintu 9
Meninggalkan Kota
Pahlawan

T
ujuan pengembaraan Kiai Said selanjutnya ke
Pulau Jawa. Tepat di bagian timur pulau ini. Per-
sis di ujung dekat laut, juga pelabuhan.
Sudah umum, di nusantara. Penguasa terselubung
di area pelabuhan biasanya didominasi para orang Bugis.
Termasuk di Tanjung Perak Surabaya. Hanya bermodal-
kan nyali yang besar, badik sebelah kiri dekat tulang ru-
suk, atau dalam gulungan sarung. Walau kadang juga ada
yang punya paggaggara’20.
Di pelabuhan ini, terlihat kapal perahu phinisi hilir
mudik tak henti-hentinya di sepanjang tahun. Masuk dan
keluar, seperti angkot di terminal.
Perahu-perahu itu, datang dari beragam daerah di
Sulawesi. Membawa hasil bumi berupa beras, kacang-
-kacangan dan beragam jenis rempah-rempah, juga ti-
dak sedikit mengangkut beragam jenis kayu dari pelba-
gai hutan di Sulawesi dan Kalimantan.

20 Sejenis ilmu yang membuat orang takut pada empunya.

55
56 - Ilham Kadir

Ketika pulang, kembali menjejali perahunya dengan


aneka barang-barang jualan, baik tekstil, makanan, hing-
ga bahan bangunan berupa besi, paku, dan semen.
Sebuah gang, di daerah pelabuhan ini bernama Ikan
Gurami. Di sanalah berjubel orang-orang Bugis. Terma-
suk keluarga Kiai Said yang telah duluan merantau ke
tempat ini. Ada kakak dan adik-adiknya. Mereka datang
ke Surabaya sejak awal meletusnya DI/TII. Ini juga atas
permintaan Kiai Said agar para saudaranya tidak ada
yang terlibat dalam perang grilya. Kiai Said ingin agar
saudaranya itu lebih baik merantau saja. Dan mereka
pun menurut.
Bahkan ketika Kiai Said diajak bergabung dengan
pasukan DII/TII beliau minta syarat agar seluruh sauda-
ranya tidak diajak atau dilibatkan dalam perang grilya,
cukup dia sajalah.
Kiai Said memang memiliki keluarga yang taat aga-
ma dan keturunan ulama. Semua saudaranya pernah ber-
guru dan mondok di Madrasah Arabiyah Islamiyah Seng-
kang, di bawah asuhan seorang ulama besar kelahiran
Mekkah. KH. Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907-1952).
Bahkan Paman dari pihak ibunya juga merupakan ulama
kesohor yang juga lama berguru di Masjidil Haram.
Menurut cerita, Ibu dari Kiai Said pernah menda-
patkan lailatul Qadar21, dan memohon agar keturunan-
nya kelak diberi kemampuan menghafal Alqur’an dan
menjadi penghuni surga.
21 Satu malam yang nilainya sama dengan 1000 bulan, hanya turun pada malam
bulan puasa kepada kaum Mulimin.
Negeriku di Atas Awan - 57

Tinggal di kota besar sekelas Surabaya, yang ma-


syarakatnya berasal dari beragam suku bangsa, juga la-
tar pendidikan yang berbeda. Membuat Kiai Said lebih
leluasa dan bebas berekpresi, tidak ada penghalang di
sini, tidak seperti di Kalimantan atau Sumbawa. Pema-
haman ala Muhammadiyah di tempat ini bukan jadi ma-
salah.
Kiai Said rutin mengadakan ceramah di sebuah
masjid yang terletak tidak jauh dari pelabuhan. Jamaah-
nya lumayan banyak. Pernah juga suatu ketika Kiai Said
mengadakan pengajian di masjid ini dan mendapat pro-
tes keras dari salah seorang jamaah yang berasal dari
Madura.
“Mana yang lebih pintar Kamu atau Imam Syafi’i?”
tanya jamaah asal Madura yang merasa pendapatnya
bertentangan dengan Kiai Said. Lebih dari itu, ia merasa
imamnya dilecehkan.
“Mana yang lebih pintar, Imam Syafi’i atau Rasulul-
lah?” Kiai Said balik bertanya.
“Bawa ke sini seluruh kitab-kitabmu, biar saya te-
rangkan satu persatu… kalau mau berdebat nanti saja
setelah selesai pengajian…” tantang Kiai Said pada si pe-
nanya.
Memang begitulah gaya Kiai Said dalam berdebat,
tidak ada basa-basi. Dan anehnya sepanjang hidupnya ti-
dak pernah satu pun orang dengan berani atau mengun-
dang dia untuk berdebat di forum yang resmi. Selalunya
para penantangnya hanya bicara di belakang saja.
58 - Ilham Kadir

Tiga tahun lamanya Kiai Said berdomisili di kota


pahlawan. Kedua istrinya juga tinggal di kota terbesar
kedua di Indonesia ini. Menjalani hari-harinya dengan
berdakwah. Sambil mencari tempat yang sesuai untuk
mendirikan lembaga pendidikan. Bukan hanya di Sura-
baya, bahkan sampai ke daerah Jawa Barat, tepatnya di
Cirebon, datang ke tempat itu untuk mencari tapak lem-
baga pendidikan. Tapi semuanya tidak ada yang sesuai
harapan menurut perintah Allah. Tidak ada tanda-tanda.
Hinggalah suatu saat datang perintah Allah lewat
mimpi, kalau lembaga pendidikan itu harus segera di-
dirikan.

Kiai Said memulai aksinya.


Diawali dengan mengumpulkan seluruh sanak fa-
milinya yang ada di Surabaya. Yang jumlahnya tidak se-
dikit. Banyak. Sama ketika Nabi Muhammad pada awal
kerasulannya mengumpulkan para sanak familinya un-
tuk menyatakan bahwa dirinya seorang rasul Allah.
Dalam pertemuan itu. Kiai Said mengutarakan
maksud dan tujuannya mengumpulkan mereka.
“Saya akan pulang ke Sulawesi, saya akan mendiri-
kan lembaga pendidikan…” Kiai Said memulai bicaranya.
Para keluarga sangat mendukung niat baik Kiai
Said itu. Tetapi ketika ia memaparkan teknis pengelola-
an pondok yang akan didirikan tersebut, terjadilah dia-
log yang alot, hampir semuanya pesimis.
Negeriku di Atas Awan - 59

-“Pondok yang saya kelolah nanti akan dibebaskan


dari beragam bentuk biaya, tidak ada uang makan, pen-
daftaran, pembangunan, bulanan, SPP, listrik, dan segala
keperluan lainnya semua akan ditanggung oleh pimpin-
an…” para keluarga saling bisik-bisik. Sekolah gratis?
Mustahil, begitu dalam hati mereka.
Hinggalah salah seorang angkat bicara, “Itu hal
yang tidak mungkin untuk Kamu rencanakan… carilah
ide lain yang lebih masuk akal!”
“Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah meng-
hendaki, bukankah kalian selalu membaca, laa hawla
walaa quwwata illa billah22, tiada daya dan upaya kecuali
hanya milik Allah…” bantah Kiai Said dengan nada yang
sedikit tinggi beberapa oktaf.
Kalimah toyyebah23 di atas, terlalu sedikit kaum
muslimin yang tidak hafal, sayang hanya lancar di lidah
tapi tidak tahu falsafah dan energi yang dikandungnya.
Setelah mendengar paparan Kiai Said, para sanak
familinya pun terdiam, dan mengikuti saja kemauannya.
Kiai Said hanya minta agar seluruh harta pusaka
keluarga di Sulawesi dapat dimanfaatkan oleh pondok
kelak.
Dan mereka dengan senang hati, tidak ada yang
keberatan. Toh selama ini, hasil-hasil panen dari sawah,
kebun, dan empang tidak ada yang mengurus. Bahkan
diambil orang lain yang tidak jelas.

22 Zikir yang disunnahkan untuk dibaca setiap selesai salat, terutama dalam pe-
nutup seluruh zikir-zikir.
23 Kelimat yang baik, dengan mengucapkannya orang dapat pahala.
60 - Ilham Kadir

Kiai Said mulai berbenah. Langkah awal, mengem-


balikan istrinya yang dapat mandiri beserta anaknya ke
Sulawesi, yaitu Bunda Hasanah. Bersama dengan putra-
nya Andi Abrar.
Bunda Hasanah pun berangkat ke Sulawesi dan
bertempat tinggal di sebuah gubuk bertiang kayu bera-
las papan, berdinding bambu dan beratap rumbia, beru-
kuran 4x4 di sebuah kampung bernama Pitu-pitu.
Tapi Kiai Said sendiri belum bermukim di sini. Be-
liau kembali lagi ke Surabaya.
Dua tahun lamanya Bunda Hasanah dengan Andi
Abrar bersama di sini. Seorang istri tanpa didampingi
suami dan seorang anak ditinggal pergi oleh ayahnya se-
lama dua tahun. Waktu yang cukup lama.
Di Surabaya sendiri Kiai Said bersama Istrinya yang
lain. Andi Munirah. Yang akrab dipanggil Bunda Muni-
rah yang memiliki lebih banyak keturunan.
Setelah dua tahun berlalu, istri keduanya juga dibo-
yong pulang ke Pitu-pitu.
Meninggalkan Kota Pahlawan untuk selamanya.
Dan kembali ke kampung asal yaitu Pitu-pitu, demi me-
realisasikan mimpinya.
Pintu 10
Jam 07.00, 7 Agustus, 7
Santri

J
arum panjang jam dinding sudah menunjuk pada
angka tiga, sementara jarum pendek tepat menun-
juk ke arah angka kesepuluh. Itu artinya sudah tiga
jam lima belas menit prosesi peresmian dan penamatan
santri sedang berjalan.
Lantai rumah yang beralas papan dan dilapisi tikar
pelastik ini, membuat tempat duduk seperti abu panas.
Makin lama terasa makin panas. Dengan mengenakan
celana panjang levis tebal berkantong empat. Dua di ba-
gian belakang kiri kanan dan dua di bagian lutut, juga
kiri dan kanan makin membuat suhu tempat duduk sea-
kan menyala-nyala.
Gerincing piring dari dapur dan ruang tengah su-
dah terdengar saling baradu. Oh… pertanda cerita Kiai
Said akan segera tutup. Aku menantikan saat-saat itu. Je-
nuh duduk di tengah orang banyak. Pikiranku juga sudah
mulai tidak fokus, malah beralih memperhatikan seekor
kucing yang hilir mudik di depanku. “Ini kucing meng-
ganggu saja!” gumamku.

61
62 - Ilham Kadir

Kendati hari ini, hari spesial buatku, dan juga


enam belas temanku yang lain. Namun karena mungkin,
atau memang disebabkan faktor umur yang masih ka-
nak-kanak, sehingga tidak begitu detil merekam setiap
ucapan dari Kiai Said yang sangat berharga itu.
Tapi kisah intinya tidak akan pernah kulupakan.
“Allah memerintahkan pada saya untuk mendi-
rikan lembaga pendidikan di kampung ini. Pitu-pitu…”
Kiai Said kembali menyambung ceritanya.
Semula, Kiai Said seakan tidak percaya, kalau tem-
pat lembaga pendidikan ini akhirnya harus berdiri di
kampung halamannya sendiri.
Kampung ini pada awalnya, sebelum berdirinya Pe-
santren Majelisul Huffazh, tidaklah begitu dikenal orang.
Tidak begitu ada yang istimewa di kampung Pitu-pitu ini.
kenang Kiai Said.
“Kampung ini penduduknya bakhil, ini bisa dili-
hat dari struktur alamnya dengan sungai tidak memiliki
mata air atau hulu.”
Kiai Said Said memang dikenal memiliki penge-
tahuan yang mendalam dalam ilmu lontara24, yang bisa
membaca gejala-gejala alam serta sebab musabab sebu-
ah fenomena. Termasuk kampung Pitu-pitu ini.
Jika sebuah kampung seperti Pitu-pitu yang sungai-
nya tidak memiliki hulu, itu dapat bermakna penduduk-
nya bakhil dan acuh, namun jika sungainya berliku-liku
serta berbelok-belok seperti kampung sebelah yang
24 Sebuah ilmu turun temurun yang dimiliki orang Bugis, ditulis pada daun lontar
dengan menggunakan aksara lontara, sejenis tulisan kronik.
Negeriku di Atas Awan - 63

bernama Salomeeko25, maka penduduknya memiliki ka-


rakter yang juga susah ditebak keinginan, isi otak, dan
hatinya.
Kiai Said juga menuturkan kalau kampung Pitu-
-pitu ini mengandung tiga makna, yaitu tempat tumpuan
mengambil manfaat attujung, tempat konsolidasi appa-
situjung, dan tempat datangnya musibah attuju-tujung.
Tapi Kiai Said menambahkan bahwa terminologi tera-
khir di atas bisa direduksi dengan cara selalu taat beri-
badah, menjalankan perintah Allah dan selalu menjauhi
laranganNya.
“Pondok ini berdiri tanpa panitia, tanpa donatur,
tapi dengan visi yang jelas, berlayar ke pulau Alqur’an,
dan itu hanya terwujud jika misi para santri terlaksana
mulai dengan membaca, menghafal, mempelajari, dan
mengamalkan isi Alqur’an serta beribadah sebagaimana
apa yang dicontohkan Rasulullah berserta para sahabat-
nya,” lanjut Kiai Said.
Pondok ini memang unik, tidak ada donator tetap,
juga tidak pernah sekali pun meminta sumbangan baik
dengan mengedarkan celengan, membuat proposal pada
seseorang, apalagi pemerintah. Dalam umurnya yang
ke-14 ini, pondok belum pernah meminta-minta kepada
siapa pun, kecuali kepada Allah, karena pondok ini me-
mang milik Allah swt.
Resminya, Pondok Pesantren Majelisul Huffadz
berdiri pada jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 dengan 7
25 Artinya, sungai yang beliku, sebuah kecamatan yang bersebelahan dengan
kampung Pitu-pitu.
64 - Ilham Kadir

santri di sebuah daerah yang bernama Pitu-pitu.


Dari segi fisik, pada awalnya pondok ini sangat se-
derhana. Bangunannya hanya rumah panggung Kiai Said
yang didiami bersama istrinya Bunda Hasanah dengan
anaknya Andi Abrar. Ukurannya sangat minim. Tidak le-
bih dari 36 meter persegi.
Dibelah menjadi tiga bagian. Ruang utama terma-
suk ruang tamu berfungsi sebagai ruang makan, ruang
tidur, dan asrama para santri. Ruang kedua dibelah lagi
menjadi dua bagian, sebagian untuk kamar Kiai Said dan
bagian lain untuk dapur.
Rumah sebagai pondok itu bertiang kayu, berdin-
ding bambu, dan beratap daun rumbia. Juga terdapat ko-
long sebagaimana style rumah orang bugis pada umum-
nya di Sulawesi Selatan.
Kolong rumah juga multifungsi. Dipakai oleh Kiai
Said mengajar para santri dan juga masyarakat umum,
yang belajar baca tulis aksara Arab, lontara, dan ilmu-
-ilmu fadhu ‘ain26.
Minim fasilitas, tidak membuat Kiai Said ciut nya-
linya, terus berbenah, dan berusaha agar pondok bisa
berkembang dan tidak tergantung oleh pihak luar. Man-
diri.
Dengan itu Kiai Said berusaha membuat penghasil-
an untuk kelangsungan pondok dengan jalan membangun
empang, minimal urusan perut beres, lauk dari empang,
26 Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap kaum muslimin, seperti dasar-dasar ilmu
tauhid; mengenal Allah, rukun Iman, islam dsb., dasar-dasar ilmu syariat; syarat
dan rukun salat dsb., pengetahuan tentang akhlak; sikap antar sesama manusia,
lingkungan dst.
Negeriku di Atas Awan - 65

beras dari sawah pusaka, dan sayur-mayur dari kebun-


-kebun milik saudara yang telah hijrah ke Surabaya.
Kini Kiai Said sendiri yang langsung terjun bersama
santri-santrinya yang jumlahnya sama dengan hitungan
hari dalam seminggu itu. Cuma tujuh orang.
Tapi siapa yang nyana. Tujuh orang inilah menjadi
cikal bakal pionner pondok. Mereka yang bekerja mati-
-matian untuk menjadikan pondok mandiri.
Kiai Said sendiri pekerja keras, man of action. Tiada
hari tanpa kerja. Para santri lebih banyak diajak ber-
tadabbur sambil menggali tanah untuk tanggul empang
ketimbang membuka lembaran kitab-kitab dalam kelas.
Tapi jangan salah paham. Para santri ini tidak per-
nah hilang identitasnya, juga diwajibkan mangolo27 mini-
mal satu halaman setiap pagi dan dua halaman di malam
hari. Luar biasa bukan?

Akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan.


Sudah pukul sebelas lewat lima menit, baki-baki28
berisi hidangan sudah ditumpuk di sudut rumah. Makin
menambah sesak isi rumah. Para santri sebagian sudah
bergeser keluar, memberi ruang untuk hidangan dan
tempat duduk para tamu. Kecuali beberapa santri yang
masih kecil-kecil, yang seumuran bahkan lebih mudah
dariku. Mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Santri yang seperti ini tidak memerlukan talam. Cu-

27 Menyetor hafalan pada muqri’. Makna sesungguhnya adalah menghadap.


28 Nampan atau talam besar yang dipakai sebagai tempat hidangan, dapat memu-
at banyak ragam hidangan dalam satu baki. Praktis.
66 - Ilham Kadir

kup satu piring, seciduk nasi, dan beberapa lauk. Sesuai


ukuran lambung pastinya.
Hari yang menyenangkan sekaligus besejarah buat-
ku.
Pintu 11
My First Day

M
alam itu, masih pada hari yang sama. Hari
ulang tahun ke-14 Pesantren Majelisul Huf-
fadz. Aku sudah memulai hafalan. Dari surah
29
al Fatihah . Surah ini tidak begitu sulit bagiku. Sudah di
luar kepala. Yang ini tidak ada masalah.
Melangkah kepada halaman berikutnya. Awal su-
rah al-Baqarah, lima ayat pertama. Sudah mulai terasa
berat. Tapi dapat kuatasi malam itu juga. Lumayan hafal.
Kendati belum terlalu lancar. Yang ini juga bukan masa-
lah besar buatku. Dengan otak yang masih fresh rasanya
tidak begitu susah.
Masih malam itu. Menjelang pukul 10.30. Waktu
tidur. Kucoba membuka halaman ketiga. Mulai terasa
berat.
Hal yang menjadikan aku susah menghafal, setelah
diagnosa oleh beberapa teman. Tidak lancarnya baca-
an Qur’anku. Inilah yang membuat aku keteteran. Lain
halnya dengan teman-teman, mereka memang sudah

29 Surah pertama dari Alqur’an, memiliki tujuh ayat, kaum muslimin wajib meng-
hafalnya, karena surah ini menjadi syarat utama sahnya salat.

67
68 - Ilham Kadir

betul-betul matang sebelum berangkat untuk belajar di


pondok ini. Mereka sudah memiliki persiapan.
Sementara aku sedari dua tahun silam, hanya ber-
putar dari kandang sapi terus ke gunung, kembali ke-
rumah, dan selanjutnya ke sawah dan kembali mengurus
hewan ternak.
Urusan pendidikan cuma ada dalam kelas saja. Di
sekolahku, tidak ada pelajaran baca tulis aksara Al-
qur’an. Paling-paling dalam materi pelajaran Agama Is-
lam yang dibawakan oleh bapak Imam Desa adalah ce-
rita-cerita tentang nabi-nabi. Cuma inilah yang menarik.
Selain itu anak-anak tidak begitu suka.
Mengaji? Ada juga. Tapi itu di rumah. Cuma sekali
dalam seminggu dengan ala Bugis. Tidak tau juga apa be-
tul panjang pendeknya. Karena perkataan tajwid hanya
kudengarkan setelah hampir setahun mondok di Maje-
lisul Huffazh.
Malam pertama sebagai santri aku lalui. Tidur di
atas lantai kayu berlapis terpal, tanpa bantal, tanpa se-
limut, juga tanpa kasur. Karena teman-teman juga se-
muanya begitu di sini. Tidak ada yang spesial. Kecuali
bantal. Yang satu ini beberapa santri memiliki. Mereka
bawa dari rumahnya.
Kasur di sini menjadi hal yang aneh. Tidak ada un-
tuk santri!
Tidak tahu juga, kenapa di pondok ini kata-kata
kasur menjadi jenaka. Lucu begitu. Jika diucapkan tidak
sedikit teman-teman akan tertawa.
Negeriku di Atas Awan - 69

“Disini kita datang bukan untuk tidur, tapi untuk


menghafal. Ingat itu…” begitu kata seorang teman bela-
kangan kuketahui bernama Amin.
“Saya dari Kabupaten Sinjai…” katanya.
Temanku inilah kemudian yang akrab, sangat akrab
denganku. Ayahnya seorang guru agama di salah satu
Madrasah Ibtidaiah di kota Sinjai Utara. Tidak jauh dari
pelelangan ikan.
“Kamu siapa? Dan berasal darimana?” tanya Amin
padaku.
“Kenalkan, Namaku Iwan, Iwan Palimai. Cukup
panggil saja Iwan, aku berasal dari Bonntocani…” jawab-
ku mantap.
“Bontocani? Di mana itu?” tanyanya lagi.
“Sebuah daerah paling ujung di Kabupaten Bone,
sangat terpencil, pedalaman, tidak terkenal…” jawabku
berlagak menerangkan dengan bahasa Bugis ala Bonto-
cani.
Mulai saat itu kami menjadi teman karib.
Tanggal 8 Agustus, 1989. Pagi itu. aku dan teman-
-teman mangolo atau menyetor hafalan kepada Ustadz
Rahman, yang bertindak sebagai muqri’30.
Kelompok santri dipecah menjadi empat bagian.
Pertama, mereka yang langsung menghadapkan hafalan-
nya pada Kiai Said, yang kedua kepada Bunda Hasanah,
yang ketiga pada Ustadz Muhammad, dan yang terakhir
Ustadz Rahman, tempat aku dan duabelas teman lainnya
mangolo.
30 Tempat menyetor hafalan.
70 - Ilham Kadir

Aku juga baru tahu, kalau ternyata syarat utama


untuk menjadi muqri’ harus khatam dan hafal sehafal-
-hafalnya seluruh isi Alqur’an. 30 juz. Ini setelah kua-
mati. Kok bisa ya? Membetulkan bacaan orang yang ma-
ngolo tanpa buka Alqur’an!
Juga baru kuketahui atas informasi dari Amin, yang
lebih dulu satu minggu datang ke pondok, kalau Bunda
Hasanah itu penghafal Alqur’an. Hafizhah 30 juz. Ini yang
membuat aku lebih heran lagi. Tapi itulah kenyataannya.
Bahkan kelak, menurut pengamatanku, Bunda Hasanah
hafalannya lebih hebat daripada suaminya sendiri, Kiai
Said. Padahal yang menjadi guru hafalannya itu, suami-
nya sendiri. Itu artinya Bunda Hasanah memulai debut-
nya sebagai Hafizhah setelah menikah.
Kelompok yang manyetor hafalan pada Kiai Said
merupakan para santri-santri senior, yang datang dari
sebuah pondok di daerah Jawa Timur, daerah Ponorogo,
tepat di Kampung Gontor. Nama pondoknya Darussa-
lam. Tapi lebih masyhur dengan sebutan Pondok Mo-
dern Gontor disingkat dengan PM Gontor.
Kelompok yang mangolo pada Bunda Hasanah me-
rupakan para santri dewasa yang berbadan besar, atau
mereka yang masih sekolah di SMA, atau juga yang su-
dah khatam hafalan Alqur’an tapi masih terus mengu-
lang-ulang hafalannya.
Negeriku di Atas Awan - 71

Adapun kelompok Ustadz Muhammad tidak jauh


beda dengan kelompok kami, dari kalangan anak-anak
yang baru datang, atau para pemula.
Kami dengan duabelas santri, sedang antre untuk
mangolo, di depan Ustadz Rahman yang terkenal jernih
suaranya, lancar hafalannya, dan fasih makhraj-nya31.
Hari pertamaku My first day, sebagai santri di Ma-
jelisul Huffazh ini, terasa bermakna di satu pihak, na-
mun air mata ini mulai bercucuran pada sisi lain karena
terkena sindrom homesick.

31 Tepat cara penyebutan hurufnya.


72 - Ilham Kadir
Pintu 12
Gara-gara Aksen

D
i kampung ini, Pitu-pitu, tempat berpijaknya
Pondok Pesantren Majelisul Huffazh. Tidak ada
sungai. Air sumur di kolong rumah pimpinan
yang lebih tepatnya dikatakan asrama ini, hanya cukup
dipakai berwudlu untuk sembahyang. Juga tidak mung-
kin diminum airnya. Rasanya payau.
Di lain pihak, penggunaan air dalam urusan masak
memasak kian hari kian bertambah, seiring bertambah-
nya jumlah santri.
Pondok ini juga bebeda, tidak memiliki jadwal khu-
sus penerimaan santri baru. Kapan saja, sepanjang wak-
tu, siapa pun bebas masuk belajar dan mondok.
Untuk mengatasi krisis air, dibentuklah kelompok-
-kelompok selama seminggu. Setiap kelompok sedikit-
nya beranggotakan lima personil. Kelompok inilah kelak
yang bertanggungjawab dalam menyuplai air bersih di
dapur, untuk keperluan masak-memasak dan lainnya.
Sumber air bersih tersebut berasal dari sebuah su-
mur, berjarak sekitar dua kilometer dari rumah pim-
pinan. Sumur itu dinamakan Buhung diase’, sumur atas.

73
74 - Ilham Kadir

Dikatakan di atas, karena memang tempatnya agak men-


daki ke atas dengan arah ke selatan. Dari sanalah kami
mengambil air. Dengan cara pikul pakai kayu atau bambu
sebagai penyeimbang. Kedua ujungnya terdapat tempat
bergantung masing-masing satu ember berisi 20 liter air.
Orang Bugis menyebutnya mallempa wae. Memikul air.
Kuawali hariku dengan kerjaan yang paling mendera.
Hari-hariku di pondok ini kulalui dengan mallempa wae,
sangat kontras denga keadaan di kampung halamanku.
Sungainya besar, luas, penuh bebatuan. Airnya jer-
nih, bening, suci dan mensucikan. Thahir wa muthohhir.
Dapat diminum langsung. Tidak menimbulkan sakit perut.
Asli dari mata air pegunungan Bontocani. Spring water.
Di kampung ini, sebagaimana penuturan Kiai Said,
sungainya tak berhulu. Artinya sungainya hanya meng-
andalkan tadah hujan.
Walau telah dibuatkan jadwal untuk persediaan air
di dapur. Tapi karena ternyata, hanya ada tiga santri
yang mondok full time, yaitu Aku, Basri dari Sumbawa,
dan Rasydin dari Jakarta. Membawa kami bertiga setiap
hari harus sibuk di dapur. Bersama Istri Kiai Said, Bunda
Hasanah. Mulai dari masak-memasak, belanja keperluan
sehari-hari hingga bersih-bersih dapur, halaman, dan
sekitarnya.
Penyakit yang sering menerpa santri pemula, se-
perti halnya aku, dan setiap santri sepertinya merasa-
kan juga apa yang kurasakan. Rindu kampung halaman,
rindu adik-adik, ibu, ayah, teman-teman sekolah, orang
sekampung, dan semua yang aku tinggalkan.
Negeriku di Atas Awan - 75

Rasanya ingin melayang. Tidak terasa air mata


bercucuran, teramat sedih, galau, dan gundah-gulana.
Dan aku pun menangis. Tangisan rindu. Tidak terasa
lembaran-lembaran mushaf Alqur’an yang kugenggam
basah sehingga hampir saja sobek, akibat derasnya air
mata yang jatuh. Tak terbendung. Rasanya ingin aku ber-
teriak, tapi itu tidak mungkin. Apa kata temanku. Pada-
hal mereka, kampung halamannya lebih jauh. Ini ber-
langsung selama tidak kurang dari tiga bulan lamanya.
Selain kami bertiga, para santri yang datang belajar
dan mondok di Majelisul Huffazh juga meneruskan pel-
ajaran formal di luar. Pondok hanya memberikan pela-
jaran di waktu petang, mengulang hafalan di malam hari
takrir, serta mangolo setiap bakda Subuh.
Karena keadaan seperti ini, sehingga aku berpi-
kir, bahwa aku memang kelak benar-benar hanya akan
jadi imam desa, itulah karirku paling tinggi. Tidak akan
mungkin jadi tentara, polisi, ataupun Pegawai Negeri Si-
pil seperti impian semua orang Indonesia.
“Ayahku betul-betul telah menyiksaku. Meninggal-
kan aku di tempat seperti ini. Aku dibuang, tidak memi-
liki masa depan yang cerah. Hanya Imam Desa. Itu saja.
Kerjaan orangtua.” Pikirku membatin.
Hidupku rasanya cuma dua tempat, sumur dan da-
pur. Waktu menghafal juga tidak banyak. Umumnya satu
jam sebelum salat. Dan dua jam setiap bakda Isya dan
Subuh. Dua waktu ini dipakai untuk mangolo.
Yang cukup menghibur, banyaknya teman-teman
yang berasal dari beragam daerah. Kendati masih dido-
76 - Ilham Kadir

minasi keluarga Kiai Said dan kedua istrinya. Juga ma-


yoritas mereka berasal dari Sumbawa, Kalimantan, Su-
rabaya, Kolaka, dan daerah-daerah sekitar Bone bagian
selatan. Persis rute-rute yang pernah dijelajahi oleh Kiai
Said sewaktu merantau dan masih aktif di DI/TII. Juga
tidak sedikit dari mereka berasal dari putra veteran pe-
rang grilya tersebut. Mereka ini banyak menghibur aku,
kami saling menghibur, saling berbagi, terutama teman
dekatku. Seperti Amin, Basri, dan Rasydin.
Adalagi satu masalah yang juga membuatku iri dari
teman-temanku pada umumnya. Selidik punya selidik
rupanya saya memang tergolong santri miskin di antara
mereka.
Santri yang berasal dari daerah jauh ternyata setiap
bulan aliran uang jajannya lancar dari orangtua mereka.
Terutama yang berasal dari Surabaya. Bukan saja lancar,
tapi deras. Mereka mayoritas dari keluarga yang me-
miliki bisnis jasa angkutan, ada di antara mereka yang
memiliki perahu motor sejenis phinisi yang jumlah-
nya mencapai satu lusin. Katanya satu kapal motor bisa
mengangkut dengan kapasitas ratusan ton. Kapal phinisi
modern, menggunakan mesin dengan daya tendang su-
per tinggi.
Sedang aku. Sudah tiga bulan ayahku tidak pernah
mengirim kabar. Komunikasi terputus. Terlebih lagi ma-
salah yang satu itu. Uang jajan.
Selain Amin, Basri, dan Rasydin. Satu lagi temanku
yang tahu persis keadaanku, berusaha menghibur, me-
nenangkan, dan juga membantu aku. Aqsa Mursal yang
Negeriku di Atas Awan - 77

dipanggil Aqsa, berasal dari daerah Ibu Kota Kecamatan


Kahu, Palattae, putra Bapak KUA Bontocani. Pak Musta-
mir, karena beliaulah sehingga aku ke sini.
“Aku paham Kawan, bagaimana keadaanmu, aku
juga dulu tidak betah tinggal di sini, saya menangis, men-
jerit, hingga berguling-guling di tengah jalan, karena ti-
dak suka tinggal di sini, tidak enak…” Begitu kata Aqsa
mengenang masa-masa awalnya di pondok ini.
“Aku yakin, Kamu bakal betah dan bisa bertahan di
sini, orang lain saja bisa betah, masa Kamu tidak bisa?”
“Wah masuk akal juga nih kata si boncel…” Aqsa
memang perawakannya agak gemuk berisi, pendek, dan
bulat, kulitnya putih, rambutnya lebih suka diplontos,
“agar ringan menghafal,” Begitu alasannya, kenapa ia
suka memiliki kepala tanpa mahkota.
Selain Amin, Aqsa, Basri, dan Rasydin. Ada pula Kak
Sabir. Dia juga santri di sini, bedanya dia sudah remaja.
Umurnya sudah menginjak duapuluhan. Badannya ge-
muk besar dan tinggi, mencapai 170 cm, sudah mulai
berjenggot dan berkumis, kendati masih tipis. Dia bera-
sal dari Bontocani juga. Dan sudah mondok di Majelisul
Huffazh sejak dua tahun lalu.
Pondok Majelisul Huffazh juga tidak membatasi
para calon santrinya. Mau besar, berjenggot, berkumis,
remaja, dewasa, atau masih umur enam tahun. Semua
bisa masuk.
Sabir juga paham akan keadaanku, dan berusaha
menghibur dan menasihati, agar tetap tegar. Mungkin
karena kami berasal dari desa yang sama sehingga ikatan
78 - Ilham Kadir

emosi kami lebih dekat. Dia jugalah yang sering menjadi


penengah di kala terjadi perselisihan sesama anak-anak
yang biasanya ditimbulkan gara-gara saling mengejek
bahasa Bugis daerah asal masing-masing.
Misalnya saja, bahasa kampungku mangatakan ka-
lau bahasa Bugis angka satu disebut “seddi” sementa-
ra orang-orang yang berasal dari Bone kota, biasanya
mereka mengklain dirinya sebagai orang kota dan kami
sebagai orang gunung, mengatakan kalau bahasa Bugis
angka satu sama dengan “cewu’”, selain itu intonasi kata-
nya dialektika juga sangat berbeda. Orang Bone kota, da-
lam bertutur, mereka pelan dan lembut dalam penyam-
paian kata-katanya, sementara kami yang berasal dari
Bone Selatan, umunya bertutur lebih cepat dan keras.
Konon ini sesuai dengan alam penuturnya. Bone Selatan
diliputi Hutan, gunung, bukit, dan pantai yang ombaknya
kencang, sehingga para masyarakatnya terbiasa berbica-
ra dengan suara lantang, kendati memiliki roamantisme
yang dalam. Kontras dengan warga kota, yang memiliki
intonasi yang lembut namun keras dalam bersikap.
Perselisihan semacam ini kerap muncul di pondok
Majelisul Huffadz. Tapi ini hanya terjadi di kalangan du-
nia kami saja. Yang masih kanak-kanak, yang memang
doyan saling mengejek, sepertinya ada kepuasan jika
kami melakukan itu. Dasar anak-anak!
Pintu 13
Tata Boga

P
erlahan namun pasti, aku sudah mulai beradap-
tasi di pondok ini. bacaan Alqur’anku juga sudah
mulai membaik. Lancar.
Kontras dengan keadaanku pada awal-awal. Ini se-
mua berkat kesabaran muqri’ tempat aku menyetor ha-
falan. Ustadz Muhammad dan Ustadz Rahman, mereka
berdualah yang membimbing kami. Juga berkat bantuan
teman-temanku, yang selalu bersedia menyimak, dan
mengoreksi bacaanku. Ada Amin, Aqsa, dan Kak Sabir.
Mereka tak kalah berjasanya dalam mengajari aku tata
cara baca Qur’an dan menghafal dengan baik.
Kadang-kadang juga aku diajari oleh Bunda Hasa-
nah, jika aku mangolo padanya.
Selain itu, aku sudah dapat kepercayaan dari Kiai
Said untuk beberapa hal, seperti menangani urusan be-
lanja di dapur.
Di pondok Majelisul Huffazh, seluruhnya ditangani
langsung oleh Kiai Said, terutama yang bersangkutan
dengan urusan perut. Isi perut maksudnya. Semuanya
tanggungjawab Kiai Said, tidak ada sangkut pautnya de-

79
80 - Ilham Kadir

ngan para santri. Mereka hanya dituntut mengahafal dan


belajar.
Termasuk juga masalah perizinan. Jika ingin kelu-
ar pondok untuk sesuatu urusan, juga harus menghadap
Kiai Said. Semua kendali masih dipegang oleh beliau.
Hal yang mengherankan bagiku terkait masalah be-
lanja. Selama aku ditugaskan untuk menangani masalah
keperluan dapur, tidak pernah sekali pun Kiai Said tidak
memberiku dana untuk itu. Selalu saja ada. Kalau pun
mungkin tidak punya uang, beliau tidak mengatakan, “ti-
dak ada” tapi cukup mengatakan, “tunggu sebentar ya?”
Waktu belanja biasanya kami lakukan setiap sele-
sai mangolo di pagi hari. Beliau lazimnya keluar duduk-
-duduk santai di teras yang selalunya ditemani dengan
beragam tamu. Entah dari mana asalnya, dan apa tuju-
annya. Saat itu aku belum mengerti maksud kedatangan
tamu-tamu itu.
“Iwan… mari kesini!” panggil Kiai padaku.
“Iyye’ Puang.”
“Coba Kamu tanyakan sama Bunda di dapur, apa
yang perlu dibeli di pasar…”
Aku pun langsung bergegas ke dapur, menghadap
Bunda Hasanah yang baru saja selesai mengecek hafalan
para santri, karena kelompok santri yang menyetor ha-
falan Qur’an terbanyak pesertanya pada Bunda Hasanah,
jika kelompok yang dihadapi Kiai Said hanya para lulus-
an PM Gontor, maka Bunda hasanah jauh lebih banyak.
Terutama mereka yang telah khatam dan mengulang-
-ulang hafalan, takrir.
Negeriku di Atas Awan - 81

“ Bunda… ada pesan dari Pak Kiai, katanya apa yang


harus dibelanja?”
Sejenak Bunda Hasanah melihat-lihat di sekitar da-
pur, sambil memikirkan menu apa yang cocok hari ini.
Tidak lama kemudian Bunda Hasanah mengambil
secarik kertas dan sebuah pulpen, selanjutnya menggo-
reskan tulisan beraksara lontara32.
“Ini, beri ke Pak Kiai…” kata Bunda.
“Ajaib. Suami istri saling berkomunikasi pakai su-
rat, padahal hanya urusan dapur.” Pikirku.
Kendati aku tidak begitu tahu cara membaca aksa-
ra lontara, tapi kupastikan kalau isi goresan tinta dalam
secarik kertas yang kugenggam, berupa daftar belanjaan
untuk hari ini.
Beberapa saat kemudian, aku sampai di samping
Kiai Said. Beliau masih duduk-duduk di kursi pojok teras
rumah, kaki kanannya diangkat, sambil ditemani secang-
kir teh manis agak pekat dan sebungkus rokok super-
murah masa itu. Alda.
Gaya busananya itu-itu saja, baju koko berkantong
dua atau tiga, sarung, dan peci nasional. Beberapakali
menggunakan baju batik.
“Eddi33 Puang…” sambil kuserahkan secarik kertas
bergaris-garis itu pada beliau.
Dibacanya, tapi hanya hitungan detik.
Lantas berkata.
“Pergi belanja. Beli asam Rp. 1.500. bawang merah,
32 Aksara tulis suku Bugis.
33 Maksudnya ‘ini’.
82 - Ilham Kadir

bawang putih, masing-masing Rp. 5.000, bumbu-bumbu


lain juga beli tapi 4.000 saja ya? Lauknya beli telur satu
rak dan ikan teri kering 8 kg. sayurnya pakai daun kang-
kung dikasi santan kelapa, kelapanya beli dua buah..!”
perintah Kiai Said padaku.
“Ini uangnya…”
“Iyye’ Puang.”
Diserahkannya padaku uang Rp. 10.000 sebanyak
empat lembar. Yang dikeluarkan dari saku kanannya.
Uangnya masih baru.
“Yang cepat ya?”
“Iyye’ Puang,” jawabku lagi.
Aku pun bergegas ke pasar untuk berbelanja selu-
ruh apa yang diperintahkan Kiai Said padaku. Aku re-
kam seluruh barang belanjaan dalam otakku. Harus pas.
Ini uang sepertinya betul-betul telah diukur. Pak Kiai
sepertinya sudah sangat tau harga-harga.
Tidak begitu lama, kanton pelastik milikku sudah
penuh semua. Lumayan berat. Belanjaan sudah usai da-
lam durasi tidak lebih dari satu jam. Para tukang sayur
di pasar juga sudah tau semua, kalau aku ini santri. Ku-
rasa mereka memang pasti tau. Dengan gaya pakaian
khas santri sarungan lengkap dengan peci di kepala, itu
sudah sebuah identitas buat para tukang jual di pasar.
Aku diberi harga spesial. Khusus. Orang biasanya
beli asam 5 ons dengan harga Rp. 3.000, aku dapat dis-
kon sampai 50%, jatuhnya Cuma Rp. 1.500. begitu pula
dengan harga-harga lainnya. Seakan pedagang tidak
Negeriku di Atas Awan - 83

mencari untung. Tapi berlomba-lomba datang menawari


aku. Tidak jarang juga aku tidak jadi belanja, sayur dan
ikan sudah banyak tapi uang belum ada yang keluar.
Gratis. Nampaknya mereka. Para penjual itu mencari
berkah. Terkaku.
Kerap pula aku manfaatkan momen ini, kalau ada
teman yang titip padaku untuk dibelikan tape dari ubi
kayu misalnya. Harga lazimnya kalau mereka sendiri
pergi belanja biasanya mencapai Rp. 300. Per bungkus.
Tapi dengan belanjaan dapur ditanganku. Para penjual
tau kalau aku sebagai juru pasarnya pondok. Jadi, dapat
diskon 50%. Dapat dua bungkus dengan harga Rp.300.
satu buat teman yang menitip tadi, satu lagi buatku.
Selesai belanja, langsung bergegas ke dapur untuk
menyerahkan belanjaan pada Bunda Hasanah. Lembar-
an uang yang berasal dari Kiai Said tadi masih terlebih.
Surplus Rp.3.000.
“Eddi Puang lebinna,34” kataku pada Kiai Said.
“Lebbiki di’?35” tanyanya heran.
“Maccano abbalanca,36” tambahnya lagi.
Pikirku, mungkin biasanya dengan nominal uang
yang diberikan padaku tadi akan habis kubelanjakan.
Tapi ternyata tidak. Masih ada yang tersisa.
“Tolong belikan rokok dua bungkus. Rokok seperti
ini,” sambil menunjukkan jenis rokok yang digenggam-
nya. Alda.

34 Kurang lebih maknanya, “Ini lebih ‘duitnya’ Ustadz!”


35 Ada lebihnya ya?
36 Kamu sudah mulai pintar berbelanja.
84 - Ilham Kadir

Saat itu harganya seingatku Rp. 150. Per bungkus.


Kiai Said memang perokok berat, rasanya jarang
sekali beliau duduk tanpa ditemani rokok dan teh ma-
nis. Sekali duduk ludes satu bungkus merupakan peman-
dangan yang biasa. Bukan luar biasa.
Setelah belanja, aku kembali ke dapur bersama
Bunda Hasanah, beragam kerjaan menungguku di sini.
Mulai dari memarut kelapa dan memeras santan-
nya, mengumpulkan kayu bakar sebagai bahan bakar
utama dalam memasak. Juga aku diajari sama Bunda Ha-
sanah dalam meracik bumbu-bumbu dapur.
“Jangan datang kesini kalau hanya sekadar belajar
agama dan menghafal Alqur’an, juga Kamu harus pintar
memasak dan bersih-bersih..!” itu kata Bunda Hasanah
padaku yang tak pernah kulupakan.
Harus belajar masak, baik nasi, sayur, ikan, dan be-
ragam lauk pauk. Juga belajar meracik bumbu dan seba-
gainya: tata boga. Persis ibu-ibu PKK.
Lama-kelamaan aku menikmati semua ini.
Belanja, masak-memasak, menyediakan minuman
untuk para tamu yang hilir mudik tak henti-hentinya,
mencuci piring-piring, gelas, cangkir, dan beragam jenis
kerjaan dapur lainnya. Kelak ini semua sangat berman-
faat bagiku.
Pintu 14
Agent of Change

E
ntah kebetulan, atau sudah jalan hidupku. Tak-
dir yang baik. Sebuah kebetulan yang betul-betul
berharga. Di saat aku datang ke Majelisul Huf-
fazh rupanya, juga baru kedatangan para santri yang di-
sebut santri senior.
Senioritas mereka diukur dari keilmuan mereka.
Kalau sebelum ini sebuah senioritas lebih diukur dari
umur para santri. Tapi sekarang, tidak.
Mereka adalah lulusan PM Gontor. Yang datang ke
Majelisul Huffazh untuk menghafal Alqur’an sekaligus
mengajar. Mengabdi.
Mereka para anak muda yang progres, memiliki be-
ragam talenta, kemampuan dalam berbahasa, baik Arab
maupun Inggris. Atau juga dalam pengelolaan lembaga
pendidikan. Management.
Mereka inilah yang benar-benar berfungsi sebagai
agen perubahan di Pondok ini: agent of change.
Sebelumnya, di Pondok Majelisul Huffazh hanya
memiliki satu jenis muatan dalam belajar. Yaitu berhu-
bungan dengan Menghafal Alqur’an saja. Kalau pun ada

85
86 - Ilham Kadir

program lain, biasanya berhubungan dengan terjemahan


makna Alqur’an terjemah lafziah, atau pun hanya tafsir,
yang langsung dibawakan oleh Pimpinan Pondok. Kiai
Said.
Tetapi semenjak datangnya para alumni PM Gontor
ini, yang lebih dulu dua minggu kedatangannya daripada
aku. Pendidikan di Majelisul Huffazh telah berubah to-
tal. Sebuah kemajuan yang sangat luar biasa. Pesat.
Para pemuda pembaru ini, ditempatkan di kampus,
jaraknya tidak jauh dari rumah Bunda Hasanah, terletak
di seberang jalan dan mengarah sedikit ke selatan seki-
tar delapan puluh meter saja. Di tempat itulah terdapat
lokasi kampus, luasnya sekitar seperdua hektar, terdapat
dua bangunan. Satu bangunan berukuran 4 x 8, berlan-
tai semen dan berdinding semi permanen, beratap seng.
Di sinilah para santri senior bermukim. Tidak jauh dari
tempat itu, sekitar lima meter, terdapat pula bangunan
dengan ukuran lebih luas, 6 x 12. Berlantai pasir ber-
tembok setinggi pinggang, tanpa dinding. Beratap seng.
Di sini pulalah tempat yang bisanya dipakai oleh Kiai
Said mengajar dan mengecek hafalan para santri.
Mereka mendirikan sistem pendidikan bernama
Kulliatul Muallimin al Islamiyah37, yang disingkat (KMI),
sebuah sistem pendidikan yang total diadopsi dari Pon-
dok Modern Darussalam Gontor. Sebuah sistem yang
telah masyhur dan diperkenalkan oleh pondok terbesar
sejagad itu.
37 Makna dasarnya adalah tempat pendidikan guru-guru Islam. Lazimnya para
cabang pondok alumni Gontor mengadopsi sistem ini.
Negeriku di Atas Awan - 87

Materi pelajarannya berbasis Bahasa Arab dan


Inggris serta beberapa ilmu-ilmu dasar. Mabadi’ awwa-
liyah. Inti muatan akademisnya untuk mencetak guru-
-guru handal, serta sebagai bekal yang sangat berharga
bagi para penuntutnya. Juga dapat dipergunakan baik di
tengah masyarakat maupun pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi termasuk di perguruan tinggi.
Saat itu para pionir utama KMI adalah Ustadz Na-
sir, Ustadz Arif, dan Ustadz Faiz, mereka berasal dari
Jakarta, Ustadz Kubra dari Malang, Ustadz Yusuf dari
Banten, dan Ustadz Alwi dari Makassar. Mereka itulah
guru-guru pertama KMI di pondok ini sebagai pembawa
sistem pendidikan KMI di Majelisul Huffazh.
Saat itu, Ustadz Nasir yang menjadi Direktur KMI,
dia yang begitu banyak berjasa pada awal perintisan,
bersinergi dengan lima temannya yang lain.
Pagi itu, akhir bulan Agustus tahun 1989, sebuah
upacara pertama dalam sejarah pondok Majelisul Huf-
fazh. Upacara pembukaan KMI.
Dalam sambutan pertamanya, Ustadz Nasir menga-
takan,
“… Anggaplah kami semua adalah Columbus. Yang
mengajak kalian berlayar menuju sebuah pulau. Untuk
membuktikan bahwa bumi ini bulat, bukan datar. Hanya
satu yang kami minta pada kalian, yakinlah bahwa sua-
tu saat kita akan sampai pada tujuan. Berusahalah untuk
tidak seperti umat Columbus yang ketika berada dalam
lautan yang tak bertepi semua protes, seakan menghakim-
88 - Ilham Kadir

inya, hingga suatu saat mereka melihat kawanan burung


yang terbang. Barulah mereka percaya kalau akan segera
menemukan daratan. Yakinlah kalau suatu saat kita juga
akan berhasil dalam lembaga pendidikan ini, melebihi
berhasilnya Columbus dalam pengembaraannya...” Begi-
tu pidato Ustadz Nasir yang berapi-api. Penuh semangat
dan optimisme.
Usai upacara pembukaan. Kami langsung masuk
belajar.
Para santrinya terdiri dari orang-orang dewasa.
Yang terdiri dari para warga, keluarga, dan santri de-
wasa di pondok. Mereka bahkan ada yang telah kuliah
di perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana lengkap,
dideteksi dengan melihat depan nama mereka tertulis
titel Drs dan Dra. Tapi yang lebih spesial, dalam kelas
pertama KMI ini terdapat Bunda Hasanah. Istri Kiai Said.
Sementara anak kecil yang lulusan SD hanya ada tiga
orang. Aku, Basri, dan Rasydin. Ini juga yang membuat
kami canggung. Dilebur dalam satu kelas bersama para
orangtua.
Sedang teman-teman yang lain, seperti Amin, Aqsa,
dan lainnya, mereka sekolah di luar, SD, SMP, atau MTs.
Tiap hari, kami belajar mulai dari pukul 08.00 –
10.00 pagi. Tentunya setelah selesai mangolo, belanja di
pasar, dan mengambil air di sumur atas.
Pelajaran berlangsung hanya dalam durasi 120 me-
nit. Dengan dua materi pelajaran. Dalam satu minggu
kami masuk selama enam hari. Materi terbanyak adalah
Negeriku di Atas Awan - 89

Durusul lughotul ‘arabiyah38 dan al Muthala’ah39.


Durusul lughotul ‘arabiyah diajarkan oleh Ustadz
Yusuf, al Muthala’ah oleh Ustadz Kubro. Sedangkan Us-
tadz Alwi mengajar Bahasa Inggris, Ustadz Natsir meng-
ajar Mahfuzhat40, Ustaz Arif Mengajar Khat41, dan Ustaz
Faiz mengajar Imla’42.
Pada awalnya. Kami bertiga. Aku, Basri, dan Rasy-
din, tidak bisa mengimbangi para murid-murid lain da-
lam kelas. Mereka semuanya seakan hanya mengulang
saja. Dan memang begitu. Jadi ketika guru memberi pel-
ajaran, seakan sebelumnya mereka sudah paham. Ken-
dati tetap juga mengikuti pelajaran seperti murid pada
umunya. Berteriak, menulis, dan seterusnya.
Setiap sebelum memulai pelajarannya, para guru
ini memberikan salam, dan kami semua menjawabnya.
Setelah itu sang Ustadz berkata,
“Madza darsunal ana? Pelajaran apa sekarang?
Para murid lantas menjawab, “Darsunal ana al Mut-
hala’ah” pelajaran kami al Muthala’ah. Kalau memang
pelajaran itu Muthala’ah.
Pelajaran favoritkau Muthala’ah dengan khat. Aku
tidak begitu suka Bahasa Arab. Menurutku membi-
ngungkan.

38 Pelajaran Bahasa Arab.


39 Cerita-cerita sederhana yang berbahasa Arab.
40 Hafalan berupa potongan-potongan ayat, hadis, atau perkataan ahli hikmah,
sebagai sumberinspirasi atau untuk sugesti.
41 Tata cara penulisan beragam varian tulisan Arab dengan indah dan benar, sesua
kaidah.
42 Tata cara menulis bahasa Arab dengan benar.
90 - Ilham Kadir

Terutama dalam penggunaan kata, hadza dengan


hadzihi, kok artinya sama? ‘Ini’.
Gurunya berteriak,
“Hadza Kitabun” sambil memegang buku.
Besoknya berteriak lagi “Hadzihi Mistaratun” sam-
bil memegang penggaris. “Itu artinya hadza dengan had-
zihi sama donk?” tanyaku membatin.
Untuk bertanya, bagiku tidak mungkin. Aku takut
sama Bunda Hasanah, juga segan pada kedua muqri’ ku.
Ustadz Muhammad dan Ustadz Rahman.
Adapun pelajaran, Muthala’ah, kuanggap enak, ka-
rena kita hanya dituntut mengerti dan menghafal.
Misalnya saja, Ustadz Kubra membaca dan kita
ikuti bersama,
“Ana anamu ‘ala as sariri, ala as sariri firasyun, alal
firasyi wisadatun, alal wisadati khizarun, saya tidur di
atas ranjang, di atas ranjang ada kasur di atas kasur ada
bantal dan di atas bantal ada sarung.”
Setelah setiap murid dipastikan paham akan semu-
anya, barulah dimulai penulisan. Tapi tidak boleh me-
nerjemahkan dalam bentuk kalimat. Hanya perkataan
saja. Cukup diberi kosa kata: vocabulary.
Seperti berikut:
‘Ala : di atas
Sarirun : Ranjang
Firasyun : Kasur
Wisadatun : Bantal
Khizarun : Sarung.
Negeriku di Atas Awan - 91

Sebelah kiri ditulis dengan bahasa Indonesia, dan


kanan ditulis dengan bahasa Arab.
Tapi yang paling membuat aku jatuh cinta, dan be-
tul-betul suka mata pelajaran tulisan indah yang disebut.
Khat.
Gurunya adalah Ustadz Arif, betul-betul ahli dalam
pelajaran ini. Menurut cerita dia memang sudah menjadi
expert semenjak di PM Gontor.
Guru yang satu ini, tidak jarang mendemonstrasi-
kan keahliannya dalam menulis kaligrafi. Dengan bera-
gam jenis khat, yang sangat-sangat indah nan menarik.
Eksotis.
Diawali dengan mengajarkan jenis tulisan yang pa-
ling sederhana.
“Ini khat naskhi43, yang digunakan dalam penulisan
Alqur’an pada umumnya, kita akan pelajari dasar-dasar-
nya dulu…” kata Ustadz Arif dengan gayanya yang khas.
Setelah itu, ia memulai penulisannya di atas papan
tulis.
“Jangan kaku…” katanya.
Beliau menulis seluruh huruf hijaiyah44, dari alif
sampai ya.
“Tulis semuanya sebagaimana contoh di atas papan
tulis!” Perintahnya.
“Pertemuan kali ini kita fokus mempelajari huruf-
-huruf tunggal. Huruf sambung hanya dapat dipelajari

43 Salah satu jenis tulisan dalam bahasa Arab. Berasal dari Turki, yang dipakai
dalam penulisan Mushaf Alqur’an dan kitab-kitab Arab pada umumnya.
44 Huruf-huruf dasar dalam Bahasa Arab.
92 - Ilham Kadir

jika huruf tunggal dianggap telah selesai dengan benar!”


Tegas Ustadz Arif.
Kami pun memulai penulisan dengan rasa suka, dan
menikmati. “Ini pelajaran yang sangat enjoy dan meng-
hibur…” pikirku.
Betapa tidak, pelajaran ini tidak memerlukan hafa-
lan, dan sejenisnya. Hanya memerlukan jiwa seni, sedikit
bakat, dan kesabaran. Itu saja.
Pintu 15
Darul Hijrah

P
ukul 10.00 pagi, para murid-murid KMI bubar,
selanjutnya giliran Kiai Said pula yang mengha-
dapi mereka. Sebagai muqri’, untuk mengecek
hafalan. Hinggal pukul 11.30. namun sering juga Kiai
Said memberikan pelajaran tambahan kepada para guru
di atas berupa pelajaran tulis-menulis aksara lontara
plus bahasa Bugis.
Caranya, Kiai Said menulis di papan tulis, selanjut-
nya beliau menerangkan sebagaimana biasanya seorang
guru mengajar para muridnya. Kemudian memberikan
tugas, memeriksa, mengoreksi, dan memberi nilai.
“Tata cara penulisan lontara, tidak jauh beda de-
ngan bahasa Inggris, lain tulisannya lain pula bacanya…”
seloroh Kiai Said.
Aku juga termasuk salah satu pelajar Kiai Said da-
lam pelajaran baca tulis lontara. Kendati pernah belajar
sewaktu di SD namun aku tidak begitu pandai, dan tidak
pula tertarik untuk belajar aksara yang aku anggap ru-
mit dan aneh ini.

93
94 - Ilham Kadir

Jadi bisa dikata, di pagi hari kami diajar oleh guru-


-guru KMI, namun beberapa saat kemudian kami terle-
bur menjadi sama-sama pelajar, di hadapan Kiai Said.
Setiap santri harus menghadapkan hafalannya pada
Kiai Said dengan berpasang-pasangan. Inilah yang dise-
but maddarasa’, mengulang hafalan yang telah disetor
di pagi hari bakda Subuh. Setiap santri minimal meng-
hadapkan dua halaman, kemudian di hadapan Kiai Said
dipecah menjadi dua; misalnya saja, saya membaca ha-
laman pertama, maka pasanganku yang membaca ha-
laman kedua. Namun aku harus tetap fokus menyimak
hafalan pasanganku, kalau-kalau tersangkut, salah, atau
lupa, maka akulah yang pertama harus membetulkan-
nya, jika kami berdua lupa, maka barulah diberitahu
oleh Kiai Said.
Dalam ruangan itu, maksudku di pagi hari, masih
seperti waktu tadi. Hanya kami bertiga santri yang ma-
sih kecil. Para santri kembali dilebur dalam satu ruang-
an, bercampur dengan guru-guru dari PM Gontor. Ten-
tulah tidak mungkin aku mengimbangi para guru-guru
itu, yang tiap hari bisa mangolo sampai lima halaman.
Ustadz Kubra misalnya, hanya memerlukan waktu dua
bulan untuk selesai 30 juz. Begitu pula dengan guru-guru
lainnya, semuanya menghafal dengan cepat, bagai kilat.
Sementara aku. Hanya dapat menyetor lima baris
dalam sehari. Butuh waktu minimal tiga hari untuk me-
nyelesaikan satu halaman.
Negeriku di Atas Awan - 95

Salah satu penunjang, kenapa para lulusan PM Gon-


tor itu cepat mengahafal, sebab mereka betul-betul su-
dah bagus bacaan Qur’annya plus tahu maknanya. Inilah
rahasianya.
Sering sekali aku jadi langganan sangsi dari Kiai
Said, terkena sangsi karena tidak mampu menghafal
sesuai target. Misalnya untuk menghadapkan hafalan
haruslah menghafal minimal dua halaman, sedang aku
tidak mampu. Paling juga bisanya satu halaman saja.
Akhirnya aku dihukum dengan cara disuruh berdiri di
dalam sebuah lingkaran yang telah dibuat di atas lantai
yang berpasir. Digores menggunakan tongkatnya. Tidak
bisa keluar, kalau sampai aku melanggar, maka akan di-
pukul menggunakan tongkatnya itu.
Tentang tongkat, Kiai Said memang tidak pernah
keluar dari rumah tanpa tongkat. Bahkan beliau terma-
suk kolektor tongkat. Beragam tongkat ada di rumahnya.
“Berdiri di dalam bulatan, jangan keluar..!” ancam
Kiai Said padaku.
Terasa kikuk dan malu juga. Di hadapan para san-
tri-santri senior, semua mata tertuju padaku, dengan
tersenyum, mungin meledek. Sepertinya begitu.
Tapi tidak tahu juga. Saat itu aku sama sekali, tidak
begitu perhatian, cuek aja.
Beberapa menit kemudian malah sudah melanggar
larangan Kiai Said untuk tidak keluar dari bulatan.
“Plak…” tongakat itu mengenai kakiku.
“Kan sudah saya bilang, jangan melintasi garis bu-
latan!”
96 - Ilham Kadir

Baru kusadari kalau aku melanggar setelah tongkat


itu mengenai betisku. Perih, tapi cuma sekejap. Ini ka-
dang berulang sampai dua atau tiga kali.
Pukul 11.55, Kiai Said bubar, para santri ikut ke
rumuahnya. Untuk selanjutnya makan siang. Yang telah
disiapkan oleh Bunda Hasanah, kerap pula aku tidak ikut
maddarasa’ sama Kiai Said karena terpaksa membantu
Bunda Hasanah di dapur menyediakan hidangan makan
siang untuk semua santri termasuk guru-guru KMI.
Selesai makan, para santri dan guru-guru KMI ber-
siap-siap melakukan salat Zuhur berjamaah, tetap di ru-
mah Kiai Said. Rumah multifungsi, masjid iya, asrama
juga iya, ruang makan juga iya. Benar-benar serba guna.
Tak ada duanya di dunia ini. Mungkin saja.
Bakda Asar. Kami diharuskan belajar lagi, kelas
ini disebut kelas mustawa’. Santri-santrinya berasal dari
para santri yang tinggal mukim di dalam pesantren na-
mun sekolah di luar, mulai dari SD hingga SMA plus
para anak-anak penduduk kampung Pitu-pitu, bahkan
ada juga yang datang dari kampung sebelah. Kelas ini
juga tidak membatasi jenis kelamin. Laki-laki maupun
wanita bisa masuk. Yang penting mau belajar. Itu saja
syaratnya.
Guru-gurunya tetap anak dari PM Gontor. Dan juga
beberapa guru yang sudah lulusan perguruan tinggi dan
juga ikut belajar di pagi hari.
Materi pelajaran untuk kelas mustawa’ jauh lebih
santai dan fun. Memang sengaja dikemas sedemikian
rupa, karena santrinya tidak jauh beda dengan Taman
Negeriku di Atas Awan - 97

Pendidikan Alqur’an (TPA) saat ini.


Karena peserta didiknya gabungan dari santri uta-
ma Majelisul Huffazh ditambah dengan putra-putri ma-
syarakat Pitu-pitu, membuat ruangan di kampus pondok
jadi sesak. Sehingga dipecah menjadi tiga ruangan. Satu
ruang untuk anak kelas SD, juga untuk siswa setingkat
SMP, dan satu ruangan lainnya untuk sekolah lanjutan
tingkat atas. Untuk tingkat atas dipecah lagi menjadi dua
kelas. Santri laki-laki di petang hari, dan wanita di ma-
lam hari, bakda Magrib.

Seiring bertambahnya jumlah santri, yang berda-


tangan ke Pondok Pesantren Majelisul Huffazh, baik itu
para santri-santri senior lulusan KMI PM Gontor, dan
juga santri yunior yang mondok sambil belajar di luar.
Didominasi oleh lulusan SD, SMP atau Tsanawiyah, dan
beberapa yang sekolah di SMA dan Aliyah. Kian hari
kian bertambah. Makin banyak. Maka Sebuah terobosan
kembali diambil oleh Kiai Said.
Para santri yang mondok di Majelisul Huffazh di-
haruskan untuk sekolah formal di KMI, dan segera ber-
henti di luar.
“Tidak boleh lagi ada yang sekolah formal di luar,
baik SMP, Tsanawiah, atau pun SMA dan Aliah…” Ucap
Kiai Said bakda Jumat di rumahnya.
Kebijakan ini ‘memaksa’ para santri untuk ber-
gabung dalam kelas KMI di pagi hari. Karena jumlah
santrinya tidak sedikit, mencapai tiga puluhan, maka di-
98 - Ilham Kadir

bukalah satu kelas tambahan yang disebut kelas darul


hijrah, pindahnya dari sekolah formal di luar ke dalam
pondok untuk mengikuti sistem KMI.
“Kelas ini kita namakan Darul Hijrah…” kata Us-
tadz Nasir pada kami.
Karena pertimbangan umur, maka kami turut di-
gabung bersama mereka dalam kelas baru ini. Dengan
itu, maka kelas pagi telah menjadi dua kelas. Yang lama
disebut Faslul Khas, kelas khusus yang di dalamnya ter-
masuk istri pimpinan. Bunda Hasanah.
Dalam kelas baru ini, aku seakan masuk dalam ik-
lim yang memang sesuai dengan habitatku. Cocok dan
sangat pas, berimbang. Bahkan dalam beberapa hal, aku
termasuk menonjol. Mungkin Karena sudah tiga bulan
belajar di KMI bersama kelompok Bunda Hasanah.
Masalah Bahasa Arab yang awalnya kuanggap ru-
mit, kini sudah kuatasi. Terutama perbedaan simbol-sim-
bol antara: hadza45, hadzihi46, dzalika47, tilka48, huwa49,
hiya50, lahu51, laha52. Dan seterusnya. Sudah kupahami
kalau ternyata dalam bahasa Arab itu ada istilah mud-
zzakkar dan mu’annas: simbol laki-laki dan perempuan.
Misalnya, penggunaan kata-kata untuk laki-laki itu
relatif sederhana, berbeda dengan perempuan. Tapi ada
kata kuncinya. Biasanya kalimat yang diakhiri dengan
45 Ini untuk mudzakkar (laki-laki).
46 Ini untuk muannas (perempuan).
47 Itu untuk mudzakkar.
48 Itu untuk muannas.
49 Dia untuk mudzakkar.
50 Dia untuk muannas.
51 Kepunyaannya untuk mudzakkar.
52 Kepunyaannya untuk muannas.
Negeriku di Atas Awan - 99

huruf ta’ marbutah53 identik dengan perempuan, selain


dari itu, hampir semuanya laki-laki. Dan ternyata keru-
mitan ini kelak kuketahui menjadi salah satu keistime-
waan Bahasa Arab.
Perjalanan kelas KMI Darul Hijrah kelak menjadi
cikal bakal KMI yang sesungguhnya di pondok pesantren
ini. Embrio.
Pada awalnya kelas ini juga sama waktunya dengan
kelas khusus. Masuk jam 8.00 pagi, keluar kelas jam
10.00, untuk selanjutnya mengikuti kelas tasmi’ Kiai Said.
Namun dari segi materi pelajarannya banyak yang
berbeda, ada beberapa tambahan, seperti matematika
dasar dan hadis. Pemberian kosa kata juga makin in-
tensif. Termasuk tata cara meletakkan satu perkataan
dalam banyak kalimat. Pekerjaan rumah juga rutin di-
bebankan pada kami. Hampir tiap hari. Seakan setiap
guru berlomba memberi kami PR. Ini berlangsung tidak
kurang dari satu tahun. Hingga perubahan, demi peru-
bahan muncul, seakan Majelisul Huffazh sedang berme-
tamorfosis.

53 Dalam aksara Arab, terdapat dua huruf ta’ satu disebut ta’ maftuhah (terbuka)
satu lagi ta’ marbuthoh (tersimpul, bulat).
100 - Ilham Kadir
Pintu 16
A Gift

K
alau ada kompetisi mengenai siapa orang ter-
sibuk di dunia? Maka kandidat yang akan aku
ajukan adalah Bunda Hasanah, dialah yang tepat
untuk mengisi kompetisi itu. Dan dia bakal menang aku
yakin sekali itu. Yakin seyakin-yakinnya.
Bahkan wanita ini, belum pernah kusaksikan se-
dang berleha-leha, santai-santai, tertidur, atau ketidur-
an. Sama sekali tidak. Yang dapat kupastikan. Aku tidur
sebelum dia tidur untuk istirahat, dan bangun sebelum
aku dibangungkan oleh beliau sendiri. Bunda Hasanah
yang bangunkan kami semua. Kami, semua para santri
tinggal serumah dengannya.
Selain jadi muqri’, menjadi murid KMI, menyedi-
akan makanan untuk seluruh santri Majelisul Huffazh
baik senior maupun junior, menjadi guru ngaji para san-
tri yang masih SD dan warga sekitar, Bunda Hasanah
juga tidak jarang kedatangan tamu. Seluruh tamu-tamu
perempuan pastinya bertemu dengan beliau, tak kenal
waktu. Tak berjadwal.

101
102 - Ilham Kadir

Menurutku, ada sedikit jeda waktu buat Bunda un-


tuk istirahat, antara waktu Zuhur dan Asar, soalnya se-
menjak bangun jam 04.00 pagi beliau sudah sibuk, mulai
dari membangunkan para santri dari tidurnya, salat Su-
buh berjamaah, jadi muqri’, ikut kelas KMI, pulang me-
masak, sampai Zuhur. Namun pada jeda antara waktu
Zuhur dan Asar itu digunakan lagi untuk mengajar para
santri yang sekolah di SD, mayoritas mereka masih ber-
umur di bawah sepuluh tahun. Bunda Hasanah mengajar
baca tulis Alqu’an dengan menggunakan bahasa Bugis.
Contohnya: alefu54 riase’na55 A, alefu riawana56 I, alefu
dapenna57 U. “A.I.U” lebih dari itu, Bunda Hasanah sudah
mengajar baca tulis Alqur’an dua tahun sebelum Pondok
Majelisul Huffazh resmi dibuka. Dan murid mengajinya
sudah ada yang hafal empat juz saat pondok belum resmi
di buka pada 7 Agustus 1975.
Di waktu petang, bakda Asar, Bunda Hasanah sudah
terlalu sibuk, memasak di dapur untuk persiapan makan
malam usai salat Magrib. Sedang bakda Isya digunakan
untuk kembali menjadi muqri’ bagi para santri yang
ingin mengulang hafalan.
“Bunda sudah dua tahun mengajar di Pitu-pitu se-
belum pondok Majelisul Huffazh resmi berdiri…” begitu
kata Ustadz Abrar mengenai ibunya itu.
Ustadz Abrar merupakan anak semata wayang pa-
sangan Kiai Said dan Bunda Hasanah. Wajahnya mirip
54 Bahasa Bugis berarti “Huruf Alif”.
55 Baris atas, “Dhammah”.
56 Baris bawah “Kasrah”.
57 Fathah.
Negeriku di Atas Awan - 103

ayahnya di masa mudanya, sebagaimana aku lihat pada


foto Kiai Said masa mudanya. Kulitnya putih, suaranya
sangat bagus, dia sepertinya mewarisi suara ibunya. Us-
tadz Abrar sudah selesai menghafal 30 juz di kala baru
berusia 7 tahun. Termasuk anak ajaib di Indonesia pada
zamannya.
Dia melanjutkan pendidikan di PM Gontor setamat
dari SD, selesai belajar, dia mengabdi sambil kuliah di
ISID Gontor, hingga selesai di sana. Di Gontor, Ustadz
Abrar menjadi kepercayaan Pimpinan PM Gontor. Ta-
ngan kanan KH. Zarkasyi saat itu, beliau yang bertang-
gungjawab atas seluruh keuangan dan adminstrasi santri.
Saat KMI baru buka di Majelisul Hiffazh, beliau sedang
menempuh studi di Universitas Islam Madinah, Saudi
Arabia.
Perpaduan antara Kiai Said dengan Bunda Hasanah
yang melahirkan sosok generasi seperti Ustadz Abrar.
Generasi Qur’ani.
“Dia akan mewarisi ayahnya…” kata Bunda Hasa-
nah pada kami mengenai putranya itu.
Yang paling membuat aku tertarik pada sosok Us-
tadz Abrar, gaya hidupnya yang sangat sederhana, apa
adanya, sangat rendah hati, tidak banyak bicara, jalan-
nya selalu melihat kebumi, merunduk bagai padi yang
berisi padat. Bibirnya tidak pernah berhenti berzikir de-
ngan ayat-ayat Alqur’an. Senyumnya yang khas. Jika ia
jadi imam, kita akan terpukau dibuat oleh suaranya yang
indah dengan bacaan yang sempurna. Tidak pernah pe-
104 - Ilham Kadir

nat berdiri walau itu bacaanya dalam salat jahar begitu


panjang. Bacaan yang sempurna dari lelaki ahli Qur’an.
Usut punya usut, ternyata guru-guru lulusan PM
Gontor berdatangan ke Majelisul Hiffazh tanpa dimin-
ta itu karena mereka semua pada awalnya para murid-
-murid Ustadz Abrar ketika mengabdi di Gontor. Di
Gontor sendiri Ustadz Abrar sangat masyhur. Bahkan
ada yang berpendapat kalau pemuda ini memiliki karu-
nia dan kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
Kisahnya, suatu saat pernah terjadi kebakaran di
PM Gontor. Kebakaran terbesar yang pernah melanda
pondok modern ini, tempat asal api menjalar tepat pada
bangunan di mana Ustadz Abrar tinggal, ada yang me-
ngatakan persis di dalam kamarnya. Di saat itu, sudah
tidak ada jalan keluar, api sudah mengepung dari empat
arah mata angin. Semua sudah terbakar. No way out. Be-
gitulah kira-kira.
Di luar nalar, unlogical. Ustadz Abrar bisa melolos-
kan diri dari maut akibat amuk si jago merah. Caranya,
beliau melompat dari jendela yang mirip kerangkeng itu.
Besi sebesar jempol jari kaki dapat dibengkokkan untuk
bisa keluar dari jendela. Tidak masuk akal. Tapi itulah
faktanya.
Di lain waktu. Ketika Ustadz Abrar menumpang
bus, jurusan Makassar-Bone, bus yang ditumpanginya
oleng dan terbalik. Seluruh penumpang meregang nyawa
bahkan meninggal dunia, kecuali Ustadz Abrar sendiri.
Selamat dari musibah itu, tanpa lecet sedikit pun. Kebtu-
lan? Aku rasa tidak!
Negeriku di Atas Awan - 105

“Saya banyak belajar dari ayah dan ibu…” begitu


kata Ustadz Abrar padaku.
Perpaduan antara Ayah, Ibu, dan Anak inilah yang
makin hari Pondok Majelisul Hiffazh makin mengalami
kemajuan. Para guru-guru KMI dari PM Gontor tak
henti-hentinya berdatangan.
Mereka merasa beruntung karena di samping
mengabdi juga dapat berguru pada Kiai Said.
Berguru di sini, memiliki arti yang luas. Mulai dari
kesederhanaan sang Kiai. Hidup apa adanya, tidak neko-
-neko, dan yang terpenting ilmu ikhlas dan tawakkal.
Ibadahnya juga begitu. Tidak berlebih-lebihan, apa ada-
nya. Yang penting sesuai tuntunan Alqur’an dan Sunnah
Nabi yang pernah dicontohkan, dan dipraktikkan oleh
para sahabat sebagai generasi terbaik dan murid lang-
sung Rasulullah .

Menceritakan sosok Kiai Said, susah untuk digam-


barkan. Kiai yang kharsmatik ini merupakan sosok ula-
ma yang sederhana, pendidik yang agung, mukhlis, tidak
pernah mendahulukan kepentingan pribadi daripada
kepentingan umat. Beliau betul-betul berbuat karena
mengharap ridha Allah.
“Saya tidak pernah dan tidak akan mendahulukan
kepentingan keluarga daripada kepentingan pondok…”
ucapnya di hadapan santri ketika mengadakan peresmi-
an santri di rumahnya bakda Jumat.
106 - Ilham Kadir

Contoh yang sangat sederhana saja. Soal makan.


Beliau tidak pernah sekalipun makan dengan gaya solo
alias sendirian. Beliau hanya makan jika para santri-san-
trinya juga ikut makan. Apa yang dimakan oleh santri
itu jugalah yang dimakan oleh beliau. Persis. Tidak ada
bedanya. Seorang pimpinan makan bersama dengan ba-
wahannya. Itulah faktanya.
Bisa juga dibandingkan dengan pondok lain, apa-
kah ada seorang pimpinan pondok yang memiliki santri
hingga ratusan, namun Kiainya tetap makan bersama
mereka?
Pernah, suatu saat, aku menyaksikan seorang tamu
berbangsa Sinegal berkulit hitam legam bertamu ke
pondok. Tamu ini seakan tidak percaya, jika seorang
pimpinan makan berjamaah dengan para santrinya. Sang
tamu tak tahan menahan haru, akhirnya air mata jatuh
berderai di pipinya.
Sering terjadi di pondok. Ketika santri kehabisan
nasi misalnya, karena salah memprediksi jumlah takar-
an ketika masak, atau secara tiba-tiba datang tamu de-
ngan jumlah yang banyak, sehingga makanan untuk san-
tri tidak cukup. Maka makanan yang pada awalnya jatah
Kiai Said terpaksa dialihkan kepada santri yang belum
makan, akhirnya memaksanya untuk menunggu hingga
nasi kembali masak barulah beliau makan dengan para
santri yang juga belum makan.
Masalah makan berjamaah, rupanya Kiai Said telah
bermula ketika masih mondok di Madrasah Arabiyah
Negeriku di Atas Awan - 107

Islamiyah Sengkang, di bawah asuhan KH. Muhammad


As’ad Al-Bugisi.
Kalau ia lapar dan ingin makan, selalu mengajak
teman-temannya, tidak mau makan jika beliau sendiri-
an. Bahkan di malam hari, jika beliau lapar dan harus
makan, terlebih dahulu membangunkan temannya agar
bisa makan bersama.
Itu artinya sedari dini. Kiai Said telah membuang
egonya sejauh mungkin, agar kelak selalu dapat berbagi
dan berbuat baik sebanyak mungkin pada orang banyak.
Dari makananlah seorang teman, keluarga, handai
taulan, tetangga, dan siapa saja dapat diukur sejauh mana
kedermawanannya, keikhlasannya, kemurahannya, ke-
setiaannya pada kawan. Serta beragam sisi lainnya yang
bisa dinilai. Aku percaya itu.
Dan tidak sedikit yang merasa heran melihat so-
sok Kiai Said. Betapa tidak, semenjak pondok Majelisul
Huffazh berdiri, tidak pernah barang sekalipun meminta
bayaran kepada santrinya, juga tidak pernah minta-min-
ta kepada siapa saja termasuk pemerintah, apalagi lewat
celengan, kotak amal, dan senenisnya. Juga tidak ada do-
nator tetap. Ini betul-betul karunia Allah buat Kiai Said
dan para santri di pondok ini. A Gift.
108 - Ilham Kadir
Pintu 17
Sang Algojo

R
utinitas harian Kiai Said selama 24 jam, pada
dasarnya tidak ada yang begitu istimewa. Ke-
lihatannya biasa-biasa saja. Terlihat santai. Tapi
itu bagi kami. Adapun orang luar pasti ceritanya beda,
dan akan menilai sosok Kiai yang kelihatan sarungan ini
memiliki keistimewaan.
Memiliki dua istri pada waktu yang bersamaan alias
poligami. Itulah sosok Kiai Said. Beliau dengan sekuat
tenaga membagi jatah dengan seadil-adilnya kepada ke-
dua istrinya. Nafkah lahir batin, waktu, dan sebagainya.
Dengan cara, menggilir waktu untuk kedua istrinya.
Rumahnya ada dua. Sebelah selatan yang dihuni
oleh Ibunda Munirah dan sebelah utara oleh Ibunda Ha-
sanah, tempat kami tinggal.
Sehari di utara sehari di sebelah selatan.
Jika beliau menginap di tempat kami tinggal, sebe-
lah utara tepatnya di rumah Bunda Hasanah, beliaulah
yang memimpin salat berjamaah, lima waktu.
Kiai Said juga memiliki komunitas tersendiri, me-
reka biasa juga disebut anshar ma’had, mungkin dikata-

109
110 - Ilham Kadir

kan demikian karena orang-orang inilah yang juga tidak


sedikit jasanya pada pondok, jika ada keperluan atau apa
saja yang bersifat mendadak biasanya merekalah yang
memberikan solusi berupa bantuan pemikiran atau pun
materi. Mereka-mereka ini merupakan orang terdekat
pada Kiai Said. Setiap bakda shalat selalu bersama Kiai
Said, berdiskusi, sambil munim teh. Terutama bakda Su-
buh, mereka tidak pernah terlewatkan, minum teh dan
mencicipi beberapa kue khas Bugis. Sebelum menerima
hafalan (mappangngolo) bagi guru-guru KMI.
Sedikitnya ada tujuh orang yang selalu bersama Kiai
Said. Namun di antara mereka ada satu orang yang betul-
-betul teman setia, dan tergolong masih keluarga dekat. Di-
alah Andi Ahmad Ali. Yang sering juga disebut “Puang Ali”.
Puang Ali dengan Kiai Said, memang bukan saja seka-
dar teman, tapi sudah satu ide dan satu perjuangan. Di kala
pondok baru mulai berdiri, maka anaknyalah yang per-
tamakali tercatat masuk sebagai murid perdana di antara
tujuh santri perdana, ada dua putra Puang Ali, bahkan ada
tiga, tetapi setelah diseleksi dan diadakan semacam uji ke-
layakan. Fit and proper test ternyata yang lulus hanya dua
orang. Ujiannya cukup sederhana, para calon santri harus
menghafal satu juz dalam satu bulan. Dan di antara mereka
yang tereleminasi salah satu dari tiga putra Puang Ali.
Puang Ali, semenjak zaman DI/TII sudah terlalu de-
kat dengan Kiai Said, jika tugas Kiai Said menjatuhkan
vonis hukuman kepada mereka yang bersalah atau me-
langgar syariat. Maka tanggungjawab Puang Ali menja-
di eksekutor. Konon sudah tak terhitung berapa tangan
Negeriku di Atas Awan - 111

yang telah dipotong oleh Puang Ali, dan juga berapa ke-
pala yang sudah dipancung, tak terkira pula berapa lela-
ki atau pun wanita yang telah beliau dera. Banar-benar
eksekutor berdarah dingin!
Postur tubuhnya jangkung, di atas 180 cm, kelihat-
an kurus, agak bungkuk karena faktor usia yang sedikit
lebih muda dua tahun dari Kiai Said. Kelopak matanya
cekung dan biji matanya merah. Suaranya lantang. Ram-
butnya kriting, warna kulitnya hitam.
Dua tahun pertama aku di Pondok Majelisul Huf-
fazh, masih tetap pusat kendali dipegang oleh Kiai Said
dan istrinya, termasuk urusan perizinan dan sebagainya.
Namun Kiai Said dan Bunda Hasanah tentunya tidak
menjadi eksekutor pada para santri yang melanggar tata
tertib. Dalam hal ini yang menjadi bagian pengasuhan
adalah Puang Ali. Yang telah kuceritakan ciri-cirinya.
Menyebutkan namanya saja, kadang membuat jan-
tung berdetak kencang seakan mau copot, apa lagi ber-
temu dengannya. Dia jugalah yang tidak jarang mem-
bangunkan para santri dari tidurnya setiap menjelang
Subuh, dan memastikan agar tidak ada santri yang terti-
dur atau ngantuk saat waktu menghafal. Terbukti ampuh
sebagai bagian pengasuhan, begitu dia bersuara, para
santri bangun dengan sigap, suaranya menggelegar bak
guruh. Dan terpaksa menahan kantuk. Jika ternyata ma-
sih saja ada yang mengantuk, maka telinganya akan dije-
wer hingga seakan hendak copot.
Dan memang tidak tanggung-tanggung dalam mem-
berikan sangsi kepada santri yang kedapatan bersalah,
112 - Ilham Kadir

tak kenal kompromi, jika dia memukul maka dengan


sengenap tenaga, dan raga. Untuk itulah tidak ada satu
pun santri yang berani menampakkan pelanggarannya.
Aku pernah bersebelahan dengannya pada waktu
salat berjamaah, betul-betul aku tidak bisa khusyuk, ta-
kut, keringat dingin membasahi seluruh badanku, seku-
jur tubuhku terasa diserang demam. Bahkan ketika salat
sunnah rawatib, karena rasa takut yang menghantui di-
riku disebabkan adanya Puang Ali di sampingku, tidak
sadar kalau dalam salatku itu, tidak teringat akan ruku
dan langsung sujud.
Itu semua terjadi karena imej yang dibangun oleh
para santri senior tentang Puang Ali begitu seram.
“Hati-hati, jangan sampai ketahuan Puang Ali” be-
gitu kata Kak Sabir kalau kami sedang main kelereng,
beliau menjadi pelindungku. Main kelerang di pondok
adalah satu pelanggaran yang dapat menjadikan Puang
Ali murka pada pelakunya. Tapi aku dengan Basri, Amin,
dan Rasydin sudah menjadikan permainan ini sebagai ri-
tual rutin. Walau tidak begitu lama, hanya sekadar men-
curi kesempatan di saat-saat istirahat. Waktu istirahat di
siang hari yang memang sebaiknya kami harus istirahat
agar bisa kembali segar menghafal di sore dan malam
hari. Tapi begitulah kalau anak-anak.
Sebenarnya Puang Ali orangnya tidaklah seseram
yang kami gambarkan, bahkan sarana utama pondok
Pitu-pitu, seperti rumah, lokal belajar yang berada per-
sis di samping rumahnya semuanya dibangun oleh sang
eksekutor. Beliau sendiri sebagai kepala tukang, diban-
Negeriku di Atas Awan - 113

tu oleh para santri-santri. Dan yang terpenting ia be-


kerja tanpa bergaji, betul-betul karena ikhlas dan hanya
mengharap ridha Allah.
Jadi sumbangannya kepada pondok tidaklah sedikit.
Sangat besar.
Tidak jarang pula, Kiai Said datang ke rumah Puang
Ali. Tempat ini, rumah ketiga Pak Kiai setelah kedua ru-
mah istrinya. Rumah ini juga menjadi saksi kepada para
santri yang datang nonton bareng bersama Kiai Said jika
ada acara spesial, yaitu tinju. Kiai Said paling hobi non-
ton perlombaan tinju. Yang saat itu lagi buming-buming-
nya keperkasaan Si Leher Beton alias Mike Tyson. Begitu
ada jadwal tinju, maka para santri diajak ke rumah Pu-
ang Ali menonton perlombaan olah raga mematikan ini
di depan televisi berwarna ukuran sembilan-belas inci.
Maklumlah, di rumah Bunda Hasanah, jangankan
televisi, radio pun tak ada. Kecuali di rumah selatan,
tempat Bunda Munirah, jauh lebih lengkap.
Tapi ada yang lain. Kalau teman-teman pada
khusyuk sekhusyuk-khusyuknya dalam menyaksikan
perlombaan, melebihi dalam salat. Maka aku lain pula.
Aku perhatikan tangan Kiai Said, aku lihat kalau Tyson
sedang melayangkan pukulan ke lawannya, maka tangan
Kiai Said yang sudah dari tadi terkepal itu juga berge-
rak-gerak seakan-akan ingin melayangkan pukulan.
“Eh… lihat itu tangan Kiai Said, kalau Tyson mela-
yangkan pukulan tangannya juga ikut bergerak,” kataku
kepada Amin.
114 - Ilham Kadir

“Ssst… Ssst… diam, iya, dari tadi juga aku perhati-


kan, sepertinya dia mendukung Tyson.”
“Aku juga pikir begitu.”
Namun sayang, karena pada akhir ronde, Mike Ty-
son terkapar dan knoct out oleh James ‘Buster’ Dauglas
tepat pada ronde kesepuluh. Tyson pun terkapar dengan
seorang penantang yang tidak terkenal.
“Apa kataku, kalau Mike Tyson dalam bertinju me-
lewati ronde ketujuh, pasti kalah,” kata Puang Ali pada
Kiai Said.
“Tenaganya kuat, tapi taktiknya kurang,” jawab Kiai
Said seakan memberi saran pada jagoannya kalau tinju
itu bukan sekadar kekuatan, dibutuhkan juga taktik yang
jitu.
Selesai menonton, kami semua bubar, karena jarum
jam menunjukkan pukul 11. 45. Maka kami pun bergegas
ke dapur. Makan siang, dan siap-siap salat Zuhur.
Puang Ali juga menjadi tukang pangkas rambut se-
umur hidup Kiai Said. Dialah satu-satunya. Tidak ada
duanya.
Puang Ali memang orangtua yang luar biasa, selain
memiliki keahlian dalam bertukang, bertani, kerja em-
pang, tukang cukur, dia juga sebagai pengasuhan santri
yang sangat menakutkan dan ditakuti.
Kata teman-teman, “Dialah Sang Ali Gojo,” mak-
sudnya, Sang Algojo. Eksekutor!
Pintu 18
Preman Tengik Kelas Teri

S
ejak awal berdirinya Pondok Majelisul Huffazh,
semenjak itu pula pondok mengalami hambatan
dari pihak pemerintah. Bahkan sebenarnya pada
awal pendiriannya, pondok ini disepakati dengan meng-
gunakan nama ‘Pondok Pesantren Darul Ulum’, namun
karena dihalangi oleh pihak pemerintah maka Kiai Said
memilih nama Majlisul Huffazh saja, jadi kedengarannya
lebih sederhana dan familiar. Tidak jauh beda dengan
majelis taklim. Yang sering dikoordinir para ibu-ibu.
Hal yang membuat pemerintah selalu paranoid pada
Kiai Said disebabkan oleh masa lalunya sebagai pentolan
DI/TII plus cara ibadahnya yang dianggap berseberang-
an dengan masyarakat setempat pada umumya. Kiai Said
tidak berpegang pada salah satu mazhab tertentu alias
pelopor kemerdekaan dalam bermazhab di Tanah Bugis.
Kalau masalah masa lalunya yang pernah menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Agung DI/TII tentu tidaklah
begitu masalah, karena semenjak tertembak dan ma-
ninggalnya Qahhar Muzakkar selaku panglima tertinggi
pada tahun 1965, maka seluruh anggotanya diberi am-

115
116 - Ilham Kadir

punan oleh pemerintah secara utuh. Tapi hal yang mem-


buat pemerintah setempat berang karena cara ibadah-
nya yang tidak umum. Inilah yang menjadi faktor utama,
sehingga pemerintah setempat sering mencari-cari ke-
salahan, dan hal yang paling mudah untuk menjegal Kiai
Said, mengungkap kembali masa lalunya di masa DI/TII.
Sebenarnya tidak sedikit teman-teman Kiai Said
yang menjadi patner pemerintah sehingga menjadi ula-
ma yang berpengaruh, seperti, KH. Abdurrahman Ambo
Dalle, KH. Junaid Sulaiman, dan KH. Huzaifah. Bahkan
Kiai Junaid pernah bersama Kiai Said di DI/TII dan juga
menduduki jabatan strategis, beliau juga mendirikan
pondok pesantren di kota Bone. Dan menjadi patner se-
jati pemerintah daerah Kabupaten Bone. Ulama ini ber-
mazhab Syafi’i tulen.
“Bergabunglah bersama kami,” begitu ajak KH. Ju-
naid suatu ketika pada Kiai Said.
“Ah… tidak usah, biar saya di sini saja mengajar
mengaji, saya tidak usah menjadi ulama pemerintah.
Kita sama-sama berjuang mencerdaskan umat dengan
jalan yang berbeda tapi satu tujuan,” begitu jawaban Kiai
Said dalam menyambut ajakan mantan rekannya di di
DI/TII itu.
Kiai Said memang tidak mau ikut dalam barisan
ulama pemerintah, di samping beliau tidak ingin meru-
bah tata cara ibadahnya yang tidak berafiliasi kepada
mazhab tertentu, juga memang beliau sama sekali tidak
pernah punya keinginan menjadi ulama pemerintah.
Negeriku di Atas Awan - 117

“Ulama itu ada tiga,” ujarnya sambil mengacungkan


jari-jarinya pada suatu waktu.
“Dua penghuni neraka yang disebut ulama su’, dan
satu penghuni surga yang disebuat warasatul ambiya’,
pewaris para nabi.” tambahnya lagi pada kami semua.
Jadi wajar saja jika Kiai Said selalu dicari-cari ke-
salahannya, dan ini berimbas kepada pondok. Betapa
tidak, dalam setiap ceramahnya sama sekali tak kenal
kompromi, tidak mau peduli, siapa saja di depannya, pe-
merintah, rakyat biasa, sama saja. Kebenaran harus di-
sampaikan. Apa pun itu resikonya.
Pernah dipanggil oleh para pegawai pemerintahan
agar memberikan ceramah di hadapan mereka. Namun
diminta agar tidak menyinggung masalah keharaman
bunga bank. Maklumlah saat itu, bunga bank belum ada
fatwanya. Belum ada keputusan dari MUI antara haram
atau sebaliknya.
Ternyata di luar dugaan, Kiai Said malah mengu-
pas tuntas bunga bank, secara detail dan gamblang, yang
memiliki kesimpulan bahwa bunga bank konvensioanal
itu haram.
Begitulah gaya Kiai Said menyampaikan kebenar-
an dalam dakwahnya. Sehingga membuat dirinya tidak
laku dan tidak pula familiar di tengah masyarakat pada
umumnya. Kendati semua sepakat kalau keilmuan Kiai
Said di daerah Bone ini, tidak ada duanya.

118 - Ilham Kadir

Semenjak dibukanya sistem KMI di pondok Majeli-


sul Hiffazh oleh Ustadz Nasir dan kawan-kawan, santri
kian hari kian bertambah saja, terutama mereka yang
tinggal di sekitar pondok, kampung Pitu-pitu, yang ingin
datang belajar di waktu petang, kelas mustawa’.
Lebih khusus lagi para anak-anak Sekolah Mene-
ngah Atas, yang nota bene-nya para gadis Anak Baru
Gede (ABG). Usut punya usut ternyata kedatangan mere-
ka belajar, bukan hanya karena ketertarikannya kepada
ilmu-ilmu agama, tapi melebihi itu semua. Seakan ada
medan magnet di sana. Mereka, para guru-guru KMI lu-
lusan PM Gontor itu. Merekalah daya tarik utamanya.
Harus diakui memang, kalau mereka ini menjadi
idola masyarakat kampung. Sangat masuk akal.
Ustadz Nasir misalnya, dengan postur tubuh yang
tinggi tegap, berbadan atletis, hidung macung, warna ku-
lit putih, dan jago main bola, “Sebelum saya masuk ke
PM Gontor kerjaan saya adalah main bola dari satu sta-
dion ke lain satdion di Jakarta,” begitu pengakuannnya,
dan memang benar adanya. Dan dia memang orang Ja-
karta. Ustadz Kubra, lain lagi, dengan badan agak tinggi,
kulit bening, dan beratnya yang proporsional, wajah tan-
pan, plus ahli main bola volley. Lain lagi dengan Ustadz
Alwi, walaupun dia orang Bugis, tapi badan dan wajahnya
tidak kelihatan Bugisnya, beda dengan rata-rata orang
Bugis pada umumya yang bermuka datar dan berwar-
na gelap khususnya orang Pitu-pitu. Tinggi dan berkulit
cerah, cakap main bulu tangkis. Juga demikian dengan
Negeriku di Atas Awan - 119

Ustadz Arif, Ustadz Faiz, dan Rusydi. Mereka sebagai


pribadi-pribadi muda yang memiliki beragam keahli-
an yang memang dengan sendirinya menjadi daya tarik
para gadis-gadis setempat.
Ternyata di balik itu semua, para pemuda Pitu-pitu
dengan sendirinya merasa tersaingi oleh guru-guru lu-
lusan PM Gontor ini. sehingga mereka merasa disisihkan
oleh gadis-gadis ABG Pitu-pitu. Dicuekin, tidak dipeduli-
kan lagi, dan lebih daripada itu semua, guru-guru muda
ini menjadi headlines news di mana-mana. Di sumur tem-
pat mereka mandi bersama, di sekolah, di masjid, di la-
pak-lapak, warung-warung kopi, tempat-tempat belanja,
hingga di atas pete’-pete’.
Inilah semua yang menimbulkan angkara murka
para pemuda setempat. Mereka marah semarah-mara-
nya pada guru-guru asing itu, yang mereka sebut orang-
-orang Jawa. Tau Jawa.
Mereka memulai aksinya. Yang intinya, bagaimana
agar orang-orang Jawa meninggalkan kampung Pitu-
-pitu secepat mungkin, “Lebih cepa’ lebih baik.” begitu
bahasa mereka.
“Bisa tidak dapat gadis kita, kalau orang-orang Jawa
itu tidak meninggalkan kampung ini,” begitu kata salah
seorang dari mereka yang bernama Burhan, orang-
-orang memanggilnya Bure’.
Di lain pihak para ustadz-ustadz yang ganteng-gan-
teng ini, berusaha agar tampil jelek. Caranya. Mereka
mencukur rambutnya sampai berkepala plontos, dengan
120 - Ilham Kadir

harapan mereka kelihatan jelek di hadapan gadis-gadis


ABG di kampung Pitu-pitu. Lagi pula mereka ke sini me-
mang bukan datang mencari pacar atau jodoh, tapi untuk
menghafal Alqur’an dan mengajar.
“Kita kesini untuk menghafal Alqur’an dan meng-
abdi, jangan sampai konsentrasi kita pecah hanya karena
wanita.” Begitu kata Ustadz Nasir pada teman-temanya
yang lain.
Tapi karena dari sononya memang tampan, dan ter-
kenal dari Jakarta, tetap saja ABG di Pitu-pitu menjadi-
kan mereka sebagai guruku idolaku.
Sebenarnya, para pemuda Pitu-pitu yang sentimen
sama guru-guru ini, bukan saja karena merasa disaingi
tetapi juga karena merasa kampungnya dimasuki oleh
suku yang asing bagi mereka.
Di kampung ini, juga di daerah Bone bahkan Su-
lawesi umumnya, suku Jawa dicap sebagai suku penin-
das, persis persepsi orang Aceh kala itu. Merekalah yang
menjadikan negera kita miskin. Merekalah yang menik-
mati kemerdekaan. Begitulah cara berpikir mayoritas
orang Bugis saat itu. Fanatik kesukuannya sangat kental.
“Iyya eddi tawu jawae pare-are maneng, ini orang-
-orang Jawa kurang ajar semuanya!” kata salah seorang
pemuda di depan guru-guru sewaktu mandi di Sumur
Atas, dikiranya bahwa semua guru-guru berasal dari
satu suku, Jawa.
Beberapakali Ustadz Nasir diajak berantem, dan Us-
tadz Nasir dengan postur tubuhnya yang atletis dan juga
masih berdarah Bugis 100% menerima tawaran beradu
Negeriku di Atas Awan - 121

jotos dengan sepenuh hati. Para pemuda ini tidak tahu


kalau di antara para guru-guru itu ada dua orang Bugis.
Ustadz Nasir dengan Ustaz Alwi. Ustadz Nasir walaupun
berasal dari Jakarta namun kakek dan saudaranya ber-
asal dari Kecamatan Tonra, tidak begitu jauh dari Pitu-
-pitu, hanya butuh waktu tiga puluh menit naik kenda-
raan. Adapun Ustadz Alwi beliau berasal dari Makassar
namun keturunan dari Bugis Wajo. Sebenarnya yang be-
tul-betul Jawa tulen cuma Ustadz Kubra seorang. Ustadz
Arif juga bukan orang Jawa, dia belasteran Betawi-Aceh,
Ustadz Faiz seratus persen Betawi asli, sedangkan Ustadz
Rusydi merupakan putera asli Banten.
Para preman kampung itu berapa kali ingin berke-
lahi dengan guru-guru tapi tidak pernah juga terlaksa-
na. Gertak sambal doang! Apalagi setelah Ustadz Nasir
menjadi tim inti klub sepak bola di Kecamatan Kajuara,
yang membawahi kampung Pitu-pitu. Juga para guru-
-guru lain yang sering keluar berlomba mengharumkan
nama kecamatan Kajuara dari berbagai segi. Mulai dari
Musabaqah Tilawatil Qur’an hingga perlombaan kali-
grafi. Bahkan Ustadz Arif pernah mewakili Sulsel dalam
perlombaan kalifgrafi dalam skala nasional.
Tapi semua itu belum membuka hati pemerintah
untuk merestui keberadaan pondok Majelisul Huffazh
dengan sepenuh hati. Tetap saja masih berlawanan. Ti-
dak akur.
Yang mulai akur, para preman kampung yang kian
hari kian mengakui eksistensi para guru-guru yang gan-
teng dan memiliki multi talenta tersebut.
122 - Ilham Kadir
Pintu 19
Anjing Menggonggong
Kafilah Berlalu

S
ore itu, sebuah papan bertuliskan, Yayasan Pendi-
dikan Islam Pondok Pesantren Majelisul Huffazh,
Pitu-pitu Kajuara Bone. Berukuran 50 x 100 cm.
dengan background warna hijau daun, tulisannya meng-
gunakan warna putih, didahului dengan lafaz “Bismilla-
hirrahmanirrahim” di bawahnya juga bertuliskan kode
dan nomor akta notaris.
Tulisannya sangat jelas dan indah, ditulis dari ta-
ngan terampil dan ahli dibidangnya. Ustadz Arif.
Papan itu digotong dan digantung ramai-ramai oleh
para santri dan guru, di antara dua tiang yang sudah
dipancang lebih dulu. Persis di depan kampus, pinggir
jalan poros Bone-Sinjai. Siapa pun menoleh kearah kam-
pus, akan menangkap mata tulisan yang terpampang itu.
Ternyata tulisan itulah yang menimbulkan masalah
besar di pondok ini. Pemerintah yang diketuai Pak Ca-
mat dan konco-konconya. Kapolsek dan Koramil, semu-
anya muntab, marah semarah-marahnya. Melebihi ma-
rahnya Fi’aun kepada Musa yang mendakwahinya.

123
124 - Ilham Kadir

Maka dipanggillah Ustaz Nasir melalui Sekertaris


Desa untuk menghadap Pak Camat.
“Kalian telah melanggar di sini, mendirikan lemba-
ga pendidikan tanpa seizin kami, saya perintahkan segera
agar signboard yang digantung depan pondok diturunkan
dengan segera, dan sekolah ditutup!” hardik Pak Camat
didampingi Kapolsek dan Koramil kepada Ustadz Nasir,
dengan nada tinggi diiringi semangat yang membara.
“Baik Pak, kami akan segera turunkan.” Jawab Us-
tadz Nasir datar.
Tapi suasana di kantor camat saat itu seakan men-
cekam, para aparat pemerintah setempat mulai dari RT,
RW, Kepala Desa, hingga jajaran pemerintah semuanya
sudah tahu, kalau Pak Camat sangat murka kepada Kiai
Said dan seluruh jajaran pengurus pondok pesantren
Majelisul Huffazh.
“Cuma saya minta Pak, agar Bapak berhadapan
dulu pada pimpinan kami, Kiai Said, soalnya beliaulah
yang menyuruh kami untuk memasang papan tanda itu,”
pinta Ustadz Nasir kepada Pak Camat.
“Baiklah kalau begitu.”
“Pak Kapolsek, Kamu yang pergi beritahu Kiai Said
agar segera menurunkan papan tanda itu!” perintah Pak
Camat.
“Jangan saya Pak, saya kan tidak ada masalah ter-
hadap pondok itu.” Jawab Kapolsek.
“Kalau begitu Kamu Pak Koramil.” Pak Camat
kembali memerintah.
Negeriku di Atas Awan - 125

“Jangan saya Pak. Pak Desa saja!”


“Iya, Kamu saja Pak Desa.”
“Kenapa mesti saya Pak, kan saya juga tidak ada
apa-apanya dengan Kiai Said,”
“Tapi itu kan daerah Kamu!”
Kali ini Pak Desa terkunci, tidak ada alasan lagi. Ia
terpaksa mengikuti perintah atasannya agar menghadap
Kiai Said.
Di lain pihak, Ustadz Nasir, dengan melihat kea-
daan seperti itu. Tidak ada yang berani menghadap Kiai
Said. Adrenalinnya kembali bangkit, yang tadi mental-
nya sudah down kini berangsur naik melambung tinggi
ke angkasa, pada akhirnya melahirkan satu kesimpulan.
Kesimpulan yang betul-betul membakar semangat ju-
angnya. Mengalahkan semangat pejuang 45.
“Owh… rupanya mereka ini tidak ada yang berani
menghadap sama Kiai Said, mereka semua takut pada-
nya.” Pikir Ustadz Nasir membatin.
“Hmm… jadi beraninya di belakang saja,” gumam-
nya lagi.
Dari kesimpulan pribadinya yang mengkristal da-
lam benaknya, sehingga dapat melahirkan kata-kata
yang lebih menantang kepada Pak Camat dan kawan-
annya.
“Begini saja Pak. Besok pagi kami tunggu Bapak di
rumah Kiai Said, kendati papan tanda akan saya copot
sore nanti, tapi Bapak tetap harus bertemu Kiai Said.”
Keesokan harinya, seluruh guru berkumpul bersa-
ma para santri dan juga Kiai Said. Para guru KMI itu me-
126 - Ilham Kadir

ngenakan pakaian dengan stelan celana panjang, keme-


ja, dan tak lupa pula jaket almamater ISID Gontor. Ada
yang menenteng kamera untuk mengabadikan momen
ini, ada pula yang siap untuk merekam percakapan apa
yang akan terjadi antara pihak Kiai Said dan Pak Camat
beserta jajarannya, dan yang lain bertugas sebagai juru
ketik. Semuanya telah siap.
Di rumah Kiai Said, suasana hening sesaat, semua-
nya bertanya-tanya apa yang akan terjadi nantinya.
Secara tiba-tiba Kiai Said keluar dari kamarnya.
“Saya sudah beri garis sebagai pembatas, mereka
tidak akan melewati depan kampus!” begitu kata Kiai
Said kepada para guru dan santri KMI sambil mengge-
rakkan tangannya.
Rupanya Kiai Said telah memberi mereka batas ga-
ris demarkasi, tidak akan melewati pondok ini. Mungkin
dengan doa atau wirid-wirid tertentu, sehingga mereka
tak akan mempu melewat batas yang telah ditetapkan
Pak Kiai. Itu artinya Pak Camat dan rombongannya tidak
akan pernah naik dan masuk ke rumah ini.
Ustadz Nasir tetap menunggu kedatangan mereka,
ingin melihat, siapa yang betul kata-katanya. Apakah
Pak Camat dan rombongannya? Atau Kiai Said yang ti-
dak terbukti ucapannya?
Setelah menunggu dan menunggu, tidak juga kun-
jung datang. Ustadz Nasir turun dari rumah pimpinan,
berusaha mencari tahu, keberadaan Pak Camat dan ja-
jarannya. Ustadz berpostur atletis ini ke rumah Sekdes.
Ternyata sudah terdengar kabar kalau rombongan itu
Negeriku di Atas Awan - 127

sudah datang. Owh… ternyata mereka nimbrung di wa-


rung sarabba58 milik salah satu masyarakat, di sebuah
gang sebelah selatan pondok, yang memang tempat itu
belum melewati jalanan di depan pondok.
“Bapak-bapak semua, silahkan ke rumah Kiai Said,
dari tadi ditunggu-tunggu,” kata Ustadz Nasir dengan
nada yang tinggi seakan menantang rombongan Pak Ca-
mat yang di dalamnya terdapat Koramil dan Kapolsek.
“Iyya, iya… tunggu… tunggu saja..! Kami sedang mu-
syawarah.” Kata Pak Camat, mengelak dan kelihatan su-
dah kalah mental dengan Ustadz Nasir.
“Kalau begitu, kami tunggu Bapak di sana.” Tambah
Ustadz Nasir.
“Iya… kami segera menyusul, pulang saja dulu.” Ja-
wab Pak Camat meyakinkan.
Beberapa jam kemudian, hari sudah menjelang Zu-
hur, namun tidak ada tanda-tanda bahwa Pak Camat dan
rombongan akan berjumpa Kiai Said.
Para santri di rumah Kiai Said tetap seperti biasa-
nya, mengaji dan mengulang-ulang hafalan. Bunda Hasa-
nah hilir mudik dari dapur ke teras, ikut menanti para
tamu dari aparatur negara, sambil menyiapkan makanan
santap siang tuk para santri.
Ustadz Nasir kembali ke warung sarabba itu, na-
mun apa yang ditemukan, ternyata Pak Camat dan rom-
bongannya sudah hilang entah kemana. Yang tersisa ha-
nya Kepala Desa dan sekretarisnya saja.
58 Minuman khas daerah Bugis, terbuat dari campuran jahe, gula merah, santan,
dan telur.
128 - Ilham Kadir

“Bagaimana Pak Desa?” jadi ketemu Pak Kiai.


“Itulah Dik… Sebenarnya ini urusan Pak Camat ti-
dak ada hubungannya dengan saya. Murni urusan Pak
Camat, saya sendiri tidak ada masalah dengan pesantren.
Dan sekarang saya yang disuruh Pak Camat berjumpa
dengan Kiai Said,”
“Kalau begitu kita sama-sama sekarang. Ayo…”
Ajak Ustadz Nasir seakan memaksa.
Dengan langkah yang ragu-ragu dan gontai, Pak
Desa pergi menghadap kepada Pak Kiai.
Betapa terkejutnya Ustadz Nasir dan kawan-kawan,
baru saja sampai di depan rumah Kiai Said, sang Kepala
Desa sudah bungkuk beberapa derajat, begitu menginjak
anak tangga dia sudah merangkak, perlahan-lahan, dari
anak tangga yang terbawa hingga teratas, dan akhirnya
ngesot di depan Kiai Said. Satu pemandangan yang me-
nakjubkan. Sang Kiai rupanya bukan hanya sekadar guru
mengaji. Tapi kharismanya melebihi apa yang sesung-
guhnya kita saksikan selama ini.
Kata-katanya terbukti benar, bahwa Pak Camat dan
rombongannya tidak akan pernah sampai di depan ru-
mah Kiai Said. Mereka akan takut. Betul-betul takut.
“Saya ini hanya ingin mengisi sisa hidup saya de-
ngan mengajar dan berbuat baik pada manusia, kenapa
kalian ganggu kami? Ada apa?” tanya Kiai Said kepada
Kepala Desa.
“Be… be… begini Puang, ini sebenarnya hanya Pak
Camat yang punya urusan, kami sama sekali tidak ikut
Negeriku di Atas Awan - 129

dan tidak pernah ingin ikut campur.” Jawab Pak Desa de-
ngan nada terbata-bata dan kelihatan sangat ketakutan,
keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Sejak peristiwa itu, guru-guru KMI semuanya sudah


mafhum kalau para aparat pemerintah itu semuanya ti-
dak ada yang berani dan punya nyali berhadapan dengan
Kiai Said. Hal ini makin membangkitkan semangat me-
reka.
Kendati belum sampai di sini, gangguan masih saja
datang silih berganti. Kali ini, Pak Koramil pula yang se-
ring datang mengacau bak preman. Biasanya, jika proses
belajar mengajar untuk santri dewasa mustawa’ sedang
berlangsung, ia datang memutus aliran listrik. Praktis
para santri berteriak histeris dan menangis, suasana ke-
las jadi gelap, para santri yang terdiri dari gadis-gadis
ABG ini takut. Suasana mencekam. Kelas pun bubar se-
ketika.
Keesokan harinya, Ustadz Nasir, selaku penang-
gungjawab KMI mendapat panggilan dari Dandim, Ka-
bupaten Bone. Beliau pun berangkat bertemu Dandim.
Tapi di luar dugaan, pihak Dandim tidak ada masalah.
“Saya kira yang datang para orang-orangtua ber-
jubah dan berjenggot panjang. Ach… ini kan cuma anak-
-anak muda, bisa buat apa kalian!” kata Bapak Dandim.
“Jadi, kami tidak ada masalah atas keberadaan kami
Pak?” tanya Ustadz Nasir pada Pak Dandim.
130 - Ilham Kadir

“Tidak masalah, lanjutkan saja!”


“Trima Kasih Pak,” ucap Ustadz Nasir.
Sekembalinya ke pondok, kelas malam kembali di-
buka dan beroperasi sebagaimana biasanya.
Tiba-tiba datang suara motor, mendekat, menabrak
palang pintu pagar, menerobos masuk ke kampus, motor
trail dengan plat hijau, menandakan kalau itu milik apa-
rat TNI, gasnya ditekan kuat-kuat, seakan knalpot mau
pecah, asapnya menyembul keluar, suaranya bising me-
mekik, terdengar dari radius tiga kilo meter. Para santri
panik dan berhamburan. Kelas jadi kembali kacau untuk
kesekian kalinya.
Owh… ulah Pak Koramil nampaknya.
Keesokan harinya, Ustadz Nasir tanpa takut dan
ragu-ragu lagi datang menyambangi kantor Bapak Ko-
ramil di Ibu Kota Kecamatan.
“Bapak telah melanggar hukum. Kami bisa saja
melaporkan Bapak ke pihak yang berwajib, Bapak te-
lah mengganggu ketenangan dan membuat kekacauan di
tempat kami.” kata Ustadz Nasir dengan nada menan-
tang, kali ini benar-benar sudah tidak ada takutnya sedi-
kit pun. Aura jawara Bugisnya keluar.
“Karena kalian telah mengadakan kegiatan yang
ilegal, saya hanya menjalankan perintah atasan saya. Pak
Dandim,” jawab Pak Koramil.
“Ilegal bagaimana? Pak Dandim siapa? Kemarin
kan kami sudah ke Ibu Kota Kabupaten menghadap ke
Pak Dandim, dan mereka tidak ada masalah. Coba tele-
Negeriku di Atas Awan - 131

pon sekarang… itu kan ada telepon kantor… kalau me-


mang tidak percaya.”
Sontak, muka Pak Koramil jadi pucat pasih, betul-
-betul merasa kalah dengan anak muda ini. Kalau da-
lam ring tinju dia sudah terkapar oleh benturan kepalan
tangan yang bertubi-tubi: knoct out. Sama persis ketika
James Douglas menghempaskan Mike Tyson di ronde
kesepuluh pada 11 Februari 1990 itu.
“Jadi Adik, sudah jumpa Pak Dandim?” tanyanya
seakan merayu, kembali memanggil rivalnya ini sebagai
adik, pertanda dia minta kompromi.
“Iya, kemarin!” jawab Ustadz Nasir ketus.
“Apa katanya?”
“Katanya kami tidak ada masalah, pendidikan di-
lanjutkan saja. Tidak usah diganggu!”
Mendengar jawaban itu, Pak Koramil akur, dan
berjanji tidak akan mengganggu lagi.
Keesokan harinya, kami dikumpulkan semua, da-
lam sebuah upacara di pagi hari, Ustadz Nasir kembali
memberikan motivasi pada kami, ia kembali membakar
semangat para santri,
“… Anak-anakku sekalian, tetaplah belajar seba-
gaimana biasanya, jangan sampai semangat kalian surut
karena adanya gangguan dari pihak-pihak atau oknum-
-oknum yang selalu ingin menghambat kita. Anggaplah
kita semua kafilah, yang sedang berjalan untuk mengga-
pai tujuan, dan cita-cita mulia. Mereka yang senantiasa
mengganggu kita, anggaplah itu gonggongan anjing, se-
132 - Ilham Kadir

bagaimana pepatah, ‘Anjing menggonggong kafilah ber-


lalu’.” Kata kafilah berlalu bersamaan dengan seluruh
santri dan guru-guru dengan nada tinggi menggelegar,
membahana seantero jagad. Seakan semangat kami me-
lebihi pasukan perang badar sekali pun.
Kata-kata Ustadz Nasir kembali menggairahkan
kami, ibarat sebuah obat ajaib yang mampu menyam-
bung sendi-sendi nadi kami yang telah putus selama ini.
Beliau memang cocok menjadi provokator dan pemba-
kar semangat jihad.
Sebegitu dahsyatnya pertarungan antara pihak pe-
merintah dan pondok sampai terbesit kata-kata dari
Kiai Said, kalau tidak juga ada perubahan dalam jangka
waktu dekat, kita akan hijrah ke tempat yang lebih aman,
sebagaimana hijrahnya Rasulullah dan para sahabat dari
Makkah ke Madinah, dan rupanya sudah ada yang ingin
menyambut dan menerima kami semua, sebuah tempat
di daerah Sinjai. Sebuah ibu kota kabupaten yang tidak
begitu jauh dari Pitu-pitu.
Tapi rupanya, aparat pemerintah dari kecamatan
sudah mulai akur, kendati masih saja ada yang meng-
ganggu, tapi sudah surut dan tidak ada lagi yang ber-
arti, bahkan putri Pak Koramil sendiri juga sudah ikut
belajar pada kelas mustawa’ di pondok Pitu-pitu. Sebuah
sinyal kalau pembangkangan ayahnya telah usai.

Negeriku di Atas Awan - 133

Sebenarnya permusuhan antara Kiai Said dan apa-


rat penegak hukum setempat yang diwakili oleh anggota
Pak Camat, Koramil, dan Kapolsek sudah lazim terjadi.
Dan para masyarakat Pitu-pitu sudah pun maklum.
Beberapa kali, konon Pak Kiai hendak didor dengan
pistol oleh aparat keamanan, sebagaimana kita maklumi
di era orde baru. Pernah suatu saat, beberapa anggota
Kapolsek lengkap dengan seragam, pistol dan borgol di
pinggangnya datang untuk meringkus Kiai Said, karena
masih dianggap pembangkang, disinyalir Kiai Said men-
dukung partai Islam saat itu. Padahal di kampung Pitu-
-pitu partai pemerintah adalah pilihan wajib.
Anehnya ketika para anggota kepolisian tersebut
datang ke rumah Kiai Said, mereka seakan hanya datang
bertamu layaknya tamu-tamu lain yang datang menjum-
pai Pak Kiai. Mereka makan, minum, dan ngobrol be-
ragam masalah. Yang lebih anehnya lagi, para tamu ini
sudah diketahui oleh Pak Kiai, termasuk maksud dan tu-
juannya, sehingga para aparat disediakan makanan dan
minuman terlebih dahulu. Hidangan telah siap sebelum
mereka datang.
Setelah pamit, dan keluar dari halaman rumah, ba-
rulah mereka sadar kalau tujuan utamanya datang untuk
meringkus Pak Kiai. Tapi mereka tak mampu, bahkan
kelupaan. Di lain waktu, beliau didatangi oleh anggota
TNI, persis di depan rumah, datang berteriak.
“Mana Kiai Said, saya mau tembak kepalanya!”
sambil mengeluarkan satu das tembakan, orang-orang
pun keluar melihat pemandangan yang tak lazim ini.
134 - Ilham Kadir

Oowh… seorang berpakaian loreng dengan pistol di


tangannya, sambil diacung-acungkan ke atas, berteriak-
teriak seperti orang kesetanan menyebut-nyebut nama
Kiai Said.
“Ada apa gerangan?” semua masyarakat tertanya-
tanya.
Tetiba, semua diam. Kiai Said keluar dari rumah-
nya, bersarung dan bertongkat. Disaksikan oleh pendu-
duk kampung Pitu-pitu. Sang anggota TNI ini tetap saja
meracau menyebut dan mencari-cari Kiai Said. Tapi dia
tidak sadar kalau yang ia intai dengan santainya lewat
persis di hadapannya, namun sang anggota tidak juga
berkutik seakan bungkam, terdiam dan berhenti menye-
but namanya lagi.
Setelah berjarak sepuluh meter barulah aparat TNI
diberitahu kalau tadi manusia yang ia cari sudah lewat di
hadapannya, sambil menunjuk ke arahnya. Merasa malu,
aparat suruhan Pak Koramil ini pun pulang. Dan para
masyarakat tersenyum melihat keanehan ini.
Pernah juga Kiai Said sedang asyik-asyiknya mem-
berikan ceramah kepada para santri, tiba-tiba datang se-
orang aparat TNI yang juga berasal dari kampung Pitu-
-pitu sendiri.
“Berhenti berdakwah!” hardik sang aparat kepada
Kiai Said.
Serta merta Kiai Said pun berhenti. Tidak melan-
jutkan ceramahnya.
Namun apa yang terjadi, seluruh usaha aparat TNI
tadi jatuh, bangkrut, keluarganya dililit pelbagai masa-
Negeriku di Atas Awan - 135

lah, hidup merana dan melarat. Ini terjadi tidak lama


setelah menghentikan ceramah Kiai Said. Perubahan hi-
dup sang anggota TNI produk Orba ini betul-betul jatuh
180 derajat. Miskin semiskin-miskinnya.
Hinggalah datang seorang tetangganya yang paham
akan keadaannya.
“Pergilah minta maaf pada Kiai Said, kau itu per-
nah melarang dia berdakwah, semoga dengan maafnya
usaha dan kehidupanmu berkah dan kembali membaik,”
begitu nasihat tetangganya.
Oknum TNI itu pun datang minta maaf pada Kiai
Said, dan mengatakan kekeliruannya saat melarang ber-
dakwah. Dan Kiai Said memaafkan.
Tidak lama kemudian, usahanya kembali lancar,
hutang-hutangnya terlunasi sedikit demi sedikit sampai
habis. Anak-anaknya semua berhasil sekolah dan beker-
ja. Dia pun menjadi pendukung dakwah Kiai Said.
Yang tak dapat aku lupakan, ketika pondok Majeli-
sul Huffadh dijambangi sekelompok pegawai kecamatan
sejenis pamong praja. Mereka datang kepada kami.
“Itu toa copot segera..!” sambil menunjuk kepada
pembesar suara yang diikat tergantung di bawah atap
kediaman Kiai, dengan gaya arogan tentunya.
“Ini kan bukan masjid, kenapa mesti pakai toa, buka
sekarang..!” tambahnya lagi.
Tiba-tiba salah seorang dari kami menjawab, “Ba-
pak-bapak semua naik saja jumpa Pak Kiai, beliau di
dalam rumah, kalau ia menyuruh kami buka toa, maka
136 - Ilham Kadir

kami akan menurut, ini rumahnya Kiai, bukan rumah


kami, kami semua ini hanyalah santri, yang datang ber-
guru padanya.”
Mendengar jawaban, mereka semua terdiam, mun-
dur, dan keluar dari halaman rumah. Seperti orang ke-
takutan, jika kami menyebut nama Kiai kami. Seakan
namanya membawa power.
Pintu 20
Patah Tumbuh Hilang
Berganti

T
idak terasa, sudah dua tahun KMI berjalan, tera-
sa waktu begitu cepat, hari-hari terus berkeja-
ran, bulan-bulan silih berganti. Pondok Majelisul
Huffazh juga sedikit-demi sedikit menemukan fomula-
sinya. Berkembang seiring berduyun-duyunnya para
alumni PM Gontor yang datang berguru pada Kiai Said,
sambil mengamalkan ilmunya.
Para santri juga kian bertambah, rumah Kiai Said
sudah tidak mampu menampung santri-santri yang terus
berdatangan tak kenal jadwal.
Jika pada awal kedatanganku. Seluruh santri ma-
sih tinggal di rumah Bunda Hasanah, dan sebagian kecil
tinggal bersama Bunda Munirah di sebelah selatan me-
reka terdiri dari sanak familinya yang datang mondok di
Majelisul Huffazh. Kontras dengan Bunda Hasanah yang
mengurus seluruh santri yang tak kenal etnis dan latar
belakang, semua dijadikannya keluarga. Karena terlalu
sesak, maka kolong rumah Bunda Hasanah disulap men-
jadi asrama santri. Bertahan beberapa bulan. Santri kian

137
138 - Ilham Kadir

bertambah. Kembali sesak. Akhirnya pembangunan dia-


lihkan ke kampus, kawasan belajar mengajar, yang juga
dihuni oleh para alumni PM Gontor.
Lokal untuk kelas Darul Hijrah dirobohkan, kini
kelas dialihkan ke sebelah kelas khusus, tempat Bunda
Hasanah belajar. Selanjutnya, tapak Darul Hijrah digali
untuk pondasi bangunan baru, berukuran 10x15. Di atas
pondasi didirikanlah bangunan dengan bertiang kayu
ulin, dinding dan lantai terbuat dari papan, dan beratap
daun rumbia. Di daerah ini, atap daun rumbia menja-
di pilihan utama, di samping murah meriah juga dapat
mengatur suhu udara yang panas di siang hari menjadi
sejuk, maklumlah daerah Pitu-pitu merupakan pesisir
yang berhawa panas.
Bangunan ini bernama ‘Abna’, singkatan dari ‘Haji
Abbas’ dan istrinya ‘Hajjah Nawa’. Pasangan suami istri
ini berasal dari Surabaya, merupakan donatur yang ti-
dak sedikit sumbangsihnya pada awal perintisan Pondok.
Bangunan Abna ini juga menjadi bangunan multi-
fungsi, karena bentuknya menyerupai rumah panggung
ala Sulawesi, maka bangunan terlihat tinggi. Untuk ko-
long bangunan saja, sampai dua meter. Memang sengaja
dibentuk sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan se-
bagai kelas. Jadi kolong Abna, dipecah menjadi dua lo-
kal tempat kelas. Sedangkan lantai atasnya yang beralas
papan dijadikan asrama santri dan juga guru-guru KMI
sebagai pengawas.
Satu Abna, dijejali dengan lima puluh santri dan se-
kitar delapan guru. Sesak.
Negeriku di Atas Awan - 139

Tidak berlangsung lama, bangunan yang dulunya


merupakan tempat tinggal para guru-guru KMI Gontor
generasi Ustadz Nasir juga ikut digusur dan dirobohkan.
Selanjutnya didirikanlah Abna dua. Yang befungsi dan
berbentuk sebagaimana Abna satu.
Generasi Ustadz Nasir dan kawan-kawannya juga
satu-persatu mulai meninggalkan pondok, mereka sudah
dua tahun bermukim dan mengabdi, dan sudah meno-
rehkan sejarah manis. Membuka jalan selebar-lebarnya
untuk dilalui para penerusnya.
“Saya akan melanjutkan pendidikan di Universitas
Islam Madinah, mohon doanya agar lancar.” Begitu kata-
-kata Ustadz Nasir pada kami sewaktu ingin meninggal-
kan pondok.
Adapun Ustadz Alwi, akan melanjutkan pendidikan
ke IAIN, Ustadz Rusydi juga sudah berangkat ke Banten,
sama dengan Ustadz Kubro, juga sudah pulang ke kam-
pung halamannya di Malang, Ustadz Faiz melanjutkan
pendidikan di Universitas al-Aziz Mesir. Tinggal Ustadz
Arif yang juga sedang menunggu panggilan untuk me-
lanjutkan kuliah di International Islamic University Ma-
laysia.
Kini generasi kedua dari aliran alumni PM Gontor
ke Pondok Majelisul Huffazh telah tiba. Mereka terdiri
dari wajah-wajah baru dan muda di pondok ini. Sekali-
gus membawa semangat baru.
Di waktu yang bersamaan, Ustadz Abrar juga da-
tang berlibur dari Madinah. Putra Bunda Hasanah ini
melihat jumlah santri yang sudah begitu banyak, namun
140 - Ilham Kadir

belum teratasi dengan baik. Begitu juga jumlah alumni


PM Gontor sudah sangat banyak, mencapai empat puluh
orang. Jumlah yang sangat fantastik.
Ustadz Abrar mengadakan musyawarah, yang kelak
menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat bagian-
bagian yang berfungsi mengawasi para santri, termasuk
pergantian penanggungjawab KMI.
Bagian-bagian yang dibentuk antaranya, bagian pe-
nanggungjawab KMI, pengasuhan santri, penggerak ba-
hasa, bagian pendidikan, dan beragam bagian lainnya.
Walau bagaimana pun empat bagian inilah yang kelak
memiliki andil besar dalam memajukan pondok Majeli-
sul Huffazh.
Jika pada mulanya seluruh kendali dipegang oleh
Kiai Said termasuk urusan izin keluar pondok atau izin
tidak masuk kelas, maka saat ini telah beralih pada ba-
gian pengasuhan santri dan bagian pendidikan. Juga kon-
trol bahasa sudah mulai berlaku. Para siswa kelas dua
KMI diwajibkan menggunakan bahasa Arab. Para mata-
-mata bahasa juga sudah mulai berjalan. Begitu pula
bagian pengasuhan, memastikan kalau para santri tidak
ada yang melanggar disiplin.
“Saya hanya fokus mengurus isi perut dan tempat
tinggal para santri,” kata Kiai Said seusai melakukan pe-
resmian pada hari Jumat.
Jadi dengan adanya bagian-bagian ini, Kiai Said se-
tidaknya merasa sangat terbantu dalam menangani para
santri. Karena sudah dilimpahkan kepada bagian yang
disebut ‘pengasuhan santri’.
Negeriku di Atas Awan - 141

Berikut tata tertib yang digantung pada setiap sudut


asrama agar ditaati oleh para santri, tata tertib ini pada
awalnya ditulis tangan di atas kertas karton oleh Ustadz
Arif:
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak terikat
dengan salah satu partai politik atau organisasi-
-organisasi massa lainnya, dengan pengertian santri
tidak dibenarkan mencampuri urusan politik, hanya
dibolehkan mengetahui serta mengamati alur per-
kembangan gerak politik.
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak bersan-
dar kepada salah satu madzhab, dengan pengertian
santri tidak dibenarkan berfanatik madzhab, namun
diharuskan mempelajari dan mengetahui pendapat
setiap madzhab.
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak akan
bekerja sama dengan golongan inkarussunnah atau
golongan-golongan sesat lainnya seperti: Ahmadiah,
Islam Jama’ah, Syi’ah, dll.
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak sejalan
dan searah tujuan dengan ahli bid’ah aqidah dan
bid’ah ibadah.
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak sejalan
dan searah tujuan dengan ahli tarekat seperti: tare-
kat waktu, khalwatiah, idrisiyah, dan lain-lain.
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz berusaha men-
cari, mengetahui, dan mengamalkan tuntunan Al-
qur’an dan Hadis shahih yang telah dicontohkan
142 - Ilham Kadir

atau digariskan oleh Rasulullah  beserta para sa-


habat yang dilalui oleh ahlussunnah dari segi ibadah
dan aqiddah.
Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tetap bernaung
di bawah pemerintahan yang sah berasaskan panca-
sila dan Undang-undang Dasar 1945 selama dasar
tersebut berada dalam kemurniannya.
Santri Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak di-
perkenankan merokok selama menjadi santri.
Santri Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak
dibenarkan berkunjung ke rumah penduduk tanpa
seizin pimpinan pondok pesantren.
Santri Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak di-
benarkan keluar kampus tanpa seizin pimpinan.
Santri Pondok Pesantren Majelisul Huffadz tidak di-
benarkan mengadakan ceramah-ceramah tanpa se-
pengetahuan pimpinan pondok.
Santri Pondok Pesantren Majelisul Huffadz dapat
berhenti menjadi santri apabila dinyatakan lulus
atau dikeluarkan menjadi santri.
Santri Pondok Pesantren Majelisul Huffadz dibebas-
kan dari segala pungutan administrasi seperti: biaya
pendaftaan, biaya bangunan, biaya bulanan, biaya
semester, biaya makan, dan lain-lain. Semua biaya
selama menjadi santri Insya Allah akan diusahakan
sepenuhnya oleh Pimpinan Pondok Pesantren.

Negeriku di Atas Awan - 143

Peraturan di atas juga disebut Garis-garis Besar Ha-


luan Pondok Pesantren Majelisul Huffazh, dan berlaku
kepada seluruh santri, baik senior maupun yunior. Tak
pandang bulu. Artinya siapa pun yang melanggar akan
mendapatkan sangsi. Dan yang berfungsi sebagai regula-
tor adalah para guru KMI.
“Bukan saja kalian yang harus taat kepada disiplin
di atas, para guru-guru juga demikian, mari kita sama-
-sama menjalankan peraturan ini dengan sepenuh hati!”
begitu kata Ustadz Yazid sebagai direktur baru KMI. Be-
liau guru baru, yang juga pernah menjadi murid Ustadz
Abrar ketika di PM Gontor dulu. Juga sebagai teman ke-
las Ustadz Nasir.
Garis-garis besar di atas, murni racikan Kiai Said,
dan katanya, konsep di atas telah jadi sebelum pondok
Majelisul Huffazh didirikan.
Dari peraturan di atas, kita dapat membaca bagai-
mana cara beraqidah dan beribadah, serta pemahaman
seorang Kiai Said.
“Peraturan ini saya buat demi menjaga identitas
pondok dan juga kemurnian kita dalam beraqidah dan
beribadah, jangan sampai terkontaminasi oleh beragam
bid’ah dan khurafat!” komentar Kiai Said.
Dengan datangnya Ustadz Yazid sebagai Penang-
gungjawab KMI, Ustadz Achsani sebagai kepala bagian
pengasuhan, Ustadz Ansari sebagai bagian pengembang-
an bahasa, maka estafet kegiatan pondok bertambah sta-
bil walau ditinggal oleh generasi awal, Ustadz Nasir dan
144 - Ilham Kadir

kawan-kawan. Patah tumbuh hilang berganti. Begitulah


kira-kira gambaran perkembangan Majelisul Huffazh
diusianya yang memasuki tahun ketiga program KMI.
Pintu 21
Belajar Bekerja Beramal

K
ini Darul Hijrah sudah tidak ada lagi, hanya
tinggal kenangan. Guru-gurunya juga sudah
hijrah, entah kapan ia kembali. Kami maklumi
bahwa kedatangan mereka ke Pondok Majelisul Huf-
fazh untuk menghafal dan berguru pada Kiai Said plus
mengabdi, dan durasi dua tahun merupakan masa yang
cukup buat itu semua. Kendati di antara mereka kelak,
ada yang cepat dan ada pula yang betah hingga mencapai
satu priode pemilihan presiden, bahkan lebih.
Di lain pihak para siswa kelas Darul Hijrah juga ti-
dak sedikit yang mengikuti jejak para guru yang telah
hijrah. Mereka pun ikut-ikutan hijrah ‘alad dawam, un-
tuk selamanya. Beragam alasan. Mulai dari tidak tahan
oleh adanya disiplin, sudah tidak kuat menghafal, sudah
khatam hafalan, ingin menyambung sekolah di luar, juga
kerena ingin melanjutkan pendidikan di PM Gontor.
Teman-teman yang dekat dengan aku, seperti Amin,
Aqsa, Rasydin dan Kak Sabir juga meninggalkan pondok.
Amin dan Aqsa hijrah ke PM Gontor sedangkan Kak Sa-
bir dan Rasydin pulang kampung untuk selamanya.

145
146 - Ilham Kadir

Saat ini aku sudah duduk di kelas tiga KMI, keti-


ka masih kelas dua jumlah teman sekelas mencapai tiga
puluhan, maka kini yang tersisa tinggal lima orang. Aku,
Hadi, Azis, Basri, dan Hatta.
Hadi dan Azis merupakan santri yang baru mema-
suki tahun kedua di pondok ini, karena mereka berdua
sudah pernah mondok sebelum ini dan memiliki nilai
yang tinggi pada kelas satu, maka mereka berdua diberi
kesempatan untuk belajar langsung di kelas tiga tanpa
harus duduk di kelas dua.
“… saya akan menjadi wali kelas kalian, saya harap
kalian bisa menerima pelajaran dengan baik, dan jangan
malu bertanya apa pun tentang pelajaran,” kata Ustadz
Rosyid. Beliau wali kelas kami di kelas tiga yang baru
saja tiba dari Gontor beberapa minggu lalu. Kulitnya
putih, badannya agak padat berisi, tingginya sekitar 150
cm. memiliki suara yang jernih, lantang dan fasih meng-
ucapkan kata-kata dalam bahasa Arab. Juga memiliki
kemampuan berbahasa Inggris dengan bagus.
“Anggaplah saya sebagai orangtua kalian di sini.”
Tambahnya lagi. Beliau seakan meyakinkan pada kami
berlima supaya tetap memiliki semangat belajar kendati
jumlah kami hanya sama dengan seperdua jumlah jari-
-jari tangan.
Sebagaimana biasanya pelajaran terus berjalan, ti-
dak ada hambatan. Jumlah tidak masalah. Kendati ha-
nya berlima. Di sisi lain jumlah santri kelas satu dan dua
malah lebih bertambah. Kelas satu dibagi menjadi tiga
Negeriku di Atas Awan - 147

kelas. I-a, I-b, dan I-c, sedang kelas dua terdiri dari dua
kelas. Kelas II-a, dan II-b.

Di pondok ini, para santri tidak hanya dituntut un-


tuk belajar semata dari dalam kelas. Terdapat proses
pembelajaran dalam bentuk lain. Pelajaran dalam kelas
hanya satu sisi saja. Santri juga diajak terlibat untuk me-
numbuhkan rasa memiliki pada pondok.
Setiap hari libur yang jatuh pada hari jumat, san-
tri diwajibkan untuk turun ke empang. Memperbaiki
tanggul yang rusak, merawat empang, menyemai benih,
hingga memanen hasil empang.
Pondok memang memiliki empang, yang luasnya
mencapai tujuh hektar. Empang ini dibangun oleh Kiai
Said dan para santri perdana Pondok Majelisul Huffaz.
Tak terbayangkan bagaimana mereka bekerja keras
membangun tanggul empang yang menyerupai jalan be-
bas hambatan, agar dapat menahan derasnya gelombang
pasang air laut.
Empang ini sebagai asset pondok, dari sinilah ikan
dapat dipanen dan dikonsumsi oleh santri sendiri. Dari
santri untuk santri.
“Belajar, bekerja, beramal.” Kata Kiai Said, mem-
berikan keterangan tentang motto pondok. Jadi tiga
komponen yang harus serasi. Selain belajar di kelas para
santri juga dituntut untuk bekerja, demi kemaslahatan
pondok milik umat ini, dan setelah dianggap lulus dan
148 - Ilham Kadir

keluar dari pondok maka diwajibkan mengamalkan apa


yang telah mereka pelajari. Sebuah falsafah yang sarat
dengan makna.
“Saya kira di pondok ini kita hanya menghafal saja,
berdasarkan dengan namanya,” bisik Hamsah kepadaku.
Dia itu santri baru, pindahan dari Pondok Pesantren Mu-
hammadiah Gombara Makassar.
“Ternyata selain kita harus menghafal dan belajar
juga harus dipaksa bekerja di empang,” keluhnya lagi.
Teman baruku ini memang termasuk santri yang suka
protes. Katanya dia dikeluarkan dari Pesantrn Gomba-
ra karena sudah tidak betah mengikuti program belajar
dan disiplin. Dia kira pondok ini jauh lebih longgar atau
tidak punya disiplin khusus, sebagaimana pondok pesan-
tren tahfidz pada umumnya di Indonesia, biasanya para
santri hanya diwajibkan menyetor hafalan saja. Selain
itu tidak ada, kecuali memperlancar, takrir hafalan pada
saat-saat tertentu. Namun di sini lain, dan betul-betul
lain. Para santri harus ikut belajar dalam kelas formal,
dan dijejali dengan beragam mata pelajaran, lalu harus
ikut bekerja jika sewaktu-waktu diperlukan.
Untuk kelas tiga KMI misalnya, mereka harus me-
miliki mata pelajaran minimal sebagai berikut: Al-Insya’,
Allughatul ‘arabiyah, al-Muthala’ah, al-Mahfuzat, al-
-Hadits, at-Tarjamah, at-Tauhid, Tarikh Islam, Khat,
Imla’, Matematika, Fara’id, Bahasa Inggris dan Grammer.
Belum termasuk latihan pidato, juga al-Mufradat dan
Muhadatsah yang diberikan setiap hari.
Negeriku di Atas Awan - 149

Walau bagaimana pun menyetor hafalan masih te-


rus berjalan dan menjadi prioritas utama sebagaimana
biasanya. Sebagai salah satu program inti pondok. Waktu
mengulang, dialihkan pada awal jam pelajaran, bermula
dari jam 07.00 pagi sampai 08.15. atau satu jam lebih.
Para santri diwajibkan menyetor hafalan kepada muqri’
yang telah ditugaskan oleh direktur KMI. Mereka, para
guru KMI yang telah menyelesaikan hafalan 30 juz. Sam-
bil takrir sekaligus menjadi muqri’ hafalan para santri.

Jika dulu kami berteman dan akrab dengan Amin,


Aqsa, serta Rasydin. Maka setelah mereka keluar, kami
selanjutnya berteman dan akrab dengan wajah-wajah
baru. Terutama yang sekelas denganku. Seperti Azis,
Hatta, Hadi, dan Basri. Kecuali Hamsah yang masih ke-
las dua KMI.
Namun yang betul-betul jarang berpisah adalah
aku, Azis, dan Hamsah, hal yang membuat kami bertiga
lebih akrab dari yang lain dikarenakan kami memiliki
karakter yang saling menunjang, plus dekat dengan Kiai
Said dan Bunda Hasanah.
Pada mulanya aku paling sering ditugaskan untuk
belanja di pasar dan bekerja membantu Bunda Hasanah
di dapur, maka tugas itu beralih ke Azis dan juga ka-
dang-kadang berdua dengan Hamsah. Sedangkan aku
memiliki tugas baru, yang jauh lebih menantang. Yaitu
ikut dengan Ustadz Muhammad ke empang untuk men-
150 - Ilham Kadir

jaga dan mengontrol. Cukup lelah, karena kami hanya


berdua, kadang sampai jam 12.00 malam. Kami harus
lakukan itu, untuk memastikan agar empang tidak ada
gangguan.
Sinergi antara dapur dan empang sangatlah erat.
Lauk pauk para santri sepanjang tahun hampir seperdu-
anya dipasok dari empang. Tidak jarang juga kami akali.
Biasanya ikan bandeng atau udang kami jual ke pengepul
di pasar dengan harga yang lumayan tinggi. Selanjutnya
hasil penjualan ikan dan udang itu kami kembali belikan
ikan dengan harga dan kualitas yang lebih rendah ter-
masuk sayur-mayur dan beras.
“Kita terpaksa buat ini, karena jika para santri ma-
kan ikan bandeng dan udang, nanti kita tidak cukup dana
untuk beli sayur dan beras.” Ujar Ustadz Muhammad,
memberikan alasan pada perbuatannya itu. Yang mem-
buatku bingung pada awal mulanya.
Azis, Hamsah, dan Hatta, mereka orang yang dekat
dengan dapur, sedangkan aku hampir tiada hari tanpa
empang, biasanya setiap selesai belajar di KMI aku di-
panggil dengan Ustadz Muhammad. Dia memang suka
mengajak aku ke empang karena sangat tahu keahli-
anku bekerja dan menangkap ikan, yang pastinya tidak
ada santri yang bisa menyaingiku. Aku sudah betul-betul
menguasai empang ini, plus penduduk kampung juga su-
dah sangat mengenalku.
Oleh karena itulah jika terdapat pekerjaan yang
harus diatasi di empang baik yang regular setiap hari
Negeriku di Atas Awan - 151

Jumat, juga yang mendadak, maka akulah yang sering


ditugaskan untuk mengkoordinir para santri untuk kerja
bakti. Termasuk melapor kepada pengasuhan santri di
bawah tanggungjawab Ustadz Achsani. Guru-guru juga
ikut terjun bersama, tanpa kecuali.
“Afwan Ustadz… saya disuruh oleh Ustadz Muham-
mad agar santri petang ini turun ke empang, lagi daru-
rat.”
Keadaan darurat identik dengan arus air pasang
yang deras lagi tinggi, yang sewaktu-waktu dapat menje-
bol tanggul empang.
“Tidak masalah, nanti bakda Asar diumumkan,” ja-
wab Ustadz Achsani.
“Kalau begitu, saya duluan ke empang, biar tempat
kerjanya saya atur dulu Ustadz,” izinku.
“Iya… silahkan.” Jawab Ustadz Achsani.
“Iwan… pastikan semua santri turun bekerja, tun-
jukkan di mana mereka harus bekerja, dan apa saja yang
akan dikerja!” perintah Ustadz Muhammad padaku.
“Sudah Ustadz!” jawabku yakin.
“Kamu jangan kemana-mana, di sini saja, bantu
saya, sambil melihat kerjaan teman-temanmu, pastikan
kalau mereka bekerja dengan betul!”
“Insya Allah Ustadz!”
Sebelum para santri tiba, kami berdua dengan Us-
tadz Muhammad sudah terlebih dahulu bermandi lum-
pur.
152 - Ilham Kadir

Seumur hidupku inilah pekerjaan yang terberat


yang harus saya emban. Bekerja di empang sambil me-
meriksa tanggul jangan sampai ada yang bocor. Jika bo-
cor sedikit saja. Maka dapat dipastikan kalau ikan-ikan
dalam empang akan kabur dan mengakibatkan gagal
panen. Tukang bocornya, para pasukan kepiting dengan
membuat lobang di dalam tanggul. Kepiting inilah men-
jadi musuh utama tambak selain air pasang yang ter-
lampau deras dan tinggi.
Tapi seperti kata pepatah, man yazra’ yahshud, si-
apa yang menanam pasti dia akan menuai. Juga berlaku
pada empang milik pondok. Jika masa panen tiba, maka
dengan secara otomatis para santrilah yang menikmati
hasilnya, mulai dari udang yang kadang sekali panen
bisa mencapai lima kwintal, juga ikan bandeng yang bisa
mencapai satu ton, belum termasuk ikan-ikan lain, se-
perti mujair, kerapu, kitang, dan beragam ikan laut lain-
nya yang susah diketahui namanya.
“Ayo… kita ke empang, pergi bakar-bakar ikan..!”
begitu aku mengajak teman-temanku, terutama Azis,
Hamsah dan Hatta. Di lain waktu juga tidak jarang aku
ajak guru-guru ke empang untuk menikmati ikan bakar,
jika panen telah tiba. Saat yang menyenangkan.
Pintu 22
Garis-garis Kecil

H
atta, teman sekelasku, anak yatim yang diasuh
oleh Bunda Hasanah semenjak kelas empat
Sekolah Dasar, dia termasuk keluarga dekat
dengan Kiai Said. Berasal dari Sumbawa. Anaknya seu-
muran denganku, bentuk fisik juga tidak jauh beda. Se-
dangkan Azis berasal dari Kecamatan Cina, masih tergo-
long Kabupaten Bone, memerlukan sedikitnya dua jam
perjalanan dengan angkutan umum jika ingin menggapai
rumahnya. Sebelum mondok di Majelisul Huffazh, Azis
sudah terlebih dulu mengenyam pendidikan di dua pon-
dok pesantren yang berbeda. Ma’had Hadits Biru di Kota
Bone yang didirikan oleh KH. Junaid Sulaiman, bahkan
sempat pula ia mampir di Ma’had As’adiyah Sengkang,
tempat belajar Kiai Said sewaktu kecil di bawah asuhan
Al-Bugisi.
Ma’had As’adiah merupakan pondok pesantren
yang tertua di Indonesia bagian Timur, dulu namanya
Madrasah Arabiyah Islamiyah atau MAI Sengkang. Pon-
dok ini merupakan pionnir dari hampir seluruh pon-
dok yang ada di Sulawesi Selatan. Merupakan pencetak

153
154 - Ilham Kadir

kader ulama nomor wahid di Indonesia bagian Timur.


Sebut saja nama ulama yang Anda ketahui berasal
dari Sulsel, niscaya akan menemukan jawaban bahwa
yang bersangkutan pernah berguru di As’adiah atau mi-
nimal memiliki keterkaitan dengan As’adiah. Di antara
mereka yang pernah mondok di sini dan telah menjadi
ulama besar sebut saja: KH. Abdurrahman Ambo Dalle,
KH. Daud Ismail, KH. Hobe, KH. M. Yunus Maratan, KH.
Abduh Pabbajah, KH. Muhammad Amberi Said, KH. M.
Yusuf Hamsah, KH. Hamsah Manguluang, KH. Huzaifah,
KH. Muhammad Amin Nasir, KH. Marzuki Hasan, KH.
Muin Yusuf, KH. Muhammad Said atau yang dikenal de-
ngan Kiai Said, pimpinan pondok ini. Dan banyak lagi.
Namun dapat dipastikan bahwa seluruh Kiai jebolan
As’adiah di atas memiliki pemahaman yang sama yaitu
bermazhab syafi’i, kecuali dua orang yaitu Ustadz Mar-
zuki Hasan pendiri pondok pesantren Darul Istiqamah
yang berpusat di Moccopa Maros dan Sinjai, kini Pondok
Pesantren Darul Istiqamah setidaknya telah memiliki ti-
dak kurang dari 20 cabang yang berdomisili di Indonesia
bagian Tengah dan Timur, dan Juga Pondok Pesantren
Majelisul Huffazh ini, para santri tidak dibenarkan ber-
sandar kepada salah satu mazhab tertentu.
Menurut pengakuan Kiai Said, pemahamannya itu
berubah setelah membaca buku karangan Sayyid Sabiq
sekitar tahun 1957-an, ulama besar berasal dari Negeri
Piramida, beliau telah menghasilkan banyak karya, na-
mun yang paling berkesan dan mengubah arah pema-
haman Kiai Said adalah bukunya yang berjudul “Fiqhu
Negeriku di Atas Awan - 155

as-Sunnah”, Kiai Said total mengganti pemahamannya


yang selama ini bersandar kepada salah satu mazhab
selanjutnya menjadi orang ‘merdeka’ dalam bermazhab.
Hal yang tidak lumrah terjadi di kalangan ulama Nusan-
tara, apa lagi dalam skala lokal di Sulawesi.
“Saya mulai berubah pada tahun 1957.” Kata Kiai
Said pada Ustadz Yazid, direktur KMI.
“Saya berusaha meralat pendapat saya selama ini
dengan menulis buku dan mencetak kader lewat pendi-
dikan di pondok ini,” tambah Kiai Said lagi.
Kiai Said sendiri hanya belajar formal di MAI Seng-
kang saja, saat itu jenjang formal tertinggi adalah level
‘Tsanawiyah’. Ia tidak pernah belajar di perguruan ting-
gi, hanya mengikuti halaqah-halaqah yang ada di pon-
dok itu. Beliau mengahabiskan masa belajarnya selama
16 tahun. Waktu yang cukup lama.
Kendati demikian, sebagaimana yang kita ketahui
bahwa para guru atau Syekh memiliki otoritas dalam
memberikan pengakuan ijazah secara pribadi, kepada
para murid yang dianggap telah mampu mengamalkan
ilmunya, atau telah lulus dalam proses halaqah. Kare-
na satu halaqah lazimnya hanya mengajarkan satu mata
pelajaran. Lebih spesifik pastinya. Mengalahkan pergu-
ruan tinggi.
“Saya pernah protes kepada guru, saya bilang kepa-
danya, ‘kenapa kita harus belajar begitu lama? Kami juga
semua ingin mengajar dan menikah, kalau seperti ini ti-
dak akan pernah habis kami belajar, sampai mati…?’”
156 - Ilham Kadir

Protes Kiai Said pada Syekhnya yang berasal dari Mesir


itu.
“Kami belajar basmalah saja dalam surah al-Fati-
hah membutuhkan waktu satu minggu, dalam mata pel-
ajaran tafsir tahlily.59” kenang Kiai Said.
Namun Kiai Said lulus dari semua halaqah yang ada
di pondok As’adiah. Dan mendapatkan ijazah dari setiap
syekh yang mengajar di sana. Lulus dari semua jenjang
pendidikan, dari Madrasah Ibtiddaiyah hingga khalaqah
khusus yang dikelolah oleh para syekh. Beliau mendapat
ijazah dari lembaga pendidikan plus dari perorangan.
Dari segi keilmuan beliau lebih dari cukup.
“Saya pernah ditawari untuk melanjutkan kuliah di
Universitas Al-Aziz Mesir, namun saya tolak,” ujar Kiai
Said, alasan utamanya karena lebih tertarik untuk sege-
ra mengamalkan ilmu yang telah beliau timba selama di
almamaternya.
Namun menurut pengamatanku selama mondok di
Majelisul Huffazh, ada beberapa hal yang memang tam-
pil beda pada Kiai kami. Kitab-kitab bacaannya memang
banyak berkaitan dengan pentolan ulama salaf, dari kar-
ya Para Imam Mazhab mulai dari Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal, juga
para ulama mu’tabar lainnya dari masa kemasa, seper-
ti Imam At-Tabari, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qayyim al-Jauziah, Ibnu Katsir, Muhammad bin Abdul
Wahhab, Ibnu Hazm, juga kitab-kitab hadis Syekh Na-
59 Tafsir yang mengupas tuntas kata perkata, sejarah turunnya ayat, dan penda-
pat-pendapat para ulama yang ahli di bidannya, lawan dari tafsir tematik.
Negeriku di Atas Awan - 157

siruddin Al-Abani senantiasa beliu lahap tak mengenal


waktu. Sedangkan ulama-ulama dalam negeri banyak
bersandar kepada karya tulis, TM. Hasbi Assiddiqie dan
juga A. Hassan. Kedua ulama ini juga tidak sedikit me-
warnai corak pemikiran Kiai Said.
“Tapi kini Pondok As’adiah tidak bisa memenu-
hi harapanku, makanya saya tinggalkan, dan pindah ke
sini,” kata Azis.
Aku pun merasa terangkat, dan yakin kalau pondok
Majelisul Huffazh adalah lembaga pendidikan yang me-
miliki masa depan yang cerah. Kuyakin itu.
Hamsah lain lagi ceritanya, ia juga memiliki alasan
mengapa ia meninggalkan Darul Arqam Gombara.
“Di sana para santri sulit dikontrol, kami sering ke-
luar malam, pengasuhan santri juga tidak ketat. Di sini
saya heran, selain peraturannya ketat dan anak-anak
tidak diberi kesempatan melanggar aturan, juga para
santri-santrinya memiliki kemampuan berbahasa Arab,
kendati masih duduk di kelas satu. Di tempat saya dulu,
hal itu tidak pernah terjadi.” Terang Hamsah pada kami.
“Tapi yang membuat saya kagum, pimpinan kita,
yang makannya saja sama-sama dengan santri, seperti-
nya aneh ya?” tanya Hamsah pada kami.
Mendengar cerita dari Azis dan Hamsah, mem-
buatku lebih mantap untuk terus belajar di Majelisul
Huffazh, sampai tamat. Logika yang aku pakai saat itu
bahwa orang-orang lulusan PM Gontor saja para berda-
tangan ke sini, kenapa saya mesti ke Gontor? Apa lagi jika
158 - Ilham Kadir

dibandingkan dengan pondok terbesar di provinsi ini,


As’adiayah dan Gombara. Informasi dari Azis dan Ham-
sah sudah cukup buat meyakinkan diriku kalau pondok
ini cukup berkualitas dan mampu bersaing.
Selain Kiai Said dan Istrinya Bunda Hasanah yang
memiliki keikhlasan tiada tara, juga para Guru-guru
KMI bekerja dengan seikhlas mungkin, aturan-aturan
pondok terus digondok agar santri tertib dan lancar
dalam mengikuti aktivitas belajar mengajar. Kini garis-
-garis kecil haluan Pondok Pesantren Majelisul Huffadz
telah disusun yang isinya sebagai berikut.
Disiplin Harian:
Seluruh santri diwajibkan salat malam (tahajjud)
berjama’ah setiap jam 04.00. dini hari.
Setiap santri diwajibkan berjama’ah di masjid seti-
ap salat fardhu.
Seluruh santri diwajibkan memakai tanda pengenal.
Setiap santri diwajibkan memakai penutup kepala
(kopiah) saat ke Masjid dan ke dapur.
Setiap santri diwajibkan tidur di kamarnya masing-
-masing.
Seluruh santri diwajibkan memakai kemeja putih
pada waktu salat Jum’at.

Disiplin Umum:
Santri tidak diperkenankan merokok selama menja-
di santri.
Santri tidak diperkenankan berkunjung ke rumah
Negeriku di Atas Awan - 159

penduduk tanpa izin.


Santri tidak dibenarkan keluar kampus tanpa izin.
Santri diwajibkan berpakaian, berbicara, dan ber-
tindak sopan.
Santri diwajibkan agar senantiasa menjaga keber-
sihan dan kerapian kamar beserta sekitarnya.
Diwajibkan bagi santri untuk berambut pendek dan
rapi dengan mengadakan pemeriksaan rambut setiap
bulan.
Santri dilarang membuka kotak, mengambil dan
menggunakan barang orang lain tanpa seizin pemi-
liknya.
Santri tidak dibenarkan berolahraga dan bermain
selain pada waktu dan hari yang telah ditentukan.
Santri dilarang memakai pakaian yang bernuansa
politis (baca: atribut partai atau ormas tertentu)
ataupun golongan.
Santri dilarang menonton televisi, kecuali bila bebe-
rapa hal dan jika diizinkan oleh pimpinan.
Santri tidak dibenarkan memiliki, termasuk me-
nyimpan dan menggunakan barang-barang elektro-
nik seperti handphone, walkman, dan sejenisnya.
Santri supaya menghindari pelanggaran berat lain-
nya seperti, memfitnah, berkelahi, mencuri, merokok,
pacaran, menyimpan dan memiliki senjata tajam
atau yang membahayakan.
160 - Ilham Kadir

Dengan adanya disiplin seperti di atas, maka de-


ngan sendirinya para santri harus taat dan mengikutinya.
Kendati pada awal-awalnya tidak sedikit menelan kor-
ban. Para santri yang terbiasa bebas pasti merasa terte-
kan oleh disiplin. Pada akhirnya mengalah dan pulang.
Di lain pihak bagi yang tetap ngotot di pondok na-
mun terbiasa melanggar akan mendapatkan sangsi. Mu-
lai dari sebatan, dijemur, dibotak, hingga diberhentikan
menjadi santri secara paksa.
“Saya tidak bisa bertahan di pondok ini, tidak be-
tah, terlalu ketat disiplinnya, mana harus belajar dan
menghafal lagi…” itulah kata-kata temanku Rasydin se-
belum minggat.
“Saya yakin konsep disiplin yang diterapkan oleh
para alumni PM Gontor itu pasti bermanfaat buat kita
semua,” begitu kataku membatin jika ada teman yang
memengaruhiku untuk meninggalkan pondok.
Azis dan Hamsah merupakan contoh kongkrit, bah-
wa pondok ini lebih baik dari pondok mereka sebelum-
nya. Kenapa aku harus pergi?
Rasanya tidak ada jawaban yang tepat.
Pintu 23
Hari Barongko

B
unda Hasanah memang bukan sekadar orangtua
pada umumnya, di samping beliau memiliki ke-
cerdasan intelektual, spiritual, juga emosional.
Seakan kebaikan setiap sosok wanita terhimpun pada-
nya. Susah menemukan celah, di kala kami kesusahan
beliaulah yang membantu, dan mengayomi. Di kala sa-
kit, beliaulah yang paling duluan merawat kami. Tidak
ada pilih kasih di antara kami. Semua sama di mata Bun-
da Hasanah. Semua dijadikan anak.
“Kalian semua anakku, jangan sungkan-sungkan
pada saya,” begitulah pesan Bunda selalu pada kami.
Pernah ketika aku sedang sakit keras, dalam wak-
tu yang cukup lama. Lebih dari sebulan, Bunda Hasa-
nah yang merawatku, memperlakukan aku laksana anak
kandungnya sendiri. Bahkan aku ditidurkan di atas tem-
pat tidurnya.
Komunikasi antara aku dan orangtua di kampung
sangat sulit, kendati Pitu-pitu masih satu Kabupaten de-
ngan kampung halamanku, bahkan hanya berselang dua
Kecamatan. Tapi karena medan ke kampung halamanku

161
162 - Ilham Kadir

sangat sulit sehingga komunikasi dengan orangtuaku be-


tul-betul terputus. Adapun ayahku hanya datang dua kali
dalam setahun. Sementara sakit berat menyerangku. Sa-
kit perut yang akut. Membuatku seakan tidak siuman.
Dan hanya Bunda Hasanah tempatku mengadu, dan ia
pun merawatku dengan sepenuh hati.
Jika di tengah malam aku butuh pertolongannya,
maka beliau pun menolong dengan ikhlasnya. Tak kenal
waktu, dan juga tak pernah lelah.
Hari-hari itu kujalani dalam jangka masa yang cu-
kup lama, hampir dua bulan lamanya. Kiai Said, Bunda
Hasanah, Ustadz Rahman silih berganti menjampiku.
Langsung terasa efeknya. Namun yang bertahan agak
lama adalah Kiai Said, sayang beliau tidak selamanya di
rumah Bunda Hasanah, beliau juga harus memberikan
jatah menginapnya pada istrinya yang lain. Bunda Mu-
nirah.
Namun Alhamdulillah akhirnya aku sembuh juga.

Kegiatan di Pondok Majelisul Huffazh terus berja-


lan dengan baik, ibarat sebuah mesin otomatis. Sistem-
nya telah tertanam, jadi para guru-guru KMI tinggal
mengawasi kelancaran program belajar-mengajar, ter-
masuk disiplin para santri dan juga guru-gurunya.
Hari aktif selama seminggu bermula dari hari Sab-
tu hingga Kamis, Jumat sebagai hari kebesaran. Mungkin
juga terbesar keempat setelah, Idul Fitri, Idul Adha, dan
Negeriku di Atas Awan - 163

Ulang tahun pondok. Hari minggu, hari yang aktif sama


dengan hari-hari lain. Bukan hari libur sebagaimana
umumnya di negera kita.
Tapi di sini tidak ada libur mangolo, tetap saja kita
harus menyetor hafalan kendati itu hari Jumat.
“Diumumkan kepada seluruh santri, agar segera
berkumpul di depan kantor KMI…” begitu bunyi pengu-
muman yang terdengar dari pengeras suara yang tergan-
tung di depan kantor KMI, bersebelahan dengan Kelas
Khusus dan Abna Tiga. Abna Tiga juga sama fungsi, be-
sar dan bentuknya dengan Abna Satu dan dua. Donatur-
nya juga manusia yang sama. H. Abbas dan Hj. Nawa.
Tidak lama kemudian, hanya hitungan menit para
santri berkumpul di depan kantor, persis seperti itik
yang akan antri masuk kandang.
“Ayo… buat baris yang lurus, kemudian berhadap-
-hadapan…” kata Ustadz Zaenul sebagai kepala bagian
penggerak bahasa.
Selanjutnya para santri berhadap-hadapan, antara
satu sama lain.
“Silahkan berdialog, apa saja tema yang kalian pi-
lih, selama menggunakan Bahasa Arab…”
Kami pun mulai berdialog, terdengar seperti suara
tawar menawar di pasar, para santri saling melempar
pertanyaan kepada pasangan mereka masing-masing.
Satu bertanya, yang lain menjawab, dengan mengguna-
kan Bahasa Arab.
Ini bermula dari jam 6.30 – 7.15.
164 - Ilham Kadir

Selesai muhadatsah. Kami kembali berbaris dengan


dua baris. Dipecah menjadi beberapa kelompok. Satu
kelompok maksimal 20 anggota. Dan dipimpin oleh satu
guru KMI.
“Ayo… siap-siap kita akan lari pagi!” kali ini penga-
suhan santri yang memberi arahan.
Lari pagi melewati rute sekitar enam kilo meter,
mengelilingi kampung Pitu-pitu dan sekitarnya. Semua
santri harus mengikuti program ini, kecuali yang sakit
atau pura-pura sakit. Kalau ketahuan tidak ikut, dan ti-
dak ada alasan yang dapat diterima. Maka akan menda-
patkan sangsi yang cukup berat.
Setelah lari pagi, kami kembali dikumpulkan untuk
mendengarkan pengarahan dari bagian pengasuhan san-
tri. Santri-santri yang sering melanggar akan mendapat
teguran berat.
Sekitar jam 09.00 pagi, semua sudah selesai. Para
santri sibuk dengan dirinya masing-masing. Kebanyakan
pergi kesumur untuk mencuci pakaian. Ini satu-satunya
waktu yang panjang untuk mencuci pakaian, hari lain
sebenarnya juga ada. Tapi terlalu kilat.
Adapun aku. Di hari Jumat justru hari yang tersi-
buk buatku. Di pagi hari tidak jarang kami, bertiga. Azis,
Hamsah dan Aku sibuk di dapur bantu Bunda Hasanah
membuat barongko. Kadang juga pisang ijo atau roti un-
tuk dimakan seusai salat Jumat.
Di sini, di pondok ini. Kendati hari Jumat hari kebe-
saran, namun tetap menjadi hari yang tersibuk. Bedanya
cuma tidak belajar formal di kelas.
Negeriku di Atas Awan - 165

Hampir juga setiap Jumat Kiai Said meresmikan


santri-santri baru untuk menghafal, mayoritas mereka
yang datang tak kenal waktu adalah para alumni PM
Gontor yang telah selesai pengabdiannya dan datang ke
Pitu-pitu untuk menghafal.
Prosesi peresmian dilakukan setiap bakda Jum-
at. Berjalan sebagaimana biasanya, setelah setiap calon
santri dibacakan nama dan daerah asal, dibacakan juga
Garis-garis Besar Haluan Pondok Pesantren Majelisul
Huffadz, dan selanjutnya Kiai Said membaca beberapa
potongan ayat sebagai tanda seseorang telah resmi men-
jadi santri, ditutup dengan doa dan pengarahan oleh Pak
Kiai. Termasuk trik dan pantangan agar cepat menghafal
atau agar hafalan bisa lengket.
Seusai itu para santri dan jamaah salat Jumat semu-
anya dijamu oleh Kiai Said dengan minuman teh manis
dan kue barongko. Kue yang jumlahnya tidak sedikit itu-
lah yang dibuat oleh kami di bawah mentor Bunda Ha-
sanah. Dapat dibayangkan, seluruh jamaah shalat Jumat
semuanya kebagian barongko, tidak ada yang tertinggal.
Jamaah di sini bukan saja dari kalangan santri tapi juga
dari penduduk setempat yang berdomisili dekat area
pondok atau pun yang datang dari jauh sekadar ingin
shalat Jumat di Pondok Pitu-pitu sambil bertemu muka
dengan Kiai Said.
Dan ini juga termasuk ciri khas pondok ini, para
santri dan jamaah Jumat mendapatkan jamuan makanan
yang enak. Sepertinya tiada duanya di Indonesia.
166 - Ilham Kadir

“Plak… plak… plak..” Kiai Said memukul lantai ru-


mah yang terbuat dari papan, terdengar suaranya keras.
Sebagai aba-aba agar para santri siap-siap menyuap ku-
enya.
“Bismillah…” perintah Kiai.
Dengan segera, seperti perlombaan. Para santri
berlomba-lomba menjulurkan sendoknya yang penuh
barongko kedalam mulunya. Terdengar suara sendok
bergerincing di mana-mana. Tidak lama kemudian, air
teh manis di dalam cangkir, barongko di atas piring ko-
song. Santri pun bubar, untuk istirahat.
Bakda Asar, para santri kembali dikumpulkan un-
tuk siap-siap terjun kerja bakti di empang. Sampailah
menjelang Magrib.
Hari besar, hari yang menyenangkan, dan hari ba-
rongko.
Pintu 24
Panrita Loppo

P
endidikan di Majelisul Huffazh kian satabil, jika
dulu kedatangan para santri-santri yunior atau
yang datang untuk belajar dengan full time, tidak
teratur. Biasanya mereka datang sesuai keinginan dan
kesempatan mereka. Namun setelah terformulasinya
sistem KMI dengan baik, dan sejak terbentuknya ba-
gian-bagian–seperti komisi dalam tatanan legislatif atau
kementrian dalam tatanan eksekusif—sebagai tuntutan
dari banyaknya santri. Maka waktu penerimaan santri
baru pun telah dipatenkan. Yaitu bermula dari bulan Juli
hingga Agustus setiap tahunnya.
Pada perkembangan lainnya. Pondok yang dulu
menjadi musuh bebuyutan dengan aparat pemerintah
laksana tom & jerry, kucing dan tikus. Kini sudah mulai
terjalin komunikasi. Terpaksa akur. Karena santri sudah
terlalu banyak. Atau bisa juga karena Pitu-pitu telah ter-
dengar gaungnya di mana-mana.
Santri yang datang ke sini untuk belajar betul-betul
datang dari seluruh penjuru arah mata angin. Dari Sa-
bang sampai Merauke. Mulai dari suku Aceh sampai

167
168 - Ilham Kadir

suku Papua ada di sini. Benar-benar lintas etnis dan te-


ritorial.
Mimpi Kiai Said, menyalakan lampu petromaks un-
tuk menerangi dunia di atas Bulu’ bilalan telah menjadi
kenyataan. Menerangi dunia dengan ilmu pengetahuan,
sebagai sumber cahaya di tengah kegelapan. Kegelapan
diibaratkan sebagai kebodohan. Orang bodoh akan aga-
ma adalah mereka yang gelap hati, jiwa dan pikirannya.
Sangat mudah diperdaya oleh setan yang terwujud dari
bangsa jin dan juga manusia minal jinnah wan-nas.
Sebagaimana dalam mimpi itu. Kiai Said menya-
lakan lampu petromaks. Yang di sekililingnya terang
benderang, namun di sisi lain. Di bawah tangki lampu
tidaklah begitu seterang di sekitarnya yang terkena ca-
haya langsung dari sumbernya. Pada bagian bawahnya,
cahayanya redup bahkan terlihat nyaris gelap. Kontras
dengan lampu beraliran listrik dan berbola jenis neon.
Kiai Said menakwilkan mimpi itu sebagai, daerah
tempat berpijak pondok yang dikelolahnya itu memiliki
masyarakat yang tidak peduli akan kehadiran pondok
ini, tidak tertarik untuk menimba ilmu di pondok. Kalau
pun ada pastinya juga remang-remang, cuma satu atau
dua orang saja.
Dan mimpi itu juga terbukti. Selama ini bukan saja
masyarakatnya tidak tertarik pada pondok bahkan tidak
sedikit yang ikut-ikutan para oknum di pemerintah me-
musuhi pondok.
Negeriku di Atas Awan - 169

Kalaulah bukan karena pribadi Kiai Said yang di-


anggap memiliki keistimewaan. Maka tidak menutupi
kemungkinan, Kiai Said dibenci bahkan diusir dari kam-
pung Pitu-pitu.
Kiai Said, selain dianggap sebagai ulama yang me-
miliki beragam keistimewaan di luar nalar, di tanah Bu-
gis ia disebut panrita, dapat mengetahui hal-hal yang
tidak diketahui oleh orang-orang awam, termasuk me-
ngetahui kejadian-kejadian yang akan datang dengan
izin Allah, bukan bermakna paranormal, karena istilah
panrita hanya dapat digondol oleh mereka yang telah
bergelar ulama dan memiliki firasat yang tajam sebagai
hasil dari ketinggian ibadah dan kedekatannya pada Al-
lah, konsisten dalam menjalankan syariat agama, ilmu
yang tinggi dibarengi dengan amal dan keikhlasan tak
terbatas, keimanan dan ketakwaan yang menjelma men-
jadi pribadi taat. Selain itu Kiai Said termasuk keturunan
anakarung60.
Ditilik dari segi bahasa panrita berasal dari kata
ita yang berarti orang yang melihat, umum pula ditulis
topanrita tambahan to adalah bahasa Bugis yang ber-
makna orang. Dalam perkembangannya, kata panrita
bisa berarti keahlian teknis, seperti tercermin dari ung-
kapan panrita lopi (ahli pembuat perahu), panrita bola
(ahli dalam membuat rumah), namun dalam pengertian
lebih spesifik setelah terjadi islamisasi secara massal,

60 Susunan fungsionaris masyarakat Bugis dari zaman pasca sejarah adalah,


Anakarung, Panrita, Tau Acca (orang cerdas), Tau Sogi (orang kaya), Tau Warani
(Pemberani, jawara), Tau Maradika (orang bebas), Ata, (Hamba).
170 - Ilham Kadir

termasuk merambah bahasa, dan merubah makna inti


beberapa kata kunci termasuk panrita yang sebelumnya
secara istilah, orang yang memiliki kemampuan khusus se-
cara fisik dan metafisik.
Setelah era islamisasi, panrita berubah arti yaitu
ulama, sehingga dalam masyarakat Bugis panrita loppo
berarti ulama besar, atau pendeta dalam istilah Kristen.
Dari sinilah awal mulanya seorang pakar Bugis, Cristi-
an Pelras yakin bahwa kata panrita diambil dari bahasa
Sanskerta ‘pandita’ yang berarti ‘pendeta atau pertapa.’
Dalam pengertian Pelras, panrita adalah ‘orang yang
menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan ju-
jur’.
Sedangkan anakarung merupakan lapisan teratas
dalam struktur sosial masyarakat Bugis, mereka ke-
turunan para raja. Yang konon di awal kedatangannya
mereka diutus dari luar angkasa. Langit. Untuk tujuan
mengamankan keadaan masyarakat saat itu yang saling
bertikai laksana ikan saling memangsa, dalam lontara
disebut sianre bale.
Kekacauan saat itu tidak ada yang dapat menghen-
tikan, pertempuran terus berlangsung tanpa jeda. Kea-
daan ini berlangsung hinggalah diturunkan manusia dari
luar angkasa yang dalam epos orang Bugis menyebutnya
tomanurung, yang diturunkan. Kelak tomanurung ini me-
nikah dan beranak-pinak serta menjadi pemimpin ma-
syarakat Bugis yang dipanggil Arung. Arung kemudian
melahirkan keturunan yang dinamai anakarung. Kiai
Said termasuk golongan anakarung.
Negeriku di Atas Awan - 171

Karena kedudukan Kiai Said sebagai anakarung


plus juga sebagai panrita, maka para masyarakat Pitu-
-pitu tidak ada yang berani mempertanyakan asal usul
dan kedudukannya. Tidak banyak yang memiliki kedu-
dukan seperti Kiai Said. Ia manusia langka yang pernah
lahir di ranah Bugis.
Pada dasarnya Kiai Said dapat diterima oleh ma-
syarakat Pitu-pitu karena memiliki reputasi yang baik
dan juga berasal dari keturunan anakarung, asal usulnya
terang. Namun yang ditolak pada dirinya, lebih kepada
pemahamannya yang tidak sama denga masyarakat Pitu-
-pitu pada umumnya, dianggap berseberangan.
Tidak jauh beda pada zaman awal kedatangan Ra-
sulullah . Masyarakat setempat khususnya Arab Qu-
raisy menerima beliau karena sifat-sifat pribadinya dan
juga reputasinya sebagai orang jujur dan terpercaya serta
memiliki silsilah keturunan yang jelas. Namun mereka
tidak dapat menerima ajarannya sebagai monoteis. Me-
nyembah Tuhan yang tunggal. Kontras dengan kaum Ya-
hudi, mereka dapat menerima ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah , namun tidak menerima orangnya, karena
bukan berasal dari kaumnya.

Setelah KMI stabil, pemerintah juga telah mulai


berpihak kepada pondok. Terutama setelah terpilihnya
Andi Muhammad Amir sebagai Bapak Bupati Kabupa-
172 - Ilham Kadir

ten Bone, lewat perantara Petta61 Muharram saudara


kandung Jenderal Muhammad Yusuf dan sekaligus ayah
dari Bapak Bupati Bone, beliau menjadi perantara antara
Kiai Said dari pihak pondok yang juga masih tergolong
keluarga dekat Petta Muharram dan Bupati Bone. Maka
mulailah terjalin komunikasi yang aktif dan lancar anta-
ra pondok dengan pemerintah.
Puncaknya, pada tahun 1994 Bapak Bupati Daerah
Tingkat II Bone yang diwakili oleh Andi Muhammad
Amir berkunjung ke Pondok Pesantren Majelisul Huf-
fazh dan menyatakan dukungannya secara terbuka ke-
pada Pondok.
Sejarah baru telah bermula.
“… Saya selaku Kepala Daerah Tingkat II Kabupa-
ten Bone, mendukung sepenuhnya keberadaan pondok
ini, termasuk dalam hal legalitas dan sebagainya. Apa
pun yang berkaitan dengan pemerintah. Saya siap ber-
tanggungjawab dan mendukung secara penuh. Pondok
ini telah mengharumkan nama daerah kita. Kami turut
bangga dengan kehadiran pondok ini. Kendati tidak per-
nah terdengar meminta bantuan kepada siapa pun, ter-
masuk kepada pemerintah, namun santrinya kian ber-
tambah, dan juga makin dikenal. Di sisi lain Kiai Said
masih tergolong kerabat dan keluarga kami, maka ke-
luarga yang berperestasi dan berpotensi untuk berkarya
akan kami dukung sepenuhnya…” ucap Bapak Bupati da-
lam sambutannya pada kesyukuran pondok tahun 1994.

61 Panggilan kehormatan bagi orangtua yang berasal dari keturunan anakarung.


Negeriku di Atas Awan - 173

Momen inilah yang kelak dimanfaatkan oleh Us-


tadz Abrar putra Kiai Said dan Bunda Hasanah untuk
merubah nama Majelisul Huffazh menjadi Darul Qur-
ra’. Kendati dukungan pemerintah mulai cair pada tahun
1993 namun dalam aktanya, pondok ini telah berubah
nama sejak 10 Nopember 1992. Tapi peresmian penggu-
naan nama Darul Qurra sekitar akhir tahun 1993.
Nama ini sengaja dipilih, karena kata qurra’ le-
bih luas dari kata Huffadz. Qurra’ bermakna pembaca,
dalam artian yang lebih mendalam yaitu mereka yang
mendapatkan bentuk bacaan Alqur’an yang sanadnya
bersambung dari Rasulullah  secara beruntun dan tu-
run-temurun. Berantai.
Sedangkan Huffadz lebih bermakna penghafal.
Namun di Timur Tengah dan beberapa negera di Asia
Tengah beranggapan kalau Huffadz adalah para peng-
hafal hadis saja. Sedangkan penghafal Alqur’an dianggap
biasa. Sudah lumrah bagi mereka. Sedang istilah qurra’
selain menghafal juga memiliki kemampuan terhadap
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Alqur’an. Dan itu-
lah salah satu alasan kenapa istilah Darul Qurra’ diguna
pakai sebagai nama paten Pondok Pitu-pitu. Dan inilah
wajah baru yang kian eksis. Nama yang sesuai, ditunjang
dengan dukungan penuh dari pemerintah. Babak baru di
pondok Darul Qurra’ bermula.
174 - Ilham Kadir
Pintu 25
Kehilangan

T
inggal kami bertiga. Aku, Sultan, dan Hatta yang
tersisa ketika duduk di kelas empat KMI, Basri
pulang ke kampung halamannya dan belum jua
kembali. Dapat dipahami memang, kampung halaman-
nya yang nun jauh di Sumbawa NTB itu telah ditinggal-
kannya selama tujuh tahun lamanya. Dia ke Pitu-pitu
sejak menginjak kelas empat sekolah dasar, hinggalah
liburan akhir tahun kelas 3 KMI.
Adapun Azis karena alasan sakit-sakitan, juga ter-
paksa meninggalkan pondok, cuti untuk jangka waktu
yang tidak terbatas. Beberapa lama kemudian, aku men-
dapatkan surat yang beramplop warna putih dengan
prangko gambar Pak Harto, Presiden Republik Indone-
sia.
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah karena kita masih diberi ka-
runia dan nikmat yang tak terhingga dari Allah swt.
shalawat serta salam kita limpahkan kepada Bagin-
da Nabi Muhamaad saw.

175
176 - Ilham Kadir

Saudaraku Iwan Palimai…


Mudah-mudahan Ente dalam keadaan sehat-sehat
wal afiat dan tetap istiqamah dalam mengikuti se-
luruh program yang ada di pondok Darul Qurra’
Pitu-pitu. Dan jangan pernah mundur hingga da-
pat menyelesaikan pendidikan, usahakan tamat dan
menjadi alumni perdana, walaupun Ente harus me-
rangkak. Ingat itu..!
Adapun saya, sangat merasa rugi karena alasan
kesehatan yang memaksaku untuk tidak lagi dapat
belajar bersama antum semua. Tetapi saya yakin ter-
dapat rahasia Allah di balik ini semua. Kuyakin itu
Kawan…
Selama tiga tahun kebersamaan kita, terasa saat-
-saat itu sangat menyenangkan dan berarti buat saya
pribadi. Di samping kita sebagai teman yang saling
mengerti dan mendukung. Kendati juga kita biasa
melanggar disiplin bersama-sama. Terutama pergi
menonton tv di rumah orang kampung… he…he…he…
Tapi anggaplah itu semua kenangan buat kita.
Saudaraku…
Saya kabarkan kalau keadaan kesehatan saya telah
membaik, setelah saya mengikuti terapi pada sebu-
ah klinik herbal di Ujung Pandang. Bahkan selama
dua bulan ini penyakit saya tidak pernah kambuh
lagi, dan minggu ini rencananya saya akan mendaf-
tar masuk kuliah di Universitas Muslim Indonesia.
Doakan agar saya bisa lulus.
Negeriku di Atas Awan - 177

Muda-mudahan suatu saat kita akan bersua kembali.


Salam buat teman-teman semuanya.
Wassalam, Makassar
Azis

Itulah surat yang ditulis oleh Azis, menceritakan


pada aku dan teman-temanku tentang keadaan dan ke-
beradaannya saat ini. Kami semua merasa prihatin dan
menyayangkan, terutama aku dan Hatta. Tapi apa boleh
buat dia terpaksa meninggalkan pondok dan berobat di
Makassar.

“Wan… saya juga mau pulang.” Kata Hamsah pada-


ku.
“Maksudnya, minta izin?” tanyaku.
“Iya…”
“Berapa lama?”
“Ya, untuk selamanyalah.” Jawabnya enteng.
“Yang betul saja Ente..?” tanyaku tidak percaya.
“Betul, sumpah… saya harus pulang.”
“Memang Ente kenapa, kok harus pulang?”
“Mataku sakit, tidak bisa membaca terlalu lama,
sementara kalau kita menghafal, harus dibaca berulang-
-ulang.” Jawab Hamsah meyakinkan aku.
“Kapan minta izinnya?”
“Nanti sore bapakku datang dari Bone, dia yang
mintakan aku izin, kan Bapakku juga yang masukkan aku
di sini.”
178 - Ilham Kadir

Menjelang Asar, orangtua Hamsah benar-benar da-


tang, kulihat Bapaknya berbincang-bincang dengan Kiai
Said di teras, sambil ditemani teh manis panas.
“Hmm… ternyata Hamsah sungguh-sungguh akan
pulang, meninggalkan aku,” gumamku.
Aku merasa sedih, karena dalam jangka waktu yang
tidak lama, harus berpisah dengan teman-teman yang
sangat akrab denganku. Hamsah dengan Azis. Kedua
temanku inilah yang paling banyak membantu aku dari
berbagai segi. Termasuk kebutuhan harianku.
Kami bertiga seakan tidak pernah pisah, di masjid,
di dapur, di empang, di sekolah –kecuali di kelas ka-
rena Hamsah di bawah kami—juga selalu melanggar
bersama, seperti berkunjung ke rumah orang kampung.
Ikatan emosi kami sudah terlalu tinggi dan erat dengan
mereka. Dan kini satu-persatu pulang dan tak kembali.
Aku merasa kehilangan dua teman dalam waktu yang
singkat. Sedih rasanya.
“Wan… itu bapakku sudah datang…” sambar Ham-
sah padaku yang sedang melamun.
“Iya… saya sudah lihat. Oya, langsung pulang ma-
lam ini?” tanyaku.
“Tidaklah, Bapakku saja yang pulang duluan, saya
mau beres-beres barang-barang dulu, Insya Allah kalau
tidak ada halangan besok pagi berangkat.”
Aku berpikir sejenak. Baru hitungan nafas. Hamsah
berkomentar lagi.
“Eh… kok diam saja?”
Negeriku di Atas Awan - 179

Saya merasa bingung, tidak bisa berkata-kata, se-


dih rasanya ditinggal kawan dekat.
“Tidak usah sedih,” hibur Hamsah padaku. Seakan
dia tahu apa yang ada dalam benakku.
“Begini saja, Ente pergi minta izin ke pengasuhan
santri, biar besok kita sama-sama ke Bone, sekalian su-
paya tau rumah aku di mana!” kembali dia memberikan
masukan.
“Oke Bos..!” jawabku sambil tersenyum sumringah,
dan girang bukan main.
Malam itu aku melangkah ke kantor KMI demi
minta izin untuk tidak masuk kelas keesokan harinya
yang saat itu bertepatan pada hari kamis.
“Assalamu ‘alaikum Ustadz.”
“Wa alaikumussalam,” jawab Ustadz Achsani.
“Madza turid ya Iwan, Iwan mau apa?”
“Urid an asta’zin ya Ustadz, saya ingin minta izin.”
“Ila aena, mau kemana?”
“Ila madinati Bone ya Ustadz, mau ke kota Bone.”
“Kam yauman, berapa hari?”
“Yaumaen ya Ustadz, dua hari Ustadz.”
Setelah itu terlihat Ustadz Achsani menarik seca-
rik kertas yang telah berisi tulisan seperti formulir mini.
Kupastikan kalau itu adalah tasrih, surat izin. Tidak ba-
nyak bertanya padaku, karena beliau juga sangat paham
kalau aku dekat dengan Bunda Hasanah dan Kiai Said,
selain aku memang jarang sekali minta izin keluar pon-
dok. Inilah menjadi salah satu pertimbangan, mengapa
180 - Ilham Kadir

aku sangat mudah diizinkan. Padahal teman-teman lain,


izin setengah hari saja susahnya minta ampun.
“Hatta yaumul jum’ah massa’an, sampai hari Jumat
sore,” kata Ustadz Achsani.
“Syukuran Ustadz, Terima kasih,” jawabku girang.
Empat tahun aku di pondok, namun baru kali ini
akan menginjak Kota Bone, kota kabupatenku, karena
juga membawahi Bontocani. Betapa tidak. Selama ini aku
hanya mendengarnya lewat cerita-cerita dari teman-
-teman dan ayahku.
Namun besok akan lain ceritanya. Aku akan me-
nyaksikan bagaimana sebenarnya pesona kota Arung
Palakka, yang selama ini hanya kudengar lewat cerita.
Besok aku akan datang menemuimu wahai Kota Bone.
Begitulah yang terlintas dalam benakku malam itu.
Kepergianku untuk mengantar teman dekatku yang pu-
lang meninggalkan pondok selamanya terasa menjadi
ringan. Tidak lagi sedih. Malam itu betul-betul malam
yang panjang buatku. Menghayal tentang kota Bone.
Orang gunung masuk kota. Begitulah gambarannya.
Maklumlah kota selama ini yang aku tau hanya pasar
sentral Sinjai. Dulu pernah juga ke Ujung Pandang, tapi
sewaktu kelas dua SD.
“Teng… teng… teng…” Pukul 03.45 pagi. Suara lon-
ceng berdentang laksana misa akan dimulai. Sebagai
aba-aba agar seluruh santri segera bangun dari tidurnya.
“Qum… qum… qum… bangun… bangun… bangun…”
terdengar suara oleh salah seorang pengawas dari dalam
kamarnya.
Negeriku di Atas Awan - 181

Aku dan teman-teman sudah mulai bangun satu-


-persatu, segera mengganti celana panjang dengan sa-
rung, menyambar kopiah, Alqur’an dan segera ke sumur
untuk berwudlu dan selanjutnya ke Masjid, kediaman
Kiai Said.
Setelah salat Subuh berjamaah, mangolo, aku de-
ngan Hamsah ke Sumur Atas untuk mandi, selanjutnya
berpakaian rapi untuk siap-siap berangkat.

Sebelum para santri masuk kelas, aku dan Hamsah


sudah menenteng koper yang berisi pakaian, dan dua
kardus indomie yang berisi buku. Hamsah menjinjing
koper dan aku yang membawa buku yang disesak dalam
dua kardus.
“Itu pete’-pete’ sudah tiba.” Kata Hamsah.
Dengan sendirinya pete’pete’ itu berhenti. Dan
kami berdua pun naik. Meninggalkan Pitu-pitu. Melewati
Salomekko, Tonra, Mare, dan Cina62 sebelum sampai ke
Kota Bone.
“Wan… kita sudah masuk gerbang kota Bone,” kata
Hamsah.
“Oh… ini ya?”
“Masih jauh lagi tidak?” tanyaku lagi.
“Tidak kok, sudah dekat.”
Tidak begitu lama, hanya dalam hitungan menit,
kami pun sampai ke terminal. Dari terminal kami ber-
dua naik becak menuju ke rumah Hamsah.

62 Nama kecamatan di Kabupaten Bone.


182 - Ilham Kadir

Rumahnya berada tepat di depan tanggul sungai


dalam kota, terlihat sungainya begitu jernih, banyak lu-
mut-lumutnya kendati ada beberapa potongan sampah,
namun karena airnya deras sehingga sungai yang mem-
belah kota Bone ini terlihat bening, tidak jarang juga
kita menyaksikan ikan mas dan gabus berenang di te-
ngah-tengah sungai. Terbanyang akan sungai yang ada di
kampungku, Bontocani. Maklum saja selama bertahun-
-tahun di Pitu-pitu aku tidak pernah lagi menyaksikan
sungai seperti di dalam kota ini. Inilah kesanku yang
mendalam ketika pertama kali tiba di rumah Hamsah.
“Emma63… ini temanku, namanya Iwan, dia berasal
dari Bontocani, dia sudah kelas empat KMI di Pitu-pitu.”
Kata Hamsah kepada ibunya. Dia memperkenalkan aku
padanya.
“Indah… Buat minuman untuk kakakmu dan teman-
nya.” Terdengar kata perintah itu dari ibunya Hamsah.
Tidak terlalu lama, keluarlah seorang gadis mungil
putih, yang masih mengenakan pakaian sekolah dengan
baju kemeja dan kerudung putih dipadu dengan rok pan-
jang warna biru. Pada bajunya terdapat lambang kapas
dan padi, ujung bawanya tertulis, “Madrasah Tsanawiah
Negeri I Watampone”.
“Owh, dia masih sekolah di Tsanawiah,” pikirku.
“Wan… hadzihi ukhty, Ini adik perempuanku.” Kata
Hamsah memperkenalkan adiknya.

63 Panggilan untuk ibu dalam bahasa Bugis.


Negeriku di Atas Awan - 183

“Na’an ra aetu, iya, sudah saya lihat,” jawabku


pura-pura tidak perhatikan, padahal jauh dari lubuk ha-
tiku yang terdalam, ingin bicara dan kenal lebih jauh
dengannya.
Setelah kami bincang-bincang dengan Hamsah dan
Ibunya, aku pun ditunjukkan kamar sebagai tempat isti-
rahat.
“Masukkan barang-barangmu di sini, anggaplah ru-
mah sendiri, tidak usah sungkan-sungkan,” kata Hamsah
padaku.
Rumah ini cukup sederhana bahkan luas, memi-
liki empat kamar, juga dapur, ruang keluarga dan ruang
tamu, pada ruang tamu disediakan berupa perpustakaan
mini. Yang berisi buku-buku bacaan islami.
Hamsah, anak ke tiga dari enam bersaudara, kedua
kakaknya sedang menempuh studi pada jenjang perguru-
an tinggi. Ayahnya seorang pejabat penting di Kabupaten
Bone. Kehidupan keluarganya termasuk mapan. Kendati
ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga. Ibunya juga sa-
ngat ramah, suaranya lembut, dan memperlakukan aku
seperti anaknya. Aku bukan hanya suka pada Hamsah,
namun semua isi keluarga ini karena mereka adalah
orang-orang yang baik. Terutama adik perempuannya.
Indah.
Malam itu aku diajak oleh Hamsah keliling kota
Bone menggunakan kendaraan dinas milik ayahnya, se-
buah mobil kijang super yang terlihat masih mulus. Per-
tama-tama aku diajak ke taman bunga yang di dalamnya
184 - Ilham Kadir

terdapat patung Arung Palakka, pemimpin orang Bugis


yang dalam sejarah Nasional dianggap sebagai penghia-
nat karena berkolaborasi dengan Belanda untuk memu-
suhi Sultan Hasanuddin yang saat itu memerintah ke-
rajaan kembar Gowa-Tallo. Kerajaan Islam terbesar di
Nusantara bagian timur.
“Itu patung Arung Palakka.”Kata Hamsah Padaku.
Kendati malam hari, namun terlihat jelas patung itu
karena diterangi dengan lampu sorot ribuan watt, tinggi-
nya sekitar tiga meter, berambut gondrong, rambutnya
diikat dengan tali, memegang tombak dan menghadap
ke Barat. Ke arah gedung bangunan Kantor DPRD Ka-
bupaten Bone. Seakan ia mengawasi para legislator yang
berkantor di dalam gedung agar selalu berbuat jujur dan
tidak menghianati rakyak.
“Gagah benar ya, sayang dia penghianat,” kataku,
mengomentari patung itu.
“Husst… jangan sekali-kali bilang kalau Arung Pa-
lakka itu penghianat di depan orang Bone di sini, dia
akan mengamuk, dan bisa saja mencelakai Ente,” Ham-
sah menasihatiku, dan aku pun terdiam sejenak.
“Saya kan cuma baca di buku sejarah, waktu kelas
empat SD.” Jawabku membela diri.
“Iya… saya tahu, tapi di sini keturunannya tidak da-
pat menerima stigma itu.”
“Yah, sudahlah kita cari makan dulu, baru pulang
istirahat, besok pagi kita jalan-jalan lagi, bakda Jumat
baru pulang ke pondok.”
Negeriku di Atas Awan - 185

“Oke Bos..!” jawabku mantap.


Tepat jam 09.00 pagi, aku diajak oleh Hamsah ke-
rumah adat orang Bone, yang disebut assarajang. Rumah
ini ukurannya sangat besar. Rumah panggung yang me-
miliki luas sekitar 70 x 80 meter, cukup tinggi dan me-
miliki sembilan puluh sembilan tiang. Atapnya terbuat
dari kayu yang dipotong kecil-kecil 10 x 15 cm. disusun
dengan rapi sehingga terlihat sangat indah. Rumah ini
berada di jantung kota dengan luas halaman tidak ku-
rang dari tiga hektar. Halamannya diperindah dengan
beragam bunga yang sedang mekar. Aroma keharum-
annya terasa menusuk hidung. Menjadikan rumah adat
ini benar-benar menampakkan auranya yang memikat.
Paduan antara masa silam dan masa kini.
“Inilah rumah adat orang Bone.” Komentar Ham-
sah seakan menegaskan dirinya sebagai seorang guide.
“Padahal selama ini saya hanya baca dari buku atau
dengar dari orang lain,” jawabku.
Aku menikmati dan terkagum-kagum akan arisi-
tektur karya orang Bugis ini. tak terbayang pula bagai-
mana caranya mengangkut tiang-tiang itu yang memiliki
diameter 80 cm. sungguh luar biasa.
“Untuk merekatkan antara satu tiang penyangga
dengan yang lainnya, para arisitek masa silam itu cukup
menggunakan telebut, sejenis paku pasak bulat sebesar
jari telunjuk yang lazim dipakai para pembuat kapal phi-
nisi untuk menautkan kayu satu sama lain, bukan dari
paku atau pun baut berbahan besi.” Tambah Hamsah
lagi.
186 - Ilham Kadir

“Sebuah maha karya yang patut diapresiasi dan di-


lanjutkan…” imbuhku.
Selesai menikmati indah dan perkasanya assara-
jang, kami selanjutnya mengunjungi museum, letaknya
tidak jauh dari Taman Bunga yang juga masih berada
ditangah-tengah kota.
“Inilah Museum Lapawawoi, milik orang Bone.”
“Bisa masuk tidak?”
“Ya, bisalah.” Jawab Hamsah.
Kami pun masuk, di dalamnya terlihat benda-ben-
da peningglan para raja dan pembesar-pembesar tanah
Bugis. Ada pedang sepanjang dua meter, juga terdapat
beragam keris dan badik. Ada kamar-kamar yang diisi
dengan sesajen, bau kamenyam terasa menusuk hidung.
Tampak pula beberapa alat-alat tenun, yang dipakai un-
tuk merajut benang agar menjadi sutera Bugis, kain ke-
rajaan yang sangat masyhur. Terdapat pula contoh-con-
toh sarung Bugis yang belum jadi, maupun yang sudah
jadi. Dan tidak ketinggalan songkok Bugisnya. Selain itu
dapat dijumpai pula pakaian para raja yang berkancing
teluk belanga.
“Ini pakain raja-raja.” Kata penjaga museum itu.
Berada dalam museum, terasa mengingat kembali
kejayaan orang-orang Bugis berabad-abad yang lampau.
Yang telah mengarungi seluruh benua yang ada di muka
bumi ini. Konon sebelum Columbus menginjakkan kaki
di benua Amerika, orang Bugis sudah duluan berada dan
beranak-pinak di sana. Bahkan nama Amerika tidak le-
Negeriku di Atas Awan - 187

pas dari bahasa Bugis. Awalnya ketika kapal phinisi yang


akan mendarat ke benua Amerika mengambil arah yang
salah, tiba-tiba asisten nakhoda berteriak, “Ammirikko,
miringkan kapal.” Kapal pun dimiringkan oleh sang na-
khoda.
Selanjutnya seisi kapal menamakan pulau yang su-
dah terlihat dari jauh itu sebagai ‘Amiriko’ dan kelak
menjadi ‘Amerika’. Dari sejak itulah orang-orang Bugis
dan pendatang menamai benua baru ini ‘Amerika’.
Dalam lemari antik, terlihat juga lembaran-lem-
baran daun lontar yang terdapat tulisan beraksara lon-
tara. Untuk menghasilkan tulisan di atas daun lontar
setidaknya memerlukan kesabaran. Daun lontar yang
akan dipakai untuk menulis itu haruslah dipilah-pilah,
selanjutnya dibuat laksana anyaman, dibasah lalu dike-
ringkan dengan cara menindisnya di bawah kayu dalam
jangka masa yang lama, tidak kurang dari 60 hari. Dua
bulan lamanya, setelah itu baru bisa dipakai menulis
dengan menggunakan huruf lontara. Hurufnya dinamai
demikian untuk mengabadikan daun lontar itu. Ternyata
sebelum ada kertas susah juga untuk menulis. Tsai Lung
sang penemu kertas berasal dari Negeri Tirai Bambu,
benar-benar berjasa. Gumamku dalam hati, setelah me-
ngetahui rumitnya menulis lontara di atas daun. Dalam
mitologi orang-orang Bugis, tulisan lontara merupakan
tulisan yang langsung diajarkan oleh Tuhan kepada ma-
nusia, selain Tulisan Arab, Latin, India, dan Cina.
188 - Ilham Kadir

Menjelang siang, karena hari ini hari Jumat, maka


aku dengan Hamsah pulang ke rumah, dan siap-siap un-
tuk melaksanakan shalat Jumat di Masjid Agung Assalam
Kota Bone.
Masjid kebanggaan masyarakat Bone, luas dan in-
dah. Dipenuhi oleh kaligrafi karya Ustadz Arif, yang
pernah mengajarku khat di pondok sewaktu duduk di
kelas satu KMI. Tulisannya luar biasa indah. Menambah
masjid ini makin elok ditatap.
Selesai menunaikan shalat Jumat, kami kembali ke
rumah Hamsah untuk pamit, dan kembali ke Pitu-pitu
dengan mengendarai armada pete’-pete’. Butuh perjalan-
an empat jam untuk sampai ke pondok.
Perpisahan yang indah dan penuh makna antara
aku dan Hamsah. Bahkan lebih dari itu semua, seakan
aku telah mendapatkan keluarga baru. Orangtua Ham-
sah sangat suka padaku, terutama ibunya, ayahnya juga
demikian, cuma satu orang yang aku temukan di rumah
itu masih menyimpang misteri, apakah ia suka atau tidak
padaku? Kalau suka sebatas apa? Apakah hanya seka-
dar teman kakaknya? Aku inginkan lebih dari itu semua,
kendati bukan sekarang, suatu saat nanti. Dialah Indah
adik perempuan Hamsah.
Pintu 26
Relokasi Tinja

S
emenjak kedatangan Bapak Bupati di Pondok dan
telah berubah nama menjadi Darul Qurra’, yang
dulunya bernama Majelisul Huffadz, membuat
pondok ini laksana kepompong merubah diri menjadi
kupu-kupu. Dapat terbang sesuka hati untuk menam-
pakkan diri. Tidak ada lagi halangan, rintangan, maupun
hambatan yang berarti. Bebas dan merdeka.
Gaungnya kian menggelegak seantero nusantara,
bahkan santri dari mancanegera pun datang, dari nun
jauh di benua lain, dari sebuah Negera bernama Surina-
me sampai Negeri Jiran juga ada di sini.
Tertib administrasi juga sudah berjalan, santri didata
dan dibuatkan laporan bulanan kepada pihak pemerintah.
Jumlah guru juga menggapai puncaknya, menghampiri se-
ratus personil. Santri yuniornya pun sudah ratusan.
Masalah baru timbul. Pondok sudah over capacity,
tidak dapat lagi menampung jumlah guru dan santri yang
datang berguru.
Salah satu faktornya karena silih bergantinya me-
dia datang meliput pondok yang dianggap unik bahkan

189
190 - Ilham Kadir

aneh, mulai dari media cetak lewat koran ‘Pedoman


Rakyat’, maupun elektronik yang saat itu diwakili oleh
RRI dan TVRI.
Kiai Said kembali memutar otaknya, dibantu oleh
putranya Ustadz Abrar yang juga sudah kembali dari Su-
dan dan telah menggondol ijazah magister dalam bidang
tafsir. Hal pertama yang diprioritaskan, bagaimana men-
dapatkan lokasi baru untuk dapat mendirikan kampus.
Agar para santri mendapatkan tempat tinggal yang layak
serta dapat belajar dalam suasana nyaman.
“Kita sedang berusaha untuk bisa mendapatkan lo-
kasi yang baru untuk pondok ini, mohon doanya semua.”
Kata Ustadz Abrar dalam ceramahnya bakda Magrib.
Dengan usaha yang giat, dan dukungan dari Bapak
Bupati yang saat itu diemban oleh Andi Muhammad
Amir, maka pondok mendapatkan lokasi yang baru, ti-
dak jauh dari rumah pimpinan, hanya berjarak sekitar
500 meter sebelah Barat. Lahan seluas tiga hektar itu
siap dijual oleh para pemiliknya untuk didirikan kampus
baru.
“Kita memberi kesempatan kepada kaum muslimin
untuk berwakaf, berapa pun kemampuannya, mulai dari
satu meter… tergantung kemampuan.” Ucap Ustadz Ab-
rar kepada seluruh santri Darul Qurra’.
Dengan harga tanah Rp. 25.000 per meter, maka
hanya hitungan hari lahan yang seluas tiga hektar itu
sudah terbeli. Para dermawan pun datang mengantre.

Negeriku di Atas Awan - 191

Muhammad Jusuf Kalla yang sedari awal tidak se-


dikit sumbangsinya pada pondok Darul Qurra’. Jika dulu
diawal kedatanganku para santri harus memikul air dari
Sumur Atas untuk keperluan dapur, tapi untuk sekarang
ini tentulah tidak memungkinkan. Walau pernah juga
menggunakan grobak dengan diisi jerigen berkapasi-
tas 50 kg, satu grobak dapat mengangkut minimal lima
jerigen. Itu artinya sekali jalan dapat mengangkut 250
kg. namun grobak juga sudah tidak relevan lagi, karena
jumlah santri sudah ratusan, dalam data terakhir me-
nunjukkan kalau santri dan guru KMI sudah mencapai
600, bahkan lebih.
Tanpa ada yang minta, baik dari pihak pondok,
maupun dari luar, dengan secara mengejutkan, seorang
pengusaha terkenal asal Makassar bernama Muhammad
Jusuf Kalla menghibahkan sebuah mobil kijang pick up
ke pondok. Kendaraan ini sangat besar nilai dan jasanya
terhadap kelangsungan, kelancaran aktivitas, serta pem-
bangunan pondok.
Mobil ini jugalah yang diguna pakai untuk meng-
ambil air di rumah Selatan, tempat tinggal Bunda Mu-
nirah istri Kiai Said. Para santri juga sudah tidak terla-
lu bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan air di
dapur. Yang kian berat kerjanya menurut kesaksianku
adalah Bunda Hasanah, karena beliaulah yang menye-
diakan makanan untuk para santri dan guru-guru yang
jumlahnya mencapai 600 orang. Beliau seakan bekerja
tanpa henti, dan juga tak kenal lelah. Dan yang paling
luar biasa, tidak pernah keluar kata-kata keluh kesah
192 - Ilham Kadir

dari bibirnya. Beliau sangat menikmati aktivitasnya yang


kian padat dan berat di mata kita. Luar biasa.
“Nak Iwan… Coba tanyakan di kantor KMI, ada lagi
tambahan guru atau tidak, supaya jatah makanan untuk
guru ditambah.” Pinta Bunda padaku.
“Iyye’ Puang.”
Aku pun bergegas ke kantor, menjumpai Ustadz Ya-
zid selaku direktur KMI.
“Afwan Ustaz, mau tanya, berapa sekarang jumlah
guru semuanya?” tanyaku.
“Fihi ziyadah arba’ah ustazan, ada tambahan empat
guru, jadi semuanya delapan puluh empat,” jawab Ustadz
Yazid.
Aku pun segera melapor pada Bunda Hasanah.
“Katanya delapan puluh empat Puang,” laporku.
“Sediakan duapuluh satu nampan.” Perintah Bunda
padaku.
Di sini, para guru-guru makan dengan lauk terdiri
dari lima jenis dan diletak dalam piring, lauknya terdiri
dari ikan, telur, sambal, dan sayur. Lauk-pauk yang telah
diletak dalam piring itu kemudian diletakkan lagi di atas
nampan. Satu nampan untuk empat porsi. Jadi kalau 21
nampan sama dengan 84 porsi. Begitulah Bunda Hasa-
nah memperlakukan para guru-guru KMI. Sangat mulia.
Adapun para santri, seperti kami semua. Nasi cu-
kup diciduk di dalam piring, kemudian dicampur ikan,
sambal, sayur, dan telur. Ini sangat efektif karena jumlah
kami sangat banyak. Ratusan. Dan seluruh nasi yang dici-
Negeriku di Atas Awan - 193

duk ke dalam piring itu. Semuanya dikerjakan oleh Bun-


da. Terkadang juga kasihan melihatnya, karena terpaksa
berhenti sejenak untuk istirahat atau sekadar mendi-
nginkan tangannya dari uap nasi panas. Kalau pemba-
gian sayur, ikan, sambal, dan telurnya, cukup kami para
kepercayaannya yang melakukan itu. Pembagian nasi
lebih susah, karena masih panas, ditambah harus tepat
pada setiap satu takaran, bila tidak, bisa jadi nasi akan
tidak cukup. Jika nasi yang tidak cukup akan lain ceri-
tanya karena harus masak semula dengan jangka wak-
tu yang cukup lama, berbeda dengan lauk, jika terdapat
kekurangan, cukup mencaplok telur di atas wajan, maka
segera dapat dinikmati.
“Hitung betul-betul ya? Jangan sampai ada lagi ke-
kurangan…” Pinta Bunda.
Segera kami hitung jumlah nasi yang telah dicuduk
ke dalam piring, dan telah dipenuhi lima macam lauk.
Ada yang aneh mengenai takaran ini, pernah suatu
ketika aku iseng-iseng mengambil jatah temanku yang
lain, sehingga aku makan dua piring karena rasanya satu
piring saja tidak cukup. Tetapi aku juga tidak mampu
menghabiskan dua piring dalam sekali makan. Takar-
an yang diporsikan Bunda kepada kami memang betul-
-betul sesuai ukuran dan tuntunan hadis Nabi. Makanlah
di kala lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Di pondok Darul Qurra’ masalah makan, sama se-
kali bukan kendala, kendati para santri digratiskan dari
berbagai pembayaran termasuk makan, santri tidak per-
194 - Ilham Kadir

nah kekurangan makan dan makanan, lauknya pun cu-


kup beragam, dan santri-santrinya kelihatan sehat wal
afiat, lahir batin. Bahkan tidak sedikit tubuhnya makin
gumuk atau juga kekar.
“Saya tidak pernah pusing terhadap apa yang harus
dimasukkan ke dalam perut para santri, yang saya pu-
singkan ke mana isi perut akan dibuang?” begitu komen-
tar Kiai Said yang disambut dengan tawa para hadirin.
Betul. Yang menjadi problem utama pondok adalah
tidak adanya lokasi pembuangan tinja. Karena kampus
baru yang luasnya tiga hektar itu baru dimulai pemba-
ngunannya. Fasilitas yang tersedia saat ini untuk santri
sangat minim, jangankan lokasi belajar dan asrama. Un-
tuk pembuangan tinja saja sudah penuh dan tak mam-
pu lagi menampung isi perut para santri yang tak kenal
waktu mengantre di depan water clouse.
Jadi salah satu fungsi keberadaan kampus baru
akan menjadi relokasi tinja.
Negeriku di Atas Awan - 195

Pintu 27
Pasukan Nabi Sulaiman

S
emenjak terbebaskannya lokasi tempat berdiri-
nya kampus baru, pekerjaan terus berlangsung
tak mengenal waktu. Sepertinya para pekerja
yang terdiri dari para santri dan tukang, baik kayu mau
pun batu, hanya istirahat jika makan dan salat. Di waktu
malam sekalipun para santri hanya berhenti bekerja jika
jarum jam menunjuk ke angka sepuluh. Setiap santri di-
gilir, untuk terjung bekerja. Jadi aktivitas belajar meng-
ajar tetap normal sebagaimana biasanya. Adapun jumlah
personil yang diturunkan biasanya mencapai dua sampai
empat kelas.
Kecuali kami, yang telah duduk di kelas lima. Kami
bertiga, usai menjalani pelajaran di kelas, harus sege-
ra terjun bekerja di siang harinya. Mulai dari mengatur
para santri yang bertugas bekerja hingga menyediakan
logistik berupa konsumsi para tukang. Semua dimasak
oleh Bunda Hasanah, yang jumlahnya sangat tergantung
dari laporan yang aku berikan.
“Iwan… pastikan semua tukang mendapat konsumsi
dari dapur.” Ujar Kiai Said padaku.
196 - Ilham Kadir

“Insya Allah Puang, akan saya hitung dengan tepat,


karena saya lihat banyak tambahan dari Arallae64, mere-
ka datang dengan alat-alat yang lengkap, dan semuanya
sukarela,” jawabku menerangkan.
“Hari ini kelas berapa yang turun?”
“Kelas tiga dan empat Puang, jumlahnya tiga kelas,
kelas tiga dua kelas, dan kelas empat satu kelas.”
“Jangan satukan yang semua santrinya besar-besar,
diatur saja, misalnya kelas satu disandingkan dengan ke-
las empat, supaya sekaligus ada yang mengawasi.”
“Iyye’ Puang.”
Bangunan yang pertama dikerubuti penggalian pon-
dasinya sebuah tapak untuk pembangunan masjid, yang
luasnya 30 x 40 meter. Inilah bangunan yang menjadi
terawal dibangun namun terlambat selesai.
Bangunan ini ditangani oleh Prof. Dr. Abdurrahman
Basalamah yang saat itu menjabat Rektor Universitas
Muslim Indonesia. Beliau juga tidak sedikit andilnya da-
lam memperkenalkan pondok pesantren Darul Qurra’,
terutama di kalangan mahasiswanya sendiri, sehingga ti-
dak sedikit keluarga dari mahasiswanya datang belajar
ke pondok.
Masjid yang ditangani langsung oleh Sang Rektor
ini dananya bersumber dari Timur Tengah, namun tang-
gungjawab sepenuhnya di tangannya.

64 Kampung halaman Bunda Hasanah, sekitar 7 km sebelah Barat kampung Pitu-


-pitu.
Negeriku di Atas Awan - 197

Entah dapat kabar dari mana, sehingga dalam wak-


tu sekejap para dermawan sudah datang ke pondok. Me-
reka berebutan minta jatah bangunan. Ini aneh, sungguh
aneh bin ajaib. Betapa tidak, pondok selama ini yang ti-
dak pernah memberikan informasi tentang lahan baru
yang telah bertapak tidak jauh dari rumah Kiai Said itu
dengan sendirinya mengundang para dermawan untuk
menginfakkan sebagian hartanya. Cuma ini berbeda de-
ngan dermawan pada umumnya. Satu dermawan atau
donator langsung mengkapling satu bangunan. Dan ke-
lak nama donator tersebut menjadi nama bangunan itu.
Salah satu donatur yang paling awal mengetahui
tentang adanya kampus baru bagi pondok adalah Haji
Daeng Makkita, beliau salah satu pengusaha jasa angkut-
an dari Jakarta, ia langsung menghadap Pak Kiai.
“Ustadz, saya minta satu bangunan.”
“Iya, bangun saja, buat bangunan untuk ruang kelas
santri.” Jawab Kiai Said.
“Besok saya mulai Usatdz, tapi santri tidak usah di-
libatkan, biarkan mereka belajar dan berdoa, masalah
pekerja, biar saya yang datangkan sendiri.”
“Begitu juga baik.” Jawab Kiai Said.
Pekerjaan pun dimulai, Daeng Makkita menda-
tangkan pekerja dari buruh hingga tukang, mereka be-
tul-betul sudah ahli sehingga pekerjaan dengan cepat
teratasi. Hanya hitungan minggu, bangunan dua lantai
dengan ukuran 12 x 30 itu berdiri tegak. Bangunannya
terbuat dari beton, kecuali lantai dua, empunya bangun-
198 - Ilham Kadir

an lebih memilih dengan menggunakan kayu ulin hitam


yang didatangkan khusus dari Kalimantan, “biar nuansa
Bugisnya terlihat,” kata sang donatur.
Tidak lama kemudian, hampir bersamaan. Haji Ab-
bas dan dan Istrinya Hajjah Nawa juga mendirikan ba-
ngunan di sebelah Barat bangunan H. Daeng Makkita,
luas, ukuran, dan fungsinya juga sama. Hanya hitungan
minggu bangunan itu sudah terlihat berdiri, pun begitu
H. Tahir, yang juga merupakan teman akrab pimpinan
yang berdomisili di Pitu-pitu, setiap waktu salat selalu
bersama Kiai Said, juga mengambil kapling sebagaimana
Deang Makkita dan Abbas, tidak lama kemuadian, ba-
ngunan-bangunan terus bertambah, termasuk bangunan
yang terbesar milik Muhammad Jusuf Kalla.
Bangunan Daeng Makkita benar-benar sudah ram-
pung, dan inilah satu-satunya donator yang dengan
sendirinya datang dan berdiam di pondok mengawasi
langsung pembangunan gedung untuk pondok. 24 jam.
Makanya menjadi yang pertama kali selesai dengan
sempurna. Tinggal menunggu aksesorisnya. Meja, kursi,
papan tulis, dan sebagainya. Empunya bangunan sendiri
yang akan mengadakan barang-barang tersebut.
“Ini untuk saham saya di akhirat kelak.” Katanya
padaku ketika kami bincang-bincang dengannya.
Masalah aneh kemudian mucul, dana peruntukan
yang telah disiapkan sedari awal oleh Daeng Makkita di
luar dugaan. Beliau menyediakan dana sekitar dua miliar
untuk pembangunan lokal belajar yang berlantai dua ini.
Negeriku di Atas Awan - 199

Dan ternyata hanya menelan biaya sekitar satu miliar


lebih sedikit, mungkin sekitar satu koma satu miliar. Se-
hingga surplus sekitar sembilan ratus juta rupiah. Beliau
pun menghadap pada Kiai Said.
“Ustadz, bangunan saya sudah selesai dan siap pa-
kai. Tinggal menunggu aksesorisnya saja.”
“Iya, saya sudah cek dan periksa semuanya kemarin
sore, memang sudah beres saya lihat.” Jawab Kiai Said
santai.
“Ee…ee… begini Ustadz, kemarin kan saya sediakan
dana dari Jakarta dua miliar, uang itu memang saya niat-
kan untuk pembangunan di pondok ini, sementara yang
terpakai totalnya sekitar satu koma satu miliar saja, ma-
sih tersisa sembilan ratus juta, menurut Ustadz sebaik-
nya uang yang lebih ini saya kemanakan?”
“Bawa saja pulang, kan bengunan Kamu sudah jadi.”
“Kalau saya berikan pada Ustadz untuk kebutuhan
santri, bagaimana?”
“Tidak usah, kebutuhan santri itu tanggungjawab
saya dengan Allah, bawa saja pulang duit Kamu.”
“Bisa minta bangunan lagi tidak?”
“Apa?” Tanya Kiai Said dengan nada suara tinggi.
“Minta untuk mendirikan bangunan lagi Ustadz.”
“Tida usah, Kamu kan sudah punya satu, berikan
juga kesempatan kepada orang lain untuk beramal, akan
banyak yang butuh nanti.”
“Tapi yang pesan bangunan orangnya belum ada di
sini Ustadz, saya mohon…”
200 - Ilham Kadir

“Ahh… Kamu itu tidak bersyukur, dikasi satu ba-


ngunan kok minta dua.”
“Pokoknya kalau duit saya tidak habis, saya tidak
mau pulang ke Jakarta, saya di sini saja temani Ustadz…”
Kiai Said berpikir sejenak, dia tahu betul siapa Deng
Makkita, beliau kenal sedari kecil, masih tergolong ke-
luarga, daerah asalnya Lappae, Sinjai. Berasal dari kelu-
arga sebelah ayah. Dia tetap ngotot untuk menghabiskan
duitnya yang tersisa untuk pondok. Duit baginya tidak
masalah, memiliki beragam usaha, mulai dari pertoko-
an, armada kapal layar, kapal ikan, dan sebagainya.
“Setelah saya pikir-pikir, bolehlah kamu mendiri-
kan bangunan untuk kantin santri. Ingat, ini yang tera-
khir, jangan minta lagi…” Tegas Kiai Said.
Segera, Daeng Makkita menurunkan pasukannya
untuk mengeksekusi pembangunan kantin santri. Peker-
jaan pun dimulai dengan segera dan sigap.
Setelah itu, aku, Daeng Makkita, Kiai Said, dan
Puang Ali kembali berbincang tentang serunya pemba-
ngunan, yang berjalan tanpa henti. Mirip dengan pasuk-
an nabi Sulaiman ketika membanguan Masjid al-Aqsa di
Palestina, tak kenal waktu, pagi, siang, dan malam, juga
tak kenal spesies, baik jin maupun manusia.
“Pondok ini memang aneh bin ajaib, orang yang da-
tang untuk beramal saja antre, dan dengan seleksi yang
ketat dari Kiai Said, padahal pondok-pondok lain sangat
mengharap bantuan, bahkan terpaksa mengemis ke ber-
bagai pihak. Di sini malah sebaliknya.” Gumamku dalam
Negeriku di Atas Awan - 201

hati, sambil menyeruput teh manis buatan Bunda Hasa-


nah di depan Kiai Said.
Aku memang akhir-akhir ini sering bersama Kiai,
karena aku sebagai konektor sekaligus mediator antara
Kiai dengan Bunda Hasanah, terutama laporan tentang
jatah logistik makanan yang harus disediakan serta pro-
gres kinerja para tukang dan santri.
202 - Ilham Kadir
Pintu 28
Mengajar dan Belajar

D
uduk di kelas lima KMI, memaksa kami berti-
ga untuk pintar-pintar membagi waktu, mulai
dari penguasaan terhadap pelajaran, membantu
Ustadz Muhammad di empang, mengatur tempat kerja
tukang bangunan di kampus baru, sampai sibuk menjadi
bagian penggerak bahasa dan penerangan yang berna-
ung di bawah Organisasi Santri Darul Qurra’.
Selaku ketua bagian penerangan dan penggerak
bahasa, maka aku adalah contoh kepada segenap santri
dalam hal berbahasa dengan baik dan betul, baik itu ba-
hasa Arab, maupun bahasa Inggris. Aku mesti lebih baik
daripada teman-teman yang lain.
Adapun Hadi dan Hatta teman kelasku. Hadi men-
jabat sebagai ketua Organisasi Santri, kurasa memang
dia layak, selain orangnya tidak banyak tingkah seperti
aku, dia juga anaknya cerdas dan sangat berwibawa. Ber-
kali-kali menjadi juara umum di pondok. Artinya dialah
yang paling tinggi nilai hasil ujiannya, dia juga termasuk
santri yang memiliki reputasi sebagai santri paling taat.
Tidak pernah melanggar.

203
204 - Ilham Kadir

“Kita sudah diberi fasilitas oleh pimpinan untuk


belajar, tinggal di sini tanpa dituntut apa-apa, makanya
kita harus balas dengan kesungguhan dan prestasi.” Be-
gitu komentar Hadi tentang alasannya kenapa dia giat
belajar dan tidak pernah melanggar.
Di samping itu, mungkin juga karena faktor umur,
pengalaman, dan kedewasaan. Dia merupakan lulusan
Madrasah Aliah di salah satu pondok pesantren di Jambi,
jadi ketika mondok di Pitu-pitu dia sudah menguasai be-
berapa mata pelajaran yang belum aku dengar sebelum-
nya. Di samping itu kakaknya juga lulusan PM Gontor,
jadi kurasa memang dalam dirinya terhimpun semua ke-
lebihan dari segi akademis. Pintar iya, rajin apalagi, plus
dibarengi ketaatan dan pengalaman yang sangat mema-
dai, dipadu dengan senioritas.
Sebagai ketua organisasi, Hadi selalu memastikan
agar roda organisasi terus berputar. Termasuk bagian-
-bagian yang telah dibentuk agar masing-masing bekerja
dengan penuh tanggungjawab. Dan terus bersinergi de-
ngan bagian-bagian yang lain, jangan hanya jalan sen-
diri-sendiri.
Anggota organisasi santri berasal dari kelas lima,
kelas empat, dan kelas tiga. Mereka adalah manusia-
manusia pilihan yang direkrut untuk menjadi caloncalon
pemimpin masa depan.
Adapun Hatta, dia juga bergabung di bagian peng-
gerak bahasa, cuma saja tidak merangkap sebagai bagian
penerangan santri. Bagian penggerak bahasa harus me-
mastikan kalau seluruh santri di pondok ini berbahasa
Negeriku di Atas Awan - 205

sesuai dengan bahasa yang telah diwajibkan. Arab dan


Inggris.
Para mata-mata bertebaran bagai laron di setiap
penjuru, mulai dari asrama, dapur, sumur, jalan, dan di
mana saja. Para mata-mata yang dipanggil jasus itu selalu
ada. Bahkan, guru-guru yang mendengar santri berbaha-
sa selain bahasa resmi akan turut menjadi jasus.
Kelak hasil jasus akan dikumpulkan di kantor bagi-
an penggerak bahasa yang ada di kampus lama. Di sana
Hatta sudah menunggu bermula dari jam empat sore
hingga jam lima. Setelah terkumpul semuanya, barulah
kemudian bagian penerangan mengambil catatan yang
berisi nama-nama para pelanggar bahasa dari bagian ba-
hasa, begitu pula dari bagian pengasuhan dan keamanan,
juga bagian pengajaran, di sana sudah menunggu bebe-
rapa ustadz dan juga temanku Hadi untuk menyerahkan
nama-nama para pelanggar disiplin hari ini. Termasuk
juga catatan-catatan pengumuman yang telah disedia-
kan oleh bagian-bagian yang merasa perlu memberikan
pengumaman kepada santri. Semuanya sudah harus ada
di tangan sebelum azan Magrib berkumandang. Sege-
ra aku olah redaksi bahasanya dalam bahasa Arab atau
Inggris untuk kemudian aku baca setelah salat sunnah
rawatib ba’diah.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ikhwani as-Su’ada. Saudaraku yang berbahagia.
Aqumu baena ladaekum fi hadzihil munasabah liu-
balligalakum i’lanan muhimman, wa da’watin syat-
206 - Ilham Kadir

ta’. Saya berdiri di hadapan kalian untuk membaca-


kan pengumuman penting dan beberapa panggilan;
Yu’lanu ala kaafati at talabah… diumukan kepada
segenap santri…
Ad da’watul ula min qismi ri’ayati at talabah… pang-
gilan pertama berasal dari bagian pengasuhan…
Wad da’watu ats tsaniyah min qismi tahrikillughah…
panggilan kedua berasal dari bagian penggerak ba-
hasa…

Tidak begitu lama, hanya sebulan setelah duduk di


kelas lima KMI, kami bertiga dipindahkan ke kampus
tiga yang berada di daerah Palatttae, sebuah Ibu Kota
Kecamatan yang berada di sebelah Barat Kajuara, dan
sebelah Timur Bontocani, kampung halamanku. Terda-
pat sebuah lokasi yang kurang lebih satu hektar, di da-
lamnya berdiri bangunan bekas gedung SMA PGRI yang
terdiri dari empat lokal dan satu bangunan terpisah yang
masih setengah jadi dihibahkan kepada Pondok Pesan-
tren Darul Qurra’, lokasi ini bersebelahan dengan SMA
Negeri Palattae, lewat usaha Pak Musa dan H. Daud, Pak
Musa merupakan salah seorang guru SMA Negeri terse-
but di atas.
“Iwan… panggil temanmu, Sultan dengan Hatta.”
Pinta Kiai Said.
“Iyye’ Puang.”
Aku pun langsung bergegas memanggil mereka
berdua.
Negeriku di Atas Awan - 207

“Kemas barang-barang kalian, nanti sore berangkat


ke Palattae.” Perintah Kiai Said pada kami.
Kami pun pulang ke kamar masing-masing, menge-
mas barang-barang. Aneh juga rasanya, begitu tiba-tiba
mendadak dipanggil dan diperintahkan berangkat ke Pa-
lattae.
Sore itu, kami berpamitan sama Bunda Hasanah.
“Eh… ada apa Nak..?” tanya Bunda pada kami ber-
tiga, yang sedang celingak-celinguk di pintu dapur, ru-
panya Bunda telah memperhatikan glagak kami sedari
tadi.
“Mau minta izin Puang,” jawab aku, seakan menjadi
wakil pembicara bagi kedua temanku.
“Sudah siap berangkat ke Palattae ya?”
“Iyye’ Puang.”
“Duduk dulu Nak…”
Kami pun duduk, dan bunda masuk ke kamarnya,
kemudian keluar dan duduk di hadapan kami bertiga.
Hanya hitungan helaan nafas, teh panas dan pisang go-
reng belanda65 telah tersaji di depan kami. Dibawa oleh
salah seorang ponakan Bunda Hasanah yang selalu ikh-
las membantu, tanpa bayaran apa pun itu namanya. Kak
Wardah.
“Minum Nak… ” perintah Bunda pada kami.
“Makasih Puang.”
“Kapan berangkat?”
“Setelah salat Asar Puang.”
65 Pisang yang dikupas kulitnya kemudian digoreng, setelah itu dibelah tengah-
nya dengan pisau lalu di isi mentega dan gula yang mencair karena panas.
208 - Ilham Kadir

“Sudah siap semuanya, maksud Bunda barang-


-barang dan keperluan?”
“Sudah Puang.”
“Kalau begitu, hati-hati nah… mengajar yang baik
dan benar, kalian kan sudah melihat bagaimana guru-
-guru KMI di sini mengajar, peraktikkan itu. Dan ikhlas-
lah selalu. Bergaullah dengan masyarakat dengan sopan
dan baik, niscaya kalian akan dihargai. Sampaikan sa-
lamku pada Pak Musa dan H. Daud!”
“Insya Allah Puang, kami berusaha semaksimal
mungkin, untuk berbuat, mudah-mudahan bisa berman-
faat.” Ucap Hatta.
Sebelum kami bangkit dan beranjak dari tempat
duduk, bunda membekali kami ongkos pete’-pete’ dan
kebutuhan harian di sana.
Tidak lama kemuadian, kami bertiga menghentikan
sebuah pete’-pete’ yang di depannya tertulis “Palattae –
Bone PP66” pete’-pete’ berhenti. Sang kernek67 berteriak,
“Ayo naik!” aku belum yakin.
“Jurusan Palattae, bukan?”
“Iya, betul. Palattae”
“Sampai di mana?” tanyaku lagi.
“Di pasar dan sekitarnya.”
“Oke!”
“Berapa orang?” tanya kernek.
“Kami bertiga…”,
“Cukup kan?”
66 Singkatan dari Pulang Pergi.
67 Kondektur, pembantu sopir.
Negeriku di Atas Awan - 209

“Iya, cukup.”
Kami bertiga langsung menjinjing tas berisi pakaian
dan kardus mie instan yang berisi buku masing-masing,
tidak begitu banyak yang melihat kami berangkat kare-
na para santri masih sibuk membaca Alqur’an di mas-
jid. Hanya beberapa guru-guru KMI yang menyaksikan
kami. Namun mereka semua sudah tahu tujuan kebe-
rangkatan kami.
Pete’-pete’ menderu, meninggalkan Pitu-pitu, kota
santri yang mungil dan banyak menggoreskan kenang-
an buat kami bertiga, berat rasanya meninggalkan kam-
pung yang tidak ada hulu sungainya ini. Penduduknya se-
bagian ramah dan sebagian jutek, namun tidak ada yang
berani bebuat macam-macam sama santri dan pondok
karena mereka semua segan dan hormat pada pimpinan
kami. Kiai Said, selain itu, Pondok Darul Qurra’ telah
menyulap Pitu-pitu menjadi kampung yang masyhur dan
penuh berkah.
Mobil pete’-pete’ tua ini, menempuh perjalanan
satu jam tiga puluh menit untuk bisa sampai ke pasar
Palattae, di sana kami telah ditunggu oleh Pak Musa dan
H. Daud, selanjutnya kami diantar menggunakan mobil
pick up milik H. Daud ke kampus tiga yang berjarak
sekitar dua kilo meter dari pasar Palattae. Sebuah ba-
ngunan setengah jadi, memiliki dua kamar, berlantai se-
men dan dialasi dengan karpet plastik. Di sinilah kami
meletakkan barang-barang.
210 - Ilham Kadir

Malam itu, kami berbenah, dan sekaligus diperke-


nalkan kepada khalayak tentang posisi kami, dan apa tu-
juan kami datang ke sini.
“… inilah guru-guru baru yang diutus oleh Pondok
Pesantren Darul Qurra’, untuk mengajar para anak-anak
kita di sini, sekaligus bertindak sebagai imam di mas-
jid ini.” Begitu isi pengumuman oleh Pak Musa dengan
menggunakan Toa sebagai pengeras suara.
Kami ditempatkan di kampus ini untuk mengajar
anak-anak kampung, mereka berasal dari beragam ting-
katan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Mene-
ngah Atas. Terdiri dari laki-laki dan perempuan. Untuk
memudahkan kami mengajar dan mengontrol para san-
tri-santri, maka mereka kami seleksi lewat tes kemam-
puan baca tulis Alqur’an. Selanjutnya diklasifikasi sesu-
ai kemampuan masing-masing peserta didik. Bagi yang
belum mampu untuk membaca Alqur’an, maka kami
satukan dalam satu kelas. Intinya para santri setingkat
dengan level mustawa’, atau TPA.
Dalam sehari semalam, selama 24 jam, aktivitas
kami berjalan dengan lancar dan padat, di pagi hari
kami berkebun, menanam sayur-mayur berupa kacang-
-kacangan, mengambil kayu di hutan sekitar kuburan,
sebagian lagi ke pasar berbelanja keperluan dapur.
Untungnya, kami mendapat teman baru yang mem-
bantu kami bertiga, dia juga pernah menghafal Alqur’an
di Pitu-pitu namun melanjutkan pendidikan KMI di Pon-
dok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa Maros, dialah
Asdar. Adanya Asdar menambah jumlah guru menjadi
Negeriku di Atas Awan - 211

empat. Yang tinggal bersama dan mengajar di kampus


tiga.
Para santri mulai berdatangan setelah salat Zuhur,
proses mengajar bermula dari pukul 13.30 sampai jam
17.00, karena lokal belajar tidak cukup, maka para santri
digilir, santri yang berasal dari kelas satu hingga em-
pat SD belajar setelah salat Asar, dan kelas lima hingga
murid-murid dari SMP belajar sebelum Asar. Dan santri
yang berasal dari SMA belajar bakda Isya.
Adapun jadwal imam di masjid, kami bergantian se-
tiap hari.

Kendati kami di kampus tiga ini berstatus sebagai


guru, namun di lain pihak kami tetap belajar, buku-buku
pelajaran kelas lima KMI kami bawa dan pelajari seba-
gaimana lazimnya, guru-guru terpaksa didatangkan se-
minggu sekali ke Palattae dan yang paling rajin datang
adalah wali kelas kami, Ustaz Fuadzein. Sosok guru yang
pembawaannya sangat kalem, tidak banyak bicara, na-
mun memiliki keilmuan yang menurut kami sangat luas
dan mendalam.
Berasal dari Temanggung, Jawa Tengah, inilah guru
yang paling banyak memberikan ilmu dan contoh kepa-
da kami, selain Ustadz Yazid.
“Kalian harus buktikan kalau mengajar itu bagian da-
ripada belajar, jangan sampai gara-gara mengajar membu-
at kalian terlena dan lupa akan belajar sebagai kewajiban
kalian, ingat itu…” terang Ustadz Fuadzein pada kami.
212 - Ilham Kadir

Menurut Ustadz Fuadzein, karena mengajarlah


kami akan lebih terdorong untuk belajar, jangan sampai
merasa sudah cukup dalam berilmu padahal kami ha-
nyalah guru TPA. Jika merasa sudah cukup berarti tarap
keilmuan kami hanyalah sebatas mampu mengajar TPA,
masih jauh dari kata mengajar KMI. Yang merupakan
puncak tertinggi dan pengakuan sebagai lulusan KMI.
Jadi kedudukan kami di kampus tiga Darul Qur-
ra’, hanyalah sebatas guru sekaligus murid atau belajar
sambil mengajar, bukan sebaliknya. Namun hari-hari itu
kami lalui dengan penuh semangat dan kedewasaan, bel-
ajar mengajar dan tetap menimba ilmu dengan mandiri.
Pintu 29
Raja Daeng Manyonri,
Karaeng Tumenanga ri
Bontobiraeng

W
an… ada kabar gembira buat Ente, sahut
Hadi kepadaku, yang baru saja tiba dari Pitu-
-pitu. Terasa aneh memang jika kita menda-
pat informasi yang baru dan sepertinya itu penting, seba-
gaimana ekspresi pembawa beritanya. Bertahun-tahun
aku di pondok, tidak pernah sekali-sekali pun mendapat
kata-kata di atas. Berita gembira. Wah sunggu senang ra-
sanya hati ini.
“Ada berita apa ya?” tanyaku heran.
“Ini ada yang perlu Ente tandatangani.” Sambil
membuka restling tasnya yang berisi buku dan peralatan
tulis-menulis untuk kelas mustawa’, tapi yang dikeluar-
kan sepertinya sebuah kertas warna merah tua berukur-
an mini dan tebal.
“Ini tandatangani, Ente dapat wesel.”
Dalam waktu sekejap, wesel itu telah aku genggam,
dan kubaca apakah betul itu buatku, dan siapakah pengi-

213
214 - Ilham Kadir

rimnya, setelah kuperiksa dengan seksama dan dalam


tempo yang sesingkat-singkatnya, mulai dari nama, Iwan
Palimai, dengan Alamat Pondok Pesantren Darul Qurra’,
Pitu-pitu Pos Box 101 Sinjai. Memang, surat-menyurat di
pondok umumnya melalui Kabupaten Sinjai bukan Bone
karena lebih dekat. Selanjutnya aku perhatikan pengi-
rim dan alamatnya, dari Kakak Darmawati di Perumah-
an Jatimulya Tambun Bekasi Timur, Jawa Barat. Wesel
tidak salah alamat.
“Bagaimana, betul kan punya Ente?”
“Iya, betul sekali, ini dari kakakku di Bekasi.”
Memang aku pernah menyurat kepada kakakku
sekitar dua bulan lalu, mengabarkan kalau aku sudah
duduk di kelas lima KMI. Namun tidak juga aku minta
uang, karena selama kami mengajar di Palattae, kebu-
tuhan harian sangat cukup, baik itu untuk makan, dan
sejenisnya, semua kebutuhan berasal dari donasi masya-
rakat setempat yang kami ajar anak-anaknya dengan su-
karela. Bahkan bisa dibilang lebih dari cukup, karena ada
donator tetap disini. H. Daud. Beliau pengusaha bengkel
yang cukup survive di kota kecil ini. Kedua anaknya juga
beliau sekolahkan di Pitu-pitu. Yang sulung kelas dua
KMI, dan yang bungsu duduk di kelas satu.
Pena kutarik dari saku bajuku sebelah kiri, kemu-
dian aku tandatangani wesel tersebut. Selanjutnya aku
serahkan wesel itu ke Hadi yang akan kembali ke Pitu-
-pitu besok pagi, karena ada keperluan yang harus beli-
au selesaikan.
Negeriku di Atas Awan - 215

“Besok saya harus ke Pitu-pitu lagi, karena ada ke-


perluan yang harus saya tangani, ini berhubungan de-
ngan Organisasi Santri.”
Kami paham kalau Hadi lumayan sibuk, karena
dia juga sebagai ketua umum organisasi santri. Namun
ketidakhadirannya tidaklah membuat kelas mustawa’
di kampus tiga terkendala. Kami tetap berjalan dengan
normal.
“Saya juga tidak lama, mudah-mudahan besok sore
sudah bisa pulang, jadi kalian atur saja, siapa yang tidak
punya kelas, gantikan saja posisiku.” Tambah Hadi pada
kami bertiga.
“Tidak masalah, Asdar besok bisa ambil alih kelas
Ente, dia kosong itu!” jawabku enteng sambil menunjuk
ke Asdar.
“Iya, biar saya saja yang mengisi.” Jawab Asdar me-
yakinkan kami.
Bakda Subuh, Hadi sudah siap-siap untuk berang-
kat ke Pitu-pitu, tas jinjing sudah diisi dengan beragam
surat-surat, termasuk wesel milikku. Wesel pertama
yang pernah kutandatangani dalam hidupku.
“Saya berangkat dulu ya…” pamit Hadi pada kami,
yang sedang memasak air di dapur dengan mengguna-
kan kayu bakar.
“Eit… tidak tunggu dulu, biar saya buatkan teh pa-
nas.” Usulku.
“Ahh… tidak usah, itu kan masih lama mendidihnya,
harus tunggu berapa lama lagi, nanti aku kesiangan…”
216 - Ilham Kadir

“Okelah kalau begitu, salam sama Bunda Hasanah,


bilang dari kami bertiga!”
Hadi bergegas berangkat, dengan jalan kaki hingga
ke Pasar Sentral Palattae.
Aku, Asdar, dan Hatta, pagi-pagi ini bagi-bagi tugas.
Aku yang masak, Hatta yang mengambil air di sumur,
dan Asdar yang mencangkul di kebun. Ya, kami punya
kebun berisi beragam sayur-mayur. Untuk kebutuhan
kami sendiri.

Bulan puasa hanya menghitung hari saja, ada libur


sepuluh hari, lima hari sebelum puasa dan lima hari pua-
sa pertama. Aku bisa bernafas lega, karena uang kiriman
dari kakak dengan jumlah yang cukup, Rp 75.000, tidak
pernah aku usik-usik, memang saya peruntukkan untuk
biaya liburan. Dan kini liburan sudah di pelupuk mata.
Setelah kupikir dengan matang, pilihanku untuk
berlibur kali ini, ke Kota Ujung Pandang yang kini ber-
nama Makassar, aku memiliki banyak keluarga dari
pihak ayah dan ibu yang telah bermukim dan menjadi
penghuni kota.
Ayah berasal dari Malino, sebuah Kecamatan yang
berada dalam Kabupaten Gowa, sekitar empat puluh ki-
lometer dari Kota Makassar, sebelah Selatan. Daerah
ini paling dingin tempatnya di Sulawesi Selatan, berada
di area kaki gunung Lompo Battang, gunung terbesar di
Sulsel, dapat digambarkan cuacanya. Andaikata di Ja-
Negeriku di Atas Awan - 217

karta ia seperti Puncak, kalau di Medan serupa Berasta-


gi, kalau di Kuala Lumpur mirip Genting Highland.
Ayah memang keturunan asli Bugis-Makassar, yang
dalam sejarah asal muasalnya masih ada tali persauda-
raan yang erat dengan Bugis-Bone, namun sayang kare-
na pada perkembangannya, kedua suku ini menjadi rival
utama setelah masing-masing memiliki kerajaan. Ada
yang berpendapat bahwa Bugis dan Makassar itu ibarat
Bangsa Yahudi dan Bangsa Arab, keduanya berasal dari
nenek moyang yang sama. Orang Arab berasal dari ketu-
runan Nabi Ismail ‘alaihissalam, dan orang Yahudi ber-
asal dari keturunan Nabi Ishaq ‘alaihissalam, yang mana
kedua nabi Allah ini, Ismail dan Ishaq ‘alaihimassalam
berasal dari ayah yang satu, Nabi Ibrahim alahissalam
yang diberi gelar khalilullah68.
Kerajaan Gowa pernah menjadi kerajaan besar di
bawa sekutu utamanya kerajaan Tallo, tersebutlah ke-
lak menjadi Kerajaan Kembar Gowa-Tallo, kolaborasi
yang padu. Kerajaan Tallo terkenal dengan kehebatan
bala tentara dan armada perangnya, sementara kerajaan
Gowa terkenal dengan keahliannya dalam berdiplomasi
serta kecerdasan pemimpinnya.
Kerajaan kembar inilah yang pertamakali memeluk
agama Islam di Nusantara bagian Timur.
Beragam versi yang menceritakan tentang awal ke-
datangan Islam di Bumi Makassar, namun yang paling
dianggap valid berasal dari catatan yang telah tertulis

68 Sahabat Allah.
218 - Ilham Kadir

dalam lontara. Orang Bugis–termasuklah suku Makas-


sar—suku yang beruntung dan cerdas karena memiliki
budaya tulis menulis yang mengumum. Itu artinya buda-
ya ilmu pada suku ini telah tertanam sejak dahulu kala,
yang diperkirakan bermula sejak abad ke sebelas Ma-
sehi.
Dalam catatan lontara dikisahkan bahwa seorang
ulama yang berasal dari Minangkabau Tengah, Sumatera
Barat, bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal. Beliau
merupakan utusan Sultan Johor Malaysia untuk datang
ke Makassar dengan tujuan islamisasi pada tahun 1605
melalui pelabuhan Tallo dengan menumpang kapal pe-
rahu layar.
Setibanya di pantai, ia melakukan ritual yang diang-
gap aneh saat itu, ia salat. Membuat seluruh manusia
yang melihatnya di sekitar pelabuhan sebagai suatu yang
tidak lazim. Seusai salat, Khatib Tunggal mendekati sa-
lah seorang di pantai, dan bertanya,
“Di manakah tempat tinggal Raja Anda? Saya hen-
dak bertemu dengannya.”
“Tuan tunggu di sini saja, biar saya beritahu Raja
terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu, saya tunggu di sini.”
Pembawa berita itu pun bergegas menjumpai sang
Raja, dan memberikan kabar padanya.
“Tuanku, ada orang aneh yang hendak bertemu.”
“Manakah dia orangnya?”
“Di area pelabuhan, Tuanku.”
Negeriku di Atas Awan - 219

“Baiklah, segera saya ke sana…” jawab Raja Tallo


yang saat itu dipegang oleh I Mallingkan Daeng Manyon-
ri, bergegas keluar istana dengan posisi menghadap ke
pantai. Sesampainya di gerbang istana, beliau dihadang
dengan seseorang lelaki tinggi dan memiliki tubuh yang
proporsional, berjenggut, dengan muka yang halus dan
cerah, menggunkan sorban di kepala dan badannya ter-
bungkus jubah berwarna putih bersih. Lelaki itu lantas
bertanya,
“Tuanku… hendak kemanakah?”
“Saya hendak bertemu dengan tamu asing yang
hendak berjumpa dengan saya.”
“Tunggu dulu tuanku…” kata lelaki itu seakan men-
cegat Sang Raja. Lelaki berjubah dan bersorban itu lan-
tas menuliskan sesuatu pada telapak tangan Sang Raja.
Namun Raja Daeang Manyonri tidak paham sama sekali
isi tulisan itu.
“Sampaikan salamku pada orang aneh itu…” kata
lelaki yang mencegatnya itu.
Ketika Raja Daeang Manyonri menemui orang aneh
di pelabuhan yang ingin bertemu dengannya, beliau me-
nuturkan kalau dalam perjalanannya dari istana ke sini,
terdapat seorang lelaki yang mencegatnya dan menulis-
kan catatan di telapak tangan, namun Sang Raja tidak
mengerti apakah isi tulisan dan siapakah gerangan lelaki
berwajah jernih nan tanpan tersebut?
“Tulisan yang ada pada tangan Tuan adalah Surah
al-Fatihah, merupakan salah satu surah dalam Alqur’an
220 - Ilham Kadir

dan orang yang Tuanku temui itu jelmaan Nabi Muham-


mad,” jawab Khatib Tunggal dengan jelas.
“Jadi orang itu tadi… mengkasar-nya Nabi Muham-
mad.” Jawab Raja keheranan.
“Betul Tuanku.”
Semenjak itu, orang-orang yang bermukim di Tallo
di bawah naungan kerajaan Tallo memakai istilah ‘Meng-
kasar’ yang berarti halusnya atau pun penjelmaan. Kelak
nama inilah yang lebih popular dari nama Tallo sendiri
namun disederhanakan menjadi ‘Makassar’. Tetapi tetap
memiliki makna sama yaitu jelmaan Nabi Muhammad saw.
Raja Daeng Manyonri, Karaeng Tumenanga ri Bon-
tobiraeng bertemu Khatib Tunggal, seorang ulama yang
pertamakali mengadakan islamisasi di tanah Bugis-
-Makassar secara resmi di ranah angin mamiri.
Sedang Ibuku berasal dari daerah Camba, daerah
ini merupakan perbatasan antara Bone dan Maros, Ka-
bupaten Maros merupakan daerah peralihan antara
Bone dan Gowa, jadi daerah ini tidak memiliki Kerajaan
sebagaimana Gowa, Bone, Soppeng, Wajo hingga Luwu.
Namun jika dirunut secara detail, sebenarnya Ibuku
berasal dari keturunan anakarung dari daerah Bone Se-
latan, dapat dibuktikan dengan banyaknya keluarga dari
pihak ibu yang berdomisili di daerah Arallae, mereka
semua keturunan anakarung, termasuk Bunda Hasanah.
Ya, tepat sekali, Bunda Hasanah dengan ibuku masih ada
hubungan keluarga. Namun saja sudah jauh, ditambah
lagi aturan dari Kerajaan Bone menetapkan bahwa, se-
Negeriku di Atas Awan - 221

orang anakarung bisa diakui dari dewan adat jika yang


bersangkutan memiliki orangtua dari pihak ayah juga
keturunan anakarung, bukan dari pihak ibu. Pihak ibu,
walaupun ia berasal dari anakarung namun jika suami-
nya dari masyarakat biasa maka kelak keturunannya ti-
dak akan diakui sebagai anakarung. Inilah yang terjadi
pada ibuku, ayahnya bukan dari keturunan anakarung,
hanya dari sebelah ibu saja. Nenekku memang berasal
dari keturunan anakarung. Namun suaminya hanyalah
masyarakat biasa. Masayarakat Bugis adalah masyarakat
patriarki.
Keluarga ibuku sendiri juga tidak sedikit yang ber-
mukim di Makassar, salah satunya, Tante Malan, dia
tinggal di Jalan Butta Teana, tidak jauh dari korban em-
pat puluh ribu.
Dikatakan korban empat puluh ribu karena saat
itu, sekitar 40.000 penduduk Kota Makassar dikumpul-
kan lalu digiring ke sebuah tanah lapang, selanjutnya
diberondong dengan senjata api oleh pihak penjajah,
masyarakat yang pada umumnya rakyat jelata dan tidak
bisa berbuat apa-apa itu bersimbah darah, lalu semua-
nya meregang nyawa di tengah lapangan. Sang inisiator,
dalang, dan otak akan kebejatan terbesar dalam sejarah
kemanusiaan ini bernama Raymond Westerling.
Jadi pastinya kalau aku ke Ujung Pandang, bukanlah
hal susah bagiku, sejak duduk di bangku Sekolah Da-
sar pun saya dan ayah sudah pernah pergi ke Ibu Kota
Propinsi Sulsel itu, tapi sudah begitu lama, hanya sewak-
222 - Ilham Kadir

tu masih duduk kelas dua SD. Namun alamatnya sudah


kuketahui, karena ibuku sering menyebut-nyebut sepu-
punya itu berulangkali.
Perjalananku menuju ke rumah orangtuaku lan-
car-lancar saja. Aku berangkat dari Palattae menuju
Pammusureng Ibu Kota Kecamatan Bontocani, selanjut-
nya melintasi Desa Bontojai, Langi, Pattuku, dan masuk
ke Kampung halamanku, Desa Watangcani. Dalam peta
Kabupaten Bone, letak geografis desaku yang terujung,
karena sebelah Barat perbatasan langsung dengan Ke-
camatan Camba Kabupaten Maros, dan sebelah Selatan
perbatasan dengan Kabupaten Gowa, tepatnya di Keca-
matan Malino, daerah Asal ayahku, dan bagian Timur
perbatasan dengan Kabupaten Sinjai.
Setelah sampai di rumah, malam itu juga langsung
kuutarakan keinginanku kepada kedua orangtuaku kalau
aku hendak berlibur ke Ujung Pandang.
“Baguslah kalau begitu, langsung ke rumah tan-
temu saja di Makassar, dia tinggal di Jalan Butta Teana
No.25, atau dekat korban empat puluh ribu, tanyakan
saja namanya di sekitar itu, pasti orang tahu…” begitu
ucap ibuku ketika aku utarakan keinginanku jalan-jalan
ke Kota Makassar.
“Pastinya Ma’69, saya akan kerumah tanteku itu,
mudah-mudahan dia masih ingat aku.”
“Sampaikan salamku, sekalian ibu titip oleh-oleh.”
“Insya Allah Ma’, akan saya sampaikan.”

69 Panggilan terhadap mama, singkatan dari emma’.


Pintu 30
Kaum Marjinal

D
ari rumah, setelah pamit dengan kedua orang-
tuaku, aku pun berangkat ke arah Barat tuk
menggapai daerah Camba dengan berjalan kaki
di atas jalan setapak, membelah hutan belantara, padang
ilalang, mendaki gunung, dan menyeberangi suangai-
-sungai. Panjang perjalanan melebihi empat puluh kilo-
meter. Aku ikut dengan rombongan orang-orang yang
bermusafir ke Pasar Camba untuk berbelanja, mereka
menggunakan kuda sebagai armada angkut utamanya, di
sana mereka bermalam minimal semalam di area pasar.
Para pedagang ini memiliki komunitas yang sangat erat
di antara mereka.
Masyarakat sekampungku, jika ingin berbelanja ba-
rang-barang dagangan, maka mereka harus ke Camba,
atau ke Makassar, bukan ke Ibu Kota Kecamatan. Di sam-
ping harganya lebih murah, juga jarak tempuh dan wak-
tu digunakan jauh lebih singkat, kendati kondisi jalanan
sama-sama mengenaskan, berlobang, berlumpur, licin
selicin belut, lobang-lobang jalanan diperparah dengan
ulah babi-babi hutan yang memanfaatkannya sebagai

223
224 - Ilham Kadir

tempat kubangan, sering menelan korban. Walau demi-


kian, proyek jalan tidak kunjung datang menyambang-
inya. Pemerintahnya enggang dan acuh tak acuh akan
infrastruktur paling vital ini, padahal anggaran belanja
daerah ada untuk itu. “Tapi sudahlah, kalau pemerintah
saja tidak peduli, apa pula peduliku, aku besyukur karena
masih diberi kesehatan untuk dapat berjalan, bukankah
berjalan kaki dalam jarak yang jauh akan menyehatkan
tubuh dan menempa kami para orang gunung menjadi
petualang?” gumamku dalam hati menghibur diri.
Di Camba, aku menghentikan mobil angkutan
umum jenis Kijang Super yang tertulis di kaca depannya,
Soppeng – Makassar.
“Menuju Makassar bukan?” tanyaku pada sopir.
“Iya, Makassar, sampai terminal Panaikang.”
“Saya bisa ikut… tapi berapa ongkosnya?”
“Bisa. Rp. 8.000,”
“Bisa kurang tidak? Berapa pasnya?”
“Karena Kamu masih kecil, dan sepertinya masih
sekolah, bayar Rp. 6.000 aja!”
Aku langsung naik, kendati agak terhimpit di te-
ngah tiga laki-laki yang berbadan kekar berkulit hitam
dan berambut gondrong, mereka semuan penikmat
rokok. Aku berusaha untuk tetap santai saja, dan me-
nikmati perjalanan berliku-liku ini. Mobil kijang super
made in Japan ini seakan-akan masuk dalam lobang gua.
Jalanan antara Camba dengan Makassar adalah jalan-
an peninggalan kolonial Belanda. Daerah ini terbentuk
dari tumpukan batu cadas berwarna putih dan berukur-
Negeriku di Atas Awan - 225

an raksasa, saling teronggok, antara satu dengan lainnya,


di samping kiri kanan berupa jurang yang dalam atau
tebing tinggi yang menjulang ke atas laksana hotel-hotel
atau pusat perkantoran di bilangan jalan-jalan protokol
Jakarta. Pucuk-pucuk kayu terlihat dari atas kendaraan.
Melihatnya saja orang yang fobia akan ketinggian pasti
mengerikan. Kedalaman jurang tidak jauh berbeda jika
kita berada pada ketinggian di apartemen 27 tingkat.
Konon pihak kolonial membuat jalan ini dengan
cara meledakkan dinamik pada batu-batu yang terong-
gok sebagian jalan, khususnya pada tikungan, hanya da-
pat memuat satu kendaraan roda empat. Jadi kendaraan
yang akan melintas pada tikungan-tikungan maut itu, ha-
rus menekan klakson sebagai tanda kalau ia akan lewat,
dan agar kendaraan lain memberikan laluan.
Di antara bukit-bukit bebatuan, tebing tinggi, batu-
-batu yang tajam dan diapit kiri kanan oleh jurang-jurang
maut, kawasan ini kawasan rimba konservatif, di dalam-
nya terdapat ragam satwa, sering kita saksikan ular piton
sebesar batang kelapa hybrida melintas. Monyet-monyet
nakal bersahutan, dan ayam-ayam hutan terus berkotek.
Tidak terasa, tiga jam sudah aku di dalam mobil
kijang ini. Dan perkiraanku dalam jangka masa tiga pu-
luh menit lagi mobil akan sampai ke terminal Panaik-
ang, sebuah terminal yang bersebelahan dengan kampus
baru Universitas Muslim Indonesia. Kulihat kiri kanan,
“Owh… kami sudah berada di Jalan Urip Sumuharjo,”
gumamku.
226 - Ilham Kadir

Di Sulawesi, khusunya Ujung Pandang, angkutan


umum berasal dari mobil-mobil yang lazim dijadikan
mobil pribadi bagi kaum menengah di tanah Jawa. Ter-
sebutlah, kendaraan-kendaraan seperti, Kijang Super,
Kapsul, Innova, panther, dan sejenisnya. Menurutku, ini
keterpaksaan, para investor jasa angkutan umum agar
armada disesuaikan dengan medan.
Mobil berhenti, para penumpang yang kesemuanya
berasal dari Kabupaten Soppeng, sebuah daerah tingkat
dua yang perbatasan dengan Kabupaten Bone membun-
cah keluar, seperti air yang keluar dari aliran pipa yang
dibuka lebar-lebar krannya. Kami semua mengucap
rasa syukur karena telah sampai di kota dengan selamat.
“Ini uangnya Pak…” kataku sambil menjulurkan
uang sepuluh ribuan.
“Ini kembaliannya, Rp. 4.000.”
“Terimah kasih Pak Sopir, sampai jumpa.” Kataku
sambil berjalan keluar meninggalkan terminal yang ter-
lalu sesak ini.
Di mulut terminal yang gerbangnya menunggu ter-
paan angin untuk roboh itu, aku menunggu pete’-pete’
dengan rute pasar sentral. Tiba-tiba terdengar suara,
“Sentral... sentral... sentral...” kuamati, suara dari sopir
nampaknya.
“Ke arah sentral ya?” tanyaku.
“Iya, silahkan naik!”
Aku pun langsung duduk di depan tepat di sebelah
sang sopir.
Negeriku di Atas Awan - 227

“Mau kemana Dik?” tanya sopir padaku.


“Ke Jalan Pontiku Pak, dekat jembatan penyebe-
rangan, saya mau kerumah tanteku di dekat Jalan Kor-
ban Empat Puluh Ribu.”
“Owh… saya paham, nanti kuturunkan Kamu di
situ.” Janji Pak Sopir Padaku.
Pak Sopir menepati janjinya, tepat di bawah jemba-
tan penyeberangan, aku diturunkan, dengan ongkos Rp.
1.000. aku bergegas ke arah Jalan Pontiku, seorang tu-
kang becak mendekati saya, menawarkan jasanya.
“Mau ke mana Dik?”
“Korban Empat Puluh Ribu, Daeng.70”
“Sini saya antar.” Tawarnya padaku sambil mendo-
rong becaknya ke arahku.
“Berapa ongkosnya?”
“Rp. 3.000.”
“Bagaimana kalau Rp. 1000,” tawarku.
“Oke, silahkan naik.”
Ayunan kedua kaki daeang becak mengantarkan
aku ke rumah tanteku, yang sudah beberapa tahun tidak
pernah lagi jumpa dengannya.
Tidak susah bagiku menemukan alamatnya, aku
masih ingat, tidak ada yang berubah dengan bentuk ru-
mahnya. Sekian tahun aku tinggalkan, bentuknya itu-itu
saja. Yang beruba, makin berjubelnya manusia yang ada
di lorong sempit ini.

70 Sebutan untuk tukang becak.


228 - Ilham Kadir

Aku yakin seyakinnya, kalau mereka kaum ur-


ban, kaum yang datang ke kota untuk mengubah nasib.
Mungkin sudah bosan dihimpit kemiskinan di kampung
halaman, di tengah orang-orang terdekat, kerabat, te-
tangga, keluarga dan semua penghuni kampung. Sedang
di kota, kendati melarat, setidaknya tidak begitu banyak
yang tau akan asal muasal atau pun dari klan manakah
ia terlahir, tidak ada yang peduli, setidaknya tidak be-
gitu malu menghadapi kemiskinan. Karena kemiskinan
adalah denyut nadi kota-kota besar seperti juga Ujung
Pandang. Setidaknya juga, para kaum urban itu bisa ma-
kan, dengan bermodalkan betis yang mampu mengayuh
becak, mengantar penumpang, atau menjadi buruh ba-
ngunan, jalanan, pasar, mengeruk selokan, comberan,
menyedot WC, dan banyak lagi. Kaum wanitanya bisa
pula menjadi babu-babu Tionghoa, kaum menengah dan
pejabat tinggi, saudagar kesohor yang menguasai hampir
semua bentuk perdagangan dengan volume tinggi di kota
ini, para babu itu gajinya senilai satu porsi nasi padang,
dalam durasi 12 jam. Mereka kaum yang termarjinal-
kan. Oleh keadaan bukan takdir, kerakusan penguasa,
ketidakadilan penegak kebenaran, kesewenangan, keza-
liman, kelaliman, dan entah apalagi, yang jelas tidak ada
satupun di antara tentangga-tetangga tanteku ini yang
menyalahkan Tuhan. Mereka pekerja keras tanpa kenal
lelah.
Pintu 31
Karaeng Bunga Rosina
Tallo

T
ulislah apa yang kalian saksikan, rasakan, dan
alami… kita semua manusia yang menjadi pelaku
sejarah. Keadaan hari ini akan menjadi sejarah
pada masa yang akan datang, jangan hanya menjadi pem-
baca sejarah. Namun jadilah bagian dari pencetak seja-
rah! itulah kata-kata Ustadz Effendi sewaktu aku masih
duduk di Kelas Dua KMI. Saat itu Ustadz asal Sumate-
ra Selatan bersuku Palembang Ini menggantikan posi-
si Ustadz Arif yang telah berangkat ke Kuala Lumpur
Malaysia melanjutkan studinya di International Islamic
University Malaysia.
Ustadz Effendi sendiri, alumni PM Gontor angkatan
tahun 1990, berasal dari Palembang, tulisannya juga sa-
ngat bagus, layak menggantikan posisi Ustadz Arif yang
sebelumnya karena tidak ada yang sanggup mengambil
posisinya. Khat memang pelajaran yang berbasis pada
bakat, dan bakat itu pembawaan sedari rahim ibu. Tidak
ada yang dapat membeli bakat.

229
230 - Ilham Kadir

Namun bagaimana pun seni khat adalah seni yang


dapat dipelajari oleh siapa pun, kendati saja bagi yang
memiliki bakat alami seperti Ustadz Arif akan mampu
belajar dengan cepat serta memiliki hasil tulisan yang
cantik calious. Hasil goresan tangan Ustadz Arif memang
alami, bukan rekayasa, indah nan memesona, siapa pun
melihatnya akan terpukau. Baik mengerti baca tulis
Arab ataupun tidak.
Menurutku Ustadz yang berkulit cerah ini, kendati
tidak memiliki bakat seperti Ustadz Arif, beliau seorang
guru yang ulet, telaten dan terus menerus berlatih me-
nulis tanpa jenuh, sehingga kemampuannya dapat ber-
kembang setiap menggoreskan penanya di atas buku
latihannya yang selalu menemaninya kemana pun ia
berada. Guru yang rajin jauh melebihi para muridnya.
Hal yang tidak dapat kulupakan dari Ustadz Effendi,
anjurannya pada kami semua, agar menulis setiap ha-
rinya dalam catatan harian, minimal 50 perkataan. Isi
tulisan? Terserah, apa saja yang ada dalam pikiran kami,
namun dia sarankan agar menulis setiap kejadian, kea-
daan, perkembangan, kegiatan, dan apa saja dalam pon-
dok ini. itulah pesannya yang kelak aku anggap paling
berharga.
Dan semenjak itu, kami semua memiliki buku ca-
tatan harian. Agenda.
Aku sendiri memiliki tiga jenis buku agenda, ada
yang berukuran 25x14 cm, ada pula 20x12 cm, dan tera-
khir yang paling mini, 15x8 cm. buku agenda yang perta-
Negeriku di Atas Awan - 231

ma aku khususkan untuk catatan segala kejadian dalam


pondok, seperti catatan tentang jumlah jam pelajaran,
jadwal belajar, nama-nama direktur KMI, pesan-pesan
dari guru-guru, kegiatan di dapur, ceramah-ceramah
Kiai Said, pesan-pesan Bunda Hasanah, hingga resep-
-resep masakan Bunda Hasanah yang cepat, kilat, namun
enak, bergizi serta berkhasiat. Sedang agenda kedua aku
khususkan hanya untuk nama-nama seluruh guru-guru
yang mengajar kami di Pitu-pitu, lengkap dengan alamat
dan nomor teleponnya. Tidak susah untuk mendapatkan
semua itu, cukup pinjam buku agenda alumni PM Gon-
tor, terlihatlah nama-nama mereka dalam agenda itu,
sesuai dengan tahun kapan dia selesai belajar. Adapun
buku agendaku yang ketiga, ia berupa catatan khusus un-
tuk teman-teman sejatiku. Ke mana pun aku pergi selalu
bersama agenda mini ini, aku tulis nama-nama teman
sasama santri, alamat, dan nomor telepon mereka. Salah
satunya Azis yang sedang kuliah di Universitas Muslim
Indonesia.
Malam itu, di rumah tanteku, aku buka catatan da-
lam agenda miniku, yang selalu menemaniku, kuambil
nomor telepon temanku Azis, selanjutnya aku keluar
dari rumah tanteku—tanteku tidak punya telpon ru-
mah—untuk mencari public phone dengan bermodalkan
uang recehan Rp.500 sebanyak lima keping.
Tidak berapa jauh, di ujung Jalan Butta Teana persis
di mulut Jalan Korban Empat Puluh Ribu terdapat te-
lepon umum, kuangkat gagangnya yang tersangkut dari
232 - Ilham Kadir

tempat semestinya, aku tes, terdengar suara, tut…tut…


tut…, owh, telepon umum ini aktif. Kumasukkan satu
koin, kupencet nomor-nomor yang tertulis dalam tom-
bol-tombol yang tersedia. Suara masuk terdengar, tuu-
ut…tuuut…tuuut.
“Halo…halo…” terdengar suara.
“Assalamu ‘alaikum,” aku mengucap salam.
“Wa ‘alaikumussalam, maaf ini siapa dan mau bica-
ra dengan siapa?”
“Saya Iwan, dari Bontocani, ingin bicara dengan
Azis.”
“Iwan… kaefa khaluk, ini saya sendiri Azis, kapan
Ente sampai Makassar? Liburan ya?”
“Iya, saya liburan, tadi sore baru sampai, kapan kita
bisa jumpa?”
“Malam ini juga bisa, tapi kalau Ente kecapean be-
sok saja, pokoknya saya 24 jam siap menemani Ente,
he… he… he… ”
“Besok saja, nanti kita jumpa di dekat pasar sentral
saja…” usulku.
“Jangan di pasar sentralnya pas, jalan ke sebelah
selatan sedikit tepatnya di sudut lapangan Karebosi di
bawa pohon besar, kita jumpa di sana saja, sekitar jam
09.00 ya! Jangan lupa, saya tunggu Ente…”
“Oke, sampai ketemu besok.”

Negeriku di Atas Awan - 233

Kendati jarak antara rumah tanteku dengan lapang-


an Karebosi tidak terlalu jauh, hanya butuh lima belas
menit saja, namun pagi itu aku telah meninggalkannya
tepat pukul 08.00. Setelah pamit, dan berjanji akan kem-
bali ke rumah sore atau malam nanti.
“Hati-hati, jangan samakan di kampung, di sini ba-
nyak orang jahat…” pesan Tante Malan padaku.
“Iya, Tante.” jawabku sopan, sebelum akhirnya me-
ninggalkan rumah untuk bertemu Azis di Sudut Lapang-
an Karebosi.
Aku lebih dulu sampai di tempat kami janjian tadi
malam, sudut sebelah Utara lapangan, dekat dengan
lampu merah trafit light, dan berseberangan dengan
Kantor Bank Negera Indonesia (BNI) cabang pemban-
tu Makassar, di bawah naungan pohon ara yang besar,
rindang juga sejuk. Perkiraanku pohon ini pohon yang
telah berumur ratusan tahun, sangat jelas tekstur, dan
bentuk bodinya yang gendut, namun tinggi, memiliki da-
han sebesar batang pohon kelapa, dan ranting sebesar
kaki gajah. Akarnya menghunjam ke dalam bumi, ter-
lihat urat otot-ototnya, mencengkram dengan kuatnya.
Nampaknya pohon raksasa ini memberikan ketenangan
di tengah-tengah riuh rendahnya masyarakat kota Ma-
kassar, pengapnya pasar sentral, serta busuknya com-
beran di samping kali BNI.
Aku masih melongo, terperangah, dan heran de-
ngan pohon ajaib yang tumbuh di jantung kota besar ini,
maklumlah aku kan berasal dari gunung. Pikirku kalau
234 - Ilham Kadir

pohon-pohon raksasa itu hanya tumbuh di hutang dekat


kampungku telah terbantahkan dengan pohon yang ada
di pelupuk mataku ini.
Aku masih terheran-heran, tiba-tiba terdengar su-
ara.
“Hai… Assalamualaikum.”
“Wa alaikumussalam.” jawabku, rupanya Azis sudah
datang, juga lebih cepat lima belas menit. Jadi, aku de-
ngannya hanya selisih tiga puluh menit saja.
“Sudah lama menunggu?”
“Ah… tidak kok, baru sekitar tiga puluh menit,”
“Ente sepertinya penasaran dengan pohon besar
ini?”
“Iya, betul, saya heran kok bisa ya, di tengah-tengah
kota besar ini terdapat sebuah lahan yang sangat luas,
dan terdapat kayu ara raksasa seperti di depan kita ini!”
“Oh, ini ada sejarahnya.” Jawab Azis dengan san-
tainya.
“Bisa diceritakan?”
“Tentu saja, tapi mari kita cari tempat makan di se-
belah sana, sambil berbincang-bincang, saya sudah rindu
sekali nih dengan Ente…” sambil menunjuk arah barat
lapangan luas ini. Taksirku lapangan ini luasnya sama de-
ngan empat kali ukuran lapangan sepak bola profesional.
Dari sisi sebelah utara lapangan ini, kedua sudutnya ma-
sing-masing terdapat pohon raksasa nan rindang. Seum-
pama pepohonan oak di jantung kota Kerajaan Inggris.
Negeriku di Atas Awan - 235

“Mau makan apa? Coto Makassar71, pallu’basa72,


konro73, atau ikan bakar dengan kuah soup saudara74?”
tawar Azis padaku.
Di pinggir sebelah Barat lapangan, berjejer aneka
warung tenda yang menjual beragam makanan dengan
harga yang dapat disesuaikan dengan isi kantong maha-
siswa.
“Aku mau coto Makassar.” Ini makanan pavoritku.
Kami berdua masuk di salah satu warung tenda
yang menyediakan menu coto Makassar dan pallu’basa,
aku pesan satu mangkuk coto Makassar dan Azis meme-
san satu mangkuk pallu’basa.
Dalam durasi waktu yang singkat, masing-masing
satu porsi coto Makassar dan pallu’basa sudah di hadap-
an kami berdua, coto pesananku terlihat masih menge-
pul asapnya, dan aroma khasnya keluar. Makanan kesu-
kaan orang Bugis ini paling pas kalau dipadukan dengan
burasa75, atau pun ketupat.
Karena di hadapan kami telah tersedia lebih dahu-
lu sejumlah burasa dan ketupat, jadinya begitu hidangan
coto tiba, aku pun langsung seruput setelah kucampur
dengan burasa tentunya.
“Oya… bisa kita sambung cerita tadi mengenai po-
hon raksasa yang tumbuh di sudut lapangan ini?” tanya-
ku kembali pada Azis.
71 Soup daging sapi campur jeroan, hati, dan usus.
72 Gulai daging sapi.
73 Soup tulang iga.
74 Soup daging yang berasal dari daerah pangkep, warnanya bening dicampur
dengan laksa, lazimnya disajikan satu paket dengan ikan bakar.
75 Sejenis ketupat, namun dibungkus dengan daun pisan atau pandan. Bahan baku
utamanya adalah beras dan santan kelapa.
236 - Ilham Kadir

“Hmm… sebenarnya untuk menceritakan asal mu-


asal pohon yang Ente maksud itu, memerlukan waktu
dan suasana yang khusus, karena ceritanya lebih panjang
dari yang Ente bayangkan, tapi baiklah akan saya ceri-
takan dengan singkat dan sepadat mungkin.” Azis meng-
hela napasnya, sambil meneguk es teh manis di hadap-
annya, dan kembali berkisah, “menurut epos dari turun
temurun orang Makassar, Karebosi itu dulunya dijadi-
kan alun-alun pasamuan para raja se-Sulawesi Selatan
sebagai tempat berkumpul untuk bermusyawarah dalam
mengambil suatu kebijakan maupun keputusan, atau me-
lakukan acara besar tertentu. Kerajaan Tallo merupakan
cikal bakal Makassar, disinyalir merupakan kerajaan
yang pertama kali di ranah Anging Mammiri ini, karena
kerajaan Tallo-lah yang mengundang kerajaan-kerajaan
lainnya untuk berkumpul di alun-alun seperti Somba ri
Gowa, Mangkau ri Bone, dan Payungnga di Luwu. Semua
kerajaan tersebut juga disinyalir ada hubungan pertali-
an darah dan persaudaraan dengan Kerajaan Tallo yang
pertama.”
“Terus, apa hubungannya dengan pohon tadi?” po-
tongku.
“Sabar dulu… Nah, konon dahulu dalam Kerajaan
Tallo pernah lahir seorang gadis aristokrat dari keturun-
an Raja Tallo yang sangat cantik, pintar, bijak bertutur,
serta santun dan ramah. Gadis tersebut bergelar Kara-
eng Bunga Rosina Tallo atau Raja Bunga Mawar Tallo.
Berkat kecerdasannya, Karaeng Bunga Rosina Tallo-lah
Negeriku di Atas Awan - 237

yang senantiasa memimpin musyawarah antarpuak dan


raja. Ia sigap dan tanggap terhadap permasalahan rak-
yat. Keputusannya selalu dilandasi kearifan sehingga ia
dikenang sebagai tokoh panutan. Setelah mangkat, na-
manya terus dikenang. Dan Lapangan Karebosi yang du-
lunya berawal dari alun-alun kerajaan Tallo merupakan
singkatan dari namanya, Karaeng Bunga Rosina sebagai
aplikasi penghargaan terhadap jasa dan kebijaksanaan-
nya. Jadi pohon besar yang ada di dalam Lapangan Ka-
rebosi, dulunya pohon kecil yang ditanam sebagai tan-
da tempat dikuburkannya Karaeng Bunga Rosina Tallo.
Pada awalnya hanya ada satu pohon besar di sana, yang
Ente perhatikan tadi itu. Adapun pohon besar lainnya,
hanya tumbuh di kemudian hari. Kendati besarnya ham-
pir sama. Sudah menjadi umum kita temukan, di mana
kuburan tersebut sengaja ditanami pohon pelindung
oleh keluarga yang ditinggalkan. Jadi Karebosi merupa-
kan akronin dari Karaeng Bunga Rosina Tallo. Namun
seiring perjalanan waktu, kemungkinan kuburan Kara-
eng Bunga Rosina Tallo telah sirna karena rusak oleh
pertumbuhan pohon tersebut dari abad ke abad.”
“Luar biasa penjelasan Ente, sangat gamblang dan
memikat, tapi kok bisa ya, Ente tau semua ini, padahal
kan Ente kuliah di fakultas sastra, bukan sejarah… he…
he…?” tanyaku dengan nada heran sambil tertawa.
“Sejarah, bukan saja sebuah ilmu yang mempelajari
atau menarasi peristiwa demi peristiwa pada masa silam
sebagai ilmu belaka, tetapi lebih daripada itu semua,
238 - Ilham Kadir

sejarah sebagai tempat belajar dalam menjalani hidup


ini, manusia yang tidak tau sejarah adalah manusia yang
tidak akan pernah maju. Karena sejarah selalu mengu-
lang dirinya. Yang berbeda hanyalah setting ruang, wak-
tu, dan pelakunya. Belajar sejarah tidak berbeda dengan
mencari kebenaran. Bukankah Kiai Said pernah berpe-
san pada kita semua agar belajar sejarah?”
“Betul, saya baru ingat, kalau Kiai Said, sering
menganjurkan para santrinya untuk belajar sejarah,
termasuk sejarah hukum, saya ingat sekali pesan beliau
itu.” Jawabku meyakinkan.
“Dan Ibnu Khaldun pernah menulis dalam Muqad-
dimahnya, ‘Bila ditilik pada sisi dalam, sejarah suatu pe-
nalaran kritis dan kegiatan yang cermat untuk mencari
kebenaran, suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-
-sebab dan asal usul segala sesuatu, suatu pengetahuan
yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peris-
tiwa itu terjadi, oleh sebab itu sejarah berakar dari filsa-
fat dan ia dapat dipandang sebagai bagian dari filsafat.’”
Sambungku lagi.
“Okelah, kita akan sambung kuliah kita di tempat
yang lain… he…he…he…” kata Azis sambil tertawa dan
beranjak meninggalkan warung itu bersamaku.

Tidak terasa pula, ketika selesai makan dan berdis-


kusi di warung tenda ini. Terdengar suara Muammar ZA,
Qori’ faforitnya orang Indonesia, bergaung lewat corong
Negeriku di Atas Awan - 239

Toa yang terpasang di atas menara masjid. Kuyakin kalau


itu datang dari Masjid Raya Kota Ujung Pandang. Mas-
jid terbesar di kota ini berada tidak jauh dari Lapangan
Karebosi dan juga jantung Kota Makassar, tepat di ujung
Jalan Bulu Saraung sebelah Timur. Ujung sebelah Barat
jalan yang diambil dari nama salah satu gunung itu ber-
akhir di sudut Timur Lapangan ini.
“Yuk, kita salat di Masjid Raya!” ajakku Pada Azis.
“Oke!”
Kami pun berdua berjalan menelusuri pinggir Jalan
Bulu Saraung, yang dijejali toko-toko meubel, elektro-
nik, emas, dan sebagainya. Para pemilik toko ini semu-
anya bermata sipit. Yang terlihat pribumi hanyalah me-
reka-mereka yang mangkal di emperan toko, duduk di
belakang meja 40 x 60 cm, sambil menawarkan jasa ser-
vice jam tangan, yang kelihatannya tidak pernah menda-
pat pelanggan. Sevice jam tangan zaman sekarang adalah
hal yang tidak lazim. Para generasi saat ini lebih suka
menggunakan jam tangan imitasi dengan model terbaru
dan menarik, daripada memakai jam otomatik yang keli-
hatan kadaluarsa alias jadul. Jam yang kadaluarsa inilah
yang tetap ditunggu oleh kaum pribumi untuk mereka
service di Jalan Bulu Saraung dengan sabar yang tak ter-
hingga.
Ketika tiba di Masjid Raya Ujung Pandang, Azan
pun berkumandang, kami berdua duduk di shaf paling
terdepan, mengikuti sunnah rasul, bahwa sebaik-baik
shaf dalam salat berjamaah bagi laki-laki adalah shaf
yang pertama, dan sejelek-jeleknya adalah yang terakhir,
240 - Ilham Kadir

dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan se-


jelek-jeleknya adalah yang pertama.
Sebelum duduk, aku terlebih dahulu menunaikan
salat sunnah tahiyatul masjid76 dan kulanjutkan dengan
saalat sunnah qabliyah.
Duduk menunggu salat tiba. Aku amati dinding-din-
ding masjid penuh dengan goresan kaligrafi. Terlihat je-
las kalau penulisnya seorang khattat77 yang profesional.
Beragam jenis khat terlihat di dalam masjid ini. Kuper-
hatikan, setidaknya ada tujuh jenis. Namun tetap dido-
minasi oleh khat tsulus dan naskhi.
Khat dalam bahasa Arab, yang berarti tulisan, na-
mun kata ini lebih menjurus kepada tulisan indah yang
dalam Bahasa Indonesia disebut kaligrafi. Kaligrafi sen-
diri berasal dari Bahasa Latin, yaitu calios berarti indah
dan graphy berarti goresan atau tulisan.
Beragam jenis kaligrafi telah muncul sejak berabad-
-abad lamanya. Yang mayoritasnya berasal dari Negera
Turki. Bangsa Turki memang paling handal menulis kali-
grafi, di antara sekian jumlah jenis kaligrafi: naskhi, tsu-
lus, muhaqqaq, ijazah, thugra, diwani, diwani jaly, riq’ah,
qufy, dan farisi, tujuh di antaranya berasal dari Turki,
kecuali riq’ah, qufy, dan farisi. Riq’ah berasal dari bang-
sa yang bermukim di Saudi Arabia dan sekitarnya, khat
kufi berasal dari Qufah Iraq, sesuai dengan namanya, se-
dangkan khat farisi berasal dari Iran, bangsa Persia.

76 Salat Sunnah yang dilakukan sebelum duduk ketika masuk dalam masjid, jika
waktunya memungkinkan.
77 Penulis khat.
Negeriku di Atas Awan - 241

Di antara sekian jenis khat, tsulus dan naskhi-lah


yang paling sering kita jumpai, khat ini sangat sederhana
dan juga indah. Oleh itulah dipergunakan dalam penu-
lisan mushaf. Mushaf-mushaf yang kita baca lazimnya
menggunakan jenis khat bergendre naskhi. Adapun khat
tsulus juga sering kita jumpai, khat ini sangat digemari
masyarakat Turki dan menggelarnya sebagai ummul khu-
tut, ibu dari segala macam khat.
Dominasi Bangsa Turki dalam menghasilkan karya
seni yang agung ini, menghasilkan statemen yang kendati
tidak sepenuhnya benar namun juga tidak sepenuhnya
salah yaitu statemen yang mengatakan bahwa, Alqur’an
turun di Arab, dibaca di Mesir, dan ditulis di Turki.
Lokasi turunnya Alqur’an sudah tidak ada yang
meragukan kalau tempatnya di daratan Arabia, juga ti-
dak diragukan pula jika orang-orang Mesir adalah tem-
pat memproduksi beragam jenis qira’ah yang ada saat
ini, dengan suara yang tak ada tandingannya, dan tulis-
an khat, sebagaimana di atas, sudah menjadi muttafaq
‘alaih, kalau didominasi oleh bangsa yang berada di dua
benua ini, Asia dan Eropa.
Salat Zuhur tiba. Aku dan Azis serta kaum musli-
min dan muslimat turut larut menjalankan kewajiban se-
laku umat Muhammad di masjid yang penuh pesona ini.
Bakda salat.
“Wan… sekarang ikut saya aja yuk! Biar nginap di
tempat kosku saja malam ini.” Ajak Azis padaku.
242 - Ilham Kadir

“Kalau hari ini saya belum bisa, soalnya belum min-


ta izin sama tante, sekalian saja besok saya ke tempat
Ente biar menginap di sana sampai pulang.”
“Bagus juga, tapi Ente sampai bulan puasa di sini
kan? Bulan puasa tinggal tiga hari lagi!”
“Owh, tidak… soalnya awal-awal puasa Kiai Said
punya jadwal ceramah di Palattae. Kalau datang ke Pa-
lattae beliau pasti menginap di tempat tinggal kami, bu-
kan pada orang kampung atau pun sama keluarganya di
sana. Padahal orang-orang sekitar pondok berlomba-
-lomba mengajaknya menginap di rumah mereka. Tapi
tetap saja Kiai Said menolak dengan halus.” Terangku.
“Itulah, Kiai kita, memang aneh orangnya, sangat
sederhana. Bahkan terlalu. Namun justru itulah mem-
buat siapa saja yang pernah bertemu dengannya sangat
berkesan. Kita sangat mendambakan tipe pemimpin se-
pertinya, jika itu terwujud maka saya yakin rakyat akan
makmur, tepatnya Kiai Said itu tipe pemimpin dambaan
kita semua.” Papar Azsis.
“Saya doakan agar Ente jadi pemimpin suatu saat
nanti, dan memiliki kepribadian seperti Kiai Said.” Do-
aku pada Azis.
Azis pun mengamini doa yang kupersembahkan un-
tuknya.
“Oya, besok kita jumpa di mana, sekalian bawa tas
pakaian Ente saja… Berangkat ke Palattae dari tempat
kosku saja, biar saya antar sampai terminal, kan berse-
belahan dengan kampusku…”
Negeriku di Atas Awan - 243

“Kita jumpa di sudut Utara Lapangan Karebosi,


tempat kita bertemu tadi, besok pagi sekitar jam Sem-
bilan.” Usulku.
“Oke, saya setuju.”
Kami pun berpisah, Azis langsung bergegas me-
ninggalkan Masjid, saya pun begitu, selanjutnya meng-
hentikan pete’-pete’ jurusan Sentral Panaikang, turun di
ujung Jalan Pontiku, masuk ke Jalan Korban 40.000, se-
lanjutnya menyusuri Jalan Butta Teana. Rumah tanteku.
244 - Ilham Kadir
Pintu 32
Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila

K
eesokan harinya, setelah pamit dengan tante-
ku. Aku pun meninggalkan rumahnya, dengan
tas ransel milikku. Aku kembali akan bertemu
Azis di tempat kemarin kami berjumpa. Di sudut utara
Lapangan Karebosi. Cukup dengan naik becak, dengan
ongkos Rp. 3000 dari Jalan Butta Teana ke Jalan Bulu
Saraung, tepat di samping gedung kantor BNI. Hanya
dengan menyeberang jalan, aku pun kembali sampai di
sudut sebelah utara Lapangan. Lapangan yang memiliki
nilai historis yang mungkin tidak pernah ada saingannya.
Jadi bukan sekadar lapangan.
Mengaitkan kisah Lapangan Karebosi dengan epos
rakyat memang memerlukan ranting berakar kuat. Ba-
buritas cerita memang akan terasa irasional jika tak
disikapi dengan bijak. Syahdan, awal Karebosi tak ter-
pisahkan dari lahirnya Kota Makassar. Pada zaman
pendudukan Belanda, Makassar bernama Jumpandang.
Nama ini merupakan pemberian kolonialisme yang di-
ambil dari harfiah ‘ujung pandangan’ atau ‘batas pengli-

245
246 - Ilham Kadir

hatan’. Pemberian nama tersebut bukan tanpa sebab. Se-


waktu hendak menginvasi Makassar kuno, pihak Belanda
(VOC) terbentur kendala dalam spionase atau pengin-
taian. Tersebutlah Karebosi yang merupakan hutan ne-
nas dan pandan penuh duri, yang notabene merupakan
penghalang pengintaian mereka terhadap benteng Gowa
yang menjadi prioritas penaklukan. Lalu VOC pun men-
jalankan siasat licik dengan menggunakan strategi lihai
yang tak pernah terpikirkan oleh Kerajaan Gowa, yak-
ni menembakkan meriam-meriam yang berisi amunisi
‘gulden’ atau uang emas Belanda. Penduduk sekitar hu-
tan terhipnotis oleh strategi ‘iming’ dan menebas pohon-
-pohon lebat yang berada di kawasan ‘Karebosi’ untuk
mencari dan mengumpulkan ‘gulden’ yang telah mene-
bar di sana. Alhasil, dalam sekejap hutan-hutan pandan
menjadi gundul dan memudahkan Belanda mengintai
Kota Jumpandang. Setelah leluasa mengintai kota ter-
pesat di dunia saat itu, maka terlihatlah sehamparan
sawah yang dilintasi anak sungai yang menyambung ke
benteng Fort Roterdam dan kemudian bermuara ke laut
di depan benteng. Karebosi dulunya juga disebut parang
lampe, dalam bahasa Indonesia dapat diartikan lapangan
panjang dan lebar.
Di tempat inilah kami kembali berjumpa dengan
Azis. Terlihat jelas Azis turun dari pete’-pete’ warna me-
rah. Tidak jauh dari tempat aku berdiri menunggunya
sejak dua puluh menit yang lalu.
“Udah lama menunggu?”
Negeriku di Atas Awan - 247

“Sekitar dua puluh menit mungkin…”


“Maaf karena pete’-pete’nya terlalu sering singgah
mencari dan menunggu penumpang, salah saya juga sih,
karena naik pete’-pete’ yang masih kosong, lain kali ka-
lau naik pete’-pete’ pilihlah yang sudah ada penumpang-
nya agar tidak lagi singgah-singgah menunggu penum-
pang yang belum jelas adanya…”
Di kota Ujung Pandang, tepatnya kota sejuta pete’-
pete’, kota terlihat semrawut karena angkutan rakyat
super murah ini tak dibatasi dan juga tidak dapat diken-
dalikan, manarik dan menurunkan penumpang sesuka
hatinya, termasuk di persimpangan jalan, yang terdapat
lampu merah sekali pun.
Pernah juga terpikir olehku dengan Azis, kalau para
sopir pete’-pete’ itu sebaiknya jika ingin memperpanjang
atau mengambil surat izin mengemudi, jangan hanya di-
uji dengan ujian praktik maupun teori mengemudi sema-
ta, tapi lebih dari itu, mereka seharusnya diuji juga ten-
tang materi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) hal ini bertujuan agar para sopir memiliki ke-
pekaan, tenggang rasa, dan budi pekerti yang baik selaku
bangsa yang berbudaya tinggi.
Tidak sedikit kecelakaan terjadi karena ulah para
sopir-sopir yang ugal-ugalan itu, didominasi oleh sopir
pete’-pete’, seperti dengan tiba-tiba berhenti di depan
pengendara motor dengan laju tinggi, atau juga tiba-tiba
berhenti di tengah jalan karena hendak menurunkan pe-
numpang, atau pula memang sengaja memarkir kenda-
raan di tempat-tempat yang terdapat larangan berhenti
248 - Ilham Kadir

karena menunggu penumpang datang. Inilah yang men-


jadikan kota Ujung Pandang ini tidak nyaman di jalan
dan tidak enak di pandang.

“Yuk, kita cari pete’-pete’ jurusan Sentral-Sunggu-


minasa…” Ajak Azis.
Aku pun setuju dan kami menyeberang ke Jalan
Bulu Saraung untuk mencari pete’-pete’. Sesampainya,
kami langsung naik pete’-pete’ yang telah terisi ham-
pir penuh. Angkutan pun langsung meluncur, dari Jalan
Bulu Saraung, melintasi Jalan Gunung Bawo Karaeng, se-
lanjutnya ke Jalan Ahmad Yani, Sam Ratulangi, Landak
Lama, Veteran Selatan, dan Jalan Sultan Alauddin. Di ja-
lan inilah kami turun.
Selanjutnya mengambil becak ke Jalan Manuruki,
tempat tinggal Azis, sebuah kos-kosan, dengan bangunan
rumah yang memang dirancang untuk disewakan, ter-
dapat enam kamar, satu ruang tamu, dapur, dan kamar
mandi. Tertulis di depan gerbang masuk ‘Pondok Sejah-
tera’. Aku dapat tebak dengan pasti kalau nama tempat
kos ini adalah yang tertera di atas, di bawah tulisan itu,
terlihat pula tulisan kecil ‘Tempat Kos Khusus Putera’.
Di tempat inilah Azis menyewa satu kamar sebagai tem-
pat tinggalnya selama kuliah di UMI.
Area ini memang sangat masyhur sebagai tempat
para mahasiswa dan mahasiswi bermukim, tempatnya
yang strategis dari berbagai arah mata angin plus tidak
Negeriku di Atas Awan - 249

jauh dari beberapa kampus besar membuat para ca-


lon generasi pelanjut betah tinggal di lokasi yang tidak
tertata dengan rapi ini, di samping biaya sewanya yang
relatif terjangkau, dapat disesuaikan dengan isi kantong
para mahasiswa, dari yang termurah dengan harga Rp.
200.000 per tahun hingga Rp. 2.000.000 per bulan ada
di sini.
“Di sinilah aku tinggal.” Kata Azis sambil menun-
jukkan kamarnya, yang ukurannya sekitar 2 x 3 meter.
Lumayan nyaman.
Di dalam kamar terlihat tata tertib yang tertempel,
bertuliskan:
Tata Tertib Penghuni kos Pondok Sejahtera
Para penghuni Pondok Sejahtera tidak dibenarkan
membuat keributan atau mengganggu penghuni la-
innya.
Para Penghuni Pondok Sejahtera tidak dibenarkan
membawa tamu wanita ke dalam kamar.
Para Penghuni Pondok Sejahtera tidak boleh meneri-
ma tamu wanita di atas jam 22 Wita.
Para Penghuni Pondok Sejahtera tidak dibolehkan
minum-minuman keras yang memabukkan, berbuat
mesum, dan sejenisnya.
Agar selalu menjaga sikap, sopan santun, ketertiban,
kerapian, dan kebersihan.
Menggunakan listrik dan air sesuai kebutuhan.
Membayar uang kos selambat-lambatnya tanggal 15
di setiap bulan.
250 - Ilham Kadir

Tertanda
Ibu Kos.

Belum lagi selesai membaca tulisan di atas, tiba-


-tiba Azis bercerita padakau.
“Di kota besar seperti Ujung Pandang ini, kita harus
selektif mencari tempat tinggal, jika salah, maka akibat-
nya akan fatal…”
“Kok bisa?” tanyaku.
“Iya, di daerah ini, tidak sedikit tempat kos yang
tidak memiliki peraturan seperti di sini, banyak tempat-
-tempat kos yang bercampur antara mahasiswa dan ma-
hasiswi, mereka tidak dibatasi, bebas bergaul tanpa atur-
an. Apalagi mereka merasa sudah dewasa, jadi tidak ada
yang berhak mengatur hidupnya. Di samping itu, orang-
tua mereka kan jauh di kampung, mereka tahunya kalau
para putra puteri mereka berangkat ke kota untuk bel-
ajar dan mendapat ijazah plus gelar sarjana agar kelak
dapat menjadi PNS, idaman semua orang Indoneisa. Soal
kelakuan anaknya, mereka tidak akan dan pernah tau.
Tidak sedikit di antara mereka yang gagal karena terim-
bas dari pergaulan bebas, mulai dari narkoba, minuman
keras, judi, pencurian, perampokan dan sejenisnya. Juga
para mahasiswinya ada pula yang terpaksa bunting ali-
as hamil sebelum menikah karena tak tahan menahan
godaan, di antara mereka ada yang terpaksa aborsi, ada
pula yang terpaksa dinikahkan, juga ada yang pulang
kampung membawa janin dalam kandungan tanpa ayah.
Betapa kecewa orangtuanya, yang telah mengorbankan
Negeriku di Atas Awan - 251

segala-galanyanya demi putrinya tercinta, diharap kem-


bali ke kampung dengan gelar sarjana, ilmu yang mema-
dai, sehingga dapat mengangkat status sosial keluarga di
mata masyarakat, namun apa boleh dikata, putrinya da-
tang dengan perut membuncit tanpa didampingi seorang
suami. Hamil di luar nikah. Sungguh memalukan…”
Bulu kudukku merinding mendengar paparan Azis
yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, aku tidak
dapat banyangkan jika aku mendapat tempat kos tanpa
tata tertib seperti di kamar Azis. Hal ini makin menciut-
kan nyaliku untuk kuliah di kota ini.
“Ente Istirahat aja dulu, nanti sore baru kita keluar
jalan-jalan di tepi Pantai Losari.”
Aku membaringkan badanku di atas kasur tanpa
ranjang di dalam kamar Azis, tak terasa mataku tertutup
dan aku pun terlelap.
Zuhur tiba, ditandai dengan suara azan bersahut-
-sahutan, aku pun terbangun. Langsung mengambil air
wuhdu dan beranjak melangkah ke masjid. Terlihat jelas
kalau setiap rumah yang ada di gang-gang sempit ma-
upun jalan-jalan di sekitar Jalan Manuruki merupakan
tempat tinggal para pelanjut generasi bangsa ini.
Sangat disayangkan karena tempatnya yang ter-
kesan kumuh, sampah berserakan di mana-mana, ter-
lihat warna comberannya hitam pekat karena airnya
tidak pernah bergerak alias terus-menerus tergenang,
bau busuk menyengat, menjadi tempat berkembang-
biak nyamuk-nyamuk. Tikus-tikus got menari-nari ria
tak kenal waktu, membabat makanan yang berasal dari
252 - Ilham Kadir

sisa-sisa sampah, tikus-tikus itu terlihat tidak canggung


lagi makan bersama dengan kucing, seakan telah terjadi
kesepakatan di atara mereka, ada memorandum of un-
derstanding. Tidak jauh beda dengan para koruptor dan
penegak hukum. Dapat bekerja sama sesuai dengan ke-
sepakatan dan kepentingan.
Bakda salat, Azis pun datang dari kampus. Terlihat
membawa bungkusan dari plastik hitam.
“Ayo, kita makan, ini aku bawakan makanan, tadi
saya beli di luar!”
Kami pun makan bersama, dengan lauk yang terdiri
dari ikan goreng sambal, dan sayur kangkung. Di kawa-
san ini harga makanan sangat terjangkau karena me-
mang diperuntukkan untuk kalangan berkantong tipis.
Pintu 33
Rotterdan atau
Sombaopu

B
akda Asar, sesuai janji Azis padaku. Kami pun be-
rangkat ke Pantai Losari, pantai yang indah nan
menawan. Kami naik pete’-pete’ dari depan kam-
pus IAIN menuju ke ujung Jalan Andi Tonro Raya, ber-
henti di persimpangan lampu merah, selanjutnya naik
Pete’-pete’ jurusan Jalan Nuri yang dapat melewati jalan
utama tepi Pantai Losari.
Tinggal di daerah Manuruki, memang terasa bera-
da tidak jauh dari pusat kota, ditambah dekatnya kam-
pus-kampus utama yang ada di Ujung Pandang. Seperti
IAIN, IKIP, UNISMUH, dan beberapa kampus Lainnya.
Yang agak lumayan jauh adalah kampus Unhas dan kam-
pus baru UMI.
Aku dan Azis turun tidak jauh dari pelabuhan ber-
sejarah. Poutere, di sinilah tempat berlabuh para peda-
gang-pedagang dari berbagai penjuru, sejak zaman da-
hulu hingga saat ini, dengan menggunakan kapal layar
tradisional. Hingga sekarang, pelabuhan ini masih tetap
aktif.

253
254 - Ilham Kadir

Bergeser sedikit ke arah selatan, dengan menum-


pang becak, kita akan menemukan pelabuhan kapal
Pelni, yang hampir tiap hari dijejali penumpang yang
berasal dari penjuru tanah Air, mulai dari Papua hingga
Sumatera. Pelabuhan ini merupakan terpadat di Indone-
sia setelah Jakarta dan Surabaya. Para penumpang hilir
mudik tak henti-hentinya. Maklumlah, Kapal Pelni ma-
sih menjadi pilihan utama ekonomi kelas bawah pendu-
duk negeri yang penuh dengan penyamun ini. Pesawat?
Entahlah kapan?
Sedikit beranjak ke arah selatan, kita akan mene-
mukan sebuah peninggalan sejarah yang mahabesar. Di-
alah Benteng Rotterdan.
“Wan… ini Benteng Rotterdan, peninggalan bangsa
Kompeni.” Kata Azis sambil menunjuk ke arah benteng
yang terlihat kokoh itu, nampak temboknya kelihatan
masih sangat kuat dan kokoh kendati terlihat lubang-
-lubang kecil.
“Lubang-lubang itu akibat hantaman peluru, dari
tembakan-tembakan senjata meriam para pribumi yang
memberontak, benteng ini sarat dengan sejarah…” Azis
menambahkan keterangan.
Kami berdua mengambil tempat duduk tidak jauh
dari mulut gapura benteng, terdapat taman kecil yang
biasa juga dipakai sebagai tempat parkir para pegawai
penjaga, atau juga pengunjung dari tamu khusus.
“Hmm… Bisa diceritakan dengan singkat sejarah
latar dan belakang keberadaan benteng ini?” pintaku
pada Azis.
Negeriku di Atas Awan - 255

Azis menghela nafas panjang, sambil menatap ke


arah gerbang benteng, selanjutnya ia memulai ceritanya.
“Benteng ini dibangun tahun 1545 oleh Raja Gowa
X yaitu Tunipallangga Ulaweng. Di bagian dalam Ben-
teng ini terdapat rumah panggung khas Gowa yang me-
rupakan kediamaan dari raja Gowa beserta keluarganya.
Masa kejayaan Makassar tak pernah lepas dari Sombao-
pu. Sombaopu mulai dibangun pada masa pemerintahan
Tuma’parisi’-Kallonna, seiring mulai menguatnya Kera-
jaan Gowa. Pada masa pemerintahan Sultan Malikussaid
bersama Perdana Menterinya yang terkenal, Karaeng
Pattingalloang, Benteng ini diperkuat dengan persenja-
taan, memanfaatkan bukan hanya tenaga asing tapi juga
naskah-naskah yang diterjemahkan dari bahasa asing
seperti Portugis, Malayu dan Turki. Pada masa itulah, di
awal abad ke-17, Kota Makassar yang tidak lain adalah
Sombaopu dan sekitarnya semakin dikenal oleh peda-
gang asing. Jumlah penduduk pun melonjak melampaui
kota Roma di Italia, ia menjadi salah satu kota niaga
terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang—dan
dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia pada
zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar
di Belanda baru mencapai sekitar 60.000 orang—yang
bersifat kosmopolitan dan multikultural. Kemegahan
ini mulai menggoda VOC untuk memonopoli pelabuhan
strategis ini. Sebagai perusahaan dagang, mereka ber-
gerak murni untuk mendapatkan keuntungan, untuk itu
mereka harus menggunakan cara apapun, termasuk mo-
256 - Ilham Kadir

nopoli, yang waktu itu memang menjadi praktik lazim


bagi bangsa Eropa yang datang ke wilayah yang mereka
sebut Indies. Biasanya, upaya pertama dilancarkan de-
ngan meminta raja meluluskan maksud monopoli itu.
Tentu saja permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh
raja-raja Gowa, mulai dari Sultan Alauddin, Malikussaid,
hingga Sultan Hasanuddin.”
“Kok Sombaopu? Bukannya Rotterdan?” protesku
sambil menyela pembicaraan.
“Terjadi pertempuran antara Belanda dengan Gowa
menjadikan benteng ini porak-poranda. Kemudian Bang-
sa Belanda memutuskan untuk tinggal di dalam dan me-
renovasi bangunan dengan arsitektur Belanda. Dan kelak
disebut Benteng Rotterdan,”
“Sesederhana itukah pertempurannya?” tanyaku
lagi.
“Tentu saja tidak, ceritanya bahkan lebih panjang
dari yang Ente banyangkan, begini kisahnya. Sejak peme-
rintahan Raja Gowa kesembilan, Karaeng Tumapa’risi’
Kalonna, sudah banyak orang asing yang datang dan me-
netap di Sombaopu, sentra niaga dan ibu kota kerajaan
Gowa. Puncaknya pada abad ke ketujuh belas, Sombaopu
merupakan bandar dengan pelabuhan yang teramai di
Nusantara bagian Timur sehingga mendapat perhatian
dari orang-orang asing. Di antaranya orang-orang Ero-
pa seperti Potugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris beru-
saha mencari hubungan dan ingin bersahabat dengan
Raja Gowa. Dibentuknya sebuah organisasi Perkongsian
Dagang Belanda yang disebut Verenigde Oost Indische
Negeriku di Atas Awan - 257

Compagnia (VOC), ternyata ingin menopoli perdagangan


dan menguasai kerajaan Gowa. Tak pelak lagi, Kerajaan
Gowa menentang keras hak monopoli yang hendak dija-
lankan oleh VOC. Walhasil, ketegangan antara kerajaan
Gowa dengan VOC makin lama makin tidak terkendali
yang pada akhirnya pecah dalam konflik terbuka pada
peristiwa “Enkhuyzen” tahun 1615. Konflik ini menga-
wali perang besar antara Gowa dengan Belanda sampai
ditandatanganinya “Perjanjian Bungaya” pada tanggal 18
November 1667. Namun Perjanjian Bungaya tidak seca-
ra langsung mengakhiri perlawanan Raja Gowa yang saat
itu dipegang oleh I Mallombasi Daeng Mattawang dikenal
Sultan Hasanuddin sampai jatuhnya Benteng Sombaopu,
benteng kebanggaan, sebagai mercusuar dan kebesaran
Raja Gowa ke tangan Laksamana Cornelis Janszoon Spe-
elman pada tanggal 24 Juni 1669 setelah melalui per-
tempuran sengit selama empat belas bulan (setahun dua
bulan). Benteng ini bukan hanya sekadar benteng istana,
tetapi lambang pemersatu kekuatan Gowa. Speelman sa-
dar, tanpa menaklukkan Sombaopu, kemenangan demi
kemenangan di medan pertempuran tidak akan berar-
ti, karena Gowa merasa belum bertekuk lutut. Dalam
merebut benteng Sombaopu itulah pertempuran paling
dahsyat terjadi, yang pernah dialami oleh Belanda dalam
sejarah penaklukannya.”
Azis berhenti berbicara seketika, sambil meneguk
air minum dalam kemasan yang ada di tangan kanannya,
selanjutnya ia bercerita kembali.
258 - Ilham Kadir

“Ketika Speelman merasa sudah menang total, dan


Sultan Hasanuddin memilih menyingkir dari benteng
Sombaopu, maka dia mengambil seluruh persenjataan
yang tertinggal di benteng itu dan menghancurkan din-
ding-dinding dan bastion benteng yang tebalnya men-
capai empat meter, sementara sebelumnya isi benteng
telah dijarah pasukan pribumi. Itu baru awal dari proyek
besar dan panjang VOC dalam menancapkan kuku impe-
rialismenya.” Terang Azis berapi-api, laksana orator di
atas podium.

Usai berdiskusi, kami beranjak beberapa meter ke-


arah yang sama, sebelah Selatan. Menelusuri Jalan Som-
baopu, jalan ini terlihat sesak oleh pengunjung, beragam
etnis dari nusantara mau pun manca negera. Menyebut
jalan Sombaopu maka pasti yang terlintas adalah peda-
gang emas, memang jalan Sombaopu merupakan dae-
rah sentra pedagang emas di Makassar. Letaknya tidak
jauh dari Pantai Losari. Ruas jalan yang tidak lebih dari
lima meter lebarnya dengan panjang kurang lebih cuma
satu kilo dengan banyak ruko berjajar di sepanjang jalan.
Jalan ini sebenarnya tidak hanya emas yang dijual teta-
pi juga masih banyak toko yang menjual dagangan lain.
Yang paling banyak, toko kerajinan atau toko oleh-oleh.
Disamping itu juga masih ada banyak toko jam, peralat-
an olah raga, dan barang kelontong lainnya.
Negeriku di Atas Awan - 259

Di jalan ini terdapat toko oleh-oleh “Keradjinan”


toko ini menjual beraneka macam oleh-oleh khas Ma-
kassar dari minyak gosok dan balsem cap panda, minyak
tawon, balsem tawon, minyak kayu putih, dan aneka ma-
cam minyak-minyak yang memiliki ragam khasiat. Ter-
sedia pula aneka macam oleh-oleh dari penganan seperti
krupuk danke, kripik pisang raja, maupun minuman se-
perti markisa hingga ragam jenis kopi, sebut saja Tora-
ja dan Kalosi Enrekang. Dari kain sutera, sarung khas
Makassar, songkok Bugis, kaos, dan baju dengan motif
khas Makassar. Sampai kerajinan perak, mutiara air ta-
war, pernak-pernik semacam gantungan kunci, gelang,
kalung, batu akik sisik naga dari Enrekang, dan lain-lain.
Semua ada di sini.
Sombaopu, nama yang dipakai sebelum muncul-
nya kata Makassar dan Ujung Pandang selain Gowa dan
Tallo, kini nama itu hanya abadi dan diabadikan dalam
sebuah jalan yang ada di depan mata kami.
Tallo pada awalnya berada di bawah Kerajaan Si-
ang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan
abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil
lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri
dari Kerajaan Siang, yang menyerang dan menaklukan
kerajaan-kerajaan sekitarnya.
Pada sisi lain, akibat semakin intensifnya kegiatan
pertanian di hulu sungai Tallo yang mengakibatkan pen-
dangkalan, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara
sungai Jeneberang, di sinilah terjadi pembangunan ke-
260 - Ilham Kadir

kuasaan kawasan istana oleh para penguasa yang telah


melebur menjadi satu, Gowa dan Tallo yang kemudian
membangun pertahanan benteng Sombaopu, untuk se-
lanjutnya menjadi wilayah inti kekuasaam kerajaan
kembar Gowa-Tallo.
Kata ‘Makassar’ hanya muncul beberapa abad ke-
mudian, diperkirakan pada abad ke XVII setelah Islam
Masuk ke dalam Istana Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan
ini termasuk paling mudah menerima Agama Islam se-
cara terbuka di Nusantara.
Raja yang pertama menerima Islam sebagai agama-
nya adalah Raja Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng
Mannyonri, Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Bagin-
da juga merangkap jabatan sebagai Tumabbicara Butta
(Mangkubumi) Kerajaan Gowa. Menurut catatan lontara
dan berbagai buku sejarah di Sulawesi Selatan bahwa
tanggal resmi penerimaan Islam sebagai agama pada
malam Jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awal
1014 Hijriah. Setelah resmi masuk agama Islam maka
baginda langsung mendapatkan gelar sebagai Sultan, dan
juga diberi nama Islam, maka nama resminya menjadi,
Sultan Awwalul Islam. Tidak berapa lama kemudian Raja
Gowa keempat belas yang bernama I Manngerengi Da-
eng Manrabia, turut memeluk Islam dan bergelar Sultan
Alauddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan
Tallo telah selesai di-islamkan dengan diadakannya salat
Jumat secara berjamaah pertama di Tallo pada tanggal 9
Nopember 1607, bertepatan dengan 19 Rajab 1016.
Negeriku di Atas Awan - 261

Setelah Kerajaan kembar Gowa-Tallo menjadi ke-


rajaan Islam dan raja-rajanya memperoleh gelar Sultan
maka secara otomatis kerajaan ini telah menjadi pusat
penyebaran Islam di daerah Sulawesi. Raja Gowa seba-
gai penguasa super power di daerah Sulawesi mulai me-
nampakkan pengaruhnya dengan menyerukan kepada
seluruh raja-raja yang ada di Sulawesi supaya menerima
Islam sebagai agama tunggal, di samping itu memang
sudah ada semacam konsensus antara raja-raja di Su-
lawesi Selatan bahwa, “Barang siapa yang menemukan
jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberi-
tahukannya pada raja-raja sekutunya.” Disebutkan juga
bahwa pada tanggal 9 November 1607. Sultan Alauddin
secara resmi mengeluarkan dekrit yang isinya menjadi-
kan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat
umum. Setelah Sulawesi Selatan dapat diislamkan, maka
tibalah gilirannya Sultan Alauddin yang juga berprofe-
si sebagai dai ini bersama Karaeng Matoaya (Mangku-
bumi) yang merupakan pamannya sendiri memperluas
pengaruh dan wilayah, melalui islamisasi pada kerajaan-
-kerajaan di sebelah Timur dan sebagian sebelah Barat.
Bahkan supremasi dan dominasi Kerajaan Makassar
meliputi separuh Nusantara, dari Sulawesi, Berau, dan
Kutai (Kalimantan Timur), Nusa Tenggara minus Bali
karena sebelumnya telah terjadi perjanjian persahabat-
an antara Makassar—kalau saja perjanjian itu tidak ada
tentu saja agama atau kepercayaan mayoritas orang Bali
saat ini akan berbeda kisahnya—Marege (Australia Uta-
ra), dan gugusan Pulau Tinibar. Perluasan pengaruh dan
262 - Ilham Kadir

dominasi Kerajaan Islam Makassar inilah menjadi cikal


bakal munculnya Republik Indonesia yang kekuasaannya
mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Marau-
ke, dari Pulau Migas di sebelah Utara dan Sumba di be-
lahan Selatan.
Tak terasa mata ini berkaca-kaca, ingin rasanya
menangis jika mengingat kembali sejarah emas kera-
jaan Kembar Islam Gowa-Tallo, sungguh tragis karena
runtuh, luluh lantak akibat serangan kaum penjajah dan
ketololan kaum pribumi sendiri, mereka ingin saja di-
peralat oleh bangsa kompeni agar mereka saling ber-
musuhan, terpecah belah, sehingga memudahkan kaum
penjajah menjarah dan menindas mereka. Ya, Kompeni
menggunakan siasat licik, politik pecah belah, atau juga
belah bambu. Satu diangkat dan yang lain diinjak. Arung
Palakka disanjung dan dipersenjatai untuk menyerang
saudaranya Sultan Hananuddin.
“Tapi… ya, sudahlah, biarkanlah sejarah itu tetap
ada, biarkanlah…” gumamku.
“Yuk, kita ke tepi pantai, sambil menyaksikan
sunset!” ajak Azis padaku, dan segera membuyarkan la-
munanku, yang masih saja duduk di depan toko penjual
aneka oleh-oleh. Azis kelihatannya sudah lelah memilih
aneka jenis oleh-oleh, tapi akhirnya tak ada yang ia beli.
Padahal tidak kurang dari sepuluh menit bertanya dan
menawar harga beberapa jenis barang di sini.
“Payah, harganya agak mahal, inilah jeleknya kalau
harga barang jatuhnya pada oleh-oleh,” keluh Azis ten-
tang mahalnya harga barang yang ia sukai tadi.
Negeriku di Atas Awan - 263

“Memang mahal kalau ukurannya kita berdua, coba


kalau kita sudah jadi pegawai negeri, pastinya bisa beli.”
aku menimpali.
“Ah, sudahlah, kita duduk di sana yuk! Dekat pen-
jual pisang epek,” ajak Azis.
Matahari bergerak ke Barat, perlahan-lahan sang
surya mulai tenggelam, matahari laksana cincin api bulat
membara, ring of fire. Terlihat betul dengan jelas indah-
nya sunset di tepi Pantai Losari. Pantai yang kini dihuni
restoran jejer bersambung lebih dari satu kilo meter.
Jika saja ada perlombaan restoran terpanjang di dunia,
bisa jadi restoran tepi Pantai Losari akan masuk nomi-
nasi. Dan akan keluar sebagai pemenang.
“Daeng, saya pesan dua porsi pisang epek ya!” pinta
Azis pada penjual.
“Mau rasa apa..?” tanya penjual.
“Rasa duarian saja Pak…” jawabku, menyela.
“Dua-duanya?”
“Iya.” Jawab Azis.
Pisang Epek, yaitu pisang kepok setengah matang
yang dipipihkan lalu dibakar di atas bara kayu bakau
dan disajikan panas–panas dengan siraman saus—ham-
pir sama dengam memanggang ikan di atas bara api. Sa-
usnya juga beragam, mulai dari gula aren, durian, coklat,
hingga keju, atau kombinasi dari dua sampai tiga saus
sekaligus.
“Menikmati pisang epek di pinggir Pantai Losari
sambil menunggu matahari tenggelam sungguh sangat
264 - Ilham Kadir

romantis bila dilewati bersama pasangan..!” canda Azis


padaku.
“Betul sekali, jika pasangan yang sah, atau pun pa-
sangan diskusi seperti kita berdua,” candaku kembali.
Terlihat para muda-mudi hilir mudik di tepian pan-
tai menggandeng pasangan masing-masing, bercengkra-
ma, dan sesekali terdengar canda tawa dari mereka. Para
pasangan muda-mudi tersebut tidak pernah tau, dan ti-
dak mau tau, kalau beberapa abad silam, di tempat ini,
di pantai ini, pernah terjadi pristiwa besar. Pertempur-
an demi pertempuran terjadi di sini. Tetesan darah para
pejuang pernah membasahi air laut ini, para pahlawan-
-pahlawan agama dan bangsa itu, mati-matian memper-
tahankan agama, harga diri, bangsa, dan tanah air ini.
Tanpa mengharap apa-apa, tidak pangkat, jabatan, ke-
kuasaan, harta benda, tanah pusaka, dan sejenisnya. Jika
mereka berjuang kerena motivasi tanah air saja. Maka
mereka adalah tuan tanah. Nyatanya. Pangeran Dipone-
goro yang bertahun-tahun dikerangkeng dalam Benteng
Rotterdan, tidaklah memiliki sejengkal tanah pun, juga
demikian dengan para pahlawan lainnya seperti Sultan
Hasanuddin yang mengakhiri karirnya sebagai guru aga-
ma di sebuah Masjid.
Kini pantai ini, di mana aku dan Azis manyaksikan
dengan jelas matahari terbenam, terlihat cakrawala de-
ngan jelasnya mulai memudar. Ya, sang surya tengge-
lam diiringi dengan canda tawa para pengunjung pantai,
dengan beragam tujuan dan motivasi. Ada yang datang
untuk bersantai, menikmati aneka kuliner khas Makas-
Negeriku di Atas Awan - 265

sar, ada pula hanya sekadar singgah karena kapal yang ia


tumpangi sedang berlabuh, ada pula yang datang ketem-
pat ini dari kejauhan karena ingin menyaksikan langsung
indahnya Pantai Losari, mereka ini biasanya menginap
di hotel yang berjejer di bibir pantai. Mereka pelancong,
yang mungkin tau atau pun tidak sejarah masa lampau
kebesaran Makassar, di bawah naungan kerajaan kem-
bar Islam Gowa-Tallo. Kerajaan yang pernah mengha-
rumkan seantero nusantara dan dikenal di jagad raya ini.
“Hmm… Aku dan generasiku kelak, akan lupa bah-
wa orang yang tinggal di Makassar ini empat ratus tahun
lalu, sanggup mengatakan tidak terhadap sistem dagang
monopoli Eropa. Mereka sanggup membangun sistem
pemerintahan sendiri, tata masyarakat sendiri. Mereka
hidup dengan gaya hidup sendiri, mereka membuat sa-
bun, minuman, kue-kue, sandal, dan apa saja yang me-
reka butuhkan. Mereka produktif dan tidak latah. Akan
halnya bahasa, mereka memodifikasi abjad dari tempat
lain untuk membuat aksara sendiri, agar bisa menikmati
komunikasi tertulis, mereka inovatif. Mereka bukan
orang laut, tetapi mereka berlayar ke sana ke mari, se-
bagai pedagang dan pengemudi dari Maroko hingga Ma-
rauke. Untuk itu mereka buat peta sendiri dengan baha-
sa sendiri. Mereka belajar dengan cepat, punya daya dan
gaya hidup sendiri. Mereka memang mengutip, tapi itu
hanya sebagai pelengkap bukan yang utama. Singkatnya,
mereka masyarakat yang mandiri, tidak latah.” Pikirku
membatin.
266 - Ilham Kadir

Ingin rasanya membacakan sebuah syair kepada


para pengunjung pantai indah nan bersejarah ini, sebu-
ah syair yang melukiskan tentang kekalahan Makassar
dalam perang melawan bangsa penjajah. Ya, syair yang
pernah dilukiskan oleh Entji Amin, tahun 1670;
Sudahlah kalah negeri Mengkasar
Dengan kodrat Tuhan malik al-djabbar
Patik karangkan di dalam fajar
Kepada negeri yang lain supaya terchabar

Memohonkan ampun patik tuanku


Kehendak Allah telah berlaku
Kepada syara’ tidak berlaku
Bugis Buton Ternate Hantu

Lima tahun lamanya perang


Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang

Mengkasar sedikit tidak gentar


Ia berperang dengan si kuffar
Jikalau tidak ra’yatnya lapar
Tambah lagi Welanda kuffar.


Negeriku di Atas Awan - 267

Setelah cahaya matahari sepenuhnya lenyap, ting-


gal terlihat dengan jelas lampu-lampu restoran terpan-
jang yang pernah kusaksikan, cahaya bumi betul-betul
sudah hilang. Tiba-tiba, suara azan mengalun-alun dari
sebelah Timur pantai.
Kembali kami berdua bergegas menjemput panggil-
an Ilahi rabb. Pertanda pergantian siang beralih ke ma-
lam hari telah tiba. Selamat tinggal siang, semoga hari
esok engkau lebih bermakna dari hari ini, dan selamat
datang malam. Jauhkanlah diri kami dari kejahatan, dan
dekatkanlah diri kami pada kebaikan.
Bakda Magrib, kami kembali ke tepi pantai. Menik-
mati hidangan makan malam. Dari salah satu restoran
yang termurah mungkin. Aku pesan nasi goreng. Hanya
dengan harga lima ribu rupiah, satu porsi nasi goreng
siap kusantap. Demikian pula dengan Azis.
Tidak begitu lama, selesai menikmati santapan.
Kami pun kembali ke Jalan Manuruki. Tempat kami
menginap malam ini.
“Langsung istirahat aja, besok saya mau ajak Ente
ke kampus, kan tinggal satu hari di sini.”
“Iya. Lusa saya harus kembali ke Palattae.”
Setelah menunaikan salat Isya, di salah satu mas-
jid terdekat di Jalan Sombaopu, aku pun pulang ke Ja-
lan Manuruki menuju kamar kos. Terlihat jelas kalau
teritorial ini berupa lumbung mahasiswa. Para generasi
pelanjut ini hilir mudik, mereka sibuk menata masa de-
pannya masing-masing. Sesekali keluar senyum manis
268 - Ilham Kadir

dari akhwat yang lalu lalang di jalan depan tempat kos.


Mereka terlihat sangat alim. Menggunakan pakaian se-
suai syariat, kepalanya berkrudung labuh, badannya ter-
bungkus rapi hingga ke ujung kaki, yang terlihat hanya
mukanya yang berseri, telapak tangan, dan jari-jemari-
nya yang lentik. Ternyata tidak sedikit juga para maha-
siswa dan mahasiwi mempergunakan kesempatannya di
kota ini untuk mendalami ilmu agama lewat beragam
media. Mulai dari halaqah, ceramah, lembaga dakwah
kampus, persatuan-persatuan mahasiswa, dan beragam
pilihan lainnya. Merekalah yang betul-betul menjaga
amanah dari orangtua, mereka generasi penerus yang
sesungguhnya. Keinginanku untuk duduk di bangku kuli-
ah kembali mekar yang sempat layu beberapa saat lalu.
Pintu 34
Mahasiswa vs Polisi

H
ari ini hari terakhir aku berlibur di Ujung Pan-
dang. Besok aku harus kembali, karena lusa
sudah masuk bulan puasa. Kendati sebenarnya
aku masih punya jatah liburan lima hari ke depan, tapi
karena aku mendapat jadwal sebagai imam dan pencera-
mah, memaksa aku untuk cepat kembali, selain itu Kiai
Said juga akan datang ke Palattae sebagaimana bulan pu-
asa tahun lalu.
“Wan, hari ini ikut aku ke kampus ya?”
“Iya, tapi apa tidak ada masalah kalau saya ikut
Ente, saya bukan mahasiswa!”
“Owh, tidak masalah, sama sekali tidak, kampus
adalah milik siapa saja, bahkan Ente bisa sekalian masuk
ruang kuliah mengikuti materi dari para dosen.”
“Hm.. begitu ya?”
“Oya, sekalian bawa aja barang-barang, di sana, de-
kat terminal.”
“Oke!”
Kami berdua melangkah meninggalkan tempat
kos, terlihat gang-gang di Jalan Manuruki sangat sibuk,

269
270 - Ilham Kadir

para mahasiswa masing-masing bergegas meninggalkan


tempat kosnya, seperti kawanan burung-burung pipit
beterbangan meninggalkan sarangnya di pagi hari. Te-
tapi kelihatan kalau jumlah mereka masih didominasi
kaum hawa. Yang sebagian besarnya menggunakan tutup
kepala alias kerudung. Walau itu kerudung gaul. Karena
belum sepenuhnya sesuai dengan syariat. Tapi itu sudah
sebuah kemajuan, setidaknya identitas.
Konon di perguruan tinggi IKIP, jumlah mahasis-
wi yang berkerudung mayoritas. Ini luar biasa, karena
IKIP perguruan tinggi negeri yang berbasis umum, bu-
kan agama sebagaimana IAIN. Ini semua karena imbas
dari gencarnya dakwah yang dikoordinir oleh Lembaga
Dakwah Kampus (LDK), bahkan ada beberapa mahasis-
wi dari kampus yang berorientasi pada profesi keguruan
ini barasal dari agama non Islam namun mengenakan
jilbab, menurutnya mengenakan jilbab jauh lebih secu-
re dari godaan dan gangguan lelaki iseng, baik di dalam
kampus maupun di luar.
Dari Jalan Sultan Alauddin, tepat di depan kampus
IAIN, kami naik pete’-pete’ jurusan pasar sentral untuk
selanjutnya berhenti tidak jauh dari kampus lama UMI,
yang terletak di Jalan Kakatua, berhadapan dengan Ge-
dung Stasiun Televisi Republik Indonesia.
“Inilah tempat kuliah saya,” kata Azis sambil me-
nunjuk kepada bangunan lama yang berlantai dua.
“Kok kelihatannya sudah lama, bukan?”
Negeriku di Atas Awan - 271

“Memang sudah lama, makanya ini disebut Kampus


Lama, kalau kampus barunya terletak di Jalan Urip Su-
muharjo, nanti kita ke sana. Kan hampir tiap hari saya
ke sana.”
“Kok bisa?”
“Iya, saya juga punya banyak kegiatan di sana.”
Kami selanjutnya masuk lewat samping ruang sek-
retariat kampus, lalu menyusuri tangga untuk naik ke
lantai dua. Di sana, teman-teman Azis sudah menunggu
dengan duduk melingkar, sekitar delapan orang. Rupa-
nya ada diskusi.
“Ini teman saya, namanya Iwan…” Azis memperke-
nalkan aku di hadapan teman-temannya.
“Ayo, silahkan duduk…” salah satu di antara mere-
ka mempersilahkan aku duduk.
“Terima kasih,” jawabku, sambil menurunkan pan-
tatku di atas lantai, aku pun ikut melingkar.
Diskusi dimulai, dan isi pembicaraannya terkait de-
ngan mata kuliah Bahasa Inggris, semua yang hadir di
sini memang berasal dari jurusan yang sama.
Tidak kurang dari satu jam diskusi yang mengguna-
kan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utamanya
berlangsung. Yang sudah dapat kusimpulkan kalau tuju-
an utama pertemuan ini untuk memperlancar percakap-
an komunikasi Bahasa Inggris para mahasiswa jurusan
Bahasa Inggris.
Selesai diskusi, aku dan Azis segera meninggalkan
kampus lama, menuju ke kampus baru. Kampus inilah
yang sangat terkenal di seantero nusantara. Mahasiswa-
272 - Ilham Kadir

nya memiliki reputasi yang luar biasa dalam menjalan-


kan aksi-aksinya. Yaitu berdemo.
Dalam perjalanan ke kampus baru, di atas pete’-
pete’ aku dan Azis sempat berbincang-bincang.
“Kalau di kampus baru, punya juga jadwal kuliah di
sana ya?”
“Tidak, cuma kegiatan cocurriculum aja,”
“Maksudnya apa?”
“Ya, sejenis organisasi yang ada di kampus, anggo-
tanya terdiri dari para mahasiswa, kalau di pondok sama
dengan organisasi santri, kami di sini menyebutnya ‘se-
nat’, kebetulan pusat kegiatan dan sekretariatnya berada
di kampus baru.”
“ Apa jabatan atau posisi Ente di situ?”
“Kebetulan saya diamanahi sebagai ketuanya,”
“Maksud Ente, ketua senat?”
“Iya, betul sayalah ketuanya.”
“Berapa jumlah mahasiswa dan mahasiswi UMI
saat ini?”
“Tidak kurang dari sepuluh ribu orang…”
“Wow… berarti Ente pemimpin sepuluh ribu jiwa
lebih.”
“Tidak juga,” jawab Azis merendah.
“Apa rahasianya sehingga Ente bisa menjadi ketua
senat?”
“Yang jelas modal utama adalah keberanian tampil
di muka umum, ditambah dengan modal ilmu kepemim-
pinan dan wawasan yang cukup!”
“Dari mana Ente dapat semua itu?”
Negeriku di Atas Awan - 273

“Itu semua saya dapat ketika mondok bersama Ente


di Pitu-pitu.”
“Ah, masa sih..?”
“Betul, apa yang kita pelajari di pondok dulu, mu-
lai dari belajar beroganisasi, latihan pidato, kebiasaan
berdisiplin dan sebagainya. Akan menjadi modal besar
ketika kita keluar dari pondok, saya rasakan manfaatnya
sangat besar.” Papar Azis.
Tidak terasa pete’-pete’ yang kami tumpangi ber-
henti di depan gapura masuk Universitas Muslim Indo-
nesia. Lokasinya luas terbentang dijejali dengan berbagai
jenis bangunan, bangunan terpanjang menyamping dapat
terlihat jelas dari jalan utama, terdapat tulisan dengan
aksara arab yang bertuliskan “ Rabbi zidni ‘ilman” hala-
mannya juga demikian luas. Kami bedua duduk di bawah
salah satu pohon yang ada di depan bangunan bertulis-
kan doa di atas.
Sambil menggenggam air munum mineral, kemba-
li lagi kami berbincang-bincang sambari menunggu da-
tangnya waktu Zuhur.
“Pernah memimpin demo?” tanyaku memancing
pembicaraan.
“Bukan pernah lagi, tapi sering!” Jawab Azis santai.
“Sebenarnya tujuan demo itu apa sih?”
“Tujuannya dan motifnya beragam, mulai dari
memprotes kebijakan pemerintah yang tidak pro rak-
yat, mendesak pihak penegak hukum untuk menegakkan
keadilan, termasuk menangkap dan menghukum para
koruptor seberat-beratnya, bisa juga karena memprotes
274 - Ilham Kadir

kebijakan Amerika yang senantiasa melindungi penyik-


saan bangsa Israil kepada Palistina, dan banyak lagi…”
“Pernah merasa diperalat?”
“Pernah,”
“Sering?”
“Tidak juga...”
“Bagaimana ceritanya?”
“Biasanya terkait dengan kepentingan orang-orang
yang berduit dan punya kekuasaan, lazimya mereka rela
membayar mahal, berapapun biaya yang kami minta,
yang penting kami dapat menurunkan massa dan meng-
angkat isu tertentu kemudian diliput oleh media massa.
Misalnya si A harus didemo karena memang sudah ter-
bukti korupsi, demo ini didanai oleh si C, karena si C ini
adalah pendukung bakal pengganti posisi si A, yaitu si B.”
Sudah menjadi umum kita ketahui, kalau mahasis-
wa yang kuliah di Kota Makassar identik dengan demo.
Tidak ada isu yang besar atau pun kecil yang merugikan
masyarakat tanpa dibarengi dengan demo di kota angin
mamiri ini.
Demo-demo besar dan gabungan, tidak jarang ter-
jadi di sini. Kampus UMI. Sering pula akibat demo men-
jadikan aktivitas kota jadi lumpuh total.
Kota Makassar atau Ujung Pandang, setidaknya me-
miliki dua gerbang utama, sebelah selatan, Jalan Sultan
Alauddin, orang-orang yang datang dari Kabupaten Sin-
jai, Bulukumba, Selayar, Bantaen, Jeneponto, takalar, dan
Gowa akan melewati jalur ini jika hendak masuk kota.
Nah tepat di jalan utama ini, terletak dua kampus besar.
Negeriku di Atas Awan - 275

Universitas Muhammadiyah dan Institut Agama Islam


Negeri Sultan Alauddin, tidak jauh dari situ, di ujung
jalan Pengeran Petta Rani juga terdapat kampus utama
IKIP.
Adapun dari arah sebelah utara, yang merupakan
rute utama orang-orang yang hendak ke kota Makassar,
berasal dari Sulawesi Tenggara dan sebagian besar Su-
lawesi Selatan, seperti Luwu, Toraja, Enrekang, Mamuju,
Barru, Sidrap, Polewali Mamasa, Palopo, Pare-pare,
Wajo, Soppeng, Bone, Pangkep, dan juga Maros.
Untuk masuk ke Kota Makassar dari arah Utara se-
benarnya ada dua jalur, lewat jalan bebas hambatan atau
pun jalan biasa. Namun jalan biasa masih tetap menjadi
pilihan utama yaitu Jalan Urip Sumuharjo. Di jalan inilah
bertengger setidaknya tiga kampus raksasa, Unhas, UMI,
dan Universitas 45, belum termasuk kampus-kampus la-
innya yang memiliki tidak kurang dari seribu mahasis-
wa, seperti STAI Al Gazali, STIMIK, dan sejenisnya.
Dapat dibayangkan jika terjadi demo secara seren-
tak, baik dari arah selatan yang dikoordinir oleh Unis-
muh, IAIN, dan IKIP, kemudian dari arah utara Unhas,
UMI, dan Universitas 45. Maka secara spontan dan spo-
radis kota akan chaos dan lumpuh. Sudah menjadi kebia-
saan para mahasiswa jika berdemo kerap menghentikan
truk container atau bis besar untuk dipalang di tengah
jalan, agar jalan mati total. Setelah jalan mati total, mu-
lailah aksi kejar mengejar antara pihak kemamanaan
yang diwakili oleh polisi melawan mahasiswa. Mahasis-
wa versus polisi.
276 - Ilham Kadir

Sebuah kesengajaan pihak mahasiswa memanas-


-manasi–lebih tepatnya menggembosi—pihak polisi,
agar terpancing emosinya untuk menangkap mereka,
dan jika ini terjadi. Maka perang dimulai.
Mahasiswa yang tertangkap digiring naik ke mobil
patroli, aparat yang lain berusaha mencegah mahasiswa
lainnya yang nekat membebaskan temannya. Naas, sang
teman yang ingin jadi pahlawan bagi temannya yang ter-
tangkap juga digiring naik ke mobil yang sama, selanjut-
nya meluncur ke kantor polisi untuk di introgasi. Meng-
ingat sudah ada dua orang mahasiswa tertangkap maka
suasana semakin panas, mahasiswa semakin brutal, batu
beterbangan laksna hujan deras. Polisi kewalahan. Truk
pengangkut pasukan Brimob terlihat berjejer di depan
kampus UMI, pasukan tambahan datang tidak kurang
dari satu kompi personil. Mahasiswa tambah berang,
mengamuk sejadi-jadinya.
Di kampus lain, Unhas juga sudah turun ke jalan,
membawa spanduk berwarna merah, lengkap dengan
jasnya yang juga berwarna merah dengan logo ayam jan-
tan. Ketika mulai melakukan aksinya, tiba-tiba terlihat
seorang polisi lalu lintas lewat, dikejar, lalu ditangkap.
Di depan kampus UMI mahasiswa ditangkap namun di
depan Unhas polisi yang ditangkap.
Adapun kondisi Makassar bagian Selatan, Unismuh
sudah memulai aksinya, ban-ban bekas ditumpuk di te-
ngah jalan, lalu dibakar. Praktis kendaraan tidak satu
pun yang bisa lewat. Mahasiswa sudah memadati jalan
Negeriku di Atas Awan - 277

raya. Polisi masih tetap memantau dan belum berani


bertindak, just wait and see.
Entah siapa yang mulai. Batu tiba-tiba sudah me-
layang, terdengar suara dentuman. Oh. Itu suara sena-
pan polisi, tanda peringatan. Tapi mahasiswa tetap tidak
ciut nyalinya. Maju terus diiringi pekikan Allahu Akbar....
Polisi kewalahan, tidak lama kemudian datang bantuan
satu kompi Brimob. Suasana semakin panas.
Bergeser sedikit ke arah kota, ke kampus IAIN. Toa
terdengar mulai menggelegar, isinya sindiran, makian,
dan protes terhadap kebijakan pemerintah yang tidak
pro wong cilik tapi pro wong licik. Kian menit mahasis-
wa kian bertambah, lengkap dengan jas almamaternya,
warna hijau, berlambang kapas dan padi di tengahnya
terdapat gambar Alqur’an dan hadis. Sebuah mobil tang-
ki lewat, dihentikan lalu dipalang di tengah jalan raya.
Polisi berang, tapi tak bisa berbuat banyak, karena ma-
hasiswa kian bertambah. Sedikit bergeser ke arah Jalan
Pangeran Petta Rani. Mahasiswa dari IKIP sudah mulai
keluar dengan batu dalam kepalan tangan. Mulai melem-
par ke arah polisi, tapi polisi sadar kalau dilayani akan
tambah parah. Polosi pun mundur. Yang jadi sasaran
batu pindah ke lampu merah pengatur lalu lintas, peng-
hubung jalan Sultan Hasanuddin dengan Jalan Pengran
Petta Rani. Hanya hitungan menit, lampu merah itu pun
hancur dan tiangnya peot.
Para pewarta stasiun televisi, koran-koran lokal,
nasional, maupun internasioanal seakan mendapat ber-
kah. Liputan langsung live menambah rating mereka. Ik-
278 - Ilham Kadir

lan pun kian bertambah, dan income semakin melangit.


Besok media cetak harus menambah oplah karena akan
laris manis melebihi kacang.
Hanya hitungan jam, setelah kejadian dini hari tadi,
terdengar headline news kalau Kapolda Sulsel kembali
dicopot dari jabatannya dan digantikan dengan yang lain,
dan akan bertahan entah berapa hari atau minggu men-
datang.
Makassar memang beda, masyarakatnya juga beda
dengan kota-kota besar lainnya, namun yang paling me-
nonjol dalam perbedaan adalah prilaku para mahasiswa-
nya yang tergolong sangat sensitif, terutama dalam me-
respon isu-isu yang berhubungan dengan ketidakadilan
bagi masyarakat kaum marjinal.
Selain itu, atmosfir di kota ini juga aneh, para maha-
siswa. Maksudnya sebagian kecil dari mereka, memang
sengaja mencari sensasi. Yang terkadang menjadikan
perkelahian sebagai ajang olahraga. Maka tidak heran,
jika kita temukan di antara mereka saling bertikai, baik
individu maupun secara kolektif. Massal.
Biasanya hanya dilatari persoalan sepele, atau me-
mang hanya sekadar ingin olahraga. Hampir di setiap
kampus besar perkelahian antar jurusan atau pun fakul-
tas sering terjadi. Seakan sudah menjadi sumpah buat
generasi pelanjut untuk meneruskan tradisi perang an-
tar fakultas dalam satu kampus. Dan anehnya, dilakukan
secara sporadis dan sadis. Setidaknya ada dua kampus
yang mempertahankan tradisi ini. Unhas dan IKIP.
Negeriku di Atas Awan - 279

Satu lagi perang yang juga sulit didamaikan. Kalau


damai pun hanya menunggu jedah saja, gencatan senjata
hanya temporar, yaitu perang antar etnis yang berlatar
belakang suku, atau daerah asal tertentu.
Entah kapan ini semua berhenti.

Azan Zuhur berkumandang, tanda masuknya waktu


Salat, aku dan Azis serta para mahasiswa lainnya berge-
gas antri di depan tempat pengambilan air wudhu, selan-
jutnya menunaikan salat secara berjamaah.
“Bagaimana? Jadi pulang hari ini? Atau besok saja?”
tanya Azis.
“Tidak,, hari ini saya harus pulang…” jawabku.
“Kalau begitu kita makan siang dulu, ayo ke kan-
tin.” Ajak Azis.
Kami berdua bergegas ke kantin untuk makan si-
ang. Dan selanjutnya bergerak ke terminal Panaikan
yang berada persis di sebelah kanan kampus. Para calo
tiket saling berteriak mencari penumpang sebagai kon-
sumen. Terlihat tulisan di salah satu mobil merek kijang
super, “UP78 – Sinjai”.
“Ke Palattae, bukan?”
“Iya, ini mobil jurusan Sinjai tapi lewat Palattae.”
Terang salah seorang penumpang yang bersandar di sisi
samping mobil tersebut.
“Adik mau kemana?” tanyanya lagi.

78 Ujung Pandang
280 - Ilham Kadir

“Mau ke Palattae, Pak?”


“Kalau begitu naik sini saja, saya juga mau ke Pa-
lattae.”
Aku pun setuju.
“Oke, Wan, sampai jumpa nanti. Salam sama teman-
-teman di pondok ya?” kata Azis sambil menjulurkan ta-
ngannya untuk berjabat sebelum berpisah.
“Baiklah, sampai jumpa!”
Azis pun meninggalkan aku yang akan segera be-
rangkat. Mesin mobil sudah dinyalakan, penumpang su-
dah naik semuanya. Aku duduk di jok tengah samping
jendela. Mobil pun meluncur dengan segera.
Setelah tiga jam di atas mobil kijang super made in
Jepang ini berada. Kami pun sampai di Kecamatan Libu-
reng, yang bersebelahan dengan Palattae.
Daerah ini merupakan sentra penghasil gula ter-
besar di Sulsel. Terlihat jelas sepanjang jalan, area per-
kebunan yang dijejali oleh tanaman tebu. Truk-truk
pengangkut tebu juga memenuhi jalan raya. Hilir mudik.
Terlihat jelas di depan mobil yang aku tumpangi ini ada
tiga mobil truk penuh dengan angkutan tebu berjejer
menghalangi laju kendaraan kami. Kesulitan menyalip
mereka bertiga yang saling berdempetan. Sisi belakang
bak ketiga truk itu terlihat jelas tulisan-tulisan ‘nakal’.
Yang terdepan bertulis “Kutunggu Jandamu” yang di te-
ngah “Perawan tapi Janda” dan yang terakhir “Jamu vs
Duren”. Tulisan pertama dan kedua jelas dan tidak perlu
penafsiran. Namun yang ketiga sepertinya akronin dari
“Janda Muda versus Duda Keren”.
Pintu 35
Nabi Daud dan Nabi
Musa

B
ulan Puasa telah tiba, di tahun 1995, yang ja-
tuh di musim hujan. Para umat Islam seantero
jagad menyambutnya dengan suka cita, ditandai
dengan melambungnya harga-harga sembako semenjak
tiga hari lalu. Entah kenapa para peniaga negeri ini sa-
ngat doyan menaikkan harga dengan setinggi-tingginya
jika hendak memasuki masa puasa. Padahal pasokan ba-
rang juga tidak berkurang. Sepertinya pedagang mem-
permainkan konsumen, karena Bulan Ramadan, berapa
pun harga barang tersebut, pasti akan terbeli. Sebuah
pemerasan secara sistematis.
Hingga saat ini, pemerintah sepertinya tak kuasa
mengantisipasi lonjakan harga setiap menjelang puasa,
tidak pernah dan tidak mau serta mungkin juga tidak
bisa. Atau pembiaran? Entahlah…
Aku, Hatta, Hadi, dan Asdar menyambut Bulan Pu-
asa di sebuah kampung di Palattae, bergiliran mengisi
ceramah, memimpin salat taraweh, mengajar para santri
TPA, serta beragam aktivitas sosial keagamaan lainnya.

281
282 - Ilham Kadir

Memasuki hari ketiga Ramadan, Kiai Said datang


ke tempatku, seperti biasanya, tujuan utamanya membe-
rikan siraman rohani kepada penduduk setempat yang
bisa dikatakan daerah binaan kami. Minimal membina
para anak-anak.
“Diberitahukan kepada jamaah bahwa besok ma-
lam yang akan mengisi siraman rohani adalah Kiai Said
dari Pitu-pitu…” umum Pak Musa di hadapan para jema-
ah taraweh malam itu.
Keesokan harinya, bakda Asar, Kiai Said bersama
dengan rombongan beberapa guru KMI tiba, mereka
datang dibawa oleh Ustadz Istiqam menggunakan mobil
kijang pick up, pemberian dari seorang pengusaha dan
politukus asal Makassar, Jusuf Kalla. Kiai Said duduk di
depan bersebelahan dengan Ustadz Istiqam, sedang be-
berapa guru lainnya duduk di atas bangku bak belakang,
termasuk di antaranya Ustadz Fuadzein, wali kelas kami.
Mobil langsung diparkir depan tempat tinggal kami. Tas
berisi pakaian Pak Kiai aku masukkan ke dalam kamar
yang telah kukosongkan siang tadi. Biasanya Hadi yang
tidur di kamar itu, atau para tamu atau guru yang datang
dari Pitu-pitu.
Menjelang buka puasa tiba. Kami berangkat ke
Masjid bersama dengan Kiai Said dan rombongannya.
Begitu sampai orang-orang datang menyalami sang Kiai.
Rupanya pengumuman kemarin malam menjadikan me-
reka tau kalau hari ini Kiai Said akan datang. Ini baru
Magrib namun jamaah sudah banyak berdatangan.
Negeriku di Atas Awan - 283

Memang sewaktu Kiai Said menjabat sebagai Ke-


tua Mahkamah Agung DI/TII, daerah Palattae termasuk
basis utama kekuasaannya. Dan Kiai Said sangat dikenal
di daerah ini. Oleh sebab itu, bagi generasi yang sempat
menyaksikan DI/TII berkuasa sangat tau karakter dan
keilmuan ulama yang dermawan ini. Mereka sangat me-
ngagumi Kiai yang selalu tampil dengan sarung itu.
Terkaanku benar, ketika masuk waktu Isya, usai
menikmati makan malam di tempat tinggal kami, para
jamaah salat Isya sudah memenuhi shaf-shaf di dalam
masjid, mereka berduyung-duyung datang dari desa-desa
bahkan kecamatan sebelah, Bontocani dan Salomekko.
Bakda salat Isya, yang dipimpin oleh Hadi, kebetul-
an malam ini dia yang bertugas. Pak Musa naik ke atas
mimbar untuk selanjutnya mempersilahkan Kiai Said.
“Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah… ma-
lam ini malam yang sangat bermakna buat kita semua,
karena malam ini kita kedatangan Kiai Said, Pimpinan
Pondok Pesantren Darul Qurra’ Pitu-pitu, beliau yang
akan memberikan siraman rohani pada kita semua…
kepada Pak Kiai Said, kami persilahkan…”
Kiai Said, berdiri lantas duduk di kursi samping
mimbar, kursi itu telah disediakan khusus untuk beliau,
karena ia tidak mampu lagi berdiri terlalu lama, di sam-
ping juga lebih terkesan santai dan mengena.
“Hadirin sidang jemaah taraweh yang dimuliakan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, syukur al Hamdulillah
kita panjatkan kepada Allah, dan Shalawat serta salam
284 - Ilham Kadir

kita limpahkan kepada Baginda Nabi Besar Muham-


mad…” Kiai Said memulai ceramahnya.
“… dalam beribadah, ada dua perkara yang harus
diketahui, yaitu beribadah sesuai dengan tuntutan sun-
nah rasul, ittiba’ussunnah, dan yang kedua segala amalan
haruslah dilandasi dengan ikhlas, tanpa kedua perkara
di atas, maka amalan yang kita lakukan tidak berarti
apa-apa…” papar Kiai Said dalam bahasa Bugis.
“… dulu saya juga termasuk pelaku bid’ah dan khu-
rafat, sewaktu mondok di Madrasah Arabiyah Islamiyah
Sengkang, diwajibkan menghafal Kitab Berzanji agar bisa
menghadiri jamuan-jamuan khusus yang di dalamnya di-
bacakan kitab di atas, selesai membaca Kitab Berzanji,
kami disuguhi beragam makanan, mulai dari daging ayam
hingga ragam jenis kue, kadang-kadang mendapatkan tips
berupa uang saku. Juga setiap ada orang yang meninggal
dunia saya dengan teman-teman berangkat mengaji dan
mengirimkan pahala pada si mayit tersebut… dan bera-
gam lagi hal-hal yang kemudian saya ketahui kalau semua
itu tidak ada dasarnya, semua itu hanyalah akal-akalan
orang-orang tertentu untuk dapat makan makanan enak,
serta mendapatkan keuntungan sesaat, hal yang tidak
pernah dicontohkan dalam agama, jauh kata dari sunnah,
dan termasuk perbuatan bid’ah, setiap bid’ah yang berhu-
bungan dalam ibadah dan aqidah adalah sesat hukumnya,
dan kesesatan tempatnya neraka. Mereka yang melaku-
kan perbuatan bid’ah akan mengatasnamakan agama, dan
juga seakan menjual nama Rasulullah, mereka mengata-
Negeriku di Atas Awan - 285

kan ini dan itu telah dicontohkan oleh Nabiullah Muham-


mad, padahal tidak pernah sekalipun, inilah yang berdus-
takan Nabi Muhammad, dan kelak akan masuk ke jurang
neraka. Ya, kerena berbuat bid’ah berarti mendustakan
Nabi, dan siapa saja yang medustakan Nabi, maka seakan
telah mempersiapkan tempat tinggalnya di neraka… kita
harus segera menghindari perbuatan-perbuatan yang ti-
dak ada dasarnya dalam beribadah,… memang dalam
beribadah ini kita senantiasa diganggu para setan, bagi
yang malas beribadah setan terus mempertahankan agar
yang bersangkutan terus-menerus tidak menjalankan ke-
wajibannya agar kelak dapat menjadi teman-temannya di
neraka, dan bagi mereka yang rajin beribadah pun tetap
mendapat godaan dari iblis dan pasukannya, caranya agar
yang bersangkutan menambah-nambah ibadahnya, dan
perkara inilah yang disebut bid’ah… ” lanjut Kiai Said.
Sudah menjadi umum diketahui kalau Kiai Said se-
orang ulama yang memang langka pada zamannya, be-
liau sangat getol memerangi perbuatan bid’ah dan khu-
rafat. Apa pun itu konsekuensinya. Kiai Said tidak mau
tau, yang penting baginya harus menyatakan kebenaran.
“Kebenaran harus disampaiakn apa pun itu hasil
dan resikonya, soal orang terima atau tidak, bukanlah
masalah, yang penting mereka harus tau, karena jika
kita tidak memberikan pengetahuan akan kesesatan me-
reka, kelak golongan yang mengetahui akan dituntut.”
Imbuh Kiai Said.
286 - Ilham Kadir

Menurut pengamatanku, berdasarkan pengalam-


anku berpuasa bersama Kiai Said, pada dasarnya jika
memberikan ceramah tetaplah sesuai dengan keadaan
dan situasi masyarakat setempat, biqadri ‘uqulihim, Kiai
Said tau kalau di daerah Palattae dan sekitarnya masih
banyak peraktik-peraktik syirik dan bid’ah yang eksis.
Untuk itulah pembicaraan utama malam ini terkait ten-
tang bahaya laten bid’ah dan khurafat.
Ini kontras dengan ceramah-ceramahnya di pondok
Pitu-pitu yang sering membahas tentang pentingnya bel-
ajar dari alam dan pada diri kita, karena alam dan tubuh
ini terdapat tanda kebesaran Allah. Materinya demikian
karena memang jamaahnya dianggap sudah meninggal-
kan amalan-amalan yang dianggap bid’ah dan khurafat.
Dari itulah pokok pembahasan dalam tausiahnya juga
beda.
“Wafil ardhi ayatul lil muqinin wa fi anfusikum afala
tubsirun, dan pada bumi ini terdapat tanda-tanda (keku-
asan Alllah) bagi orang-orang yang yakin, dan pada diri
kalian, apakah kalian memperhatikan..? Bumi, langit,
dan semua yang ada di jagad raya ini merupakan tanda-
-tanda keberadaan, dan keesaan Allah, begitu pula dalam
diri kita, juga merupakan salah satu bentuk keagungan
Allah, mengapa kita bersuku-suku, dan berbangsa-bang-
sa? Mengapa orang Barat matanya hijau, rambutnya pi-
rang? Mengapa orang Flores rambutnya kriting, kulitnya
hitam? Mengapa… mengapa… dan mengapa?... semua
tentunya ada rahasia Allah di balik penciptaan itu…”
Negeriku di Atas Awan - 287

“Dulu ketika saya masih mondok di Sengkang,


salah seorang teman melihat garis pada kedua telapak
tangan saya, usai melihat dengan saksama, sang teman
berkomentar pada saya, ‘Said, kelak Kamu akan meni-
kah sebanyak empat kali’. Tapi saya tidak percaya dan
menjawab, ‘ah… terlalu mengada-ada Kamu ini dalam
meramal, jangankan empat, saat ini satu pun saya su-
sah dapat…’ namun kelak perkataan teman saya terbukti
karena saya akhirnya telah menikah untuk yang keem-
pat kalinya. Dari situ barulah saya sadari kalau memang
pada diri kita ini terdapat rahasia Allah, termasuklah
dalam garis-garis di telapak tangan kita, tidak ada satu
pun manusia memiliki kesamaan dalam bentuk garis dan
tekstur pada telapak tangan dan jempol seseorang. Tidak
ada yang sama, karena setiap manusia memiliki nasib
yang berbeda.” Terang sang guru.
Itulah salah satu ceramah Kiai Said yang tidak per-
nah kulupakan ketika baliau berceramah di hadapan je-
maah salat taraweh di Rumah sekaligus masjid di Pitu-
-pitu.
Pada lain waktu, di Bulan Puasa, Kiai Said juga me-
miliki hobi menuturkan kisah-kisah para nabi, mulai
dari Nabi Adam ‘alahihissalam hingga Nabi Muhammad
, ketika sampai pada kisah Nabi Musa as, beliau per-
nah bercerita tentang keperkasaan Nabi Musa, mulai
dari badannya yang besar tegap, kekuatannya yang tiada
taranya, pukulannya yang dapat mematikan, hinggalah
kekuatannya mengangkat batu yang hanya bisa digeser
288 - Ilham Kadir

dengan gotong-royong oleh masyarakat sekampung. Kiai


said mengisahkah,
“… diriwayatkan, dahulu pernah terjadi ketika
Nabi Musa mandi di sungai, beliau tidak mandi bersa-
ma kaumnya, karena mengambil tempat lebih ke hulu
sedikit. Kaumnya yang terdiri dari Bani Israil itu saling
berbisik-bisik, salah seorang di antara mereka berkata,
‘hai, taukah kalian kenapa Musa, nabi kita itu tidak mau
mandi bersama kita semua?’, ‘tidak! jawab yang lain.’
Kalian memang tolol, Musa tidak mandi bersama kita
karena kemaluannya lebih besar dari milik kita’. Tidak
berapa lama setelah mereka menertawai Musa karena
disangka memiliki kemaluan yang lebih besar, tiba-tiba
batu tempat Musa menanggalkan pakaiannya bergerak
dan berlari, sehingga Musa dengan tidak sadar menge-
jar batu itu untuk mendapatkan pakaiannya, sambil ber-
teriak, wahai batu… wahai batu… wahai batu… ketika
itu juga kaumnya menyaksikan kalau ternyata kemaluan
milik Nabi Musa juga sama besarnya dengan milik rata-
-rata umatnya, umatnya yang tadi menuduhnya kembali
berkomentar, ‘ternyata milik Musa juga sama besarnya
dengan milik kita semua. Hm, saya salah sangka.’” Tutur
Kiai Said. Yang langsung disambut tawa oleh para hadir-
in jemaah taraweh.
Masih tentang ceramah Kiai Said, beliau selalu
memberikan informasi dan pengetahuan tentang keuta-
maan lailatul qadar di setiap tahunnya khususnya pada
malam-malam terakhir Bulan Puasa.
Negeriku di Atas Awan - 289

“… lailatul qadar memiliki keutamaan yang tiada


taranya, dan hanya dikhususkan untuk umat Nabi Be-
sar Muhammad, salah satu tujuannya untuk menambah
kualitas umur umatnya, jika umat nabi dan rasul yang
datang sebelum Nabi Muhammad adalah umurnya jauh
lebih panjang bahkan bisa mencapai seribu tahun atau
lebih, maka umat Nabi Muhammad jauh lebih pendek.
Namun pendek dalam artian jumlah kuantitas, tidak
dalam kualitas, salah satu yang dapat menambah kuali-
tas umur umat Nabi Muhammad karena adanya malam
lailatul qadar, malam ini sama nilainya dengan seribu
bulan. Jadi bisa saja umur umat Nabi enam puluh ta-
hun bahkan kurang, namun memiliki kualitas melebihi
seribu tahun, itu semua tergantung dari kualitas amalan
yang dikerjakan… untuk itulah sebuah keberuntungan
jika kita beribadah pada bulan puasa dengan maksimal,
khususnya di malam sepuluh terakhir, dan lebih khusus
lagi pada malam-malam ganjil… jangan lewatkan mo-
men berkualitas itu...” Imbuh Kiai Said.
Selain di atas, hal yang sering dibahas oleh Kiai
Said dalam ceramahnya pada bulan Ramadan adalah
yang berhubungan dengan jiwa dan raga, dalam bahasa
Bugis disebut, ale dan watakkale. Menurut Kiai Said, hi-
dup ini ada karena bersatunya antara ale dan watakkale.
Seseorang dapat meninggal dunia atau mati, jika telah
berpisahnya antara ale dan watakkale. Namun menurut
beliau, seseorang pada dasarnya dapat mengetahui jiwa-
nya, bahkan dapat melihatnya, namun hanya lewat mim-
290 - Ilham Kadir

pi. “Diri kita yang kita saksikan dalam mimpi pada ha-
kikatnya adalah ale, atau jiwa kita yang sesungguhnya.”
Memang Kiai Said tidak jarang membahas masalah
mimpi dalam setiap ceramahnya, karena menurutnya
mimpi dapat membawa makna, dan selalu menarik un-
tuk diterjemahkan. Mimpi para rasul merupakan sebuah
wahyu, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim un-
tuk menyembelih putranya Ismail as, atau mimpi raja di
Mesir yang ditakwilkan oleh Nabi Yusuf as, dan juga be-
berapa mimpi Nabi Muhammad  yang bersifat wahyu.
Namun yang paling dominan dalam isi ceramah
Kiai Said berhubungan dengan sejarah para nabi dan ra-
sul. Dan yang terbanyak porsinya adalah nabiullah Musa
as, serta ulah para kaumnya Bani Israil yang keras ke-
pala, membangkang, aneh, dan kadang juga mengocok
perut. Untuk itulah, bagi para guru maupun santri yang
tidak paham bahasa Bugis ketika usai mendengakan ce-
ramah Kiai Said, di antara mereka sering ada yang ber-
komentar, “yang saya pahami dalam ceramah Pak Kiai
hanyalah kata Nabi Musa dan Nabi Daud.” Sebagaimana
diketahui kalau simpatisan utama kampus tiga Palattae
adalah Pak Musa dan H. Daud.
Negeriku di Atas Awan - 291

Pintu 36
Salomekko

E
nam bulan lamanya, aku, Hadi, dan Hatta, serta
Asdar berada di Palattae, belajar sambil menga-
jar, kecuali Asdar dia memang betul-betul meng-
ajar saja, maksudku mengabdi. Sambil menunggu jeda
untuk kembali ke Pesantren Darul Istiqamah, Maros.
Dalam tempo enam bulan tersebut banyak peng-
alaman dalam proses belajar mengajar di tempat ini.
Maklumlah kami baru tahap belajar dalam mentransfer
ilmu kepada orang lain, yang tidak lain adalah para san-
tri TPA. Santrinya beragam, mulai dari kelas satu Se-
kolah Dasar hingga kelas tiga Sekolah Menengah Atas.
Di saat yang sama, Ustadz Abrar pulang dari Sudan
setelah menyelesaikan pendidikannya pada level Magis-
ter konsentrasi pada bidang ‘Ulumul Qur’an79 di salah
satu Universitas Islam Omdurman. Beliau lulus dengan
predikat mumtaz, istimewa.
Sesampainya di Pitu-pitu, beliau langsung dibe-
ri tugas oleh ayahnya untuk menangani kelangsung-
an pendidikan yang ada di Pondok Darul Qurra’. Dan

79 Ilmu tentang Alqur’an.


292 - Ilham Kadir

salah satu kebijakan awalnya merotasi para guru-guru


untuk mengajar di Palattae, serta memanggil seluruh ke-
las lima KMI yang sudah masuk semester kedua untuk
menghadap padanya.
“Ada berita dari Pitu-pitu, katanya kita dipanggil
kembali ke kampus satu oleh Ustadz Abrar… Ayo, mari
segera kemas barang-barang kita…” info Hadi pada
kami berdua, juga ia dapat kabar dari Pak Musa dan H.
Daud yang baru saja pulang dari Pondok Pitu-pitu meng-
antar beras dan ragam sayur-mayur.
Kami langsung mengemas barang-barang, dan ma-
lam itu pun kami berpamitan kepada masyarakat se-
tempat yang telah banyak membantu, terutama para
guru-guru SMA Negeri Kahu. Mereka telah banyak
memberikan sumbangsih kepada kami, baik itu moril
maupun materil, karenanya kami harus tau diri dan ha-
rus memberikan penjelasan tentang keberadaan maupun
ketiadaan kami.
Pada malam yang sama, kami semua berdiri di
depan jamaah salat Isya, memohon maaf atas kekhilaf-
an kami jika ada. Dan tentu saja ada. Mudah-mudahan
guru-guru yang akan menduduki posisi kami berempat
kualitasnya jauh melebihi kami semua. Terharu juga ra-
sanya. Karena tidak sedikit di antara mereka yang telah
terikat emosi dengan kami. Ada yang menangis.
“Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, perpisah-
an kali ini suatu saat kembali akan menjadi pertemuan,
cuma saja pada kesempatan dan keadaan yang berbe-
Negeriku di Atas Awan - 293

da…” kataku ketika diberi kesempatan untuk menguta-


rakan unek-unek.
Keesokan harinya, di pagi yang cerah. Sebuah mo-
bil pick up datang, disopiri oleh H. Daud, empuya mobil,
“Ayo angkat semua barang-barang kalian…” perintah H.
Daud dengan gayanya yang khas. Dan kami pun telah
siap sedia, barang-barang telah kami kemas sejak sema-
lam.
Masing-masing memiliki satu koper berisi pakaian
serta dua kardus indomie berisi buku, kecuali Hadi yang
punya empat kardus kesemuanya berisi buku, dia me-
mang terkenal memiliki koleksi buku-buku bacaan yang
banyak, dan tidak meminjamkan kepada siapa pun. “Ka-
lau ingin baca boleh, tapi jangan dibawa pulang!” kata-
nya pada suatu waktu padaku. Oleh karena itulah koleksi
bukunya utuh. Menurutnya, orang yang pinjam buku dan
dibawa pulang, belum tentu ia dibaca, dan kecil kemung-
kinan untuk dikembalikan.
Mesin mobil dihidupkan, pedal gas mulai ditekan
oleh empunya mobil dan bergerak ke depan, perlahan-
-lahan, meninggalkan Palattae, lambaian tangan menan-
dai kepergian kami. Dan entah kapan lagi kami kembali
ke tanpat ini, dan sebagai apa. “Mudah-mudahan kelak
kami akan kembali ke sini...” Pikirku.
H. Daud seakan tidak mau tau tentang perasaan
kami, dan juga mereka-mereka yang melambaikan ta-
ngan. Pedal gas mobil buatan Jepang ini ditekannya le-
bih kuat daripada semula, meluncur lebih cepat, makin
294 - Ilham Kadir

lama makin kencang. Para penduduk kampung perla-


han-lahan hilang dari pandangan, dan lama kelamaan,
kampungnya pun ikut hilang. Tidak terlihat. Kampung
demi kampung kami lewati, dan akhirnya kami pun
kembali tiba di Pitu-pitu. Benar-benar terasa kalau kami
kembali ke habitat. Yang telah kami tinggalkan selama
enam bulan lamanya.
Selamat tinggal Palattae.

“Saya paham kalau kalian bertiga telah banyak ber-


buat untuk pondok ini, namun kalian juga harus memi-
kirkan diri kalian, kalau tinggal di sana terus, pastinya
sangat baik untuk perkembangan pondok dan juga akan
memajukan pendidikan masyarakat setempat, khusus-
nya dalam memberantas aksara buta huruf Alqur’an,
tapi tidak untuk kalian…” kata Ustadz Abrar pada kami
bertiga.
“Kenapa bisa begitu Ustadz? Bukannya mengajar
juga akan menambah ilmu?” tanyaku seakan memprotes.
“Iya, benar, mengajar juga dapat menambah ilmu,
tapi kalian harus sadari, siapa yang kalian ajar? Kalau
hanya sekadar mengajar mengaji tentu saja cukup, tapi
orientasi KMI bukan saja itu, kalian nanti yang akan
tampil menjadi guru KMI di sini, karena kalian calon
alumni perdana. Sementara kalau tinggal di sana tentu
tidak akan maksimal dalam belajar. Kami ingin agar ka-
lian bertiga harus fokus belajar saja sampai selesai tahun
depan!”
Negeriku di Atas Awan - 295

“Kalau memang begitu kami bertiga siap kembali


belajar sebagaimana biasanya Ustadz.” Janji Hadi kepada
Ustadz Abrar.
“Ustadz, kelas kami di mana?” tanyaku lagi, sebab
menurutku sudah tidak ada lagi tempat atau ruang yang
ada di pondok ini melainkan telah terisi. Sementara
kampus baru belum ada yang bisa digunakan sebagai
lokal belajar, masih saja dalam tahap pembangunan. Ke-
cuali Bangunan H. Daeng Makkita, yang sudah rampung
namun belum jua dapat digunakan, kalau pun dapat ter-
pakai, juga tidak mungkin kami yang gunakan, karena
jumlah kami hanya bertiga, pastinya akan dialihkan ke-
pada kelas dengan jumlah muridnya yang berjubel.
“Oya, maaf, saya lupa sampaikan, kelas kalian ber-
ada di kampus dua, Salomekko, sambil menunggu lokal
baru selesai dibangun.” Kami bertiga terkejut, kami pikir
akan kembali belajar di Pitu-pitu, namun di luar duga-
an kami kembali dipingpong ke kampus dua Salomekko,
sebuah Ibu Kota Kecamatan yang berjarak sekitar tujuh
kilo meter dari arah utara Pitu-pitu.
Di Salomekko, sebelum kedatangan kami, kampus
ini sebenarnya sudah hidup sejak setengah tahun yang
lalu karena kelas empat telah tinggal di sini. Guru-guru
pun hilir mudik datang ke kampus dua ini, mulai sebagai
sebuah kewajiban untuk mengajar, juga ada yang datang
untuk gotong-royong atau pun untuk sekadar jalan-jalan.
Di kampus yang berlokasi sekitar dua hektar ini,
berdiri lima bangunan, bangunan pertama untuk tempat
296 - Ilham Kadir

menginap para asatidz, kedua untuk dapur, dan ketiga


untuk gudang, keempat digunakan untuk asrama dan
terakhir adalah untuk lokal belajar.
Yang menjadi penanggungjawab kampus dua ini
Ustadz Achsani yang pernah menjabat sebagai kepala
pengasuhan santri di kampus utama Pitu-pitu, dialah
yang mengendalikan segala aktivitas di sini. Selevel de-
ngan direktur cabang. Branch manager.
Pada awal-awal kedatangan kami di kampus ini, te-
rasa susah juga untuk beradaptasi. Betapa tidak, selama
ini kami bertiga di kampus tiga Palattae ditempatkan
di ruangan yang lumayan nyaman untuk ukuran kami,
maka sekarang di kampus dua ini, kembali tinggal dalam
satu ruangan yang dijejali puluhan manusia.
Dan yang lebih parahnya lagi, kami rupanya tetap
tidak memiliki kelas. Pada akhirnya kami harus me-
numpang belajar di masjid milik masyarakat setempat.
Kadang-kadang juga di bawah pohon jambu mente mi-
lik salah seorang penduduk kampung yang mendukung
keberadaan kampus dua Darul Qurra’.
Dan yang paling menyedihkan lagi, jarangnya guru-
-guru datang mengajar kami bertiga, yang rajin ya, itu-
-itu saja, masih di dominasi oleh Ustadz Yazid, Ustadz
Fuadzen, Ustadz Anshari, dan Ustadz Achsani. Ustadz
Harun yang juga mendapat jadwal mengajar Hadharah
Islamiyah80 tidak pernah datang walau sekali pun. Tapi
bagaimana pun kami tetap semangat, kendati jumlah

80 Peradaban Islam.
Negeriku di Atas Awan - 297

kami hanya bertiga. Jarangnya guru-guru datang meng-


ajar, bisa kami maklumi, di samping tempatnya yang
jauh, juga jumlah kami tidak banyak, jadi seorang guru
bisa saja kurang bersemangat.
Kiai Said, sering bercerita tentang situasi masyara-
kat Salomekko, “Di Salomekko, saya menyebar dakwah
selama duapuluh tahun, namun yang menjadi pengikut
dakwah saya hanya bisa dihitung jari…” kata Kiai Said
suatu waktu.
“Di kampung itu, masyarakatnya mirip dengan
bentuk sungainya yang berliku-liku.” Tambahnya lagi.
Memang kata Salomekko jika diartikan dalam Ba-
hasa Bugis sebagai sungai yang meliuk-liuk, dan me-
mang begitulah faktanya, sungainya berliku-liku, dan
masyarakat setempat juga demikin. Susah ditebak arah
pikirannya. Terbukti, pada perkembangan selanjutnya,
sedikit demi sedikit masyarakat mulai bermasalah de-
ngan pondok. Mulai dari guru-gurunya hingga para san-
tri. Sering terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan
pertikaian yang pada akhirnya, memaksa pimpinan un-
tuk menarik semua santri yang tinggal di kampus dua,
termasuk kami. Untuk kembali ke kampus utama Darul
Qurra’ Pitu-pitu.
Di Salomekko, kami tidak banyak berinteraksi de-
ngan para penduduk setempat, hanya seperlunya saja.
Karena kedatangan kami ke sini memang hanya untuk
belajar. Oleh itulah kami tidak memiliki kenangan yang
berarti sebagaimana sewaktu berada di Palattae. Tiada
kata “Selamat Tinggal” untuk Salomekko.
298 - Ilham Kadir

Setelah berada tidak lebih dari lima bulan di sini.


Usai ujian kenaikan kelas. Dan dinyatakan semuanya
naik kelas maka sekarang kami akan duduk di kelas
enam KMI. Selanjutnya kami kembali diasramakan di
Pitu-pitu. Ya, kembali kehabitat sesungguhnya.
Pintu 37
Negeri Para Jasus

P
elajaran KMI yang ada di Darul Qurra’ Pitu-pitu
hampir semuanya berbasis hafalan dan pema-
haman, terutama di kelas enam KMI, kecuali
ilmu fara’id, ilmu yang mempelajari tentang pembagian
harta warisan, dan sedikit pelajaran lain, seperti Bahasa
Inggris dan Grammer.
Di pondok ini, untuk sampai kelas enam haruslah
mengkhatamkan hafalan Alqur’an sebanyak tiga puluh
juz, minimal sekali khatam, serta lulus dalam tes hafalan
dari juz pertama hingga juz ke tujuh, mulai dari surah
al-Fatihah hingga pertengahan surah al-Maidah. Ujian
ini satu paket dengan ujian KMI.
Ada korelasi antara menghafal Alqur’an dan belajar
KMI, terdapat semacam arus yang bermuara pada sungai
yang sama.
Ternyata menghafal Alqur’an, sebagaimana ulama-
-ulama terdahulu umat ini, merupakan dasar utama bagi
terbukanya pintu ilmu dan cakrawala pemikiran seseo-
rang. Menghafal Alqur’an semacam sebuah kunci untuk
masuk pada gudang ilmu pengetahuan.

299
300 - Ilham Kadir

Pelajaran-pelajaran KMI yang berbasis Bahasa


Arab dan juga hafalan, menjadikan kami santri Darul
Qurra’ seakan tidak ada yang begitu berat untuk dipela-
jari, Menghafal perkataan atau pun bait-bait syair dalam
Bahasa Arab hanya kacang bagi kami. Juga ilmu-ilmu
alat lainnya, seperti Nahwu, Sharaf, dan Balaghah sama
sekali bukanlah suatu hal yang berat. Karena ilmu-ilmu
di atas berbasis kepada pemahaman dan membutuhkan
banyak contoh untuk dihafal, baik dari kesimpulannya,
maupun permisalan-permisalan yang berasal dari Al-
qur’an, Hadis, dan syair-syair Arab.
Yang agak lumayan susah dalam KMI di Pitu-pitu
ketika masih duduk di kelas satu sampai tiga tahun ber-
ikutnya. Karena di samping baru beradaptasi dengan
pondok, santri juga dijejali mata pelajaran yang berjum-
lah hingga delapan belas, plus dituntut tiap hari agar
menyetor hafalan, mangolo. Pada fase awal inilah banyak
santri yang berguguran.
Tapi tiga tahun berikutnya, dari kelas empat hingga
enam, terasa kalau kita hanya mengulang dan mengem-
bangkan ilmu yang telah kita pelajari pada tiga tahun
pertama di atas.
Oleh itulah, ketika duduk di kelas empat KMI bi-
asanya pelajaran-pelajaran berbasis ilmu alat, seperti
bahasa sudah dikurangi, kecuali ilmu nahwu dan ditam-
bah balaghah al-wadhihah yang berisi ilmu bayan, badi’,
dan ma’ani. Inti pembahasan dari ilmu ini bagaimana
berbahasa dengan baik, husnul kalam, merangakai kata
Negeriku di Atas Awan - 301

menjadi kalimat yang enak didengar, taqwimul kalimah


as-hohihah ila jumlatil mufidah, pandai membuat per-
misalan tasybih, serta beberapa retorika sebagaimana
diajarkan dalam Alqur’an ushlubul hakim, dan tata cara
memahami perkataan yang dianggap abstrak majaz al-
-lughawi.
Di kelas empat hingga kelas enam, tidak sedikit
materi pelajaran yang berorentasi kepada pengembang-
an ilmu pengetahuan secara luas. Seperti dimasukkan-
nya ilmu hadis, ilmu tafsir, hadharah Islamiyah, tauhid,
manthiq, serta tarbiyah atau ilmu pendidikan.

Di depan rumah Kiai Said, tepatnya di seberang ja-


lan mengarah ke Selatan bersebelahan dengan kampus,
hanya dibelah dengan lorong. Sebuah rumah batu yang
terbuat dari campuran semen dan bata merah, beratap
seng berlantai tanah, jendelanya belum terpasang walau
telah berkusen. Rumah ini jika ditotal, hanya bisa dika-
takan kalau tahap penyelesaian bangunannya baru men-
capai 50% atau pun kurang dari itu.
Pada bangunan setengah jadi dan pinjaman dari sa-
lah satu simpatisan pondok ini, terdapat atap pada bagi-
an teras dari seng aluminium menjulur ke depan, sekitar
satu meter atau kurang beberapa centi. Nah, di teras
yang berlantai tanah dan berfungsi sekaligus sebagai ta-
man inilah kelas enam KMI bertapak. Jika panas tiba,
maka kami kepanasan, jika hujan kehujanan.
302 - Ilham Kadir

Setiap sudut dalam kampus Darul Qurra’ seakan ti-


dak ada yang terlewatkan untuk dipergunakan sebagai
tempat tinggal atau pun tempat belajar. Di dalam ba-
ngunan yang memiliki empat kamar ini telah penuh diisi
oleh para guru-guru KMI, ruangan tengahnya yang di-
rancang pemiliknya sebagai ruang tamu disekat menjadi
dua bagian. Satu bagian berfungsi sebagai tempat tinggal
kelas lima dan kelas enam, dan bagian lain atau yang
mendekat ke pintu dipergunakan untuk belajar bagi ke-
las i’dadi81 di pagi hari, dan menjadi ruang taqrir bagi
sebagian guru KMI waktu sore dan malam hari, sam-
bil mengawasi kelas lima. Bangunan ini kami beri nama,
baitul hajar. Rumah batu.
Selintas jika ada yang lalu-lalang di depan baitul
hajar, rumah tempat kami belajar, pasti menyangka ka-
lau kami seakan tidak serius, di samping karena jumlah
kami sedikit, juga pelajaran yang kami terima sudah ti-
dak membutuhkan suara yang keras lagi, sebagaimana
kelas-kelas lain, yang berlomba-lomba berteriak seting-
gi mungkin untuk menghafal beberapa materi pelajaran
yang memang dianjurkan menggunakan nada suara ting-
gi. Pelajaran kami sudah berbeda. Jauh berbeda, Karena
membutuhkan diskusi. Ya, diskusi yang pesertanya ha-
nya empat orang. Seorang guru dan tiga santri.
Kembali ke Pitu-pitu juga, berarti harus kembali
aktif pada Organisasi Santri Darul Qurra’, kami berti-
81 Kelas persiapan sebelum masuk belajar di KMI, biasanya kelas ini adalah para
santri KMI yang datang terlambat dan tidak bisa lagi mengikuti pelajaran pada
tahun pertama, mereka akan menunggu hingga pendaftaran terbuka pada tahun
berikutnya di bulan Juli sampai Agustus.
Negeriku di Atas Awan - 303

ga kembali diberi wewenang penuh sebagai pengendali


disiplin.
“Kalian bertiga akan kami beri wewenang untuk
mengendalikan disiplin di pondok ini, Hadi bertanggung-
jawab di Bagian Pendidikan, Iwan menangani Bagian Pe-
nerangan dan Penggerak Bahasa. Dan Hatta duduk di
Bagian Pengasuhan Santri!” kata Ustadz Yazid pada kami
bertiga.
Pada dasarnya tiga bagian di ataslah yang menjadi-
kan sukses tidaknya pendidikan di pondok ini. Jika ketiga
bagian di atas berjalan dengan lancar, pasti pondok tidak
akan mengalami kendala untuk terus bersaing ke depan,
namun jika tidak, tentu saja hanya menunggu kehancur-
an.
Bagian Pendidikan merupakan bagian yang terpen-
ting, karena ia adalah regulator seluruh kegiatan belajar
para santri, mulai dari kelas satu sampai enam. Bagian
ini menyusun jadwal para guru, tempat meminta izin
bagi santri maupun guru jika berhalangan masuk kelas,
bagian yang akan memberi sangsi bagi santri yang tidak
taat disiplin masuk kelas, atau pun dalam kelas, seper-
ti terlambat, membuat keributan di dalam kelas, tidak
mengenakan sepatu sewaktu masuk kelas, atau dengan
sengaja bolos. Serta aneka ragam pelanggaran yang su-
dah menjadi kebiasaan para santri, termasuk juga akan
menindak para santri yang tidak menyetor hafalan
Qur’annya baik bakda Subuh maupun dalam kelas. Dan
yang akan menangani semua itu adalah bagian pendidik-
304 - Ilham Kadir

an yang mana Hadi akan menjadi pelaksana utamanya.


Bagian ini akan memberi hukum sebagai efek jera ke-
pada siapa saja yang melanggar tata tertib pendidikan di
dalam ruang lingkup Pondok.
Bagian Pengasuhan atau juga disebut Keamanan,
merupakan nadi dari pondok ini, bagian inilah yang
mengatur hidup para santri, mulai dari bangun tidur
hingga tidur kembali. Termasuk perizinan bagi siapa
yang ingin meninggalkan pondok. Hidupnya pondok ada
pada bagian ini, di antara tugas rutinnya, membangun-
kan para santri di pagi hari, memastikan kalau seluruh
santri datang ke masjid dan tidak ada yang terlambat,
juga menangani seluruh bentuk palanggaran-pelanggar-
an yang berhubungan dengan garis-garis kecil maupun
besar. Bagian ini paling ditakuti jasus atau mata-mata-
nya, karena ia bergentayangan di mana-mana. Dan sang-
sinya terkenal mengerikan. Dari hukuman fisik hingga
pengusiran.
Tidak jauh beda dengan Bagian Penerangan dan
Penggerak Bahasa, bagian ini tidak sedikit jasanya dalam
mengangkat citra pondok, tugas utamanya memastikan
kalau seluruh santri yang belajar di pondok ini meng-
gunakan bahasa pengantar utama, Arab atau Inggris. Ti-
dak ada ruang dan waktu selama 24 jam berbicara tanpa
menggunakan kedua bahasa pengantar di atas, jika ti-
dak, tugas bagian inilah akan memberi pelajaran kepada
Anda. Hukuman teringan menjadi jasus bahasa dan jika
itu berulang tiga kali dalam satu bulan, Anda akan digun-
Negeriku di Atas Awan - 305

dul oleh kami. Bagian inilah yang memberikan pressure


kepada santri untuk bisa berbahasa Arab dan Inggris.
Kami bertiga seakan menjadi momok menakutkan
bagi para santri. Kami adalah kunci keselamatan mereka.
Kami merupakan kebahagiaan mereka. Di pondok, orang
yang tidak melanggar hidupnya pasti bahagia, aman, da-
mai, dan sentosa. Namun yang punya hobi melanggar,
baru saja aku berdiri untuk baca pengumuman—sebagai
bagian dari tugas—setiap bakda Magrib, degup jantung
mereka semakin kencang, hinggalah pengumuman sele-
sai kubaca, jika namanya tertera berarti hari esok ada-
lah hari jasus dan lauk apa pun yang disajikan malam
itu tidak akan pernah lezat, namun jika sebaliknya maka
ia akan bernafas lega dan berkata, “Besok aku menjadi
manusia bebas di negeri para jasus!”

Semester pertama aku lalui dengan tanpa kendala


apa-apa, belajar di kelas, mangolo di masjid dengan Bun-
da Hasanah, dan menjadi penggerak bahasa. Ya, bagian
bahasa memang disebut tahrikul lughah jika diterjemah-
kan berarti ‘penggerak bahasa’. Karena memang bahasa
perlu digerakkan. Mulai dari pemberian kosa kata, vo-
cabulary tiap sore bakda Asar, dialog kolektif di depan
asrama tiap tiga kali seminggu, muhadatsah. Latihan pi-
dato dalam Bahasa Arab dan Inggris muhadharoh, ser-
ta pemberian uslub82 secara eksidentil, sampailah men-
82 Susunan perkataan yang sering didengar dan biasanya berasal dari perkataan
Alqur’an dan Hadis, atau pun Syair Arab.
306 - Ilham Kadir

jatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada para


pelanggar dan penjahat bahasa.
Mungkin ada yang bertanya, apa itu penjahat ba-
hasa? Jawabnya, para santri yang mencampurbaurkan
satu bahasa dengan bahasa lain, misalnya Bahasa Arab
dicampur dengan Bahasa Bugis.
Kuartal kedua di kelas enam, kami harus kurangi
beberapa kegiatan, termasuk membantu guru-guru KMI
dalam menangani pendidikan, keamanan, dan bahasa.
Pada tahun terakhir ini, kami harus fokus untuk
belajar secara maksimal. Betapa tidak, pelajaran yang
terpaksa kami lahap di penghujung tahun ini adalah pel-
ajaran yang telah kami pelajari, bermula dari kelas satu
hingga kelas enam. Bisa dibayangkan betapa repotnya
mengulang sekian banyak buku pelajaran.
Bukan saja itu, buku-buku yang pernah kami guna-
kan semenjak kelas satu hingga kelas enam harus kami
lengkapi. Dan aku termasuk yang paling menderita. Ka-
rena banyak buku milikku raib dan tercecer entah ke-
mana. Buku-buku kelas satu milikku banyak yang hilang,
juga kelas dua, sebagian di kelas tiga dan empat. Yang
utuh hanya kelas lima, dan kelas enam.
Ini dapat dipahami karena ketika duduk di kelas
satu, pelajaran KMI belum begitu sistematis, kelas dua
juga demikian. Adapun buku-buku catatanku yang hilang
dari kelas tiga dan empat kuperkirakan sewaktu berada
di Palattae, atau tercecer di Salomekko.
Negeriku di Atas Awan - 307

Ustadz Fuadzein tidak mau tau, pokoknya buku dari


kelas satu hingga kelas enam harus lengkap, perfect. Ka-
lau catatannya tidak ada ya dilengkapi, kalau buku cetak-
nya hilang ya beli di koperasi.
“Saya tidak mau tau, saya kasih waktu dua ming-
gu untuk melengkapi buku-buku kalian mulai dari ke-
las satu KMI hingga kelas enam, harus lengkap!” begi-
tu kata Ustadz Fuadzein, sambil menyerahkan senarai
buku-buku cetak dan catatan yang harus kami sediakan
ketika waktu pengecekan dua minggu mendatang.
Peraktis, Aku, Hatta, dan Hadi selama dua ming-
gu sibuk menulis pelajaran dari kelas satu hingga em-
pat yang tidak kami miliki, karena hilang tercecer entah
kemana. Demikian pula dengan buku-buku cetak yang
hilang juga harus kami lengkapi. Beli yang baru. Hingga-
lah datang hari di mana seluruh buku dicek oleh kedua
Ustadz pembimbing kami. Ustadz Yazid dan Fuadzein.
“Bagus, kalian sudah melengkapi buku-buku yang
wajib. Saya harap buku-buku kalian itu disimpang, kalau
perlu dijilid agar rapi, dan setelah tamat nanti, bisa men-
jadi kenangan, atau pun akan bermanfaat jika suatu saat
kalian kembali mengajar. Sangat berguna jika kelak di
antara kalian kembali mengajar KMI atau pun menjadi
pimpinan pesantren. Itu tidak mustahil… intinya buku-
-buku itu akan besar manfaatnya kelak...” Papar Ustadz
Yazid pada kami bertiga, di dampingi Ustadz Fuadzein.
“Mulai saat ini, kami tidak lagi belajar di kelas. Ka-
lian kami biarkan untuk mengulangi pelajaran dari kelas
308 - Ilham Kadir

satu hingga kelas enam, ujian akan dilakukan serentak


dengan adik-adik kelas, empat puluh hari mendatang.”
Kali ini Ustadz Fuadzein yang angkat bicara.
Kami bertiga dikarantina selama 24 jam, harus
melahap buku-buku yang jumlahnya sangat tidak sedi-
kit. Tapi kami sudah punya trik yang lumayan ampuh.
Caranya, kami klasifikasikan dulu kelasnya, dari kelas
satu KMI hingga kelas enam. Misalnya tiga hari pertama
kami bertiga harus menguasai seluruh pelajaran kelas
satu, tiga hari berikutnya giliran seluruh mata pelajaran
kelas dua, dan begitulah seterusnya hingga sampai kelas
enam. Untungnya kami dikawal oleh dua kampiun ilmu,
yang menguasai beragam mata pelajaran, tidak ada per-
tanyaan kami ajukan, melainkan dijawab dengan tuntas.
Ya, siapa lagi kalau bukan Ustadz Yazid dan Ustadz Fu-
adzein.
Dan ketika ujian berlangsung, sebagaimana ujian
tahun-tahun yang telah kami lewati. Ujian dibagi menja-
di dua bagian, lisan dan tulisan, syafawi dan tahriry.
Ujian lisan lebih tepatnya jika disebut ujian men-
tal, biasanya guru-guru sebagai tim penguji duduk ber-
jejer sampai empat orang di balik meja, mengeroyok
pertanyaan kepada peserta ujian. Jadi yang kurang kuat
mentalnya bisa-bisa semua apa yang telah ada di dalam
kepalanya hilang saat dicecer pertanyaan yang mirip in-
trogasi. Ya, para guru-guru penguji itu introgator yang
tidak bersahabat.
Negeriku di Atas Awan - 309

Tapi aku, dan kedua teman lainnya sudah melewati


fase ini, kami lebih santai dan seakan ruangan ujian se-
bagai tempat untuk berdiskusi beragam ilmu pengeta-
huan, mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Sesuai
dengan materi yang diujikan. Bagiku ujian ini sangat me-
nyenangkan. Fun and happy.
Minggu berikutnya, giliran ujian tulisan, ujian ini le-
bih berat, di samping materinya bermula dari kelas satu
hingga enam KMI. Jumlah soalnya juga lumayan lebih
banyak, bisa mencapai lima puluh soal. Tapi dengan ke-
kuatan pemahaman dan hafalan yang kami miliki mem-
buat ujian penentu ini laksana sekadar mengulang saja.
Tidak berat sama sekali, lebih seram jika dibahas dan
diceritakan. Faktanya kami hadapi dengan santai saja.
Di kelas enam, satu-satunya yang membuat kami
sedikit stress dan harus ekstra kuat dalam persiapan be-
rupa ujian peraktik mengajar. Amaliat at-tadris.
Kendati sebenarnya dalam menghadapi santri di
kelas bukanlah hal baru bagi kami. Toh setahun yang
lalu kami pernah mengajar di kampus tiga Palattae, san-
tri-santri TPA kami berasal dari SD sampai SMA.
Bedanya, yang kami hadapi para murid KMI, terus
materi yang kami bawakan juga harus berbahasa Ing-
gris atau Arab. Dan yang paling menyusahkan karena
persiapan mengajarnya harus tertulis semuanya. Segala
tingkah laku maupun ucapan apalagi isi materi pelajaran
tidak bisa tanpa tulisan.
310 - Ilham Kadir

“Iwan akan mengajar mata pelajaran Muthala’ah,


Hatta mengajar Mahfuzat, dan Hadi akan mengajar Ha-
dis…” ujar Ustadz Yazid dalam membagikan tugas amal-
ih at-tadris kepada kami.
“Tulis apa yang kalian akan lakukan di dalam ke-
las… segala isi materi supaya dikuasai sepenuhnya, bawa
alat peraga kalau diperlukan. Ingat, jangan sampai ada
pertanyaan dari santri yang tidak bisa dijawab. Jika ini
terjadi kalian akan dinyatakan gagal!” Ustadz Fuadzein
mengancam.
Degup jantung kami makin berdebar kencang,
mengingat Bunda Hasanah dan Ustadz Abrar juga dika-
barkan akan hadir, dan turut menilai kami dalam men-
jalani ujian peraktik mengajar.
Beberapa kali makalah berisi uraian tentang tata
cara mengajar, mulai dari masuk kelas hingga membe-
rikan materi aku ajukan dan ditolak, setidaknya ada tiga
kali. Dan tebalnya tidak kurang dari tiga puluh halaman.
Ditulis dengan Bahasa Arab.

“Wan… sudah dapat jas belum?” tanya Hatta pada-


ku.
“Belum, Ente sudah dapat?”
“Sudah,”
“Dapat dari mana?”
“Saya pinjam dari kantor, ada guru baru yang ukur-
an pakaiannya sama dengan saya.”
Negeriku di Atas Awan - 311

“Gimana? Sudah dapat juga?


“Sudah, tinggal Ente saja yang belum, nanti saya
bantu carikan.”
Ya, pakaian yang kami kenakan dalam praktik
mengajar haruslah sempurna, baju kemeja putih, dasi,
jas, lengkap dengan celana, sepatu, dan songkok nasional
plus sapu tangan. Mirip dengan orang yang akan berha-
dapan dengan penghulu. Sempurna.
Selain itu seluruh peralatan yang dibutuhkan ha-
rus kami sediakan. Seperti kapur tulis, penggaris, dan
beberapa alat peraga yang disesuaikan dengan materi
pelajaran.
Kebetulan mata pelajaran yang aku bawakan Mut-
hala’ah, sejenis bacaan dalam Bahasa Arab untuk kelas
dua KMI. Judulnya al-Babgho’, Burung Beo. Praktis aku
harus menyediakan alat peraga yang berhubungan de-
ngan Burung Beo. Dan yang paling mudah dengan cara
melukis burung tersebut kedalam kertas karton beru-
kuran 40 x 50 cm. Lukisan burungnya persis bahkan le-
bih bagus dari gambar asalnya di buku Muthala’ah. Aku
lukis lengkap dengan warna. Inilah alat peraga yang te-
lah aku sediakan.
Pagi itu, kami telah siap-siap. Pakaian pinjaman
yang aku kenakan seakan membuat percaya diri kami
melambung tinggi. Kami rasanya benar-benar sudah jadi
guru KMI. Namun ketika berada di kantor, sebelum ma-
suk kelas. Kami justru gugup. Ternyata guru-guru lain
telah berjejer di depan kelas tempat aku akan mengajar.
312 - Ilham Kadir

Semuanya juga menggunakan pakaian seperti apa yang


kami kenakan. Di antara guru-guru itu, terdapat juga
Bunda Hasanah. Untungnya Ustadz Abrar tidak jadi da-
tang, kemungkinan ada urusan lain yang sangat penting.
Semua guru berdiri di depan kelas sebelum akhir-
nya beranjak ke bagian belakang tempat aku akan prak-
tik. Tujuan mereka satu, termasuk Hatta dan Hadi. Ya-
itu menulis segala kesalahan yang aku lakukan selama
dalam proses mengajar. Rasanya keringat dingin mulai
bercucuran. Dan di sinilah fungsi utamanya sebuah sapu
tangan.
Begitu aku masuk kelas, suasana terasa hening, ti-
dak ada suara, padahal jumlah santri dalam kelas sedi-
kitnya di atas tiga puluh. Seakan mulut mereka dibekap,
pastinya karena ada Bunda Hasanah dan banyaknya guru
berdiri memenuhi sudut ruangan bagian belakang kelas.
Aku tarik nafas dalam-dalam, berdiri tegap persis
di hadapan bagian tengah kelas, antara meja terdepan
dangan papan tulis. Setelah merasa kelas dapat kukenda-
likan, dan nafasku pun sudah berjalan dengan iramanya
sendiri, degup jantung juga sudah kembali normal, maka
aku pun mengucap, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi
wa barakatuh,”
“Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa baraka-
tuh.” Para murid kelas dua menjawab dengan nada yang
lebih semangat.
“Maza darsunal aan, apa pelajaran kita sekarang?”
tanyaku membuka suasana, sambil berusaha mengenda-
likan kelas.
Negeriku di Atas Awan - 313

“Darsunal ana al-Muthala’ah, pelajaran hari ini


adalah Muthala’ah.” Jawab para murid.
Terasa, kelas mulai dapat kukendalikan, pertanyaan
demi pertanyaan aku ajukan, dan dijawab secara kolektif
dan serentak. Aku makin bersemangat. Hingga sampai-
lah kepada judul Muthalaah yang akan aku bawakan, ya-
itu tentang Burung Beo.
“Ma huwa al ‘usfuru alladzi yasthathi’ an yatakal-
lama mitslul insan? Burung apa yang dapat berbicara se-
perti manusia?”
“Al-Babgho’, Burung Beo…” jawab salah seorang
murid.
“Ha, huwadza maudhu’una al yaum, inilah judul
pembahasan kita hari ini,” terangku pada murid-murid.
Setelah itu, aku sudah merasa total menguasai ke-
las, dan aku sudah tidak pedulikan para guru-guru, Bun-
da Hasanah, dan kedua temanku, rasanya mereka semua
aku jadikan laksana patung saja. Cara-cara mengajar
yang ada dalam makalah yang telah dicoret berulang-
-ulang oleh Ustadz Yazid hanyalah teori belaka. Di kelas
beda ceritanya. Memerlukan keahlian dan keterampilan
untuk membuat suasana kelas jadi hidup. Aku jadikan
kelas ini laksana panggung. Akulah sutradaranya, dan
aktor-aktornya para murid-muridku, penontonnya? Ya,
mereka-mereka yang berdasi mengelilingi kami, men-
catat kesalahanku. Aku jadikan mereka laksana patung.
Akulah raja dalam kelas ini.
314 - Ilham Kadir

Begitulah seterusnya, hingga praktik mengajar hari


ini selesai. Besok giliran Hatta, dan lusa milik Hadi. Bak-
da Zuhur, diadakan evaluasi tentang beragam kekurang-
an yang telah aku perbuat. Setelah dikumpulkan dari
sekian pencatat kesalahan, Ustadz Yazid memberi ke-
simpulan, kalau aku telah memiliki kemampuan dalam
menguasai materi dan juga sangat bagus dalam mengen-
dalikan kelas.
“Hari ini menjadi sejarah besar di pondok ini, kalian
telah membuktikan kalau sudah bisa menjadi guru KMI,
khusus buat Iwan, sudah sangat bagus, di luar perkiraan
kami. Selamat…” ujar Ustadz Yazid dalam memberikan
apresiasi kepada kami semua, dan aku khususnya.
Hari berikutnya juga demikian, hingga ujian prak-
tik mengajar selesai. Dan pada akhirnya kami bertiga
pun didaulat menjadi alumni perdana KMI Darul Qurra’
Pitu-pitu. Kamilah yang pertama, dan kami jualah yang
paling afdhal. Al fadlu lil mubtadi’. Sejarah akan selalu
mengenang kami bertiga. Dan akan tertulis dalam tinta
emas di Pondok Darul Qurra’. Semoga!
Pintu 38
Wajah Buruk Poligami?

D
i negeri ini, ada beberapa suku yang menja-
dikan poligami sebagai sebuah amalan, ‘kebi-
asaan umum’ atau juga menjadikan poligami
sebagai status sosial, artinya makin banyak istri makin
tinggi pula status sosialnya. Salah satu suku di daratan
Papua mengamalkan paradigma ini, kendati tidak sedikit
pula yang mengamalkan poligami karena memang me-
rupakan tuntutan–untuk tidak mengatakan perintah—
agama. Selain itu ada juga beberapa golongan maupun
oknum yang selayaknya diharuskan berpoligami, dan
untuk yang satu ini bisa dikonsultasikan kepada dr Boy-
ke, seksologi negeri ini.
Suku Betawi dan Bugis misalnya, terkenal lelaki-
nya doyan kawin. Kendati sebagian saja, tidak semuanya
demikian, yang pastinya sudah menjadi rahasia umum.
Kedua suku ini, jika memiliki kelebihan harta, baik hasil
jerih payah atau pun warisan berupa hamparan tanah
pusaka. Maka prioritas utamanya menambah istri. Kon-
tras dengan suku Minang atau Padang yang hobinya me-
lebarkan usahanya.

315
316 - Ilham Kadir

Sebenarnya bagi yang sanggup berpoligami, patut


diapresiasi dan harus didukung baik oleh aparat peme-
rintah maupun masyarakat luas, jika yang bersangkutan
mampu melakukan keadilan bagi kedua, ketiga, atau ke-
empat istrinya. Bila perlu dibuat semacam regulator bagi
yang mampu untuk menikah lebih dari satu. Hitung-
-hitung mengurangi gejala sosial di tengah masyarakat,
atau mungkin meringankan beban Negera, pernikahan
kan membawa rezeki, kata Rasul, kalau mau kaya me-
nikahlah. Mafhumul mukhalafahnya83 jika tidak menikah
akan miskin, orang miskin, dan anak terlantar adalah
menjadi beban negara. Ada juga usulan tambahan agar
‘anak kos’ turut diimput.
Bukankah banyak istri menjadi cermin keperkasaan
seorang lalaki, baik lahir mau pun batin? Tidak banyak
lelaki yang dapat memiliki istri lebih dari satu namun
sanggup berbuat adil. Salah satu contoh ideal menurut-
ku, Kiai Said, dia orangnya. Kalau saja Sukarno Presiden
Pertama itu tau, niscaya dia akan bilang, “He is the Man”,
sama komentarnya sewaktu Muhammad Nasir terpilih
menjadi Perdana Menteri Indonesia untuk pertama ka-
linya.
Orang Bugis, khususnya para perantau paling su-
sah memang memiliki istri kurang dari dua, atau bahkan
lebih. Suku ini terkenal sebagai suku perantau. Sambil
merantau sambil kawin. Begitu mungkin tepatnya jika
dibahasakan. Ada cerita mengatakan, di mana kapal ber-
83 Sebuah kaidah dalam ilmu ushul fiqh yang intinya, memahami sebuah teks
dengan terbalik. Misalnya, si fulan duduk berarti dia tidak berdiri.
Negeriku di Atas Awan - 317

labuh di situ benih ditanam. Selain itu, suku ini sudah


menjadikan poligami sebagai sebuah ilmu terapan tradi-
sional. Turun temurun.
Di lain pihak, para wanita Bugis perempuan pasif,
dan sangat taat kepada suami. Suatu prestasi khusus bagi
wanita Bugis jika ditinggal pergi sama suaminya namun
sanggup menjaga kehormatannya. Inilah salah satu ke-
istimewaan para perempuan Bugis, menurutku setimpal
dengan ‘mahar atau uang belanjanya’ yang selangit.
Orang Bugis adalah para ambisius ulung, terkenal
tidak punya rasa takut kepada lawan, kemahiran mere-
ka berkelahi dengan menggunakan senjata tajam yang
digenggam seperti badik, keris, tombak, dan sejenisnya,
maka mereka memiliki reputasi yang menakutkan pihak
lawan. Selain itu mereka juga memiliki kesetiakawanan
yang tinggi. Ketenaran itu yang mendasari penyebutan
dan penampilan pahlawan-pahlawan Bugis sebagai tokoh
dalam pewayangan Jawa. Jejak kongkrit pengembaraan
mereka masih kita temui di Yogyakarta, Riau, Singapura,
Brunei, Johor, Pahang, Selangor, hingga Afrika .
Konon orang Bugis yang merantau ke negeri orang
jika hendak berkuasa maka jalan yang pertama menggu-
nakan ujung lidah, cappa’ lila, atau diplomasi, artinya dia
akan berusaha menggunakan kekuatan komuniksasinya
untuk bisa menyamakan persepsi lawan bicaranya. Ke-
dua, ujung kemaluan, cappa’ laso atau melaui pernikah-
an, trik kedua ini juga ampuh, karena menikah dengan
keturunan orang yang berpengaruh akan menjadikan se-
318 - Ilham Kadir

seorang juga ikut memiliki pengaruh, yang ketiga, ujung


badik, cappa’ kawali, sebagai alternatif terakhir jika ke-
dua jalan yang ada sebelumnya telah buntu dan gagal.
Orang Bugis di rantau, jika berhadapan dengan musuh-
nya punya perinsip. Saya tidak akan gentar sedikit pun
untuk melawan, karena jika berkelahi belum tentu kalah,
jika saya mundur dan lari itu tak mungkin karena dibela-
kanku lautan. Saya hanya memiliki dua pilihan, berkelahi
atau lari di atas air laut.
Namun jika ketiga-tiganya gagal maka satu-satunya
jalan, kembali ke Ujung Pandang. Ujung yang terakhir
inilah sebagai lambang kegagalan. Sebagaimana filsafat
orang Bugis, jika sauh telah diangkat dan layar terkem-
bang pantang balik sebelum berhasil. Rumus di atas ter-
kenal dengan rumus tellu cappa’, tiga ujung.
Tidak sedikit orang Bugis yang merantau ke negeri
orang dan berhasil, mulai dari pengusaha hingga pengu-
asa. Contoh kongkritnya, Tun Abdul Razak yang pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Malayisa
dan kini anaknya Najib Abdul Razak juga menjabat ja-
batan yang sama sebagai Perdana Menteri, mereka para
keturunan Bugis yang telah berhasil mengamalkan salah
satu dari tiga ujung di atas.
Kalau belum percaya juga, jalan-jalanlah ke negeri
Johor, sebuah negera bagian di semenanjung Malaysia,
tanyakan kepada penghuni negeri itu, siapakan rajanya,
dan suku apakah ia? Maka jawabannya, “Sultan Johor,
raja kami semua bangsa Bugis,” ya, raja Johor adalah
Negeriku di Atas Awan - 319

orang Bugis, juga Pahang, dan Selangor. Konon kedua


Negeri bagian ini pernah dijajah oleh bangsa Bugis—se-
butan orang Malaysia kepada suku Bugis. Dalam sejarah
mereka yang menjadi raja ini, kebanyakan mengamalkan
cappa’ kedua dan ketiga untuk menggapai ambisi. Khu-
sus untuk penguasa Kerajaan Johor, raja dan keturunan-
nya dikenal luas oleh rakyatnya, baik yang jelata maupun
yang jelita sebagai ‘pemburu dan penakluk wanita’. Istri
rajanya tidak pernah kurang dari empat wanita pilihan
negeri itu. Orang Bugis di negeri ini telah menjadikan
orang Melayu sebagai musafir tak bertapak.
Kini diperkirakan kalau jumlah manusia Bugis yang
merantau tidak jauh beda dengan mereka yang berdiam
di tempat asalnya, kalau pun tidak melebihi. Tidak sedi-
kit Kepala Daerah yang ada di belahan bumi Indonesia
berasal dari suku yang dianggap kesetiaan terhadap ka-
wannya tiada tara, tak peduli sang kawan berada pada
pihak benar atau salah. Arung Palakka, misal yang nyata,
rela berteman dengan pihak Kompeni untuk berperang
melawan saudaranya sendiri. Juga komplotan para bajak
lauk yang bergentayangan di Selat Malaka diperkirakan
mereka didominasi oleh suku Bugis yang berkolabirasi
dengan penduduk setempat dari suku Melayu pesisir.
Ada yang berpendapat bahwa darah dan daging
orang Bugis terbuat dari adonan saripati tanah yang ber-
lainan benua, oleh itulah mereka berusaha mati-matian
menginjak asal muasal saripatinya sebelum ajal menjem-
putnya.
320 - Ilham Kadir

Orang-orangtua dari kalangan suku Bugis, sering


juga memberikan semacam pendidikan dini kepada para
anak cucunya, bahwa di alam dunia nyata ini hanya ada
tiga jenis anak. Pertama, anak panah, yang kedua anak
pisang, dan yang ketiga anak lesung. Anak panah adalah
anak yang selalu bersedia dilepaskan oleh ibunya untuk
menggapai sasaran tertentu, dan jika telah mengenai
sasarannya anak panah itu masih saja sewaktu-waktu
dapat dicabut atau diambil dan kelak akan diperguna-
kan kembali, anak inilah yang layak disebut orang Bugis.
Anak pisang adalah tipe anak yang tidak mau lepas dari
ibunya, senantiasa mendekat, dan beranak-pinak di se-
keliling indukya, tanpa peduli ibunya semakin lama se-
makin kurus karena harus berebut makan dengan anak,
menantu, cucu, dan semua yang ada di sekelilingnya.
Suku Jawa Yogyakarta tepat dalam tipe anak yang kedua
ini, ucapannya yang terkenal, “mangan ora mangan yang
penting ngumpul, makan tidak makan yang penting ber-
sua”. Namun anak yang paling tidak tau diri jenis anak
yang ketiga yaitu anak lesung, yang amalan utamanya
menekan ibunya hingga kurus, menipis, dan habis.
Gambaran di atas tentang afdalnya merantau ke
negeri orang juga sangat linear dengan gambaran yang
dilukiskan Imam Syafi’i berabad-abad silang, beliau per-
nah berujar dalam syairnya:
Negeriku di Atas Awan - 321

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di


kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri


orang.

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari ke-


rabat dan kawan

Berleha-lehalah, manisnya hidup terasa setelah lelah


berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan


Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh
menggenang.

Singa jika tidak meninggalkan sarang tidak akan


dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan
kena sasaran.

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus


diam tentu manusia bosan padanya dan enggan me-
mandang.

Biji emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari


tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di
dalam hutan…
322 - Ilham Kadir

Kalau masih juga belum yakin tentang keutamaan


merantau maka silahkan buka kembali lembaran-lem-
baran sejarah, sejarah hijrahnya Nabi Besar Muhammad
beserta kaum muslimin dari Makkah ke Madinah, kaum
yang berasal dari Makkah itu disebut muhajirin. Tem-
pat tujuan mereka berhijrah adalah Yastrib, orang-orang
yang bermukim di Yastrib dan menyambut kedatangan
para muhajirin itu disebut anshor, kelak orang muhajir-
in jauh lebih unggul dari segi mana pun ketimbang para
anshor, Abdurrahman bin Auf contoh kongkrit betapa
suksesnya orang berhijrah.

Bercerita tentang poligami, Kiai Said contoh nya-


ta, bagaimana enak dan atau pun susahnya menjalankan
sunnah rasul yang satu ini. Pada diri Kiai Said terdapat
semacam pedoman penghayatan dan pengamalan dalam
berplogami. Manusia ini salah satu pilihan dari sekian
manusia Bugis yang mengamalkan sunnah rasul yang ‘di-
anggap’ enak itu.
Kiai Said sebagai sosok pria sejati yang mengop-
timalkan segala potensi dirinya untuk berlaku adil ke-
pada kedua istrinya. Ia pernah menikah sebanyak lima
kali, satu di antaranya menikah sewaktu merantau ke
Kalimantan. Selama pernikahannya itu, hanya ada dua
istrinya yang awet bersamanya, yaitu Bunda Hasanah
sebagai istri keduanya dan Bunda Munirah sebagai istri
keempatnya.
Negeriku di Atas Awan - 323

Istri pertamanya diceraikan lantaran tidak mau di-


poligami, sedang istri ketiganya meninggal dunia. Ada-
pun istri kelimanya tidak banyak yang tau karena tem-
patnya di Kalimantan serta durasi masa pernikahannya
juga tidak begitu lama, diketahuinya juga dari pengakuan
Kiai Said sendiri, “Saya pernah memiliki Aisyah di Kali-
mantan,” ujarnya suatu ketika pada salah seorang guru
KMI. Maksud dari kata ‘Aisyah’ adalah istri terakhir
dan usianya sangat belia. Di lain waktu pernah juga sa-
lah seorang kerabatnya berujar, “Kiai Said itu lima kali
menikah, salah satunya di Kalimantan, saya sendiri yang
menyaksikan...”
Untuk itulah Ustadz Abrar pernah berkata kepada
Ustadz Nasir, “Dari sekian banyak kebaikan yang ada
pada diri ayahku, ada satu yang tidak akan saya ikuti,
yaitu sering menikah.”
Ustadz Abrar menyaksikan dengan sendirinya ba-
gaimana perasaan sang ibu tercinta, Bunda Hasanah yang
harus berbagi suami, kendati Bunda Hasanah adalah tipe
istri yang tidak banyak menuntut alias nrimo, jika men-
dapat rezeki dari suaminya maka ia terima dengan rasa
syukur yang besar, jika pun tidak ada maka ia akan ber-
sabar sambil berusaha.
Waktu-waktu luangnya dipergunakan untuk meng-
ajar dan menghafal Alqur’an. Oleh itulah hanya Bunda
Hasanah istrinya yang dapat menghafal Alqur’an sem-
purnya 30 juz. Hafalan Bunda Hasanah melebihi suami-
nya sendiri. Bahkan dalam kepadatan aktivitasnya, tetap
324 - Ilham Kadir

menyisihkan waktunya untuk belajar di KMI selama em-


pat tahun. Wanita ini tipe manusia langka yang pernah
terlahir di planet bumi.
Santri yang tinggal di pondok dengan jumlah sudah
mencapai klimaks juga sudah tau dengan sebenarnya ka-
lau Bunda Hasanah merupakan ibu dari semua santri.
Senantiasa mengayomi, mendidik dengan jiwa dan sepe-
nuh hati. Kata-katanya bak untaian mutiara yang kelu-
ar dari bibirnya, petuah-petuahnya menjadi fardhu ‘ain
untuk diletak di atas nampan pualam, duduk di hadap-
annya untuk mendengar nasihatnya ibarat berada dalam
hamparan permadani berwarna kuning keemasan. Te-
rasa berat untuk beranjak darinya. Bersamanya terasa
adem dan nyaman, tidak ada seorang pun yang pernah
berjumpa dengannya tanpa membawa kesan yang men-
dalam. Tergantung dari sudut mana ia melihat sosok
wanita yang nyaris sempurna di mata setiap insan ini,
jika Anda penghafal Alqur’an dan mendengarkan beli-
au melantunkan beberapa potong ayat, maka Anda akan
berkata, “Inilah wanita yang paling bagus hafalannya dan
paling fasih makhrajnya.”
Namun jika Anda pencinta ilmu fara’id dan berta-
nya padanya tentang pembagian harta waris maka Anda
akan berujar, “Ibu ini seorang yang ahli ilmu warits,
ilmu yang dianggap paling susah dalam agama Islam…”
tapi jika Anda tipe wanita yang sering membanding-ban-
dingkan kecantikan di antara kaum Anda. Maka aku sa-
ngat yakin Anda akan berujar, “Inilah wanita tercantik
yang pernah aku temui.”
Negeriku di Atas Awan - 325

Setiap wanita yang pernah bertemu dengannya per-


nah terlontar kata-kata di atas. Di umurnya yang sudah
di atas enam puluh tahun saja masih tetap kelihatan aura
kecantikannya, ya cantik lahir batin. Tidak pernah susah
payah bertempur melawan umur dengan make up dimu-
ka dan lipstick di bibir, sebagaimana wanita metropolis
abad ini.
Sebuah foto hitam putih yang sudah berumur pu-
luhan tahun. Ukurannya tidak lebih dari 5 R, tidak ba-
nyak yang pernah melihat foto ini, karena terpajang di
dalam kamar Bunda, aku salah satu santri ‘nakal’ dan
beruntung karena pernah melihat. Pada awalnya aku
tidak percaya kalau foto itu asli adanya. Wanita dalam
foto hitam putih itu benar-benar cantik dan ayu, di an-
tara kami para santri ada yang pernah berucap, “Wanita
dalam foto itu laksana bidadari yang pernah turun ke
bumi…”, kuyakin jika ahli wayang menyaksikan foto itu
akan berkata, “Itu Supraba, atau tercantik dari segala
dewi di surgaloka! Ataukah mungkinkah Ratih menjel-
ma?” Mereka yang ahli sejarah mungkin akan berkata,
“Inilah Ken Dedes kembali hidup, dari Nirwana kembali
ke bumi.” Dan yang lain akan berkata, “Ya, Prajnya Par-
amita, menjelma kembali ke bumi!”
Bagiku yang paling mengesankan dari Bunda Hasa-
nah adalah watak pendidiknya yang agung, sosok wanita
cerdas dan berisi ilmu, yang keilmuannya laksana embun
di pagi hari, selalu mendatangkan kesejukan, atau ibarat
oase di padang pasir yang gersang, selalu menyediakan
minum para musafir di tengah teriknya matahari, atau
326 - Ilham Kadir

juga seperti mata air dari gunung bermuara menjadi su-


ngai yang mengairi tumbuh-tumbuhan dan kelak men-
datangkan kehidupan bagi manusia dan segenap makh-
luk hidup lainnya. Ilmunya benar benar bermanfaat,
buat diri dan sesama umat manusia. Aku rasakan itu.
Keikhlasannya dalam berbuat juga patut dijadikan
contoh oleh segenap umat manusia, sebagaimana ke-
arifannya dalam menyikapi setiap problematika yang
menimpa dirinya, keluarganya, dan juga pondok. Segala
masalah dihadapinya dengan tegar dan tanpa penyesal-
an, tak pernah terlihat pada aura mukanya raut kekece-
waan. Baginya hidup adalah anugerah dan harus selalu
dimaknai.
Untuk itulah, kukatakan, “Wahai segenap kaum
hawa, belajarlah tentang hidup dengan wanita yang aku
ceritakan ini, belajarlah apa yang tidak akan kalian te-
mukan di mana pun Anda berada, kecuali padanya, ke-
pada dirinyalah terhimpun segala sifat dan tingkah laku
yang menjadi idaman setiap lelaki…”
Kedermawanannya ibarat hamparan bumi yang se-
nantiasa memberikan kebaikan pada penghuninya. Bumi
yang kepadanya kotoran di buang, mulai dari sampah,
aneka ragam najis dan tinja, bangkai super busuk, hing-
ga keruhnya air comberan. Namun bumi tidak pernah
protes, tetap memberikan manfaat pada penghuninya,
bahkan dari bangkai maupun tinja dapat tumbuh aneka
ragam tumbuhan bergizi, lalu dikonsumsi oleh manusia.
Bumi sebagai lambang kedermawanan, kepadanya ma-
nusia harus belajar. Sifatnya harus disemat dan dijadikan
Negeriku di Atas Awan - 327

acuan, sebagaimana Bunda Hasanah, wanita ini telah ba-


nyak belajar dari sifat bumi. Aku yakin dan pasti.
Salah seorang tetangga pondok pernah berucap,
“Jika Bunda Hasanah tidak masuk surga, maka kita se-
mua tidak pernah ada yang selamat, dialah wanita peng-
huni surga yang ada di bumi ini, saya berusaha mende-
kat padanya agar aroma surga juga melekat padaku…”
Kecuali itu semua, ibu penyayang yang aku ceri-
takan ini adalah tipe istri yang sangat patuh terhadap
suaminya, melayani suami dengan sepenuh jiwa bukan
setengah hati, sering kuperhatikan. Suatu saat, ketika
Kiai Said menderita sakit, maka Bunda Hasanahlah yang
lebih dulu tampil merawatnya, termasuk menyuap ma-
kanan dan menyisir rambut suaminya. Sungguh pasang-
an yang ideal. Kata, “laksana pinang dibelah dua” tepat
dialamatkan kepada sepasang keluarga sakinah mawad-
dah wa rahmah ini.

Sejak awal kedatanganku ke pondok ini, belum per-


nah kusaksikan perselisihan antara Bunda dan Kiai Said.
Tidak ada pula riak-riak cemburu pada diri Bunda ter-
hadap Istri lain dari suaminya di sebelah selatan, Bunda
Munirah. Cuma saja dulu sebelum Bunda Munirah pin-
dah tempat tinggal di sebelah Selatan, beliau sekeluarga
pernah tinggal di kampus lama saat ini, berdampingan
dengan rumah Puang Ali. Nah, kabarnya kedua istri sang
ulama ini sering terjadi persaingan kalau pun bukan pe-
perangan kecil-kecilan yang selalu saja diatasi oleh su-
328 - Ilham Kadir

ami mereka berdua dengan caranya sendiri, dan sama


sekali tak berarti apa-apa. Itu merupakan hal normal
dalam siklus dan sirkulasi jalannya pernikahan dengan
dua istri. Kiai sangat paham akan hal itu, dan merupakan
konsekuensi logis.
Tapi memang menurut salah seorang santri se-
nior pernah mengatakan, “Selalunya Bunda Hasanah
yang jadi korban, kadang mereka dilempari jika lewat
di samping rumah madunya.” Penduduk kampung yang
lain punya komentar juga, “Bunda Hasanah adalah sosok
wanita yang tidak pernah melawan jika dizalimi, dan ma-
lah tunduk dan terus berjalan, dia tidak menghiraukan
kejahatan apa pun yang dilakukan oleh madunya.” Kata
Mario Teguh, “Super sekali…”
Sekali lagi, Kiai Said tetap terampil meredakan
konflik demi konflik yang terjadi dalam bahtera rumah
tangganya. Terbukti mampu bertahan puluhan tahun
lamanya, mampu mendorong kedua istrinya untuk ikut
berkarya membangun umat. Kendati sekali lagi Bunda
Hasanah tetap yang paling terdepan dalam berjuang. Ka-
rena beliau memiliki amunisi, ada ilmu dan cakap dalam
bertindak. Lama-kelamaan kedua istrinya pun hidup ru-
kun dan nyaris tak terdengar persoalan apa pun, perti-
kaian yang terjadi hanya ada pada saat-saat awal saja,
ketika pondok Darul Qurra’ baru mulai bertapak. Dan
kalau pertikaian itu ada hanyalah sebuah adaptasi untuk
bersatunya antara tiga karakter yang berbeda. Sebuah
proses pendewasaan.
Negeriku di Atas Awan - 329

Tapi bagaimanapun, bahtera rumah tangga dengan


satu suami dan lebih daripada satu istri, ya dua istri
misalnya. Atau contoh nyatanya, Kiai Said. Pasti akan
mendatangkan masalah yang berkesinambungan. Kalau
bukan sekarang problem itu muncul, kelak dikemudian
hari akan datang juga. Ibarat bisul, sewatu-waktu akan
meledakkan nanahnya, atau seperti bara dalam sekam
yang lambat laun akan kelihatan jua asapnya, atau iba-
rat gunung merapi yang tak hentinya memproduksi vul-
kanik, hanya menunggu waktu saja untuk meledak dan
akan meluluhlantakkan semua yang ada disekelilingnya,
termasuk mengubur sang juru kunci yang dianggap sakti.
Dan kelak menjadi sebuah pelajaran untuk tidak mela-
wan amarah alam.
Kiai Said sebagai panrita sangat mengerti dengan
sebenar-benarnya konsekuensi tersebut. Suatu saat, se-
peninggalnya, akan ada gunung yang akan meledak. Un-
tuk itu, Sang Kiai berusaha keras untuk mereduksi hal
demikian. Mencegah akan adanya perang pihak Bunda
Munirah sebelah selatan, dan kubu utara di pihak Bunda
Hasanah. Kalau skala internasional mirip antara Korea
Utara versus Korea Selatan.
Trik utama yang dijalankan Kiai Said, membeli ru-
mah yang bersebelahan dengan rumah Bunda Hasanah
yang kelak akan diwariskan kepada salah satu keturun-
annya dari istrinya di bagian selatan. Dengan maksud
dan tujuan untuk menyatukan putra-putrinya yang ber-
lainan ibu tersebut.
330 - Ilham Kadir

Hal ini ditentang oleh Bunda Hasanah dan juga put-


ranya Ustadz Abrar, “Berjauhan dengan kita saja sudah
sering mendatangkan masalah, apalagi berdekatan, ber-
tetangga lagi…” Ujar Ustadz Abrar dalam menyikapi ke-
inginan ayahnya itu.
Pada akhirnya Kiai Said mengalah, dan rumah itu
dibeli oleh salah seorang kerabat Kiai Said sendiri yang
dekat dan pro dengan Bunda Hasanah.
Perbedaan persepsi, pandangan, dan beragam riak-
-riak kecil terus menggumpal. Kian hari kian tak terken-
dalikan. Seorang Istri dianggap telah membangkang dan
tidak taat terhadap suami, seorang anak yang berilmu
dan telah mencapai derajat magister dalam jenjang aka-
demis juga dianggap kurang patuh pada orangtua. Aku-
mulasi demi akumulasi terhimpun di benak Kiai Said
yang pada akhirnya mengeluarkan keputusan yang kon-
troversi, dianggap tidak realistis, di luar ambang batas
kemanusiaan, dan beragam stigma lainnya dialamatkan
kepada Sang Kiai karena menceraikan sekaligus mengu-
sir istrinya: Bunda Hasanah dan anaknya Ustadz Abrar.
Kelak akan kuceritakan tentang hikmah di balik
peristiwa terbesar di atas, dan ini bukanlah wajah buruk
poligami.
Pintu 39
Selamat Tinggal Bunda…

L
angit Pitu-pitu diliputi awan kelabu, sedikit demi
sedikit mulai menghitam, pekat, lalu menggum-
pal, seakan ingin menumpahkan segala isinya na-
mun ia tak kuasa. Di lain pihak, suasana terasa panas
membakar di siang hari, dan dingin menusuk di malam
hari. Suasana pondok terasa mencekam, bulir-bulir be-
rita kian jatuh, membulat, menggeliding bak bola salju.
Tukang gosip makin meraja lela ia seakan mendapat be-
rita yang menarik, girangnya melebihi seorang warta-
wan yang mendapat berita paling awal kalau sang pre-
siden rupanya punya istri simpanan. Para tukang gosip
selalu saja bercerita dengan hot news yang menyembul
dari bibirnya laksana peluru-peluru yang beterbangan
dari moncong meriam. Dan kini di Pitu-pitu, seakan se-
mua menyandang profesi baru, menjadi tukang gosip.
Head line news-nya adalah rumah tangga sang Kiai.
Tiada lagi berita yang layak dipercaya, semua yang
berbicara membawa interpretasi dan asumsinya ma-
sing-masing. Kenapa? Mengapa? Untuk apa? Kiai Said
menceraikan serta mengusir istri dan juga putranya.

331
332 - Ilham Kadir

Bukankah selama ini yang paling banyak berjasa dalam


mengembangkan dan memajukan pondok adalah Bun-
da Hasanah dan putranya. Bukankah Ustadz Abrar se-
jak dahulu sudah digadang-gadang oleh Kiai Said untuk
menggantikan posisinya. Di lain pihak, siapakah yang
akan melanjutkan kepemimpinannya kelak, putra-putri-
nya dari pihak selatan dianggap belum ada yang mampu
berbuat untuk pondok, bukankah selama ini mereka be-
lum tampil dan belum menghasilkan karya sebagaima-
na pihak utara? Pertanyaan demi pertanyaan sejenis itu
menjadi konsumsi publik, dari pihak pondok serta santri
dan guru-gurunya plus dari masyarakat Pitu-pitu sendiri.
Terasa, suasana seakan terus mengusik aku yang
baru masuk tahun pertama mengabdi sebagai guru. Ke-
nyamanan itu kian hari kian terasa kabur, hilang, bah-
kan sirna.
Puncaknya, seluruh guru-guru KMI yang selama ini
telah banyak berjasa merintis dan memajukan pondok
hengkang satu per satu, termasuk Ustadz Fuadzein dan
Ustaz Yazid, turut meninggalkan pondok sebelum perce-
raian itu terjadi. Hadi dan Hatta yang pada mulanya ha-
nya pulang liburan kini tak nampak batang hudungnya.
Aku tinggallah sendirian dan beberapa guru yang
belum tau dan tidak mau tau tentang problematika ru-
mahtangga pimpinan.
Aku laksana disodorkan hidangan makanan buah
simalakama: dimakan mati oma tak dimakan mati opa!
Mengingat banyaknya teman-teman dari guru KMI yang
Negeriku di Atas Awan - 333

turut ikut dengan Bunda Hasanah beserta putranya. Di


lain pihak aku masih terikat pengabdian di pondok se-
bagai guru baru.
Sebuah kelaziman sebagai santri yang bertahun-
-tahun dididik dan dibesarkan di pondok untuk menun-
jukkan rasa terima kasih dengan cara mengabdi minimal
satu tahun. Sedangkan masalah perceraian ini muncul di
kala aku baru saja mulai mengabdi.
Aku masih ingat pesan Ustadz Yazid sebelum me-
ninggalkan pondok dan kembali ke kampung halaman-
nya di Lamongan, “Kalian harus menunjukkan rasa te-
rima kasih kalian kepada pondok dengan pengabdian,
selain itu mengabdi berarti mengulang pelajaran, orang-
-orang yang hanya belajar saja namun tidak diamalkan
ilmunya, besar kemungkinan untuk lupa, dan jika itu ter-
jadi, maka sebuah kerugian besar. Ingat, kalian bertiga
sudah susah payah menuntut ilmu di pondok ini, maka
amalkanlah apa yang kalian telah tuntut itu...” Itulah
kata-kata Ustadz Yazid yang tidak pernah aku lupakan.
Selalu terngiang di telingaku, dan selalu hadir dalam
benakku jika aku berpikir untuk meninggalkan pondok
saat terjadi konflik keluarga pimpinan.
Di lain pihak, kendati Bunda Hasanah telah resmi
diceraikan dengan talak satu plus diusir dengan tenggat
waktu yang telah diberikan kepada mantan suaminya.
Kiai Said, lewat sepucuk surat.
Pasangan suami istri ini memang sejak dari dulu
jika berkomunikasi sering menggunakan media surat-
334 - Ilham Kadir

-menyurat, romantis, langka, bahkan terkesan aneh. Na-


mun Bunda Hasanah sama sekali tidak ada perubahan
pada dirinya. Tetaplah ibu yang berusaha menenangkan
para santrinya yang ikut bergejolak untuk terus belajar
dan jangan terpengaruh dengan keretakan rumah tang-
ganya.
Beliau sering berujar jika ada santri yang ingin ber-
henti karena terperangkat isu, “Ini masalah saya dengan
suami saya, jangan terlalu dikait-kaitkan dengan pondok,
biarlah saya mengalah, saya juga sudah berusaha menja-
di istri yang baik buat suami saya, namun takdir berkata
lain, Tuhan memisahkan kami di kala kami berdua ma-
sih hidup…”
Kata-kata Bunda Hasanah seakan memberikan kita
semua pelajaran yang sangat mahal. Bahwa apa pun yang
kita hadapi tetaplah harus dengan kepala dingin dan pas-
rah kepada Allah, karena manusia punya rencana, namun
Allah juga punya rencana lain pada setiap hamba-Nya.
“Anak-anakku, tetaplah di sini, di pondok ini, bela-
jarlah, dan raihlah cita-cita, jangan pernah mundur un-
tuk menggapai apa yang kalian ingin capai. Selama kali-
an berada pada jalan yang benar, pasti pertolongan Allah
akan datang menghampiri. Camkan itu..!” Katanya lagi.
“Mohon maaf jika selama ini, saya tidak dapat ber-
buat banyak buat kalian, selaku Ibu untuk kalian semua,
saya telah mengeluarkan seluruh potensi diri saya, se-
kali lagi maafkan saya semoga hari esok lebih baik dari
hari ini. Selamat tinggal semuanya…” Bunda Hasanah
Negeriku di Atas Awan - 335

beranjak dari tempat duduknya, lantas masuk ke ruang


dapur, selanjutnya semua yang ada di rumah itu. Siap-
-siap meninggalkan rumah, pondok, dan juga Pitu-pitu.

Di pagi itu, cuaca tidak seperi beberapa hari yang


lalu. Tanpak cerah, orang-orang kampung sibuk ber-
datangan ke rumah Bunda Hasanah, seakan rumah ini
ibarat halte bus. Yang satu datang yang lain pergi, hilir-
-mudk tak henti-hentinya.
Mentari mulai menampakkan sinarnya, sang suria
cerah di pagi yang sangat bersejarah itu. Sepasang bus
besar, mobil pick up, dan masing-masing satu kijang
kapsul dan mobil merek Panther berjejar laksana tank
tempur. Mereka mengambil tempat parkir di depan ru-
mah Bunda Hasanah. Barang-barang yang telah dikemas
satu-persatu diangkut naik ke mobil pick up. Mulai dari
pakaian-pakaian, barang-banrang bekas hingga pera-
latan prabot rumah tangga. Para santri dan guru-guru
termasuk aku beserta masyarakat kampung tumpah di
depan Rumah Bunda, berjejer menunggu mereka keluar
dan turun dari rumah yang ditinggalinya semenjak 30
tahun lalu.
Wajah-wajah sedih terlihat pada setiap manusia
yang ada di tempat ini, tak peduli siapa pun dia. Tidak
ada suara, suasana hening. Para manusia-manusia yang
ada di sini seakan semuanya terserang penyakit asma,
terasa sesak nafas, ingin berkata tetapi tak mampu ber-
336 - Ilham Kadir

ucap, mulut-mulut yang dulu bak senjata meriam me-


muntahakan peluru api kini semuanya terkatup dan ha-
nya tertakung dalam benak. Hinggalah Bunda Hasanah
keluar dari rumah, disusul Ustadz Abrar dan istrinya,
beserta segenap rombongan.
Tanggul air mata mulai telihat penuh, meluber, me-
leleh setetes demi setetes, tak terbendung lagi. Begitu
sampai di depan rumahnya, ketika melangkah keluar
dari gerbang pintu pagar, suara tangis pecah, ada yang
histeris, para masyarakat yang selama ini kurang sim-
pati pada pondok datang satu persatu mendekap Bunda
Hasanah sambil menangis sekuatnya, para guru dan se-
bagian santri yang hadir juga demikian, tanggul air mata
benar-benar sudah jebol, hancur berkeping-keping aki-
bat derasnya bah air mata.
Keenam mobil itu telah terisi penuh, ada sebagai
pengantar, dan ada pula sebagai pengikut, Bunda Hasa-
nah duduk di atas mobil Kijang bersama anak dan besan-
nya, mobil itu sendiri milik besannya. Ustadz Harun yang
selama ini banyak membantu pendidikan di pondok. Di-
alah pionner utamanya.
Mesin mobil dinyalakan, lambaian terakhir Bunda
Hasanah untuk orang Pitu-pitu telah tiada. Bunda sudah
menutup pintu mobil, sang sopir pun sudah menekan pe-
dal gas, mobil melaju perlahan-lahan, kian menjauh, dan
tak terlihat lagi. Selamat jalan bunda.
Mobil kedua juga telah meluncur, disusul ketiga,
keempat, kelima, dan keenam. Nah, kendaraan terakhir
Negeriku di Atas Awan - 337

inilah yang berupa mini bus masih ada tempat kosong


buat penumpang yang berdiri, aku tanya sopirnya, “Saya
bisa ikut tidak?” Tetiba ada suara terdengar dari bela-
kang, “Ustadz Iwan, ayo, sekalian ikut mengantar!” aku
menoleh setelah mendengar suara itu, kuperhatikan, ru-
panya Ustadz Ya’qub, tergolong kerabat Kiai Said yang
baru saja menyelesaikan studinya di PM Gontor.
Aku pun segera naik, dan ikut serta bersama rom-
bongan dan berbaur antara pengikut setia Bunda Hasa-
nah, para orang kampung, dan sebagian guru-guru KMI.
Melebur bersama dalam satu armada.
Bus yang kutumpangi pun mulai meluncur, mening-
galkan Pitu-pitu, dan kampung-kampung yang bersebe-
lahan dengannya. Menuju tempat tujuan. Sebuah pon-
dok pesantren yang di dalamnya terdapat adik kandung
Bunda Hasanah menjadi warganya. Pondok pesantren
yang dimaksud adalah Darul Istiqamah yang terletak di
Maccopa Maros. Ke sanalah tujuan kami semua. Di tem-
pat itulah untuk sementara Bunda Hasanah akan mene-
tap, sambil menyusun program ke depan.
Setelah menempuh empat jam perjalanan, Bunda
Hasanah dan rombongan pengikut setia dan pengantar
pun tiba. Masuk ke lokasi Pondok Pesantren Darul Isti-
qamah, salah satu warga yang tinggal di rumah panggung
berukuran sedang. Di rumah inilah tujuan Bunda, kami
pun ikut masuk, berbincang-bincang dengannya, beliau
tetap saja sebagai Ibu yang mengayomi anak-anaknya.
Kami semua.
338 - Ilham Kadir

Untaian kata-katanya tak pernah berubah, lemah


lembut dan sarat dengan makna. Tidak pernah terlihat
kesedihan dalam dirinya. Tetap tegar. Masih tetap mem-
beri kesejukan dalam posisi sedemikian klimaks. Beliau
tetap laksana telaga yang menyimpang kesegaran. Air-
nya tetap memberi kehidupan pada segenap makhluk.
Kata-kata terakhirnya yang keluar dari bibinya ke-
tika aku hendak pamit, “Teruslah belajar, jadilah guru
yang baik, dan jangan nakal ya Nak…”
Selamat tinggal Bunda…
Pintu 40
Menjadi Tangan Kanan

A
hmad Albar dalam syair lagunya berbunyi,
‘dunia ini adalah panggung sandiwara’, Gayus
Halomoan Tambunan berpendapat kalau du-
nia ini, surga bagi para koruptor. Para jaksa, dari kelas
teri hingga yang agung juga punya asumsi lain, dunia ini
tempat mempermainkan hukum. Dan aparat keamanan
akan berkata, “Ada duait Anda nyaman tak berduit tidak
nyaman!” Adian Husaini dan jama’ah Insist84-nya ber-
fatwa bahwa tidak ada ruang untuk bertapak bagi kaum
liberal di Indonesia, atau Indonesia tanpa Jaringan Islam
Liberal. Para Ustadz, Kiai, Muballigh sering berkoar-
-koar kalau kehidupan di dunia ini bersifat fana alias
tidak kekal, satu persatu berguguran, maka hiduplah de-
ngan tujuan utama mengumpulkan bekal untuk kehidup-
an akhirat, kehidupan kekal tak berujung. Saat itu, orang
yang sengsara akan sengsara tak terkira, dan orang yang
bahagia akan bahagia kekal abadi.
Tapi aku juga bisa berpendapat kalau dunia ini ada-
lah ruang dan waktu yang diliputi misteri, semua yang

84 Institut for Islamic Thought and Civilization.

339
340 - Ilham Kadir

ada pada diri kita adalah misteri. Dan yang paling dah-
syat misterinya, ketidaktahuan kita akan apa yang terja-
di pada masa yang akan datang. Contohnya? Perceraian
Kiai Said dan Bunda Hasanah salah satu bukti kongkrit
akan misteriusnya kehidupan setiap insan yang hidup.
Semua yang menyaksikan atau pun mengetahui kalau
pasangan suami istri ini, pasangan yang sangat ideal. Pa-
sangan yang mendedikasikan segenap hidupnya untuk
menolong agama Allah. Seakan tidak ada ruang privat
baginya, kolaborasi yang padu.
Tapi itu dulu, kini ceritanya berbeda. Mereka telah
berpisah dan mengambil jalan masing-masing.
Perceraian, dalam bahtera rumah tangga pada da-
sarnya bukanlah hal yang asing, tapi mungkin ‘asin’ dan
sudah lumrah adanya. Satu-satunya agama yang pernah
ada di muka bumi ini dan mengupas tuntas masalah per-
ceraian hanya Islam. Kepercayaan agama Samawi yang
terakhir ini seakan paham dengan jelas bahwa kelak
umat akhir zaman akan banyak kasus perceraian, oleh
itulah diberi porsi yang sangat istimewa dari sekian per-
masalahan yang di bahas di dalam kitab suci Alqur’an.
Kendati menurut sejarah, Nabi Ismail–moyang dari
Nabi Muhammad—juga pernah menceraikan istrinya
atas dorongan ayahnya, Nabi Ibrahim, karena sang me-
nantu tidak menghormatinya bahkan terkesan kurang
ajar. Bahkan dalam Alqur’an salah satu surah dinamai
surah at-Talaq yang berarti talak alias cerai. Nabi juga
pernah bersabda, “Halal yang paling dibenci oleh Allah
Negeriku di Atas Awan - 341

adalah bercerai.” Kata halal di atas menunjukkan kebo-


lehan, artinya tidak haram, jika diamalkan atau terpak-
sa diamalkan tidaklah berdosa, namun jika ditinggalkan
atau tidak diamalkan maka akan mendapatkan pahala.
Memang, perkawinan berfungsi untuk menyatukan
antara dua karakter yang berbeda, maksudku juga, dua
jenis kelamin. Untuk itulah kelangsungan sebuah rumah
tangga akan tergantung sejauhmana menyatukan perbe-
daan menjadi energi positif. Harus ada sinergi di antara
keduanya. Ibarat aliran listrik yang membawa energi po-
sitif dan negatif harus bekerjasama agar dapat mengha-
silkan cahaya ataupun menggerakkan dinamo. Mungkin
begitulah.

“Ustadz Iwan… antum dipanggil sama Kiai Said.”


Teriak salah satu guru dari lantai dasar Bangunan Kese-
hatan Santri.
“Di mana?” tanyaku.
“Di rumah bawah.”
Aku pun bergegas pergi mandi di sumur yang ter-
letak di belakang Bangunan Kesehatan Santri yang biasa
disingkat BKS. Di bangunan inilah aku dan guru-guru
KMI yang tersisa dari konflik diasramakan. Aku ting-
gal di lantai dua. Bangunan ini memang memiliki dua
lantai dan beberapa kamar. Sesuai namanya, bangunan
ini khusus untuk kesehatan atau tempat merawat santri
yang sakit. Tapi karena belum difungsikan sebagaimana
mestinya, maka para guru pun tinggal di dalamnya.
342 - Ilham Kadir

Usai mandi dan berpakaian, aku pun turun ke ru-


mah bawah. Kampus baru memang berada agak di atas
bukit jika dibanding tata letaknya dengan kampus lama.
Kiai Said kini tinggal di rumah bawah sebutan baru bagi
rumah bekas tempat tinggal Bunda Hasanah dulu. Ken-
dati telah bercerai, Kiai Said tetap membagi jatah wak-
tunya, sehari di rumah selatan bersama Bunda Munirah
dan sehari di utara yang kini disebut rumah bawah.
“Duduk…” Kiai Said mempersilahkan aku duduk.
“Buat lima gelas teh…” perintah Kiai Said pada sa-
lah seorang putrinya yang kadang datang ke sini mem-
bantu ayahnya.
Belum juga teh pesanan datang, sudah muncul dua
Ustadz, Furwadi dan Ya’qub. Baru aku sadari kalau ter-
nyata kami dipanggil bertiga oleh Kiai Said.
Kiai Said dengan gayanya yang khas. Asap rokok
yang tidak henti-hentinya menyembul dari bibirnya.
Ditemani dengan teh manis. Duduk di kursi kayu, yang
berada di ruang tengah. Dulu sebelum kampus baru di-
gunakan, ruangan ini, tempat kami tinggal, mengaji, dan
salat. Sekarang suasananya sudah terlihat tidak terurus,
di samping karena santri telah mengungsi ke kampus
baru, tempat ini hanya dipakai Kiai Said menginap se-
kali dalam dua hari, juga kadang digunakan untuk perte-
muan antara Pak Kiai dan beberapa guru KMI atau juga
dengan simpatisan pondok yang datang bertemu dengan
Kiai di waktu Magrib sebelum salat. Walau belakangan
rumah ini kian bertambah juga fungsinya, menjadi as-
Negeriku di Atas Awan - 343

rama untuk santri mustawa’ yang datang dari jauh serta


turut serta tinggal di pondok selama 24 jam.
“Kalian saya panggil agar dapat membantu saya
mengurus Pondok.” Kiai Said memulai pembicaraan.
“Saya yakin kalian bisa bekerja dengan baik, untuk
itulah saya panggil. Tujuan utama saya agar bisa dibantu
dalam pengurusan administrasi, penanganan pendidikan,
dan hubungan kemasyarakatan…”
“Saya tunjuk saja langsung, yang bertanggungjawab
pada bagian pembukuan Ustadz Furwadi, bagian pendi-
dikan Ustadz Ya’qub, dan bagian kemasyarakatan adalah
Ustadz Iwan.” Papar Kiai Said.
“Bagaimana? Sudah jelas?” tanya Kiai Said pada
kami bertiga, seakan memastikan.
“Iya, Ustadz…” kami tiba-tiba bersuara serentak.
Ustadz Furwadi merupakan lulusan PM Gontor yang
sudah setahun di pondok ini, selama ini, beliau memang
menjadi sekertaris KMI dengan tugas utama mengurus
masalah surat-menyurat. Jadi pekerjaan yang disodor-
kan kepadanya merupakan jabatan lama yang diperpan-
jang. Artinya bukanlah hal yang susah baginya. Adapun
Ustadz Ya’qub, beliau memang pada dasarnya diseko-
lahkan oleh Kiai Said di Gontor agar kelak bisa pulang
ke Pitu-pitu untuk membantu jalannya pendidikan. Dia
memang kader yang telah dipersiapkan. Sedangkan aku,
sama sekali tidak menyangka kalau akan menjabat jabat-
an yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Jabatan
ini hanya cocok untuk orang yang senior, karena harum
344 - Ilham Kadir

dan busuknya nama pondok ada pada jabatan ini. Tugas-


nya pun beragam, mulai dari menangani penerimaan
santri baru, orangtua murid, para tamu yang datang silih
berganti, hingga masalah-masalah yang berhubungan
dengan orang-orang kampung.
Kami bertiga inilah yang akan menjadi tangan ka-
nan Kiai Said, artinya apa pun yang berhubungan dengan
administrasi pondok maka ia harus berhubungan dengan
Ustadz Furwadi, dan apa pun itu yang berhubungan de-
ngan pendidikan maka Ustadz Ya’qub penanggungjawab-
nya, dan yang terkhir, apa dan siapa pun yang ingin ber-
tamu di pondok, atau ingin masuk sekolah, atau ingin tau
tentang pondok, keluarga pondok dari A hingga Z, maka
akan dilimpahkan kepadaku. Sebuah pekerjaan yang ti-
dak ringan dalam situasi yang chaos.
Memang semenjak kepergian Bunda Hasanah dan
putranya, serta tidak sedikit santri dan guru-guru ikut
bersama, termasuk mereka-mereka yang senior. Maka
memaksa Kiai Said untuk mengangkat pejabat baru–
kaki tangan—meminjam istilah Malaysia untuk ikut
mambantu kelancaran dan kehidupan pondok ke depan.
Dan kami bertigalah menjadi pilihan utama sang Kiai.
Ustadz Furwadi berasal dari Purwokerto bukan
Purwakarta, dulu kedua tempat ini aku tidak bisa beda-
kan, belakangan kuketahui kalau ternyata satu berada di
Jawa Tengah yang satunya lagi di Jawa Barat. Beliau asli
orang jawa medok, sama sekali tidak tau bahasa orang
Negeriku di Atas Awan - 345

Bugis, kecuali kata-kata manre85, minung86, tinro87, cem-


me88, dan makkunrai89. Adapun Ustadz Ya’qub dia masih
kerabat Kiai Said, dan sudah nyantri di Pitu-pitu se-
jak masih di Sekolah Dasar, di kala KMI belum ada. Ia
orang Bugis tulen, sama denganku. Kelak aku dan Us-
tadz Ya’qub akan banyak berinteraksi dengan Kiai Said.
Karena ikatan emosi dicampur dengan suku dan bahasa.
Artinya kami tidak masalah sama sekali jika Pak Kiai
berbicara, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa
kami berdua, berbeda dengan guru-guru lain, yang kese-
muanya hanya mengerti bahasa Indonesia bahasa yang
dengannya Kiai Said tidak begitu fasih bertutur.

85 Makan.
86 Minum.
87 Tidur.
88 Mandi.
89 Wanita.
346 - Ilham Kadir
Pintu 41
Tempat Curhat

K
iai Said tipe orang yang sangat tahan diajak
berbicara, sambil ditemani secangkir teh dan
rokok yang tak henti-hentinya menyembulkan
asapnya. Pembicaraannya selalu saja menarik, ditunjang
dengan suaranya yang serak-serak basah. Apa yang be-
liau utarakan merupakan sebuah fakta yang benar ada-
nya, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang.
Setiap terlontar satu kata dari mulutnya, selalu saja kita
ingin ketahui kelanjutannya dan terus penasaran untuk
mendengarkan ceritanya. Walau kadang-kadang cerita-
nya sudah diulang beberapa kali, namun tetap saja me-
narik untuk disimak.
Kiai Said adalah sosok yang seakan tau kalau mung-
kin suatu saat aku akan menulis segala apa yang pernah
kudengar darinya, begitu pula tingkah lakunya, sehingga
segala pembicaraannya selalu saja bermutu, dan sangat
penting untuk kucatat.
Aku satu-satunya santri yang kini telah menjadi staf
pengajar, sangat suka diajak berbincang olehnya, di sam-
ping aku kritis, aku juga sangat suka bertanya tentang

347
348 - Ilham Kadir

masa lalunya ketika masih belajar di Madrasah Arabiah


Islamiyah Sengkang yang kini bernama Pondok Pesan-
tren As’adiah di bawah asuhan Al-Bugisi. Atau pun keti-
ka berada dalam hutan di kala berjuang bersama pasuk-
an DI/TII di bawah pimpinan Qahhar Muzakkar.
Namun satu hal yang paling membuat aku makin
curiga kalau kelak aku akan jadi penulis tentang diri-
nya adalah ketika aku bertanya tentang hukum-hukum
agama, beliau sering berujar, “Ah… itu tidak usah kau
tanyakan, buka saja buku Adz Dzikra yang saya tulis…
tanyakan yang lain saja…”
Buku Adz Dzikra karya Kiai Said sendiri, buku
itu sudah sampai pada jilid ke lima, isinya bermacam-
-macam, mulai dari tata cara besuci dalam Islam, salat,
puasa, hingga beragam masalah. Semua dikupas dalam
buku tersebut, walau terkesan ringkas tapi cukup menja-
wab persoalan agama bagi para pemula.
Namun jika aku bertanya tentang persoalan masa
lalu dan sejarah, maka beliau menjawab dengan sangat
jelas, gamblang melebihi apa yang kuharap dari jawab-
annya. Kesempatan ini aku pergunakan untuk mengorek
masa lalunya dengan Bunda Hasanah, mengapa dan apa
yang melatarbelakangi perceraian itu dengan dirinya.
“Ustadz…sebenarnya, seluruh istri-istri ustadz,
yang manakah paling berkesan buat ustadz?” tanyaku
memancing.
“Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya,
namun yang paling banyak bekesan buat saya adalah
Bunda Hasanah.”
Negeriku di Atas Awan - 349

“Tapi kenapa mesti dilepas Ustadz?” tanyaku


lansung to the point.
“Saya merasa dia sudah tidak lagi menjalankan ke-
wajibannya sebagai istri yang taat suami.”
“Bagaimana bisa Ustadz..?”
“Iya, semenjak mulai ada masalah, terutama ketika
dia tidak setuju saya beli rumah di samping ini–sambil
menunjuk rumah yang dimaksud—Bunda Hasanah tidak
pernah lagi mau mengajak saya bicara, kalau saya datang
menginap di sini.”
“Itu saja Ustadz?”
“Masih ada beberapa, yang jelas bukanlah saya
menceraikan Bunda Hasanah karena terkait pernikah-
an Ustadz Abrar dengan putrinya Ustadz Harum seba-
gaimana yang dianggap kebanyakan orang, intinya kami
berdua sudah tidak ada kecocokan lagi…”
“Ada kemungkinan rujuk?”
“Kalau kemungkinan pasti ada, cuma sangat sedi-
kit.”
Selain itu, aku juga tidak luput untuk menanyakan
hal-hal yang sangat sering dipertanyakan orang seperti,
“Apa rahasianya sehingga di pondok ini orang justru an-
tre datang menyumbang, padahal mereka tidak pernah
diminta?” beliau menjawab dengan enteng, “Owh… itu
belum saya minta, kalau saya minta bisa lebih daripada
itu, orang itu takut kalau sampai saya minta dan ia tidak
memenuhi permintaanku.” Di lain waktu juga saya ber-
tanya, karena desakan teman-teman sepengajar, “Apa
rahasianya sehingga pondok ini tetap bertahan walau
350 - Ilham Kadir

santrinya tidak ada yang bayar.” Jawab beliau, “Karena


saya minta bantuan kepada Allah bukan kepada manu-
sia, jika kita minta kepada manusia pasti ada batas ke-
mampuannya, namun jika meminta kepada Allah, pasti
Allah tidak memiliki batas kemampuan, dan Allah Maha
Tahu apa yang kita butuhkan.”
Aku kembali bertanya, “Semua orang kan berdoa
seperti itu Ustadz, tapi belum tentu dikabulkan.” Beli-
au menjawab dengan santai, “Pasti dikabulkan, kita me-
nolong agama Allah, pasti Allah akan tolong kita, ingat
ayat, in tanshurullah yanshurkum,90”, ada yang lain lagi
Ustadz, “Banyak,” jawabnya, “bisa disebutkan di antara-
nya?” tanyaku lagi, “Hindari tiga “D” dosa (besar), deng-
ki, dusta (walau hanya bercanda), jangan mengutamakan
kepentingan keluarga daripada kepentingan pondok.”
Jawabnya.
Ada amalan-amalan lain mungkin Ustadz? tambah-
ku lagi, “Amalannya cukup apa yang telah diamalkan
oleh Rasulullah  beserta para sahabat-sahabatnya, ja-
ngan ditambah atau pun dikurangi,” Jawabnya lagi, sam-
bil menyeruput teh manis di hadapannya, “Apa mungkin
Ustadz wali?” tanyaku lagi, “Ah… kau ini, sembarang saja
ditanyakan… mana ada wali yang nikah dan merokok
seperti saya? Kalau mau jadi wali, pergi sana, jauh-jauh
beruzlah, supaya tidak turun derajat kewalianmu…” Ja-
wabnya dengan nada tinggi seperti orang emosi, tetapi
aku tidak terpancing, dan terus bertanya.
90 Jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kalian (Al-
qur’an).
Negeriku di Atas Awan - 351

Tapi kan ada wali yang bisa bermanfaat untuk orang


lain, dia ganda Ustadz, selain bermanfaat untuk dirinya,
juga untuk orang lain! Apakah Ustadz termasuk? “Ah…
kau ini dari tadi bertanya terus, minum dulu itu tehmu,
kita bahas yang lain saja.” Jawabnya sambil mengalihkan
pertanyaanku.
Begitulah topik-topik obrolanku dengan Kiai Said,
kadang juga berbincang dengan tema yang umum dan ri-
ngan, atau pun yang lucu-lucu, terutama cerita-ceritanya
ketika beliau masih menjadi santri, bahkan terkadang
juga tentang wanita, sebagaimana lelaki pada umumnya.
Yang jelas Kiai Said adalah sosok yang sangat cair diajak
bicara, namun setiap obrolan selalu saja ada maknanya.
Dan yang terpenting sebagaimana yang aku alami selama
ini bahwa setiap kata-katanya selalu menjadi kenyataan
walaupun itu diceritakan dengan nada santai bahkan ter-
kesan bercanda.

“Nanti malam turun ke sini ya… salat jamaah di sini


saja, sekaligus temani saya makan, nanti bakda Isya baru
naik ke atas.” Kata Kiai Said kepada kami berdua. Aku
dengan Ustadz Ya’qub.
Semenjak pembagian tugas tempo hari kepada
kami bertiga, Aku, Ustadz Furwadi, dan Ustadz Ya’qub,
maka pertemuanku dengan Kiai Said semakin intens, se-
tiap hari pasti ketemu. Membicarakan beragam persoal-
an pondok. Termasuk masalah keluarga, juga tak luput
ia diskusikan.
352 - Ilham Kadir

Aku sendiri sebagai Humas memaksaku dengan


Kiai Said kian hari kian intim, hubungan kami berdua,
seakan tidak ada lagi sekat antara aku dengan dirinya,
hampir setiap waktu salat kami bertemu dan berjamaah
di rumahnya. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan
selama ini, yang dulu sangat segan bahkan takut pada-
nya. Kiai Said seakan menjadikan aku sebagai tempat
menumpahkan segala curahan hatinya curhat, segala
unek-uneknya terus ia tuangkan padaku. Tak mengenal
waktu, pagi, siang, sore, dan malam. Jatah makan dua
kali sehari semalam juga bersama beliau. Pernah satu
kali, aku datang terlambat untuk makan bersamanya.
Dan alangkah terkejutnya, beliau dengan beberapa tamu
belum jua makan karena terlanjur menungguku. Aku be-
nar-benar terkesima dan merasa bersalah dibuatnya.
“Cepat ke sini duduk di sampingku… dari mana?
Kenapa terlambat, kita sudah menunggu ini dari tadi.”
Aku jawab dengan sejujurnya, “Maaf Ustadz, tadi ada
tamu, terlalu lama berbicara dengan saya, pertanyaan-
nya juga terlalu banyak, sehingga saya terlambat.” Se-
menjak itu, aku sudah berusaha agar selalu tepat wak-
tu datang ke rumah bawah yang dulu ditempati Bunda
Hasanah, namun aku berpikir, “Sepenting itukah aku?
Siapalah aku ini?” tanyaku membatin.
Pekerjaan utamaku sebagai staf pengajar di bebera-
pa kelas juga kian hari kian bertambah, yang pada awal-
nya aku hanya berhak mengajar kelas satu dan kelas dua
KMI, kini tiba-tiba melompat ke kalas empat, lima, dan
Negeriku di Atas Awan - 353

enam. Ini semua disebabkan tidak adanya guru-guru se-


nior yang dapat mengajar mata pelajaran tertentu, khu-
susnya pelajaran yang tidak diajarkan di PM Gontor. Sa-
lah satu di antaranya Balaghatul Wadhihah, untungnya
pelajaran ini termasuk pelajaran favoritku, yang pastinya
tak ada masalah bagiku. Ternyata kemampuanku meng-
ajar mata pelajaran di atas membuat namaku kian ber-
sinar dan dikenal di seluruh kalangan santri dan guru
sebagai pengajar mata pelajaran yang dianggap paling
susah saat itu. Puncaknya, aku diplot menjadi wali kelas
lima KMI, sebuah pekerjaan dan tanggungjawab besar
yang harus kuemban.
“Ustadz Iwan… antum yang paling berhak untuk
menjadi wali kelas lima KMI,” Kata Ustadz Ya’qub.
“Antum saja Ustadz,” jawabku.
“Yang tau persis tentang pendidikan di pondok ini,
ya, Antum, kami semua ini orang baru, dan ada beberapa
pelajaran yang ternyata tidak diajarakan di PM Gontor
namun diajarkan di sini, dan Antum juga lebih paham
tentang watak-watak para santri di sini…” Terang Ustadz
Said.
“Baiklah, akan saya coba, tapi tolong saya dibantu
jika kelak menemukan kesusahan.”
Aku pun dengan terpaksa menjadi wali kelas lima
KMI, kelas yang dianggap pelajarannya melebihi kelas
enam. Masalah pelajaran sebenarnya, aku tidak begitu
bermasalah, karena semuanya telah kupelajari dengan
tuntas, aku pribadi seakan mengulang pelajaran saja.
354 - Ilham Kadir

Jadi secara kemampuan aku memang mampu mengajar.


Yang akan jadi masalah mungkin lebih kepada beban
psikologis, soalnya yang menjadi murid binaanku adalah
mantan teman-tamanku sendiri, yang pernah tinggal se-
kamar denganku ketika berada di Salomekko.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku pun dapat
mengatasi semuanya dengan perlahan-lahan. Semuanya
lancar, dan sesuai harapan.

Di antara seabrak tanggungjawab dibebankan pa-


daku, ada beberapa hal yang aku anggap biasa-biasa saja
serta dapat kuatasi dengan mudah. Namun tidak sedikit
pula yang mendatangkan beban tersendiri buatku. Yang
paling berat ketika menghadapi tamu, yang datang tak
henti-hentinya, mayoritas mereka adalah orangtua san-
tri dan calon santri baru.
Mereka datang ke pondok, berduyung-duyung un-
tuk memastikan apakah pondok masih hidup atau sudah
mati pasca perceraian antara Kiai Said dengan istrinya.
Bunda Hasanah. Perkara inilah yang sangat menyita
waktuku. Dan pertanyaan setiap tamu itu-itu saja, seakan
mereka telah sepakat menanyakan perkara yang sama
kepadaku. Di antara pertanyaannya yang tak henti-hen-
tinya ditanyakan, “Apakah pondok ini masih bisa berta-
han? Sampai kapan? Apa penyebab perceraian Kiai Said
dengan istrinya?”
Pertanyaan yang pertama dan kedua kujawab seba-
gai berikut, “Sebagaimana yang Bapak saksikan, pondok
Negeriku di Atas Awan - 355

masih ada dan santri belajar sebagaimana biasanya, te-


tap ada santri dan guru, kantor ini juga tetap aktif mela-
yani siapa pun termasuk Bapak, dan itu artinya pondok
tetap hidup sampai Allah berkehendak menutup, tapi
itu saya tidak tau kapan waktunya, karena itu rahasia
dan ketetapan Allah.” Sedangkan pertanyaan ketiga aku
jawab, “Kedatangan saya kesini untuk belajar, sebagai-
mana pesan orangtuaku, saya sama sekali tidak dikirim
ke sini untuk mengurus problematika keluarga Kiai. Ma-
salah pondok bisa Bapak tanyakan, tapi terkait keluarga
Pak Kiai, saya mohon maaf, takut salah jawab…”
Kuakui menjadi public relation memang gampang-
-gampang susah, kalau yang bertanya adalah tamu yang
cepat paham, itu tak masalah. Namun kalau yang datang
tamu yang pertanyaannya mirip-mirip Bani Israil, itu
yang bermasalah.
Pertanyaan-pertanyaan para tamu sering kusam-
paikan kepada Kiai Said, termasuk jawaban-jawaban
yang aku berikan. Kiai Said hanya berkomentar, “Itulah
sebabnya saya letakkan kau di situ agar bisa menjawab
pertanyaan para tamu.” Memang kuakui kalau kadang
terasa aneh, karena serumit apa pun pertanyaan setiap
tamu, tetap saja aku mampu menjawabnya dengan me-
muaskan.
Ustadz Furwadi dan Ustadz Ya’qub juga demikian,
bekerja dengan sesuai keinginan Kiai Said, tugas kami
bertiga pada dasarnya satu, memastikan kalau pondok
ini tetap eksis, tidak mati, sebagaimana telah diberitakan
356 - Ilham Kadir

oleh khalayak ramai. Kami harus buktikan, kendati mi-


nus guru-guru yang berpengalaman namun kami tetap
harus eksis. Sebuah kerja yang tidak ringan namun tetap
saja bisa dijalankan karena sistem yang telah dibangun
oleh Ustadz Abrar, Ustadz Yazid, dan generasinya telah
berjalan dengan baik, kami hanyalah penerus cita-cita
mereka.
Walau bagaimana pun, keputusan Kiai Said mem-
beri kami amanat bertiga dapat dikatakan, the right man
on the righ job. Buktinya dengan durasi waktu yang cepat
pondok kembali hidup walau tidak seperti pada zaman
sebelum konflik mendera, tapi setidaknya jika diibarat-
kan orang sakit, sudah dalam fase penyembuhan dengan
rawat jalan.
42
Musuh Dalam Selimut

T
inggal di Gedung BKS, menjadi kenangan ter-
sendiri buat para guru yang masih tetap setia
menemani Kiai Said dalam mengelola pondok.
Aku tinggal di tingkat dua, berada dalam sebuah kamar
berukuran delapan meter persegi. Sejatinya kamar yang
kami tempati bertiga itu, untuk ruang rawat inap para
pasien.
Kedua teman sekamarku. Ustadz Jurman dengan
Ustadz Afif, yang pertama berasal dari Medan Sumate-
ra Utara dan berdarah Batak asli dengan marga daulay,
dan yang kedua dari Jakarta, asli putera Betawi. Jurman,
lulusan PM Gontor, ia datang ke Pitu-pitu untuk meng-
hafal Alqur’an setelah menyelesaikan pengabdiannya di
sebuah pondok alumni Gontor di Lombok NTB. Adapun
Afif, dia bukanlah alumni PM Gontor melainkan dari sa-
lah satu pondok pesantren yang juga mengadopsi sistem
KMI Gontor yang bertapak di Baleendah Bandung. Pon-
dok Pesantren Modern Al-Ihsan.
Kedua teman baruku di atas menjadi pengobat atas
ketiadaan Hadi dan Hatta. Kami bertiga menjadi akrab

357
358 - Ilham Kadir

atau mungkin juga terpaksa, karena harus satu kamar


dan hidup selalu bersama, walau pada awalnya kami juga
kurang beradaptasi, terutama pada Jurman, di samping
wataknya yang terlihat keras juga pembawaannya yang
ceplas-ceplos dalam bertutur. Kecuali Afif, dia tipe Beta-
wi banget, semua, apa pun yang terjadi di pondok beliau
bisa membahasakan dengan nada bercanda.
Di saat suasana pondok yang masih sakit, Jurman
yang menjadi teman sekamarku, kian lama kian akrab,
yang awalnya aku skeptis padanya. Tapi melihat sosoknya
yang rupanya dapat sejiwa denganku, akhirnya mambuat
aku dengan dirinya menjadi teman akrab, melebihi siapa
pun, kecuali Afif tentunya.
Jurman yang tidak pernah kupanggil Ustadz itu,
punya kebiasaan buruk rupanya, yaitu melanggar Garis-
-garis Besar Haluan Pondok, yang pada dasanya orang
yang melanggar akan didepak alias diusir. Merokok.
Kendati Kiai Said memang perokok berat, namun
santri dan guru KMI selama ini jika ketahuan merokok
pasti diusir, tidak ada tawar-menawar.
Karena Jurman selalu bersamaku terutama di
waktu-waktu senggang, lazimnya setiap Bakda Isya, kami
jalan-jalan ke empang, dan di sanalah ia melampiaskan
hobi buruknya, namun lama kelamaan, aku pun pena-
saran. Ikut menikmati harumnya asap yang menyembul
dari gulungan tembakau campur cengkeh itu.
Kendati awal mulanya, kami hanya merokok di
tempat sepi dan kurang terjangkau oleh publik, seperti
Negeriku di Atas Awan - 359

di empang, atau di sumur atas dekat kuburan, atau juga


sengaja berkunjung ke rumah penduduk yang aku kenal
dan dapat diajak kerjasama. Namun lama-kelamaan hobi
buruk ini mulai kulakukan di dalam kamarku sendiri.
Guru-guru lain, satu demi satu ikut merokok, kendati
tidak semuanya. Kami pikir, selama tidak ada yang me-
lapor pada Kiai Said, hal itu tidak akan ketahuan, kalau
pun ketahuan, Pak Kai tak akan mengusir kami, karena
kami adalah para pionnirnya.
Malam itu, seperti biasanya. Aku dan Ustadz Ya’qub,
turun ke bawah untuk salat Magrib berjamaah dengan
Kiai Said, sekaligus makan berjamaah bakda Magrib. Be-
gitu usai makan.
“Tadi malam saya mimpi… ada kalajengking dalam
saku baju saya, ini pasti ada orang-orang di sekeliling-
ku yang berkhainat dan tidak taat… ada musuh dalam
selimut..!” kata Kiai Said dalam menceritakan sekaligus
menakwilkan mimpinya.
Kami berdua pun tertanya-tanya, “Siapakah yang
menghianat, siapakah yang jadi kalajengking… siapa mu-
suh dalam selimut..?” begitulah yang ada dalam benak-
ku, dan kuyakin Ustadz Ya’qub juga demikian.
Keesokan harinya, salah seorang teman kami, yang
juga guru KMI mendatangi Kiai Said.
“Ustadz… bagaimana kalau larangan merokok da-
lam Garis-garis Besar Haluan Pondok dihapus saja…”
Pinta Ustadz Awwab. Salah seorang guru yang ikut me-
rokok.
360 - Ilham Kadir

“Wah… mana bisa Ustadz, itu peraturan sudah saya


buat sebelum pondok ini ada.” Jawab Kiai Said.
“Tapi… Ustadz… di atas guru-guru banyak yang me-
rokok..!” lapor Ustadz asal Lombok ini, tanpa ragu-ragu.
“ Apa?” Kiai Said bertanya dengan nada tinggi. Be-
lum lagi sempat terjawab, ia kembali mencecar.
“Siapa saja yang merokok?”
“Hampir semuanya Ustadz…”
“Coba Sebutkan!” Pinta Kiai Said, seakan ingin tau
siapa saja yang melanggar aturan yang paling banyak
menelan korban ini.
Awwab pun menyebut satu per satu, ketika menye-
but namaku, Pak Kiai terkejut.
“Jadi Iwan juga merokok…” Tanya Kiai dengan nada
tinggi.
“Betul Ustadz!” jawab Awwab Mantap.
“Panggil dia sekarang!”
Ustadz Awwab pun bergegas datang ke BKS me-
manggil aku, di antara sekian perokok ternyata akulah
satu-satunya yang dipanggil berkaitan masalah ini.
“Tadi Ustadz Awwab datang ke sini, dia melapor…
katanya guru-guru banyak yang merokok, sampai dia
minta peraturan larangan merokok agar dihapus. Kamu
juga merokok ya..?”
“Iya, Ustadz, tapi cuma coba-coba saja,” jawabku
membela diri.
“Kamu itu, seharusnya menjadi contoh dari guru-
-guru lain, kalau Kamu melanggar pasti yang lain juga
Negeriku di Atas Awan - 361

akan ikut… memang akhir-akhir ini saya pernah ber-


mimpi ada seekor kalajengking dalam kantong baju
saya… ya, Kamu itulah kalajengkingnya…” Kata Kiai
Said sambil menunjuk batang hidung saya.
“Maaf Ustadz, saya akui saya memang bersalah…”
“Iya, tapi jangan ulangi lagi…” Jawabnya ketus.

Kalau saja ada yang disebut ‘mazhab mimpi’ maka


Kiai Said tidak salah jika diajukan sebagai imamnya, be-
tapa tidak, seluruh kejadian-kejadian penting dalam hi-
dupnya dapat ia ketahui lebih dahulu lewat mimpinya.
Termasuklah masalah perceraiannya dengan Bunda Ha-
sanah, yang sebelumnya sudah bermimpi kalau kelak
akan hanya ada satu istrinya yang menemani beliau di
akhir hayatnya. Bukankah pondok ini ada karena mim-
pi? Karena pondok ini ada sehingga aku, dan ribuan ma-
nusia lainnya telah merasakan gurihnya ilmu. Jadi secara
kausalitas, kami ada karena mimpi. Sekali lagi, ini semua
berasal dari mimpi sang Kiai.
Tentang mimpi, secara garis besar, ada dua kemung-
kinan: pertama Kiai Said akan memimpikan Anda, atau
Anda akan memimpikan dirinya. Yang pertama akan ter-
jadi jika yang dimimpikan itu adalah orang-orang yang
paling dekat dengannya, atau minimal Pak Kiai meng-
anggap yang bersangkutan memiliki peran penting baik
dalam hidupnya maupun perkembangan dan kelang-
sungan pondok, adapun yang kedua, sebaliknya, yaitu
362 - Ilham Kadir

jika yang bersangkutan butuh akan diri Kiai Said, baik


itu nasihat, doa, petuah, berkah, dan sejenisnya.
Untuk yang pertama, sebagaimana yang berlaku
pada diriku, ketika merokok dengan teman-teman, de-
ngan sigap mimpi itu datang sebagai media informasi
kepada Kiai Said berupa kalajengking yang masuk dalam
kantong bajunya. Ia artikan sebagai bentuk musuh da-
lam selimut. Untuk yang kedua, aku juga pernah menga-
laminya, ketika masih duduk di kelas empat KMI, waktu
itu aku sering melanggar dengan berkunjung ke rumah
penduduk, menonton televisi, hingga menginap di rumah
orang kampung. Rupanya, aku sudah dimata-matai oleh
pengasuhan santri dan segenap jasus-jasus lainnya. Dan
jika saja waktu itu aku tertangkap basah kedapatan ber-
kunjung di rumah penduduk maka pasti aku diusir saat
itu.
Anehnya, pada waktu itu, setiap aku menginap di
rumah orang kampung, selalu saja aku bermimpi me-
lihat Kiai Said membacakan pengumumam pengusiran
yang menyebut namaku di hadapan seluruh santri. Di
lain kesempatan. Dengan terang dalam mimpiku dia da-
tang memarahiku karena aku terlalu sering melanggar.
Karena informasi dari mimpi itu sehingga aku kembali
sadar, dan tidak mengulangi lagi kebiasaanku yang se-
ring melanggar Garis-garis Besar Haluan Pondok.
Lain halnya dengan cerita dari salah satu tetangga
Kiai Said, yang tidak lain adalah mertua Ustadz Arif, dia
pernah bermimpi, dalam mimpinya ia menemukan Kiai
Negeriku di Atas Awan - 363

Said berbaring di sisinya, ia pun terperanjat dan berkata


padanya, “Kenapa Kamu ada di sini? Kamu kan bukan
suamiku, dan kita bukan mahram…” sang Kiai dalam
mimpi itu dengan santainya menjawab, “Jangan khawa-
tir, saya ada di sini untuk memberimu berkah!” Kelak,
mertua Ustadz Arif betul-betul mendapatkan berkah,
yang paling menonjol, setiap peristiwa besar yang akan
terjadi dalam diri maupun keluarganya dapat diketahui
olehnya lewat mimpi atau pun melalui firasat.
Aku, pada suatu saat pernah bertanya kepada Kiai
Said tentang orang-orang yang memimpikan dirinya,
termasuk aku, “Sudah banyak orang yang datang me-
lapor kepada saya karena sering atau pernah bermimpi
akan saya, namun tak satu pun yang mengatakan kalau
akibat dari mimpinya itu akan mendatangkan keburuk-
an, tapi selama ini Alhamdulillah selalu mendatangkan
berkah dan kebaikan.” Jawab Kiai Said.
364 - Ilham Kadir
Pintu 43
Assikalaibeneng

A
da banyak momen yang sangat bermakna dan
bersejarah selama aku dekat dengan Kiai Said,
di antaranya pada saat musyawarah yang diada-
kan seminggu sekali, tepat pada hari Kamis, musyawa-
rah ini disebut ‘Kamisan’ demikian sebutannya karena
diadakan pada hari Kamis.
Isi pembahasan beragam, bermula dari pemaparan
kegiatan bagian pengasuhan santri, disusul bagian pen-
didikan, kemudian bagian penggerak bahasa, serta ba-
gian-bagian lainnya. Musyawarah ini mirip dengan rapat
kabinet pada tatanan pemerintahan pusat. Kiai Said se-
bagai presidennya.
Usai memaparkan seluruh kegiatan serta ragam
problematika pondok, maka tibalah saatnya Kiai Said
memberikan wejangan. Dan inilah yang ditunggu-tunggu
segenap guru. Isi wejangan banyak berisi petuah-petuah
yang porsi utamanya berhubungan dengan kaum Hawa.
Kiai Said memang terkenal vulgar dalam memba-
has ‘bab nikah’ bagian yang sangat dinanti-nanti oleh
para guru,

365
366 - Ilham Kadir

“Dalam mencari pasangan, carilah yang sekufu’91…”


Kiai Said memulai pembahasan.
“Sedapat mungkin hindari menikah dengan pe-
rempuan kota, carilah yang berasal dari desa, jika ingin
berjuang. Orang kota sangat susah dikendalikan, mereka
lebih kritis dan tidak mudah tunduk kepada suami, lain
halnya dengan wanita kampung, umumnya mereka lebih
mudah dikendalikan dan pekerja keras…”
Memang Kiai Said banyak tau tentang ragam wa-
tak wanita, di samping beliau pernah menikah sebanyak
lima kali, juga memiliki istri yang beragam latar bela-
kang, pernah menikah dengan wanita yang berasal dari
golongan orang kaya, orang kota, dan yang biasa-biasa
saja. Selain itu beliau juga memiliki ilmu tentang wanita,
konon ilmu wanita ini beliau dapatkan sewaktu nyantri
di MAI Sengkang. Beliau memiliki beberapa guru yang
membahas khusus tentang kaum Hawa. Untuk itulah ia
ahli di bidang ini. Dan dapat menikah sebanyak lima kali.
Hal yang sering diulang-ulang oleh beliau tentang
pernikahan adalah pemahaman terhadap tujuan perni-
kahan itu sendiri. Sebagaimana yang sering dibahas oleh
Kiai Said, di antara tujuan pokok pernikahan menurut-
nya untuk Membentuk keluarga dan melepasakan diri
dari kebimbangan dan kehancuran hidup. Bagi laki-laki
dan perempuan, hidup membujang tak ubahnya dengan
nasib seekor burung yang tidak memiliki sarang.

91 Sepadan.
Negeriku di Atas Awan - 367

Menyalurkan dorongan seksual. Kebutuhan seksu-


al dalam diri manusia sangatlah krusial dan vital. Oleh
sebab itulah seorang pasti memerlukan suami atau istri
sebagai pasangan hidupnya sehingga menjadikan dirinya
aman dan nyaman, serta selamat dari perbuatan zina
yang merupakan salah satu dari dosa besar.
Memperbanyak keturunan. Melalui pernikahan,
seseorang dapat menghasilkan banyak keturunan yang
merupakan salah satu tiang penyangga kehidupan ru-
mah tangga, sekaligus akan menjaga ketenangan serta
ketentraman suami isteri.
Menambah rezeki. Orang yang hidup membujang
ibarat hanya bekerja dengan satu tangan, tapi orang
yang sudah memiliki pasangan hidup ibarat memiliki
dua tangan yang dapat melakukan aktivitas secara sem-
purna. Begitulah perumpamaan yang telah diberikan
oleh Kiai Said, sehingga jangan takut menikah karena ia
akan mendatangkan rezeki. Pikiran dan pendapat yang
mengatakan bahwa menikah akan mempersulit hidup
agar disingkirkan jauh-jauh. Justru dengan menikah Al-
lah akan memudahkan urusan duniawi maupun ukhrawi
kita.
Menambah kualitas ibadah. Banyak hadits Nabi
yang menekankan agar kita menikah walaupun ia bu-
kanlah perkara yang fardhu hanya mustahab dan sangat
dianjurkan karena dengan menikah nilai ibadah kita
bertambah limapuluh persen bahkan lebih. Separuh
dari agama terletak pada pernikahan. Di antaranya Ra-
368 - Ilham Kadir

sulullah  bersabda, “Jika seorang hamba menikah, maka


ia telah menyempurnakan separuh agamanya dan jagalah
separuhnya yang tersisa.” Imam Ja’far bin Muhammad
as-Shidiq berkata, “Salat dua rakaat yang dikerjakan
orang yang telah menikah lebih baik dibandingkan 70
rakaat yang dikerjakan orang yang belum menikah.”
Memang diakui oleh para santri dan guru-guru ter-
masuk aku. Bahwa duduk berguru di hadapan Kiai Said,
ibarat membuka ensiklopedia kehidupan. Seakan lem-
baran-lembaran masa depan kita, bisa diperoleh dari be-
liau, atau minimal menjadi bekal untuk masa yang akan
datang. Beliau tidak hanya bersumber dari ilmu-ilmu
syar’i, tapi juga tidak jarang dipadukan dengan ilmu
lontara yang berhubungan dengan pernikahan. Seperti
mengenai prihal yang harus dimiliki bagi seorang calon
suami, beliau menegaskan, “ Penuhilah tiga hal berikut
sebelaum menikah… Aju yang berasal dari bahasa Bugis
berarti kayu, atau dalam bahasa lainnya bahan bakar,
atau alat untuk memasak dan bahan baku untuk dima-
sak. Dalam arti yang lebih khusus, seorang suami akan
dikatakan bertanggung jawab terhadap rumah tangga-
nya jika mampu memberikan nafkah ma’isyah untuk ke-
luarganya. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor utama
dan terpenting dalam keutuhan sebuah rumah tangga
adalah adanya kestabilan ekonomi. Tanpa yang satu ini,
keluarga sangat susah untuk hidup rukun dan harmonis.
Walaupun materi bukan segala-galanya, tetapi jika diiba-
ratkan sebuah bangunan maka ia temboknya sedangkan
pondasinya agama dan atapnya nafkah batin.
Negeriku di Atas Awan - 369

Waju artinya pakaian. Makna yang lebih luas ada-


lah tempat tinggal dan kendaraan. Dalam sebuah rumah
tangga, pakaian, tempat tinggal dan kendaraan sebagai
penunjang untuk mencapai keluarga yang penuh dengan
sakinan mawaddah wa rahmah.
Aju-aju bermakna nafkah batin (syahwat). Sebuah
rumah tangga tidak akan utuh kalau seorang suami tidak
memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah batin
terhadap istrinya. Begitu pula seorang istri, bisa menun-
tut cerai suaminya jika terbukti tidak dapat memberikan
nafkah biologis pada pasangannya. Ini juga sangat vital
dalam sebuah keutuhan rumah tangga. Dengan adanya
nafkah biologis, sebuah pasangan suami istri dapat men-
datangkan keturunan (zurriyat) sebagai salah satu mak-
na dari sebuah ikatan pernikahan dalam rumah tang-
ga…”

Sebagaimana yang aku lalui bersama dengan guru-


-guru lainnya, selain membahas masalah pra nikah, sang
Kiai juga memberikan porsi yang banyak tentang hal-
-hal yang berhubungan dengan pasca nikah, yang secara
umum dianggap tabu untuk dikonsumsi publik. Untuk
itulah, dalam pembahasan ini beliau adakan pengajian
khusus, yang hanya guru-guru laki-laki saja. Diadakan
pada malam hari, waktunya pun eksidental, tidak regu-
lar.
Di antara pembahasan Kiai Said yang dianggap sa-
ngat penting adalah tata cara, waktu, dan doa-doa dalam
370 - Ilham Kadir

melakukan hubungan intim bagi pasangan suami istri.


Hakikatnya, begitu banyak catatan terkait tentang ilmu
bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan
istrinya di atas kasur dan bagaimana seharusnya seorang
istri melayani suaminya. Sungguh banyak, bahkan ter-
lalu banyak, tetapi tidak semua apa yang disampaikan
Kiai Said ditulis dalam novel ini yang pasti akan dibaca
banyak anak-anak yang belum masuk masa balig, dan ta-
kut pula nanti ilmunya disalahgunakan pihak-pihak yang
berkepentingan tapi tidak bertanggungjawab.
Satu saja, cukup satu, hanya mengenai kapan waktu
untuk melakukan hubungan suami-sitri. Sebaiknya, me-
nurut Kiai Said, diatur dan disesuaikan dengan kondi-
si pasangan, bahkan lebih daripada itu, waktu juga bisa
berdampak signifikan pada anak yang dihasilkan, pada
umumnya jika suami mengajak istrinya melakukan hu-
bungan di saat menjelang tidur, maka pasangannya me-
rasa dimuliakan, dan diperlakukan dengan penuh kasih
sayang. Namun jika melakukan hubungan di saat istri se-
dang tertidur maka ia akan merasa dianggap sebagai bu-
dak seks dan hanya sebagai pemuas nafsu belaka. Selain
itu anak yang dihasilkan kelak jika bersenggama pada
awal malam kemungkinan akan berkulit putih, jika te-
ngah malam maka akan berwarna gelap pula, jika antara
Isya dengan tengah malam maka akan melahirkan anak
yang warna kulitnya kemerah-merahan, namun jika
dilakukan tatkala terbit fajar akan menghasilkan anak
yang putih dan berseri-seri. Banyak pilihan, bukan? Se-
suai selera masing-masing.
Negeriku di Atas Awan - 371

Bagaimana pun, Kiai Said menganggap bahwa ku-


alitas anak baik fisik maupun psikis dipercaya mulai
terbentuk sejak kedua orangtuanya melakukan persetu-
buhan. Kualitas yang dimaksud mencakup warna kulit,
jenis kelamin, raut wajah, pertumbuhan otak EQ dan IQ,
serta mental dan sifat-sifat lainnya.
Pada dasarnya Kiai Said, banyak memberikan be-
kal-bekal yang sangat bermanfaat bagi para guru-guru
baik pra atau pasca nikah. Sebuah keuntungan buat aku
pribadi karena sempat membukukan ragam petuahnya,
yang kelak aku ketahui kalau ternyata ilmu tersebut ba-
nyak yang berhubungan dengan pendapat Ibnul Qayyem
al-Jauziyah dalam kitabnya at-Tibbun Nabawi, namun
yang terbanyak sepertinya berasal dari kitab Assikalaib-
ineng.
Assikalaibineng adalah bentukan dua kata dasar ya-
itu kata lai ‘laki-laki’ dan kata bine atau baine ‘perempu-
an’. Dua kata dasar ini sebagai kata sifat kemudian mem-
bentuk kata majemuk yaitu “laibine”. Kata majemuk ini
kemudian mendapat imbuhan berupa awalan rangkap
“a+si+ka” serta akhiran ng yang berfungsi membentuk
status kata dasar sifat jenis kelamin berubah menjadi
kata assikalaibineng yang berarti “hal ihwal hubungan
suami istri –hubungn seksual-”. Assikalaibineng secara
semantik diartikan sebagai pengetahuan yang membica-
rakan tentang hubungan ke-suami-istri-an.
Di dunia ini, banyak bangsa yang telah memiliki per-
adaban tinggi, termasuk kebudayaan pastinya. Di antara
bangsa-bangsa tersebut ada yang merekam kebudayaan
372 - Ilham Kadir

seks mereka dalam bentuk oral maupun manuskrip. In-


dia dengan kamasutra-nya sebuah kitab fantastik karya
Vatsyayana, kitab yang menyajikan wawasan seksualitas
bagi manusia sebagai jalan hidup untuk mencapai mok-
sa. Bangsa Romawi juga memiliki literatur bernama Ars
Amatoria -the arts of love-, karya Publius Naso. Di Indo-
nesia, setidaknya ada dua suku yang memiliki kitab seru-
pa di atas, suku Jawa dengan Serat Nitimani, merupakan
jenis dari sastra Wulang yang membahas tentang pendi-
dikan seks Jawa sebagai tuntunan hidup pria yang akan
berumah tangga. Kalangan masyarakat Bugis, termasuk
suku yang berbudaya karena banyak menulis dan mem-
buka ragam ilmu pada masa silam, salah satunya yang
dikenal dalam lontara adalah Kitab Assikalaibineng. Ini-
lah salah satu keuntungan bagi suku yang memiliki aksa-
ra sebagai media untuk mengabadikan pengetahuan dan
peristiwa masa lampaunya, keberadaan aksara ini telah
melahirkan maha karya seperti I La Galigo yang menjadi
karya sastra klasik terpanjang di dunia, belum dan ti-
dak ada duanya. Keberadaan kitab Assikalaibineng yang
mengajarkan masalah hubungan seksual menunjukkan
bahwa pengetahuan tersebut menjadi salah satu bagian
penting dalam masyarakat Bugis sebagaimana yang di-
kuasai serta diajarkan oleh Kiai Said.
Assikalaibineng menyajikan ilmu berupa pelajar-
an dan tuntunan yang berhubungan dengan seks secara
benar bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas hu-
bungan intim. Atau juga merupakan wawasan mengenai
Negeriku di Atas Awan - 373

hakikat relasi suami istri yang bukan sekadar bermakna


biologis namun juga berdimensi psikologis, sosial, serta
spiritual. Tatacara berhubungan seks sebagaimana dalam
Assikalaibineng merupakan sejenis practical knowledge,
karena menyajikan pengetahuan yang dapat dipraktik-
kan langsung oleh masyarakat dalam kehidupan rumah
tangga. Pengetahuan di atas dapat menjadi tuntunan bagi
keluarga dalam berhubungan intim yang dikendalikan
oleh nilai-nilai culture velue budaya Bugis yang selaras
dengan semangat nilai-nilai Islam. Islamic value. Konsep
assikalaibineng tidak memandang seks sebagai perilaku
yang kacau chaos dan bebas nilai free of value. Melain-
kan sebuah perbuatan manusia yang memiliki nilai ideal
berdasarkan pada nilai-nilai budaya Bugis yang sejalan
dengan agama Islam. Oleh sebab itu, sistem kebudayaan
Bugis menempatkan Assikalaibineng sebagai pengetahu-
an positif dan bermanfaat bagi masyarakat luas dalam
pembinaan seksualitas keluarga, sebagai salah satu sya-
rat terciptanya keharmonisan rumah tangga, yang me-
rupakan salah satu tujuan dasar pernikahan.
374 - Ilham Kadir
Pintu 44
First Love Never Die

M
enjadi public relation di pondok, membuat
aku sebagai manusia super sibuk. Melayani
tamu yang tak henti-hentinya hilir mudik
dari beragam penjuru.
Namun di balik itu semua, tidak sedikit manfa-
at yang aku dapat. Mulai dari berkenalan dengan para
orangtua santri hingga para pejabat maupun pengusaha
yang datang ke pondok. Semuanya harus melewati aku
jika ingin bertemu Pak Kiai.
Maksud dan tujuan para tamu tersebut juga sangat
beragam, namun pada umumnya mereka datang untuk
berjumpa Kiai Said untuk didoakan, atau kemungkinan
juga minta berkah di samping menyalurkan bantuan
tentunya. Namun ada juga yang sangat penasaran de-
ngan sosok Kiai yang memiliki ragam kelebihan ini, un-
tuk itulah ia datang dari kejauhan hanya untuk sekadar
berjumpa dengannya, bahkan ada yang dari Negeri Jiran.
“Saya ingin bertemua dengan Pak Kiai!” pinta sang
tamu.
“Bapak dari mana ya?” tanyaku.

375
376 - Ilham Kadir

“Owh… saya dari Johor Malaysia.” Jawabnya de-


ngan aksen khas orang Melayu.
Sang tamu yang kelak kuketahui kalau namanya
Haji Abdussaad bin Abdullatief, beliau datang jauh-jauh
dari Johor beserta istri dan anaknya, khusus untuk be-
tertemu Kiai Said.
“Dari mana bapak mendapatkan informasi tentang
Pak Kiai?” tanyaku sambil menunggu kedatangan Kiai
Said dari rumah Utara.
“Kami sekeluarga memiliki kebiasaan keliling In-
donesia, terutama pulau Sumatera dan Jawa, tujuan
utama kami berkunjung ke pondok-pondok agar dapat
bertemu dengan Kiai-kiai… sewaktu kami ke Sumatera
kami bertemu dengan salah satu Kiai sepuh di sana, be-
liau menyarankan kepada saya agar pergi ke Sulawesi
dan berjumpa dengan Kiai Said, katanya beliau memiliki
beragam kebolehan yang tidak ada duanya, bahkan me-
nurut penuturannya, Pak Kiai seorang wali. Salah satu
buktinya, banyaknya santri yang sekolah tanpa harus
membayar…” terang H. Abdussamad dengan gamblang
tentang maksud kedatangannya.
“Bapak sendiri di Malaysia kerja apa?” tanyaku tan-
pa beban.
“Ini kartu nama saya!” katanya sambil menyodor-
kan kartu namanya kepadaku.
Setelah kubaca ternyata beliau seorang kepala se-
kolah menengah. Kartu itu pun aku masukkan dalam
saku bajuku, tanpa punya maksud apa-apa.
Negeriku di Atas Awan - 377

“Nanti kalau ke Malaysia mampir di tempat saya,


saya juga punya sekolah!” tawarnya padaku.
Kata ‘Malaysia’ sebenarnya masih asing bagiku, be-
lum pernah terpikir olehku untuk menginjakkan kaki di
negeri jiran itu. Hinggalah suatu saat Ustadz Arif datang
ke Pitu-pitu, memang beliau rutin ke sini, karena istrinya
memang orang asli Pitu-pitu, rumahnya persis di depan
pondok. Kampus lama.
Ketika beliau bertandang ke pondok, sempat ber-
temu dan berbincang-bincang denganku, menceritakan
pengalamannya selama kuliah di International Islamic
University Malaysia.
“Saya di sana hanya dituntut untuk belajar, diberi
fasilitas berupa tempat tinggal, makan, dan uang saku…”
Ujar Ustadz Arif, memulai ceritanya.
“Syarat-syaratnya kalau ingin kuliah di sana, apa
saja ustadz?” tanyaku.
“Persiapkan Bahasa Arab dan Inggris, itu modal
utamanya.” Jawabnya singkat.
“Kira-kira, kalau saya ingin kuliah di sana ada ke-
mungkinan, tidak?”
“Ada, pasti ada. Nanti saya kirimkan formulirnya,
tapi di samping itu Ente daftar dulu di salah satu pergu-
ruan tinggi di sini, jadi nanti bisa mengambil program
transfer student.” Usul ustadz ahli kaligrafi ini.

378 - Ilham Kadir

Waktu terus bergerak, beranjak, maju, tak tertahan.


Tidak terasa pula aku sudah di ambang tahap penyele-
saian tempo pengabdian. Rasanya sudah cukup masa
untuk menemani Kiai Said. Selain pondok sudah mulai
sembuh dari sakit, guru-guru baru yang datang dari be-
ragam asal semakin banyak. Jika selama ini didominasi
oleh alumni PM Gontor, maka saat ini sudah berbeda.
Yang banyak justru mereka berasal dari pondok-pondok
yang dianggap cabang atau mengadopsi sistem KMI dan
masih tetap berafiliasi ke PM Gontor.
Karena aku merasa bahwa ayahku yang memasuk-
kan aku di pondok ini, jadi dia jugalah yang harus me-
mintakan aku izin sebelum meninggalkan pondok. Alas-
an utamaku ingin melanjutkan pendidikan, perguruan
tinggi yang aku pilih adalah Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN) Bone. Sesuai dengan saran Ustadz Arif tentunya.
Aku termasuk mujur, karena banyak teman-teman
yang berdomisili di Kota Bone, salah satunya adalah te-
man akrabku, Hamsah. Jadi ketika aku memiliki keingin-
an untuk melanjutkan pendidikan di Kota Arung Palakka
ini, maka tentu saja Hamsah sangat mendukung dan bah-
kan banyak membantu. Begitu pula ketika pendaftaran,
salah satu orangtua santri rela membatuku, yang pada
dasarnya aku harus ke Kota Bone untuk mengambil dan
mengembalikan formulir namun hal itu tidak perlu aku
lakukan. Cukup dengan modal ijazah, dan foto ukuran 2
x 3 dan 4 x 6 masing-masing dua lembar, dan selang be-
berapa hari kemudian aku sudah dapat nomor tes yang
Negeriku di Atas Awan - 379

menyatakan kalau besok aku harus ikut tes di kampus


STAIN Bone.
Aku pun berangkat meninggalkan Pitu-pitu, menuju
Bone. Tapi ini belumlah untuk selamanya. Hanya ikut tes
lulus masuk STAIN.
Sesampainya di terminal, aku cukup menelpon
Hamsah lewat public phone, dengan segera dia datang
dengan motor bapaknya yang berplat warna merah. Di-
nas. Dalam sesaat aku sampai di rumahnya.
“Ya, udah. Tinggal di rumahku saja, tidak usah
ambil tempat kos, kapan masuk kuliah?” kata Hamsah
setelah kuutarakan maksud kedatanganku untuk kedua
kalinya ke kota ini.
“Kalau tidak ada halangan sekitar dua minggu lagi.
Ujian masuknya besok.”
“Oke, besok saya antar Ente ke kampus.”
“Tapi kalau saya tinggal di sini, apa tidak masalah
dengan kedua orangtua dan adik-adik Ente?” tanyaku.
“Tidak akan ada masalah, kan ada kamarku sendi-
ri, kita satu kamar aja. Sama seperti di Pondok Darul
Qurra’ dulu.”
Hamsah memang temanku yang paling tau tentang
keadaanku, mulai sejak di pondok. Selain Azis tentunya.
Untuk itulah ketika aku hendak melanjutkan kuliah,
maka dia yang pertama bersedia membantuku.
Ketika kami berdua sedang asik-asiknya berbin-
cang-bincang, tiba-tiaba masuk seorang gadis berse-
ragam Madrasah Aliah Negeri, baju putih dengan rok
380 - Ilham Kadir

abu-abu, rupanya sangat elok, paras mukanya cantik nan


berseri, bulu matanya lentik, biji matanya terlihat sangat
bersih baik warna hitam maupun putihnya, alis matanya
hitam dan tebal, kulit pipinya putih kemerah-merah-
an, bibirnya tipis dan merah mengkal, barisan giginya
sebelah bawa ada yang ginsul, terdapat tahi lalat pada
dagunya sebelah kiri makin menambah aroma kecantik-
annya. Bukan hanya cantik tapi ia juga manis dan jelita.
Tingginya taksirku tidak kurang dari 156 cm, itu dapat
kuukur dengan tinggi badanku yang menggapai 161 cm.
beratnya tidak akan lebih dari 43 kg. Dia lumayan slim
semampai. Dalam diri gadis ini, terhimpun kecantikan,
keayuan, kejelitaan, dan keshalihan sekaligus. Tubuhnya
terbungkus dalam seragam sekolah yang kelihatan long-
gar, kerudungnya yang labuh, sehingga dapat menutup
seluruh postur bagian depan dan belakang tubuhnya. Ti-
dak sama dengan anak sekolah menengah kebanyakan.
Ini sungguh spesial. Setelah kuplototi dengan seksama
dan sesingkat mungkin. Owh… rupanya aku kenal ga-
dis cantik nan jelita ini, dia adalah Indah. Yang selama
dua tahun tidak penah aku jumpai lagi, bahkan lebih.
Terakhir aku ke sini ketika mengantar Hamsah pulang
dari Pitu-pitu. Waktu itu ia masih mengenakan seragam
MTs dan masih terlihat kekanak-kanakan. Namun kini
sangat berbeda, jauh berbeda. Terlihat dewasa, dan tidak
banyak bicara.
“Eh… kok diam, seperti baru lihat saja adikku?”
sambar Hamsah.
Negeriku di Atas Awan - 381

“Iya… dulu masih MTs jadi sudah agak lupa muka-


nya, saya kira orang lain tinggal di sini,” jawabku seakan
pura-pura lupa akan adiknya.
“Dia sudah kelas dua Aliyah.”
“Di mana?” tanyaku lagi.
“Sama dengan sekolah saya dulu, di MAN I Kota
Bone.”
“Owh…” Jawabku sambil menganggukkan kepala,
aku berusaha menahan takjub agar Hamsah tidak me-
naruh curiga akan ketertarikaku pada adiknya, kalau itu
sampai terjadi, maka aku tidak akan tinggal di rumah-
nya. Tidak mungkin.
“Ente istirahat saja dulu, ayo mari ke kamarku…”
ajak Hamsah.
Kami pun beranjak ke kamar yang dulu pernah aku
tidur di dalamnya. Hanya hitungan menit, ketika aku dan
Hamsah sedang ketawa terbahak-bahak mengingat ke-
lakuan kami di pondok, tiba-tiba ada yang ketuk pintu.
“Kak… ini air panas, teh manis,” terdengar suara
merdu. Pasti suara Indah, terkaku.
“Masuk saja sini…” kata Hamsah mempersilahkan
adiknya masuk di kamar kami, tanpa beranjak. Dan ter-
kaanku benar adanya. Itu memang Indah.
Kulihat sekilas mukanya, telapak tangan, dan ujung
kakinya, karena hanya itulah yang bisa ternampak. Sung-
guh putih, mulus, dan entah apa lagi.
Pikiranku sudah mulai kacau, entah kenapa, se-
hingga apa pun yang keluar dari kata-kata Hamsah,
382 - Ilham Kadir

semuanya aku iyakan saja. Aku sungguh terhipnotis de-


ngan Indah.
Jujur, selama ini, selama bertahun-tahun aku di
pondok, belum pernah merasa merasakan dahsyatnya
ketertarikanku pada sosok wanita melebihi saat ini. Aku
tidak mampu berkata-kata menggambarkan perasaanku
saat ini. Mungkin inilah yang disebut mabuk kepayang.
“Inilah mungkin yang disebut cinta pertama, seba-
gaimana pernah kudengar bahwa ia tak kan mati, first
love never die, tapi masalahnya. Maukah dia sama aku.”
Gumamku dalam hati.
“Saya ke koperasi dulu ya? Ente sepertinya kelelah-
an…” kata Hamsah membuyarkan lamunanku.
“Oke Bos…”
Aku pun meneguk teh manis made in Indah.
Pikiranku terus terbanyang akan dirinya, tidak
henti-hentinya. Tidak ada kekurangan yang bisa kute-
mukan pada anak gadis itu. Sungguh sempurna.
Tenaga pikiran yang seharusnya aku fokuskan un-
tuk ujian masuk STAIN besok pagi, kini telah kulupakan,
bahkan sirna. Besok perkara besok, hari ini fokus pikir-
anku untuk Indah semata.
“Bagaimana caranya agar aku bisa mengenalnya,
minimal dapat berbicara, dan kalau bisa jalan bersama,
paling tidak ke sekolahnya. Tapi, itu tidak mungkin, sia-
palah yang tertarik padaku. Mustahil rasanya dia dapat
jatuh hati padaku. Dan bahkan simpati pun tidak…” pi-
kirku.
Negeriku di Atas Awan - 383

“Tapi bukankah di mana ada kemauan di situ ada


jalan, idza shadaqal ‘azmu wadhahas sabil.” Begitu kata
hikmah yang pernah kupelajari di kelas satu KMI.
“Aku akan buktikan, kalau Indah dapat jatuh hati
padaku, dengan caraku sendiri, dan tanpa diketahui oleh
keluarga ini, tidak boleh ada yang tau. Kecuali aku de-
ngan Indah.” Gumamku.
Malam itu, bakda Isya, aku dengan Hamsah ma-
kan malam bersama di rumahnya. Kulirik Indah, oh dia
sedang membaca sebuah buku cerita, tepatnya sebuah
novel berjudul ‘Lalila Majnun’ itu aku tau setelah kuper-
hatikan dengan mencuri-curi pandang ke arahnya, yang
duduk tidak jauh dari meja makan.
Dalam benakku, sudah kudapatkan satu jalan, mi-
nimal untuk berkomunikasi dengannya. Aku akan tanya-
kan padanya tentang buku bacaan yang ia sukai. Aku akan
pura-pura bertanya, suatu saat. Atau bisa jadi besok. Ya,
besok aku mau ke sekolahnya setelah selesai ujian. Aku
akan ketemu dirinya. Indah, pujaan hatiku. Akan kube-
ranikan diriku bertemu denganmu esok. Tunggu saja!
384 - Ilham Kadir
Pintu 45
Surat Cinta

S
eperti informasi yang telah kuperoleh sebelum-
nya, tentang materi dan tingkat kesulitan ujian
kemasukan STAIN, untuk alumni KMI seperti aku
pastinya tidak akan kesulitaan. Dan itu tepat. Ujian yang
materinya hanya Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dasar
membuat tangan ini lancar menjawab seluruh soal-soal,
yang menurutku ujian KMI jauh lebih susah.
Ujian berlangsung tidak lebih dari setengah hari
dari dua materi di atas. Selanjutnya pengumuman kelu-
lusan akan diumumkan seminggu mendatang, seminggu
selanjutnya pendaftaran ulang dan orientasi kampus.
Siang itu, aku tidak kembali lagi ke rumah Ham-
sah, usai melewati ujian, perasaan begitu lega dan tanpa
beban. Keinginanku tadi malam untuk menemui Indah
di sekolahnya tetap terjaga dengan tekad bulat. Aku di-
untungkan dengan posisi sekolah tempat Indah belajar,
berada tidak jauh dari terminal Kota Bone, dan merupa-
kan jalan utama rute Bone Sinjai. Jadi aku bisa sekalian
berangkat dari depan sekolah MAN I tempat Indah bel-
ajar usai jumpa denganya. Pikirku.

385
386 - Ilham Kadir

Begitu sampai di gerbang MAN I Watampone, aku


dihadang oleh Satpam,
“Mau kemana?”
“Saya mau jumpa siswi yang namanya Indah, Pak...”
jawabku mengutarakan tujuan kedatanganku.
“Kelas berapa?” tanya Pak Satpam dengan intonasi
Bahasa Indonesia khas orang Bone.
“Kelas dua Pak.” Jawabku singkat.
“Silahkan tunggu di sini Dik.” Kata Pak Satpam
sambil menunjukkan kursi tempat duduk di samping
pintu gerbang itu.
Tidak berapa lama kemudian Indah pun datang
bersama dengan dua teman lainnya.
“Owh… Kak Iwan, ada apa Kak?” sapa Indah dingin.
“Hmm, tidak ada apa-apa Dik, cuma sekadar mam-
pir saja, tadi dari kampus mengikuti ujian masuk, tapi
sudah selesai, jadi kakak ingin pulang langsung ke pon-
dok, trus lewat di sini, jadi sekalian saja saya mampir.”
Jawabku bertele-tele mencari alasan yang tepat, agar dia
tak curiga. Dan bertanya, “Kakak mengganggu, tidak?”
“Tidak kok Kak!”
“Lagi belajar, tidak?” tanyaku pura-pura.
“Baru selesai, sedang pergantian pelajaran. Jadi Kak
Iwan langsung balik ke pondok, tidak mampir ke rumah
lagi?”
“Iya, kakak langsung pulang saja, soalnya Kak Ham-
sah juga kerja, nanti minggu-minggu depan juga kakak
ke sini lagi kok. Oh ya, kakak mau tanya, Dik Indah suka
baca buku novel ya?”
Negeriku di Atas Awan - 387

“Iya, Kak, suka, tapi tidak sembarang novel, adik


suka kalau novelnya berlatar belakang sejarah.” Jawab-
nya terang.
“Hmm, buku cerita Seribu Satu Malam mau tidak?”
tawarku padanya.
“Mau Kak, mau sekali, adik penasaran sekali ten-
tang buku itu, Kakak punya?”
“Iya, Kakak punya.”
“Bisa dipinjam, tidak Kak?”
“Tidak usah dipinjam, kakak kasih saja sama In-
dah.”
“Yang benar Kak…” tanya Indah heran.
“Iya, kakak akan kirim besok atau lusa, lewat pete’-
pete’ saja ya?”
“Terserah Kak Iwan saja, makasih ya Kak…”
“Sama-sama Dik…”
Kami pun berpisah, Indah kembali menuju ke da-
lam kelasnya dan aku menyetop pete’-pete’ jurusan
Bone-Sinjai, untuk selanjutnya berhenti dan singgah di
Pondok Pitu-pitu.

Semenjak pertemuan itu, hatiku selalu berbunga-


-bunga, seperti berada di awan-awan. Melayang, melam-
bung tinggi ke angkasa. Kebahagiaanku tak bisa kugam-
barkan dengan apa pun. Mengalahkan perasaan seorang
calon presiden yang telah menang pemilu, atau kegem-
biraan seorang petinju yang telah menghempaskan la-
388 - Ilham Kadir

wannya di atas ring dengan kemenangan mutlak knock


out. Aku benar-benar telah mengetuk pintu harapan dan
disambut dengan baik. Ya, aku memiliki peluang yang
besar untuk mendapatkan Indah. Aku sangat yakin.
“Kenapa Ente kok kelihatan sumringah begitu?”
tanya Jurman ketika ia melihat aku tersenyum sambil
berbaring malam itu di dalam kamar.
“Saya mendapatkan dua kebaikan dalam perjalan-
anku ke Kota Bone selama dua hari ini.” Jawabku sok
puitis.
“Bisa kami ketahui bersama, apa gerangan keba-
hagiaan itu?” kali ini Afif yang angkat bicara dan turut
penasaran.
“Pertama saya telah mengikuti ujian masuk kuliah
di STAIN dan seluruh soalnya kujawab dengan tuntas,
dan kedua saya telah menemukan dambaan hati sebagai
cinta pertamaku.”
“Yang pertama sudah basi, yang kedua yang mena-
rik. Siapakah wanita itu?” tanya Jurman.
“Namanya Indah, dia adiknya temanku yang juga
pernah mondok di sini, tapi cuma dua tahun lebih.”
“Dia tertarik tidak sama Ente?”
“Kalau saya perhatikan mimik mukanya, sepertinya
ada kemungkinan, tadi sudah saya mampir di sekolah-
nya, dan sempat berbincang-bincang walau hanya sesaat.
Dia ada respon.”
“Hmm, jangan lupa, cinta wanita itu berbeda de-
ngan lelaki. Wanita lebih membutuhkan perhatian dan
Negeriku di Atas Awan - 389

kasih sayang ketika memilih pasangan, berbeda dengan


lelaki yang lebih banyak bersandar dari paras dan postur
wanita. Ingat itu…” nasihat Jurman padaku.
Masalah cinta memang Jurman pakarnya, sewaktu
berada di Lombok menurut pengakuannya, dia sudah
hampir menikah cuma saja tidak direstui oleh ayahnya.
Ayahnya mau agar dia menghafal Alqur’an sebelum me-
nikah. Untuk itulah dia ke pondok ini. Dia sangat paham
akan yang satu ini, sementara aku sendiri baru kali ini-
lah merasakan jatuh hati dengan sepenuh jiwa kepada
makhluk lawan jenis. Dulu sebenarnya aku pernah me-
nyimpang perasaan terhadap seorang sisiwi SMA Negeri
Palattae. Sewaktu mengajar di sana, siswi itu bernama
Anna, tetapi karena di sana kami dituntut untuk jaga
image ‘jaim’ di samping sibuk mengajar sambil belajar,
jadi akhirnya perasaan itu hanya datang dalam tempo
yang tidak lama alias singkat kemudian akhirnya ter-
lupakan. Di samping aku memang tidak pernah kenal
langsung serta berkomunikasi dengannya, baik oral mau
pun coretan tinta. Lebih tepatnya sekadar naksir sesa-
at, belum merambah kedalam lubuk hati yang terdalam,
sebagaimana perasaanku dengan Indah saat ini. Ibarat
orang kehausan karena puasa, ia ingin sekali meneguk
air minum, namun terbentur oleh ketetapan syariat.
“Cinta juga membutuhkan pengorbanan, jangan
terlalu terbuai dengan keindahan dan kesenangan se-
mata-mata, karena orang yang tak pernah menderita ka-
rena cinta sesungguhnya tak pernah mengenal cinta. Jika
390 - Ilham Kadir

rasa itu tak pernah pula melukai, itu juga bukan cinta.
Cinta membuka yang selama ini tertutup, menyadarkan
yang belum pernah disadari, mencemerlangkan yang tak
terlihat, memuliakan yang tak terhargai. Cinta melam-
bungkan harapan ke langit. Tapi jika ia dikecewakan ia
akan menyayat hati sampai ke dasarnya. Camkan itu!”
Nasihat Jurman padaku, kali ini ia berlagak sebagai mo-
tivator.
“Terima kasih banyak atas saran Ente yang sangat
berharga ini, akan aku sematkan dalam dadaku, dan ku-
amalkan dengan segenap kemampuanku.” Jawabku pa-
danya.
“Oh ya, sekalian saya ingin beritahu ke Ente, kalau
saya dengan Jurman akan minta izin ke Pak Kiai, kami
berdua juga ingin melanjutkan kuliah di Makassar, tepat-
nya di IAIN Alauddin.” Sahut Afif.
“Kok mendadak begitu?” tanyaku heran.
“Iya, saya juga baru dapat telepon dari orangtua,
agar lekas mendaftar mumpung masih ada waktu, ka-
tanya minggu ini pendaftaran masih terbuka, jadi besok
kami akan menghadap Pak Kiai.”
“Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar, yang
penting kita terus berhubungan, nanti saya kasih nomor
telepon rumah tempat tinggalku di Bone.” Ujarku.
Ternyata benar, keesokan harinya Afif dan Jurman
pergi bersama menghadap Kiai Said, tepat bakda Subuh
setelah mangolo.
Negeriku di Atas Awan - 391

Mereka berdua pun dilepaskan, dengan berat hati


tentunya, karena Kiai Said pada dasarnya masih sangat
membutuhkan bantuan kedua temanku ini.
“Al-Hamdulillah kami berdua sudah minta izin, dan
diizinkan.” Lapor Afif padaku pagi itu.
“Apa kata Kiai Said?” tanyaku penasaran.
“Katanya, ‘terimah kasih banyak karena sudah
membantu pondok, saya minta maaf karena tidak bisa
memberi apa-apa’, itu kata-katanya yang membuat aku
benar-benar tidak enak.” Terang Afif menirukan perka-
taan Pak Kiai.
“Kita ke sini saja sudah merepotkan Pak Kiai, sudah
bisa menghafal Qur’an, diajari beragam ilmu, termasuk
ilmu dan pengamalan tentang keikhlasan, dan beragam
lainnya yang hanya bisa kita dapatkan pada diri beliau.
Ehh, malah berterima kasih pada kami! Benar-benar
manusia langka…” sahut Jurman.
“Itulah kehebatan Pak Kiai, selalu mengeluarkan
kata-kata yang sarat makna dan tidak akan pernah kita
lupakan untuk selamanya, bahkan dapat menjadi sumber
inspirasi.” Timpal Afif.
“Jadi, kapan berangkat?” tanyaku pada mereka ber-
dua.
“Kalau lancar dan sesuai kehendak, kemungkin-
an lusa kami berangkat, karena masih ada beberapa
hal yang harus saya laporkan ke kantor KMI, terutama
pengalihan jam pelajaran. Ente sendiri kapan masuk ku-
liah?”
392 - Ilham Kadir

“Sekitar dua atau tiga minggu lagi.”


“Kok lama sekali?”
“Sebenarnya minggu depan sudah harus masuk
mendaftar ulang, satu minggu selanjutnya sudah ospek.
Tapi saya tidak mau ikut ospek, sekalian juga saya mau
habiskan mata pelajaran saya. Jadi yang menggantikan
kelak hanya tinggal mengulang saja.” Terangku pada me-
reka berdua
“Kenapa tidak mau diospek, memang kenapa?” ta-
nya Afif penasaran.
“Menurutku ospek itu pembodohan bahkan seje-
nis penjajaahan, dan harus segera dilenyakpan di muka
bumi ini, sebab menghilangkan hak-hak asasi setiap ma-
hasiswa… lihat saja nanti, lambat laun akan mendatang-
kan masalah, karena sama sekali tidak ada manfaatnya.
Kuyakin pasti akan dihapus kelak, kuyakin itu…” Papar-
ku sok tau.

Siang itu, selesai mengajar, aku kembali ke kamar,


mengambil secarik kertas surat. Mengeluarkan pena
dari saku baju, selanjutnya menulis surat buat Indah ter-
cinta. Surat ini akan kuselipkan ke dalam buku ‘Seribu
Satu Malam’ yang akan kukirim ke Indah besok pagi le-
wat pete’-pete’.
Negeriku di Atas Awan - 393

Buat Adik Indah


di-
Madrasah Aliah Negeri I Watampone
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur al-Hamdulillah kita panjatkan kepada Allah
swt, yang telah menciptakan segala sesuatunya ber-
pasang-pasangan; pagi dan sore, siang dan malam,
hitam dan putih, baik dan buruk, air dan api, asin
dan tawar, bumi dan langit, dunia dan akhirat, surga
dan neraka, Adam dan Hawa, lelaki dan wanita…
Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala se-
suatunya dengan berpasang-pasang!
Adalah sebuah keistimewaan buat kakak dapat ber-
jumpa dan mengenal Indah, kendati sudah pernah
berjumpa beberapa tahun lalu. Namun pertemuan
dua hari yang lalu adalah yang sangat berkesan buat
kakak.
Semenjak pertemuan itu, kakak selalu merasakan ke-
hadiran adik dalam benak kakak. Kakak tidak tau,
apakah nama perasaan itu. Suka? Ya, sepertinya be-
gitu. Tapi untuk mengutarakan secara oral merupa-
kan hal yang mustahil bagi kakak, lewat surat inilah
kakak tumpahkan perasaan kakak yang menggele-
gak serta membuncah. Sebuah perasaan yang tinggi-
nya melebihi Gunung Latimojong Enrekang, derasnya
mengalahakan tsunami yang terdahsyat sekali pun.
Perasaan kakak begitu tulus adanya, tanpa rekayasa
394 - Ilham Kadir

apalagi intervensi dari siapa dan apa pun. Kakak


tidak begitu peduli apakah Indah memiliki perasaan
yang sama atau tidak. Yang kakak harapkan agar in-
dah tau perasaan kakak yang terpendam ini. Surat
ini adalah penyambung lidah, sekaligus rasul yang
amanah dari Kak Iwan. Percayalah!
Adik Indah yang baik hati…
Ini, Kak Iwan kirim buku cerita ‘Seribu Satu Malam’
yang telah kakak janjikan, mudah-mudahan berman-
faat buat adik. Bacalah baik-baik serta tutuplah ra-
hasia ini serapat mungkin, hanya untuk kita berdua…
Sekian, semoga selalu dalam lindungan Allah swt,
dan semoga senang senantiasa… amien ya Rabb!
Wassalam
Pitu-pitu
Kak Iwan.

Sesungguhnya diri ini hanyalah bermodalkan nyali


yang kuat, sedikit senjata berupa terampil dalam meng-
olah kata menjadi kalimat yang menurutku enak dide-
ngar, entah pula menurut orang lain. Ini semua berawal
semenjak aku menjadi Ketua Bagian Penerangan. Bagian
yang paling banyak tampil di depan publik, selain itu yang
tidak kalah besar peranan pentingnya dalam mengatrol
kepercayaan diriku adalah ketika mengemban tugas se-
bagai public relation pondok. Karena beragamnya manu-
sia yang terpaksa aku hadapi, sehingga aku secara tidak
Negeriku di Atas Awan - 395

lansung belajar tata cara berkomunikasi dengan baik,


setidaknya menyamakan persepsi lawan bicara. Kalau
diterapkan dalam tatanan hubungan kepada lawan jenis,
tidak berlebihan jika dimisalkan mempengaruhi lawan
jenis agar dapat tertarik untuk diajak berkomunikasi,
bahkan mungkin lebih.
Tapi mungkin juga pada diri ini telah terkena tem-
pias berkah dari Kiai Said, karena kedekatanku padanya.
Itu mungkin saja, secara alami. Seorang penjual minyak
wangi misalnya, jika duduk saja bersamanya kita pun ikut
harum, tidak jauh beda dengan tukang las, jika duduk
bersamanya pasti keciprat apinya. Nah, apa bedanya jika
keseringan duduk dengan seorang panrita sekaliber Kiai
Said? Pastinya lambat laun akan mendapatkan berkah
darinya. Jadi, bisa saja dalam diri ini ada sedikit berkah
yang menempel, walaupun lebih tipis dari daki. Mungkin
saja. Dan inilah semua yang makin menjadikan keperca-
yaan diriku terus melaju dan mengarah pada level out of
control. Selalu merasa kalau segala upaya jika dilakukan
dengan sungguh-sungguh akan berhasil. Banyak inspira-
si dari pelajaran mahfuzat akan hal ini. Mulai dari Man
Jadda Wajada, siapa yang sungguh-sungguh akan berha-
sil; Man Sara ‘ala ad Darbi Washala, siapa yang berjalan
pada jalannya akan sampai pada tujuan; Man Zara’a Has-
hada, siapa menanam akan menuai; Man Shabara Zha-
fira, siapa bersabar akan berhasil; Idza Shadaqal ‘Azmu
Wadhaha as Sabil, jika tekad sudah bulat pasti jalan akan
terbentang luas, dan banyak lagi.
396 - Ilham Kadir

Perkataan hikmah di atas yang kita sebut mahfuz-


hat telah tersemat dalam benak setiap santri KMI sejak
tahun pertama di pondok. Inilah seakan-akan yang men-
jadi sejenis obat anti biotik para santri yang terserang
penyakit malas, atau ibarat suplemen bagi santri yang
terbius penyakit loyo, atau sejenis cairan infus bagi me-
reka yang terserang dehidrasi, atau ibarat anti septik tuk
para pengidap kudisan. Setiap mahfuzhat selalu memba-
wa energi tersendiri, hingga setiap santri, termasuk aku
memiliki kekebalan dalam kegagalan. Bagi kami hanya
ada satu jalan, yaitu berhasil. Dalam arti yang luas, ter-
masuk urusan asmara –lebih tepatnya mengejar cinta.
Aku sangat yakin, jika bersungguh-sungguh dan disertai
usaha yang gigih plus doa-doa yang mustajab, terutama
di waktu pergantian masa, fajar menuju siang, dan mag-
rib menuju malam. Dengan izin Allah akan terkabulkan.
Apalagi kalau hanya menaklukkan hati wanita dambaan-
ku. Kurasa aku bisa.
Aku yakin kalau energi yang terkandung dalam su-
rat cinta yang telah kukirim ke Indah akan menusuk ke
sanubarinya, menembus jantung dan hatinya. Besar ke-
mungkinan akan terekam di benaknya. Kalau ia sampai
jatuh hati padaku. Berarti cintaku tak bertepuk sebelah
tangan, melainkan akan menjadi cinta pertama buat In-
dah.
Perkara lumrah jika aku sebagai lelaki mendam-
bakan cinta pertama dari seorang wanita, sebagaimana
seorang wanita mengharap cinta terakhir dari seorang
Negeriku di Atas Awan - 397

lelaki. Jika ternyata benar Indah juga suka, maka ia sa-


ngat beruntung karena cintaku untuknya adalah yang
pertama dan akan kujadikan untuk terakhir kalinya.
Muda-mudahan aku tidak masuk dalam kategori
sebuah syair,
Kullu yadda’ie hubban lilayla
Wa layla la tuqirru lahum bidzalik.
Semua mengaku dicintai oleh si jelita
Padahal si jelita tidak mengakui cinta mereka.
398 - Ilham Kadir
Pintu 46
Pesan Terakhir

K
endati sudah mendaftar masuk kuliah di STAIN
Bone, aku tetap saja melaksanakan tugas seba-
gai guru dan wali kelas lima KMI plus meng-
amban tugas Humas. Juga sebagaimana biasanya, tetap
rutin ke rumah Kiai Said, namun saja sudah aku kurangi
volume pertemuanku dengannya. Di samping karena aku
sibuk mengawasi santri juga memberi kesempatan kepa-
da guru-guru lain agar dekat dengan Pak Kiai.
Malam itu, aku turun ke bawah, berbincang-bin-
cang dengan Kiai yang rupanya telah tau tentang aku
yang telah mendaftar ke STAIN Bone, entah beliau dapat
informasi dari mana. Sebelum aku utarakan keinginanku
untuk melanjutkan pendidikan di level perguruan tinggi
beliau terlebih dahulu seakan tau akan apa yang ada da-
lam benakku.
“Kalau hendak kuliah dan berniat untuk belajar,
tak masalah. Tetapi jangan terlalu banyak berharap
akan mendapatkan ilmu yang cukup dari bangku kuliah.
Apalagi untuk mencapai derajat mujtahid. Ingat, kalau
seluruh ulama yang pernah hadir dalam sejarah, bahkan

399
400 - Ilham Kadir

hingga saat ini, mayoritas berasal dari otodidak, oleh ka-


rena itu nasihat saya, perbanyaklah buku-buku dan ba-
nyak-banyaklah membaca…” begitu ia menasihati.
Mujtahid yang dimaksud Kiai Said adalah yang ber-
hak mengeluarkan fatwa atau yang memiliki otoritas
dalam berijtihad, untuk menggapai level itu, setidaknya
seseorang harus menguasai beberapa ilmu di antaranya:
memahami Alqur’an beserta sebab nuzul92 serta nasikh93
dan mansuknnya94; memahami hadits riwayat dan dira-
yat; memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa
Arab; mengetahui masalah-masalah yang menjadi ijma’
ulama; mengetahui Ushul Fiqh serta maqashid asy-
-Syari’ah95; memahami masyarakat dan adat istiadatnya;
bersifat adil dan takwa. Selain itu ada beberapa syarat
tambahan yang juga menurut Kiai sangat penting, yakni
siapa saja yang bermaksud menarik petunjuk hukum Is-
lam menyangkut satu masalah, maka ia harus memiliki
pengetahuan yang memadai tentang masalah tersebut.
Jika masalah yang dibahas berkaitan dengan ekonomi,
maka diperlukan pengetahuan ekonomi. Jika berkaitan
dengan biologi maka pun ilmu tersebut harus dipahami,
karena jika tidak, maka akan menghasilkan keputusan
yang dapat merugikan umat.
Seakan mengetahui akan kepergianku, pada wak-
tu “Kamisan” Kiai Said menumpahkan segala apa yang
penting untuk bekal bagi siapa pun terlebih untuk para
92 Turun.
93 Yang menghapus atau pengganti.
94 Yang terhapus, atau tergantikan.
95 Tujuan utama ketetapan hukum.
Negeriku di Atas Awan - 401

penuntut ilmu, beliau seakan telah merangkum nasihat-


nya. Dan seperti biasa, hal itu tidak pernah aku lewatkan
untuk kuikat dengan tali berupa pena dalam buku agen-
da, berikut nasihatnya yang lebih berharga dari gunung
emas dan lautan mutiara sekali pun:
Kalau kalian ingin mengerjakan suatu pekerjaan
pertama-tama perbaiki niat.
Bila ada rencana hendak mengerjakan suatu peker-
jaan yang berat sebaiknya dirikan dahulu salat is-
tikharah atau salat hajat dua rakaat, lalu berdo’a
minta petunjuk semoga Allah memberikan kemudah-
an atas rencana-Nya.
Sabar dan bertahanlah menghadapi segala tantang-
an dan cobaan, karena hal itu mutlak adanya.
Biasakan berkata benar dan jangan suka berdusta
sekalipun bermain-main.
Bila kalian ingin memperluas dan memperdalam
ilmu, lepaskanlah sifat kefanatikan, jangan fanatik
guru, ulama tertentu, ataupun fanatik mazhab.
Pelajarilah Ilmu yang dua belas (12) karena itu da-
pat memudahkan untuk mengetahui isi dan tujuan
Alqur’an dan hadits serta kitab-kitab lainnya. (ilmu
nahwu, sharaf, fiqhi, tafsir, tauhid, hadits, mustha-
lah hadits, mantiq, ma’ani, bayan, badi’, dan ushu-
lul-fiqh).
Pelajarilah sejarah hukum dan sejarah lainnya yang
ada kaitannya dengan agama Islam.
Usahakan memiliki dan memperbanyak kitab-kitab,
terutama kitab para Imam mazhab.
402 - Ilham Kadir

Tetaplah berusaha mengetahui dan mengamalkan


tuntunan Alqur’an dan Hadits Shahih yang telah
dicontohkan atau digariskan oleh Rasulullah  dan
para sahabat serta para ahlussunnah dari segi aqi-
dah dan ibadah.

Pada dasarnya aku sendiri masih merasa betah un-


tuk setia mendampingi Kiai Said dalam mengurus pon-
dok, tetapi di lain pihak aku juga punya cita-cita untuk
kuliah di Negeri Jiran. Aku sangat terobsesi dengan ce-
rita-cerita Ustadz Arif tentang fasilitas dan iklim pendi-
dikan di sana, di samping itu dari segi kemapanan eko-
nomi, sepertinya Malaysia masih menjadi pilihan utama
bagi pahlawan devisa negeri ini.
Di lain pihak, sudah tidak sedikit alumni PM Gon-
tor yang pernah mengajar dan menghafal Alqur’an di
sini berhijrah ke Malaysia. Mereka kebanyakan kuliah
sambil mengajar anak-anak di sana. Katanya materinya
yang dasar-dasar saja, seperti fardhu ‘ain, belajar baca
tulis Alqur’an, serta hafalan surah-surah pendek. Aku
pun rajin mencari info akan keberadaan mereka di sana,
dan satu-persatu akhirnya aku temukan alamat mereka.
Salah satunya, Ustadz Rosyid yang pernah menjadi
wali kelasku sewaktu duduk di kelas tiga KMI. Alamat
dan nomor teleponnya sudah aku genggam, aku dapat-
kan informasi itu dari salah seorang guru baru yang per-
nah ke Malaysia dan berjumpa mantan wali kelasku itu.
Negeriku di Atas Awan - 403

Sebuah fonomena tersendiri, bagi anak pondok


yang pernah tinggal dalam satu kampus dan satu guru.
Masing-masing merasa diikat oleh satu orangtua, Kiai
Said dan Bunda Hasanah. Terutama pada awal-awal pe-
rintisan pondok. Kami betul-betul diikat oleh simpul
ukhuwah yang tiada taranya, seakan melebihi saudara
kandung sekalipun. Kami saling bantu-membantu, bahu-
-membahu dalam meringankan beban teman-teman
yang membutuhkan bantuan, sesuai kemampuan tentu-
nya. Minimal saling memberi informasi tentang peluang-
-peluang yang kira-kira sesuai dengan keahlian.
Hari-hari terakhirku di pondok aku habiskan de-
ngan merampungkan seluruh materi pelajaran, melim-
pahkan beban tanggungjawab kepada sesama guru yang
dapat meneruskan. Termasuk tugas Humas yang aku
minta kesediaan Ustadz Ya’qub untuk menduduki posi-
siku.
“Ustadz… saya minta tolong agar antum yang me-
nangani Humas mulai saat ini, karena saya ingin melan-
jutkan kuliah di STAIN Bone.” Pintaku padanya.
“Coba jelaskan, kenapa mesti meneruskan kuliah di
STAIN, itu sangat tidak level untuk Antum!”
“Sebenarnya saya bukan ingin kuliah sampai selesai
di sana Ustadz, ini hanya sebagai batu loncatan saja.”
“Maksudnya?”
“Begini Ustadz, saya ingin mengambil transfer stu-
dent ke International Islamic University Malaysia, jadi
saya harus masuk kuliah dulu di sini, minimal satu se-
404 - Ilham Kadir

mister. Ini juga sesuai saran Ustadz Arif, jadi saya ikuti
saja, mudah-mudahan bisa berjalan sesuai harapan…”
“Kalau memang begitu, Insya Allah biar saya yang
menduduki posisi Antum sebagai Humas, dan saya doa-
kan agar keinginan Antum untuk kuliah di Malaysia bisa
terwujud. Oh ya, kapan berangkat ke Kota Bone?”
“Minggu depan, kalau tidak ada halangan.”
“Sudah ada pengumuman kelulusan?”
“Sudah, katanya nama saya di urutan kedua ter-
tinggi. Bahkan pendaftaran ulang juga sudah selesai. Tapi
saya tidak ke kampus karena diwakili oleh teman. Se-
benarnya minggu ini sudah harus masuk kampus untuk
ikut ospek tapi saya tidak mau ikut.”
“Sudah izin ke Pak Kiai?”
“Sudah!”
“Apa katanya?”
“Beliau diam saja.”
“Okelah kalau begitu, semoga sukses...”
“Terima kasih Ustadz.”
Pintu 47
Oh Indahku…

S
ekitar satu windu aku mengenyam pendidikan di
pondok yang dinakhodai oleh Kiai pemilik ra-
gam kemampuan yang sulit ditembus batas nalar
dan logika ini. Jika Anda hanya mendengar kabar ten-
tang dirinya, kupastikan kalau Anda tak kan percaya.
Mana mungkin ada orang yang kerjanya hanya duduk di
kursi sepanjang hari sambil ngeteh dan merokok dapat
memberi makan manusia yang jumlahnya tidak kurang
dari tujuh ratus orang? Mana ada orangtua yang hanya
mengenakan baju koko dan sarung setiap hari namun
dijambangi tamu yang datang hilir mudik dari belahan
bumi lain? Bagaimana bisa seorang pimpinan tinggal di
rumah panggung reot dan beratap daun rumbia yang
bocor sana-sini, sedang santrinya tinggal di gedung ber-
tingkat yang berlantai kramik? Mana mungkin… mana
mungkin… dan mana mungkin… pertanyaan-pertanyaan
ini akan terlintas di benak setiap keturunan Adam jika
dideskripsikan tentang sosok Kiai Said.
Namun pertanyaan demi pertanyaan yang terdapat
di benak Anda, jika berkunjung ke pondok seraya ber-

405
406 - Ilham Kadir

temu dengan Kiai Said, akan sirna begitu saja dengan


sendirinya. Akan terjawab. Dan Anda akan tau sendiri.
Itulah yang kusaksikan dan juga kualami selama hidup
dengannya. Suatu kebetulan atau memang garis takdir
dalam hidupku? Entahlah…
Di dunia ini, tak ada yang kekal. Ada tua dan ada
yang muda, perlahan daun-daun menua, mengering, lalu
gugur, dan tergantikan dengan kuncup yang fresh. Ada
yang pergi dan ada yang datang, ada yang gugur dan
ada yang bangkit, ada kematian namun di pihak lain ada
yang lahir, ada yang menang dan ada yang kalah, ada
pertemuan dan ada perpisahan. Tak akan ada pertemuan
tanpa diakhiri dengan perpisahan. Tak pernah ada itu.
Tunjukkan padaku jika memang ada! Kali ini, aku akan
pergi berpisah dengan Kiai Said, dan kuyakin terganti-
kan dengan manusia sejenisku.
Patah tumbuh hilang berganti, tiba masa tiba akal…
tulisan itu terpampang, melintang jelas dalam sebuah
sign board depan kantor KMI. Semua yang melewati
rute utama jalan masuk kampus akan melihat tulisan itu
dengan jelas, lengkap dengan tulisan siapa gerangan in-
spiratornya: Muhammad Said nama lengkap Pak Kiai.
Pada bangunan yang sama, berdampingan dengan
Kantor KMI, di dinding gedung koperasi bangunan H.
Dg. Makkita, gerbang utama masuk ke kampus baru,
juga terdapat tulisan dari inspirator yang sama dengan
menggunakan nama lengkap pimpinan tanpa embel-
-embel, lebih baik buta mata daripada buta huruf, lebih
Negeriku di Atas Awan - 407

baik buta huruf daripada buta hati, lebih baik buta hati
daripada buta agama.
Kampus yang memiliki iklim ilmu yang mumpuni,
tempat meningkatkan kecerdasan spritual, emosi, dan
intelektual. Di sinilah tempatnya. Aku sangat beruntung.
Aku merasa seperti itu. Pondok ini ibarat bengkel Pak
Pandai. Yang menempah lempengan-lempengan besi
karat yang tak berguna menjadi keris yang indah me-
liuk-liuk, eksotis. Ia dapat digunakan sebagai senjata me-
lawan musuh, sebagaimana Sultan Hasanuddin dengan
gagahnya mengacungkan keris di hadapan musuh Kom-
peni yang bersenjatakan bedil dan meriam. Dan ia juga
bisa berfungsi sebagai benda pusaka yang tak terkira
harganya oleh kolektor. Itulah pondok. Menyulap ampas
menjadi santan.
Aku. Delapan tahun lalu lebih tak berarti dari am-
pas. Tak punya apa-apa, berangkat dari rumah hanya
bermodalkan dengkul. Tak ada keahlian dalam bentuk
apa pun. Membaca huruf-huruf arab menjadi musuh uta-
maku di kampung. Lembaran mushaf hanya aku pelajari
dengan seksama setelah menginap untuk pertama kali-
nya di rumah Kiai Said. Bunda Hasanah guru sekaligus
ibu yang turut menuntun aku selain Utadz Muhammad
dan Ustadz Rahman untuk dapat membaca dan mengah-
afal Alqur’an hingga khatam. Tak dapat kubayangkan
kalau aku memilih jalan lain.
Ini semua akan menjadi kenangan yang terindah
dalam lembaran-lembaran hidupku. Kini, saat ini, lang-
408 - Ilham Kadir

kah baru harus aku tempuh, demi meraih masa depan


yang lebih baik. Toward the better future.
Inilah saatnya untuk berpisah meninggalkan pon-
dok, teman-teman, guru-guru, masyarakat kampung,
dan guruku yang mulia, Kiai Said. Saatnya aku berpisah
dengannya. Dengan berat hati.

Kini benar-benar aku telah pergi meninggalkan


pondok, untuk jangka masa yang tidak terhingga. Sedih,
gelisah, bercampur menjadi satu seakan menyurutkan
semangatku untuk meraih ambisi. Kuliah di Malaysia.
Perasaan inilah yang berkecamuk dalam benakku sela-
ma dalam perjalanan dari Pitu-pitu menuju Watampone
Ibu Kota Kabupaten Bone.
Pikiran-pikaran itu sirna begitu sampai di depan
pintu rumah Hamsah, setelah salam dan dibukakan pin-
tu, aku langsung dipersilahkan masuk ke kamar, sambil
menunggu Hamsah.
“Hamsah belum pulang, masih di koperasi, sekitar
satu atau dua jam lagi, biasanya menjelang salat Asar
dia baru tiba. Tunggu saja di dalam kamar.” Kata Ibunya
yang akrab dipanggil Bunda Nikmah.
Tidak berapa lama, aku juga belum sempat berba-
ring, masih duduk-duduk di meja belajar di depan tem-
pat tidur dalam kamar, tiba-tiba ada suara yang seperti-
nya aku kenal,
“Kak Iwan, ambil air minumnya!”
Negeriku di Atas Awan - 409

Aku bergegas ke depan pintu kamar, kulihat. Oh,


Indah rupanya, aku celingak-celinguk kiri kanan, tak
tampak siapa-siapa kecuali hanya Indah di depanku,
berdiri dengan menggenggam nampan kecil berbentuk
lonjong berisi gelas yang dipenuhi cairan warna kuning.
Cairan markisa, minuman khas orang Sulawesi di musim
panas.
“Terima kasih Kak, atas buku dan suratnya,” kata
Indah yang membuyarkan lamunanku. Aku belum juga
mengambil alih nampan yang digenggam dengan tangan
mulus dan jari lentiknya itu.
“Sa… sa… sama-sama.” Jawabku terbata-bata, sam-
bil mengambil nampan.
Hanya dalam hitungan detik, Indah membelakangi-
ku, menuju ruang tengah, ruang keluarga yang terhalang
oleh tabir. Sempat kulihat betapa mulus tumitnya ketika
mengayunkan langkahnya, walau hanya sekelibat.
Hatiku berbunga-bunga, ada respon. Itu terlihat da-
lam ekspresi wajahnya, dia seakan berkata, “Kak Iwan!
Aku juga punya perasaan yang sama…” ya, mungkin be-
gitu dalam hatinya. Diri ini melayang, melambung ke
angkasa tepat di langit ke tujuh, menyusuri taman-taman
indah nan memesona, berteduh di bawah pohon rindang
yang penuh dengan buah-buahan surgawi, di tengah
taman pelbagai ragam bunga yang tak pernah tampak
dalam belahan bumi mana pun, semerbak harumnya
menyeruak masuk ke hidung lalu ketenggorokan turun
ke jantung, hati, paru-paru, lalu kembali ke hidung yang
410 - Ilham Kadir

mengeluarkan aroma wewangian, menjadikan nafas lak-


sana bau bunga pohon pualam. Di samping kiri dan kanan
taman ini, terdapat dua sungai dari hulu yang berbeda, ia
tepat berada di antara keduanya. Meliuk-liuk. Muaranya
juga terbelah menjadi dua, tertakung dalam dua danau
yang isinya berlainan, satu beningnya melebihi air mata
air dari pegunungan Cisalak Sukabumi namun rasanya
melebihi manisnya madu. Yang satu lagi berwarna putih,
dan rasanya melebihi dari susu yang paling segar sekali-
pun. Aku seakan berada di taman itu, dan bebas minum
dan mandi dari sungai yang mana aku hendaki. Itulah
perasaanku saat ini. Persis.
Jangan pernah ada yang berkata, “Kamu tidak re-
alistis, karena tidak berpijak pada bumi.” Karena jika
Anda berkata demikian padaku, maka akan kujawab,
“memang cinta dapat diukur dengan nalar? Tentu tidak
bukan?” Jawabanku pasti menang. Aku memang menang.
Menang karena telah merebut hati si jelita. Tak terperi-
kan betapa indahnya dunia saat ini. Yang lain semuanya,
persetan. Aku tak mau tau. Yang aku mau, agar perasaan
ini kekal, tak berujung. Aku ingin membawa terbang pu-
jaan hatiku. Merasakan kebahagiaan sebagaimana yang
aku rasakan. Aku adalah pria yang paling beruntung se-
bagaimana dia juga akan bertuah mendapatkan cintaku.
Wahai pujaan hatiku, belahan jiwa, dan sumber energi-
ku! Ketahuilah kalau aku akan menjadikan Adik manu-
sia paling bahagia sepanjang masa…
Negeriku di Atas Awan - 411

Pendek kata, perasaan akan kebahagiaanku tak da-


pat dilukiskan dengan kata-kata, atau pun tinta emas,
juga tak dapat dibayangkan oleh siapa pun, tak mung-
kin terdengar apa lagi terlihat. Perasaanku adalah surga
yang terpatri dalam diriku, yang susah terlintas dalam
benak sekali pun. Satu surga yang luasnya menyamai
bumi dan langit. Penduduknya hanya aku dengan si je-
lita: Indah.
412 - Ilham Kadir
Pintu 48
Ashabus Syimal

M
alam itu, aku dan Hamsah tidak pernah bo-
san untuk mengenang kembali masa-masa
kami di pondok tiga tahun lalu. Terutama ke-
lakuan-kelakuan kami yang dicap oleh Ustadz Yazid se-
bagai ashabus syimal, golongan kiri. Penamaan tersebut
berawal dari kebiasaan kami berkumpul, duduk, menga-
ji, dan makan di bagian sebelah kiri rumah Bunda Ha-
sanah. Ashabus syimal memiliki anggota resmi sedikitnya
empat orang santri sebagai penggerak yaitu, aku, Azis,
Hamsah, dan Hatta, dan yang tidak resmi, jika semuanya
digabung bisa mencapai lima belas santri. Golongan ini
bahu-membahu dalam beragam hal, termasuk melang-
gar disiplin pondok, mulai dari garis-garis besar haluan
pondok maupun garis-garis kecilnya. Pelanggaran utama
kami, keluar malam untuk berkunjung ke rumah orang
kampung. Menonton, makan, bahkan tidur di sana. Ka-
rena pelanggaran ini terorganisir serta tertata dengan
rapi, jadi sangat susah dicium oleh para jasus apalagi
oleh guru-guru KMI.

413
414 - Ilham Kadir

Kami punya data yang akurat, tentang kapan guru-


-guru sibuk dengan dirinya masing-masing, begitu pula
waktu-waktu yang tidak memungkinkan para jasus un-
tuk beroperasi. Mayoritas waktu luang untuk melanggar
terjadi saat jeda antara makan malam dengan salat Isya,
saat itu waktu padat dan sempit. Para santri dikejar wak-
tu untuk makan dengan antrean yang mengular, guru-
-guru juga demikian, mereka semua berada di rumah
Kiai Said untuk makan malam, sementara kami berlima
sudah kongkalikong untuk mendapatkan jatah makan
paling pertama, hanya dalam sekejap makanan ludes. Se-
lanjutnya aksi dimulai, kami pun terbang ke rumah orang
kampung. Selain itu, jam sebelas malam di kala manusia-
-manusia yang hidup di lingkungan pondok sudah istira-
hat, kami justru keluar kelayapan seperti kelelawar atau
burung hantu. Mencari apa yang semestinya tidak boleh
dicari. Tempat hiburan berupa tontonan, atau pun seka-
dar ngopi di warung pinggiran kampung Pitu-pitu, ber-
baur sesama orang kampung. Ternyata entertain adalah
bagian yang tak terpisahkan dalam dimensi hidup manu-
sia. Tak kenal status, dari santri hingga Kiai, dari preman
hingga koruptor. Tak dapat dipungkiri kalau melubernya
jumlah penduduk negeri ini tak terlepas dari kegagal-
an pemerintah menyediakan sarana hiburan bagi kaum
menengah ke bawah, walhasil hiburan mereka berge-
lut di atas kasur dengan pasangan masing-masing, ter-
lahirlah generasi suram karena harus berebut mencari
makan. Satu kursi PNS direbut dengan duaratus empat
Negeriku di Atas Awan - 415

puluh orang. Sementara bagi mereka yang dapat me-


nikmati entertaint –kelas menengah atas—hampir tidak
ada yang memiliki anak lebih dari tiga orang.
Celaka! Di sebuah Subuh yang dinginnya menusuk
sampai ke tulang sum-sum. Ashabus syimal tidak berada
di sudut sebelah kiri. Tempat itu memang area kami, jadi
santri-santri lain malas duduk di situ. Sementara salat
jamaah akan diadakan sekitar sepuluh menit lagi. Yang
datang cuma aku seorang. Yang lain, Hatta, Azis, Ham-
sah dan lainnya menghilang entah kemana. Oh, aku tau,
mereka pasti tidur di serambi rumah orang kampung,
rumah yang letaknya hanya berselang satu rumah dari
rumah ini. Pasti mereka di sana. Aku yakin tadi malam
mereka tidak puas tidurnya, karena menonton televisi
parabola bersama denganku. Aku bergegas menjemput
mereka. Ternyata benar dugaanku. Mereka sedang ter-
tidur pulas.
“Eh… bangun…. bangun… bangun…” Sahutku pada
mereka sambil menendang kakinya dengan pelan satu-
-persatu.
Dengan sigap mereka bangun dan langsung duduk,
matanya dikucek-kucek. Antara sadar dan tidak, seakan
arwahnya belum menyatu dengan jasadnya.
“Tadi Ustadz Yazid curiga, tempat sisi kiri masjid
kosong… dia pasti curiga, cepat bangun! Aku tunggu di
sana, sekarang…” perintahku dengan nada pelan takut
terdengar empunya rumah.
Mereka segera bergegas ke sumur, mengambil air
416 - Ilham Kadir

wudhu, ketika salat jamaah sudah berlangsung. Kecu-


rigaan Ustadz Yazid dan para pengasuhan santri makin
terlihat. Ada yang tidak beres dengan ashabus syimal.
Keesokan harinya, di hari Jumat pagi. Seperti bia-
sa, usai mengikuti lari pagi seluruh santri dikumpulkan
di depan kantor pengasuhan. Kami ashabus syimal, tidak
seorang pun yang menaruh curiga. Karena seperti biasa-
nya, ini kegiatan rutin.
Ketika Ustadz Yazid tampil ke depan, barulah te-
rasa ada yang aneh, karena tak biasanya beliau tampil
seperti saat ini, umumnya setiap hari Jumat para santri
ditangani oleh guru-guru baru yang berfungsi sebagai
pengasuhan pelapis.
Ternyata ini berkenaan dengan ashabus syimal
yang tidak ikut mengaji kemarin Subuh. Hatta, Azis, dan
Hamsah pun dipanggil ke depan di hadapan ratusan san-
tri. Diintrogasi, kenapa tidak ikut mengaji sebelum sa-
lat Subuh kemarin, lagi di mana? Mereka terkunci, dan
akhirnya pasrah, menjawab dengan jujur. Tapi seperti
biasanya kendati yang melanggar ada sepuluh santri na-
mun atas nama setia kawan hanya para pentolan inilah
yang mengaku bersalah.
Hanya hitungan detik, gunting itu menempel di ke-
pala ashabus syimal, dapat dipastikan mahkotanya pun
hilang seketika, berguguran. Kepala menjadi plontos.
Aku kira hukuman mereka hanya sampai situ, ternyata
ini barulah permulaan. Beberapa santri diperintahkan
pergi ke dalam kelas, mengambil dua buah meja belajar,
disambung berjejer di tengah halaman kampus, tepat di
Negeriku di Atas Awan - 417

depan ratusan santri. Ketiga teman kami itu disuruh naik


berdiri di atas meja, dengan rambut sebagian plontos
sebagian lain masih terlihat gundukan, persis sisa tikus
yang telah melahap singkong, tidak teratur. Berbaris di
atas meja. Beberapa saat kemudian. Sebuah tiang beton
untuk bangunan berukuran panjang lima puluh senti
dan diameter dua puluh senti diberikan kepada mereka
untuk diangkat sampai batas waktu tak tertentu. Baru
saja mulai diangkat tiba-tiba seorang pengasuhan santri
membawa ember penuh dengan air bekas cucian disim-
bahkan ke tubuh mereka bertiga. Basah kuyup, dipajang
di atas meja, dan mengangkat beton yang beratnya tidak
kurang dari tiga puluh kilogram selama tidak kurang
dari empat jam. Kejadian ini diabadikan oleh fotografer,
ditempel di dinding pengasuhan dengan komentar, “Si-
apa yang melanggar akan seperti ini, kalau tidak takut.
Silahkan!”
“Kejadian itu adalah saat-saat yang tak akan kulu-
pakan dalam hidupku.” Kata Hamsah sambil mengenang
masa-masa terburuk dan bersejarah selama hidup di
pondok Pitu-pitu.
“Kalau itu, jangankan Ente, itu salah satu sejarah
penegakan disiplin terdahsyat dalam sejarah pondok,
begitu memang watak para pelaku sejarah…” Jawabku,
sambil tertawa.
Itulah pondok, sangat kreatif dalam membuat hu-
kuman agar pelakunya jera, dan santri lain tidak ikut
melanggar. Peraturan tanpa hukuman omong kosong.
Dan hukuman yang tidak melahirkan efek jera adalah
418 - Ilham Kadir

hukuman yang sia-sia.


Kendati para guru-guru KMI telah memberikan
hukuman efek jera kapada kami, walau sudah ada war-
ning di etalase pengasuhan dengan foto-foto di atas.
Tetap saja pelanggaran ada. Seakan tata tertib terbuat
memang untuk dilanggar. Ashabul syimal yang sebagi-
an besar personil intinya telah diplontos rambutnya pun
masih saja berani melanggar. Di pondok, jika santri ber-
hasil melanggar dan selamat, maka ia akan melahirkan
kebanggaan dan sensasi tersendiri.
Banyak santri, sepanjang tahun rambutnya tidak
pernah tumbuh. Bercokol sedikit saja kembali dilibas
dengan gunting, begitulah seterusnya. Mereka ini para
pelanggar ulung yang tidak terorganisir, mereka para
pemain-pemain individualis. Kontras dengan ashabus
syimal yang mengedepankan kolektifitas dan kerjasama
yang apik. Ini semua terinspirasi dari perkataan Imam
Ali bahwa kejahatan yang terorganisir dapat mengalah-
kan kebaikan yang tidak terorganisir. Nah, masalahnya
di pondok itu kebaikan juga diorganisir dengan sebaik
mungkin, jadi kejahatan model bagaimana pun susah un-
tuk lolos. Dan jika memang lolos maka ia akan disebut
the last hero.
Di lain waktu, pada hari Jumat, para personil asha-
bus syimal selain aku, tidak ikut lari pagi. Sebuah pelang-
garan yang lumayan berat. Sebatan rotan minimal tiga
kali menunggu para pelanggarnya.
Kembali ketahuan, dipanggil ke hadapan santri,
Negeriku di Atas Awan - 419

diintrogasi, Hamsah maju ke hadapan, seraya menga-


kui kesalahannya, namun pengakuannya hanya dia saja
sendiri, Azis dan Hatta tidak ikut. Dan pengasuhan pun
percaya, akhirnya ia terkena sebatan rotan sepanjang
delapan puluh senti. Mendera betisnya sebanyak empat
kali. Andai saja Hamsah jujur, Azis dan Hatta pun ikut
terkena. Tapi itulah Hamsah memiliki kesetiaan terha-
dap kawan yang sangat luar biasa.
“Wah, kalau sewaktu itu Ente jujur pasti Hatta dan
Azis juga terkena sebatan…” kataku kembali membuka
file memori tentang pelanggaran ashabus syimal minus
aku saat itu.
“Iya, tapi saya pikir, kalau aku tidak mengaku pasti
semuanya terkena, jadi lebih baik saya seorang saja yang
korban, jangan semuanya!” tutur Hamsah menerangkan
alasannya berbuat begitu. Inilah penyelamatan yang ge-
milang dilakukan Hamsah terhadap kedua kawan kami.
Mengalahkan penyelamatan seorang kiper ketika terjadi
pinalti di akhir lomba final piala dunia.
Menyelamatkan kawan dari hukuman, dianggap
pahlawan. Seperti Hamsah contohnya. Pahlawan asha-
bus syimal. Selalu terkenang sepanjang zaman. Bersenan-
dung di sanubari kami.
420 - Ilham Kadir
Pintu 49
Mutualisme Simbiosis

P
agi itu, aku bergegas mandi dan untuk pertama
kalinya menggunakan parfum atas saran Ham-
sah, aku tak keberatan, toh di kamar ini semua
milik bersama. Selanjutnya meraih tas dan langsung ber-
gegas ke kampus. Adapun Indah, aku perhatikan ia dian-
tar oleh ayahnya, kendati kami satu rumah, tetapi jangan
harap dapat ketemu dan berbincang bersamanya. Jeli-
taku seakan berada di belahan dunia lain. Tidak bisa li-
rik-melirik apalagi melebihi itu. Rumah ini benar-benar
syar’i seratus persen.
Inilah hari pertamaku masuk kampus. Aku luma-
yan diuntungkan antara kampus STAIN dan rumah te-
manku Hamsah, cukup sekali menggunakan pete’-pete’
untuk perjalanan ke kampus, hanya berjalan ke arah
Pasar Sentral. Dari sanalah aku naik kendaraan umum.
Jaraknya pun juga tidak begitu jauh.
Kampusku, tepat bersebelahan dengan Masjid
Agung Assalam Watampone. Begitu memasuki area kam-
pus, aku langsung mencari ruang tempat belajar untuk
Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam PAI.

421
422 - Ilham Kadir

Aku lihat pengumuman yang melekat di dinding senat.


Kuperiksa daftar nama-nama mahasiswa. Tidak sulit un-
tuk menemukan namaku dalam daftar mahasiswa baru
tersebut.
Satu persatu mahasiswa berkepala plontos mema-
suki ruangan, disusul dengan mahasiswi yang kelihatan-
nya masih bergaya anak baru gede ABG, mengenakan
pakaian baju lengan panjang agak ketat, rok yang me-
nutup hingga mata kaki. Terlihat mereka masih malu-
-malu. Inilah wajah-wajah mahasiswa baru, sama dengan
statusku.
Beberapa saat kemudian, kelas PAI—demikian
panggilan akrabnya jurusan pendidikan—telah penuh.
Ternyata inilah kelas yang paling sesak. Satu ruangan
dijejali tidak kurang dari tujuh puluh orang. Dilebur an-
tara mahasiswa dan mahasiswi. Pendaftar untuk jurusan
ini rupanya yang terbanyak. Sekitar seratus lima puluh
orang. Semuanya diterima. Dan dibagi menjadi dua ke-
las, namun karena ruangannya hanya satu. Maka diatur-
lah jadwal masuk kelas. Satu kelas masuk pagi dan yang
lain masuk siang.
Menurut sejarah perkembangan STAIN Watampo-
ne, inilah untuk kali pertama memiliki pelajar melebihi
kapasitas, sebelum ini selalu saja kekurangan. Di sam-
ping faktor sarana yang tidak memadai juga beragam
faktor lain yang menjadikan sekolah ini tidak diminati
oleh masyarakat Kota Bone. Perguruan tinggi ini pada
awalnya hanyalah kelas jauh IAIN Alauddin Makassar,
Negeriku di Atas Awan - 423

dan hanya terdapat satu fakultas, yaitu Fakultas Syariah


Islamiyah. Untuk itulah mahasiswanya sangat terbatas,
di samping masyarakat Watampone lebih suka langsung
kuliah di Makassar. Dibanding harus kuliah di kota sen-
diri yang kampusnya tidak memiliki jurusan lain. Inilah
yang menjadikan IAIN cabang Makassar selama hidup-
nya, mati segan hidup pun tak larat. Mati suri.
Hinggalah datang peraturan baru, semua cabang
dari IAIN agar namanya diubah menjadi Sekolah Ting-
gi Agama Islam Negeri disingkat dengan STAIN, kenda-
ti pada awalnya banyak yang protes bahkan beberapa
kampus terjadi demo, namun lama-kalamaan reda juga
dan akhirnya mereka yang tidak setuju dengan perubah-
an nama tersebut terpaksa akur. Pada dasarnya, menjadi
STAIN lebih berkembang dari sekadar kelas jauh IAIN
kerena STAIN memilikim otoritas untuk membangun
dan berkembang sendiri. Termasuklah STAIN Watam-
pone, tempat aku menimba ilmu.
Inilah kelas pertamaku. Nuansa berbeda ketika aku
masih belajar di Pondok Majelisul Huffazh Pitu-pitu.
Pelajaran pertama yang aku terima adalah Baha-
sa Indonesia. Pelajaran ini terakhir aku pelajari ketika
masih duduk di kelas enam SD 288 Bontocani. Waktu
itu persiapan menghadapi Ebtanas, yang diajar oleh Pak
Ammir. Guruku yang terkenal tak kenal kompromi itu,
seram dan menakutkan.
Ketika masuk di Pondok, selama delapan tahun,
kami tidak pernah belajar mata pelajaran Bahasa Indo-
424 - Ilham Kadir

nesia, tapi dituntut untuk harus berbahasa Indonesia de-


ngan baik dan benar. Itu pun hanya diberi tenggat waktu
paling lama sembilan bulan, setelah itu Bahasa Indonesia
juga sudah harus ditanggalkan untuk diganti dengan Ba-
hasa Arab atau Inggris. Tapi lucunya, dalam ruang kuliah
itu, kendati para teman-taman sekelasku adalah lulusan
SMA yang sudah kenyang dalam belajar teori Bahasa In-
donesia, mereka tetap saja berbahasa Bugis, bahasa ibu
mereka. Di mana-mana termasuk di dalam kelas. Sedang
aku, kendati berasal dari pondok. Sama sekali tidak per-
nah menggunakan Bahasa Bugis indonesian language to-
tally! Untuk itulah banyak yang menyangka kalau aku itu
bukan orang Bugis pada awal kedatangaku.
Aku ikuti mata kuliah ini dengan serius, dan ternya-
ta tidaklah begitu susah, kecuali beberapa istilah-istilah
yang sepertinya harus dihafal makna dan tujuannnya.
Seperti kata ‘konotasi, denotasi’ dan sejenisnya. Juga
penggunaan kata baku dalam berbahasa, seperti yang la-
zim kita baca dan lihat: ‘foto copy’, padahal yang benar
adalah ‘foto kopi’. Dan beragam kesalahan lainnya.
“… dengan bahasa, seseorang bisa diukur dan di-
ketahui di level mana status sosialnya, bahasa adalah
lambang kepribadian. Orang yang berbudi akan bertu-
tur dengan adab dan santun sebagaimana orang yang ti-
dak memiliki pekerti akan bebicara tanpa mengenal tata
krama. Bahasa adalah adab. Oleh itulah sastra dalam
bahasa Arab disebut ‘adab’ karena orang yang bertutur
dengan gaya bahasa penuh sastra, orang yang beradab
Negeriku di Atas Awan - 425

dan penuh makna serta enak didengar, siapa pun lawan


bicaranya akan penasaran mendengarkan lanjutan rang-
akian-rangkain kata dan kalimatnya. Oleh itu berbaha-
salah dengan baik dan benar sesuai kaidahnya, karena ia
akan menentukan status Anda…” papar Pak Dosen keti-
ka menutup pelajaran perdana hari ini.
Pelajaran selanjutnya berupa dikte dalam Bahasa
Arab. Di pondok, kami sebut imla’ tapi di sini cukup di-
indonesiakan. Dikte Bahasa Arab. Pelajaran ini kami pel-
ajari sewaktu di pondok dari kelas satu KMI hingga kelas
lima. Kelas enam sudah tidak butuh lagi, karena pasti
sudah lancar, melebihi kelancaran kami menulis Bahasa
Indonesia. Apalagi sudah menjadi seorang guru.
Pak Dosen, meminta salah seorang di antara kami
agar menulis di papan tulis, dengan cara papan tulis di-
balik membelakangi para mahasiswa.
“Tolong satu orang naik ke atas menulis di papan
tulis, dan yang lain cukup di atas meja dengan menggu-
nakan kertas dan pena. Tulis apa yang saya sebutkan!”
pinta Pak Dosen. Tiba-tiba suasana menjadi hening pa-
dahal semenjak tadi suara kami kedengaran seperti su-
ara lebah yang hijrah karena sarangnya diasapi untuk
dijarah madunya. Tak seorang pun mahasiswa berani
angkat bicara apalagi angkat tangan. Wah, tidak ada yang
berani. Pikirku.
Inilah saatnya aku mencoba, aku pun mengangkat
tangan. Dan dipersilahkan naik ke atas, tepat di bela-
kang papan tulis, mukaku tidak terlihat karena terha-
426 - Ilham Kadir

lang oleh papan tulis dari puluhan mata yang tertuju ke


depan. Yang terlihat dari sekujur tubuhku hanya bagian
celana ke bawah. Jadi aku tidaklah merasa gugup sama
sekali. Lagi pula tampil ke hadapan khalayak ramai hal
biasa bagiku, mulai dari mengajar, imam salat, hingga
ceramah dan khotbah merupakan rutinitas biasa buatku.
Perkataan demi perkataan diucapkan oleh Pak Do-
sen, diulang sebanyak tiga kali, kadang lebih karena se-
bagian mahasiswa tidak dengar dan mayoritasnya tidak
paham. Bagaimana bisa paham, kalau mereka adalah
para lulusan SMA yang jangankan menulis imla’, mengaji
saja masih mengeja. Mereka diterima masuk kuliah demi
untuk mempertahankan hidupnya kampus ini, plus me-
nandakan kalau kampus ini eksis dan kian maju setelah
berganti nama. Mayoritas teman-temanku merupakan
muntahan dari kampus-kampus ternama di Makassar
seperti IKIP, Unhas, dan IAIN. Mereka tidak lulus di Ma-
kassar dan diluluskan di sini. Jadi tebak sendiri kualitas
para mahasiswa angkatan pertama STAIN ini!
Usai menyebutkan kalimat demi kalimat, selama
kurang lebih tiga puluh menit, Pak Dosen kembali mem-
baca ulang dari awal setiap kalimat yang telah dibacakan
untuk ditulis itu. Namun kali ini cukup sekali saja. Fung-
sinya agar yang tertinggal salah-satu perkataan atau le-
bih dapat menyempurnakannya. Usai itu. Papan tulis di-
balik menghadap mahasiswa. Tiba-tiba terdengar suara,
“Wow… bagusnya tulisannya…” suara itu terdengar
dengan serentak. Mereka terkagum-kagum melihat tu-
Negeriku di Atas Awan - 427

lisan dengan gaya khat naskhi karyaku. Bagus, indah,


eksotis! Aku tulis sesuai dengan kaidah imla’ dan khat,
lengkap dengan baris dan liuk-lekuk huruf-hurufnya.
Mereka terkagum. Dan yang paling jatuh cinta adalah
Pak Dosen.
“Kamu lulusan pondok?” Tanyanya padaku seakan
sudah tau dan sekadar memastikan.
“Iya Pak…”
“Luar biasa tulisan Kamu, semuanya benar dan in-
dah… pernah belajar khat?”
“Pernah Pak.” Jawabku. Namun dalam lubuk ter-
dalam hatiku berkata, “ini semua kacang bagiku, aku ini
sudah jadi guru, pelajaran semacam ini sungguh tidak
mendatangkan apa-apa buatku. Sudah terlalu khatam,”
gumamku membangga.
Penampilan pertamaku yang membuat seluruh isi
kelas terpana dan terkagum-kagum padaku. Dan ini
baru babak awal kejutanku.
Materi kuliah ketiga dimulai setelah istirahat seje-
nak. Materinya, bahasa Inggris dasar, pelajaran ini ber-
beda dengan apa yang telah aku pelajari di pondok dulu.
Di sini bahasa inggrisnya dilebur menjadi satu, mulai
dari grammer, reading, structure dan seterusnya. Kali ini
pelajaran Bahasa Inggris dimulai dari materi grammer.
Pak Dosen memulai kuliahnya,
“Adik-adik sekalian, kali ini kita akan memulai pel-
ajaran tata bahasa Inggris yang lazim kita sebut gram-
mer, saya kira kalian sudah pernah belajar selama ini
428 - Ilham Kadir

di sekolah menengah. Untuk itu, tidaklah begitu susah


untuk mengikuti mata kuliah ini. Tapi sebelumnya saya
mau bertanya, ‘apakah ada di antara adik-adik yang ke-
beratan ikut mata kuliah ini?’”, dengan serentak semua
menjawab ‘tidak..!’ Sambil geleng-geleng kepala.
“Baiklah kita mulai, ‘dalam bahasa inggris setiap
kata merupakan bagian dari satu kelompok kata. Dan
setiap kelompok kata memiliki fungsi, posisi, serta pe-
ran sebagai unsur tertentu dalam kalimat. Untuk itulah
perlu kiranya memahami setiap bagian kelompok kata,
karena akan memudahkan kita dalam memahami setiap
kalimat dalam bahasa inggris. Setidaknya ada sembilan
kelompok kata yang kerap dipakai dalam berbahasa ing-
gris. Kelompok kata tersebut adalah, Noun kata benda,
Pronoun kata ganti benda, Verb kata kerja, Adjective kata
sifat, Adverb kata keterangan, Conjunction kata penghu-
bung, Preposition kata depan, Article kata sandang, dan
Interjection kata seru…’”
“… jika kalian telah menguasai kesembilan ke-
lompok kata di atas, termasuk fungsi utama dan kegu-
naannya dapat dipastikan kalian akan tau merakit, me-
mahami, dan mendiagnosa setiap kalimat dengan baik!”
papar Pak Dosen dengan semangat, ditemani dengan
rokok kretak di tangan kirinya. Di sini, dosen dan ma-
hasiswa bebas merokok. Khusus dosen, di dalam kelas
pun ia bebas merokok dan tak ada yang melarang. Dan
sebagain mahasiswa pengikutnya.
Negeriku di Atas Awan - 429

Secara keseluruhan, materi kuliah untuk semister


pertama bertumpu pada ilmu-ilmu dasar. Terutama yang
berkaitan dengan ilmu alat. Oleh karena itulah materi
yang mendominasi jam pelajaran kebanyakan berhu-
bungan dengan bahasa. Arab, Inggris dan Indonesia.

Khusus bahasa arab, berbeda dengan bahasa Ing-


gris, pelajaran ini dibagi menjadi tiga bagian. Nahwu,
sharaf, dan muhadatsah percakapan, kendati masih di-
ajar dengan dosen yang sama. Dosen yang juga menjadi
salah seorang guru di Ma’had Hadis Watampone, sebuah
pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Junaid Sulai-
man. Pak Dosen Bahasa Arab memberikan kuliah de-
ngan menggunakan pengantar bahasa Indonesia, karena
mayoritas mahasiswa sebagai pelajar pemula.
Salah seorang rekan kuliahku berasal dari alumni
Ma’had Hadis juga sering tampil ke depan jika dosen ba-
hasa Arab mengajar, mereka berdua memang telah me-
miliki ikatan emosi sejak di pondok hingga masuk kuliah
di sini.
“Muhaimin… silahkan naik ke atas, coba i’rab96 ka-
limat bahasa arab itu…” perintah Pak Dosen yang ak-
rab dipanggil Kiai Muda. Karena beliaulah yang menjadi
pengganti KH. Junaid Sulaiman semenjak wafatnya se-
tahun yang lalu.

96 Materi pelajaran nahwu yang membedah anatomi kalimat.


430 - Ilham Kadir

Dengan sigap Muhaimin pun naik ke atas, meng-


-i’rab seluruh kalimat-kalimat yang tertulis di papan
tulis dalam waktu sekejap. Yang membuatku kagum ada-
lah kemampuannya membedah anatomi setiap kalimat
sampai ke akar-akarnya dengan panjang lebar, lengkap
dengan contoh-contoh dari Alqur’an atau pun hadis.
“Wah, inilah sainganku…” gumamku dalam hati.
Harus kuakui bahwa kekurangan anak KMI tidak
mendalamnya dalam mempelajari ilmu nahwu, terutama
i’rab, para santri mengenal mata pelajaran ini setelah se-
tahun belajar bahasa Arab dan di kala sudah dapat ber-
tutur. Kendati kami juga belajar meng-i’rab tapi sangat
simple, hanya sekadar mengetahui jenis kalimat, asal,
kegunaan, dan maknanya. Tidak panjang lebar dan ber-
liku-liku sebagaimana santri salafiyah dan rekan kami di
atas. Muhaimin.
Pada hari yang lain, Kiai Muda mengajar materi
muhadatsah, beliau membuat tulisan dengan berisi alur
cerita, diperagakan minimal dua orang ke depan dan di-
saksikan oleh seisi ruangan. Ketika Muhaimin dan seo-
rang rekannnya kembali diminta maju ke depan, maka
dengan sigap mereka berdua pun maju. Namun ketika
ia diminta untuk berdialog sebagaimana tertera dalam
teks yang tertulis di papan tulis kedua mahasiwa itu pun
mulai canggung, berkata dengan terbata-bata dan salah
dalam penyebutan beberapa kosa kata bahasa Arab. Aku
pun mengerti, di sinilah titik kelemahannya. Ia belum
begitu mahir bertutur dalam bahasa Arab namun lancar
Negeriku di Atas Awan - 431

meng-i’rab. Ketika tiba giliranku, aku pun naik ke ha-


dapan. Langsung bercakap dengan Kiai Muda menggu-
nakan bahasa Arab. Yang intinya kalau aku mengajaknya
berdialog. Dan ia pun setuju. Kembali satu kelas terka-
gum-kagum melihat betapa lancarnya aku berbicara de-
ngan menggunakan bahasa arab.
Usai kuliah.
“Kenalkan… saya Muhaimin Muhammadiyah.”
Sapa teman baruku ini sambil mengulurkan tangannya,
aku pun menyambar tangannya dengan sigap.
“Dari Pitu-pitu, bukan?” Muhaimin kembali berta-
nya, sebelum kusebut namaku.
“Ia, benar, saya alumni perdananya.” Jawabku.
Kami akhirnya berbincang-bincang panjang lebar,
ia mengajakku ke kantin. Orangnya supel, sangat ramah
dan humoris, cepat akrab denganku. Kami langsung me-
rasa sejiwa. Tipenya lebih kalem daripada aku. Bodinya
tinggi sekitar 175 centi, berbadan atletis dan berambut
agak ikal dipotong cepak.
“Kenapa kok memilih kuliah di sini?” Tanyaku
kembali memulai pembicaraan di kantin kampus, sambil
ditemani teh manis hangat.
“Sebuah takdir dan keterpaksaan…” jawabnya sing-
kat.
“Maksudmu apa?”
“Saya sebenarnya baru datang dari Jakarta, saya
mengikuti seleksi tes masuk Sekolah Tinggi Pendidikan
Dalam Negeri (STPDN), dari Bone kami hanya berdua
432 - Ilham Kadir

saja, itu setelah melalui proses penyeleksian yang sangat


ketat. Ketika di Ujung Pandang kami kembali ikut tes,
dan saya pun dinyatakan lulus, hingga sampai di Jakarta.
Di sana kami berdua yang mewakil Bone juga lulus, ma-
salah kemudian datang karena harus membayar sejum-
lah uang, katanya uang pelicin sebanyak tujuh belas juta
rupiah. Sebenarnya ayahku mampu dan awalnya terta-
rik juga, tapi saya larang, karena saya ikut tes seleksi
dari tingkat kabupaten, propinsi, hingga pusat, dan se-
lalu lulus. Jadi untuk apa harus membayar uang pelicin.
Bisa saja saya penuhi karena orangtua mampu, namun
itu sangat bertentangan dengan agama dan hati nurani!”
terang Muhaimin dengan gamblang menceritakan lika-
-likunya mengapa ia terdampar di STAIN.
“Sebenarnya saya juga mendaftar di Unhas pada Fa-
kultas Hukum, dan saya juga lulus. Namun saat itu saya
yakin bisa mauk STPDN jadinya saya abaikan saja…”
tambahnya.
“Panjang juga ceritanya ya! Tapi yakinlah ini semua
ada hikmahnya, saya yakim Kamu bakal berhasil sampai
jenjang tertinggi dalam level akademis, jadi kita hadapi
saja. Kalau kita kuliah di sini berarti di sinilah yang ter-
baik menurut Allah buat kita!” hiburku sambil diamini
olehnya.
“Kalau Kamu, bagaimana bisa sampai kuliah di
sini?”
“Keterpaksaan juga. Terpaksa harus kuliah di sini
supaya dapat mengambil program transfer student.”
Negeriku di Atas Awan - 433

“Transfer student? Memang mau pindah kuliah di


mana?”
“Rencana di International Islamic University Malay-
sia.”
“Wah, hebat Kamu.” Jawabnya keheranan.
Semenjak saat itulah kami berdua akrab dengan-
nya, saling mengisi, berdiskusi beragam topik, di sam-
ping orangnya cerdas, dia juga supel dan sangat pemu-
rah. Tapi yang membuat ia suka dekat denganku karena
kemampuanku berbahasa Arab dengan baik dan lancar,
termasuk menerjemahkan kata-kata yang sulit baginya
plus kemahiran aku dalam menulis kaligrafi. Kelebihan-
-kelebihanku inilah yang membuat Muhaimin mendapat
keuntungan dari pertemanan ini. Tambah lagi sebagian
mata pelajaran yang aku anggap rumit ternyata baginya
sangat mudah. Kami berdua benar-benar laksana bu-
rung jalak paru kuning dengan anoa. Mutualis simbiosis.
Ada take and give.
434 - Ilham Kadir
Pintu 50
My First Date

S
eakan terjadi banjir Nabi Nuh jilid dua, awan hitam
pekat menggumpal, laksana tong air yang meng-
angkang lalu memuntahkan segala isi perutnya,
bumi diguyur hujan mahaderas, sedikit demi sedikit di-
genangi air, meninggi, kian meninggi, hingga sawah, per-
kampungan, kota, kebun, hutan, gunung-gunung tinggi,
mulai terlihat rata seperti lautan. Penduduk bumi yang
mampu bertahan adalah mereka yang terangkut naik
ke dalam bahtera. Hanya ada dua perahu besar yang te-
lah tersedia. Satu untuk Kaum Adam satunya lagi untuk
Kaum Hawa. Aku berada dalam bahtera Kaum Adam dan
Indah berada dalam golongan Kaum Hawa. Itulah ibarat
keberadaan kami berdua. Kendati tinggal di bawah satu
atap namun tak pernah sekali pun ada kesempatan untuk
bertemu, walau hanya sekadar pelepas rindu.
Waktu yang tepat untuk menatap wajah ayunya se-
sungguhnya bisa terlaksana di kala makan malam, yang
lazimnya setiap bakda Magrib. Masa itu merupakan
masa-masa jeda, di mana ayah dan ibunya tiada. Mere-
ka berdua pergi ke masjid yang jauhnya tidak kurang

435
436 - Ilham Kadir

dari empat kilometer. Ayah Hamsah adalah pengurus


sekaligus imam di sana. Masjid itu aset organisasi massa
Muhammadiyah. Ayah Hamsah sebagai Ketua Pimpinan
Daerah Muhammadiyah. Menurut pengakuan Hamsah,
ayahnya salat di sana karena hanya masjid itulah yang
murni dari beternak bid’ah dan khurafat di Kota Bone
ini. Mereka tidak pulang ke rumah antara dua waktu sa-
lat di atas karena terlalu sempit, di waktu itu mereka
sekaligus mengadakan semacam diskusi atau pun penga-
jian kecil-kecilan antarsesama komunitas Muhammadi-
yah yang jumlahnya sangat sedikit di kota ini.
Namun sayang, karena ketika aku dan Hamsah ma-
suk ke dapur untuk menikmati santap malam di meja
makan. Indah langsung masuk kamar laksana kura-kura
masuk dalam tamengnya, dan tidak keluar hinggalah
kami selesai mengisi perut, bukan itu saja, dalam kamar
pun tak terdengar kalau terdapat mahluk hidup di sana.
Tipe wanita yang misterius, menggambarkan akan diri-
nya membingungkan. Cuma satu hal yang kupastikan.
Indah sudah suka padaku. Ia telah jatuh hati.
Sudah sebulan lebih aku tinggal di rumah Hamsah,
namun hubunganku dengan Indah masih sebatas rahasia
dalam rahasia. Artinya belum terbukti secara fisik mau
pun oral dengan pengakuan atau tindakan di antara ke-
dua belah pihak. Masih didominasi dengan angan-angan,
spekulasi, dan espektasi yang aku miliki. Indah, seperti-
nya masih tetap berada dalam bahtera lain. Yang airnya
belum juga surut.

Negeriku di Atas Awan - 437

Siang itu, usai kuliah, aku dengan Muhaimin ber-


pisah. Bergegas tidak seperti biasanya, sempat pula ia
bertanya, mengapa aku terburu-buru seperti dikejar in-
duk ayam yang baru menetas telurnya. Karena biasanya
usai kuliah kami masih tetap di kampus kongkow-kong-
kow hingga melaksanakan salat Asar secara berjamaah
di Masjid Agung Watampone. Waktu-waktu luang sering
juga kami pergunakan untuk diskusi tentang pelajaran
sesama teman atau pun membaca ragam buku dengan
Muhaimin di perpustakaan. Yang satu ini, sepertinya se-
lama aku kuliah tidak pernah alpa untuk masuk ke ruang
perpustakaan, baik itu meminjam buku, mengembalikan,
atau pun membaca. Perpustakaan merupakan ruang ke-
dua setelah ruang kuliah dan sebelum kantin.
Aku langsung bergegas mengambil pete’-pete’ ju-
rusan pasar sentral, selanjutnya berjalan ke depan se-
kolah MAN I Watampone. Di depan gerbang aku mema-
tung, sekitar lima belas menit, menunggu lonceng tanda
bubar sekolah berbunyi. Begitu Pak Satpam memukul
lonceng, ‘teng… teng… teng…’ hanya hitungan detik, se-
kolah agama terbesar milik pemerintah di kota ini pun
bubar, riuh rendah, suara para pelajar terdengar menga-
lahkan pelelangan ikan. Mereka membuncah keluar lak-
sana rombongan anai-anai yang menggotong ratunya un-
tuk pindah istana karena sarangnya diobrak-abrik oleh
beruang. Aku perhatikan satu per satu dari sekian ratus
gadis remaja. Tiba-tiba jelitaku muncul dari gerbang se-
kolah. Ia diapit oleh dua teman lainnya, yang tempo hari
menemaninya ketika aku datang menyambangi untuk
438 - Ilham Kadir

yang pertama kalinya. Aku pura-pura tidak melihat ke


arahnya, aku buang muka, membelakangi dirinya. Kini
dia sudah jalan. Namun dua teman lainnya sudah ber-
pisah dengannya. Aku ikuti, satu demi satu para pelajar
mengambil rutenya masing-masing. Hingga mendekati
pasar, begitu ia ingin mengambil becak, tiba-tiba aku
datang.
“Indah…” sapaku.
“Iya, Kak… kok ada di sini?” tanyanya heran.
“Hm… kakak baru saja pulang dari kampus.”
“Kok cepat Kak? Biasanya kan bakda Asar!” ia cu-
riga.
“Owh… tadi usai kuliah langsung ke sini… oya, su-
dah khatam belum buku ceritanya?” Tanyaku pura-pura,
mengalihkan pembicaraan.
“Sudah Kak, sudah dua kali malah…” jawabnya
singkat.
“Hm. Kalau pulang terlambat sedikit, dicari tidak?”
“Pasti dicari Kak, kalau terlambat sampai satu jam.
Memang kenapa?”
“Kakak mau traktir adik makan siang sambil ng-
obrol yah, sekitar setengah jam saja. Tiga puluh menit,
please!” pintaku mengibah.
“Bagaimana ya Kak? Adik takut sama ibu!” jawab-
nya polos.
“Kan, cuma kakak, kita satu rumah, masa sudah
sebulan lebih tinggal satu atap tapi tidak pernah ada ke-
sempatan walau hanya sekadar berbincang-bincang!”
Negeriku di Atas Awan - 439

“Memang Kakak mau ngobrol apa?”


“Sebaiknya kita sambung di warung saja ya?”
“Oke deh Kak, tapi jangan lama ya, begitu selesai
makan kita langsung pulang.”
Kami berdua pun menyusuri toko-toko milik etnis
Tionghoa sekitar pasar sentral, untuk menuju sebuah
warung yang lumayan nyaman di sudut barisan rumah
toko. Di sanalah kami masuk, duduk di antara para pe-
langgang yang didominasi para pedagang yang datang
dari pedalaman untuk berbelanja aneka kebutuhan di
pasar ini.
Sambil menunggu pesanan, kami saling bertanya
satu sama lain, aku tak bosan-bosan memandang wa-
jahnya yang cantik rupawan. Untuk menggambarkan
bagaimana wajahnya sebenarnya cukup sederhana. Ia
merupakan perpaduan antara Desi Ratnasari dan Edies
Adelia. Bentuk muka dan tipis bibirnya seperti Desi na-
mun barisan gigi, lesung pipit dan matanya mirip Edies.
Indah dengan terang-terangan mengatakan kalau sela-
ma ini memang, juga punya keinginan bertemu dengaku,
tapi itu tak mungkin. Rupanya diam-diam ia telah mena-
ruh hati padaku. “Kak Iwan sangat beda dengan teman-
-teman lelaki Indah di sekolah, mereka jarang salat dan
inginnya hura-hura saja Kak.” Begitu kata indah meng-
gambarkan prilaku teman-teman di sekolah tempat ia
belajar.
“Ada tidak yang suka sama Indah?”
“Bukan ada lagi kak, tapi sudah terlalu banyak, adik
440 - Ilham Kadir

tidak tau sudah berapa surat cinta yang telah adik buang
di sungai depan rumah.”
“Surat Kakak dibuang juga?”
“Rahasia donk..!” jawabnya sambil tersenyum, yang
makin menambah aura kecantikannya.
“Kakak tidak keberatan kalau Adik buang, yang
penting bagi Kakak, Adik sudah tau kalau ada yang nak-
sir di sini.”
“Iya, Kak, terima kasih atas semuanya, suatu saat
adik akan beritahu Kakak jawaban adik yang sesungguh-
nya, tapi yang jelas adik sangat merasa nyaman bersama
Kakak.” Begitu jawaban penutup Indah.
Tiga puluh menit bersamanya, terasa tiga menit
saja. Kami pun berpisah, aku persilahkan ia lebih dulu
pulang agar lekas sampai di rumah, karena datang ber-
samaan, apalagi berdua dengannya akan mendatangkan
malapetaka bagi kami. Tiga puluh menit kemudian aku
pun tiba.
“Nak Iwan… makan duluan saja, Hamsah belum da-
tang!” terdengar suara dari Bunda Nikmah.
“Nanti saja Bunda, biar saya tunggu Hamsah dulu,
tidak enak rasanya makan sendirian.” Jawabku pura-
-pura, padahal baru beberapa saat yang lalu aku makan
bersama dengan anak gadisnya. Dalam hatiku berdoa,
“Ya Allah jangan sampai ada yang tau tentang hubungan
kami berdua!”
Inilah kencan pertamaku, my firts date seumur hi-
dupku, dengan wanita yang hanya kubayangakan selama
Negeriku di Atas Awan - 441

ini. Untuk kencan bersamanya, hanya ada dalam angan-


-angan, atau dalam prediksi dan interpretasi. Namun itu
semua telah sirna dan terbantahkan, sebab ia telah ter-
laksana. Hari ini keyakinanku makin bulat kalau Indah
telah jatuh hati padaku. Hanya membutuhkan formalitas
saja. Sebuah pengakuan dari bibir tipis merah merona-
nya.
Banjir telah surut, manusia-manusia yang ada dari
kedua bantera penyelamat itu kembali menginjak bumi,
kampung-kampung dan kota-kota kembali hidup. Suami
istri, anak dan orangtua, pasangan muda mudi, dan orang
dimabuk asmara kembali bertemu. Termasuk aku dan
Indah.

Keluarga ini, termasuk keluarga ideal, kendati me-


miliki anak enam orang. Empat laki-laki dan dua perem-
puan. Jadi rumus lama dua anak cukup terbantahkan di
rumah ini, buktinya keluarga ini hidup dalam ketenang-
an dan penuh keteduhan. Kedua kakak kandung Hamsah
sudah tidak tinggal di rumah ini lagi. Yang pertama telah
menikah serta menjadi staf pengajar dan tinggal seba-
gai warga pondok pesantren Darul Istiqamah Maccopa
Maros, dan satu lagi bekerja sebagai sales mobil pada
dialer toyota milik perusahaan Kalla Group. Kakak ke-
duanya lulusan Fakultas Ekonomi Unhas Makassar, dan
sempat nyantri jarak jauh di Pondok Majelisul Huffazh
Pitu-pitu. Jadi mereka bertiga, mulai dari kakak sulung-
442 - Ilham Kadir

nya hingga Hamsah sendiri pernah mengenyam pendi-


dikan di pondok, dan inilah yang menjadi mesin pen-
dorong bagi orangtua mereka terutama sang ayah agar
belajar agama serta berkecimpung dalam dunia dakwah.
Konon, sebelum kedua saudaranya ke Makassar un-
tuk kuliah, kedua orangtua Hamsah masih percaya pada
klenik atau dukun dan sejenisnya. Bau kemenyan dan
upacara yang diiringi sesajen rutin dilakukan di rumah
ini. Namun setelah saudara tertuanya bersentuhan de-
ngan kajian keislaman di Makassar, maka ia pun mem-
perkenalkan kepada ayahnya pemahaman yang mence-
rahkan, sebagaimana ia dapat dari kajian-kajian yang
diisi oleh kader-kader dakwah Darul Istiqamah maupun
dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IMM Makassar.
Setidaknya kedua lembaga dakwah di atas inilah yang
mengubah arah pikir dan ibadah keluarga Hamsah, baik
orangtua, kakak, dan adik-adiknya.
Reformasi pertama yang dilakukan oleh orang-
tua Hamsah, menegakkan syariat dalam rumah tangga,
termasuklah memberantas segala bentuk khurafat dan
bid’ah dalam ibadah dan aqidah, melaksanakan syari-
at semampunya, termasuk mengenakan krudung untuk
menutup aurat sesuai tuntunan syariat Islam. Dari sini-
lah Ibunda Nikmah dan juga putrinya mulai melaksa-
nakan tuntunan agama di atas. Termasuk di dalamnya
hijab. Bagi lelaki non mahram tidak boleh seenaknya
masuk ruang keluarga. Dan itu tak masalah buatku, ka-
rena hal di atas sudah berlaku semenjak kami di pondok.
Negeriku di Atas Awan - 443

Oleh itulah, hal yang mustahil bagi kami untuk ber-


pacaran dengan Indah secara terbuka, atau tidak boleh
ada yang tau—termasuk Hamsah tentunya. Hubungan
kami harus tetap syar’i no touch, no sake and no sex. Sa-
ngat susah memang menelan asmara yang kian menggu-
nung dan kian hari menyesakkan dada.
Mulai dari sinilah keluarga Hamsah terutama ke-
dua orangtunya telah dikenal memiliki pemahaman ala
Muhammadiyah, kerena pertimbangan senioritas, ke-
masyhuran, ketokohan, serta sebagai pejabat penting di
Daerah Tingkat II Bone, maka diadakanlah pertemuan
yang akhirnya memilih orangtua Hamsah sebagai Ke-
tua Dewan Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Semenjak
menjabat sebagai ketua ormas di atas ia lebih rutin me-
lakukan kegiatan-kegiatan sosial dan gencar berdakwah
dalam memberantas tahyul, bid’ah, dan khurafat. Tanpa
tedeng aling-aling, tak kenal kompromi, sehingga tak ja-
rang sering terjadi konflik kecil-kecilan dengan masya-
rakat Bone yang tidak sedikit mengidap penyakit taklid
buta.
Dakwah demi dakwah terus digencarkan oleh sang
Pimpinan Muhammadiyah, tak kenal waktu, hidup ada-
lah hanya untuk dakwah. Menebarkan rahmat di muka
bumi. Baginya menegakkan kebenaran, termasuk pe-
murnian aqidah di Bone adalah jihad yang pahalanya
tak terhingga. Dan itu semua hanya bisa terlaksana jika
warga memiliki kader yang militan di daerah ini. Dan
salah satu calon kader abadinya adalah aku. Ya, aku siap
444 - Ilham Kadir

dengan konpensasi tentunya. Aku akan tumpahkan sega-


la kemampuanku dalam berdakwah yang penting didam-
pingi oleh putri jelitanya. Indah. Aku pasti bersemangat.
Pikirku mambatin.
Pintu 51
Menembus Tujuh Petala
Langit

K
erja sama yang padu antara aku dengan Muhai-
min menjadikan kami sebagai mahasiswa yang
memiliki kemampuan dalam berprestasi di atas
rata-rata. Hal ini menjadikan kami berdua kian akrab
saja. Sebagaimana mahasiwa pada umumnya, dalam seti-
ap pertemuan pembahasan bukan saja terpaku pada satu
topik, yaitu materi kuliah, ekonomi, politik–suksesi ke-
pemimpinan—budaya, hiburan, atau target-target jang-
ka pendek maupun jangka panjang. Namun pembicaraan
sudah merambah ke mana-mana termasuk soal asma-
ra. Dengannya, aku terus terang mengutarakan tentang
kedekatan hubunganku dengan adik temanku sendiri di
mana aku menumpang tinggal di rumahnya.
“Kok bisa, tidak ada yang tau hubungan kamu ber-
dua?” tanya Muhaimin heran tentang asmaraku dengan
Indah.
“Bukan tidak ada, belum ada, tapi kami harap se-
moga tidak ada yang tau untuk saat ini karena kami be-
lum siap!” jawabku.

445
446 - Ilham Kadir

“Ah, jangan cari resiko. Kenapa tidak cari saja ma-


hasiswi di sini, banyak pilihan kok!” tawar Muhaimin,
dengan memberikan solusi.
“Wah, ini soal hati, Kawan!”
“Tapi saya penasaran tentang siapa sebenarnya
gadis itu, sehebat dan secantik apa ia, kapan kira-kira
kamu bisa kenalkan padaku?”
“Usai kuliah juga bisa.”
“Memang dia sekolah di mana?”
“Di MAN I”
“Oke, nanti kita ke sana, saya banyak teman di sana.
Bahkan guru-guru tidak sedikit yang kenal aku dengan
abahku.”
Hari itu, hanya ada dua mata kuliah, filsafat pendi-
dikan dan tajwid. Jadi kami bubar lebih cepat dari bia-
sanya. Lazimnya kuliah berhenti menjelang salat Zuhur,
namun kali ini tepat jam setengah sebelas kami sudah
berhamburan keluar. Aku dengan Muhaimin masuk ke
ruang perpustakaan, mengambil sambil mengembalikan
buku bacaan.
Beberapa saat kemudian, kami berdua menuju
MAN I, sesampai di sana ternyata benar adanya. Muhai-
min memiliki teman yang tidak sedikit, mulai dari siswa
hingga guru. Menurutnya, siswa yang ia kenal itu adalah
mereka yang pernah masuk belajar di Pesantren Ma’had
Hadis Biru. Tapi satu dan lain hal mereka keluar dari
pondok, problem klasiknya tidak sanggup mengikuti di-
siplin. Adapun guru-guru mereka adalah teman abahnya.
Abah panggilan akrab Muhaimin kepada ayahnya.
Negeriku di Atas Awan - 447

Aku dengan Muhaimin masuk ruang guru berbin-


cang-bincang dengan beberapa guru yang sedang me-
nunggu masa istirahat. Begitu waktu istirahat tiba, kami
pun memberanikan diri berjumpa dengan Indah bersa-
ma Muhaimin. Pertemuan kali ini tergolong kilat, kare-
na alasan utama ke sini untuk bertemu dengan teman-
-teman Muhaimin. Dan Indah percaya saja.
“Wah, tidak salah pilih Kamu, pantas saja tidak mau
cari di kampus, aku lihat, ia sangat suka padamu!”
“Kok Kamu tau?” tanyaku heran.
“Iya, terlihat dari sorot matanya.” Jawabnya sok tau.

Sejak saat itu, sudah tidak sedikit yang tau kalau


aku sudah memiliki teman wanita. Ini semua karena info
dari Muhaimin, jadi para mahasiswi yang ‘mungkin’ ter-
tarik padaku harus memendam hasratnya dalam-dalam.
Ini dimaklumi saja kalau ada beberapa mahasiswi yang
menaksirku. Kendati aku memiliki muka yang pas-pasan
saja, namun sebagai mahasiwa yang dianggap cerdas dan
memiliki reputasi tinggi dalam bidang akademis maka
namaku dengan Muhaimin kian hari kian masyhur. Dan
tentunya banyak yang penasaran kepada kami berdua
karena seakan hadir di mana-mana, di seluruh penju-
ru kampus termasuk kakak tingkatan kami. Bahkan ti-
dak jarang, kertas hasil ujianku diambil sesama teman-
-teman lalu dikopi secara kolektif supaya mereka baca,
hafal, dan pelajari. Katanya, tulisanku bangus dan semua
448 - Ilham Kadir

jawabannya pun benar, tepat dan tidak ada yang salah


satu pun. Mata kuliah yang menjadi langganan untuk me-
reka fotokopi adalah Bahasa Arab dan Imla’.
Pertemuanku juga dengan Indah sudah intens, se-
tidaknya tiga kali dalam seminggu. Kendati pertemuan
hanya sekadarnya saja, namun itu telah membuatku cu-
kup bahagia. Biasanya aku tunggu ia di sudut timur pasar
sentral, selanjutnya jalan berdua menyusur hingga ujung
barat menuju Jalan Sulawesi, sampai di ujung timur Jalan
Sulawesi kami pun berpisah. Kupersilahkan ia lebih dulu
untuk kemudian aku menyusul. Dan begitulah seterus-
nya.
Setiap bertemu dan jalan berdampingan–tanpa
bergandengan tangan—kami saling berbincang-bincang,
sambil ditemani teh kotak di tangan kanan. Dan setiap
perbincangan selalu saja ada kemajuan yang pada akhir-
nya jelitaku berterus terang,
“Saya sudah penuhi permintaan Kak Iwan, adik te-
rima Kakak sebagai kekasih dengan sepenuh hati. Kita
berdoa saja Kak, mudah-mudahan kelak kita akan ber-
satu. Tapi Kakak yang istiqamah tau!”
“Terima kasih Dik, karena sudi menerima cinta
kakak, kakak tidak akan sia-siakan amanah yang Adik
bebankan ini!”
“O ya, Kakak katanya mau ke Malaysia ya?”
“Kok tau?” tanyaku heran.
“Iya donk… Kak Hamsah yang beritahu adik.”
“Masih lama kok, selesai semister pertama kalau ti-
dak ada halangan, ujian semister sekitar dua bulan lagi!”
Negeriku di Atas Awan - 449

“Oo, begitu ya Kak?”


“Hm. Jangan lupa, simpan rahasia hubungan kita,
jangan sampai ada yang tau ya?”
“Tapi teman-teman adik sudah banyak yang tau
Kak.”
“Kok bisa? Ya sudah kalau terlanjur, tapi jangan
sampai ada yang tau di rumah ya?”
“Iya Kak, adik yang beritahu mereka kalau Kakak
naksir sama adik, adik minta pertimbangan, dan mereka
semua mendukung. Percaya sama adik ya Kak…”
Kami pun berpisah. Serasa kaki ini sudah tidak ber-
pijak di bumi. Melayang menembus tujuh petala langit.
Pikiran dan hatiku tak dapat kugambarkan bagaimana
rasanya mendapatkan cinta seorang gadis yang menjadi
idaman setiap lelaki. Cantik, jelita, cerdas, kalem, shalih-
ah, dan entah apa lagi...
Aku sudah menang telak, kalau dalam sepak bola
aku sudah mendapatkan poin penuh sebanyak dua kali.
Karena rumus dalam mengejar cinta bagi kaum lelaki ia-
lah jika telah mengutarakan ketertarikannya atau lebih
tepatnya cintanya kepada seorang wanita maka ia sudah
dianggap mendapat tiga poin, jika cintanya ditolak maka
akan terjadi skor yang sama drow, tiga di pihak lelaki
tiga di pihak wanita. Tapi jika cintanya diterima maka
si lelaki akan mendapatkan kemenangan dua kali gan-
da dan wanita hanya sekali. Skornya enam lawan tiga.
Begitulah rumus asmara bagi lelaki. Jadi diterima atau
ditolak hal lumrah.
450 - Ilham Kadir

Di rumah, kian hari penghuninya kian mencium


ada glagat tidak beres antara aku dengan Indah, seperti-
nya sudah ada yang mencium bau yang kurang nyaman
itu. Aku mulai tidak enak. Apalagi kalau Indah ada di
antara anggota keluarga rumah ini. Aku jadi sering gu-
gup, canggung, dan salah tingkah, tidak seperti biasanya.
Di lain pihak aku dengan Indah sering saling curi-curi
pandang, seakan kami berdua saling berkomunikasi. Be-
gitu terkaanku dalam membaca benak dan kecamuk ha-
tinya. Ia bangga mendapatkanku sebagaimana aku sangat
bertuah mendapatkan cintanya. Cinta kami, cinta yang
diliputi rahasia. Namun bagaimana pun, sepandai-pandai
tupai meloncat suatu saat akan jatuh juga. Jadi sebelum
jatuh aku harus punya pijakan yang jelas.

Hari itu aku dengan Muhaimin sedang berdiskusi


beragam topik, tak terasa sudah menjelang salat Asar,
kami pun bergegas menunaikan kewajiban selaku umat
Nabi Besar Muhammad  dengan berjamaah di Masjid
Agung Assalam, rumah ibadah kebanggaan masyarakat
Kota Watampone. Bakda salat kami kembali terlibat
dalam percakapan yang pada akhirnya ia mengajakku
menginap di rumahnya malam ini. Aku pun setuju, tapi
terlebih dulu menelpon ke rumah untuk beritahu kalau
hari ini aku tidak pulang karena hendak ke tempat te-
man dan akan menginap di sana. Bunda Nikmah yang
menerima telepon mengizinkanku, sambil berpesan su-
Negeriku di Atas Awan - 451

paya aku selalu hati-hati dan besok usai kuliah segera


pulang ke rumah. Ia memang sangat perhatian padaku,
tidak jauh beda dengan Bunda Hasanah, atau pun ibu
kandungku sendiri.
Dan seandainya ia tau hubunganku dengan anak
gadisnya pun selama tidak melanggar norma-norma
agama pasti ia tidak akan keberatan. Yang aku takutkan
hanyalah Ayah Indah. Karena dialah yang dominan dan
paling disegani di rumah ini. Kata-katanya berupa titah
yang menjadi undang-undang untuk dipatuhi, ia jarang
berbicara, namun ketika berbicara tak ada yang bisa
membantah. Tipe ayah yang tegas, dan tanpa basa basi,
namun kurang demokratis karena ia produk orde baru.
Itulah yang membuatku tidak akrab dengannya bahkan
dengan anaknya, Hamsah sekali pun, sangat cocok seba-
gai Pimpinan Daerah Muhammadiyah yang tegas dalam
memberantas tahyul, bid’ah, dan khurafat plus bekerja
di jajaran pemerintahan untuk mengikis budaya KKN
yang telah mengakar dalam birokrasi di kota Arung Pa-
lakka ini.
Sesampai di rumah, barulah aku tau kalau sela-
ma ini Muhaimin tinggal sendirian, “pantas saja betah
tinggal di kampus berlama-lama karena pulang ke ru-
mah pun tak ada siapa-siapa” pikirku. Ia berasal dari
Kecamatan Libureng, kecamatan yang perbatasan de-
ngan Kecamatan Kahu, tidak begitu jauh dari Bontocani.
Ayahnya seorang KUA di Kecamatan yang sama. Adapun
ibunya mengajar di SMP yang tidak jauh dari rumahnya.
452 - Ilham Kadir

Dua adiknya yang lain masih kecil. Ia merupakan anak


pertama dari tiga bersaudara. Adapun rumah yang ber-
lokasi di perumahan nasional ini, hanya sekadar inves-
tasi saja. Berada lumayan jauh dari kampus dan dua kali
naik pete’-pete’. Di lingkungan perumahan yang belum
semuanya terisi dan lumayan asri. Karena berada dalam
kampung yang berdekatan dengan kebun jambu mente
dan pohon kemiri. Dari segi suasana aku sangat jatuh
cinta pada tempat ini. Masyaraktnya pun sangat ramah
dan komunal. Sangat hormat dan menghargai kami se-
laku mahasiswa, tak jarang mereka berbaik hati meng-
antar makanan atau pun apa saja yang bisa dinikmati.
Itu yang Muhaimin ceritakan padaku tentang perlakuan
masyarakat sekitar.
Rumahnya lumayan besar, taksirku tidak kurang
dari tujuh puluh lima meter persegi. Tipe tiga puluh
lima. Terdapat dua kamar, satu ruang tamu dan dapur
yang lumayan luas. Juga terdapat taman yang masih ko-
song belum ditanami apa-apa, bahkan terlihat gundukan
tanah bekas galian menumpuk di pojok taman rumah ini.
Tetangga kami di sebelah kiri, mahasiswi yang juga
satu jurusan dan ruangan denganku di kampus STAIN. Ia
di antara mahsiswi yang berparas cantik dan berkulit hi-
tam manis, anaknya juga ramah dan tergolong periang, ia
kukenal baik semenjak awal-awal masuk kuliah karena
sering bertanya kepadaku tentang pelajaran yang tidak
ia pahami. Yang tidak kusukai darinya karena ia terlalu
mudah melepas kerudung begitu ia tiba di rumah, se-
Negeriku di Atas Awan - 453

bagaimana sering kusaksikan rambut hitam panjangnya


dibiarkan terurai dan lehernya yang kelihatan bergaris-
-garis terbuka tanpa penutup, ini tak jarang membuat
degup jantung kami berdetak kencang dan aliran darah
mendesir dari ujung kaki ke ujung kepala. Tetangga se-
belah kanan adalah sebuah keluarga PNS yang baru saja
pindah untuk tinggal di perumahan ini. Memiliki tiga
anak, yang sulung seorang siswi SMU juga berparas ayu
namun berbadan pendek dan dua lainnya masih di bang-
ku Sekolah Dasar. Adapun bagian depan, rumah-rumah
masih berjejer kosong melompong dan belum berpeng-
huni, karena memang kompleks perumahan ini baru di-
buka, terbatas dan diprioritaskan untuk para PNS yang
belum punya hunian.
“Kamu tidak suka ya tinggal di sini?” tanya Muhai-
min tiba-tiba padaku.
“Kok, pertanyaannya begitu?”
“Kalau seandainya Kamu suka, bagaimana kalau
tinggal di sini saja temani saya?” tawarnya padaku.
“Hm, nanti dulu ya. Biar saya pikir baik-baik, seti-
daknya saya harus minta izin atau pandangan sama te-
manku, Hamsah.”
“Tapi dipikir-pikir cinta Kamu dengan Indah unik
lho, bisa difilemkan atau minimal suatu saat diangkat da-
lam novel… betapa tidak, Kamu bisa menyembunyikan
asmara, padahal tinggal dalam satu atap!” dan, pembaca
harus tau kalau dari sinilah sebagian inspirasi itu muncul
untuk menulis novel.
454 - Ilham Kadir

“Ayo kita masak, perut sudah lapar nih. Tau masak


kan?”
“Ya, pasti tau donk. Saya itu tukang masak di pon-
dok.” Jawabku singkat yang langsung membuka file me-
moriku bersama Bunda Hasanah, beliau yang banyak
mengajariku tentang masak-memasak dengan cepat, te-
pat, dan enak.
“Kalau ke sini jangan hanya menghafal dan belajar
saja, tetapi belajarlah memasak, karena kelak akan ber-
guna.” Itulah pesan Bunda yang tak pernah kulupakan.
Dan saat ini, setelah delapan tahun berlalu, kata-kata
itu pun terbukti. Masak-memasak hal yang tidak bisa
dianggap remeh. Dan mungkin saja wanita terbahagia
di dunia adalah mereka yang mendapatkan suami yang
pintar memasak. Betapa merasa dimanjakannya seorang
wanita jika ia sedang hamil atau baru melahirkan lantas
disuguhi masakan karya sang suami yang dipenuhi aneka
bumbu cinta dan kasih sayang serta rasa yang spesial.
Kami berdua pun bagi tugas, Muhaimin menanak
nasi sedang aku memasak ikan dan sayur. Satu jam ke-
mudian kami santap masakan hasil karya kami. Muhai-
min sangat terkagum-kagum akan kemampuanku mera-
cik bumbu masakan ikan dengan menu asam pedas dan
sayur soup kentang.
“Kamu benar-benar pintar memasak ya? Sangat
bertuah wanita yang bisa mendapatkan Kamu… Usaha-
kan ya, cepat-cepat pindah di sini, kalau kita tinggal ber-
sama, bukan saja bisa saling membantu dalam pelajaran
Negeriku di Atas Awan - 455

tapi saya juga dapat makan dengan enak…” komentar


Muhaimin sambil menyeruput soup kentang.
“Insya Allah secepatnya saya akan tinggal sama
Kamu di sini!” jawabku meyakinkan.
Keesokan harinya, selesai mengikuti kelas dengan
tuntas, aku kembali diajak Muhaimin berjumpa abahnya
yang datang dari Libureng. Beliau ada urusan di Kantor
Departemen Agama yang letaknya juga tidak jauh dari
kampus, sebelah utara Masjid Agung Assalam. Dalam
pertemuan itu aku dikenalkan Muhaimin dengan abah-
nya.
“Abah… ini temanku namanya Iwan!” katanya.
Aku tanpa menunggu aba-aba langsung kujulurkan
tangan untuk berjabat. Tidak lama kemudian, kami ber-
tiga keluar menuju tempat parkir selanjutnya masuk ke
dalam mobil kijang super milik abahnya Muhaimin yang
bernama lengkap Drs. Muhammadiyah sebagaimana
terlihat dalam papan nama yang melekat di baju safari-
nya. Terdengar dari namanya, pasti semua mengira ka-
lau dia orang yang berpaham Muhammadiyah. Namun
terkaanku sangat keliru ternyata abahnya temanku ini
orang NU tulen. Yang kalau menurut salafi yamani sudah
tergolong sesat, karena dianggap pelaku bid’ah. Ia me-
mang terang-terang mendorong orang untuk membaca
kitab Barzanji, mangadakan maulid, isra’ mi’raj, mengi-
rim pahala bacaan qur’an bagi orang yang telah wafat,
dan beragam bentuk ibadah yang menurut kaum salafi
adalah prilaku bid’ah yang lebih kejam dari perbuatan
456 - Ilham Kadir

zina. Karena palaku zina sadar kalau ia telah berbuat


dosa, namun pelaku bid’ah adalah sebaliknya ia selalu
merasa berada dalam kebenaran. Tapi abahnya temanku
ini juga punya pandangan lain, sama dengan pendapat
KH. Ali Yafie bahwa bid’ah kan dibagi dua ada hasanah
ada sayye’ah. Yang ia lakukan lebih kepada hasanah bu-
kan sayye’ah. Yang pertama berarti baik seperti menga-
jikan orang meninggal dan yang kedua berarti jelek atau
buruk seperti manambah rakaat dalam salat. Lain hal-
nya dengan Muhaimin ia lebih cendrung objektif sama
dengan pola pikirku. Tapi baru juga aku pahami kalau
ternyata Pak Muhammadiyah merupakan orang yang
humoris, cair diajak berbincang-bincang beragam ma-
salah. Dan semua dikemas dengan nada humor. Sebagai
mubalig beliau banyak memiliki materi humor yang se-
nantiasa aktual.
Kami bertiga menuju warung ikan bakar, untuk
menyantap hidangan makan siang, di sana Pak Muham-
madiyah mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu
untuk persiapan penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil
Qur’an tingkat Kabupaten Bone yang akan diadakan se-
kitar dua minggu lagi. Ia meminta aku dengan Muhaimin
agar turut berpartisipasi mewakili Kecamatan Libureng.
Dan kami pun mengiyakan.
“Saya dengan Iwan yang masuk CCQ.” Kata Muhai-
min mantap tanpa ragu-ragu.
“CCQ itu apa?” tanyaku ingin tau.
“Cerdas Cermat Alqur’an.” Jawab Muhaimin sing-
kat.
Negeriku di Atas Awan - 457

“Kalau bisa sekalian saya juga mau ikut lomba di


bagian kaligrafi,” aku kembali menawarkan diri.
“Bisa, karena waktunya tidak bersamaan.” Jawab
Pak Muhammadiyah.
Selesai mengisi perut di siang hari, aku pun ber-
pisah dengan mereka berdua. Dan langsung pulang ke
Jalan Sulawesi. Di rumah Hamsah, begitu aku sampai
langsung dicecer pertanyaan olehnya. Yang inti perta-
nyaannya, menginap di mana dan sama siapa? Aku jawab
dengan sejujurnya. Dan setelah aku ceitakan tentang so-
sok teman sekampusku yang bernama Muhaimin, maka
ia pun tertarik untuk berkenalan dengannya. Dalam ke-
sempatan ini aku langsung utarakan keinginanku untuk
pindah tempat tinggal di rumah teman baruku itu.
“Kenapa harus pindah dan tinggal bersamanya? Ka-
lau hanya untuk belajar bersama, itu setiap hari bisa ke-
temu,” tanya Hamsah dalam menenanggapi keinginanku.
“Terlau banyak tugas-tugas kuliah yang harus aku
kerjakan, kalau tinggal bersama dengannya akan memu-
dahkan bagiku untuk bekerja sama. Kita berdua juga ti-
dak susah kalau mau ketemu, saya pasti sering-sering ke
sini!” jawabku berargumen.
Setelah keterangan demi keterangan aku lempar-
kan setiap menanggapi pertanyaannya, akhirnya mem-
buatnya ia rela melepasku.
“Oke, nanti saya beritahu kepada orangtua. Besok
saya antar ya, supaya tau juga di mana alamatnya.”
“Baiklah, besok kita berangkat bakda Asar saja,
biar kita sama-sama dengan Muhaimin.”
458 - Ilham Kadir

Malam itu juga, setelah Hamsah memberitahu pada


kedua orangtuanya, maka aku pun dipanggil dan kem-
bali dicecer pertanyaan. Seakan dihakimi ramai-ramai.
Beragam pertanyaan mucul dari orangtua Hamsah, baik
ayah maupun ibunya. Namun kujawab dengan jelas dan
lancar serta memberikan argumentasi dengan akurat.
Jauh dari sudut sana, terlihat Indah mencuri-curi pan-
dang denganku. Ia kelihatannya paling tidak setuju atas
keputusanku untuk meninggalkan rumah ini.
“Terima kasih banyak Pak, atas bantuannya kepa-
daku selama ini, kalau ada kekhilafan mohon dimaaf-
kan.” Kataku seakan mengiba.
“Sama-sama, Iwan kalau ada waktu jangan sung-
kan-sungkan, ke sini saja, rumah ini tetap terbuka kapan
pun buat Kamu.” Tawar Bunda Nikmah.
Pintu 52
On The Spot

M
ahluk yang hidup di bumi saat ini adalah
mereka yang diyakini telah berjuang mati-
-matian mempertahankan hidup dari ra-
gam bentuk ancaman. Bagi mereka yang terkalahkan
menyingkir, terisolasi, bahkan punah. Hidup memang
penuh perjuangan untuk bisa terus eksis. Sejak zaman
manusia yang pertama bernama Adam hingga saat ini.
Untuk itu manusia terus menerus mempertahankan di-
rinya agar tetap eksis survive for life. Jika dahulu kala,
para musuh utama manusia berasal dari spesies lain, se-
perti hewan-hewan prediator. Maka saat ini, musuh uta-
ma manusia adalah dari manusia sendiri. Mereka saling
berebut tempat, jabatan, pangkat, dan apa saja yang bisa
menggaungkan namanya, paling tidak mengamankan
dirinya. Agar dikenal, dipuja, dielu-elukan, ditokohkan,
hingga pada tahap tertentu dikultuskan.
Di daerah Bone. Mereka yang dikenal memiliki re-
putasi tinggi dan memegang tampuk kekuasaan turun-
temurun sejak zaman pra dan pasca kolonial bahkan
hingga saat ini berasal dari kaum bangsawan anakar-

459
460 - Ilham Kadir

ung. Kendati sedikit demi sedikit mulai terkikis karena


munculnya tunas-tunas baru yang tumbuh bak jamur di
musim hujan. Sudah tak mengenal latar belakang, dari
keturunan mana ia berasal, tapi lebih kepada apa ke-
mampuan yang ia miliki, dan apa kontribusi yang dapat
ia berikan kepada orang banyak.
Kini, akan ada perhelatan yang akan memperta-
ruhkan nama, reputasi, dan mungkin glamour. Perhela-
tan lima tahunan ini berupa MTQ, Musabaqah Tilawatil
Qur’an. Yang dalam waktu dekat akan diadakan di Kota
Bone. Sebanyak dua puluh satu kecamatan sekabupaten
Bone akan turut ambil bagian. Salah satunya Kecamat-
an Libureng yang KUA-nya adalah Pak Muhammadiyah,
abah temanku Muhaimin.
Dalam perhelatan di atas, banyak cabang yang
akan diperlombakan tapi tentu saja seputar Alqur’an, se-
perti lomba tilawah dari tingkat anak-anak, remaja, dan
dewasa, pria maupun wanita; lomba menghafal Alqur’an,
dari satu juz, sepuluh juz, dua puluh, hingga tiga puluh
juz yang terdiri dari anak-anak hingga dewasa; perlom-
baan rebana, khat, cerdas cermat, ceramah juga bermula
dari tingkat Ibtidaiyah, MTs, hingga Aliyah dan beragam
perlombaan lainnya. Perhelatan tersebut berlangsung
selama tujuh hari, bermula dari jam tujuh pagi hingga
jam sepuluh malam. Perlombaan yang diadakan di ma-
lam hari yang berbentuk hiburan, seperti rebana, atau
juga tilawah Alqur’an. Setiap kecamatan akan mengutus
para kader terbaiknya, jika tidak memiliki kader maka
Negeriku di Atas Awan - 461

terpaksa mengimpor dari luar kabupaten. Intinya agar


datang, bertanding, dan menang!
Aku sendiri mengambil dua bagian dalam perlom-
baan, kaligrafi dan CCQ. Persiapan untuk perlombaan
kaligrafi telah aku sediakan, mulai dari penggaris, spi-
dol, tinta, dan kertas karton. Adapun CCQ, perlombaan
ini perlombaan diwakili oleh tim yang beranggotakan
tiga personil. Setiap personil memiliki spesifikasi ma-
sing-masing. Kali ini aku ambil bagian yang berhubung-
an dengan ayat dan hadis-hadis. Jadi, seluruh pertanyaan
yang berhubungan kedua sumber hukum dalam Islam
itu akulah yang harus jawab, baik menyempurnakan,
menerjemahkan, sebab turunnya dan beragam perta-
nyaan seputar kedua ilmu itu. Adapun Muhaimin ia akan
mengambil tugas yang berhubungan dengan pengeta-
huan umum, termasuk di dalamnya pertanyaan tentang
sejarah, tokoh-tokoh pergerakan dari masa ke masa
serta beragam pertanyaan lainnya. Adapun ketiga, yang
memiliki pengetahuan tentang jenis-jenis qira’ah, tugas-
nya hanya mendengar salah seorang juri melantungkan
ayat-ayat Alqur’an lalu ia menyebutkan jenis bacaan ayat
tersebut, intinya ia harus seorang qari’ atau qari’ah yang
tau mendiagnosa beragam bacaan Alqur’an. Kami berti-
ga inilah yang akan mewakili Kecamatan Libureng seba-
gai tim cerdas cermat tingkat sekolah menengah.
Pada dasarnya kami sudah tidak layak untuk ikut
perlombaan ini, karena kami bukan lagi duduk di seko-
lah menengah. Tetapi sudah menjadi rahasia umum ka-
462 - Ilham Kadir

lau setiap KUA mati-matian menampilkan peserta ter-


baiknya, tak peduli dari mana asalnya yang penting tidak
terlalu kelihatan tua. Dan para panitia juga tidak begitu
peduli kalau kami sudah kuliah. Mungkin melihat gaya
kami masih seperti anak sekolah di tingkat menengah.
Kami pun latihan mati-matian, materi kami foto kopi
sebanyak tiga rangkap. Materinya lumayan banyak, tidak
kurang dari tiga ratus lembar. Seluruh pertanyaan akan
muncul dari materi itu.

Hari perhelatan telah tiba, para peserta dikumpul-


kan dalam sebuah tanah lapang, berkelompok, menge-
nakan seragam yang dapat membedakan antara satu ka-
filah dengan yang lain, nama lain dari kelompok adalah
kafilah. Jadi aku berada dalam barisan kafilah Libureng.
Berdampingan dengan Kahu dan Bontocani, kafilah-kafi-
lah disusun sesuai letak geografis mereka, bermula dari
utara ke selatan. Seorang bersuara lantang berdiri di
atas tribun memegang mikrofon, dialah MC-nya. Di atas
tribun terlihat jejeran para penguasa dengan baju kebe-
saran, duduk mematung, memperhatikan rombongan
manusia yang terikat oleh kafilah bergerak maju ber-
jalan perlahan diiringi dengan suara lantang MC, mem-
perkenalkan kecamatan demi kecamatan, menyebutkan
nama-nama orang penting di setiap kecamatan, mulai
dari Pak Camat Pak Kapolres hingga Pak KUA, terma-
suk juga keistimewaan kecamatan tersebut.
Negeriku di Atas Awan - 463

“… inilah Kafilah Kecamatan Libureng, daerah yang


terletak di Bone bagian selatan, penduduknya ramah-
-ramah, merupakan lumbung tebu, juga terdapat pabrik
gula, tempat penghasil ikan mas… kafilah ini dinakho-
dai oleh Bapak Drs. Muhammadiyah, ia datang dengan
rombongan yang terbaik, mengikuti seluruh jenis lomba,
dan siap menang…” teriak MC yang diiringi tepuk ta-
ngan yang membahana dari para hadirin yang meme-
nuhi pinggir lapangan. Kami pun mengangkat tangan
laksana jagoan sepak bola yang berhadapan dengan para
pendukungnya di stadion terbesar. Menggairahkan. Itu-
lah gambarannya. Pawai ini bermula bakda Asar hingga
menjelang Magrib.
Malam itu, perlombaan telah dimulai, berawal dari
seorang qari’ah remaja melantungkan ayat-ayat Al-
qur’an dengan syahdu seperti suara Maria Ulfa, disusul
kemudian seorang qari’ dewasa juga membacakan ayat-
-ayat suci yang nada suaranya tidak melebihi Muammar
ZA. Selanjutnya susul-menyusul rombongan rebana dari
remaja dan dewasa. Terlihat para rombongam ini me-
ngenakan busana yang sama, mencolok dengan make up
dimuka terlihat menor, seakan berlomba mempercantik
diri agar terlihat sempurna di tengah terangnya cahaya
lampu. Mengeluarkan kemampuan terbaik mereka agar
dapat menyihir dewan juri. Dengan gaya artis, jidad li-
cin, suara yang merdu membuat para dewan juri makin
pusing memilih yang terbaik di antara mereka. Nah di
sininilah kembali terjadi lobi tingkat menengah.
464 - Ilham Kadir

Keesokan harinya perlombaan menghafal dimu-


lai, dari kategori satu hingga sepuluh juz, terlihat kalau
salah seorang peserta adalah santri Majelisul Huffadz
Pitu-pitu yang kukenal, ia dulu muridku di kelas empat
KMI namanya Komaruddin tapi akrab dipanggil Komar,
ia mengikuti perlombaan dalam kategori remaja sepuluh
juz. Telihat pertanyaan demi pertanyaan dari sang juri
dijawab dengan tuntas, kendati kadang juga tersendat
tapi dapat dikategorikan lancar. Dan menurutku ia ter-
masuk sukses. Komar mewakili Kecamatan dari mana ia
berasal yaitu Kecamatan Mare, kontras denganku yang
justru mewakili Libureng bukannya Bontocani.
Hari ketiga perlombaan kaligrafi, peralatan-pera-
latan yang aku miliki telah kuletakkan di atas meja yang
terbuat dari kayu jati berukuran empat puluh kali dela-
pan puluh centi. Setiap peserta harus menulis ayat yang
telah ditentukan oleh panitia. Kategori tulisan dibagi
menjadi dua. Satu tulisan wajib dan satu lagi tulisan pi-
lihan. Tulisan wajib adalah tulisan ayat yang harus ditulis
dengan khat naskhi, Adapun tulisan pilihan para peserta
bebas menulis menggunakan khat apa saja, sesuai selera
penulisnya. Kali ini khat yang aku pilih khat diwani jaly
mendampingi khat naskhi.
Dalam ruangan yang dijejali para khattat ini terda-
pat juga Ustadz Furwadi ia rupanya mewakili Kecamatan
Kajuara. Adalah hal lumrah setiap kali perhelatan MTQ
diadakan setiap itu pula KUA berlomba-lomba meng-
ambil peserta dari pondok-pondok pesantren, termasuk
Negeriku di Atas Awan - 465

Pitu-pitu dan Ma’had Hadis Bone. Bahkan Ustadz Arif


yang kini telah kuliah di Malaysia pernah mewakili Su-
lawesi Selatan untuk perlombaan MTQ tingkat nasional
dalam bidang kaligrafi. Waktu itu ia mewakili Kecamatan
Bontocani di bawah kepemimpinan Pak Mustamir.
Hari keempat, inilah hari yang paling mendebarkan
dan ditunggu-tunggu oleh banyak pihak. Cerdas Cermat
Alqur’an.
Jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bone se-
cara keseluruhan dua puluh satu, oleh karena itu pani-
tia membaginya menjadi tiga grup, yang masing-masing
terdiri dari tujuh regu. Dari ketujuh regu tersebut akan
ada satu regu terpilih menjadi pemenang yang selanjut-
nya diadu dengan pemenang lain yang berasal dari grup
berbeda demi meraih tiket juara pertama, kedua, dan
ketiga. Regu kami berada pada grup pertama, diketahui
setelah melewati tahap pengundian.
Sejak pagi hari, kami bertiga telah berkali-kali dib-
riefing oleh Pak Muhammadiyah,
“Dalam berlomba, persiapan jangan semata-mata
bersandar pada kemampuan penguasaan materi, tapi
yang terpenting bagaimana menguasai keadaan, perkuat
mental, jangan terkecoh oleh para penonton, karena ka-
lau gugup saja sedikit terutama dalam soal rebutan akan
disambar oleh regu lain. Jadi kuasai dulu diri kalian dan
jangan pedulikan siapa pun…”
Ternyata apa yang disampaikan oleh Pak Muham-
madiyah benar adanya, begitu aku naik ke atas tribun
466 - Ilham Kadir

lutut terasa seakan hendak tanggal. Kosong dan lemas.


Jantungku berdetak kencang, keringat dingin mengucur
pelan-palan, membasahi sekujur tubuh, aku tak mampu
mengangkat kepala agar tegak, terus saja merunduk sea-
kan bertafakkur merenungi nasib yang tak kunjung mu-
jur. Muhaimin menjadi ketua regu, aku duduk di sebelah
kanannya, dan teman satu lagi di sebelah kiri. Soal-soal
dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama soal wajib,
yang kedua pilihan, dan yang ketiga rebutan. Setiap soal
memiliki lima pertanyaan. Soal wajib akan dipilih lang-
sung oleh dewan juri, adapun soal pilihan dipilih oleh
ketua regu masing-masing, dengan cara manarik secarik
amplop yang telah tersedia di atas meja. Amplop terse-
but juga berisi lima pertanyaan, dan yang terakhir soal
rebutan yang dipilih oleh dewan juri.
Sesi pertama akan dimulai, terlihat dewan juri ber-
jejer duduk di depan, menghadap ke arah peserta. Kami
berada pada regu C. Pertanyaan demi pertanyaan telah
dijawab oleh setiap regu, termasuk regu kami. Tak ada
satu pun yang lewat. Begitu pula regu-regu lain. Semua-
nya terjawab. Datar-datar saja. Usai dewan juri melem-
parkan pertanyaan ketua regu menjawab dan disambut
dengan aplaus oleh hadirin pendukung masing-masing
regu.
Pada sesi kedua, setiap ketua regu naik mengambil
amplop berisi soal, kemudian amplop dibuka dan kali ini
seorang wanita muda berjilbab gaya Inneke Koes Hera-
wati mengajukan pertanyaan, regu A, dan B menjawab
Negeriku di Atas Awan - 467

setiap pertanyaan dengan lancar, begitu pula regu C, Mu-


haimin, aku, dan temanku yang satu menjawab pertanya-
an demi pertanyaan, begitu pula regu D, F, dan G, seakan
setiap peserta sudah menguasai penuh seluruh materi.
Tidak jarang menurut Muhaimin persiapan mereka su-
dah bermula setahun yang lalu. Bahkan ada juga peserta
sudah pernah ikut lomba di ajang yang sama sejak lima
tahun lalu. Dan kini ia kembali bertanding dengan ma-
teri yang sama. Kami diuntungkan karena sebelum ini,
lima tahun yang lalu Muhaimin sudah pernah ikut per-
lombaan pada tingkat MTs. Jadi sudah lumayan berpeng-
alaman. Kami bertiga, hanya aku seoranglah yang baru
pertama kalinya mengikuti lomba ini. Kendati dulu aku
juga sudah pernah ikut pada perlombaan semacam ini di
Pondok Pitu-pitu. Waktu itu pada awal-awal berdirinya
KMI, kami satu tim dengan Amin dari Sinjai dan seorang
teman lainnya dari Jawa Tengah. Saat itu tim kami juga
keluar sebagai pemenang. Lomba sejenis ini di pondok
dinamai musabaqatul fawazir.
Kini tibalah saatnya pertanyaan rebutan. Setiap pe-
serta diminta untuk mencoba menekan bel yang tersedia
di atas meja masing-masing, suara bel meraung-raung.
Kriiing…. Kriiiiing… kriiiiiing… bersashut-sahutan.
“Bagus! Tidak ada yang macet!” kata Ketua Dewan
Juri.
“Setiap peserta yang paling awal menekan bel maka
itulah yang berhak lebih dulu menjawab, jika benar akan
mendapat angka seratus, jika salah akan didenda dengan
468 - Ilham Kadir

nominal yang sama!” terang salah seorang dewan juri


yang lain.
“Baiklah, pertanyaan akan dimulai…” kali ini yang
berbicara adalah yang akan membacakan soal-soal re-
butan itu. Ibu muda berhidung pesek dan berjilbab ala
Inneke.
“Siapakah Khalifah….” Ibu berjilbab gaya Inneke
itu terpotong pertanyaannya.
“Kring… kriiiiiiiiing…”
“Umar bin Khattab…” jawab regu B tanpa ragu dan
tanpa dipersilahkan.
“Seratusss…” jawab salah seorang dewan juri ber-
baju batik.
Terlihat angka di papan tulis hitam bertambah se-
ratus untuk regu B, jadi akumulasi semua angka yang
mereka peroleh dari sesi pertama sampai sekarang ada-
lah seribu seratus, regu lain masing-masing mendapat
seribu. Jadi untuk sementara regu B yang memimpin.
Kembali Ibu berhidung pesek itu mengajukan per-
tanyaan,
“Siapak…”
“Kriiing… kriiiiiiiing..!” suara bell membahana,
bersahut-sahutan antara satu regu dengan yang lain. Kali
ini yang menekan tombol lebih dulu adalah regu D, kami
kembali terlambat, terdengar jawaban.
“Muhammad Nasir…” jawab regu D singkat.
“Seratussss untuk regu D…” teriak Pak Juri.
Kami kembali tertinggal angka oleh regu D dengan
selisih seratus.
Negeriku di Atas Awan - 469

“Pertanyaan selanjutnya…” Inneke kembali bersu-


ara.
“Sia…”
“Kriiiiiing… Kriiiiiiiiiing…” Kali ini juru bicaraku
yang menyambar tombol bell.
“KH. Abdurrahman wahid atau akrab dipanggil Gus
Dur…” jawab Muhaimin dengan lancar tanpa nafas.
“Seratus untuk regu C…” teriak Pak Juri.
“S…” Ibu berjilbab ala Inneke itu kembali terpo-
tong suaranya.
“Kriiiiiiing…”
“Haji Abdul Karim Amrullah yang akrab dipanggil
Hamka.” Muhaimin kembali bersuara. Kali ini regu kami
yang memimpin.
“S…” ibu itu geleng-geleng kepala karena seakan
setiap peserta dapat menebak isi kepalanya.
“Kriiiiing…” kali ini regu F yang lebih dulu mene-
kan tombol.
“KH. Agus Salim.” Jawab juru bicara grup F tanpa
ragu.
“Seratussss…” sahut pak Juri.
“Si…”
“Kriing… kriiiiing….” Muhaimin kembali menyam-
bar tombol, dan ternyata ia lebih dulu.
“Pangeran Diponegoro…” jawab Muhaimin tanpa
ragu.
Begitu selesai menjawab, suara pendukung kami
membahana. Dan yang lain tertunduk lesu, pucat pasi.
470 - Ilham Kadir

Sementara Pak Muhammadiyah terlihat sumringah, tak


dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Ia sepertinya
berkata dalam benaknya, “lihat itu peserta kami, tidak
bisa terkalahkan, karena aku memang pintar mencari
peserta…”. Untuk putaran pertama regu kami yang ber-
hak menjadi wakil untuk melawan wakil dari grup kedua
dan ketiga. Saat ini kamilah yang unggul.
Setelah selesainya putaran pertama kami kembali
ke tenda sambil membuka lembaran-lembaran soal se-
bagai persiapan pada babak lanjutan.
“Kok bisa Kamu tau isi kepala Juri?” tanyaku heran
pada Muhaimin.
“Itu ada rumusnya, lazimnya kalau pertanyaan
dimulai dari nama-nama tokoh, maka akan berkesi-
nambungan, pasti semua pertanyaannya berhubung-
an dengan tokoh. Makanya pada pertanyaan pertama
dan kedua aku masih ragu. Coba lihat, ini soal-soalnya
tadi…” terangnya sambil menunjukkan soal-soal rebutan
yang telah diberikan kepada kami beberapa saat yang
lalu. Setelah kuperhatikan dengan saksama ternyata be-
tul adanya. Pertanyaan-pertanyaan tertera di situ me-
mang telah tersusun, mulai dari nama khalifah kedua
Umar bin Khattab hingga nama pahlawan perjuangan
Pangeran Diponegoro.
“Begitu pula, kalau dimulai dengan nama tokoh,
terutama pada soal-soal wajib dan pilihan maka pada
pertanyaan yang berhubungan dengan ayat dan hadis
akan diberikan pada pertanyaan rebutan, siap-siap saja!”
Negeriku di Atas Awan - 471

Udara semakin panas, keringat bercucuran, mata-


hari dengan terangnya menyinari bumi Arung Palakka,
para pendukung setiap regu tumpah ruah di dalam la-
pangan menambah suasana semakin riuh rendah. Baik
yang jagoannya kalah maupun yang telah menang dan
menunggu babak final.
“Assalamu ‘alaikum…” terdengar suara agak samar-
-samar.
“Wa ‘alaikumussalam…” aku menoleh ke kanan,
terlihat wajah cantik jelita nan rupawan. Dia adalah ke-
kasih hatiku.
“Kok, Adik ada di sini?” tanyaku heran.
“Iya, Kak. Kebetulan salah satu peserta yang me-
wakili Kecamatan Watampone untuk CCQ tingkat Aliah
dari sekolahku, jadi kami dikerahkan untuk turut men-
dukung mereka, pasukan yel yel... Kami hari ini dipu-
langkan lebih cepat...” jawabnya dengan gamblang.
“Terus bagaimana bisa tau kalau Kakak di sini?” ta-
nyaku lagi.
“Yah, Kakak… Kami kan sejak dimulainya perlom-
baan ini sudah berada di sini, Kakak aja yang tidak lihat
kita…” katanya lagi sambil melirik pada kedua teman-
nya yang lain dan kedua temannya pun mengangguk me-
ngiyakan.
“Aduh, maaf ya, soalnya terlalu fokus menghadapi
perlombaan ini, bahkan tadi sempat demam panggung…”
“Tidak apa-apa kok, adik paham… sudah dulu ya
Kak… lanjutkan saja persiapannya… Teman kami sedang
472 - Ilham Kadir

tampil tuh, sepertinya seru…” ia pun bergegas mendekat


ke tribun berbaur sesama teman-temannya yang lain,
kini seakan separuh dari lapangan terlihat mengenakan
seragam putih abu-abu, suasana semakin sesak. Mereka
para pendukung peserta Kecamatan Watampone, paling
ramai penontonnya. Di samping mereka sebagai tuan
rumah para peserta juga melalui seleksi ketat. Mereka
yang berhasil menjadi peserta CCQ adalah wakil dari
sekolah menengah yang dianggap mumpuni baik dalam
bidang agama seperti MAN I, Ma’had Hadis Bone, atau
pun umum seperti SMA I yang letaknya tepat di Jalan Su-
lawesi. Melihat dari luar lapangan saja lutut seakan hen-
dak copot. Aku sudah terkena demam tribun yang sa-
ngat akut. Konsentrasiku sudah mulai kacau. Muhaimin
masih tetap komat kamit menghafal materi, teman yang
satu terlihat lebih santai, karena ia hanya diplot untuk
menjawab soal yang berhubungan dengan jenis qira’ah
yang akan dibaca oleh qari’ perwakilan dewan juri.

Grup kedua dan ketiga telah selesai.


Kini babak terakhir penentu antara juara satu, dua,
dan tiga, peserta yang mewakili setiap grup dipersilah-
kan naik ke tribun. Kami yang pertama, sebagai peserta
regu A, disusul regu B pemenang dari grup kedua yang
mewakili Kecamatan Kajuara, salah satu satu personil-
nya santri Majelisul Huffazh Pitu-pitu yang masih duduk
di kelas lima KMI. Adapun regu C, mereka tuan rumah.
Regu inilah yang paling dijagokan untuk menang karena
pilihan dari tunas-tunas harapan Kota Bone yang terbaik.
Negeriku di Atas Awan - 473

Begitu pantat aku hempaskan di atas kursi plastik,


mata terasa berkunang-kunang. Terlihat lautan manusia
berada di depan tribun, mereka didominasi oleh para
siswa sekolah menengah lengkap dengan seragam seko-
lah masing-masing. Adapun peserta dari kafilah-kafilah
kecamatan terlihat menyingkir atau mungkin disingkir-
kan oleh gerombolan pelajar yang terus mendekat. Ter-
lihat nun jauh di sana, Indah dengan teman-temannya
membawa spanduk yel yel bertulis ‘Ewako…’ Yang arti-
nya mungkin begini, ‘ayo melawan jangan mau kalah…’
Kian membuat nyaliku ciut, kecuali Muhaimin dengan
temanku yang satu, mereka berdua lebih santai. Muhai-
min sudah pernah mengikuti even yang sama di level
berbeda lima tahun silang, teman yang satu hanya fokus
untuk menjawab satu atau dua pertanyaan, jadi wajar
kalau kedua temanku ini terlihat lebih menguasai diri.
Baru juga aku buktikan, kalau dalam perlombaan sema-
cam ini lawan kita sesungguhnya diri kita sendiri. Orang
lain hanyalah lawan ke sekian. Di sinilah pentingnya se-
buah mentalitas. Jadi untuk keluar sebagai pemenang
maka asset terpenting berupa mental setelah penguasa-
an materi.
Tibalah saatnya setiap ketua regu memperkenalkan
anggotanya masing-masing.
Kami berdiri, Muhaimin angkat bicara, “Kami dari
Regu A mewakili Kecamatan Libureng… yang betindak
sebagai ketua regu adalah saya atas nama Muhaimin
Muhammadiyah, dan di samping kanan saya…”
474 - Ilham Kadir

“Iwan Palimai…” jawabku lantang sambil mendo-


ngakkan kepala.
“Di samping kiri saya….” Sambung Muhaimin.
“Muhammad Farid…” jawab teman seregu dengan
suara khas seorang qari’ bening dan jernih.
Selesai setiap regu memperkenalkan anggotanya
masing-masing, kembali pendukung dari regu C berte-
puk tangan yang membuat suasana semakin terasa te-
gang. Sepertinya CCQ ini milik regu C saja. Gumamku.
Namun jauh dari lubuk hatinya, mereka seakan ter-
tekan karena dituntut untuk menang, sementara target
utama kami cukup masuk dalam putaran terakhir untuk
bisa mendulang juara kedua atau ketiga. Karena seba-
gaimana lazimnya yang lalu-lalu, selalunya yang keluar
sebagai juara umum tuan rumah.
Pak Muhammadiya juga berkali-kali menekankan
agar regu kami tampil lepas, jangan berambisi untuk
menang. Yang penting bisa menjawab seluruh pertanya-
an pada putaran pertama dan kedua itu sudah cukup
karena sudah mendapat seribu poin. Santai saja. Begitu
pesannya.
Untuk lomba final ini, dipimpin langsung oleh dewan
juri yang beranggotakan lima orang, semuanya meng-
gunakan baju safari khas pegawai Departeman Agama.
Dua yang bertugas membaca soal, satu pengawas yang
berfungsi sebagai ketua dewan juri, satu sebagai Qari’
dan seorang lainnya juru tulis angka di atas papan tulis.
Pembaca soal merupakan seorang ibu yang baru
kelihatan mukanya, kutaksir berumur tigapuluhan mu-
Negeriku di Atas Awan - 475

kanya mirip artis era delapan puluhan, Dina Mariana.


Dan satu lagi seorang bapak yang juga berumur tiga pu-
luhan menggunakan baju safari dan berkumis tebal.
“Soal pertama adalah pilihan dari dewan juri, soal
kedua pilihan dari setiap peserta, dan ketiga rebutan,
masing-masing soal berjumlah lima.” Terang pak juri
berkumis tebal.
“Baiklah kita akan mulai dari regu A…”
“Siapakah ilmuan muslim yang terkenal karena
karyanya yang berjudul Almuqaddimah?”
“Dia adalah Ibnu Khaldun…” jawab Muhaimin de-
ngan tanggap.
“Seratusss…” kata ibu mirip Dina Mariana itu.
“Siapakan penulis Kitab Bidayatul Mujtahid wa Ni-
haytul Muqtashid?”
“Ibnu Rusydi…” jawab Muhaimin tanpa ragu.
Aku dan Muhammad Farid ma-
sih tertegum, seakan belum begitu siuman.
pertanyaan demi pertanyaan di jawab oleh Muhaimin
dengan tuntas sebanyak empat kali. Dan regu kami telah
mendapat nilai empat ratus.
“Coba dengarkan baik-baik tilawah Alqur’an di
bawah ini, jenis qiraah apakah itu?” Pak Juri berkumis
tebal itu memberi instruksi. Mereka berdua seakan gan-
tian melempar pertanyaan kepada para peserta.
Seorang anggota juri melantungkan ayat-ayat suci
yang tidak melebihi dua ayat.
“Nahawan…” jawab Farid yakin.
“Seratus untuk regu A…”
476 - Ilham Kadir

Putaran pertama, kami mendapat angkan penuh,


pendukung kami makin mendekat walau dicegat oleh
Satpol PP yang menjadi pagar pengaman sejak babak
final dimulai. Kulirik dari jauh, Indah melambaikan ta-
ngan bersama teman-temannya yang sudah pasti telah
mengetahui hubungan asmara kami, sedang mulutku
masih terkatup, belum bisa mngucapkan sepatah kata
pun.
Pertanyaan selanjutnya pindah ke regu B, juga se-
mua terjawab dengan penuh, begitu pun dengan regu C.
Nilai sama, masing-masing lima ratus.
Pertanyaan putaran kedua juga demikian, regu
kami, regu B, dan C masing-masing mendapat poin pe-
nuh. Tibalah saat-saat yang dinanti. Pertanyaan rebutan.
Aku ingat sekali pesan Muhaimin, bahwa jika pertanyaan
pilihan atau wajib dimulai nama-nama tokoh, maka pada
soal rebutan pasti berkaitan dengan ayat-ayat Alqur’an
dan hadis.
Ibu mirip Dina Mariana membacakan soal, sejenak
setelah para peserta menyatakan siap.
“Sebutkan salah satu dalil yang menerangkan ten-
tang keistimewaan akhlak Nabi Muhammad!”
Kriiing… kriiing… kriiing… regu C lebih awal me-
nekan tombol sambil menunggu aba-aba dari dewan juri.
Ini berbeda dengan lomba awal tadi, yang bisa langsung
dijawab oleh peserta walau tanpa dipersilahkan.
“Silahkan, kata salah seorang dewan juri…”
“Wa innaka la’ala khuqin adhim, dan sesungguhnya
Negeriku di Atas Awan - 477

engkau wahai Muhammad memiliki akhlak yang mulia.”


Jawab regu C.
“Seratusss…” pekik Pak Juri.
Muhaimin menggerak-gerakkan pundaknya, mem-
beriku kode kalau seluruh pertanyaan berhubungan de-
ngan dalil atau ilmu-ilmu Alqur’an dan hadis. Itu mung-
kin maksudnya sebagaimana kutangkap. Juga pesannya
kepadaku agar menekan tombol saja, bisa menjawab
atau tidak itu soal belakang, karena bagaimana pun kita
telah menggenggam juara, hanya mencari yang terbaik
saja.
“Surah…”
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing…” kali ini tanganku yang
menekan tombol, kalau saja tidak ditepis oleh Muhaimin
maka suaranya akan tetap mengaung lebih lama.
“Regu A, silahkan…!”
“Al Mu’awwizatain97…” jawabku mantap.
“Seratusss…” dewan juri menyalak.
“Apa…..”
“Kriiing… kriiing…” tanganku kembali menekan
tombol, kali ini lebih teratur, aku tekan sebanyak dua
kali.
“Regu A, silahkan…”
“Surah yang turun di Mekkah di sebut makiyah, dan
yang turun di Madinah disebut Madaniyah…” jawabku
penuh semangat.
“Seratusss….”
Kami telah mengantongi poin tertinggi sebanyak
97 Surah al-Falaq dan an-Naas.
478 - Ilham Kadir

seribu dua ratus, lebih tinggi seratus dari regu C. Tepuk


tangan membahana.
Pertanyaan keempat juga aku jawab dengan lancar,
kecuali yang kelima kembali direbut oleh regu C. Tapi
regu kami sudah terlanjur menang dengan selisih sera-
tus dengan regu C dan tiga ratus dengan regu B, dalam
lomba terakhir ini regu B sama sekalai tidak mendapat
kesempatan untuk menjawab soal-soal. Total milik regu
A dan C.
Maka jadilah kami keluar sebagai pemenang. Di-
sanjung, dan dielu-elukan oleh para pendukung. Ter-
masuk para siswa-siswi sekolah menengah aliyah yang
pada awalnya mendukung jagoannya regu C, namun kini
mereka mengalihkan dukungannya pada kami, mereka
yang gembira hingga meloncat-loncat sambil menyebut
regu A adalah Indah dan konco-konconya. Ia terlihat
gembira melihat kekasih hatinya keluar jadi pemenang.
Sebuah kebanggaan buat seorang wanita jika mendapat-
kan pasangan yang bisa tanpil di depan umum, apalagi
menjadi idaman atau bahkan dambaan banyak orang.
Wanita paling suka pasangannya dikenal di mana-mana,
makin dikenal maka sang wanita makin merasa berbe-
sar hati dan bangga. Kontras dengan lelaki, ia tidak sudi
pasangannya dikenal orang banyak, ia hanya ingin agar
wanitanya itu miliknya sendiri. Ia ingin memiliki sang
pujaan dengan seutuhnya. Jadi Indah pantas bangga akan
keberhasilanku. Sebagaimana aku sangat bahagia karena
ia milikku seutuhnya.
Negeriku di Atas Awan - 479

Sekali lagi, inilah bukti keunggulan alumni pesan-


tren. Pertanyaan demi pertanyaan kami jawab on the spot.
Pada ujung lomba, terdapat sedikit masalah kecil,
masalah yang menggambarkan watak umum masyara-
kat Indonesia, yang selalu mau menang dan sangat susah
menerima kekalahan. Pendamping atau lebih tepatnya
pembina dari regu C naik ke tribun dan melancarkan
protes.
“Dewan Juri Yang Mulia… kami dari regu C tidak
bisa menerima kemenangan regu A karena mereka
bukan lagi berstatus sebagai siswa sekolah menengah,
mereka itu para mahasiswa!” protes bapak pendamping
grup C.
“Maaf hasil perlombaan tidak akan dianulir, per-
lombaan telah usai. Kalau memang Bapak tau kalau me-
reka mahasiswa kenapa baru protes saat ini, bukannya
sejak awal ketika lomba baru dimulai…” jawab Ketua
Dewan Juri dengan tegas.
Terdengar teriakan dari para pendukung kami de-
ngan serentak, “Huuuuuuu….” dan yang lain berteriak,
“Tidak mau kalaaaah…”
Pada malam penutupan, dibacakanlah seluruh pe-
menang dalam beragam lomba dan tingkatan. Yang ke-
luar sebagai juara umum adalah tuan rumah, sebagaima-
na biasanya. Adapun Kecamatan Libureng berada pada
urutan kedua, sedang juara umum ketiga Kecamatan Ka-
juara. Aku sendiri mendapat tempat ketiga dalam lom-
ba kaligrafi, satu tingkat di bawah Ustadz Furwadi yang
meraih juara dua.
480 - Ilham Kadir
Pintu 53
Surat Dari Malaysia

S
eumpama gasing, dunia terus berputar, dari de-
tik terakumulasi menjadi menit, berubah ke jam,
hari, minggu, dan bulan. Tidak terasa ujian semes-
ter pertama di perguruan tinggi STAIN Watampone te-
lah dihelat. Para Mahasiswa diliburkan sambil menung-
gu hasil ujian. Kesempatan ini aku pergunakan untuk
kembali ke Pitu-pitu bertemu teman-teman. Pada saat
bersamaan aku mendapatkan sebuah amplop berukuran
10 x 30 cm. ditujukan kepadaku dari Ustdaz Arif di Ma-
laysia. Amplop itu berisi sebuah surat dan dua rangkap
formulir untuk program transfer srudent ke Internatio-
nal Islamic University Malaysia.
Setelah kupelajari dengan teliti, formulir aku isi
dengan sebaik-baiknya, termasuk memenuhi perminta-
an untuk mengambil rekomendasi dari perguruan tinggi
asal. Semua telah kulengkapi dan langsung aku kirim ke
sekretariat penerimaan mahasiswa baru di Jalan Bukit
Damansara Petaling Jaya Selangor. Tinggal satu masa-
lah. Yaitu agar segera memiliki paspor, karena begitu
ada panggilan maka harus berangkat sesegera mungkin.

481
482 - Ilham Kadir

Jadi sebelum ada panggilan dokumen berupa paspor su-


dah harus ada di tangan.
Dari Watampone, aku langsung berangkat ke Ujung
Pandang untuk mengurus pembuatan dokumen perja-
lanan ke luar negeri itu. Sesampai di Kantor Imigrasi
sebuah formulir bermap kuning aku beli dengan seharga
dua puluh ribu rupiah, seluruh persyaratan aku penuhi.
Formulir yang telah kuisi dengan sempurna kuserahkan
di loket permohonan. Seorang petugas loket membe-
ritahukan agar aku datang satu minggu kemudian, tapi
kuterangkan kalau aku berasal dari Bone, dan saat ini
menumpang di rumah tanteku. Waktu satu minggu sa-
ngatlah lama bagiku.
“Bisa tidak Pak hari ini berkas saya diproses?”
ibahku pada penjaga loket berkumis tipis dan berbibir
tebal itu.
Ia berpikir sejenak.
“Begini saja Dik, serahkan semua padaku. Tapi de-
ngan syarat harus menambah ongkosnya, sebagai jasa
atau imbalan begitu…” tawarnya padaku.
Aku sangat paham maksudnya. Di negeri ini me-
mang tidak ada yang murni dari korupsi. Seluruh instan-
si termasuk yang ada di depanku sekarang. Ia seakan
tahu posisiku saat ini, yang terjepit, dan hampir mus-
tahil untuk mengikuti prosedur yang dibuat-buat oleh
pihak imigrasi. Bayangkan untuk seleksi berkas saja bu-
tuh waktu satu minggu, setelah itu menunggu lagi dua
minggu kemudian untuk wawancara dan foto, dan satu
Negeriku di Atas Awan - 483

minggu setelah itu barulah selesai. Jadi untuk menunggu


hingga tuntas harus memakan waktu minimal satu bu-
lan. Hal yang tidak mungkin aku penuhi.
Aku masih berpikir.
“Bagaimana Dik?” tanya petugas loket berkumis ti-
pis itu.
“Berapa ya Pak tambahannya?” tanyaku langsung
to the poin.
“Kalau normal kan 200.000 rupiah, kalau mau di-
uruskan tambah lagi 150.000 rupiah, totalnya 350.000
rupiah.”
“Bapak pasti tau kalau saya ini hanyalah mahasis-
wa, bukan pekerja, dan saya mau ke Malaysia juga ingin
belajar, bukan bekerja jadi saya minta keringanan Pak?”
tawarku.
“Oh, adik mahasiswa ya?” tanyanya heran. Mungkin
juga ia takut didemo.
“Okelah kalau begitu Dik, saya kasi kurang, Adik
bayar saja 270.000 rupiah.” Sambungnya lagi tanpa
memberi waktu untuk menjawab pertanyaannya tentang
statusku sebagai mahasiswa.
Tanpa berpikir panjang.
“Oke Pak, saya setuju. Tapi kapan bisa selesai?”
“Besok adik ke sini, kalau tidak ada halangan be-
sok sebelum salat Jumat akan selesai, bayarnya setelah
selesai saja!”
Keesokan harinya, sebelum kantor dibuka aku su-
dah lebih dulu datang di depan kantor imigrasi, yang
484 - Ilham Kadir

tidak jauh dari pelabuhan. Tidak begitu lama, kantor di-


buka dan para pegawai datang satu persatu memasuki
kantor. Terlihat Bapak Penjaga Loket berkumis tipis itu
telah datang juga. Ia mempersilahkan aku duduk di de-
retan bangku khusus antrean.
“Duduk di sini saja, sambil menunggu panggilan, ini
nomor antreannya!” kata Bapak Berkumis tipis itu sam-
bil menyerahkan nomor antrean.
Aku diuntungkan karena lebih awal datang, jadi aku
juga berada di nomor antrean terdepan. Tidak lama ke-
mudian namaku dipanggil untuk wawancara.
“Silahkan masuk.” Terdengar suara dari dalam ru-
angan yang berukuran empat meter persegi itu.
“ Siapa namamu?” tanya Bapak Pewawancara.
“Iwan Palimai Pak.” Jawabku.
“Asal dari mana?”
“Watangcani, Bontocani, Bone.”
“Untuk apa saudara buat paspor?”
“Saya berencana hendak kuliah di luar negeri Pak?”
“Saudara Mahasiswa?”
“Iya Pak.”
“Oke, saudara bisa keluar, semoga sukses.”
“Terima kasih Pak.”
Aku pun keluar dan kembali menunggu di deretan
kursi. Tidak begitu lama, namaku kembali dipanggil, kali
ini untuk masuk di sebuah ruangan mirip studio foto.
Di ruangan ini aku difoto kemudian dimintai cap jem-
pol dari seluruh jari-jari baik kiri mau pun kanan. Aku
Negeriku di Atas Awan - 485

kembali duduk di deretan para pengantre yang makin


sesak saja. Ditambah dengan mengepulnya asap rokok
dari berbagai penjuru. Kipas angin yang ada di atas ke-
pala seakan memutar udara yang itu-itu saja. Tidak ada
perubahan suhu dan bau pengapnya.
Ketika aku asyik membolak-balikkan sebuah su-
rat kabar harian ternama, aku dihampiri oleh seorang
yang memakai pakaian jubah panjang warna abu dipa-
du dengan mengenakan celana panjang dari warna dan
bahan yang sama, besongkok kuning khas seorang haji.
Aku bisa tebak kalau teman yang duduk di dekatku ini
seorang anggota jamaah tabligh sebuah kelompok atau
lebih tepatnya golongan yang memiliki militansi yang
tinggi dalam berdakwah. Asal muasal jamaah ini dari In-
dia, diasaskan oleh Maulana Ilyas, seorang Syaikh memi-
liki keilmuan yang mumpuni. Pengikutnya telah tersebar
ke seluruh negeri. Ciri khasnya bepakaian seperti orang
di sampingku ini, memiliki kegiatan dakwah yang juga
berbeda pada umumnya. Di antaranya, setiap pengikut
harus khuruj atau keluar berdakwah minimal tiga hari
dalam satu bulan, empat puluh hari dalam setahun, dan
empat bulan seumur hidup, ini pada level anggota pe-
mula. Adapun untuk tahap tertentu mereka menyisakan
hampir seluruh hidupnya untuk berdakwah, bahkan ada
yang khuruj seumur hidup. Materi-materi dakwahnya
juga sangat sederhana fokus utamanya adalah dorongan
untuk mengoptimalkan masjid sebagai sarana utama da-
lam melakukan ritual keagamaan seperti salat jama’ah,
486 - Ilham Kadir

taklim, tadarrus, dan ragam amalan yang intinya meng-


hidupkan masjid. Di belahan dunia ini, sudah tidak terhi-
tung berapa masjid yang pada awalnya sudah mati kem-
bali hidup lewat peran para jamaah ini. Tidak hanya di
daerah-daerah pedalaman yang tak tersentuh oleh para
dai, namun sampai ke belahan dunia Eropa sekalipun,
ada beberapa gereja dan bioskop yang dapat disulap oleh
jamaah ini menjadi masjid. Pendek kata, jamaah ini me-
miliki kontribusi besar dalam menegakkan kalimat tau-
hid dan menghidupkan sunnah, kendati masih memiliki
beragam kekeliruan yang tetap harus dibenahi.
Dan salah satu dari jamaah itu duduk di sampingku.
“Mengurus paspor juga Pak?” tanyaku berani mem-
buka pembicaraan pada anggota jamaah tabligh yang
berjenggot tipis panjang tanpa kumis ini.
“Owh, tidak… saya ada urusan dengan salah se-
orang pegawai di sini, Kamu mengurus paspor ya?” ia
kembali bertanya padaku.
“Iya, saya sedang menunggu panggilan saja, karena
seleruh prosedur sudah saya lalui.”
“Memang mau kemana? Oya kita belum kenalan,
nama saya Awaluddin panggil Awal saja.”
“Saya Iwan Palimai, panggil Iwan. Saya berencana
hendak melanjutkan kuliah di Malaysia.”
“Saya juga sering ke Malaysia, saya biasa menginap
di Masjid Petaling Jaya. Rencana kuliah di mana?”
“Di International Islamic University.” Jawabku sing-
kat.
Negeriku di Atas Awan - 487

“Owh, saya tau itu tempatnya, tidak jauh dari Masjid


Petaling Jaya. Kalau sudah kuliah di sana sering-sering
aja ke Masjid Petaling dan tanyakan jamaah yang berasal
dari Indonesia, sebut nama saya. Ini nomor telepon saya.
Telepon masjid petaling.” Katanya sambil menuliskan no
telepon dari secarik kertas dan menyerahkan kepadaku.
“Bapak sendiri asal dari mana?” tanyaku lagi.
“Saya tinggal di sini, tapi asli orang Bone.”
“Saya juga dari Bone Pak, dari Bontocani, tapi untuk
sementara saya kuliah di STAIN Watampone.”
“Memang dulu pernah sekolah di mana sebelum
kuliah di STAIN?”
“Owh, saya dari Pesantren Majelisul Huffadz Pitu-
-pitu.”
“Kalau Pesantren itu saya kenal karena ada kepona-
kan pernah sekolah di sana, dari Kota Bone juga.”
“Namanya siapa, mungkin saja saya kenal.” Tanya-
ku antusias.
“Namanya Hamsah, ayahnya bernama Pak Akh-
sin Pimpinan Muhammadiyah Bone, Ibunya bernama
Nikmah.” Jawabnya tuntas.
Mendengar jawabannya yang begitu lengkap aku
sangat terkejut, dan berguman dalam hati. Betapa sem-
pitnya dunia ini. Tapi aku berusaha menyembunyikan
keterkejutanku.
“Tinggal di Jalan Sulawesi bukan?” tanyaku seakan
pura-pura.
“Iya, betul. Kenal ya?” ia heran dan kembali ber-
tanya.
488 - Ilham Kadir

“Sangat kenal, dia kawan baik saya selama di pon-


dok sampai sekarang. Dua bulan yang lalu saya menum-
pang di rumahnya. Itu keluarga ya?”
“Iya, keluarga dekat. Ibunya Hamsah merupakan
kakak kandung saya, jadi saya ini pamannya.”
“Kapan terakhir Bapak ke sana?” tanyaku.
“Minggu kemarin, saya ke sini karena ada kaitan
dengan adiknya Hamsah.” Jawabnya datar.
Mendengar kata-katanya membuatku penasaran,
adik Hamsah yang mana? Setau aku adiknya kan masih
kecil-kecil, termasuk Indah yang masih kelas dua Aliah.
Kekasihku itu.
“Maaf, adiknya yang mana, maksud Bapak?”
“Adik perempuannya, yang namanya Indah.”
Mendengar jawabannya, aku merasa sudah ada se-
suatu yang ganjil. Ada yang kurang beres. Begitu menu-
rut firasatku.
“Memang ada apa dengan Indah.” Tanyaku penasar-
an, dengan nada terkesan kurang bersahabat.
“Kemarin saya ke sana berjumpa dengan Pak Akh-
sin dan Ibu Nikmah kakak saya, tujuan saya untuk mela-
mar Indah. Maksud saya, melamarkan salah seorang ja-
maah yang bekerja di sini sebagai pegawai imigrasi, dan
mereka menerima.” Jawab Pak Awal dengan jelas, tanpa
perlu penafsiran.
Mendengar jawabannya, membuatku seakan hilang
ingatan. Berada jauh di belahan dunia lain, bahkan lebih
dari itu. Perasaanku sudah bukan lagi berpijak di bumi ini.
Negeriku di Atas Awan - 489

Berada di sebuah alam yang sedang dilanda huru-hara,


para manusia dari Nabi Adam hingga cucu terakhir bani
Adam digiring ke suatu tempat yang luasnya sepanjang
mata memandang. Di padang pasir yang tandus tiada
tempat ‘tuk berteduh. Di mana matahari berada seakan
di atas kepala. Panasnya membara tak henti-hentinya
menjulurkan lidah apinya. Para manusia berkumpul dan
selanjutnya berbondong-bondong laksana kawanan bi-
son di pedalaman Afrika yang diburu singa-singa lapar
dan ganas untuk bergerak melewati sebuah jalan setapak
yang terbuat dari jembatan gantung, di bawah jembatan
terlihat api menyala-nyala menggelegar menjilat-jilat
alas jembatan yang terbuat dari bambu tua. Di seberang
sana terlihat suasana yang berbeda, udarnya sejuk, ham-
paran buminya hijau, pohon-pohonnya penuh dengan
dedaunan dan buah-buahan yang ranum.
Semua manusia sudah berbondong-bondong menu-
ju jembatan yang dijilat api mahapanas. Aku tepat berada
diujung jembatan, begitu kaki kananku menginjak ujung
bambu, tiba-tiba ditarik lantas dilempar masuk ke da-
lam jurang yang penuh dengan api mahapanas itu. Dan
yang melemparkan aku adalah manusia yang berada di
sampingku ini. Awaluddin. Itulah gambaran perasaanku
saat ini pada sosok manusia yang berpakaian ala jama-
ah tablig ini. Pembicaraanku dengannya dari tadi seakan
sia-sia dan rasanya hendak kutelan mentah-mentah ma-
nusia ini. Sebuah kemarahan yang melebihi murkanya
iblis kepada Adam. Karena Adam, maka iblis harus men-
490 - Ilham Kadir

jadi makhluk terkutuk sepanjang masa, dan kelak akan


menjadi penduduk abadi neraka.
Mulutku terkatup dan tak mampu berucap apa-apa,
serasa seluruh tulang belulang tanggal dari raga ini, le-
mas terkulai laksana seekor ular cobra yang telah di-
potong kepalanya untuk diminum darahnya oleh para
perajurit haus darah. Duduk, merunduk, diam, geram
stadium tinggi sampai-sampai koran berita harian yang
tadinya kubaca dengan khusyuk kini kuremas-remas bak
adonan barongko. Pertanyaan demi pertanyaan yang ke-
luar dari mulut Pak Awal padaku tak kuhiraukan sedikit
pun, kalau terpaksa kujawab, yang meluncur dari mulut-
ku hanyalah kata, “Iya, tidak, mungkin saja, oya.” Hing-
galah aku dipanggil oleh Bapak Penjaga Loket Berkumis
Tipis Berbibir Tebal itu.
“Saudara Iwan Palimai...” sebutnya dengan nada
tinggi, rupanya ia telah menyebut namaku lebih dari dua
kali, karena itulah nada suaranya tinggi memecah hiruk-
-pikuk suasana ruang tunggu. Memecah kegalauan yang
berkecamuk dalam hati dan benakku.
Aku melangkah tanpa berkata apa-apa bahkan me-
noleh pun tak sudi kepada lelaki yang ada di sampingku
tadi, ia seakan telah menimpakan tujuh petala langit di
atas pundakku. Aku mendekati loket, kuambil paspor
dan kutandatangani bukti penerimaan serta kubayar
dengan nominal 270.000 rupiah. Dan langsung raib dari
kantor imigrasi, meninggalkan semua manusia di situ,
meninggalakan Pak Awal, juga calon suami kekasihku In-
dah. Satu hal yang jangan sampai terjadi, bertatap muka
Negeriku di Atas Awan - 491

dengan calon suami jelitaku. Kalau itu berlangsung akan


terjadi perang dunia ketiga secara tak terduga unpredic-
table, mungkin langsung kuserang, kusobek-sobek mu-
kanya, kuinjak-injak kakinya, dan akan kubelah dadanya,
kutelan jantungnya. Aku benar-benar sudah tidak waras,
mengalahkan anggota dewan yang saling cakar-men-
cakar pada waktu sidang di Gedung Parlemen Senayan
dan ditonton jutaan pemirsa di seluruh pelosok tanah
air, kegilaanku mengalahkan mereka. Jangan sekali-kali
membayangkan! Kalau saja seandainya ada tawaran un-
tuk menjelma masuk dalam golongan iblis namun masih
bisa mendapatkan Indah, maka bisa saja aku terima. Se-
kali lagi aku tidak waras.
Dalam perjalanan pulang ke rumah tanteku di Jalan
Butta Teana, seakan pete’-pete’ yang kutumpangi laksana
semut kecil, orang-orang di sekitarku ibarat anai-anai
yang bergerombolan menunggu dimangsa oleh ayam
kalkum. Semuanya tak terlihat sebagaimana mestinya.
Mereka lebih kerdil dari makhluk liliput sekalipun.
Darahku masih mendesir, mendidih, menggelegak,
berasap. Seandainya dikeluarkan saja sekitar setengah
gelas, mungkin gelasnya akan pecah, meleleh, karena
suhunya melebihi ambang batas. Panasnya melebihi api
sang padai besi yang dapat menyulap rantai motor men-
jadi pedang samurai imitasi. Hidup terasa sudah bera-
khir sampai di sini, sudah tidak ada lagi hari esok apa-
lagi masa depan.

492 - Ilham Kadir

Aku berada di hutan rimba, hutan yang tidak asing


bagiku, rasanya sudah dua kali aku ke tempat ini, ber-
sama dengan ayah sekitar sepuluh atau sebelas tahun
silam. Untuk pertamakalinya aku dengan ayah ke tem-
pat ini bertujuan memeriksa kayu yang bisa ditebang
agar dapat dijadikan balok dan selanjutnya diangkut ke
kampung untuk dipergunakan sebagai bahan baku mem-
bangun rumah. Yang kedua kalinya ketika mengambil
madu dari sarang lebah hitam dengan menggunakan
teknik pengasapan untuk mengusir para lebah-lebah
ganas itu. Dan sekarang aku kembali di tempat ini un-
tuk mengambil madu tanpa ditemani siapa-siapa, begi-
tu bambu berbentuk penjolok yang ujungnya dipenuhi
sabut kelapa sebagai sumber asap hendak kunyalakan,
tiba-tiba segerombolan lebah hitam datang berputar-
-putar di atas kepalaku dengan suara seperti helikop-
ter. Aku ingat petuah orang-orangtua, katanya kalau ada
lebah yang akan menyerang jangan lari tapi diam saja,
tahan nafas seperti mayat, lebah tak akan mengganggu
mayat. Aku pun lakukan petuah itu dan lebah-lebah itu
masih saja di atas kepalaku kendati belum menyerangku.
Begitu aku bernafas sekonyong-konyong datang
mengeroyok, dan alternatif terakhir adalah lari menca-
ri sungai sambil disengat lebah hitam itu. Lebah yang
terkenal ganas di belantara hutan Bontocani, sudah tak
terhitung berapa keturunan Adam jadi almarhum kare-
na lebah hitam, juga sudah menjadi berita rutin setiap
tahun minimal sekor kuda mati gara-gara kekejaman
Negeriku di Atas Awan - 493

sang lebah. Dan kini akulah korbannya. Aku pun lin-


tang pukang mencari sungai, lari sekencang-kencangnya,
hingga aku berada di atas tebing tinggi, persis di bawa
tebing itu terdapat jurang yang amat dalam. Di penghu-
jung kaki jurang itulah terdapat sungai yang arus airnya
deras, karena aku diberi dua pilihan. Pertama bertahan
dan tetap disengat lebah hingga mampus, atau loncat
dari atas tebing yang berjurang untuk mendapatkan air
sungai supaya bisa menceburkan diri, agar lebah-lebah
ini menyangka kalau saya sudah tenggelam jadi batu.
Syaratnya, ketika sampai di dalam air baju harus aku
lepas lalu kuhanyutkan supaya diikuti oleh lebah untuk
mengaburkan naluri mereka kalau aku masih hidup di
dalam air. Aku pun loncat dari ketinggian sejauh mata
memandang.
Begitu hendak terhempas di atas batu yang berada
di tengah-tengah air mengalir, tiba-tiba sebuah tongkat
terulur sambil terdengar suara, “pengang kuat-kuat!”
aku pun raih tongkat itu, lalu kembali seseorang yang te-
lah mendidikku selama satu windu datang menghampiri
dan berujar, “safir tajid ‘iwadan amman tufariquhu, be-
pergianlah niscaya engkau akan mendapatkan pengganti
dari apa (siapa) yang engkau tinggalkan. Laksanakanlah
petuah Imam Syafi’i itu, jangan hanya sebatas dihafal…”
itulah pesan Kiai Said. Tiba-tiba aku pun terbangun. “Ah,
ternyata aku bermimpi.” Gumamku sambil duduk dan
mendongakkan kepala ke arah tembok, kulihat jam din-
ding tepat pukul tiga lewat tujuh menit. Aku pun beran-
494 - Ilham Kadir

jak mengambil air wudhu di kamar mandi, lalu melaksa-


nakan salat sunnah dua rakaat. Usai salat aku langsung
meraih sebuh mushaf dan membukanya, ketika kubuka
mataku langsung tertuju kepada sebuah ayat dalam su-
rah Annisa’ ayat seratus, “Barangsiapa berhijrah di jalan
Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang Luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Peng-
ampun lagi Maha Penyayang.”
Setelah menelaah, merenung, dan menghubungkan
dengan mimpiku tadi, maka aku mengambil kesimpul-
an kalau takwil mimpiku tadi, agar segera melakukan
perjalanan atau merantau, karena dengan itu bisa me-
reduksi kegalauan, melihat suasana di belahan bumi
lain, memperoleh pengganti apa yang ditinggalkan, dan
beragam manfaat lainnya. Beginilah cara menakwilkan
mimpi yang sering diajarkan Kiai Said kepadaku. Dan
aku yakin itu.
Pagi itu, aku merasa lega. Beban di pundakku se-
akan hilang satu persatu, berguguran. Pikiranku kini
terfokus kepada usaha mengumpulkan bekal agar bisa
berangkat ke Malaysia dengan segera. Aku sudah me-
nyusun beberapa plan. Kalau keinginan utamaku gagal,
yaitu kuliah di International Islamic University, maka aku
harus punya plan B atau C.
Negeriku di Atas Awan - 495

Pagi itu juga aku kembali ke Watampone untuk


yang terakhir kalinya. Aku tidak sempat menguhubungi
teman-teman yang ada di Ujung Pandang, baik Azis mau-
pun Jurman. Adapun Afif aku dapat kabar kalau ia sudah
berada di Jakarta.
496 - Ilham Kadir
Pintu 54
Bukan Pengemis Cinta

D
alam perjalanan menuju Watampone, terasa
bus yang kutumpangi bernama “Cahaya Bone”
ini terus melaju membela bukit bebatuan dan
trowongan batu cadas serta onggokan karst. Kali ini aku
berusaha menikmati pemandangan yang terdiri dari pe-
pohonan, dahan dan rantingnya saling menjuntai antara
satu dengan lainnya, kebun-kebun para petani jagung,
barisan penjual buahan yang berjejer, rumah-rumah
petani yang berbentuk triangle dari kejauhan, tanaman
padi yang terlihat menguning bak bentangan permadani
kuning keemasan. Pemandangan ini seakan memaksaku
untuk bertafakur akan kebesaran Allah sebagai Maha
Pencipta, tapi aku tetap saja tidak bisa tenang, kendati
sudah berusaha untuk itu. Masih tetap bertempur dan
terus konsisten menghalau kegundahan. Cinta benar-
-benar telah membangkitkan energiku hingga melam-
bung membentur petala langit ke tujuh. Namun dalam
waktu yang singkat ia menghempaskan aku kedalam lu-
bang perut bumi yang menganga.

497
498 - Ilham Kadir

Cita-citaku untuk berangakat lebih dulu ke Malay-


sia guna melanjutkan studi dan beberapa saat kemudi-
an kembali ke Watampone untuk mempersunting Indah
benar-benar hanya mimpi. Ia tak ‘kan pernah terwujud.
Aku berusaha tegar, agar bisa kembali siuman, me-
ngumpulkan sisa-sisa tenaga agar dapat berpacu meraih
mimpi utama. Aku ingin mengumpulkan seluruh energi-
ku hanya untuk yang pertama. Belajar dan belajar, bukan
belajar dan menikah sebagaimana rencana awalku.
Ya, hanya untuk belajar. Karena Indah akan sege-
ra menjadi masa lalu. Ia akan diambil orang. Perlahan-
-lahan semangatku kembali menyatu, ibarat jaringan sel
yang terputus kini mulai terjalin kembali. Aku tidak bisa
terlalu lama dalam kesedihan ini. Masa depanku masih
terbentang luas.
Aku mulai menyadari kalau cinta itu memang ada,
menyadari kalau cinta pertama tak terlupakan sekali-
gus menyenangkan, manis melebihi madu, gurih mele-
bihi ikan gurame, pedas melebihi cabai rawit, dan entah
apa lagi gambarannya. Cinta pertama sebagai dambaan
semua orang, baik pria maupun wanita. Tapi kini telah
kusadari juga, kalau cinta pertama itu ada dan sekaligus
tiada. Ada karena ia benar-benar hadir, tiada karena ia
tak kan terjadi baik pada diriku dan juga pada manusia
lainnya. Tunjukkan padaku kalau memang ada! Aku ber-
usa menghibur diri.
Asmaraku dengan Indah adalah masa lalu, dan be-
rangkat untuk melanjutkan kuliah di Malaysia adalah
Negeriku di Atas Awan - 499

masa depan. Aku diberi pilihan, mengejar masa depan


atau mengingat-ingat masa lalu yang akan merontokkan
jiwaku hingga ragaku ikut terkulai. Kini pilihanku me-
raih masa depan, bukannya meratapi masa lalu. Kata-
-kata itu terus berulang-ulang dalam benakku.
Bus berkapasitas empat puluh penumpang ini terus
menderu-deru, melaju kencang, menyembulkan asap hi-
tam berbau khas mesin diesel, membuat pohon-pohon
seakan berkejaran mundur ke belakang. Yang pada
akhirnya sampai jua pada tujuannya. Watampone. Aku
pun langsung menuju tempat tinggalku di rumah teman-
ku. Muhaimin.
“Bagaimana urusan Kamu, beres?” sambutnya di
depan halaman rumahnya.
“Al-Hamdulillah beres semuanya.”
“Lumayan cepat juga, setau saya kalau buat pasport
minimal sepuluh hari. Kenapa bisa secepat itu?”
“Ada caranya supaya cepat.”
“Caranya bagaimana? Siapa tau suatu saat saya juga
ke luar negeri?”
“Biasalah birokrasi, yang berdekatan dengan bo-
rokrasi! Yang penting ada hepeng, kan hepeng mangatur
nagara ong, kata orang Batak, he… he… he…” jawabku
sambil bercanda.
Muhaimin pun tau maksudku, kalau di negeri ini
apa pun namanya selama itu berhubungan dengan layan-
an masyarakat atau pun birokrasi pastilah manyusahkan.
Dan hanya bisa dimudahkan jika menggunakan jasa alias
500 - Ilham Kadir

duit. Semua serba duit apa pun itu. Bahkan yang berhu-
bungan dengan asmara sekali pun sangat membutuhkan
uang. Berapa banyak cinta tergadai gara-gara tak ada bi-
aya. Terlebih lagi berhubungan dengan paspor.
“Ya sudah sana, Kamu mandi dulu terus makan.
Tadi saya masak nasi, kebetulan hari ini tetangga kita
berbaik hati, ia mengantarkan lauk.”
“Wah, lama-kelamaan bisa jadi ‘tetanggaku ido-
laku’.”
Muhaimin hanya membalas kata-kataku dengan se-
buah senyuman yang hambar.
Aku letakkan tasku di atas kasur, menyambar
handuk dan langsung masuk kamar mandi. Selesai itu,
badan terasa lebih segar, otot-otot terasa kembali nor-
mal, serta saraf kembali berfungsi dengan baik. Kendati
udara cukup panas. Mandi memang dapat kembali me-
nyegarkan otak dan badan serta mengencangakan otot
yang kendur. Pikiran pun terasa segar. Perjalanan dari
Ujuang Pandang ke Watampone memang cukup melelah-
kan, setidaknya menghabiskan waktu paling tidak empat
sampai lima jam. Terlihat jam sudah menunjukkan pukul
satu lewat tiga puluh menit. Selesai makan siang, aku
pun meraih sajadah dan menunaikan salat Zuhur di ru-
ang tengah. Saya tidak sempat salat berjamaah karena
pak sopir tidak mungkin singgah untuk itu.
Bakda salat aku pun menuju kasur dan terlelap.

Negeriku di Atas Awan - 501

Satu jam kemudian, aku terbangun. Melihat Muhai-


min sedang duduk di teras membolak-balikkan sebuah
majalah yang bertulis ‘Sahid Hidayatullah’, satu-satunya
media Islam yang menjangkau hampir seluruh pelosok
nusantara hingga ke daerah-daerah seperti Bone ini.
Isinya juga sangat bagus, walau contennya terasa meng-
gurui tapi paparan dan kajian utamanya sangat mena-
rik. Aku paling suka membaca Tulsan-tulisan Ustadz
Abdullah Said. Beliau sangat lihai dalam menerangkan
ilmu-ilmu tauhid. Terutama jika dipadukan dengan surah
al-Alaq. Majalah itu aku dapat dari seorang teman yang
berlangganan bulanan.
“Bagaimana isinya? Bagus tidak?” tanyaku memulai
pembicaraan.
“Sudah berkali-kali saya tamatkan.” Jawabnya san-
tai.
“Lusa saya rencana mau pulang kampung. Ikut abah
karena ia mau datang. Kan liburan masih ada satu ming-
gu lagi. Bagaimana kalau Kamu juga ikut?” ajaknya, sam-
bil menoleh kepadaku.
“Bisa juga, tapi kemungkinan saya sudah tidak balik
ke sini lagi. Rencana langsung pulang ke Bontocani terus
ke Jakarta, tapi sebelumnya saya hendak singgah ke Pa-
lattae dulu.”
“Kenapa tidak balik ke sini lagi? Mau kemana?” ta-
nyanya dengan nada tinggi.
“Saya percepat keberangkatanku. Mau singgah Ja-
karta, di rumah kakak saya.”
502 - Ilham Kadir

“Terus kapan ke Malaysia? bagaimana kuliahnya di


sini, kenapa tidak tunggu panggilan dulu baru berang-
kat?” Tanyanya dengan langsung tiga pertanyaan dengan
nada tinggi tanpa koma.
Aku diam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat.
“Aku tunggu di Jakarta saja beritanya, ada atau ti-
daknya panggilan, saya tetap harus berangkat. Kamu saja
yang lihat pengumuman, kan sekitar satu minggu lagi.”
“Kamu sudah beritahu Indah belum?” tanyanya
yang membuat aliran darahku kembali mengalir ken-
cang, naik turun dari ujung kaki ke ujung kepala.
Mataku berkaca-kaca, mukaku pucat pasih, kepala-
ku tunduk, masih tetap terdiam, menunggu ilham untuk
menjawab pertanyaan temanku dengan tepat.
“Kok diam? Ada masalah?” tanyanya lagi. Seakan ia
dapat menerawang perasaanku.
Aku ingin berkata jujur, tapi sulit rasanya, dada te-
rasa sesak, mulut masih terkunci.
“Iya, ada masalah, tapi hanya masalah kecil, dan itu
sudah dapat kuatasi.” Jawabku dingin untuk menghibur
hati yang hancur berkeping-keping.
“Masalahnya sekecil apa itu. Siapa tau bisa saya
bantu.” Ia kembali bertanya, dan seakan memaksa aku
untuk menjawabnya.
“Indah akan menikah!” jawabku singkat tanpa me-
mandang matanya. Aku tertunduk.
“Apa? Indah akan menikah, dan itu masalah kecil?
Luar biasa!” jawabnya dengan nada lebih tinggi sambil
Negeriku di Atas Awan - 503

menggelengkan kepala. Lalu ia diam sesaat. Seakan ber-


pikir untuk memberiku solusi.
“Dapat berita dari mana? Apakah sudah pasti, mak-
sud saya beritanya dapat dipercaya tidak?” ia kembali
memulai pertanyaan.
“Dapat berita dari pamannya, dia yang datang me-
lamarkan temannya.”
“Dan Kamu yakin?”
“Sangat yakin.”
“Sudah jumpa atau konfirmasi pada Indah?”
“Belum. Tapi apa perlunya aku jumpa dia?”
“Sangat perlu Kawan! Setidaknya untuk tabayun,
atau pun Kamu harus perlihatkan kalau kita ini pria
yang berjiwa besar. Tak kenal kata kecewa apalagi putus
asa hanya karena seorang wanita. Kita lelaki penakluk.
Bukan pengemis cinta! Kamu bisa buktikan kalau gugur
satu tumbuh sepuluh.”
“Ini soal hati Kawan!”
“Iya, aku paham, tapi jumpailah ia, siapa tau ada
sesuatu yang ingin dia sampaikan padamu untuk yang
terakhir kalinya. Lakukanlah! Demi cintamu padanya
dan cintanya padamu.”
Aku kembali terdiam, memikirkan anjuran teman-
ku ini. Memang aku sangat mengakui kalau semenjak
berteman dengannya, kami berdua senantiasa bertukar
pikiran, baik saran-sarannya maupun ide-ide kami sela-
ma ini selalu saja bermakna positif untuk kami berdua.
Kami saling bahu membahu dalam apa saja, jika aku air
504 - Ilham Kadir

maka ia laksana tanaman, jika aku angin maka dia pepo-


honan, begitulah umpama eksistensi kami berdua. Dan
mungkin inilah sarannya untuk yang terakhir kalinya
padaku.
“Besok saya akan ketemu Indah.” Jawabku meya-
kinkan.
Keesokan harinya, kami berdua meninggalkan ru-
mah secara bersamaan. Muhaimin menuju kampus dan
masuk perpustakaan untuk mengembalikan buku, seka-
ligus mencari informasi. Sedangkan aku langsung menu-
ju ke Pasar Sentral. Dan bergeser sedikit ke timur me-
nuju gerbang Sekolah MAN I, karena Pak Satpan sudah
terlalu sering melihat aku hilir mudik di sekolah ini, dan
juga telah mengetahui tentang hubungan asmara kami
dengan salah satu siswi, maka ia pun cuek dan tak mau
ambil pusing jika aku langsung masuk ke dalam sekolah.
Kulihat jam tangan, tepat pukul sembilan kurang lima
menit. Jadi tepat lima menit kedepan lonceng tanda isti-
rahat akan berdentang.
Begitu ia keluar dari kelas menuju kantin. Aku ce-
gat ia dengan sigapnya.
“Adik Indah, kakak mau bicara sebentar.”
“Kenapa sebentar Kak? Lama juga tidak apa-apa
kok!” jawabnya dengan nada sedan. Sepertinya ia telah
meramal apa yang ada dalam benakku.
“Yang benar? Kan lagi belajar, kakak takut meng-
ganggu.” Jawabku beralasan.
Negeriku di Atas Awan - 505

“Sekali-kali bolos tidak apa-apa kok. Lagian se-


karang kan tinggal mengulang pelajaran saja, soalnya
minggu depan akan ujian.”
“Jadi, bisa keluar nih?”
“Terserah Kakak aja deh, adik ikut saja.”
Kami berdua pun keluar, tepat di sudut Rumah
Adat Kabupaten Bone Assarajangnge, terdapat sebuah
warung sederhana yang lumayan nyaman. Terlihat kalau
para pelanggangnya berasal dari tamu-tamu hotel yang
berada di sebelah utara Rumah Adat itu. Kupesan teh
manis hangat.
“Tumben, hari ini baik sekali sama kakak sampai
mau diajak keluar segala, sendirian lagi bukannya berti-
ga seperti biasa. Ada apa ini?” tanyaku memecah kebe-
kuan. Sambil berusaha bersikap dingin dan santai.
“Ah, biasa aja Kak. Kakak sendiri tiba-tiba ketemu
adik ada apa?” tanyanya seakan heran namun pura-pura.
“Apakah kakak harus berkata jujur?” tanyaku de-
ngan nada pelan sambil melihat matanya.
Ia menundukkan kepala, tak bisa melawan tatapan-
ku. Ketika ia angkat mukanya untuk menatap mukaku,
matanya sudah berkaca-kaca. Ia masih diam, tapi tetap
tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan. Memaksa-
ku untuk tetap bahagia dalam menatap sunggingan bibir
tipis merah meronanya.
“Memang Kak Iwan sudah tau?” ia kembali berta-
nya dengan suara terpotong-potong.
506 - Ilham Kadir

“Sepertinya begitu Dik. Kalau memang berita itu


benar adanya.”
“Benar Kak. Itu berita benar. Kakak dengar dari
Kak Hamsah bukan?”
“Bukan, tapi dengar dari Pak Awal, sewaktu kakak
ke Makassar mengurus paspor kemarin.” Jawabku de-
ngan nada lebih tinggi.
“Mohon maaf Kak, karena hubungan kita akan ter-
putus. Kendati adik sudah merasa sangat bahagia bersa-
ma Kak Iwan, tapi apa boleh buat, adik tak dapat ber-
buat apa-apa. Bapak dan ibu sudah sepakat menerima
lamaran itu. Tapi percayalah kalau hubungan kita yang
singkat ini tak akan pernah terlupakan, ia akan menjadi
kenangan seumur hidup adik. Akan abadi Kak… abadi!”
jawabnya dengan suara pelan dan jernih.
“Terima kasih atas pengakuan Adik. Kakak juga
akan mengenang hubungan kita. Ia akan tersemat se-
panjang hayat. Pesan kakak agar setelah menikah kelak,
jadilah wanita yang mencintai suami sepenuh hati, se-
rahkanlah seluruh jiwa dan raga adik padanya. Berbak-
tilah seutuhnya.”
“Iya Kak. Sebenarnya adik masih berat hati untuk
menikah, di samping karena baru duduk di kelas dua
Aliah, adik juga masih ingin belajar. Tapi orangtua su-
dah sepakat, dan adik harus patuh. Kata orangtua, kalau
ada lelaki yang baik-baik datang melamar dan ia ditolak
maka bencana akan datang…”
Negeriku di Atas Awan - 507

“Tidak apa-apa, kalau kita memang tak berjodoh,


ya itu sudah menjadi ketetapan Allah. Doakan kakak
agar bisa menerima ini semua.”
“Adik akan mendoakan Kak Iwan semoga tetap
berjiwa besar, dan kelak akan mendapatkan wanita yang
jauh lebih sempurna dari Indah…”
“Terima kasih, adik sudah begitu banyak memberi
arti dalam hidup kakak.”
“Sama-sama Kak. Sebagai tanda mata ambillah ke-
nangan ini buat kakak, semoga suatu saat bermanfaat.”
Katanya sambil manarik zip tasnya, lalu mengeluarkan
sebuah kemasan yang dibungkus dengan menggunakan
kertas kado. Ia pun mengulurkan tangannya kepadaku,
dengan segera bungkusan itu telah berpindah ke tangan-
ku.
Aku kembali saling menatap. Kendati beberapa saat
berlalu komunikasi kami sudah lancar mengalir. Kini su-
asana kembali membeku, seakan kebersamaan ini tidak
kami inginkan untuk segera berlalu. Kami ingin ber-
lama-lama. Untuk selamanya, Andai saja itu bisa.
“Kak… bukalah itu di kala kakak berada dalam
puncak kesedihan, semoga ia dapat menghibur… perasa-
an cinta adik kepada Kakak melebihi cinta sosok wanita
dalam cerita itu!”
Ternyata itulah kata-katanya yang terakhir, ia pun
beranjak dan pergi meninggalkan aku sendirian, ia me-
runduk sambil mengayun langkah demi langkah, namun
dalam radius tujuh puluh meter ia sempat menoleh ke-
508 - Ilham Kadir

padaku. Masih terlihat senyum manisnya. Kendati dalam


kejauhan. Begitu ia hilang dari pandangan, dengan berat
hati, aku pun beranjak dari tempat duduk.

Keesokan harinya bakda Zuhur, kami pun ber-


gerak meninggalkan Watampone, Ibu Kota Kabupaten
Bone bersama Muhaimin dan juga abahnya. Perjalanan
melewati rute jalan poros Bone-Sinjai, membelah dan
memotong Kecamatan Cina, Mare, Tonra, Kajuara, dan
Palattae. Aku sempat menoleh ke arah kampus Darul
Qurra ketika mobil berada di Pitu-pitu, terlihat kalau
bengunan-bangunannya berdiri berebut lahan. Padat,
besar, dan tinggi karena memang berada dari ketinggian.
Pondok ini sudah benar-benar telah berkembang, maju,
pesat, dan lajunya mengejar cita-cita pendirinya. Yang
berawal dari sebuah mimpi.
Begitu sampai di rumah Muhaimin terdegar azan
Asar bersahut-sahutan, mengajak para penghuni bumi
untuk menggapai kemenangan. Waktu Asar merupakan
waktu yang terberat ‘tuk menunaikan ibadah setelah Su-
buh. Karena waktu ini bukanlah waktu jeda. Jika Zuhur
waktu istirahat dan makan siang, Magrib untuk berbe-
nah, dan Isya untuk istirahat dan tidur, maka Asar waktu
yang tanggung. Di samping waktunya sempit mayoritas
umat juga dalam keadaan beraktivitas. Kami pun datang
untuk menjemput kemenangan.
Bakda Asar, setelah meneguk teh manis di rumah
Muhaimin, aku minta pamit untuk ke Palattae dan ber-
Negeriku di Atas Awan - 509

janji akan kembali paling lambat Bakda Isya. Karena


esok pagi akan berangkat pulang ke Bontocani. Perja-
lanan aku tempuh dalam waktu duapuluh menit untuk
sampai di Palattae.
Berada di kota mungil yang bertapak paling selat-
an daerah Bone ini seakan membuka kembali ingatanku
beberapa tahun silang ketika berada di tempat ini un-
tuk mengajar. Para santri-santri dan orangtua mereka
sangat akrab dengan kami. Aku Hatta, Sultan, dan Asdar.
Saat itu kedatangan kami seakan menjadi obor penerang
bagi mereka. Kami datang membawa pencerahan bagi
para generasi mungil pelanjut masa depan.
Kini, pencerahan jilid kedua kembali dinikmati ma-
syarakat setempat. Sebuah anugrah terbesar dari Allah
untuk penduduk setempat. Itu semua bermula setelah
bertapaknya sebuah pondok pesantren yang didirikan
oleh putera dan mantan istri Kiai Said. Ustadz Abrar dan
Bunda Hasanah. Mereka berdua menjadi pengasas dan
tonggak utama pondok yang muatan akademisnya tidak
jauh beda dengan Darul Qurra’.
Ya, Bunda Hasanah dengan puteranya dan dibantu
oleh beberapa tokoh setempat yang sejak awal banyak
membantu pondok di Pitu-pitu, turut andil dalam me-
wujudkan pondok ini, mengoptimalkan potensi Ustadz
Abrar dan Ibunya. Di antara mereka adalah H. Daud dan
Pak Musa.
Karena reputasi ibu dan anak ini sudah menjadi
garansi, maka dalam waktu tidak begitu lama pondok
510 - Ilham Kadir

ini berdiri dan terus berkembang. Kendati pada awalnya


ada beberapa kendala, namun itu semua hanyalah cam-
buk untuk terus berpacu membangun umat.
Pondok ini dinamai Darul Muttaqin. Tempat orang-
-orang bertakwa. Hanya mereka yang bertaqwa akan
menjadi pemenang. Inna lil muttaqina mafazan. Begitu
bunyi firman Allah.

Dan inilah salah satu hikmah perceraian itu.


Tujuan utama aku ke Palattae tentu saja untuk ber-
temu dengan Bunda Hasanah dan juga Ustadz Abrar.
Lokasi pondok tidak begitu jauh dari Pasar Sentral
Palattae yang juga berfungsi sebagai terminal. Pondok
itu berdampingan dengan kampus tiga Darul Qurra’
tempat kami pernah mengajar, kini kondisinya sangat
memprihatinkan, ‘hidup segan mati pun tak larat’. Bera-
da dalam area yang tidak melebihi satu hektar. Pondasi
bangunan masih dalam tahap penyelesaian under cons-
traction, masjid yang digunakan masih masjid yang juga
kami pakai sebagai tempat mengajar beberapa tahun
silang. Para santri dan staf pengajar ditempatkan di ru-
mah panggung yang dijadikan dua lantai. Lantai pertama
untuk santri dan kedua untuk guru. Rumah panggung itu
milik salah seorang warga yang berbaik hati membiar-
kan tempat tinggalnya diguna-pakai oleh pondok.
Adapun Bunda Hasana dan putranya Ustadz Abrar
bersama istrinya masih tinggal satu rumah yang luma-
yan luas, tidak kurang dari dua ratus tujuh puluh meter
persegi. Sebuah teras, ruang tamu, ruang tengah, dan da-
Negeriku di Atas Awan - 511

pur, serta terdiri dari tiga kamar. Dapur rumah ini seka-
ligus dipakai sebagai dapur umum santri, ruang tengah
juga difungsikan sebagai tempat makan para guru KMI.
Ketika berada di teras, aku dihampiri oleh salah
seorang keponakan Bunda Hasanah yang telah menge-
nalku dengan baik. Kak Wardah. Ia anak dari saudara
kandung Bunda Hasanah di Bontocani, mukanya putih
bersih berbentuk oval, tingginya melebihi tinggi badan-
ku, sewaktu masih di Pitu-pitu tidak sedikit guru yang
menghampirinya, tapi semuanya ditepis dengan halus.
Orangnya rada-rada jutek namun ia tipe wanita ulet yang
rela bekerja dengan imbalan hanya dari Allah. Bukti
nyatanya semenjak masih di Pitu-pitu ia kerap datang
membantu untuk meringankan beban Bunda Hasanah
dalam masak-memasak. Tidak hanya itu ia juga sekali-
gus menghafal Alqur’an. Kak Wardah pasti tau akan tu-
juan kedatanganku ke sini. Apalagi kalau bukan bertemu
Bunda Hasanah dengan puteranya, Ustadz Abrar.
“Hendak ketemu Bunda?” tanya Kak Wardah.
“Iya, betul. Bunda ada tidak, Kak?”
“Ada, tunggu sebentar ya?”
Kak Wardah melangkah masuk, membelah tirai hi-
tam, lalu lenyap. Dalam hitungan menit. Bunda Hasanah
pun keluar. Tak ada perubahan yang berarti pada sosok
wanita mulia di hadapanku ini, raut mukanya tetap me-
mancarkan kesejukan kendati cuaca panas membara, su-
aranya masih tetap seperti sedia kala, lembut dan jernih.
Kata-katanya juga demikian selalu sarat dengan makna
512 - Ilham Kadir

bak untaian mutiara yang berasal dari kedalaman laut


Arafura.
“Bunda, ananda mohon ampun karena baru kali ini
ananda sempat menemui Bunda.” Pintaku, karena sudah
setahun lebih kami berpisah dan tak pernah jumpa, ter-
akhir kalinya sewaktu beliau kami antar ke Pondok Pe-
santren Darul Istiqamah Maccopa Maros karena dicerai
sekaligus diusir oleh suaminya.
“Tidak apa Nak, Bunda paham kalau ananda pas-
ti sibuk. Apa saja kegiatan selain mengajar di pondok?”
Tanya Bunda.
“Ananda sudah lama tinggalkan pondok Bunda, ka-
rena kuliah di Bone, rencananya mau lanjut ke Malay-
sia.”
“Jadi kapan Berangkat Nak?”
“Insya Allah kalau tidak ada halangan minggu-
-minggu depan sudah berangkat ke Jakarta, ananda
hendak jumpa orangtua dulu di kampung, mungkin satu
minggu atau lebih di sana...”
“Mudah-mudahan sukses Nak, dan jangan lupa te-
rus berdoa. Hafalannya juga dijaga ya!”
“Insya Allah ananda akan usahakan...”
“Upayakan setiap masuk ke kampung orang baca
doa, Assalamu ‘alaikum ya ahla hadza balad, insakum wa
jinnakum. Salam sejahtera bagi seluruh penghuni negeri
ini, jin maupun manusia.”
“Baca juga dzikir ini, A’udzu bikalimaatit taammaah
min syarri ma khalaq. Aku berlindung dengan kalimat
Negeriku di Atas Awan - 513

Tuhan yang Maha Sempurna dari semua kejahatan yang


dijadikan-Nya.”
Tak lama kemudian, setelah kami berbincang-bin-
cang ia pun berpesan sambil beranjak ke kamar. “Oya,
salam sama orangtua, kalau ada waktu agar ia jalan-
-jalan ke sini, jangan hanya tinggal di gunung terus.”
Pesan bunda sambil tersenyum. Begitu Bunda Hasanah
lenyap dari pandangan karena terhalang tirai hitam, Us-
tadz Abrar pun keluar, selanjutnya berbincang-bincang
tentang perkembangan pondok dan problematika yang
dihadapinya, juga tentang kegiatannya yang masih tetap
menjadi dosen di program pascasarjana UMI Makassar,
serta keinginannya untuk melanjutkan program dokto-
ral di Malaysia.
“Kalau tidak ada halangan, saya juga hendak kem-
bali melanjutkan studi untuk program doktoral di Ma-
laysia. Semoga Kamu bisa kuliah di sana agar kita bisa
jumpa.” Katanya sambil aku amini.
Akhirnya aku pun minta diri.
514 - Ilham Kadir
Pintu 55
Shu Tsai, Chi Yen, Chin
Shih

E
ntah mengapa, begitu aku sampai di kampung
halaman. Sangat berbeda dengan sepuluh tahun
silam. Aku merasa berpijak di daerah yang teri-
solasi. Terputus dari dunia luar, tidak ada transportasi
kecuali derap langkah kaki kuda, beberapa motor, dan
sekali sebulan sebuah mobil pick up datang, itu pun ka-
lau masuk musim kemarau. Informasi masih saja ber-
sandar pada radio transistor dan sebuah televisi hitam
putih milik sang kepala sekolah yang dua kali seminggu
dengan acara favorit dunia dalam berita berbintik hitam.
Yang ini ada kemajuan, setidaknya ada peningkatan jam
tayang dari sekali seminggu maju menjadi dua kali. Tapi
secara umum tidak ada kemajuan yang berarti. Kekal
tertinggal jauh di landasan.
Aku benar-benar berada dalam keterasingan. Ma-
syarakatnya terisolasi dan aku yang diisolasi oleh mere-
ka. Teman-teman seusiaku yang pernah belajar bersama
di SD 288 sudah banyak berkeluarga dan terus-mene-
rus menetaskan benih yang akan menjadi beban peme-

515
516 - Ilham Kadir

rintah. Tentu aku masih ingat sebuah pasal dalam un-


dang-undang bahwa orang miskin dan anak terlantar
merupakan tanggungjawab pemerintah! Beberapa di
antara mereka juga keluar belajar dan tak pernah pu-
lang-pulang.

Kini aku sudah menjadi seorang ustadz.


Kata-kata ustadz bagi masyarakat di kampungku
adalah kalimat sakral, tidak sedikit penduduk di kam-
pung ini yang hanya mendengar sekali atau dua kali per-
kataan itu. Kata yang familiar di sini selain tukang tani
dan kebun adalah, pegawai negeri, polisi, dan tentara.
Jangan pernah bilang PNS karena ia akan kembali bi-
ngung.
Karena namaku sudah masyhur dalam tempo yang
singkat. Maka tentunya banyak orang yang penasaran.
Penasaran karena sering mendengarkan cerita tentang
aku, sepak terjangku, dan beragam cerita lainnya. Me-
reka heran karena dalam jangka masa yang tidak begitu
lama aku berwujud menjadi seorang ustadz. Yang dulu
masya Allah bebalnya! Sepertinya tidak ada manusia se-
bayaku sewaktu sekolah di SD 288 yang tidak pernah
aku ajak berkelahi, hingga puncaknya aku kejar salah
seorang temanku dengan parang panjang sampai masuk
ke dalam kamar rumahnya. Dulu aku jagoan nekat. Dan
kini tiba-tiba menjelma menjadi ustadz. Aduh! Tak ter-
bayangkan, begitu mungkin pikir manusia-manusia di
sekelilingku.
Negeriku di Atas Awan - 517

Tak ada satu pun teman yang datang ke rumah


menghampiriku, walau sekadar menyapa. Kalau pun ada
itu semua orangtua. Mereka semua seakan segan de-
nganku. Aku makin terasing.
Hari Jumat tiba, pak imam memberiku jadwal un-
tuk berkhutbah di depan jamaah yang semua berasal
dari kampungku. Semuanya orangtua, tak ada kawula
muda sebayaku. Makin membuat teman-temanku min-
der. Kembali merasa terasing, dan tentu saja tidak betah.
Aku memang sedikit berbeda dengan beberapa te-
man seusiaku yang telah melanjutkan sekolahnya di luar.
Biasanya mereka kalau kembali ke kampung kerjanya
hanya duduk-duduk di rumah bak raja atau ratu yang se-
nantiasa menjadikan orangtuanya seperti pelayan. Tidak
mau bekerja karena ia akan menjadi PNS, ABRI, Atau
Polisi, padahal mereka ini baru duduk di bangku sekolah
menengah. Apalagi kalau sudah kuliah, ia makin men-
jadi-jadi. Tidak sedikit di antara mereka menghabiskan
harta orangtuanya untuk belajar, namun tak mendatang-
kan hasil apa-apa. Jadi PNS juga tidak, apalagi masuk
angkatan bersenjata. Pada akhirnya memaksa mereka
kembali ke kampung dengan muka malu dan kepala ter-
tunduk. Hanya beberapa di antara mereka yang berhasil
meraih cita-cita dambaan di atas. Sedikit sekali.
Sementara aku, kendati sudah keluar belajar, na-
mun ketika berada di kampung. Sangat suka membantu
orangtua di kebun atau pun di sawah. Tidak betah ting-
gal di rumah. Bagiku berada di kebun sangat nyaman,
518 - Ilham Kadir

dengan beragam buah-buahan, sayur-mayur segar, ser-


ta ikan mas, mujair, dan nila dengan beragam ukuran
di empang membuatku semakin betah berlama-lama di
sini. Sejenak kegundahan sirna, yang ada hanya kebugar-
an dan ketenangan, baik jiwa maupun raga.
Di malam hari, bakda Isya aku langsung terlelap
karena kelelahan bekerja sepanjang hari. Setiap kali me-
nyantap makanan masakan ibu, aku santap dengan la-
hapnya. Aku semakin terisolasi dari dunia luar atau pun
masyarakat. Tapi aku mulai menikmatinya.

Dendeng rusa, kacang sembunyi, kemiri, dan kunyit


kering yang telah ditumbuk halus dibungkus lalu dima-
sukkan ke dalam kardus.
“Ini sebagai oleh-oleh buat kakakmu di Jakarta,”
kata ibu.
“Jangan terlalu banyak Ma, nanti saya keberatan,”
protesku.
“Iya, satu kardus saja.” Ayah menimpali.
“Iya, hanya satu kardus dibawa ke Jakarta, yang satu
lagi buat tantemu di Ujung Pandang. Jadi saya bungkus
dua kardus,” jawab ibu.
Besok pagi aku akan berangkat ke Ujung Pandang
ditemani Ayah dan Ibu.
Semua bekal sudah aku siapkan, ongkos tiket sudah
kugenggam jauh-jauh hari, sisa uang pembuatan paspor
yang dikirim oleh Kak Darma dari Bekasi. Ditambah se-
dikit suntikan dana dari ayah.
Negeriku di Atas Awan - 519

“Ini tambahan buat jaga-jaga.” Kata ayah sambil


menyodorkan beberapa lembaran uang dua puluh ribu-
an.
“Ayah dapat uang dari mana?” tanyaku heran.
“Saya jual kayu, beberapa hari yang lalu saya te-
bang kayu jati.” Terang ayah.
Aku sangat mafhum kalau ayah tidak akan punya
banyak uang. Selain penghasilannya sebagai petani mu-
siman, juga tidak memiliki sumber pendapatan samping-
an selain kebun. Untungnya ayahku memiliki kebun jati
yang cukup luas, sewaktu-waktu kalau butuh uang, ia
bisa tebang, belah, dan dijadikan balok, papan, atau se-
jenisnya lalu dijual ke pengepul. Hasilnya lumayan juga.
Cukup untuk belanja tambahan dan ongkos belajar ke-
dua adikku.
Kalau masalah pendidikan kedua orangtuaku me-
mang rela habis-habisan, kata-kata yang sering ia um-
bar-umbarkan,
“Kita ini sudah miskin harta, jadi jangan sampai
miskin ilmu. Karena jika keduanya menerpa kita. Maka
kita akan rugi kuadrat.”
Oleh karena itulah seluruh anak-anaknya ia dorong
mati-matian untuk belajar, ayahku memang sudah men-
cuci otak putera puterinya sedari kecil, dengan ragam
cerita orang-orang hebat karena ilmu dan kegigihannya.
Seperti keberhasilan Sukarno, Hatta, Muhammad Nasir,
Suharto, Habibi, hingga para menteri. Ayah selalu me-
nekankan bahwa mereka semua dilahirkan sama dengan
kebanyakan manusia pada umumnya, yang membedakan
520 - Ilham Kadir

hanyalah sejauh mana usaha seseorang untuk mengga-


pai cita-citaya.
“Iangat baik-baik, Nak. Manusia itu tidak dilahir-
kan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahir-
kan sama dengan yang lain. Siapa yang rajin belajar dan
menguasai ilmu ia akan menjadi mulia dan kaya, tetapi
mereka yang bodoh akan miskin dan hina!” Begitu kata
ayah berapi-api jika memotivasi anak-anaknya.
Jika dimisalkan, ayahku laksana para orangtua yang
hidup pada abad ketujuh hingga kesembilan belas Ma-
sehi di daratan Tiongkok nun jauh di sana. Zaman itu
zaman kekuasaan dinasti T’ang, Ming, dan dinasti Ch’ing
atau Mandsyu. Saat itu orang berilmu benar-benar di-
idolakan, diunggulkan, dan disanjung-sanjung. Mereka
yang merasa berilmu difasilitasi untuk mengikuti selek-
si berupa ujian sekali dalam setahun, para calon mula-
-mula disuruh untuk menghasilkan sebuah karangan
yang bersandar dari empat jenis referensi berbasis pe-
ngetahuan umum ditambah satu buku puisi. Ujian dia-
dakan dalam ruangan pejabat daerah setingkat kabupa-
ten, durasi ujian sekitar delapan belas hingga dua puluh
empat jam berturut-turut. Selama ujian para peserta
dilarang bercakap-cakap apalagi meninggalkan ruang-
an. Kisaran calon yang dapat lulus hanya mencapai lima
persen. Yang lulus akan diberi title ‘Shu Tsai, mereka
yang pandai’. Pada tahun berikutnya para Shu Tsai itu
menuju ke ibu kota propinsinya masing-masing—tingkat
wilayah—untuk menempuh ujian seleksi kedua. Ujian ini
hanya diadakan sekali dalam tiga tahun, lamanya tiga
Negeriku di Atas Awan - 521

hari berturut-turut. Materi utama ujian, setiap peserta


diharuskan menulis satu buku yang membahas tentang
keadaan-keadaan masa lalu, serta keahlian para peser-
ta untuk menerjemahkan teks-teks kuno dari buku suci.
Yang lulus kali ini hanya satu persen dari seluruh pe-
serta, dan mendapatkan gelar sebagai ‘Chi Yen, orang
pandai dan istimewa. Mereka ini langsung diberi jabatan
di pemerintahan tingkat provinsi tapi mayoritas mereka
akan mengikuti ujian akhir yang diadakan di Peking—
Ibu Kota Negera—ujian ketiga sekaligus tahap akhir ini
akan berlangsung selama tiga belas hari berturut-turut.
Materi ujiannya, seluruh peserta diharuskan menulis
karangan dari beragam disiplin ilmu, termasuk yang
berhubungan dengan kondisi kekinian pada masanya.
Selanjutnya para peserta dibenarkan untuk memperta-
hankan disertasinya itu. Dan akan dinilai oleh para pu-
jangga dan ilmuan dari seluruh penjuru Tiongkok. Dapat
dipastikan kalau yang lulus hanya beberapa orang saja.
Dan akan mendapatkan gelar kehormatan ‘Chin Shih,
pujangga’ . Selanjutnya mereka akan dipilih menduduki
jabatan menteri, gubernur, atau pegawai tinggi seting-
kat eselon satu. Karena itu, para pegawai negeri, pujang-
ga, dan menteri sangat dihormati lagi dimuliakan. Para
anak-anak sedari kecil didorong untuk belajar agar da-
pat menjadi Chin Shih oleh orangtua mereka. Tidak jauh
beda dengan ayahku.
Untuk itulah ketika kuutarakan maksudku untuk
berangkat kuliah di luar negeri ia sangat gembira hingga
matanya berbinar-binar. Bahkan setiap ada acara-acara
522 - Ilham Kadir

di kampung selalu saja aku menjadi topik perbincangan.


Betapa tidak, dari kampung yang terisolasi seperti ini,
namun bisa keluar negeri untuk belajar. Akulah satu-
-satunya manusia anak kampung itu. Pendobrak tembok
batu cadas, penebu batas pandang kampung Watangcani
yang terhalang oleh onggokan bebatuan, gunung-gemu-
nung, dan bukit terjal. Kampung yang tak tersentuh oleh
deru laju pembangunan. Kampung yang penduduk dan
para aparaturnya sangat santun sehingga mereka tak
kan pernah protes, Mereka terus menerus berasumsi
bahwa semua ini takdir dari Allah, bukan keborokan
orang-orang tertentu di negeri ini. Kami manusia kerdil
yang tak kan mampu berbuat apa-apa. Itulah watak da-
sar penghuni kampungku.
Pagi itu. Matahari kembali memalas, ia bahkan
malu-malu menampakkan senyumnya. Kami bertiga be-
rangkat meninggalkan kampung disambut suasana alam
yang kurang bersahabat, gerimis. Jalanan begitu licin,
membuat aku, ayah, dan ibu terpaksa berjalan tak bera-
las. Di tengah jalan, sepatu dan sandal kami jinjing. Untuk
menghindari basah karena rintik gerimis, terpaksa kami
mengambil payung dari daun jati. Barang bawaan seba-
nyak dua kardus dipikul oleh ayah, sedang aku dan ibu
masing-masing membawa tas sendiri-sendiri. Perjalanan
dari kampung ke Camba kami tempuh dengan berjalan
kaki selama enam jam. Dari Camba kami naik angkutan
menuju Terminal Panaikang Ujung Pandang. Selanjutnya
menuju ke rumah Tante Malan di Jalan Butta Teana.

Negeriku di Atas Awan - 523

Malam itu, bakda Isya, aku keluar untuk menelpon


temanku Azis. Yang tinggal di Pondok Sejahtera Jalan
Manuruki. Namun berita yang kudapat dari suara yang
mengaku salah satu tetangga kamarnya bahwa Azis su-
dah pindah tempat kos. Katanya tidak jauh dari kampus
baru UMI. Aku minta nomor telepon barunya. Namun
temannya pun tak ada yang tau. Ia menyarankan agar
aku ke kampus saja. Tapi aku tidak bisa karena mencari
satu mahasiswa di antara ribuan orang mestilah mema-
kan waktu yang tidak singkat. Aku hanya menitip salam
kalau sewaktu-waktu ia berjumpa dengannya.
Buku agenda miniku kembali kubuka dan kuperik-
sa nama demi nama, hingga masuk ke abjad ‘J’ tertulis di
situ. Jurman Daulai. Aku coba menekan nomor-nomor
yang muncul dari tombol-tombol telepon umum ini.
Kembali terdengar nada sambung. Owh, masuk.
“Assalamu ‘alaikum…” ucapku.
“Wa ‘alaikumussalam Warahmatullah…” jawab se-
seorang dengan suara khas pria.
“Saya bisa bicara dengan Jurman.” Tanyaku.
“Dia tidak ada, lagi keluar.”
“Biasanya pulang jam berapa?”
“Tak menentu, biasanya pulang cepat, atau tengah
malam, bahkan terkadang juga menginap.”
“Kalau begitu besok pagi saya telpon lagi, titip pe-
san saja kalau ada kawan dari Pitu-pitu yang cari.”
“Atas nama siapa ya?”
“Iwan Palimai.” Jawabku sambil menggantungkan
kembali gagang telepon pada tempatnya.
524 - Ilham Kadir

Bakda Subuh, kembali aku menelpon ke nomor


yang sama, dan betul adanya Jurman telah ada di kamar-
nya, kami bicara lantas membuat janji untuk bertemu
di Kampus IAIN Alauddin Makassar sekitar jam delapan
pagi. Ia tidak menginzinkan aku langsung ke tempat kos-
nya karena pasti tersesat. Sudah dimaklumi kalau kawa-
san Jalan Manuruki adalah area sejuta mahasiswa yang
tempat kosnya saling berkesinambungan antara satu de-
ngan yang lain, pesat, pengap, pesing, dan sejenis itu. Ke-
cuali mereka yang berduit. Jalan-jalan dipenuhi dengan
sampah-sampah yang berserakan dari onggokan karena
cakaran tikus bekerjasama dengan kucing, gang-gang
sempit, dan tukang-tukang becak yang parkir sesuka
hati. Pemandangan ini seakan menjadi bunga hiasan ta-
man kota mahasiswa Jalan Manuruki.
Sebelum pukul delapan, aku sudah berada di kam-
pus menunggu Jurman, tepat di depan sekretariat yang
kelak disulap menjadi ruang kuliah program pascasarja-
na. Terlihat kalau kampus ini benar-benar mencermin-
kan kualitas umat Islam yang sesungguhnya di negeri ini.
Mahasiswanya tidak peduli akan lingkungan, terbukti
sampah-sampah berserakan, mereka merokok sesuka
hati, berada di sini seakan berada di terminal, semuanya
dapat dijadikan tempat sampah dan area para penikmat
rokok. Kampus ini belum bisa menjadi contoh generasi
pelanjut, apalagi untuk dibanggakan. Masih jauh pang-
gang dari api.
Aku masih terus bepikir kapan ya kira-kira umat
ini bisa memiliki kampus idaman? Yang dapat mencer-
Negeriku di Atas Awan - 525

minkan atau menggambarkan suasana umat sebagaima-


na dicontoh dan dianjurkan oleh Nabi , tahap pertama
minimal memiliki suasana yang nyaman, steril dari ra-
gam kotoran sampah dan asap rokok. Agar dapat nya-
man menuntut ilmu sekaligus beribadah. Anganku.
Aku masih termenung dan menghayal, tiba-tiba
Jurman datang. Kami pun langsung beranjak mencari
tempat sarapan. Aku utarakan maksud kedatanganku
ke Ujung Pandang, bahwa hanya sekadar transit karena
hendak berangkat ke Jakarta dan selanjutnya ke Malay-
sia. Ia pun paham.
“Sudah beli tiket belum?”
“Belum.” Jawabku.
“Ya sudah, makan cepat, nanti saya antar pergi cari
tiket, langsung ke Jakarta kan?”
“Oh, tidak. Saya hendak singgah di Surabaya dulu.
Dari sana baru naik kereta ke Jakarta, sekalian mau ra-
sakan naik kereta api untuk pertama kalinya, penasar-
an karena hingga saat ini belum pernah melihat secara
langsung apalagi menikmatinya! Saya juga sudah hu-
bungi teman-teman yang ada di Surabaya.”
“Jangan khawatir, rute perjalanan dari Ujung Pan-
dang ke Surabaya merupakan terbesar di seluruh Indo-
nesia, hampir tiap hari armada Pelni melewati pelabuh-
an Ujung Pandang.” Terang Jurman.
Aku pun mafhum, Ujung Pandang sebagai jalur
emas para pedagang tempo dulu, seluruh armada ang-
kut yang hendak ke nusantara bagian tengah dan timur
526 - Ilham Kadir

lazimnya singgah di kota yang pernah menjadi idaman


setiap bangsa ini. Begitu pula sebaliknya.
Usai sarapan di kantin kampus dengan alakadarnya,
kami berdua berjalan menuju ke ujung Jalan Pangeran
Pettarani, persis di samping kantor Telkom, di sana ter-
dapat sebuah travel yang menyediakan ragam tiket.
Seorang wanita muda mengenakan baju batik le-
ngan pendek dengan dada sedikit terbuka, bermata sipit
berkulit cerah berambut panjang terurai datang meng-
hampiri.
“Ada yang bisa saya bantu?” sapa wanita muda ber-
sepatu hak tinggi dan mengenakan rok potongan di atas
lutut itu.
“Ada, saya butuh tiket ke Surabaya.” Jawabku sam-
bil melihat foto-foto armada Pelni membelah lautan
biru tua dan ragam jenis pesawat dengan latar belakang
awan yang tergantung di setiap sudut ruangan. Sambil
bergumam dalam hati, “kapan saya bisa naik pesawat?”
“Untuk kapan Pak?”
“Besok aja kalau ada.”
“Ada Pak, jam 16.00. bagaimana? Jadi?”
“Iya, jadi. Berapa harganya.”
“Kelas VIP Rp. 800.000, Kelas II, Rp. 500.000, Kelas
III, Rp. 300.000, Ekonomi Rp. 175.000. Mau yang mana
Pak?”
“Ekonomi aja.”
“Kalau begitu minta KTP-nya Pak.”
Setelah meraih KTP-ku wanita bermata sipit itu
beranjak ke ruang tengah, aku dan Jurman menunggu
Negeriku di Atas Awan - 527

sambil membaca koran harian yang memang telah di-


sediakan untuk para costumer, terlihat kalau head line
news-nya masih seputar suksesi kepemimpinan.
Beberapa saat kemudian tiket pun datang dengan
wanita yang sama. Ia kembali membaca untuk meyakin-
kan aku, kalau tiket itu benar-benar milikku.
“Atas nama Iwan Palimai; umur 21 tahun; be-
rangkat jam 16.00 Wita; KM. Umsini; pelabuhan Ujung
Pandang! Datang satu jam sebelum berangkat ya Pak!”
sambil menyodorkan tiket padaku yang segera kubayar
dengan uang pas. Tiket pun kuraih dan beranjak keluar
bersama Jurman.
Aku ajak Jurman ke rumah tanteku di Jalan But-
ta Teana, di sanalah kami bermalam, saling berceri-
ta tentang aktivitas masing-masing setelah keluar dari
pondok. Juga pastinya mengenang tentang masa-masa
kami di BKS dulu. Kami benar-benar diikat oleh sebuah
simpul yang sangat erat. Inilah salah satu kelebihan Kiai
Said, dapat menyatukan sekian ratus santri, menjadikan
mereka bukan hanya sebagai teman senasib tapi lebih
dari itu. Ada nilai ukhuwah yang tak akan dinilai dengan
apa pun. Melebihi saudara kandung sendri.
“Oya, saya minta doa-doanya donk, yang dikasih
oleh Kiai Said, Ente pasti dapat banyak!” ibahnya pada-
ku.
“Ini, tulis saja sendiri.” Kataku sambil menjulurkan
salah satu buku agenda milikku.
Ia pun asyik membolak-balikkan halaman demi ha-
laman yang penuh dengan doa dan petuah dari Kiai Said
528 - Ilham Kadir

yang aku dapat. Limapuluh persen isinya berhubungan


dengan Kitab Nikah, mulai dari tata cara mencari istri
hingga kiat-kiat untuk menghasilkan keturunan bermu-
tu tinggi yang banyak dijumpai dalam kitab persetubuh-
an orang Bugis Assikalaibineng. Tidak ada satu huruf pun
yang Jurman lewatkan untuk ia catat.
“Ini hanya bisa didapat dari Kiai Said. Dan ilmu je-
nis ini sudah langka, kita tak kan dapatkan di perguruan
tinggi mana pun.” Puji Jurman.
“Itu baru salah satu cabang ilmu yang dikuasai Kiai
Said, belum ada seujung kukunya. Karena dirinya sendi-
ri melebihi sebuah universitas, berguru padanya sebuah
prestasi tersendiri, ia senantiasa berjasa dan tidak minta
jasa, berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya.”
Terangku.
Keesokan harinya, azan Asar bersahut-sahutan
menandakan waktu salat telah tiba, kami kembali me-
laksanakan kewajiban utama dalam agama. Ayah, Ibu,
Jurman, dan Tante Malan telah siap-siap mengantarku
ke Pelabuhan Pelni Ujung Pandang. Dengan sepuluh ribu
rupiah, kami sudah dapat menyewa sebuah pete’-pete’
yang langsung berangkat ke Pelabuhan tanpa harus ber-
henti di tengah jalan untuk menunggu dan menurunkan
penumpang. Dalam waktu dua puluh menit angkutan se-
waan pun sampai di gerbang pelabuhan.
Begitu masuk area pelabuhan, para calon penum-
pang dimintai tiket masing-masing untuk diperiksa. Ke-
cuali pengantar ia dapat masuk dengan membayar karcis
Negeriku di Atas Awan - 529

tanda masuk boarding pass senilai seribu rupiah. Ayah,


ibu, dan tanteku hanya sampai di gerbang masuk saja.
Aku cium tangan kedua orangtuaku, tanda aku minta
restu untuk yang terakhir kalinya. Pesannya selalu, “ja-
ngan pernah bosan menjadi orang baik, karena tidak
ada orang yang menyesal karena ia telah menjadi orang
baik.” Itulah kata-kata ibu yang selalu disematkan kepa-
da setiap anak-anaknya. Dan aku pun berpisah dengan
kedua orangtuaku, pergi merantau untuk pertama ka-
linya.
Terlihat sebuah armada layar ukuran raksasa, me-
nyamai seperempat ukuran lapangan sepak bola, kapal
besar ini memiliki tiga warna, pada cerobon asapnya ter-
lihat merah dan putih, sedangkan perut dan alasnya ber-
warna hijau mudah. Tingginya menyamai dua kali pohon
kelapa di kampungku. Bertingkat-tingkat, terlihat pula
skoci-skoci bergelayutan bak monyet di pohon mangga.
Melihatnya kita dapat menyimpulkan kalau desainer ka-
pal raksasa ini pasti tukang insinyur yang handal.
Penumpangnya. Astaga! Benar-benar lautan manu-
sia, penuh, membludak laksana semut merah yang di-
cakar-cakar sarangnya oleh ayam jago. Tumpah ruah,
dengan barang bawaan masing-masing. Tidak sedikit
di antara mereka laksana memindahkan isi rumahnya.
Mulai dari beras, hingga perabot rumah ia angkut naik
ke kapal. Berdesak-desakan mencari dan mencuri jalan.
Dengan kapal sebesar itu dan hanya memiliki dua tang-
ga, di setiap tangganya hanya bisa lewat satu orang naik
530 - Ilham Kadir

dan satu orang turun, membuat antrean mengekor pan-


jang meliuk-liuk. Para porter berebutan mangsa. Calo-
-calo berkeliaran, dan tukang copet pun beraksi. Salah
seorang ibu yang berjarak empat meter dari depanku
berteriak dengan paniknya, “To… too….looooong… aku
dicopeeeet… Pak Polisiiii. coppeeeettt…. toloooong…!”
Seperti biasanya polisi segera tiba, namun copet lebih li-
hai, ia pun masuk dalam lautan manusia, dan tenggelam.
Begitulah seterusnya, para pencopet lebih tanggap tiga
langkah dari polisi, seakan para pencopet telah melaku-
kan studi lapangan mapping research sebelum beraksi.
Jurman berada di belakangku, ia seakan tak ingin
berpisah denganku. Ia pegang erat tanganku. “Hati-
-hati… pencopet lagi beraksi!” katanya dengan nada
tinggi menggunakan logat khas Batak asli.
Begitu masuk pintu kapal, terlihat manusia terbe-
lah menjadi tiga arah, samping kiri-kanan dan lurus. Ja-
lan yang ke kiri dan kanan adalah arah ke kelas satu dan
dua. Arah lurus akan berhadapan dengan tangga untuk
naik ke kelas tiga dan ekonomi. Kelas satu disebut juga
VIP, kelas ini akan mendapatkan satu kamar lengkap de-
ngan WC, lemari, kulkas, dan dua tempat tidur. Biasa-
nya yang beli kamar ini, mereka yang sedang menikmati
manisnya bulan madu bersama pasangan tercintanya
atau sekadar bersantai sambil berlayar karena mungkin
sudah bosan naik pesawat. Kelas dua disatukan dalam
satu ruangan luas, fasilitas satu tempat tidur untuk setiap
penumpang dengan ruang makan khusus. Kelas tiga juga
Negeriku di Atas Awan - 531

demikian mirip kelas dua, kecuali makan, ia harus antre.


Dan terakhir kelas ekonomi. Kelasku. Tidak memiliki
tempat tidur, kami hanya tidur di emperan kapal. Dekat
WC umum, di bawah tangga, dan di serambi masjid. Kali
ini aku berpikir lain, karena secara logika kapal raksa-
sa ini telah over load, jadi tidak menutupi kemungkin-
an untuk bermasalah di tengah jalan. Aku pun memilih
memanjat ke atas skoci yang tidak jauh dari cerobong
asap. Barang bawaan dengan satu tas rangsel dan sebuah
kardus indomie aku angkat naik ke dalam skoci dibantu
dengan Jurman.
“Aku di sini saja.” Kataku pada Jurman.
“Iya, bagus kok. Daripada di bawah yang sudah se-
sak.”
Kapal benar-benar penuh, hingga sudah tidak me-
miliki lagi ruang untuk meluruskan badan. Begitu ba-
nyak manusia melakukan perjalanan di awal tahun 1998
ini.
Terdengar pengumuman dari bagian informasi,
“Bagi para pengantar atau penjual agar segera mening-
galkan kapal, karena dalam lima belas menit ke depan
kapal akan berangkat, dan jika Anda didapati tidak me-
miliki tiket maka Anda akan dikenakan denda dua kali
lipat dari harga dasar tiket.” Selesai mendengarkan
penguman itu, Jurman minta pamit.
“Semoga sukses Kawan.” Katanya sambil memeluk-
ku erat-erat.
532 - Ilham Kadir

Kemudian ia melangkah menyusuri lautan manu-


sia, dan ia pun lenyap dari pandangan. Tinggallah aku
sendiri.
Aku merasah aneh, betapa tidak. Begitu banyaknya
anak cucu Adam di samping kiri kanan, depan belakang,
namun tetap saja aku merasa kesepian. Sunyi dalam ke-
ramaian. Tidak seorang pun yang aku kenal, membuatku
perlahan-lahan merasa sedih. Persaanku kembali ber-
tempur antara mengingat-ingat kenangan masa lalu de-
ngan harapan dan ambisi untuk masa depanku, memori
otakku terus-menerus membuka lembaran-lembaran
masa lalu yang semuanya telah kulewati di sebuah pu-
lau bernama Sulawesi. Pulau yang perlahan-lahan hilang
dari pandangan. Umurku yang sudah menginjak tiga kali
tujuh makin menjadikan aku lelaki pemburu masa depan
yang tak kenal hambatan. Pergi jauh meninggalkan kam-
pung halaman, pondok, dan kampus yang penuh dengan
catatan masa lalu. Juga meninggalkan orang-orang yang
sangat berjasa padaku, ada kedua orangtuaku, Kiai Said,
Bunda Hasanah, Bunda Nikmah, Hamsah, Muhaimin,
dan juga jelitaku, Indah yang akan diambil lelaki lain.
Memang harus diakui kalau hidup terus bergerak
ke depan namun ia hanya bisa dipahami saat kita meli-
hat ke belakang. Aku punya ambisi untuk keluar belajar
dan akan fokus, mudah-mudahan kelak aku akan ber-
hasil. Sauh sudah diangkat dan layar telah terkembang.
Tak ada kata mundur apalagi menyerah.
Negeriku di Atas Awan - 533

Kapal milik Perusahaan Pelayaran Negera ini te-


rus membela lautan, diiringi dengan pudarnya sang sur-
ya, terlihat dari jauh laksana nampan merah keemasan.
Bulat membara laksana reign of fire. Tenggelam sedikit
demi sedikit, cahaya pun menghilang di muka bumi dan
malam pun tiba. Lamunanku dibuyarkan oleh suara azan
dari toa dengan full volume tepat di samping skoci, per-
tanda muadzin dari masjid yang berada di dek bawah
kafe itu telah mengumandangkan seruan ilahi ‘tuk men-
jemput kemenangan. Selamat tinggal Sulawesi!

Setu-Bekasi, 31 Desember 2010, 23.59 Wib.


534 - Ilham Kadir
Negeriku di Atas Awan - 535

TENTANG PENULIS

Ilham dengan nama pena “Ilham Kadir”, terlahir


dari pasangan Abdul Kadir dan Hawa pada tanggal 5 No-
pember 1973 di Watangcani, Bontocani, Bone, Sulawesi
Selatan. Setelah lulus Sekolah Dasar tahun 1989, ia di-
antar ayahnya mondok di Majelisul Qurra’ wal-Huffadz
(MQWH) Tuju-tuju untuk menghafal Al-Qur’an dan ber-
guru pada ulama kharismatik (panrita) KH. Lanre Said,
dan khatam 30 juz tiga tahun kemudian. Ketika pondok
membuka program Kulliatul Mu’allimin al-Islamiyah
(KMI) dan berubah nama menjadi Pondok Pesantren Al-
-Qur’an Darul Huffadh, ia pun menjadi santri perdana
dan keluar menjadi alumni pertama pada tahun 1996.
Selama mondok, selain berguru tentang berbagai hal
pada sang kiyai, ia juga telah belajar dasar-dasar ilmu
bahasa Arab, seperti Nahwu (gramatika), Sharaf (morfo-
logi), Muthala’ah (reading), Imla’ (dictation), Khat, hing-
ga Balaghah (komunikasi) yang meliputi: Bayan, Badi’,
Ma’ani. Diajarkan pula ilmu-ilmu  penting lainnya seper-
ti, Ulumul-Hadits, Hadits, Ulumul-Qur›an, Tafsir, Ushu-
lul-Fiqhi, Fikih, dan Manthiq. Setelah mengabdi di alma-
maternya selama setahun, ia melanjutkan pendidikan di
Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone selama dua semister, tahun 1998
lalu merantau ke Malaysia. Setelah mengajar selama
tiga tahun di Sekolah Menengah Agama An-Nur, Benut,
Pontian, Johor. Ia pun melanjutkan kembali kuliahnya
536 - Ilham Kadir

di Markaz al-Dirasat al-Islamiyah (Marsah) Johor, sebu-


ah institut yang menjadi kelas jauh Universitas Al-Azhar
Mesir (twins program), kali ini, ia mengambil jurusan
Syariah wal Qanun. Tahun 2004, ia kembali melanjutkan
pendidikannya, pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir
di Arabic and Islamic College Al-Ihsaniyah, Penang Ma-
laysia, dan diwisuda sebagai Sarjana Muda pada tahun
2005 dengan predikat ‘cum laude’. Ia juga merupakan
alumni terbaik Jurusan Managemen dan Komunikasi
Dakwah Sekolah Tinggi DDI Makassar tahun 2010. Ta-
hun berikutnya, ia melanjutkan  pendidikan pada jenjang
magister (MA) di Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Makassar, konsentrasi pada Pendidikan Islam, selesai
tahun 2013, dengan mengangkat penelitian, “Pemikiran
Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Pada ta-
hun 2014, ia lolos seleksi beasiswa BAZNAS-DDII untuk
program doktoral di Universitas Ibn Khaldun (UIKA)
Bogor. Pada tanggal 27 April 2017 ia berhasil memper-
tahankan disertasinya dengan judul “Konsep Pendidikan
Kader Ulama Anregurutta Muhammad As’ad Al-Bugisi
(1907-1952)” di depan  para penguji, Prof. Dr. Didin Ha-
fidhuddin, MS., Dr. Adian Husaini, MSc., Dr. Abbas Man-
sur Tamam, MA., penelitian tersebut dibimbing oleh dua
pakar terkemuka, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., sebagai
pakar sejarah pendidikan Islam dan studi ilmu agama Is-
lam, serta Syamsuddin Arif, Ph.D., sebagai pakar orien-
talisme. Beberapa kali mengikuti pelatihan, baik dalam
maupun luar negeri, antara lain: Pelatihan Pembelajaran
Negeriku di Atas Awan - 537

Bahasa Arab Fusha dan ‘Ammiyah, Bukit Bintang, Kua-


la Lumpur Malaysia, tahun 2001; Pelatihan Penerapan
Cocurriculum Sekolah Menengah, di Muar Johor Malay-
sia, tahun 2001; Diklat Dai (Tabribud-du’at) Asia Mos-
lem Charity Foundation-Ma’ahd Al-Birr Unismuh, Ma-
kassar, Sulsel, tahun 2009; Pelatihan Management BMT
oleh PINBUK-ICMI Orwil Sulsel, tahun 2011; Training
of Trainer (TOT) Dai DDII, Asrama Haji Sudiang, 2012;
Training of Trainer (TOT) Fasilitator BNPT Nasional, di
Hotel Aston Makassar, tahun 2014; dan banyak lagi.
Ilham Kadir, juga memiliki pengalaman sebagai
pendidik. Tahun 1994-95, mengajar di Taman Pendidik-
an Al-Qur’an, Nangka, Palattae, Kahu; Darul Huffadh
Tuju-tuju, 1996-97; Direktur Tahfizul-Qur’an Madra-
sah Arabiyah Islamiyah Annur Bennut, Pontian Johor,
Malaysia tahun 1999-02; Guru Sekolah Tahfiz Taman
Merbok Johor, 2002-03; Pondok Modern Nurul Iman,
Bukit Ceraka, Klang, Selangor, 2005; Direktur Pondok
Pesantren Al-Qur’an Hidayatullah Sememal, Tg. Balai
Karimun Kepri, 2003-2006; Guru SDIT Fajrul Amanah
Gn. Putri Bogor, 2007; Guru SMP Ittihad Makassar,
2009-2010; Guru dan tutor Bahasa Inggris, lembaga kur-
sus ‘Bee Club’ sekabupaten Bogor, 2006-2007, dan kini
tercatat sebagai dosen di STKIP Muhammadiyah Enre-
kang dan guru di Pondok Pesantren Modern Darul Fa-
lah, Enrekang. Pernah bekerja dalam dunia tulis menulis
dengan menjadi jurnalist freelance,  beberapa kali meli-
put acara internasional seperti, International Conference
538 - Ilham Kadir

of Islamist Parliementarian tahun 2007 dan South East


Asia Conferenfe for Palestina, 2011. Kecuali itu, Pernah
pula menjadi editor di Penerbit Darul Haq, tahun 2007.
Pada tahun 2011, bergabung di Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) sebagai peneliti. Pernah juga
menjadi Pimpinan Redaksi Tabloid LAZIZ-AQL pada ta-
hun 2015. Selama ini, ia telah banyak menulis, antara
lain, buku “Jejak Dakwah KH. Lanre Said; Ulama Peju-
ang dari DI;TII hingga Era Reformasi, Aynat Publishing,
Jogjakarta, 2010; Jurnal, “Islamisasi Sulawesi Selatan,
Peran Ulama dan Raja-raja”, Jurnal Islamia, 2012; buku
“Membangun Enrekang Bersama BAZNAS, LSQ Makas-
sar-BAZNAS Enrekang, 2016; Jurnal Islamia “Kaderisasi
Ulama: Kiprah KH Muhammad As’ad”, Jurnal ISLAMIA
Volume XI. No. 1/2/2017; Jurnal Penamas, Volume 31 No.
2. Juli-Desember 2018, “Al-Bugisi dan Pendidikan Kader
Ulama”; Jurnal Penamas Volume 32 No. 1, “KH. Lanre
Said: Ulama Pendidik dari DI/TT hingga Era Reforma-
si”. Sebagai editor dalam buku “Tadabbur Al-Qur’an:
Menyelami Mutiara Wahyu, AQL Pustaka, 2016” karya
KH. Bachtiar Nasir; buku “Panduan Praktis Berzakat”,
LSQ Makassar-BAZNAS Enrekang, 2018. Sejak tahun
2011 hingga saat ini rutin menulis artikel di berbagai
media nasional dan lokal. Seperti, Koran Sindo, Repub-
lika, Tribun Timur, Fajar, dll. Telah menulis sekitar 500
artikel. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di: www.ilham-
kadir.com, dan: https://uika-bogor.academia.edu/Ilham-
Negeriku di Atas Awan - 539

Kadir. Yang bersangkutan dapat dihubungi via sms/WA:


+62 85217336715.
Ilham Kadir, seorang aktivis tulen, sejak mondok di
Darul Huffadh Tuju-tuju menjabat sebagai Ketua Bagian
Informasi dan Penggerak Bahasa, serta Pengasuhan San-
tri (1995-1996); Pengurus Ikatan Mahasiswa Muhamma-
diyah (IMM) Bone (1997); Sekretaris Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) Hidayatullah Karimun (2004-2006); Wa-
kil Sekretaris DPW Hidayatullah Kepri (2005); Sekreta-
ris Yayasan Indonesia Bersih Makassar (2009); Direktur
Lembaga Mitra Madani (2010-sekarang); Pengurus DPW
BKPRMI Sulsel (2013-sekarang); Sekretariat KPPSI Pu-
sat (2014-sekarang); Wakil Sekertaris Forum Ukhuwah
Islamiyah (FUI), (2012-sekarang); Ketua Bidang Pen-
didikan Yayasan Wakaf Pondok Modern Islam Gowa,
(2013-sekarang); Anggota Dewan Pembina IKDH Ma-
kassar (2014-sekarang); dan kini tercatat sebagai, Ke-
tua Lembaga Penelitian Majelis Intelektual dan Ualam
Muda (MIUMI) Sulsel; Pengurus DDII Sulsel; Sekreta-
ris Pemuda KPPSI Pusat; Ketua Komisi INFOKOM MUI
Enrekang; Dewan Penasihat BKPRMI Enrekang. Sejak 8
Maret 2016 resmi dilantik sebagai salah satu Pimpinan
Baznas Enrekang priode 2016-2021; Dewan Panasihat
BWI Enrekang—daftarnya akan terus bertambah.
540 - Ilham Kadir

Anda mungkin juga menyukai