PATCHWORK LEARNER
Negosiasi Dengan Takdir
tahun
Komaruddin Hidayat
Komaruddin Hidayat:
Jl. Semanggi II/3, Ciputat Timur,
Tangerang Selatan, Banten 15412
Kata Pengantar
Buku ini ditulis sebagai kenangan memasuki usiaku yang ke-69. Judul buku datang
belakangan setelah aku mencatat sekedarnya seputar proses, langkah dan tonggak-
tonggak ziarah kehidupanku. Ternyata diriku tak ubahnya seorang pembelajar
tambal sulam, tidak terstruktur dengan runtut dan rapih. Lukisan kehidupanku
bagaikan himpunan potongan-potongan (patchwork) pengalaman hidup yang
terpenggal-penggal dan berserakan bagaikan puzzles. Menginjakkan kaki di
Jakarta tahun 1974 dengan “terjun bebas” untuk mengadu nasib di di Ibukota, saat
ini aku menerima penugasan dari Presiden Joko Widodo duduk sebagai Rektor
Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Ketika aku jalani penggalan-
penggalan hidup tadi tidak berkesinambungan, bahkan ada potongan-potongan
waktu yang aku rasakan sebagai lorong gelap dan pengab. Namun memasuki hari
tua, ketika semua itu aku susun dan tata disertai rasa syukur pada Tuhan pemilik
kehidupan, semua terlihat bagaikan tumpukan batu bata yang saling menyangga
yang lain sehingga melahirkan semacam bangunan rumah kehidupan yang solid.
Makanya buku ini aku beri judul Patchwork Learner. Lalu, apa hubungannya
dengan anak judul Negosiasi dengan Takdir? Semua peristiwa yang telah terjadi
itu bagaikan garis yang tersusun dari sederet titik peristiwa yang melahirkan solid
line. Itulah takdir, suatu peristiwa yang tidak bisa diubah, namun kita memiliki
kebebasan untuk membangun makna dari semua peristiwa itu. Sedangkan masa
depan merupakan sederet titik kemungkinan yang belum tersambung (broken
line), bagaikan kanvas kosong yang terbuka untuk kita isi dengan lukisan. Tuhan
menyediakan sekian banyak anugerah fasilitas hidup, disertai anugerah akal dan
kebebasan untuk merancang dan menjalani hidup. Dengan demikian, kita bisa
bernegosiasi dengan mengukir takdir di masa depan mengingat masa depan itu
masih berupa broken line, bukan solid line.
Daftar Isi
B. Patchwork Learner
34. Lorong Waktu ............................................................. 67
35. Menembus Batas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 8
36. Warga Bangsa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 0
37. Merayakan Keragaman . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 1
38. Pengalaman, Pengetahuan, dan Ilmu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 3
39. Menulis itu Sehat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 5
40. Pembelajar Seumur Hidup ................................................ 77
41. Ojo Kagetan, Ojo Gumunan,
Ojo Dumeh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 9
42. Crowd Mentality . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 0
43. Interdisipliner, Multidisipliner,
Transdisipliner . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 1
44. Kekuatan Nalar Sehat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 3
45. Mikul Dhuwur Mendhem Jero . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 5
46. Fight Against and Fight For . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 6
47. Big Traditions and Small Traditions . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 7
48. Kitab Suci Sebagai Teman Dialog . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 9
49. Ikhlas Itu Berat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 0
50. The Fabric of Knowledge Information . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 1
51. Mengejar Kaki Langit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 3
52. Indonesia Rumah Kita . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 6
53. Berkebun Pohon Peradaban . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 8
54. Hati Tidak Pernah Berhohong . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0 1
55. Hidup Tak Kenal Pensiun . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0 3
6
Menapaki
Lorong
Waktu
1. Bermula Dari Keluarga
Tak terasa Oktober 2022 ini usiaku mencapai 69 tahun. Andaikan perjalanan
hidupku direkam dalam sebuah film, lalu diperlihatkan padaku untuk
menonton, pasti banyak adegan yang menjemukan, tidak menarik dilihat,
bahkan malu melihatnya. Agenda aktivitas hidup itu terbagi dua, yaitu:
important dan not-important, dan pasti lebih banyak adegan yang not-
important. Melihat dan mengenang ulang perjalanan masa lalu, seakan aku
berjalan ke belakang menjenguk sederet monument dan rumah yang pernah
aku bangun lalu aku tinggalkan begitu saja. Ada yang indah dilihat, banyak
juga yang tidak enak ditengok ulang. Perjalanan hidup seseorang bermula
dari keluarga dan ikatan darah ini tak akan putus sampai kita meninggalkan
panggung dunia. Ada ungkapan yang kurang enak didengar, hubungan keluarga
berdasarkan ikatan darah itu takdir, sedangkan hubungan persahabatan dan
perjodohan itu pilihan hati.
Kisahnya begini. Waktu itu umurku sekitar sembilan tahun, tinggal di desa
Pabelan. Masyarakatnya dikenal taat menjalankan perintah agama yang
diterima secara tradisional, turun temurun. Suatu hari sekitar jam 14.00 tiba-
tiba aku mendengar orang berteriak: anjiiiing…annjiiing…. yang membuat
tetangga pada keluar sambil membawa tongkat. Aku pun melihat anjing
berlari ketakutan dikejar oleh orang-orang yang membawa tongkat, berusaha
untuk membunuhnya. Karena dicegat dan dikepung oleh banyak orang dengan
2
membawa tongkat, akhirnya anjing itu tertangkap hidup-hidup lalu dihajar
ramai-ramai. Setelah tak berdaya anjing itu diikat dengan tali, lalu diseret
ke sungai tak jauh dari desa. Terdorong oleh rasa ingin tahu, aku mengikuti
rombongan sampai ke sungai, tempat bangkai anjing di buang. Terlihat masih
bernapas tapi tak mampu bergerak.
3
2. Aku, Kami, dan Kita
Buku kecil ini merupakan refleksi diri bertepatan dengan ulang tahunku yang
ke 69 tahun. Dalam bahasa pesantren, usia seseorang biasanya dibandingkan
dengan usia Nabi Muhammad yang wafat di usia 63 tahun. Berarti aku sudah
memperoleh bonus enam tahun. Telah memasuki waktu ashar, menjelang
maghrib, waktu terbenam matahari. Selamat berpisah dari kehidupan dunia.
Kata terbenam tentu saja sebuah istilah konseptual belaka mengingat matahari
itu tak ternah terbenam, melainkan posisi bumi tempatku berpijak yang
berputar membelakangi posisi matahari sehingga cahaya matahari tertutup.
Ada lagi kategori fisik. Kondisi fisik seseorang tidak selalu berkorelasi
positif dengan pertumbuhan mental dan intelektual seseorang. Aku sering
mengamati dan berbincang-bincang dengan para pekerja buruh yang kerja
mengandalkan otot. Ketika bertanya soal umur, aku seringkali kaget, sulit
percaya. Penampilan fisiknya terlihat jauh lebih tua dari usia kalender.
Begitu pun usia atau kematangan intelektual seseorang, banyak teman-
temanku, bahkan pernah jadi mahasiswaku, secara intelektual jauh lebih
matang melebihi dosen-dosennya. Yang sulit diukur namun bisa dirasakan
4
adalah kedewasaan dan kedalaman spiritual. Tidak ada jaminan orang yang
usianya sudah lanjut dan khazanah ilmunya luas diikuti dengan kematangan
spiritual. Makanya jangan heran ada penceramah yang senang mengutip ayat-
ayat Alqur’an dan hadis, namun auranya tidak menebarkan kedamaian dan
keteduhan yang mendekatkan rasa kedekatan dengan Tuhan.
Sadar atau tidak, pemikiran dan pribadi setiap individu terbentuk melalui
pergaulan sosialnya. Di sana terjadi pergulatan dan keterpautan antara “aku”,
“engkau”, dan “kami” yang pada urutannya melahirkan “kita. Setiap entitas
yang satu tak bisa dipisahkan dari yang lain. Ungkapan “aku” meniscayakan
adanya “engkau” yang membentuk “kekamian” dan “kekitaan”. Yang disebut
orang lain, misalnya “dia” atau “mereka”, adalah juga bagian dari “kekitaan”.
Jadi, kalau pun aku menulis makalah ini berangkat dari pengalaman pribadi,
sudah pasti banyak pengaruh dan masukan dari sekian banyak orang yang
tidak bisa aku hitung. Tentu di sana ada beberapa figur yang melekat dan
berpengaruh secara mendalam dalam hidupku. Terutama keluarga yang
memiliki hubungan darah, melebar pada teman dan guru yang berpengaruh
dalam membentuk kacamata kehidupan yang dengannya aku memandang
dunia dan menapaki kehidupan.
Apa yang aku katakan dan jalani dalam hidup ini pasti juga terjadi pada para
pembaca dengan keunikan masing-masing. Dengan demikian, setiap orang
sesungguhnya memiliki karya tulis tentang catatan perjalanan hidupnya,
namun sebagian besar masih tersimpan dalam “buku mental” berupa ingatan
dan respons intelektual-psikologis terhadap memori itu tentang peristiwa
masa lalunya. Kalau pun seseorang membayangkan masa depan, sesungguhnya
apa yang dibayangkan merupakan proyeksi sintetis sederet pengalaman masa
lalunya. Oleh karenanya, ketika kita membayangkan surga atau neraka, baik
kenikmatan maupun penderitaan yang terbayangkan, semuanya tak bisa
keluar dari apa yang pernah kita dengar, lihat, alami dan rasakan selama
hidup di dunia.
5
3. Sosok Ayah
Ayahku bernama Imam Hidayat, meninggal 5 Juli 2012 pada usianya yang
ke-90 tahun. Dia sosok pribadi yang sabar, hampir tidak pernah marah dan
mengeluh meski dalam situasi yang sulit. Ibuku meninggal ketika aku berumur
8 tahun, karena sakit paru-paru. Nalarku belum mampu memahami apa
yang terjadi. Yang pasti aku kehilangan sosok ibu yang sangat memanjakan
diriku, kata saudara dan tetanggaku. Perhatiannya pada diriku melebihi
dari yang lain. Aku nomor tiga dari empat bersaudara, dua perempuan, dua
laki-laki. Peristiwa kehilangan ibu ini sangat membekas dan berpengaruh
pada perjalanan hidupku di kemudian hari dan tahun. Ayahku setiap hari
menjenguk ke kuburan. Itu berlangsung lebih dari setahun. Selang beberapa
tahun ayahku kawin lagi, dan tak lama kemudian ibu tiriku meninggal karena
sakit. Lalu ayah kawin lagi untuk ketiga kalinya dan dianugerahi empat putri.
Jadi aku nomor tiga dari delapan bersaudara.
Aku terlahir 18 Oktober 1953. Ketika menginjak usia belasan tahun memoriku
merekam fase kehidupan yang pahit dari sisi ekonomi, pendidikan dan
kehidupan keluarga. Ekonomi Indonesia mengalami inflasi mencapai 635%
antara lain diakibatkan oleh sikap pemerintah yang seenaknya mencetak
uang untuk membiayai proyek mercusuar. Situasi tambah memburuk akibat
konfrontasi dengan Malaysia. Krisi situ memuncak dengan terjadinya tragedi
nasional yang dikenal dengan sebutan G-30-S PKI. Terekam kuat dalam
ingatanku, ekonomi keluarga dan tetangga mengalami pailit. Banyak rakyat
yang makan bulgur dan bubur sekedarnya. Di-mana-mana panen rusak
diserang hama tikus. Sandang dan pangan langka. Kalaupun ada harganya
sangat mahal, tidak terjangkau bagi warga desa kami yang miskin.
Ayahku seorang tentara dengan pangkat Kopral. Katanya, dulu pernah ikut
berperang semasa perjuangan kemerdekaan, sehingga ayahku memperoleh
hadiah untuk bergabung sebagai anggota TNI, Tentara Nasional Indonesia.
Aku tidak tahu persis kapan ayahku mulai jadi tentara. Kata ayahku, banyak
teman seangkatannya yang pangkatnya sudah perwira menengah dan perwira
tinggi karena rajin mengikuti pelatihan dan mengurus proses kenaikan
6
pangkat ke Jakarta. Sedangkan ayahku tidak pernah mengikuti pendidikan
untuk kenaikan pangkat sehingga sampai saat meninggal pangkat tertinggi
ayahku hanya sampai kopral dengan tanggungan delapan anak.
Di mataku, sosok ayahku memang kurang pas jadi seorang tentara. Perilakunya
halus, sabar, dan pemaaf. Tidak pernah ikut gossip membicarakan perilaku
orang lain. Jika ada orang membicarakan aib seseorang, ayahku pilih diam. Yang
juga sangat terkesan, Ayahku tak pernah mencela makanan yang terhidang.
Apapun yang terhidang di meja makan, itulah rejeki terbaik pilihan Tuhan
yang mesti disyukuri dan pantang dicela. Selagi masih aktif, Ayah berkantor di
Magelang. Menjelang pensiun dipindah ke Blabak, tak jauh dari desa Pabelan.
Pada waktu itu kendaraan sepeda ontel adalah andalan pergi-pulang kantor.
Ayah berhenti mengendalikan bandul cincin yang berputar itu, lalu berkata
pada salah seorang tamu. Tolong buka gulungan itu, baca dan ingat-ingat
namanya dalam hati. Jangan diberi tahu siapapun nama yang tertulis.
Kembali gulungan kertas berisi nama itu disebar membentuk lingkaran. Ayah
7
memegang benang dengan bandul batu cincin yang mulai berputar dan lama-
lama mengarah pada satu gulungan kertas. Lagi-lagi teman yang berdekatan
dengan kertas diminta diam-diam membuka dan menghafal namanya.
Adegan ini seingatku dilakukan lima kali. Setelah itu masing-masing orang
yang membuka diminta menyebut nama yang tertulis yang dituju oleh batu
cincin. Semua orang terheran-heran, kelima orang tadi menyebut nama yang
sama. Yaitu seorang pejabat baru di kantor Koramil. Ayah berpesan, bersihkan
hati, tidak boleh menuduh seseorang tanpa bukti. Nama yng muncul itu
sekedar isyarat awal agar orang ini ditelusuri dengan cermat dan detail. Tanpa
adanya bukti yang kuat kita dosa menuduh seseorang melakukan pencurian
atau pun korupsi. Demikianlah, setelah diinvestigasi secara seksama akhirnya
terbongkar pelakunya dengan alat bukti yang meyakinkan, nama orangnya
sama dengan yang diisyaratkan oleh ayahku.
Demikianlah, masih banyak lagi hal-hal atau peristiwa unik yang aku lihat
sendiri dan juga Ayah ceritakan berkaitan dengan “dunia mistik”, sebuah
istilah yang sesungguhya kurang tepat. Ayah punya wirid atau amalan-amalan
serta doa yang selalu dijalani setiap hari. Kadang ada orang datang minta
pertolongan minta didoakan. Aku sendiri merasa memperoleh pendidikan
rasional yang jauh dari dunia mistik. Aku belajar filsafat, bahkan sampai tingkat
S3. Aku juga banyak berkawan dengan kalangan modernis yang tidak familiar
dengan “dunia mistik”. Namun aku juga menyaksikan sendiri praktik-praktik
semacam ilmu kesaktian, meskipun aku tidak tertarik. Aku masih ingat ketika
masih berjaya jualan kupon NALO (National Lottery). Sehabis sholat Isya,
Ayah menuliskan sembilan angka di sebuah papan. Besuk malamnya ternyata
angka itu persis nomor undian yang keluar. Tentu saja Ayah tidak mau beli
nomor lotre. Dan kejadian seperti itu terjadi dua kali. Ayah memandangnya itu
godaan iman yang mesti dikalahkan.
Ketika kuliah di Turki, aku sempat berlibur pulang ketemu Ayah di desa
Pabelan. Ayah menunjuki ruang kamar yang isinya penuh koleksi benda-
benda unik dan antik, rata-rata berpasangan. Katanya, benda-benda itu datang
ada yang mengantarkannya. Ketika bertemu ayah pengantarnya menyebutkan
dari mana asal-usul benda itu, minta agar diterima dan dirawat, dengan mahar
8
bacaan alfatihah ditujukan pada pemiliknya. Begitu diterima pengantarnya
hilang, entah siapa dan kemana.
Aku katakan ke Ayah, sebagai koleksi benda-benda itu unik dan antik. Tapi
itu titipan, bukan untuk dijual-belikan. Namun kalau Ayah nantinya tidak
ada, siapa yang bisa merawatnya? Jangan-jangan malah menimbulkan
fitnah. Tanpa ilmu malah jadi musyrik. Mungkin Ayah berpikir aku tertarik
menerima benda-benda pusaka itu. Namun nyatanya tidak. Sejak itu benda-
benda pusaka itu satu-satu hilang, berpindah entah ke mana.
9
pengaruh penglihatan sangat menonjol, difasilitasi oleh gadget dan televisi
yang sarat dengan iklan. Implikasinya masyarakat kita kurang terbiasa
berdiam diri merenung dan berpikir kontemplatif.
Rumahku tak jauh dari sungai Pabelan yang dulu seringkali banjir besar,
namun sekarang jarang banjir. Ketika musim hujan tiba, suara dan
pemandangan banjir tak asing bagi kami anak-anak desa. Di malam hari
terdengar suara gemuruh air dan bebatuan layaknya kuda berlarian adu
cepat menuju muara laut selatan. Pagi harinya anak-anak desa melihat ke
pinggiran sungai. Sawah-sawah tertutup luapan pasir.Kata orangtua, gunung
Merapi berbaik hati mengirimkan pasir dan batu sebagai sumber rejeki bagi
orang desa untuk dikumpulkan dan dijual pada orang kota. Sejak kecil aku
terbiasa mendengar dongeng, banjir itu pertanda Nyai Roro Kidul penjaga laut
selatan dan Mbah Samet penunggu Merapi sedang punya hajatan. Mereka
mengadakan perkawinan anaknya. Beredar berita dari mulut ke mulut, ada
seorang nenek yang rumahnya tak jauh dari sungai melihat konvoi atau
arak-arakan kereta kuda di atas sungai mengantarkan pengantin dan para
pengawalnya berpakaian sangat indah, gemerlapan dalam sorotan bulan.
Demikianlah, dongeng, legenda atau mitos tentang Nyai Roro Kidul dan Mbah
Slamet penjaga gunung Merapi sudah terekam sejak kecil. Bahkan gunung-
gunung, sungai besar dan danau di sekitar Magelang semuaya mempunyai
mitos masing-masing sehingga kami anak-anak desa memiliki rasa takut
melakukan eskplorasi terhadap alam. Semua alam itu ada penunggunya. Sejak
dari pohon besar di sudut desa, kuburan dan masjid, merupakan tempat yang
angker. Jangan sembarangan main di sana, sekalipun siang hari. Sejak kecil,
aku pun sudah akrab dengan hujan abu, semburan gunung Merapi. Warga desa
tenang-tenang saja menyikapinya. Semua yang terjadi ini diyakini merupakan
kehendak yang Kuasa.
10
takuti akan dosa. Pemikiran kritis dan rileks dalam keberagamaan tidak
tumbuh. Rekaman mental semacam itu akan berpengaruh pada diri setiap
orang sekalipun sudah tumbuh dewasa. Kecuali, ibarat kacamata budaya,
seseorang secara sadar memperoleh pendidikan yang membuatnya berganti
paradigma pemikiran atau kacamata yang baru sehingga menemukan potret
yang berbeda tentang dunia.
5. Masuk Pesantren
Kata pesantren sangat akrab di telingaku sejak kecil. Di daerah Magelang
terdapat beberapa pesantren yang cukup ternama, antara lain Tegalrejojo,
Payaman, dan Watucongol. Dulu, di desa Pabelan juga berdiri pesantren
yang terkenal, namun lama-lama surut ketika kyainya meninggal, tak ada
penerusnya. Yang tersisa adalah bangunan pondoknya. Baru pada tahun 1965
tampil kyai muda bernama Ustadz Hamam Dja’far, alumni Pondok Pesantren
Gontor Ponorogo, yang menghidupkan kembali dengan sistim model Gontor
di desa Pabelan, Magelang.
11
Mereka tak pernah menganggur. Bangunan rumahnya pun bagus-bagus
dibanding yang lain.
Merasa tidak tertarik di STK, aku menyatakan ingin keluar ke Ayah, ingin
masuk pesantren saja. Tanpa banyak pertanyaan, besuk harinya aku di antar
ke pesantren, dititipkan ke Ustadz Hamam Dja’far. Aku termasuk santri paling
muda atau paling kecil dari 28 santriwan-santriwati yang sudah masuk lebih
dahulu. Semuanya anak Pabelan yang putus sekolah, lalu ditampung ke dalam
satu kelas. Ada satu santri dari luar desa, berasal dari Purwokerto. Pelajaran
dari pagi sampai siang bertempat di kelas, layaknya anak sekolahan. Yang
dijadikan kelas adalah serambi masjid, dilengkapi bangku dan meja serta
papan tulis. Laki-perempuan campur belajar bersama.
12
ada batas fisik dan sosial antara santri dan penduduk desa. Karakter ini bagi
warga desa sangat besar manfaat dan pengaruhnya. Aku sebagai warga asli
Pabelan memandang pesantren sebagai sekoci penyelamat yang menampung
warga desa yang miskin untuk mengenyam pendidikan yang bagus secara
gratis. Aku kira pesantren pada umumnya memang begitu. Pendidikan bagus
namun sangat murah dan mudah terjangkau bagi rakyat desa.
Yang aku rasakan dengan masuk pesantren, aku merasa terhubung dengan
warga Indonesia lintas daerah mengingat santrinya datang dari berbagai
Provinsi. Rasa keterhubungan ini sangat penting bagi perkembangan diriku,
sehingga kacamata budaya yang semula bersifat lokal lalu diperkaya dengan
wawasan nasional. Di Pesantren ini secara sadar didatangkan tokoh-tokoh
nasional untuk memberikan kuliah umum di hadapan santri-santri agar
memberikan motivasi para santri sebagai komunitas pembelajar yang
berwawasan nasional dan global. Begitu pun tamu-tamu dari perguruan
tinggi di Yogyakarta dan AKABRI Magelang datang berkunjung silih berganti.
Secara psikologis, tumbuh perasaan aku tidak saja sebagai warga desa Pabelan
yang miskin dan tidak masuk peta Indonesia, tetapi sekarang kesadaran dan
citra diriku berubah. Aku bagian dari keluarga santri yang terhubung secara
nasional. Di halaman masjid yang kuno dan antik itu terpampang papan nama:
Balai Pendidikan Pondok Pabelan, Mungkid, Magelang, INDONESIA. Dengan
papan nama ini Kyai Hamam Dja’far mengajak para santri untuk berimajinasi
besar. Bahwa pesantren ini bagian yang sah dan mesti diperhitungkan sebagai
lembaga pendidikan berkualitas nasional. Cita-cita Kyai Hamam akhirnya
terkabul, pada tahun 1980 Pondok Pabelan menerima Agha Khan Award for
Arsitektur (AKAA) dan uang sebesar US$ 500.000 yang diserahkan langsung
oleh Presiden Pakistan Ziyaul Haq. Ini menandai pesantren go global.
13
membebaskan aku dari kungkungan dan jeratan kehidupan desaku yang
miskin dan pesimis memandang hidup. Di pesantren aku diajari dan diajak
untuk membangun imajinasi besar sebagai warga Indonesia dan warga dunia.
Ketika belajar bahasa Arab kami bukan saja dihubungkan dengan khazanah
keilmuan masa lalu, melainkan juga terbangun imajinasi dengan dunia dan
budaya lain yang berbahasa dan berbudaya Arab. Begitu pun ketika belajar
berbicara bahasa Inggris, tumbuh empati seakan aku menjadi warga dunia
yang berbahasa Inggris. Jadi, bahasa adalah jendela dunia dan akup yang
dengannya aku diajak berimajinasi untuk terbang melampaui dinding-
dinding kemiskinan dan isolasi geografis. Dengan demikian, pondok pesantren
merupakan sekoci budaya atau enclave yang mengantarkan diriku untuk
berani bermimpi menghadapi dan memasuki kehidupan yang lebih luas. Kata
Kyai Hamam, jika kamu takut mati, jangan hidup. Jika takut hidup mati saja.
Dan sekarang Tuhan telah menganugerahkan hidup. Mari kita syukuri dan isi
dengan mengejar ilmu untuk bekal hidup. Kita punya hak yang sama untuk
menikmati kehidupan dunia. Dengan syarat, memiliki ilmu dan akhlak yang
mulia
6. Joyful Learning
Aku mendengar istilah joyful learning dan fun learning pada tahun 2000-
an. Intinya, proses pembelajaran yang berlangsung dalam suasana gembira,
tanpa paksaan, maka kinerja otak lebih terbuka dan efektif untuk menangkap
dan menampung informasi ilmu yang baru. Proses ini rasanya sudah aku
kenal dan jalani sejak masih di pesantren. Kami belajar dengan gembira,
penuh antusiasme. Beberapa tugas hafalan dilakukan dengan lagu layaknya
bernyanyi. Rupanya metode ini sangat efektif. Beberapa teman belajar bahasa
Inggris melalui lirik lagu sambil bernyanyi.
Banyak aspek dan praktik pendidikan pesantren yang bagus, namun para
pakar pendidikan nasional kurang mengapresiasi. Misalnya, di pesantren ada
14
rumus: kurikulum pendidikannya berlangsung selama 24 jam sehari. Artinya,
kehidupan para santri setiap saat dalam proses dan suasana pendidikan di
bawah bimbingan dan pengawasan Kyai dan para asistennya yang berlangsung
dengan gembira. Budaya belajar di pesantren tidak mengejar ijazah. Ijazah
hanyalah tanda tamat belajar setelah mengikuti serangkaian kurikulum
yang berlangsung dalam waktu tertentu. Tujuan utamanya adalah mencari
ilmu untuk bekal hidup. Ilmu tak ada gunanya jika tidak disertai akhlak.
Makanya di pesantren hampir tak ada yang berantem. Kalaupun ada langsung
diadili dan jika ternyata melakukan pelanggaran berat langsung diserahkan
pada orangtuanya. Murid senantiasa menghormati guru. Terlebih lagi pada
kyahinya. Tanpa ridha dan keikhlasan kyahinya, ilmu tidak membawa berkah.
15
ke Surabaya, lalu disambung naik bus dan opelet, sampailah di Kedungpring,
Babat, Lamongan.
Letak sekolah itu di wilayah Kauman, Muntilan, tak jauh dari STK yang aku
pernah belajar di sana. Karena tak mau kehilangan umur, aku ketemu Direktur
“Al-Iman” agar bisa langsung duduk di kelas tiga. Direkturnya bernama Pak
Syadzali, teman seperjuangan Ayahku ketika sama-sama ikut perang gerilya.
Aku langsung di-tes berupa wawancara dengan Bahasa Arab. Aku ditanya
dengan pertanyaan tentang keislaman setingkat soal ujian kelas satu dan dua
tingkat Aliyah (SMU). Alhamdulillah, tak sampai satu jam wawancara aku
dinyatakan lulus dan besuknya langsung bergabung duduk di kelas tiga.
16
8. Kebingungan Baru
Tidak sampai setahun aku tamat dari Madrasah Al-Iman, Muntilan, dengan
meraih ijazah Aliyah, setingkat SMU. Aku tidak berpikir untuk apa gunanya
ijazah. Tapi aku hanya ingin mengatakan pada diri sendiri bahwa aku tamat
sekolah, bukan dropper out di tengah jalan. Sambil sekolah aku aktif di
organisasi pelajar PII (Pelajar Islam Indonesia) Cabang Muntilan, merangkap
aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), bahkan pernah terpilih sebagai
Ketua Cabang. Keluargaku sendiri dekat dengan tradisi NU. Namun sebagai
anggota TNI memang memilih netral. Begitu tamat, hatiku sangat galau. Mau
meneruskan kuliah faktor biaya tidak memungkinkan. Orangtua tidak mampu.
Mau kerja belum berminat, di samping tidak jelas jenis pekerjaan apa yang
bisa aku lakukan. Temen sekelasku bernama Muhaiban Hajid mengatakan:
Aku yakin, kalau Komar meneruskan di Fakultas Adab IAIN Yogyakarta,
kalau tamat pasti diangkat jadi dosen. Muhaiban memang meneruskan ke
IAIN Yogyakarta, Fakultas Adab, sekarang sebagai guru besar di Universitas
Pendidikan Malang.
Dua tahun aku aktif mengurus organisasi. Di PII dan Muhammadiyah. Aku
tinggal semi permanen di kantor sekretariat Pemuda Muhammadiyah.
Namun tidur berpindah-pindah di rumah sesama aktivis. Bacaan utamaku
adalah novel Ko Ping Ho, sampai ratusan jilid. Selama di Muntilan aku merasa
terhubung dengan sesama aktivis yang berstatus mahasiswa. Dari mereka aku
dikenalkan isu-isu politik perjuangan Islam sehingga aku merasa termotivasi
untuk aktif di organisasi sebagai panggilan hidupku. Namun lama-lama aku
berpikir, kota Muntilan tidak lagi menawarkan hal-hal baru yang menjanjikan
masa depan untuk mengubah hidupku. Kapasitas keilmuan yang minim dan
tidak memiliki sumber ekonomi yang tetap hanya akan membuat aku jadi
benalu di organisasi. Semangat pengabdian masyarakat tanpa kemandirian
ekonomi dan modal intelektual hanya mengantarkan pada sikap frustasi.
Kalau hari-hari ini mungkin jadi sasaran empuk bagi jaringan radikalisme-
terorisme.
17
Dalam kebingungan itu, lagi-lagi aku mesti berani berspekulasi mengambil
sikap, no pain no gain. Putusanku memilih mencoba bertarung hidup di
Jakarta. Mengadu nasib ke ibu kota. Keberanian ini aku rasa pengaruh dari
bacaan novel petualangan karangan Ko Ping Ho, Api di Bukit Menoreh dan
Naga Sasra Sabuk Inten. Aku membayangkan diriku sebagai petarung
kehidupan berangkat dari posisi yang sudah tersudutkan dan terhimpit oleh
beban hidup, sehingga pilihan yang ada hanyalah kemenangan. Tidak takut
jatuh dan kalah karena sudah dalam posisi di bawah dan kalah. Tujuanku
ke Jakarta mencari alamat teman sesama aktivis PII, Fariq Husnie, yang saat
itu bekerja di Jakarta, di jalan Salemba Raya, dekat Gedung CTC. Sesampai di
Jakarta aku baru tahu bahwa di Jalan Salemba Raya terdapat bengkel besar
cat duko, milik orang Muntilan bernama Mas Syatibi, tempat Fariq bekerja.
Rumahnya di kelurahan Senen biasa menampung para aktivis PII Muntilan
yang ingin lihat-lihat Jakarta atau transit kerja sementara.
9. Nyasar ke Ciputat
Dua hari berkumpul dengan teman-teman Muntilan di daerah Tanah Tinggi,
Senen, Jakarta, aku permisi mau ketemu teman santriwati pesantren Pabelan
yang nikah dengan seorang tentara, tinggal di Komplek MABAD, Rempoa,
18
Ciputat. Rupanya komplek tantara ini masih dalam proses pembangunan.
Listrik belum masuk. Jalanan masih becek. Fasilitas umum masih sangat
terbatas. Sehari tiba di komplek MABAD, malam harinya diajak rapat oleh Mas
Rochmat, suami temanku. Rapat yang dihadiri perwakilan warga komplek itu
membahas berbagai agenda kegiatan sosial dan sarana pendidikan. Sebagai
mantan aktivis organisasi pelajar dan sosial, maka tanpa rasa canggung aku
menawarkan diri sebagai pembantu umum kepengurusan komplek. Sejak dari
pendaftaran warga komplek, menghitung jumlah jalan untuk diberi nama,
sampai mengkordinasi kegiatan remaja komplek, kesemuanya aku aktif ikut
mengurusnya.
Sejak di pesantren, Kyai Hamam Dja’far sering menyebut dan memuji nama
Nurcholish Madjid, teman seangkatan di Gontor, sebagai penulis dan aktivis
mahasiswa yang jenius. Nama Cak Nur aku dengar lagi ketika mengikuti
leadership traning PII di Muntilan, yang jadi sasaran kritik pedas Abdul Qodir
Jailani, senior PII Pusat yang biasa disebut Kang AQ, bahwa Cak Nur telah
menyebarkan gagasan sekularisasi dalam Islam. Dia telah masuk kategori kafir.
Dalam forum training itu aku sempat bertanya: “Apakah batasan seseorang
disebut kafir? Setahuku dia alumni Pesantren dan sarjana IAIN, rasanya tidak
mungkin dia seorang kafir”. Seingatku Kang AQ tidak memberi jawaban tegas
dan jelas atas pertanyaanku.
Pagi itu aku merasa ada dorongan kuat yang menggerakan kakiku untuk
melangkah masuk kampus IAIN. Aku lihat-lihat bangunan kampus dengan
penuh kekaguman, membayangkan suatu dunia yang sangat mewah,
tempat berkumpulnya para mahasiswa dan dosen menimba ilmu. Sebuah
kehidupan lain yang jauh lebih menggairahkan dibanding pesantren.
19
Benakku membandingkan; “ketika belajar di pesantren dengan fasilitas yang
sangat sederhana dan para pengajar yang bukan sarjana, itu saja aku sudah
merasa happy dan bergairah menjalani hari-hariku. Alangkah bahagia dan
beruntungnya andaikan aku bisa menjadi mahsiswa di IAIN Jakarta ini”.
Muncul kekagetan baru, pagi itu aku baca pengumuman bahwa IAIN tengah
membuka pendaftaran untuk tes masuk bagi calon mahasisa baru, tahun
ajaran 1974. Tak pikir panjang, aku langsung daftar ikut tes. Prosedurnya
begitu mudah dan murah waktu itu. Seminggu kemudian tes diselenggaakan
dan selang beberapa hari keluar pengumuman, aku dinyatakan lulus.
Alhamdulillah. Aku daftar masuk Fakulas Adab, terinspirasi dan napak tilas
kuliah Cak Nur. Tetapi muncul persoalan baru ketika mesti daftar uang kuliah.
Aku tidak punya uang dan tidak tahu dari mana mesti memperolehnya. Aku
temui bagian administrasi penerimaan mahasiswa baru, Pak Ismail asal Aceh.
Aku minta pembayaran bisa diangsur tiap bulan. Dia setuju.
Kepada teman-teman baruku di komplek MABAD aku punya bahan baru untuk
memperkenalkan diri, bahwa aku mahasiswa IAIN. Posisi dan kapasitasku
sebagai mahasiswa kelihatannya berpengaruh positif dalam pergaulanku.
Mereka lebih percaya padaku untuk mengkordinir pengajian anak-anak
komplek dan aktivitas remajanya. Aku tak punya pikiran dan dugaan sama
sekali bahwa membantu pendidikan anak-anak komplek bisa mendatangkan
uang. Melihat aku mengkordinir anak-anak belajar agama, rupanya
orangtuanya mengumpulkan uang sebagai gaji atau honor untukku. Tetapi
aku tidak mau menerimanya, karena aku berpandangan bahwa mengajar
agama semata sebagai ibadah. Hilang pahalanya jika ditukarkan dengan uang.
Rupanya Ketua komplek MABAD cukup bijak, suatu pagi dia memberi uang
padaku sebagai bantuan uang kuliah. Sebagai imbalan atas aktivitasku
membantu kegiatan komplek. Bahkan aku disediakan kamar untuk tinggal di
situ.
20
belajar di pesantren masjid merupakan pusat aktivitasku. Siang hari belajar di
serambi masjid, di malam harinya jadi tempat tidur dan bermain.
21
mahasiswa baru. Juga membantu mencarikan rumah kontrakan bagi yang
berminat. Semua itu dilakukan untuk menarik simpati dan menjaring calon
anggota baru bagi masing-masing ketiga organisasi mahasiswa itu.
Karena sejak aktif di PII aku sudah mengenal HMI, maka aku langsung
bergabung dengan HMI Ciputat. Pengalaman yang cukup mengesankan
adalah mengikuti program orientasi mahasiswa baru selama seminggu.
Jadwal kegiatan cukup padat, meskipun banyak permainan, atau lebih tepat
perploncoan oleh para senior, dan ceramah-ceramah pengenalan almamater
serta cara belajar di perguruan tinggi. Beragam permainan dan diskusi selama
pekan orientasi tidaklah begitu baru bagiku, karena pernah aku ikuti di forum
training perkaderan PII. Termasuk malam penutupan yang dibuat syahdu dan
tangisan.
Meski begitu, aku sangat antusias mengikuti acara itu sebagai seremoni yang
mesti aku lalui untuk dinyatakan resmi sebagai mahasiswa baru dan segera
dibagi jaket almamater. Selesai pekan orientasi, hatiku ingin berteriak agar
didengar keluarga, tetangga, dan teman-teman pesantren di Pabelan maupun
teman sesama aktivis pelajar di Muntilan: Hello…dengarkan, sebuah keajaiban
telah terjadi pada diriku. Aku hari ini resmi jadi mahasiswa IAIN Jakarta. Aku
satu fakultas dengan Cak Nur sewaktu dia kuliah di IAIN.....
Jangankan orang lain, aku sendiri serasa mimpi tercatat sebagai mahasiswa di
IAIN Jakarta, meskipun lokasinya di Ciputat. Perihal tempat tinggal dan beaya
kuliah bukanlah masalah serius. Aku pasti dengan mudah bisa mengatasi.
Aku pernah menjadi guru, memberi ceramah dan sering jadi instruktur
training sewaktu aktif di IPM. Jakarta terasa semakin cerah dan ramah bagiku.
Kondisi sosial Ciputat yang masih terasa pedesaan membuat aku tidak sulit
menyesuaikan diri, namun begitu lokasinya yang dekat Jakarta menimbulkan
imajinasi dan mimpi-mimpi baru, kapan aku bisa menjadi bagian dari
dinamika dan kekayaan budaya ibukota?
22
11. Keislaman, Keilmuan, Keindonesiaan
Di samping menemukan teman baru di kampus, aku menemukan pertemanan
baru yang mengasyikkan di lingkungan HMI Ciputat. Sebuah kesinambungan
dari ritme hidupku sewaktu di Muntilan, banyak meluangkan waktu untuk
kegiatan sosial, organisasi dan tinggal di kantor sekretariat. Waktu itu muncul
candaan, kami memiliki dua almamater: IAIN dan HMI. Yang pertama
memberikan kesarjanaan formal, sedangkan di HMI kami memperoleh
latihan kepemimpinan, wawasan kebangsaan dan iklim intelektual yang lebih
dinamis ketimbang IAIN.
Lewat forum HMI kami terhubung dengan mahasiswa non-IAIN dan para
intelektual kelas nasional. Beberapa nama yang tak mungkin lupa antara lain:
Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Tawangalun, Sulastomo,
Dahlan Ranuwihardjo, Imaduddin Abdurrachim, Eky Syahruddin, dan
beberapa tokoh lain yang semuanya jadi aktor penting Angkatan-66.
Di forum HMI ini kental menyatu antara nilai dan semangat akademis,
keislaman, dan keindonesiaan. Jika digunakan logika demografis, maka setiap
tahun HMI panen sarjana sekitar 80% dari mereka yang di wisuda. Mereka
putra Indonesia, seorang muslim, dan figur-figur akademis. Makanya HMI
dan para alumninya hendaknya punya pandangan inklusif, berdiri di atas
semua golongan, mengabdi untuk kemajuan dan kejayaan bangsa. Semangat
dan wawasan seperti ini aku dapatkan sejak di HMI Ciputat, salah satu dan
konsekunsi pesan moral dari HMI sebagai organisasi independen.
Beberapa nama teman seangkatanku di IAIN dan HMI antara lain Fachry
Ali, Kurniawan Zulkarnain, Nabhan Husein, Iqbal Husein, Suaedi Rawas,
Lilik, Husmiyati Hasyim, Zainal Abidin. Dengan mereka ini kami sering
mendiskusikan materi kuliah Professor Harun Nasution dan pemikiran
Nurcholish Madjid seputar penyegaran pemikiran keagamaan. Sedangkan
Fachry Ali sejak awal sudah menunjukkan minatnya pada kajian sosiologi
politik dan produktif menulis di surat kabar. Tradisi menulis di surat kabar
oleh teman-teman Ciputat tak bisa dilepaskan dari jasa Fachry Ali yang tidak
23
pernah bosan memberi motivasi dan bimbingan kepada calon-calon penulis,
bahkan sampai hari ini. Sebelum angkatanku tahun 1974 memang di Ciputat
sudah muncul beberapa penulis yang produktif, namun tidak menyebar ke
teman-teman lain. Misalnya Mursyid Ali, Irchamnie, Marwan Saridjo dan
Farid Hadjiri. Salah satu yang historis dari Fachry Ali adalah selagi masih
mahasiswa tulisannya sudah berhasil menembus koran nasional Kompas yang
waktu itu sungguh tidak mudah bagi penulis baru maupun lama.
24
Pendidikan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Setelah menjalani kuliah,
yang terasa baru adalah Ilmu Pedagogi. Selebihnya tidak begitu menarik. Bisa
aku pelajari sendiri dengan membaca buku. Mungkin juga faktor dosennya
yang membuat menarik bagiku. Ilmu Pedagogi diampu oleh Pak Sabuki yang
seringkali mengutip pemikiran Alvin Toffler dalam bukunya Future Shocked
(1971).
Dua tahun di Fakultas Tarbiyah aku berhasil meraih ijazah Sarjana Muda atau
BA (Bachelor of Arts). Emosiku datar-datar saja tamat sarjana muda. Untuk
jenjang selanjutnya aku sudah putuskan mau masuk Fakultas Ushuluddin.
Salah satu daya tariknya adalah daftar dosennya kebanyakan alumni perguruan
tinggi Barat yang mengajar secara dialogis dan demokratis.
25
dalam hati. Ada pengalaman unik ketika mau wawancara Taufik Abdullah.
Dia yang justeru lebih dahulu mengajukan pertanyaan serius pada diriku,
semacam tes. Yaitu apa komentarku terhadap buku-buku yang dia tulis. Karena
sebelumnya aku sudah membaca, maka aku jawab layaknya mahasiswa diuji
dosen. Begitu pun Gubernur DKI Bang Ali Sadikin, sebelum mulai wawancara
dia mengajukan beberapa pertanyaan semacam mengetes apakah aku bisa
menampung jawaban dia secara benar.
Jadi, meskipun aku duduk di ruang kuliah, imajinasiku tak pernah lepas dari
usaha memahami dinamika budaya bangsa dan tekad untuk bisa meneruskan
kuliah pasca sarjana di luar negeri. Perjumpaan suasana kuliah di IAIN, HMI
dan dunia wartawan telah membuka jendela dunia yang lebih luas.
26
agama dikaji bukan untuk dibanding-bandingkan atau saling diperhadapkan
dan dikompetisikan.
Dugaan dan harapanku ternyata betul. Di fakultas ini aku ketemu dosen-dosen
yang mengajarkan pendekatan filsafat dan ciritical thinking dalam mempelajari
agama. Mereka alumni Amerika dan Kanada, sehingga memperkaya wawasan
dan imajinasiku yang sebelumnya lebih banyak berorientasi ke-Arab-an.
Memahami agama lain secara akademis cukup berpengaruh pada diriku,
terutama terbangun sikap empati intelektual terhadap agama yang berbeda.
Tidak mudah menghakimi ajaran dan praktik agama lain dengan kacamata
subyektifku sebagai seorang muslim. Ajaran dan praktik agama yang sangat
kaya dengan simbol-simbol pasti mudah menimbulkan salah faham kalau
didekati secara verbal dan teksual. Untuk mengetahui makna simbol-simbol
keagamaan diperlukan kajian hermeneutic dan sebaiknya juga bertanya pada
penganutnya sendiri. Aku sering dengar ungkapan, orang Hindu itu ketika
sembahyang menyembah patung. Orang Kristen menyembah patung Bunda
Maria. Begitu pun orang Islam ketika ibadah menyembah bangunan ka’bah.
Bahkan ketika berhaji berebut mencium batu sampai berdesak-desakan.
Semua itu lebih terbuka untuk difahami jika aku menggunakan pendekatan
filsafat dan punya sikap empati intelektual terhadap dasar-dasar teologi setiap
agama.
Tentu saja masing-masing agama punya doktrin yang khas. Namun sebaiknya
jangan memaksakan pemahaman dan penafsiran agama orang lain menurut
versi keyakinan kita. Jangankan terhadap pemeluk agama lain, terhadap sesama
umat Islam saja muncul perbedaan faham dan mazhab. Bahkan ada yang
sampai bertengkar berdarah-darah. Bekerja sebagai wartawan dan kuliah di
Fakultas Ushuluddin terasa saling memperkaya wawasanku dalam beragama
dan pergaulan sosial. Aku belajar memahami dan menghargai kebhinekaan
budaya dan agama yang tumbuh di Indonesia. Menurut pengalaman dan
pengamatanku, mereka yang memilih Fakultas Adab dan Ushuluddin lebih
terdorong karena cinta ilmu, tanpa obsesi mau kerja apa setelah tamat.
Karena dua fakultas itu memang tidak memberi kejelasan professi. Aku pun
dulu tidak punya obsesi mau menekuni professi apa setelah jadi sarjana Ilmu
Perbandingan Agama
27
15. Faktor Harun Nasution
Aku merasa beruntung begitu masuk semester awal langsung memperoleh
kuliah dari Prof.Dr.Harun Nasution, yang juga rektor IAIN dua periode. Topik
kuliah Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya wajib diikuti oleh seluruh
mahasiswa baru, bertempat di ruang auditorium. Kuliah ini sangat berkesan
bagi para mahasiswa. Pak Harun menyajikan peta besar manifestasi dan
pertumbuhan Islam dalam lanskap sejarah. Islam yang pada awal mulanya
bersumber dari wahyu yang diterima nabi Muhammad, dalam perjalanannya
mendorong lahirnya gerakan sosial, ekonomi, pendidikan, politik, tasawuf,
ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lain. Melalui kuliah Pak Harun mahasiswa
diajak melihat lebih dekat bahwa ajaran dan faham yang tumbuh dalam
sejarah Islam itu tidak tunggal. Di sana banyak mazhab, baik dalam ranah ilmu
fiqih, teologi, tasawuf maupun politik. Semuanya punya argumen rasional
dan normativ yang diambil dari ayat-ayat Alqur’an dan Hadis yang kemudian
bertemu dengan kondisi sosial dan zaman yang berbeda, juga kapasitas
ulama yang berbeda, baik keluasan ilmunya maupun disiplin keilmuannya.
Konsekuensinya, keragaman mazhab dalam Islam tidak bisa dielakkan.
Dengan bekal kuliah dari Prof Harun Nasution yang aku ikuti selama empat
tahun, dampak yang paling terasa aku tidak mudah kaget ketika melihat ragam
pendapat dan mazhab dalam Islam. Baik penganut mazhab yang bersikap
lunak, moderat maupun ekstrim, semuanya pernah tumbuh dalam masyarakat
Islam, bahkan sejak masa sahabat Nabi. Pak Harun Nasution juga menjelaskan
secara cerdas dan jelas mazhab dalam Islam yang menekankan kekuatan nalar
rasional dan mazhab tasawuf yang menekankan olah hati, bukan olah pikir.
28
saksikan dan rasakan dalam pribadi Cak Nur. Oleh karena itu faktor Harun
Nasution memiliki pengaruh signifikan dalam perjalanan intelektualku
Aku diberi tugas mengampu mata kuliah Orientalisme. Masuk ruang kuliah
tak ubahnya masuk forum training atau diskusi di HMI. Suasananya aku
buat cair, egaliter, tak ada jarak antara dosen dan mahasiswa. Karena para
29
mahasiswa memang teman-teman bermain dan diskusi. Biasanya aku
kenalkan beberapa buku pokok yang jadi rujukan selama kuliah satu semester
ke depan. Setelah memberi pengantar materi pokok berdasarkan buku rujukan
dan melemparkan pertanyaan yang cukup menantang, selanjutnya forum aku
serahkan ke mahasiswa. Aku berperan jadi moderator.
Sejak bertugas sebagai dosen aku sangat sadar bahwa tanpa gelar S3 atau
doktor, aku tidak sah mengemban status dosen. Mahasiswa pun akan
memandangku sekedar asisten dosen. Sejak itu aku berjanji pada diri sendiri
mesti meneruskan kuliah untuk meraih doktor di kampus luar negeri. Belum
setahun menjadi dosen, aku pernah dipanggil dan dimarahi Wakil Rektor
bidang akademis, Pak Abdurahman Parsentono, gara-gara dua kali tidak
masuk kelas memberi kuliah. Dalam kapasitasku sebagai wartawan, aku
memperoleh undangan ke Irak, acara pertemuan ulama-ulama se dunia, di
tengah konflik Irak-Iran. Acara dibuka oleh Saddam Husein. Dari Irak aku
meneruskan umrah ke Makkah. Terima kasih pada Pak Dubes Abdurrahman
Gunadirja yang telah memfasilitasi perjalananku untuk melanjutkan umrah
pada hal sedianya hanya sampai ke Irak.
30
17. Menemukan Soul Mate
Aku menamatkan jenjang studi doktorandus tahun 1981. Sebelum tamat
aku sudah menikah dengan classmate dari Fakultas Tarbiyah, Ait Choeriah
Machdali, dari Majalengka. Datang dari keluarga aktivis PUI (Persatuan Umat
Islam), pihak orangtua maupun Ait cukup paham bahwa aku aktivis mahasiswa
dan punya mimpi jauh untuk meneruskan kuliah sampai doktor meskipun
jalan ke sana masih remang-remang karena mesti mencari beasiswa. Walaupun
sudah menikah kami sepakat sementara hidup berjauhan untuk membangun
karir. Aku tetap di Jakarta, Ait bersama orangtuanya yang bertugas di Sukabumi
di bagian kehutanan. Dengan modal ijazah Sarjana Muda Ait diterima bekerja
sebagai PNS di kantor Departemen Agama Sukabumi. Kami berjumpa setiap
akhir pekan. Kami sepakat untuk berkumpul membina rumahtangga setelah
relative mapan dari sisi pekerjaan dan ekonomi. Tetapi ternyata itu sebuah
keinginan belaka karena yang terjadi proses berumahtangga itu sesungguhnya
dibangun seumur hidup, building a ship while sailing.
Waktu itu jalan untuk menemukan beasiswa ke luar negeri terasa sangat
sempit dan langka. Sangat beda dari sekarang pemerintah menyedikan dana
lewat LPDP bagi siapapun anak bangsa yang berminat dan memenuhi syarat
untuk studi ke luar negeri. Aku kepingin sekali studi di Universitas McGill,
Montreal, tempat Pak Harun Nasution kuliah mendapakan doktor. Tapi, lagi-
lagi, jalan belum terbuka. Melihat aku berminat studi, Pak Harun Nasution
memanggilku di ruang kerjanya. Sekarang Universitas Indonesia membuka
program extention untuk studi filsafat. Saudara Komar sebaiknya ambil
program itu untuk menambah kajian filsafat yang diterima di IAIN. Sambil
berkata begitu Pak Harun mengeluarkan dompet dan menyodorkan uang agar
aku segera mendaftar.
31
diplomat, mereka itu senang diskusi. Saudara Komar cocok untuk mengajar
agama pada keluarga itu. Tolong bisa dipenuhi. Paling banter seminggu sekali.
Demikianlah, sedikitnya lima tahun aku mengajar dan bergaul dekat dengan
keluarga Adam Malik. Aku mengajar mereka dengan metode diskusi tematik
tentang dasar-dasar ajaran Islam. Banyak pengalaman dan pembelajaran
hidup bergaul dekat dengan mereka. Lewat Pak Adam Malik aku pernah
mendapatkan undangan menghadiri International Conference of World
Journalist di Pyongyang, Korea Utara, 1983. Dari Pyongyang terus jalan-jalan
ke Moskow. Dalam tulisanku di Panji Masyarakat sepulang dari Korea Utara
dan Moskow aku katakan bahwa intervensi Kremlin ke Afganistan pasti kalah.
Negara-negara Asia Tengah yang bergabung ke Uni Soviet tidak melebur
sepenuh hati. Mereka masih memiliki semangat dan identitas keislaman
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan banyak tentara Uni Soviet yang datang
dari Asia Tengah yang hatinya tidak senang pada komunisme.
32
memperoleh pengayaan disiplin ilmu sosial, humaniora dan filsafat dalam
melihat Islam sebagai realitas historis-sosiologis yang terbuka untuk dikritik
dan ditafsirkan ulang. Dengan kata lain critical thinking merupakan ciri
menonjol dari beberapa dosen yang aku ikuti.
Dalam ketidakjelasan dan keraguan untuk studi lanjut, aku menerima tawaran
dari Pak Hafidz Dasuki, Sekretaris Menteri Agama Munawir Syadzali, bahwa
Menag memiliki dua beasiswa doktor dari Turki melalui Dubes Indonesia
di Ankara. Responku senang campur bingung. Tak pernah terpikir studi ke
Turki. Waktu itu Turki tidak masuk hitungan sebagai tujuan studi lanjut bagi
mahasiswa Indonesia. Umumnya orang memilih ke Mesir atau perguruan
tinggi Barat. Aku diskusi dengan isteri, kalau peluang ini tidak diambil, belum
tentu ada peluang lain. Sementara kita dikejar umur. Aku katakan, jika studi
lanjut ke luar negeri, harapan perubahan hidup lebih terbuka ketimbang di
dalam negeri. Kami berdua sebagai PNS sudah punya income tetap meskipun
pas-pasan untuk mengasuh dua anak masih kecil-kecil. Kami sudah punya
rumah sederhana di Pamulang, Tangsel, proyek Perumnas yang bayarnya
diangsur tiap bulan. Kata orang, jika hidup di Jakarta sudah punya rumah
sendiri, berarti 50% beban hidup sudah terpenuhi.
33
Setelah lima hari jalan-jalan menikmati indahnya kota Istanbul, kami terus
ke Ankara menghadap Dubes RI Pak Abdurrachim Alamsyah, seorang perwira
tinggi Angkatan Udara. Kami sampaikan bahwa kami ingin masuk universitas
internasional yang paling baik di Turki. Dengan penuh antusias Pak Dubes
langsung telepon Rektor METU, Middle East Technical University, minta
waktu untuk menghadap. Keesokan harinya langsung kami ke METU bersama
Pak Dubes bertemu Rektor. Singkat cerita kami berdua diterima di Fakultas
Ilmu Sosial, Departemen Filsafat. Namun kami mesti menunggu sekitar tiga
bulan untuk memulai perkuliahan dan bisa menempati Student Dormitory.
Selama menunggu ini kami tinggal di rumah dinas Dubes. Luar biasa kebaikan
hati dan pertolongan Pak Abdulrachim Alamsyah dan Ibu pada kami berdua.
Bulan-bulan itu kami isi bersama keluarga kedutaan. Jalan-jalan ke tempat
rekreasi, olah raga, dan mengambil kursus bahasa Turki. Selain kami berdua,
ada lima mahasiswa Indonesia yang juga menerima beasiswa pemerintah
Turki untuk program undergraduate, mereka peroleh berkat bantuan kedutaan
Indonesia
34
Islam dan etnisitas menyatu. Komunitas diaspora Turki mungkin sekitar 15
juta, kebanyakan di Eropa. Paling banyak di Jerman.
Sekalipun pada Perang Dunia I Turki kalah bersama Jerman, namun bangsa
Turki tidak pernah dijajah bangsa asing. Justeru yang terjadi sebaliknya.
Antara abad 13 – 19 kekuasan Usmani (Ottoman) menjadi kekaisaran yang
ditakuti dunia. Kekuasaanya sampai ke dataran Eropa dan hampir ke seluruh
dunia Islam. Penaklukkan Konstantinopel (1453) yang kemudian berganti
nama menjadi Istanbul merupakan simbol dan monumen kejayaan Ottoman
atas kekuasaan Kristen Eropa di abad tengah.
Bangsanya Turki, nama negaranya juga Turki. Ini berbeda dari Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah proyek politik sejarah di masa depan, karena di masa
lalunya yang ditemukan adalah himpunan ratusan etnis yang bersepakat untk
mendirikan negara dan bangsa bernama Indonesia. Filosofi Binneka Tunggal
Ika tidak dikenal di Turki mengingat mayoritas warga bangsanya homogen.
Segregasi sosial yang muncul ditandai oleh mereka yang pro-sekularisme
model Eropa dan mereka yang ingin membangun neo-tradisionalisme Islam.
Namun keduanya tetap bangga pada identitas ke-Turki-annya dan kehebatan
Ottoman. Mereka tetap merasa sebagai bangsa pemenang yang tengah
berjuang membangun kembali kejayaan Turki yang mereka banggakan.
Mereka memandang bangsa Arab tidak lebih tinggi sehingga di Turki. Tak
ada fenomena Arabisme, Arabisasi atau komunitas Habaib sebagaimana yang
terjadi d Indonesia.
Dalam berbagai kegiatan seni dan olah raga Turki memilih bergabung ke
Eropa, bukannya ke dunia Arab. Begitupun gaya hidupnya. Aku pernah jalan
darat dengan mengendarai bus dari Amsterdam ke Istanbul. Ketika bus masuk
wilayah Turki, terasa ada nuasa keislaman. Terlihat banyak menara masjid.
Ini bukan lagi Eropa, kataku dalam hati. Sebaliknya, aku juga pernah jalan
darat naik bus dari Saudi Arabia ke Turki melalui Jordan dan Syria. Memasuki
wilayah Turki, terasa aku meningalkan negara Arab. Restauran dan toiletnya
bersih-bersih, ditata rapi gaya Eropa. Pemandangannya hijau penuh taman
dan pepohonan, sangat beda dari wilayah Arabia.
35
20. Petugas Haji
Aku studi di Turki tahun 1985-1990, untuk program doktor. Namun ada
program matrikulasi persamaan Master, sehingga aku mengambil beberapa
mata kuliah tambahan. Yaitu Filsafat Ilmu dan Logika. Sesungguhnya
ketika tamat kuliah di Indonesia dengan meraih title doktorandus selama
enam tahun atau lebih itu berarti sudah tercakup Master (S2). Kalau kuliah
di Belanda langsung masuk program doktor karena titel Drs (doktorandus)
itu model Belanda. Seorang teman bercerita, ketika daftar kuliah ke Kanada
untuk program post-graduate dengan menuliskan title “Drs”, petugas
administrasi bertanya: “How many doctors do you have?”. Sekarang kita
mengikuti model Amerika, yaitu strata S1.S2.S3.
Jumlah beasiswa yang kami terima dari pemerintah Turki ternyata hanya
cukup untuk membeayai hidup sendiri. Pada hal kami sudah berkeluarga. Ini
tidak manusiawi, kata Pak Dubes. Ketika ke Jakarta Pak Dubes sengaja ketemu
Menteri Agama Munawir Syadzali mendesak agar memberikan beasiswa
tambahan agar bisa mengajak keluarga. Paling tidak uang tiket bagi kami
berdua agar setiap liburan musim panas bisa pulang ketemu famili. Entah
bagaimana lobinya, akhirnya bantuan tiket pulang setiap liburan kuliah itu
kami dapatkan dari Yayasan Supersemar. Keluarga tidak memungkinkan
diajak karena beasiswa hanya untuk hidup sendiri.
Demikianlah, ketika bulan haji tiba rupanya KBRI Jeddah membuka lowongan
kerja bagi mahasiswa Indonesia di luar negeri untuk bekerja musiman,
sekitar 40 hari, untuk membantu melayani jamaah haji. Kesempatan ini
banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa yang studi di wilayah Arab. Aku pikir
ini kesempatan mendapatkan uang tambahan, bisa ketemu teman-teman
dan masyarakat Indoesia, juga sekalian melakukan ibadah haji. Di Jeddah
aku bekerja di di bagian informasi haji. Waktu itu yang menjabat Atase Haji
Pak Drs.Effendi Zarkasyi, seorang penceramah agama yang populer. Tugasku
36
memantau kesehatan jamaah haji dan mendata jamaah yang meninggal
serta pergerakan ibadah haji dari hari ke hari, lalu kami laporkan ke kantor
Kementerian Agama di Jakarta sebagai laporan harian. Sebagai mantan
wartawan, tugas ini sangat mudah aku lakukan.
Selama kuliah di Turki aku sempat tiga kali bekerja musim haji. Pernah
dinobatkan sebagai pekerja musim haji terbaik oleh KBRI Jeddah,
memperoleh hadiah tiket pulang ke Jakarta. Waktu itu dubesnya Pak Achmad
Tirtosudiro. Banyak cerita perilaku jamaah kita yang lucu-lucu. Akung
sekali tidak dikoleksi dan dibukukan cerita-cerita itu. Misalnya banyak
jamaah haji yang kehilangan uang. Ketika mandi mereka menyimpan uang
dibungkus dalam pakaiannya lalu disampirkan di pintu. Ketika mau ambil
uangnya, ternyata sudah hilang semuanya. Jamaah kita yakin bahwa di tanah
suci itu aman, tak ada setan, tak ada copet dan maling. Pada hal tingkat
kehilangan cukup tinggi. Belum lagi jenis penipuan lain yang dilakukan oleh
orang-orang Indonesia sendiri yang berlagak mau membantu jamaah dari
daerahnya sendiri di tanah air. Jamaah haji itu sangat seneng ketemu orang
sedaerahnya. Tapi ujung-ujungnya hanya menipu. Ada lagi petugas keamaan
yang membantu melapangkan jalan untuk mencium hajar aswad dengan
imbalan uang. Artinya di seputar Ka’bah pun ada calo. Kalau sesat jalan
jangan bertanya pada orang Arab setempat. Dia begitu meyakinkan memberi
petunjuk jalan, pada hal asal jawab ngomong sekenanya
37
21. Lima Tahun di Turki
Aku kuliah di Turki tahun 1985-1990 di kampus METU (Middle East
Technical University). Didirikan pada tahun 1956, lokasiya berada di pinggir
kota Ankara, berdiri di atas tanah 4500 ha, dikelilingi hutan sekitar 3 ha.
Jumlah mahasiswanya berkisar 25 ribu, sekitar 2000 adalah mahasiswa
asing, datang dari sekitar 75 negara. Berbagai fasilitas olah raga tersedia,
sehingga aku bisa membunuh rasa sepi kangen keluarga dengan bermain
tenis sepuas-puasnya. Di kampus ini terdapat 19 asrama mahasiswa, bisa
menampung sekitar 2000 mahasiswa. Lima tahun di Turki dan berpisah
dari keluarga terasa sangat lama, meskipun pada libur musim panas sempat
pulang berkumpul keluarga. Hubungan dengan teman-teman kedutaan yang
sedemikian baik sangat membantu meringankan beban psikologis kami.
Sering kami piknik meninjau obyek wisata sejarah dengan alamnya yang
indah. Terutama pantainya. Wajar sekali kalau Turki jadi obyek wisata yang
digemari orang-orang Eropa. Sebuah negara yang mempertemukan antara
budaya klasik dan modern, antara Eropa dan Asia.
Di Ankara aku merasakan dinginnya salju. Ketika musim dingin tiba kota
seakan mati. Mahasiswa memilih tinggal di ruang perpustakaan atau di
kamar untuk membaca. Di musim dingin otak dan mata bisa tahan lama
untuk membaca buku. Logis jika tradisi penelitian yang menghasilkan ilmu
pengetahuan baru itu muncul dari negara yang mengenal empat musim.
Ketika aku ke Saudi sengaja membawa empat buah buku. Tetapi tak satupun
tamat aku baca. Pengaruh cuaca panas padang pasir membuat malas dan
mata cepat capek membaca. Mungkin saja hal itu yang membuat masyarakat
padang pasir kuat dalam tradisi lisan dan daya ingatnya.
38
Aku pernah jalan-jalan melihat suasana masyarakat perkampungan
dan kota kecil di Turki. Tak direncanakan aku mampir ke rumah teman
mahasiswi. Dia kaget, gugup, takut pada ayahnya. Aku yakinkan, aku ingin
kenalan dengan keluarga. Akhirnya aku diterima. Sungguh aneh, tapi ini
teradi. Ayahnya seorang perwira militer. Aku seakan diinterogasi. Dengan
putrinya sudah berapa lama kenal dan di mana, bahkan tanya apa agamaku.
Setelah aku jawab seorang muslim dari Indonesia, dia berdiri ambil Alqur’an
minta aku membacanya. Dia kaget melihat bacaanku lancar. Baru setelahnya
obrolan cair.
39
Dalam perjalanan waktu Amin Abdulah pernah terpilih menjadi Rektor
UIN “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, aku jadi Rektor UIN ”Syarif Hidayatullah”
Jakarta (2006-2010-2015).
40
besar: Pengantar Studi Islam (Introduction to Islam), disajikan sebanyak
12 kali pertemuan. Selanjutnya dielaborasi lagi ke dalam topik-topik lebih
spesifik, yaitu Pengantar studi Al-Qur’an, Pengantar Ilmu Fiqih, Pengantar
Ilmu Tasawuf, Pengantar Ilmu Kalam. Dosen yang kami hadirkan tokoh-tokoh
ternama dalam bidangnya. Antara lain Kyai Ali Yafie, Pak Qureish Shihab,
Imaduddin Abdulrachim, Gus Dur, Syu’bah Asa, Dawam Rahardjo, dan Cak
Nur yang selalu menjadi dosen tetap setidaknya mengisi tiga pertemuan setiap
topik kajian. Topik kajian pun berkembang pada aspek sejarah, pemikiran
politik Islam, Ilmu pengetahuan dalam Islam dan lain sebagainya sehingga
dosen yang bergabung semakin banyak. Termasuk Jalaluddin Rachmat yang
mengenalkan tradisi intelektual Shiah.
Aku merasa betah di Paramadina karena justeru aku yang banyak belajar dari
para dosen pengajar dan mendengarkan problem yang dimemukakan peserta.
Jika dosen ada yang berhalangan hadir maka aku jadi cadangan tetap sebagai
pengajarnya. Bersama Elza dan Budhy kami melakukan klasifikasi sekian
banyak makalah KKA (Klub Kajian Agama) Paramadina yang ditulis Cak Nur
secara serius, untuk kami terbitkan jadi buku. Yang monumental adalah buku:
41
Islam, Doktrin dan Peradaban yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab dan Inggris. Ketika sudah jadi draft, kami mintakan ke Cak Nur untuk
memberi Kata Pengantar, dia hanya menulis tujuh halaman. Kami katakan ke
Cak Nur, kata pengantar itu terlalu pendek untuk sebuah buku yang begitu tebal
yang memuat pemikiran Cak Nur yang komprehensif. Lalu Cak Nur menulis
ulang Kata Pengantar selagi jadi dosen tamu di McGill University, Montral.
Isi Kata Pengantar sebanyak 35 halaman itulah yang sempat memunculkan
polemik dengan Romo Magnis, namun diakhiri di tengah jalan.
Peserta kursus Paramadina yang datang dari kalangan eksekutif kelas menengah
Jakarta rupanya ingin berbagi pengalaman dengan teman-temannya, sehingga
mereka sering mengundang kami untuk memberi ceramah di kantor mereka.
Maka kami pun kadang dibuat sibuk mengatur jadwal memenuhi undangan
mereka. Cak Nur, Pak Quraish, Bang Imad dan aku kadang bergantian
memberi ceramah di perkantoran pemerintah maupun BUMN. Di samping
memberi kuliah, aku sendiri sering menerima orang berkonsultasi soal agama
dan masalah-masalah sosial. Termasuk orang asing yang belajar Islam karena
hendak menikah dengan orang Indonesia yang muslim. Di antara mereka
ada yang kemudian memeluk Islam. Aku katakan pada mereka, anda ini
sesungguhnya bukan pindah agama, melainkan menemukan kembali agama
primordial yang sudah tertanam dalam ruh anda karena menurut Alqur’an
setiap ruh pernah bersyahadat menyatakan keislaman pada Tuhan sebelum
ruh bertemu dengan jasad. Jadi, Islam itu agama primordial bagi semua
manusia.
Ketika ada orang asing masuk Islam, Elza kadang nyeletuk, entah bercanda
atau sungguh-sungguh aku tidak tahu. Katanya: Mas Komar, kalau orang baik-
baik silahkan saja masuk Islam. Tetapi kalau masuk Islam hanya pura-pura,
tak usah menambah jumlah umat Islam yang keislamannya pura-pura saja.
Di Paramadina aku pernah menjabat Direktur Eksekutif antara tahun 1995-
1998. Sampai-sampai beberapa teman dan dosen IAIN menyindir, mengapa
kalau menulis di surat kabar atau seminar selalu mencantumkan institusi
Paramadina, bukannya IAIN.
42
23. Keberagamaan Kelas Menengah Jakarta
Menjelaskan ajaran Islam pada komunitas berpendidikan dan teknokrat yang
secara ekonomi telah mapan rasanya lebih mudah. Terlebih lagi jika mereka
tidak memiliki afiliasi dengan kelompok ideologis. Diskusinya lebih rasional
dan substantif. Rasanya tidak salah untuk mengklaim bahwa Paramadina
merupakan pelopor yang mengenalkan kajian agama secara sistematis dan
demokratis, agama bebas didiskusikan dengan beragam pendekatan ilmiah
dengan menghadirkan beragam nara sumber ahli. Dalam forum itu yang
belajar tidak hanya pesertanya, namun para dosennya juga belajar hal-hal
baru dari pertanyaan peserta yang diangkat dari pengalaman lapangan.
Aku sendiri, juga para jamaah Paramadina, cukup terkesan dengan kuliah-
kuliah Cak Nur yang dengan mengalir menghubungan pesan ayat-ayat
Alqur’an dengan filsafat modern untuk melihat dunia Islam. Cak Nur
menguasai khazanah Islam klasik yang diperkaya dengan analisis ilmu sosial
modern, diproyeksikan dalam konteks Indonesia kontemporer. Kedalaman
dan keluasan ilmu Cak Nur yang disertai sikap asketis merupakan keunggulan
pribadinya yang sulit mencari penggantinya. Dia beragama dengan penuh
percaya diri, beragama tidak merasa terancam, juga tidak menunjukkan
kebencian pada siapapun yang berbeda pandangan, termasuk beda agama.
Siapapun yang dekat dengan Cak Nur akan sepakat bahwa dia sangat pemurah
untuk memuji dan memberi apresiasi pada ilmuwan lain, khususnya pada
para juniornya.
43
yang mengemuka di kalangan kelas menengah kota adalah bagaimana
meraih hidup bermakna dengan khazanah ilmu dan fasilitas hidupnya agar
bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Penghayatan agama seperti
ini tentu berbeda dari masyarakat bawah yang agenda utamanya bagaimana
mempertahankan hidup di ibu kota. Pendekatan filsafat dan tasawuf
menghasilkan persepsi dan konstruksi Tuhan sebagai yang maha intelek dan
maha kasih. Sedangkan pendekatan fiqih akan melihat Tuhan sebagai Sang
Hakim yang sibuk mengadili hambaNya.
44
dibuka. Aku mengajukan lamaran untuk program post-doktor selama satu
semester di McGill University, Montreal tahun 1997. Di Universitas McGill
ini aku masuk kelas mengikuti kuliah yang aku minati dan riset kepustakaan
untuk menyelesaikan penulisan buku Memahami Bahasa Agama, sebuah
pendekatan hermenutik. Buku ini sudah cetak ulang empat kali. Mungkin di
Indonesia bukuku merupakan yang pertama. Setelah itu bermunculan buku-
buku baru tentang hermeneutika.
45
25. Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Islam
Ketika Pak Malik Fadjar menjabat Menteri Agama, aku diminta membantu
sebagai Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi di lingkungan Kementerian
Agama (1998-2001). Dalam waktu tiga tahun itu aku pernah membantu tiga
Menteri: Pak Malik Fajar, Pak Tholchah Hassan, dan Pak Said Agil Munawar.
Semasa Menteri Agil Munawar itu aku mengajukan surat pengunduran diri,
merasa sudah cukup merasakan kerja di birokrasi lingkungan Departemen
Agama. Aku merasa tidak betah dan tidak cocok sebagai birokrat. Sesungguhnya
sejak awal diminta Pak Malik Fadjar aku sudah merasa kurang tertarik meniti
karir di birokasi pemerintahan. Tetapi hitung-hitung menambah pengalaman,
maka tawaran itu aku terima. Ketika itu gagasan untuk mengubah IAIN jadi
UIN sudah mulai bergulir agar studi keislaman itu tidak hanya fokus pada
ilmu-ilmu keagamaan tradisional melainkan diperluas dengan pendekatan
ilmu sosial, humaniora dan sains sebagaimana yang dikembangkan di
abad tengah yang sering dikenang sebagai masa kejayaan Islam. Kesanku,
pengembangan perguruan tinggi Islam semacam IAIN (Institut Agama Islam)
dan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam) di berbagai provinsi didirikan
tidak semata pertimbangan pengembangan keilmuan, melainkan ada unsur
dakwah. Makanya banyak IAIN dan STAIN yang dari sisi kualitas dan standar
keilmuannya kurang bagus. Sebagian berusaha mengejar ketertinggalannya,
sebagian seakan jalan di tempat. Sebagai alumni IAIN aku melihat dari dekat,
meski di IAIN terdapat beberapa fakultas keagamaan, misalnya Fakultas
Udshuluddin, Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syariah, disiplin
keilmuannya tumpang tindih. Mungkin Fakultas Adab yang distingtif
karena belajar bahasa dan sastera Arab. Baru setelah berubah jadi UIN
(Universitas Islam Negeri) dan dibuka fakultas umum, muncul disiplin baru
yang distingtif. Misalnya Fakultas kedokteran, Fakultas Sains dan Teknologi,
Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial. Hanya saja muncul pertanyaan
baru, dimana dan bagaimana menempatkan nilai dan ilmu keagamaan pada
fakultas umum? Salah satu jawabannya adalah dengan integrasi ilmu agama
dan umum. Namun konsep ini dari tataran filsafat ilmu dan implementasinya
masih belum jelas.
46
Alumni fakultas keagamaan yang menggunakan title kesarjanaan S.Ag
(Sarjana Agama) dan M.Ag (Master Agama) sering dipelesetkan sebagai
“Sarjana Alam Gaib”. Kalau di masyaraat Sunda disindir sebagai “Sarjana
Acan Gawe”. Untunglah banyak alumni UIN yang meneruskan program
lanjutan di luar negeri untuk menempuh program Master dan Doktor di
universitas papan atas dunia. Ketika pulang mereka menguasai disiplin
ilmu baru sesuai bidang studinya, misalnya ilmu sejarah, ilmu politik, ilmu
antropologi, dan lain sebagainya sehingga dosen-dosen UIN dan IAIN secara
keilmuan memperoleh pengakuan dari komunitas ilmuwan.
Aku tidak merasa memberikan sumbangan besar dan berarti selama menjabat
sebagai direktur di Kementerian Agama. Budaya birokrasi yang inward looking
serta kerja rutin sudah begitu kuat tertanam membuat tidak mudah diajak
melakukan inovasi atau terobosan baru. Ditambah lagi kualitas sumber
daya manusia atau pegawainya yang homogen bidang ilmunya, yaitu ilmu
keagamaan tradisional. Kondisi ini menyulitkan untuk diajak berpikir out of
the box atau berpikir without box. Penguasaan bidang kajian keislaman tidak
mendalam, sementara bidang keilmuan umum juga tidak kuat. Sesungguhnya
sudah banyak para dosen dan pegawai Kemenag yang disekolahkan ke luar
negeri. Tetapi banyak dari mereka ketika kembali tidak mampu menciptakan
perubahan dan perbaikan besar. Kultur kerja dan birokasi yang ada tidak
mendukung bagi putra-putra terbaiknya untuk melakukan inovasi dan
perbaikan yang progresif untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai
motor dan pilar peradaban yang mendunia. Suasana perkoncoan begitu
kental, pada hal Kemenang memiliki aset institusi pendidikan, intelektual dan
anggaran yang cukup besar.
Pak Malik Fajar, Pak Tholchah Hasan dan Pak Said Agil Munawar ketiganya
tidak lama menduduki jabatan Menteri Agama. Aku sendiri merasa lebih
merasa merdeka dan senang berurusan dengan mahasiswa dan masyarakat.
Sejak dulu aku sudah berpikir, akung sekali Kemenag memiliki sekian banyak
47
UIN dan IAIN namun tidak ada yang dijadikan ikon sebagai universitas
bertingkat internasional sebagai intellectual hub untuk mengenalkan
khazanah intelektual Indonesia pada dunia. Bahkan kampus-kampus itu
cenderung bersikap lokal dan komunal. Dosen-dosennya tidak didorong
melakukan mobilitas horizontal untuk mencari pengalaman baru mengajar
lintas universitas. Ada maksud mulia dengan melekatkan nama tokoh-tokoh
daerah sebagai nama UIN, IAIN dan STAIN, misalnya Syarif Hidayatullah,
Sunan Kalijaga, Sunan Ampel dan seterusnya. Bagi masyarakat umum, terlebih
orang asing, itu sulit diingat. Kesannya malah membuat kampus lokal. Perlu
belajar dari lembaga pesantren besar yang menonjol justru nama kotanya
sehingga mudah diingat. Misalnya pesantren Tebuireng, pesantren Gontor,
pesantren Krapyak, pesantren Cipasung dan lain sebagainya.
Aku merasa akrab dan nyaman setiap bertemu dan berdialog dengan Pak
Tholchah Hasan. Tema obrolan kami seputar bagaimana menanamkan nilai-
nilai spiritualitas dalam dunia pendidikan dan peradaban bangsa. Pernah kami
putar-putar ke negara Timur Tengah menengok para mahasiswa yang studi
di sana. Di penghujung kunjungan itu kami merasa malu, ribuan mahasiswa
Indonesia menerima beasiswa dari negara-negara Arab yang negaranya tidak
lebih kaya dari Indonesia. Ketika beberapa pimpinan universitas menanyakan
apakah di Indonesia ada universitas yang menyediakan beasiswa untuk
mahasiswa asing, kami tidak bisa menjawab karena memang tidak ada
skemanya. Pengalaman ini yang juga menjadi salah satu pendorong dan
motivasi bagiku untuk terlibat aktif merintis pendirian Universitas Islam
Internasional Indonesia.
48
SBY sebagai calon yang unggul, kinerja KPU dan Panwaslu cukup disegani oleh
parpol peserta pemilu. Dalam organ Panwaslu di situ terdapat unsur Kepolisian,
Jaksa, Wartawan, Akademisi dan Tokoh masyarakat. Sebuah kombinasi yang
ideal. Karena statusnya masih “panitia”, sekarang diubah menjadi Bawaslu
(Badan Pengawas Pemilu), mungkin mempengaruhi semangat kinerjanya.
Sebagai panitia kami bekerja all out dalam waktu yang pendek untuk
menyukseskan hajatan pemilu, sedangkan sekarang keanggotaan Bawaslu
berlangsung lima tahunan dengan fasilitas yang lebih jelas dan mapan.
Pada tahun, itu belum muncul media sosial yang didukung oleh teknologi
digital, sehingga peredaran berita dan opini masyarakat seputar pemilu tidak
seheboh sekarang. Surat kabar dan televisi masih menjadi sumber primer
untuk mendapatkan informasi. Namun demikian, permainan uang tetap
berjalan sembunyi-sembunyi agar tidak terdeteksi oleh KPU dan Panwaslu.
Untuk ini para politisi cukup cerdik. Banyak sumbangan dari donator yang
sesungguhnya melanggar aturan, tetapi ditutup rapat-rapat.
Ketika musim kampanye tiba, tahun-tahun itu peran artis masih instrumental.
Artis dibayar tinggi untuk ikut berkampanye dengan menghibur rakyat dari
panggung kampanye. Ada lagi ulama yang diasumsikan banyak santri dan
jamaahnya. Keduanya diharapkan bisa menjaring pemilih. Tetapi lama-
lama aku amati peran artis sudah berkurang. Rakyat tidak kagum lagi pada
artis . Yang bertahan adalah kekuatan uang dan simbol serta tokoh agama
untuk menjaring calon pemilih. Yang pasti semakin tahun biaya politik
semakin mahal. Kata orang inilah pintu masuk bagi oligarki untuk ikut serta
mengendalikan pemerintah melalui anggota DPR, Bupati, Walikota, Gubernur
dan pejabat pemerintahan yang naiknya berhutang budi pada jaringan oligarki
atau cukong.
49
27. Direktur Pasca Sarjana dan Rektor UIN
Pada tahun 2002 nama IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah
Jakarta berubah status menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) atas keputusan
Presiden Megawati. Dalam proses transformasi ini peran Azyumardi Azra
sangat signifikan, waktu itu dia menjabat rektor IAIN. Atas saran beberapa
teman dekat, aku didorong agar mau menjabat sebagai Direktur Sekolah Pasca
Sarjana IAIN Jakarta, sebagai jembatan untuk maju dalam pemilihan Rektor
UIN meneruskan posisi Azyumardi yang berakhir pada tahun 2006.
50
yang diisi oleh keluarga yang tidak lagi berhak, oleh penerus kami tidak
dilanjutkan. Mestinya UIN Jakarta menjadi kampus yang megah dan wibawa
didukung oleh lingkungan alamnya yang indah dan nyaman sehingga kesan
sebagai kampus pinggiran terkikis.
Bersama Cak Nur, Malik Fadjar, Taufik Abdullah dan siapa lagi aku lupa, aku
diundang ke kampus UGM dalam rangka memperingati sewindu reformasi.
Yang hadir segenap pimpinan UGM dan jajarannya, acara dipimpin oleh
Rektor. Aku duduk di deretan kursi pembicara. Yang paling mengesankan
dan menimbulkan monolog di hatiku sesungguhnya bukannya apa yang
hendak aku sampaikan dalam forum itu. Melainkan muncul kilasan memori
kembali ke masa lalu ketika aku masih di pesantren Pabelan. Sejak masih
Sekolah Rakyat telingaku tak asing lagi mendengar nama Universitas Gajah
Mada. Ketika di pesantren Pak Kyai suka cerita ada tamu mahasiswa UGM
dan AKABRI Magelang. Mereka diskusi soal agama dengan Kyai Hamam. Dari
kejauhan aku sering menatap kagum pada mahasiswa UGM itu. Mengenakan
jaket mahasiswa, rambutnya gondrong, terlihat gagah dan intelek. Tetapi aku
hanya sebatas mengaguminya karena secara ekonomi tidak mungkin aku bisa
menjadi mahasiswa UGM.
51
bisa melangkah dan masuk kampus ini aku mesti melanglang dulu ke Jakarta,
Turki, Kanada dan ke AS. Betapa mahalnya mimbar UGM bagiku. Dulu mimpi
saja tidak berani untuk kuliah di UGM ini. Namun hari ini aku duduk di kursi
pembicara bersama sederet intelekual kelas nasional. Ada semacam rasa “balas
dendam” atau “membayar hutang” kekecewaan hidup masa lalu yang belum
terbayar. Tentu saja gejolak perasaan itu hanya aku yang tahu dan merasakan.
Dan hari itu aku merasa menjadi pemenang.Hutang masa laluku terbayar
lunas.
Aku sadar betul bahwa itu terjadi berkat pendidikan. Kalau saja aku tidak kuliah
ke luar negeri sampai tamat doktor, pasti tak akan ada yang meminta aku jadi
pengajar di universitas papan atas Indonesia program pasca sarjana. Rupanya
titel kesarjanaan formal masih tetap penting bagi karir seorang dosen. Aku
tahu di Indonesia banyak orang yang jauh lebih pintar dariku. Namun karena
tidak memiliki gelar kesarjanaan formal maka tidak bisa menjadi pengajar
tetap di universitas.
Ada pengalaman lain yang menarik. Aku pernah juga menjadi dosen di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sebagian besar mahasiswanya adalah
calon pastur. Mereka minta aku mengajar Filsafat Islam. Yang menarik, ketika
mereka menulis dan mengumpulkan makalah di akhir semester, aku lihat
kualitas makalahnya tidak kalah bermutu dibanding makalah mahasiswaku
di UIN. Mungkin karena mereka sudah mendapat training kajian filsafat yang
membiasakan berpikir kritis dan logis, maka ketika menulis topik filsafat
Islam juga tetap kritis, bisa mengambil jarak dari sikap iman mereka yang
bersifat subyektif.
52
29. Pansel KPK, MK dan KPU
Andaikan aku melamar jadi calon pimpinan KPK, MK dan KPU, pasti aku tidak
lulus. Tapi anehnya aku pernah duduk sebagai panitia seleksi komisioner
semacam KPK (Komisi Pemberatantasan Korupsi), MK (Mahkamah Konstitusi)
dan KPU (Komisi Pemilihan Umum), KY (Komisi Yudisial). Ada beberapa
catatan ringan yang aku ingin bagi di sini, terutama dalam kontek pansel KPK.
Ketika dibuka pendaftaran secara terbuka, berdatangan para pelamar yang
jumlahnya ratusan. Dokumennya disertai rekomendasi tokoh-tokoh nasional
yang semuanya menyatakan calon dengan pujian: highly recommended.
Semua berkas pelamar itu lalu diseleksi oleh team panitia secara fair
meskipun mayoritas mengesankan sebagai pencari kerja (job seekers). Untuk
seleksi ini panitia dibantu oleh team administrasi dan lembaga konsultan
ahli yang sudah punya pengalaman panjang dalam menyeleksi calon-calon
pemimpin di lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta.
53
Cerita sebagai pansel KPU lain lagi yang terjadi. Setelah kami menyeleksi daftar
calon dengan menyusun ranking sesuai kualitas masing-masing, nama-nama
itu lalu diserahkan ke DPR. Yang terjadi kriteria dan selera pilihan pansel dan
DPR berbeda. Bakan ketika rapat dengar pendapat dengan komisi DPR, pansel
sering diceramahi layaknya mahasiswa dikuliahi dosen. Pada hal di antara
kami sudah guru besar dan biasa menguji disertasi calon doktor. Pantas diduga
beberapa calon itu memiliki kedekatan khusus dengan anggota DPR pada hal
syarat anggota KPU mesti independent. KPU jangan sampai jadi perpanjangan
tangan partai politik. Catatanku sebagai mantan pansel, kalau saja pansel
yang terdiri dari orang-orang yang kredibel diberi keleluasaan untuk memilih
calon dengan cara jemput bola layaknya “head hunter” di perusahaan swasta,
beayanya lebih murah, lebih efisien dan hasilnya lebih bagus. Yang terjadi
birokrasi kita justru seringkali mengganjal dan menghambat bagi tercapainya
target dan hasil akhir yang hendak dicapai dengan biaya murah. Seringkali
praktik birokrasi bukannya memfasilitasi, tetapi malah mempersulit.
Di samping anggota Pansel, aku pernah juga duduk sebagai anggota Majlis
Kehormatan Kode Etik BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan anggota Dewan
Kehormatan PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) tahun 2020-2025).
Masing-masing jabatan ini memiliki cerita yang unik.
54
syariah dipersempit menjadi hukum fiqih yang mengatur halal-haram. Bank
Syariah jangan jadi bank pinggiran dan ideologis yang menurunkan citra
keunggulan Islam sebagai sumber dan pilar peradaban.
Selesai dari BRISY, aku diminta bergabung di BNIS (Bank Negara Indonesia
Syariah) dari tahun 2020-2021, dan berlanjut pindah ke BSI (Bank Syariah
Indoesia) sejak 2021 sampai sekarang. Jadi, tiga kali menjabat komisaris
independent di bank yang berbeda. Saat ini aku bergabung di BSI, sebuah bank
hasil penggabungan dari BSM, BRISY dan BNIS. Aku ingin menyumbangkan
pemikiran untuk menjadikan BSI sebagai bank yang menjunjung tinggi
profesionalitas layaknya bank papan atas plus nilai-nilai spiritualitas yang
setia menjaga prinsip kemanusiaan, kejujuran, keadilan dan menjauhi bisnis
yang melanggar etika keagamaan. Semoga BSI benar-benar menjadi bank
kebanggaan umat dan bangsa. Salah satu tantangan BSI adalah masyarakat
masih sedikit yang paham fungsi bank sebagai mitra usaha, terlebih lagi yang
berlebel syariah. Diperlukan pendidikan literasi perbankan bagi masyarakat
karena pada dasarnya bank dilahirkan untuk membantu dan melayani
aktivitas ekonomi masyarakat secara rasional dan saling menguntungkan.
Menurut laporan CAF (Charities Aids Foundation) World Giving Index 2021
Indonesia dikenal sebagai negara paling dermawan di dunia. Misalnya saja,
ketika terjadi bencana alam masyarakat secara suka rela senang berderma
membantu para kurban. Belum lagi derma yang masuk kategori zakat, infaq
dan sodaqoh, diperkirakan setiap tahun mencapai besaran seratus trtilyun
rupiah. Selama pandemi tahun lalu Muhammadiyah, misalnya, membantu
pengobatan tidak kurang dari satu trilyun rupiah. Aset milik perserikatan
Muhammadiyah diperkirakan mencapai 400 trilyun rupiah. Belum lagi asset
milik jamaah NU serta asset wakaf yang belum didata secara rapih dan tuntas
sampai hari ini. Jadi, sesungguhnya potensi philantropi umat dan masyarakat
kelas menengah Indonesia pada umumnya cukup tinggi namun belum
dikapitalisasi dan dikelola sebagai kekuatan produktif dengan manajemen
modern yang rasional dan sustainable. Jika dana soaial yang beredar ini
bisa dikelola dengan profesional, sangat membantu ekonomi rakyat dan
ikut meringankan tugas dan beban negara dalam upaya menyejahterakan
rakyatnya.
55
31. Jalan-Jalan Ke Luar Negeri
Mungkin lebih dari tujuh buah paspor yang pernah aku miliki dan sudah
kedaluarsa (expired). Aku pernah membuka-buka kembali paspor itu dan
rupanya tidak kurang dari lima puluh negara pernah aku kunjungi meskipun
sebentar. Tentu suatu perjalanan yang tak terbayangkan mengingat aku lahir
dan tumbuh dari keluarga miskin dan sekolah pun di pesantren dekat rumah
tanpa biaya sepeserpun. Sejak masih di pesantren aku sudah punya mimpi
dan keinginan untuk bisa jalan-jalan ke luar negeri. Keinginan ini distimulasi
oleh pelajaran bahasa Arab dan Inggris yang membangkitkan minatku untuk
mengetahui dari dekat kehidupan masyarakat Timur Tengah dan Barat yang
menggunakan kedua bahasa itu. Sejak di pesantren aku berpikir bahwa bahasa
itu mencerminkan budaya dan, sebaliknya, budaya sebuah masyarakat akan
tercermin melaluinya bahasanya. Hubungan bahasa dan budaya bersifat
dialektik resiprokal, yang satu mempengaruhi yang lain.
Jalan-jalan ke berbagai negara itu juga aku rasakan sebagai ziarah budaya. Setiap
orang adalah anak kandung budaya yang mengasuh dan membesarkannya.
Di dalam budaya terdapat bahasa, di dalam bahasa terkandung nilai-nilai
termasuk keyakinan agama yang diyakini baik dan menjadi acuan hidup bagi
pemeluknya serta menjadi pengikat kohesi sosial. Dalam konteks ini sangat
bijak anjuran Aqur’an bahwa masing-masing suku dan bangsa hendaknya
saling berkenalan, berkawan dan sharing kebajikan (lita’arafu). Meminjam
istilah Heidegger, language is the house of being. Kita lahir, tumbuh dan hidup
56
dalam rumah bahasa. Dengan bahasa maka dunia yang indah dan kompleks
ini bisa klasifikasi, dijelaskan, dikomunikasikan dan dipahami serta dimaknai.
Bayangkan, andaikan manusia tidak punya bahasa, maka semua kita tak
ubahnya sekumpulan hewan. Hidup hanya semata mengikuti insting.
Aku jadi ingat sebuah guyonan namun mengandung makna yang dalam.
Mereka yang berwawasan sempit dan cenderung bersikap ekslusif, merasa
benar sendiri dan menyalahkan yang lain, sering diberi lebel: pikniknya kurang
jauh. Tidak punya wawasan komparatif. Bahwa yang namanya manusia,
apapun bangsa dan agamanya, melekat padanya naluri untuk berbuat baik
dan punya kelemahan sehingga bisa berbuat sebaliknya. Setiap orang terlahir
sebagai manusia, lalu diasuh oleh lingkungan budaya dan agamanya. Bangsa
memiliki nilai universal yang menjadi acuan hidunya.
57
32. Pendidikan Sebagai Jembatan Emas
Rasanya kita semua sepakat bahwa pendidikan merupakan jembatan emas
untuk mengubah dan memperbaiki nasib seseorang, masyarakat, bangsa dan
negara. Untuk bernegosiasi dengan takdir agar seseorang memiliki kehidupan
yang baik adalah dengan cara menempuh pendidikan yang bagus dan serius.
Dalam konteks ini aku sangat berterima kasih pada Pondok Pesantren
Pabelan, Magelang, yang berperan bagaikan sekoci yang menyelamatkan aku
dan masyarakat desaku dari daya tarik arus kebodohan. Atau bagaikan busur
dan aku sebagai salah satu anak panahnya yang didorong untuk melesat ke
depan. Mungkin sekali keberadaan pondok pesantren di berbagai daerah
juga dirasakan oleh masyarakat sekeliling sebagai perahu penyelamat dari
kebodohan masyarakat sekitarnya yang miskin.
Pendidikan itu jembatan dan jendela dunia. Sedangkan ilmu yang diraihnya
akan menjadi akup yang dengannya kita bisa terbang tinggi menjelajahi luasnya
dunia. Tanpa tekad untuk selalu belajar dan menapaki jalan pendidikan secara
berjenjang, tak mungkin aku bisa menjelajahi sekian banyak negara bertemu
tokoh-tokoh penting di masing-masing negara. Aku pernah diterima sebagai
tamu oleh Muammar Khadafi, presiden Libya waktu itu, di tenda halaman
istananya. Pernah juga aku diundang untuk menemui presiden George Bush
ketika dia melakukan kunjungan kenegaraan ke Jakarta. Secara emosional
58
aku tidak suka pada Bush yang telah menciptakan instabilitas dan kehancran
politik serta ekonomi di dunia Arab khususnya. Semua ini tak mungkin terjadi
kalau aku tidak mengubah nasib hidupku melalui pendidikan.
Tahun 2006 ikut mendirikan Sekolah Avicenna yang dikelola oleh Yayasan
MEDCO. Pada tahun yang sama, 2006, aku juga ikut mendirikan dan
mendesain model sekolah Sukma Bangsa di Aceh yang berlokasi di Pidie,
Lhokseumawe, dan Bireuen, ketiganya berasrama yang pada mulanya untuk
menampung siswa-siswi kurban tsunami. Bahkan aku pernah jadi ketua
panitia penegerian Universitas Tidar Magelang (UNTIDAR) yang resmi
dinegerikan pada tahun 2014 berdasarkan Peraturan Presiden no 23/2014.
Alhamdulillah semua lembaga pendidikan tersebut sekarang berjalan dan
berkembang bagus. Untuk penegerian ini aku bekerja selama tiga tahun
untuk memenuhi persyaratan yang mesti dipenuhi. Antara lain mesti tersedia
tanah seluas minimal 30 ha, pada hal waktu itu UNTIDAR hanya memiliki
tanah seluas 8 ha. Syarat lainnya, semua asset yang ada setelah diaudit secara
independen diserahkan seluruhnya kepada negara. Dalam kapasitas sebagai
Ketua THF (Tidar Heritage Foundation) aku temui beberapa orang Magelang
yang tinggal di Jakarta untuk membantu proyek penegerian ini, terutama
Mas Darmono, pendiri Kawasan Industri Jababeka dan President University.
Kini UNTIDAR menunjukkan kemajuan luar biasa. Semula hanya menerima
59
calon mahasiswa baru maksimal 300 pelamar, sekarang setelah berstatus PTN
pelamar bisa mencapai 17 ribu pendaftar sementara kursi yang tersedia sekitar
dua ribu. Namun daya tampung ini tiap tahun berkembang seiring dengan
perkembangan jumlah pendaftar dan pembangunan fasilitas fisik serta jumah
tenaga dosennya.
Bagiku, masa depan bangsa ini akan banyak ditentukan oleh kemajuan bidang
pendidikan dan ekonomi. Jika keduanya tertinggal, maka sulit bangsa ini
tegak berdiri sejajar dan penuh percaya diri dalam pergaulan internasional.
Diakungkan, wacana yang menguat di tingkat nasional saat ini lebih banyak
mengenai perebutan dan pembagian kekuasaan ketimbang membahas masa
depan bangsa dan pilar-pilar utama peradaban Indonesia.
Sejak 29 Mei 2019 aku resmi ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai
rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), meskipun aku bersama
teman-teman sudah aktif merintisnya sejak 2016. Semua ini aku lakukan
karena passion atau panggilan hati, sebagaimana keterlibatanku dalam
merintis beberapa lembaga pendidikan sebelumnya. Keinginan agar Indonesia
memiliki universitas berkelas internasional tentu saja menjadi keinginan dan
cita-cita banyak orang. Namun yang mesti dicatat keinginan itu baru terwujud
di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Dalam
perpres itu tertulis masa jabatanku berlangsung lima tahun, 2019-2024. Kita
memiliki banyak intelektual dan ilmuwan kelas dunia yang perlu wadah atau
institusi untuk mewariskan dan menyebarkan ilmunya pada generasi muda.
Jangan pintar sendiri.
60
tercoreng dalam pergaulan sosialnya. Sosok seorang ayah bagaikan payung
dan pilar penyangga stabilitas, ketenteraman dan identitas rumah tangga.
Jika payung dan pilar itu roboh maka robohlah bangunan dan kedamaian
rumahtangganya. Anggota keluarganya terampas rasa ketenteraman dan
kebanggaannya pada figur ayahnya. Terlebih lagi jika sosok ayah itu adalah
juga sosok kakek bagi cucu-cucunya, maka perannya tidak semata sebagai pilar
dan penyangga ekonomi keluarga, melainkan juga sebagai panutan, role model
dan pengayom spiritualitas bagi mereka.
61
orang yang masuk tahanan karena korupsi mereka sebelumnya memperoleh
berpendidikan bagus. Misalnya beberapa pejabat pemerintahan dan pengurus
partai politik kesemuanya memiliki modal pendidikan yang bagus. Namun
akibat sistem yang korup dan yang bersangkutan tidak cukup kuat melawan
atau menyelamatkan diri, akhirnya menjadi bagian dari mesin birokrasi dan
mesin politik yang korup.
Yang juga membuat prihatin, sekarang ini yang menjadi daya tarik para
remaja adalah gaya hidup, popularitas dan kelimpahan materi, yang sering
dipamerkan oleh kalangan selebritis. Faktor pendidikan dan integritas
terpinggirkan. Kemajuan teknologi visual dan digital serta gaya hidup
konsumtif ikut mendukung tampilnya budaya pop yang selalu ingin tampil
baru dan beda layaknya pergantian musim di negara sub-tropik.
Keterikatan pada keluarga merupakan hukum alam ciptaan Tuhan. Kalau saja
tak ada ikatan cinta kasih dan keterikatan kuat antara orangtua dan anak-
cucu, lalu siapa yang akan peduli dan siap berkurban untuk membina proses
regenerasi anak manusia dari zaman ke zaman? Hubungan cinta kasih ini
juga terlihat pada dunia hewan yang penuh cinta kasih mengantarkan dan
melindugi anak-anaknya tumbuh dewasa agar bisa hidup mandiri. Dalam
ajaran Islam bangunan keluarga itu dilengkapi dengan ikatan iman. Orang
tua memandang anak sebagai anugerah dan amanah dari Tuhan, dan perintah
agar anak bersyukur pada Tuhan serta berterima kasih dan berbakti pada
orangtua itu satu tarikan nafas dalam ayat Alqur’an.
62
Alqur’an disebut “mitsaqan gholidha”. Istilah ini hanya tiga kali disebutkan
dalam Alqur’an, dua lainnya adalah perjanjian yang dilakukan antara Tuhan
dan Nabi pilihan untuk menerima amanat besar, berat dan mulia untuk
membimbing umatnya ke arah jalan yang benar.
Jadi ikatan pernikahan adalah mulia, suci, sekaligus berat karena akan diminta
pertanggungjawabannya oleh Tuhan. Secara psikologis-sosiologis sungguh
tidak mudah membangun ikatan dengan seseorang seumur hidup sehingga
bagi sementara pihak ikatan keluarga dianggapnya sebagai sebuah ikatan
yang mengekang dan menggerogoti kebebasan seseorang. Namun ketika
dimasukkan didalamnya dimensi dan fondasi spiritual sebagai ibadah dan
amanah, maka rahmah dan berkah Tuhan akan menyertainya. Dalam Alqur’an
terdapat tiga kata yang selalu dilekatkan pada bangunan rumahtangga, yaitu:
sakinah, mawaddah dan rahmah.
63
menjadi pegangan kokoh ketika rumahtangga, ibarat biduk kapal, dihantam
ombak dan badai. Makanya orangtua dulu, pengaruh dari budaya pelaut, selalu
menganalogkan rumahtangga dengan konsep tempat berlabuh. Bayangkan
ketika kapal berlayar di tengah lautan, yang dijumpai tidak selalu berupa
keindahan dan kenyamanan, namun juga ancaman ombak besar, gelap gulita,
panas terik matahari, dan sekian bahaya lain, sehingga yang mereka rindukan
adalah segera berlabuh untuk mendapatkan ketenangan dan kehangatan
keluarga, mengakhiri semua rasa gelisah dan takut. Mungkin pengaruh
lingkungan padang pasir, Rasulullah menggambarkan rumahtangga bagaikan
jannah, kebun yang asri tempat bermain dan beristirahat.
Di usia lanjutku ini, sangat terasa bahwa kekayaan yang paling mahal adalah
kehidupan rumahtangga yang damai, yang saling mencintai dan mensupport.
Titel kesarjaaan, jabatan sosial, materi dan penampilan fisik satu-satu
mengalami devaluasi. Kita sebaiknya jangan pernah berhenti mohon berkah
pada Allah bagi kehidupan keluarga. Ketika orangtua semakin lanjut, yang
paling bernilai dan tak terukur dengan materi adalah posisinya sebagai
pendamping dan pengayom moral-spiritual bagi pertumbuhan anak-cucunya.
Mengingat akan nilai-nilai luhur ini maka di lingkungan masyarakat Islam
konsep rumah jompo untuk penitipan lansia tidak populer. Bahkan Rasulullah
bersabda, anak yang mencintai dan mengurus orangtua yang telah lanjut usia
akan membukakan pintu berkah dari langit sehingga rejekinya melimpah
bagi yang merawatnya. Orangtua itu diperebutkan oleh anak-anaknya untuk
bisa merawatnya sebaik mungkin. Untuk itu merupakan kewajiban orangtua
untuk mendidik anak-anak agar senantiasa anak saleh yang senantiasa
mencintai, melayani, merawat dan mendoakan orangtua. Dalam Alqur’an tak
ada perintah pada orangtua untuk mencintai anak, melainkan perintah untuk
mendidik anak. Sebaliknya, pada anak Alqur’an merintahkan agar senantiasa
menghormati dan menolong orangtuanya.
Kelihatannya cinta orangtua pada anak itu merupakan naluri sangat kuat,
sehingga rasa cinta itu mesti diimbangi dengan pendidikan. Sampai-sampai
Alqur’an menyebut “harta dan anak itu merupakan fitnah” bagi orangtua
(Q 64:15, 8:28). Yaitu ujian jangan sampai menghalangi cintanya pada Tuhan
dan sesama manusia lain. Mungkin dalam konteks ini mengapa Tuhan
64
menguji Ibrahim dengan perintah agar menyembelih anak yang paling
dicintainya. Dan ternyata Ibrahim lulus, lalu Tuhan memberi hadiah berupa
keturunan yang salah-saleh. Perintah terhadap Ibrahim itu berlaku untuk
kita semua, terutama pada para pemimpin. Sejarah mengajarkan, banyak
pemimpin negara yang gagal menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi
rakyatnya karena cintanya tercurah dan terdominasi hanya tertuju pada anak-
anak dan keluarganya. Demi anak dan keluarganya kepentingan negara dan
rakyat dikurbankan.
65
Patchwork
Learner
66
34. Lorong Waktu
Dengan patokan kalender, waktu itu bagaikan bentangan garis kontinum yang
kita tidak tahu kapan bermula dan kapan berakhir. Dalam bentangan garis
waktu itu aku terlahir lalu naik sebagai penumpang kereta kehidupan ini dan
suatu saat nanti aku mesti turun. Penumpang kereta waktu itu silih berganti,
datang dan pergi, lahir dan mati. Apakah waktu berjalan ke depan bagaikan
garis lurus atau garis lingkar, aku tidak tahu. Nenek moyang kita dahulu
menganggap bumi itu datar. Bahkan sampai hari ini masih ada anggapan
bumi itu datar. Kita semua lebih banyak tidak tahunya terhadap alam semesta.
Ada beberapa pertanyaan yang sulit dijawab. Misalnya, bagi mereka yang
meyakini konsep kelahiran kembali (reborn), apakah kendaraan jasad ini
merupakan kendaraan yang pertama bagi ruh untuk mengenal kehidupan
dunia? Pernahkah ruh kita dulu mengendarai jasad lain sebelum ini? Dengan
kata lain, apakah ruh itu hanya mengalami sekali saja menapaki lorong waktu
duniawi ini ataukah bisa berkali-kali namun dengan kendaraan jasad yang
berbeda? Pertanyaan lain yang kadang muncul, mengingat ruh tidak mengenal
kematian, setelah kematian itu aktivitas apa yang dilakukan oleh ruh?
Demikianlah pertanyaan di atas sekedar contoh saja dari misteri waktu dan
kehidupan ruhiyah yang kita tak sanggup menjawab dan mengetahuinya.
Keberadaan masing-masing pribadi bagaikan titik kecil yang hilang ditelan
garis waktu yang tidak kita ketahui pangkal-ujungnya. Secara empiris,
lorong waktu itu kita potong-potong lalu diberi nama sejak dari detik, menit,
jam, hari, bulan, tahun, abad dan seterusnya berdasarkan hitungan putaran
matahari dan bumi. Pada hal matahari sebelum manusia membuat kalender
sudah berputar pada poros garis edarnya, entah sejak kapan. Bumi yang kita
kenal inipun hanyalah partikel kecil saja dari semesta seisinya yang teramat
luas, yang kita juga tidak bisa mengukurnya. Secara fisik manusia itu teramat
kecil dan rapuh di hadapan semesta. Tetapi kekuatan imajinasi manusia lebih
besar dari semesta. Kalangan sufi meyakini, ruh ilahi jauh lebih luas dari
dunia seisinya.
67
Alquran mengingatkan: Demi masa. Manusia itu sungguh dalam situasi
merugi. Kecuali mereka yang beriman dan memperbanyak amal kebajikan.
Lalu mereka menjaga iman dan amal salehnya dengan senantiasa saling
mengingatkan dan berbagi nasihat dalam hal kebenaran yang dilakukan
secara konsisten.
Aku terlahir dalam ruang budaya, agama dan geografis yang mengayomi
sekaligus bisa menghimpit dan menindas. Ibarat ulat, untuk bisa berkembang
jadi kupu-kupu agar bisa melihat luas dan menikmati indahnya taman, maka
setiap pribadi mesti mampu berjuang merobohkan sekat ruang dan waktu.
Begitulah, dunia menjadi tampak luas dimulai ketika masih kecil kita diajak
jalan-jalan oleh orangtua rekreasi berkunjung ke tempat-tempat baru. Yang
paling berpengaruh adalah ketika kita diajari mengenal huruf dan membaca.
68
Buku itu bagaikan jendela untuk mengintip luasnya dunia. Atau bagaikan akup
yang dengannya seseorang bisa terbang berkelana ke masa lalu. Atau jalan-
jalan mengenal bangsa dan negara orang. Dengan buku kita bisa bertemu dan
berdialog dengan pemikir dunia.
Jadi, aku rasa pola dan ritme hidup dan kehidupan itu dari dulu tak banyak
yang berubah. Aktornya saja bergani-ganti. Yang berubah-ubah dan heboh
adalah hati dan pikiran kita masing-masing yang dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan pengalaman hidup. Orang bijak bilang, there is nothing new
under the sky.
69
36. Warga Bangsa
Kesadaranku sebagai warga bangsa terasa intens ketika aku aktif dan tinggal
di sekretariat HMI Cabang Ciputat, Jalan Ibnu Sina III/68. Dalam pergaulan
sehari-hari kami selalu menggunakan bahasa Indonesia, tidak boleh
menonjolkan sukuisme, mengingat di situ bertemu dan berkumpul teman-
teman lintas etnis. Sejak di HMI ditumbuhkan kesadaran dan komitmen
moral bahwa kami adalah anak Indonesia. Aku rasa waktu itu universitas
yang menonjol keindonesiaannya adalah UI, IPB, ITB dan UGM. Lewat HMI
dan karir wartawanku telah membuka jalan untuk bergaul dengan teman-
teman dari kampus itu yang lintas etnis dan agama, sehingga wawasan dan
komitmenku sebagai warga bangsa berkembang.
Dulu ketika masih sekolah dasar sudah biasa menghafalkan Sumpah Pemuda
tanpa pemahaman dan penghayatan yang dalam. Beruntung aku pernah
berkunjung sejak dari wilayah Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Flores
sampai Papua sehingga lebih memahami moto: Bhinneka Tunggal Ika. Visi dan
cita-cita yang terkandung dalam Sumpah Pemuda 1928 itu sangat visioner,
mulia, cerdas dan patriotik. Meskipun dari segi pendidikan formal aku lebih
70
tinggi dari pemuda 1928, namun aku sungguh malu bercermin dari ketajaman
visi serta komitmen dan perjuangan mereka dalam memperjuangkan lahirnya
satu nusa, satu bangsa, satu bahasa nasional: Indonesia. Jangan sampai
kita sekedar jadi generasi penikmat, dan lebih celaka lagi generasi perusak.
Mari kita partisipasi sebagai generasi pembangun bangsa. Pemahaman
dan penghayatan sebagai warga bangsa ini selalu memperoleh penyegaran
kembali setiap aku mengajar di LEMHANAS tentang tema keindonesiaan.
Jika muncul rasa lelah dan sumpek tinggal di Indonesia, cara termudah untuk
mengapresiasi keindahan negara ini adalah silakan jalan-jalan ke negara-
negara Arab yang penuh bebatuan dan gurun atau ke India yang sangat padat
penduduk dan semrawut lalu-lintasnya.
71
Belajar dari dunia nabati dan hewani, mestinya keragaman budaya dan
agama tidak saling menegasikan dan menghancurkan yang lain. Tapi saling
mendukung. Biarkanlah semuanya berkembang secara alami. Kalaupun
terdapat beberapa agama, budaya dan bahasa yang punah hendaknya
berlangsung secara natural oleh seleksi alam dan nalar sehat serta
kebebasan manusia yang memeluknya, bukan karena paksaan atau tindakan
pengrusakan. Nyatanya di muka bumi yang satu ini terdapat ribuan suku,
bahasa dan keyakinan agama yang tidak mungkin diseragamkan. Realitas
keragaman antropologis-sosiologis ini sejalan dengan isyarat kitab suci bahwa
Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan aneka
agama, hendaknya keragaman itu mendorong pemeluknya untuk berlomba
dalam kebaikan. Hendaknya masing-masing bangsa dan umat beragama
menunjukkan dan menyumbangkan ajaran dan praktiknya yang terbaik
untuk kemanusiaan secara universal. Dengan demikian, agama akan dilihat
dan dirasakan sebagai sumber dan pilar peradaban, bukan sumber konflik dan
peperangan yang menghancurkan bangunan peradaban.
Ibarat kebun raya, kehidupan ini menarik dilihat karena tidak satu warna
dan satu jenis tumbuhan. Begitu pun kebun binatang, kalau hanya satu jenis
72
hewan namanya peternakan. Hal yang sama juga terlihat dalam hal bahasa,
budaya, dan agama. Di atas bumi yang sama, di bawah matahari yang sama, di
situlah rumah kita bersama.
73
telinga dewasa. Suatu saat nanti mungkin saja telinga kanan dan telinga kiri
anatominya juga berbeda sehingga akan ada dokter ahli telinga kanan dan
dokter telinga kiri.
Perlu dibedakan antara kata sains dan ilmu. Yang pertama merujuk pada
kajian ilmu alam (hard science) sedangkan yang kedua memiliki arti yang
lebih luas dan penggunaannya lebih longgar, termasuk ilmu keagamaan yang
mencakup aspek metafisik. Dalam tradisi Barat agama tidak termasuk wilayah
ilmu (sains) karena klaim kebenarannya tidak bisa diverifikasi, sehingga
kebenaran agama pada akhirnya bersifat keyakinan. Klaim kebenaran sains
mengandalkan eviden atau bukti empiris, sedangkan penerimaan terhadap
kebenaran agama mengandalkan argumen lalu loncat pada kepercayaan
atau keyakinan. Oleh karenanya kebenaran dalil-dalil sains lebih mudah
disebarkan pada siapa saja, menerobos batas-batas agama. Sedangkan dakwah
agama, karena ditopang kuat oleh tradisi dan keyakinan, sulit disebarkan
secara universal sebagaimana sains. Orang mudah tersulut emosinya gara-
gara perbedaan keyakinan agama, karena agama menuntut keyakinan yang
pasti dan final (close ended) sedangkan formula kebenaran sains sifatnya
terbuka terhadap kritik dan temuan baru. Bahkan perkembangan ilmu dan
sains selalu menuntut kritik agar selalu berkembang maju, selalu melahirkan
teori-teori baru, untuk menghindarkan kemandegan.
74
pengetahuan, sekalipun pada realitasnya tidak selalu mulus dan indah.
Adakalanya diselingi dengan pertumpahan darah akibat perebutan kekuasaan
politik dan ekonomi.
Karena aku juga berprofesi dosen dan sekali-sekali memberi seminar dan
ceramah, maka membaca buku merupakan keharusan dan sangat membantu
untuk pengkayaan materi kuliah dan ceramah. Jika dihitung-hitung mungkin
sekali kita lebih banyak membaca dan sangat sedikit berbagi. Berbagi informasi
itu sebuah kebutuhan, layaknya mekanisme in-out gizi yang masuk tubuh kita.
Pada dasarnya manusia itu punya naluri untuk bercerita. Makanya saluran
termudah adalah ngobrol dan gossiping. Sekarang dengan adanya medsos
saluran berbagi informasi pada teman lebih terbuka lebar. Lewat medsos kita
dengan mudah menjadi penulis, pengarang, sekaligus pembaca.
Pernah aku mengalami saat-saat menulis itu sebuah terapi yang menyehatkan.
Sebuah outlet atau penyaluran emosi dan pikiran tentang berbagai masalah
sosial dan keagamaan. Sebelum diceramahkan atau dituliskan, ada perasaan
tidak enak, mirip menahan buang air. Kelebihan menulis untuk publik,
misalnya di surat kabar, dituntut tanggungjawab sosial sehingga ide dan
bahasanya mesti padat dan terkontrol. Menulis yang niat dan tujuannya
baik jangan sampai menimbulkan ekses sebaliknya setelah dipublikasikan.
75
Mengritik itu sebuah kewajiban bagi seorang ilmuwan, namun caranya juga
mesti beradab, bukan didorong oleh rasa kebencian dan iri hati yang disajikan
dengan nyinyir dan destruktif.
Banyak inspirasi yang bisa melahirkan tulisan. Paling mudah adalah dengan
membaca buku-buku baru yang menyajikan tema aktual. Namun sekedar
membaca lalu meringkas isi buku tanpa disertai refleksi kritis akan membuat
sebuah tulisan terasa kering. Dengan kata lain, sebaiknya buku itu dikunyah-
kunyah lalu ditelan sehingga yang keluar sebisa mungkin sudah berubah
menjadi pemikiran kritis-reflektif yang bersifat kontekstual dengan bahasa
sendiri. Tulisan yang gampang-gampang susah adalah tulisan atau esai kolom
untuk sebuah majalah. Yaitu mesti padat namun bernas dan enak dibaca.
Dulu aku rutin menulis esai di sebuah surat kabar dan majalah. Inspirasinya
seringkali muncul di kamar mandi, ketika menikmati air shower mengguyur
kepala. Mungkin pengaruh saraf kepala yang sejuk, dingin, rileks, lalu idea
bermunculan. Keluar kamar mandi langsung cari kertas dan pulpen mencatat
judul tulisan.
Ketika menjabat rektor UIN Jakarta (2006-2015) aku rajin menulis di twitter.
Niat awal untuk sekedar membuka komunikasi dengan mahasiswa dan berbagi
wisdom. Tak kuduga, sambutan mahasiswa cukup banyak. Ada yang bertanya
materi kuliah dan masalah keilmuan, ada yang melaporkan kondisi kampus,
ada yang mengeluhkan layanan administrasi dan dosen. Bahkan soal WC
kotor dan mampet masuk di twitterku. Kesemuanya aku responi dan menjadi
masukan untuk manajemen kampus. Sampai-sampai mahasiswa mau demo
mereka sampaikan lebih dahulu. Berkat komunikasiku yang intens dan tak
ada hambatan, suasana kampus berjalan baik-baik saja. Selesai tugasku sebagai
rektor, aplikasi twitter di handphone aku stop. Seingatku jumlah followers
waktu itu sudah mencapai 600 ribuan.
Ada nasihat, jika anda ingin panjang umur, maka tulislah buku yang banyak
dan bagus. Maksudnya, sekalipun telah meninggal, nama anda akan dikenang
terus serasa masih hidup karena pikiran anda masih menyertai pembacanya.
Dalam bahasa lain, warisan karya tulis itu akan tercatat sebagai amal jariyah
yang tidak ikut mati bersama kematian fisik. Coba saja perhatikan, berapa
76
banyak ilmuwan dan ulama klasik yang karya-karya tulisnya masih dibaca
orang dan memberikan pencerahan hidup sampai hari ini. Nasihat lain
mengatakan, jika anda tidak tertarik menulis buku, ciptakan dan wariskan
karya besar sehingga diri anda akan ditulis dan dikenang orang. Satu karya
besar yang selalu kita kenang, kita syukuri, kita nikmati dan kita rawat adalah
warisan negara-bangsa Republik Indonesia ini yang diwariskan oleh generasi
pejuang terdahulu.
77
jumlahnya, berulangkali jatuh-bangun, kadang kakinya luka, kepalanya
benjol, tetapi anak kecil itu tetap penuh antusias belajar berjalan dan berlari.
Semangat untuk senantiasa beajar itu mesti kita rawat dan pupuk, jangan
kendor.
Siapapun mengalami dan merasakan bahwa proses dan tuntutan untuk selalu
belajar itu justru semakin urgen, kompleks dan berat justru setelah seseorang
tamat kuliah. Makanya setiap sarjana diharapkan memiliki mental intellectual
adapatability dan intellectual agility dengan tetap menjaga integritas atau
prinsip-prinsip moral. Dalam kehidupan berkeluarga tuntutan untuk
melakukan adaptasi dan pembelajaran hidup itu selalu saja muncul. Ketika
seseorang masih bujangan, berumah tangga, punya anak, punya cucu, dan
ketika anak-cucu memilih sekolah, pekerjaan, atau pasangan hidup, orangtua
mesti belajar hal-hal baru yang tidak ditemukan waktu kuliah. Belum lagi
tantangan baru dalam dunia kerja. Jika kita tidak siap mental-intelektual jadi
pembelajar seumur hidup, bisa jadi kita akan tergilas atau terpinggir oleh
dinamika kemajuan peradaban.
78
41. Ojo Kagetan, Ojo Gumunan, Ojo Dumeh
Ada nasihat orangtua yang terekam kuat dalam diriku dalam menapaki
kehidupan: ojo kagetan, jangan mudah kaget karena dalam perjalanan ini akan
banyak dijumpai hal-hal baru yang sama sekali di luar dugaan kita. Medan
kehidupan ada kalanya bagaikan hutan belantara yang menyimpan kejutan
layaknya binatang buas atau ular berbisa. Kedua, ojo gumunan, jangan mudah
terkagum-kagum melihat orang sehingga jaga hati untuk tidak mudah memuji
atau membenci berlebihan. Kata nenek dulu, urip iku sawang sinawang.
Hidup itu saling pandang-memandang, saling menduga-duga, berdasarkan
apa yang tampil dan terlihat sekilas di permukaan. Kita tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi dalam diri setiap orang yang tersimpan di dalam hati
dan pikirannya. Oleh karenanya jangan mudah silau terkagum-kagum
melihat penampilan orang dan, sebaliknya, jangan pula mudah memandang
rendah atau meremehkan pada orang lain. Kita hanya mampu melihat
aspek lahiriahnya saja dan itu pun dalam sekilas pandang. Di era visual ini
kita mudah sekali terkelabui oleh permainan dan penampilan visual baik di
medsos maupun televisi.
Ketika menulis nasihat ini, akupun sangat sadar berdoa pada Allah semoga
hatiku terhindar dari sikap sombong, karena perbuatan dan pengabdian
apapun tanpa dilandasi sikap ikhlas akan rusak kualitasnya. Ketika membuka
medsos atau media massa, ketiga nasihat itu aku rasa semakin relevan agar
kita menjadi pribadi yang otentik dan dewasa.
79
42. Crowd Mentality
Mental kerumunan cukup mengemuka dalam kehidupan sosial kita. Ini
berkaitan dengan jumlah penduduk yang besar yang tersebar ke sekian ratus
pulau. Rakyat kita senang berkumpul dan pesta-pesta adat, namun lapangan
kerja produktif sangat kurang. Secara sosial-antropologis masyarakat Indonesia
memang memiliki tradisi sangat kaya yang berakar pada suku dan agama yang
tercermin dalam kebhinekaan bangsa ini.
Mungkin mental kerumunan ini juga pengaruh budaya agraris yang ritme
hidupnya mengikuti perubahan musim yang berkaitan dengan musim tanam
80
dan musim panen, sehingga masyarakat petani dulu banyak waktu senggang.
Lalu waktu senggang itu digunakan untuk acara-acara sosial, agama dan budaya.
Tradisi ini kelihatannya berpengaruh terhadap kebijakan pemerintahan
dalam penentuan hari libur nasional. Terlihat di sana banyaknya hari libur
nasional yang berkaitan dengan hari besar agama.
Kebiasaan berkerumun ini memiliki potensi positif dan negative. Dalam acara
seni budaya dan tradisi keagamaan tentu sangat bagus sebagai bagian dari
pendidikan dan hiburan rakyat. Tetapi jika kerumunan massa ditunggangi
kekuatan politik golongan yang melakukan rekayasa massa untuk digiring
pada pilihan-pilihan politik secara tidak rasional, bahkan dengan kekuatan
uang, ini potensial terjadi manipulasi dan pembodohan massa.
Proses demokratisasi yang berlangsung lebih cepat dan merata terjadi dalam
pemerataan ilmu pengetahuan. Dengan bantuan teknologi siapa saja dengan
mudah bisa mengakses sumber informasi keilmuan. Di dunia medsos hirarki
pakar keilmuan seakan hilang. Ketika terjadi perdebatan di televisi atau pun
media sosial, misalnya, latar belakang pendidikan dan keahlian seseorang sulit
dibedakan, yang menonjol adalah retorikanya. Tak perlu menjadi professor
81
ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu ekonomi, para pembicara di forum
televisi atau seminar seringkali bicara apa saja tentang persoalan bangsa dan
negara. Referensi dan informasi keilmuan dengan mudah bisa diakses melalui
internet oleh siapa saja. Banyak juga orang yang tiba-tiba menjadi penceramah
agama, sumbernya cukup dari medsos atau google.
Judul buku ini, patchwork learner, menunjukkan bahwa aku bukan seorang
ilmuwan sejati yang setia dan menguasai disiplin ilmu secara mendalam dan
konsisten meskipun aku secara formal meraih ijazah doktor filsafat. Meskipun
sekedar pengantar, aku senang mempelajari berbagai cabang ilmu sehingga
yang aku peroleh hanyalah sebuah kepingan kecil dari bangunan ilmu yang
besar dan kokoh. Pengalaman sebagai rektor, misalnya, aku mesti mempelajari
aspek manajemen, kepemimpinan dan pemasaran yang semua itu tak pernah
aku terima di bangku kuliah. Bahkan sering aku diminta memberi pelatihan
82
tentang corporate culture di perusahaan. Tentu ini yang salah panitianya. Aku
juga seringkali menjadi pembicara di kelas Lemhanas dan Bank Indonesia.
Dunia yang bergerak begitu cepat tidak lagi mudah diprediksi arahnya.
Dulu zaman orde baru ada program pembangunan jangka panjang 25
tahun yang dikawal oleh militer untuk menjamin stabilitas politik agar
agenda pembangunan berjalan. Tetapi sekarang kehidupan sosial politik dan
ekonomi sudah berubah. Para politisi cenderung berpikir jangka pendek
dan pragmatic. Kondisi ini bisa menenggelamkan agenda besar membangun
bangsa memenuhi cita-cita dan amanat kemedekaan.
83
sebuah penerbangan ada kalanya dihadang turbulen yang berakibat pada
kecelakaan. Namun jika dianalogkan dengan lalu-lintas penerbangan, jumlah
kecelakaan pesawat itu prosentasenya kecil dibanding yang lancar, selamat
dan menyenangkan sampai ke tujuan.
Menyangkut agama, ada hal yang paradoksal. Ajaran agama diyakini baik,
namun agama juga sering dituduh menjadi sumber terciptanya polarisasi
sosial, bahkan memicu konflik dan peperangan. Dalam perjalanannya
semua agama akan dihadapkan pada pertimbangan nalar sehat karena
yang beragama itu manusia. Agama yang anti nalar akan redup, sekalipun
tidak semua ajaran agama bisa diverifikasi benar-salahnya secara rasional-
empiris. Misalnya perintah kepada nabi Ibrahim untuk menyembelih anak.
Karena yang kita terima adalah kisah nabi dalam kitab suci, maka kita mudah
menerimanya namun sebatas sebagai kisah dengan disertai penalaran logis
atau hikmah yang terkandung di dalamnya. Kisah itu telah melahirkan
berbagai macam penafsiran dan perdebatan. Namun yang pasti sekarang ini
tak ada ajaran agama yang menyuruh agar orangtua menyembelih anaknya
apapun alasannya. Lalu diganti dengan hewan. Jangankan memotong anak,
untuk bersedekah dan membayar pajak saja banyak yang keberatan.
Karena hidup tidak semata mengandalkan head and hand, namun juga heart
sebagai penunjuk arah moral yang mampu menembus ke alam lam ilahi, maka
spiritualitas keagamaan akan tetap bertahan dan berkembang dari zaman ke
zaman, mendampingi progresifitas sains (head) dan teknologi (hand).
84
45. Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Ini sebuah etika Jawa yang sangat mulia. Pesan moralnya agar setiap anak
senantiasa menghormati, menjaga dan menjunjung tinggi nama baik dan
martabat orang tuanya. Mikul dhuwur artinya menjunjung tinggi. Mendhem
jero artinya menutup atau mengubur dalam-dalam. Aib orangtua dan keluarga
mesti ditutup rapat-rapat, jangan malah diumbar dijadikan bahan gosip.
Sedangkan kebaikan dan jasa-jasanya dirawat, dijunjung tinggi dan diteruskan
untuk menjaga muruah keluarga. Tak ada orang yang terbebas dari kesalahan.
Tiap orang pasti pernah berbuat salah dan dosa, entah besar atau kecil. Namun
sebaiknya anggota keluarga menutup dan memperbaikinya, ibarat memberi
subsidi kebaikan bagi anggota keluarga yang mengalami defisit. Bayangkan,
sebuah rumah sebagus dan sebersih apapun, di bawah karpet dan sudut-
sudut ruangan pasti ada kotorannya. Namun kotoran itu tertutupi oleh karpet
yang selalu dibersihkan, tertutupi oleh hiasan rumah yang indah-indah, dan
kebaikan penghuninya.
85
menganut sistem demokrasi dengan kekuasaan yang dibatasi Undang-Undang
serta diawasi oleh rakyat. Pemilihan umum secara berkala untuk memilih
kepala negara adalah salah satu ciri utama sistem demokrasi yang tidak terjadi
di masa kesultanan.
86
lawan politik, tidak peduli akibatnya yang bisa mendatangkan kerugian besar
bagi kehidupan bernegara.
87
pemeluknya disakralkan. Umat Islam meyakini bahwa wahyu yang diterima
oleh nabi Muhammad pada urutannya melahirkan sekian banyak ajaran dan
perintah ritual yang pada urutannya menjadi tradisi kenabian yang dijaga
dan diwariskan oleh umat Islam dari generasi ke generasi. Jika kita melihat
dan menjumpai umat Islam di seluruh dunia akan dijumpai tradisi besar
yang sama, yang bersumber dari rukun Islam yang lima, yaitu: mengucapkan
syahadat, mendirikan sholat, melaksanakan puasa, mengeluarkan zakat, dan
beribadah haji. Kelimanya ini merupakan big traditions yang dijaga oleh umat
Islam seluruh dunia, yang telah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad
tujuh belas abad yang lalu.
Dari big traditions ini muncul berbagai interpretasi dan kontekstualisasi sesuai
dengan zaman dan tempat yang disebut small traditions. Jadi, umat Islam
itu sangat kaya tradisi keislaman yang bermula dari Makkah dan Madinah,
lalu diperkaya dengan tradisi-tradisi yang muncul di luar dua kota itu yang
selanjutnya berkembang terus sampai hari ini. Dengan demikian, umat Islam
itu sesungguhnya umat yang setia menjaga tradisi agamanya serta kreatif
menciptakan tradisi baru. Coba saja bayangkan, bermula dari Alqur’an yang
ditafsirkan oleh hadis nabi dan selanjutnya melahirkan tafsir atas keduanya
yang dilakukan ulama dari masa ke masa sehingga ruh dan ajaran Alqur’an
senantiasa hidup di tengah umat Islam dari zaman ke zaman.
Jadi, bangunan ilmu keislaman yang sampai pada kita hari ini merupakan
himpunan tafsir atas tafsir yang tak berkesudahan yang semuanya bersifat
ijtihadi. Kita sepakat berpegang pada tradisi besar, namun kadang bertengkar
pada ranah tradisi kecil, pada hal tradisi-tradisi kecil itu merupakan pengayaan
dari tradisi pokok keislaman sehingga ajaran Islam itu bagaikan rumah besar
dengan halaman luas yang menampung beragam mazhab. Tradisi atau sunnah
Nabi itu bagaikan danau besar yang kemudian melahirkan sungai-sungai kecil
berupa mazhab pemikiran yang dikembangkan oleh para sahabat dan generasi
berikutnya dengan tafsiran dan konteks baru yang berbeda-beda antara ulama
besar yang satu dari yang lain. Faktor budaya yang menampung penyebaran
Islam itu juga ikut mempengaruhi corak pemikiran dan tradisi-tradisi Islam
yang bersifat lokal. Teman-teman mahasiswa Indonesia yang belajar ke Timur
88
Tengah pasti dipengaruhi oleh budaya dan politik yang dominan di negeri
masing-masing. Mereka yang belajar di Saudi, Mesir, Libyia, Sudan, Iran,
Turki akan membawa memori dan pengaruh budaya lokal masing-masing
karena ilmu yang diraih tidak sebatas yang diterima di dalam ruang kelas.
Jadi kalau mendengar istilah Islam Arab, Islam Turki, Islam Iran, Islam
Indonesia, Islam Eropa dan lain sebagainya, istilah itu menunjuk pada aspek
budaya dan tradisi lokal yang dikembangkan dan dirawat oleh umat Islam.
Adapun tradisi besarnya tetap sama. Contoh yang mudah disebutkan adalah
tradisi lebaran atau halal bi halal khas Indonesia. Dalam dunia pendidikan,
tradisi pesantren merupakan keunikan Islam Indonesia. Dari semua itu,
berdakwah dengan menggunakan bahasa daerah dengan disertai dongeng
dan humor juga merupakan produk tradisi lokal. Aku melihat kenyataan
ini merupakan kreasi yang memperkaya tradisi keislaman. Semakin banyak
bangsa yang memeluk Islam, semakin banyak pula keragaman tradisi kecil
keislaman. Warna-warni lokalnya pasti ikut tampil dalam artikulasi dan
ekspressi keberagamaannya.
89
Alqur’an bukanlah buku sains yang disusun melalui metode kajian induktif-
empiris. Namun begitu banyak isyarat ilmiah-saintifik yang menggugah
inspirasi dan imajinasi untuk melakukan kajian sains. Oleh karenanya
menghadapkan sains dan kitab suci tidak tepat, tidak apple to apple. Banyak
sarjana barat yang menempatkan Alqur’an sebagai himpunan perkataan
Muhammad. Sikap ini sangat bisa dipahami dan secara historis-ilmiah
sangat positif, terlebih lagi jika yang mengatakan adalah kalangan sejarawan.
Setidaknya memberikan argumen dan eviden akan kesahihan mata rantai
Alqur’an yang benar-benar keluar dari lisan Muhammad. Adapun mereka
tidak mengimani Alqur’an sebagai wahyu Tuhan, itu wilayah iman yang
sangat pribadi.
Ada lagi seorang ustadz memberi contoh tentang perbuatan yang ikhlas.
Katanya, coba perhatikan bunga yang tengah mekar. Dia akan mendatangkan
keindahan bagi mata yang melihatnya, namun pohon dan bunga itu tidak
mengharap pujian dan tepuk tangan dari siapapun. Dia berbuat begitu semata
keluar dari tabiatnya, bahwa pohon itu tumbuh berkembang menghasilkan
dedaunan, bunga dan buah-buahan untuk orang lain. Pohon tidak pernah
memakan buahnya sendiri. Atau ibarat burung yang bernyanyi. Orang-orang
90
di sekitarnya akan merasa senang terhibur. Sementara burung tak juga minta
pujian dan tepuk tangan.
Hati yang ikhlas akan lebih ringan menjalani hidup. Tidak terganggu oleh
pujian dan celaan orang. Ikhlas tidak berarti cuek dan tidak punya rasa
tanggungjawab. Sebaliknya, hati yang ikhlas semata membalas cinta Tuhan
atas kasih-akungNya yang tak terhingga, pasti akan selalu berusaha maksimal
agar hidupnya lebih produktif dan lurus serta melimpahkan manfaat bagi
lingkungannya. Hidupnya bagaikan aliran air yang memberikan kesejukan
dan kesuburan.
91
realitas, opini, dongeng, dan fantasi. Seringkali terjadi, sebuah kritik dan
protes terhadap sebuah rezim bermula dari dunia maya, namun selanjutnya
berpindah dan bermetafose menjadi gerakan radikal di dunia nyata. Dan
sebuah rezim bisa tumbang kalangkabut. Sementara itu agama menawarkan
dunia yang ketiga, yaitu alam surgawi yang seakan sudah menunggu esok hari,
yang jauh lebih indah dari dunia ini, pintu masuknya berada di balik kematian.
Akibatnya ada orang yang tak sabar ingin masuk surga lalu membuat janji
menjemput kematian dengan berbagai cara.
92
Saat ini kita dibanjiri oleh informasi pengetahuan yang diproduk secara massif
dan cepat dengan bantuan big data, algoritma dan internet, dikendalikan oleh
ribuan agen yang tersembunyi. Kita merasa banyak tahu, namun juga tidak
yakin akan kebenarannya. Kita dibuat sibuk untuk berpikir dan meresponi
hal-hal yang bukan menjadi kebutuhan primer untuk meningkatkan kualitas
moral dan spiritual. Dalam ranah politik, para buzzer bayaran memanipulasi
informasi untuk mengaduk-aduk informasi untuk memainkan emosi rakyat.
Sosok bangsa dan negara yang lahir dengan pengurbanan darah dan derita
rakyat nusantara, oleh para politisi pengejar kenikmatan material bukannya
dirawat dan dikembangkan baik-baik, tapi dijadikan obyek kenduri dan
diperebutkan dan disengketakan. Pada hal bangsa dan negara ini rumah
kita bersama untuk tumbuh, membina generasi penerus, dan wadah untuk
membangun hidup yang bermakna.
93
agama, bahwa di balik kematian sudah menunggu indahnya surga dengan
sederet bidadari atau panasnya api neraka. Penceramah yang hebat bisa
menvisualkan dengan kata-kata sehingga gambaran akhirat itu tampak begitu
nyata.
Ada dua hambatan mengapa kita tidak pernah sampai untuk menangkap
kaki langit. Pertama, kaki langit itu hanyalah batas akhir kemampuan mata
memandang. Ketika berdiri di alam luas dan terbuka, di ujung penglihatan
seakan terdapat kaki langit yang bertemu dengan bumi, yang kalau kita
dekati akan bisa terjangkau. Mirip bola matahari yang meneyentuh ujung
bumi ketika matahari tenggelam. Namun sekalipun seseorang terus berjalan
menelusurinya, kaki langit itu tak akan dijumpai layaknya sebuah fatamorgana
disebabkan kelemahan dan keterbataan mata manusia. Kedua, jangankan
mengejar kaki langit, untuk menelusuri permukaan bumi ini pun kita dibatasi
umur. Umur sudah habis, seseorang hanya mampu berputar-putar di sebagian
kecil permukaan bumi. Aku sangat sadar, sedikitnya lima puluh lima negara
pernah aku kunjungi. Tapi dibanding luasnya bumi dan langit seisinya, betapa
terbatasnya langkah kakiku.
94
menggunakan jasa roda dan sekrup, sejak dari mobil angkutan yang besar-
besar sampai mesin arloji tetap menggunakan roda dan sekrup.
Aku merasa beruntung dan damai memperoleh panduan hidup dari agama.
Bahwa agenda hidup itu nyata, riil, sekarang dan di sini. Now and here.
Hidupku akan menjadi bermakna jika kita bisa membantu sesama untuk
meraih kemerdekaan ekonomi dan kemerdekaan politik. Dalam frase
Alqur’an, kita membantu sesama kawan dan masyarakat agar terbebas dari
“political insecurity” (minal khoufi) dan “economical insecurity” (minal ju’i).
Agenda universal masyarakat dunia itu bagaimana meraih kemerdekaan
95
politik dan kemerdekaan ekonomi. Bebas dari berbagai tekanan dan bebas
dari penyakit dan kelaparan. Makanya Islam sangat menekankan makna dan
fungsi kemerdekaan. Semua tindakan moral, bahkan juga beragama, selalu
mensyaratkan adanya kemerdekaan, bebas dari paksaan dan tekanan. Tak ada
nilai reliigusitas jika dilakukan karena paksaan dan tekanan.
Kaki langit itu memang batas akhir penglihatan dan jangkauan manusia
dalam pengembaraannya di muka bumi ini. Mata, pikiran dan kaki selalu
ingin menatap dan melangkah serta merengkuh masa depan. Tetapi apa daya
umur dan kapasitas terbatas. Hanya saja bagi orang beriman di balik batas kaki
langit dan tarikan nafas terakhir diyakini masih ada kelanjutan hidup. Kalau
saja drama hidup hanya berlangsung selama di dunia ini, betapa pendek dan
absurd-nya script dan lakon manusia. Terlalu dangkal dan banyak adegan yang
konyol. Lebih absurd lagi jika orang yang baik dan buruk dengan hadirnya
kematian lalu semuanya berakhir. Tak ada lagi perhitungan selanjutnya. Lalu
untuk apa seseorang mesti berjuang dan siap menderita dalam menegakkan
kebaikan, sementara orang yang jahat hidup enak-enak saja?
96
puluh kesultanan atau kerajaan yang tersebar di wilayah nusantara ini.
Berkat kekayaan alamnya yang melimpah, penduduk nusantara ini tidak perlu
berperang antar pendudik pulau lain untuk memperebutkan sumber air atau
kebun buah yang hijau seperti penduduk padangpasir yang alamnya tandus
dan panas. Makanya warga Indonesia sejak dulunya dikenal ramah, toleran,
religious dan mencintai seni karena hidupnya dimanjakan alam. Bayangkan,
secara suka rela para sultan atau aja itu bergabung dalam gerakan kemerdekaan
melawan penjajah. Setelah merdeka dan berdiri negara Republik Indonesia,
aset dan rakyatnya diserahkan pada negara, memasuki babak sejarah baru
dengan harapan agar penduduk nusantara ini hidupnya lebih aman, maju,
sejahtera dan damai.
97
Aku yakin besar sekali peran rakyat dan doa orang-orang yang saleh sehingga
bangsa dan negara ini masih tetap utuh dan relatif aman, damai. Sejak dulu
masyarakat kita sudah terbiasa hidup damai, aman, saling menghargai yang
lain. Hanya saja, dengan semakin menguatnya “keakuan” yang menggerogoti
domain “kekamian” dan “kekitaan”, segregasi dan konflik sosial sering
muncul. Demokrasi dan kapitalisme yang menekankan hak-hak individu
telah mendorong kemajuan ekonomi sebuah bangsa. Tetapi ketika negara
dan pemerintahnya tidak mampu mengontrol dan mengarahkan untuk
kesejahteraan, keadilan dan kemajuan bersama, demokrasi tak lebih dari
panggung kompetisi untuk saling menjatuhkan pesaingnya dengan segala
cara.
Dengan segala kekurangan yang ada, aku tetap bersyukur dan bangga terlahir
an tumbuh di bumi Indonesia. Lebih bangga lagi jika bisa ikut partisipasi
membangun negara dan bangsa ini. Kata orang bijak, kalau kamu tidak bisa
menjadi pohon besar yang lebat daun dan buahnya, maka jadilah rumput yang
menutupi permukaan tanah di pinggir jalan agar tanah tidak mudah kering
kerontang. Pohon di hutan itu sangat beragam, dan antar mereka tidak saling
merendahkan dan mengganggu yang lain. Bahkan, sebaliknya, mereka saling
melindungi dan menopang hidup lainnya. Aku selalu berdoa semoga hidupku,
ibarat air, selalu membawa kesejukan dan kesuburan bagi tanah yang aku
lewati. Atau, ibarat cahaya - sekecil apapun - selalu membawa terang, mengusir
kegelapan sekitarnya.
98
dalam kepengurusan sebagai penasihat. Setiap anak terlahir membawa bakat
yang hebat. Semua anak didik pada dasarnya hebat semuanya. Tugas pendidik
adalah membantu menyiram, merawat dan mencintai pertumbuhan anak
didiknya agar anak pada urutannya mengenali potensi dirinya dan bergairah
untuk mengaktualkan potensinya.
Dalam bahasa Arab pendidikan disebut “tarbiyah”, sebuah kata yang seakar
dengan kata “riba” yang dalam praktik ekonomi berarti bunga, uang tumbuh.
Ada lagi kata “rabwah” yaitu tanah ketinggian. Kata “tarbiyah” juga seakan
dengan kata “rabb” yang memiliki konotasi memelihara dan menjaga. Jadi,
pendidikan memang bermakna merawat dan menumbuhkan potensi anak
agar berkembang menjadi aktual, bisa hidup mandiri layaknya sebuah pohon
besar. Ketika masih kecil mesti dijaga dan dirawat, tetapi setelah tumbuh
besar pohon itu justru menjadi tempat orang bersandar dan berteduh serta
memperoleh buahnya.
99
pendidikan sampai dua puluh prosen, tetapi hasilnya mengecewakan. Sekolah
dan universitas sudah capek dan mahal menyelenggarakan pendidikan,
namun budaya politik, birokrasi dan sosial yang ada sering merusak apa yang
telah dibangun oleh para guru dan dosen.
Usia seseorang untuk belajar tidak bisa diputar kembali. Sekali salah asuh
dalam dunia pendidikan, maka sebuah generasi bangsa akan rusak, bagaikan
bibit pohon besar menjadi kerdil pertumbuhannya. Di era digital ini muncul
temuan baru, birokrasi dan regulasi selalu ketinggalan tiga atau lima langkah di
belakang dibanding progress dan dinamika sosial yang berkembang. Penduduk
dunia maya bergerak dinamis menerobos pakem birokrasi yang dianggap
memperlambat kemajuan. Begitupun dalam dunia pendidikan, birokrasi yang
mestinya melayani dan memfasilitasi untuk bersaing dalam pentas global,
yang banyak terjadi justru malah mempersulit dan menghambat, ibarat tali
yang melilit kaki kuda yang hendak berlari kencang.
100
54. Hati Tidak Pernah Berbohong
Coba anda duduk sendirian, berdialog dengan sendiri, biarkan hati yang
berbicara. Pasti anda akan jujur berkata apa adanya. Kebohongan itu terjadi
ketika anda berdialog dengan orang lain yang kadangkala berkembang jadi
sebuah perdebatan. Di situ akal bertindak sebagai pembela, apakah untuk
mempertahankan kebenaran atau membela kebohongan. Alqur’an (53:11)
mengatakan: ma kadzabal fuadu ma ra’a. Hati (fuad) tak akan berdusta
mengenai apa yang dilihatnya. Makanya Rasulullah mengajarkan, jika kamu
bimbang, mintalah fatwa pada hatimu. Hati akan semakin bening jika selalu
disambungkan dan ditujukan untuk selalu mengingat Allah, agar terjadi
penetrasi energi ilahi untuk menyinari seluruh ruang hati.
Upaya untuk membersihkan hati agar menjadi konsultan dan rujukan hidup
semestinya tidak hanya dilakukan sewaktu melakukan ritual ibadah di masjid.
Justru lebih urgen ketika kita berada di tengah masyarakat atau tempat kerja.
Karena disitu godaan bermunculan. Di masjid semua orang cenderung baik.
Semua menahan diri untuk tidak menipu dan mencelakakan orang lain.
Tentang hati ini ada nasihat filosuf. Bagi penjelajah padangpasir atau penjelajah
lautan, jika mereka kehilangan arah mata angin, maka mereka akan membaca
bintang di langit. Ada beberapa bintang yang posisinya bisa memberikan arah.
Tetapi jika engkau bingung dan tersesat tidak bisa menentukan pilihan baik
dan buruk, maka lihat dan tanyakan pada bintang di hatimu. Yaitu hati nurani.
Hati akan memberikan arah yang benar dalam pilihan moral.
101
Tidak mengherankan makanya masyarakat yang selama ini dikenal damai
dan indeks kebahagiannya tinggi adalah bangsa dan masyarakat yang
mengedepankan dan mempraktikkan nilai-nilai kejujuran sehingga meraih
status high trust society. Jika sebuah komunitas, masyarakat, bangsa dan
birokrasi memiliki tradisi ini maka berbagai urusan akan lancar, murah dan
effisien karena meraka sudah saling percaya dan bisa dipercaya. Dalam dunia
industri ongkos produksinya lebih murah karena tak banyak uang pungutan liar
dan suap-menyuap. Kualitas lebih bagus untuk menjaga reputasi kepercayaan
public. Akibat lebih lanjut pasti akan memenangkan kompetisi dalam pasaran
karena barang hasil produksinya lebih bagus, harga lebih murah.
Jadi kejujuran itu yang utama menyangkut hubungan sosial, bukan dengan
Allah dan diri sendiri. Seseorang di hadapan Tuhannya justru membuka
diri membuat pengakuan salah dan dosa lalu mohon diampuni. Tetapi jika
behenti di situ maka tak akan berdampak bagi upaya membangun masyarakat
yang sehat, high trust society. Agama bukan institusi pengampunan dosa,
melainkan sebagai gerakan peradaban seperti yang dicontohkan para rasul
Tuhan. Tentu saja manusia tidak mungkin terbebaskan dari berbuat salah
dan dosa, termasuk bohong. Oleh karenanya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara diciptakan rambu-rambu hukum dan etika serta mekanisme
kontrol, seperti Dewan Perwakilan rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
102
Pemberantasn Korupsi, dan setiap departemen pemerintahan terdapat
Inspektur Jendral. Agama pun mengajarkan bahwa Tuhan membuka pintu
pertobatan dan ampunan bagi hambaNya yang datang memohon kasih dan
ampunanNya. Persoalannya, apakah lembaga-lembaga ini setia mengikuti
hati nurani dalam menjalankan tugasnya? Apakah ritual semata dijadikan
institusi pemutihan dosa? Perlu bedakan antara konsep crime and sin. Dalam
Alqur’an lebih banyak lagi istilah seputar ini.
Dalam missi hidupku tak ada konsep pensiun. Bekerja adalah sebuah
pengabdian yang tidak boleh berhenti sampai nafas terakhir. Tentu saja bentuk
aktivitasnya mesti mempertimbangkan kondisi fisik, mental dan intelektual.
Namun secara spiritual mestinya justru semakin lanjut usia intensitasnya
semakin naik, semakin mendekati titik sangkan paraning urip. Kebugaran
moral dan spiritual (moral and spiritual fitness) mesti dijaga jangan sampai
menurun. Di pesantren diajarkan pepatah Arab cukup menarik: Istirahat
103
itu ganti aktivitas (al-istirohatu tabaddulul a’mal). Jadi tak ada konsep
menganggur, tidak bekerja. Hanya saja pekerjaan itu bisa berganti-ganti.
Konsep ini aku alami dan rasakan langsung. Kegiatan apapun aku berusaha
menjalaninya dengan gembira layaknya istirahat ganti pekerjaan. Misalnya
saja mengajar, bagiku berdiri di depan mahasiswa merupakan hiburan yang
menggembirakan hati dan menyegarkan pikiran. Ketika lelah membaca
buku, maka mengajar merupakan istirahat yang produktif dan konstruktif.
Jika lelah membaca dan mengajar, maka menulis merupakan kegiatan yang
menggairahkan, hitung-hitung istirahat.
Demikianlah, rasanya bagi para aktivis sosial semangat untuk selalu terlibat
dalam kegiatan sosial kemanusiaan akan selalu menarik. Terlebih mereka yang
punya latar belakang pendidikan agama, banyak sekali ruang dan kesempatan
untuk mengabdikan ilmunya. Di Indonesia banyak sekali mimbar keagamaan
yang memang diperlukan oleh masyarakat. Temanku beberapa dosen setelah
pensiun masih tetap mengajar dan mengurus yayasan sosial memanfaatkan
ilmu dan pengalamannya untuk pemberdayaan masyarakat.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, sosok orangtua itu bagaikan jimat. Sosok
tempat bersandar secara moral dan spiritual bagi anggota keluarganya. Sosok
tempat yang muda minta doa restu. Bahkan ada keyakinan, untuk mengejar
karir, doa seorang ayah sangat manjur. Sedangkan untuk keselamatan, doa ibu
yang lebih manjur. Makanya berbahagialah jika dalam sebuah rumah tangga
besar masih ada sosok orangtua yang rajin beribadah, kerjaan utamanya adalah
beribadah dan mendoakan anak-cucunya. Makanya di kalangan masyarakat
Islam tidak lazim ada program pembangunan rumah jompo. Justru orangtua
itu diperebutkan. Kata nabi: mereka itu tahahan Tuhan yang dititipkan pada
keluarganya di bumi (asirullah ‘alal ardhi) dan Allah yang akan memberikan
ongkos penitipannya berupa keberkahan hidup bagi yang mencintai dan
merawatnya.
Jadi, baik bagi yang anak-anak, yang muda, yang tua, maupun yang lanjut usia,
semuanya sibuk beraktivitas sesuai dengan posisi dan kondisinya masing. Di
atas semuanya itu kehidupan ini merupakan anugerah yang mesti disyukuri.
Saking banyaknya anugerah Tuhan kita sering lupa lalu fokus mengeluhkan
104
problem hidup yang tengah kita menimpa kita. Mirip keluh kesah akibat satu
gigi sakit, lalu sekian banyak gigi dan organ lain yang sehat tidak kita syukuri
kesehatannya.
105
106