ISBN 978-979-8786-61-7
BADAN PENERBIT FAKULTAS GEOGRAFI
Universitas Gadjah Mada
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENGELOLAAN PESISIR
DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KE-2
Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta
12 Mei 2016
Editor:
Djati Mardiatno
Dyah R. Hizbaron
Estuning T. W. Mei
Fiyya K. Shafarani
Faizal Rachman
Yanuar Sulistiyaningrum
Widiyana Riasasi
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENGELOLAAN PESISIR DAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI KE-2
ISBN: 978-979-8786-61-7
© 2016 Badan Penerbit Fakultas Geografi
Hak kekayaan intelektual tiap makalah dalam prosiding ini merupakan milik para
penulis yang tercantum pada tiap makalahnya.
Tanggal terbit:
20 Juli 2016
Dipublikasikan oleh:
Badan Penerbit Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara, Jalan Kaliurang, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Telp:+62 274 649 2340, +62 274 589 595
Email: geografi@geo.ugm.ac.id
Website: www.geo.ugm.ac.id
Desain sampul:
Widiyana Riasasi
ii
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai ke-2 dilaksanakan di
Auditorium Merapi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tanggal
12 Mei 2016. Seminar ini diselenggarakan oleh Program Magister Perencanaan
Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) yang merupakan minat dari
Program Studi S2 Geografi. Salah satu tujuan utama seminar ini adalah untuk mendiskusikan
perkembangan dan tren penelitian pengelolaan di wilayah pesisir dan daerah aliran sungai.
Sebanyak 71 makalah yang telah direview dari tim editor ditampilkan dalam prosiding ini.
Tema dari prosiding ini dibagi menjadi tiga, antara lain
1. Ekosistem, tata ruang, dan manajemen bencana di kawasan pesisir dan daerah aliran
sungai
2. Teknologi geospasial dalam pengelolaan pesisir dan daerah aliran sungai
3. Sosial, politik, ekonomi, budaya, kependudukan, pendidikan dan kebijakan dalam
pengelolaan pesisir dan daerah aliran sungai
Hasil dari seminar ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai kepadu-
padanan pengelolaan pesisir dan DAS yang meliputi aspek fisik, lingkungan, regulasi, tata
ruang, pemanfaatan ruang dan sumber daya. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat untuk
acuan peneliti maupun praktisi pada bidang yang terkait.
Terima Kasih
iii
DAFTAR ISI
Pembicara Utama
Tema 1: Ekosistem, tata ruang, dan manajemen bencana di kawasan pesisir dan
daerah aliran sungai
EMBUNG SEBAGAI SARANA PENYEDIAAN AIR BAKU DI PESISIR TARAKAN TIMUR . 129
iv
ANCAMAN BAHAYA PENGUATAN REFRAKSI GELOMBANG TSUNAMI AKIBAT JEBAKAN
STRUKTUR GEOMETRI TELUK SUNGAI SERUT UNTUK MITIGASI PENDUDUK DESA
RAWA MAKMUR KOTA BENGKULU ................................................................................... 148
FENOMENA BANJIR BANDANG DAN PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH ........... 167
v
EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP RENCANA TATA RUANG WILAYAH
SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN DI SUB DAS NGALE .............................. 299
Tema 2: Teknologi geospasial dalam pengelolaan pesisir dan daerah aliran sungai
VARIASI BULANAN DAERAH PREDIKSI PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH
PENGELOLAAN PERIKANAN RI 711 .................................................................................. 348
MITIGASI BENCANA GERAKAN TANAH PADA DAS SERAYU HULU, BANJARNEGARA 431
ATURAN TOPOLOGI UNTUK UNSUR PERAIRAN DALAM SKEMA BASIS DATA SPASIAL
RUPABUMI INDONESIA ....................................................................................................... 454
vi
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER DAN PANTAI DI
WILAYAH PESISIR PAMEUNGPEUK GARUT .................................................................... 464
WTP UNTUK KONSERVASI AIR DI KAWASAN RESAPAN SLEMAN, YOGYAKARTA ..... 544
vii
DAS SEBAGAI BASIS PENILAIAN MANFAAT LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG
SUMBERDAYA HUTAN ........................................................................................................ 628
viii
EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP RENCANA TATA
RUANG WILAYAH SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LIMPASAN
DI SUB DAS NGALE
Arina Miardiniadan Pranatasari Dyah Susantia
a
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Surakarta
Jl. A. Yani – Pabelan, Kartasuro PO BOX 295 Surakarta 57102
Telp. (0271) 716709, Fax (0271) 716959
E-mail: arinamiardini@gmail.com
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir dengan
berbagai komponen penyusunnya. Adanya pemanfaatan lahan yang intensif dan ekspolitatif serta pertumbuhan
penduduk yang tinggi dapat menurunkan daya dukung DAS. Hal ini akan berpengaruh pada ketidakseimbangan
hidrologi. Perubahan tata guna lahan dapat menyebabkan peningkatan banjir limpasan. Sub DAS Ngale
merupakan bagian dari DAS Solo yang memiliki potensi limpasan tinggi-ekstrim sebesar 16,57% dengan nilai
koefisien aliran sebesar 0,56. Permasalahan pada Sub DAS ini disebabkan adanya alih fungsi lahan pada
kawasan perbukitan atau pegunungan. Kabupaten Ngawi sebagai daerah administrasi dalam Sub DAS Ngale
telah membuat perencanaan wilayah dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun belum
sepenuhnya diterapkan.Tujuan penelitian adalah mengevaluasi penggunaan lahan existing terhadap RTRW
sebagai upaya pengendalian limpasan di Sub DAS Ngale.Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa peta
RBI skala 1:25000, Landsat 8 116/65, peta limpasan, peta pola ruang dan dokumen RTRW Kabupaten Ngawi
tahun 2011. Analisis yang dilakukan berupa analisis spasial penggunaan lahan existing dan analisis
ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang RTRW. Pola ruang Sub DAS Ngale terdiri dari kawasan
budidaya sebesar 16924,02 ha (85,96%) dan kawasan lindung sebesar 2760,30 ha (14,02%). Hasil keserasian
penggunaan lahan dengan pola ruang menunjukkan bahwa sebesar 13995,86 ha (71,10%) serasi, 3148,83 ha
(15,99%) belum serasi dan 2539,63 ha (12,90%) tidak serasi.Pada kawasan lindung terdapat 92,89%
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan pola ruang dan hanya 7,11% yang serasi. Upaya pengendalian
limpasan dilakukan pada daerah yang teridentifikasi tidak serasi pada kawasan lindung sebesar 2559,30 ha.
Berdasarkan simulasi, dapat diketahui apabila RTRW diterapkan dapat mengurangi limpasan tinggi-ekstrim
sebesar 1,33% atau potensi limpasan tinggi-ekstrim menjadi 15,22% dengan nilai koefisien aliran sebesar 0,43.
Upaya pengendalian limpasan dilakukan melalui penatagunaan lahan sesuai arahan RTRW menggunakan
pendekatan aspek manajemen dan teknis.
Kata kunci: penggunaan lahan, pola ruang, RTRW, sub DAS Ngale, Limpasan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen yang
saling berinteraksi. Salah satu komponen ekosistem dalam DAS yaitu sumberdaya lahan. Adanya
pemanfaatan lahan yang intensif dan ekspolitatif dapat menurunkan daya dukung dan fungsi
lingkungan DAS yang menyebabkan lahan menjadi terdegradasi. DAS mengalami banyak tekanan
berupa pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin intensif dan eksploitatif seiring dengan
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Tekanan-tekanan tersebut dapat menurunkan daya dukung
299
DAS yang nantinya akan berdampak pada ketidakseimbangan hidrologi dalam DAS. Salah satu akibat
ketidakseimbangan hidrologi dalam DAS adalah terjadinya banjir. Banjir merupakan indikator
kerusakan DAS yang disebabkan oleh menurunnya infiltrasi akibat berkurangnya penutupan vegetasi
dan ketidaksesuaian penggunaan lahan (Sinukaban 2007). Perubahan tata guna lahan dalam DAS
merupakan salah satu penyebab peningkatan kejadian banjir terutama banjir limpasan. Hal senada
juga disampaikan Saleh, (2011) bahwa perubahan tata guna lahan akan berdampak pada peningkatan
aliran permukaan langsung serta menurunnya resapan air ke dalam tanah yang memicu banjir di
musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Sub DAS Ngale merupakan bagian dari DAS Solo yang berada di Kabupaten Ngawi,
mencakup 7 kecamatan yaitu Jogorogo, Kedungalar, Kendal, Ngawi, Ngrambe, Paron dan Pitu.
Berdasarkan peta limpasan dari BPDAS Solo (2012) kelas limpasan ekstrim menunjukkan luasan
sebesar 159,93 ha, normal sebesar 16423,49 ha dan tinggi sebesar 3100,90 ha. Kelas limpasan tinggi-
ekstrim terdapat pada hulu sub DAS Ngale di Lereng Gunung Lawu sebelah utara. Berdasarkan data
RTRW (2011) telah terjadi alih fungsi lahan pada kawasan hutan lindung dan kawasan resapan air
yang masuk sub DAS Ngale yaitu antara lain di Kecamatan Kendal, Jogorogo dan Ngrambe. Berdasar
data BPDAS Solo (2011) bahwa luasan lahan potensial kritis-sangat kritis di sub DAS Ngale yaitu
sebesar 7835,84 ha atau 39,81% dari total luas sub DAS Ngale.
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat mengganggu keseimbangan
dalam DAS, sehingga diperlukan sebuah perencanaan wilayah untuk mencegah terjadinya
ketidakseimbangan antara penggunaan lahan dan kebutuhan lahan. Perencanaan wilayah
menghasilkan produk berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang digunakan sebagai
pedoman pembangunan terutama terkait dengan pengembangan struktur ruang dan pembentukan pola
ruang. Menurut Harmantyo (2011) RTRW merupakan potret kondisi masa depan yang diharapkan
oleh suatu wilayah sekaligus untuk dapat mengetahui gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal
inilah yang menyebabkan dokumen ini menjadi penting terutama untuk daerah otonom bagi
pengembangan wilayahnya.
Kabupaten Ngawi yang merupakan daerah administrasi dalam Sub DAS Ngale telah membuat
perencanaan wilayah tersebut dalam bentuk RTRW, terutama pada bagian rencana pola ruang, namun
arahan tersebut belum diterapkan sepenuhnya. Permasalahan tidak mantapnya tata ruang wilayah
menyebabkan penggunaan lahan seringkali tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang ada.
Sebagai implikasinya dari persoalan tersebut menyebabkan terjadinya konflik dalam penggunaan
lahan. Tata ruang yang tidak mantap juga menyebabkan perencanaan dalam program rehabilitasi
hutan dan lahan yang dihasilkan tidak optimal dan lestari. Kerusakan lingkungan akan timbul karena
terganggunya keseimbangan lingkungan akibat dari pemanfaatan tata ruang yang mengabaikan aspek
perencanaan (Noor, 2015).
Tujuan penelitian adalah mengevaluasi penggunaan lahan existing dan pola ruang RTRW
DAS Ngale sebagai upaya pengendalian limpasan. Pengendalian banjir di Sub DAS Ngale dilakukan
melalui penatagunaan lahan dengan konservasi penggunaan lahan yang didasarkan pada pola ruang
dalam RTRW, sehingga diharapkan dengan adanya keserasian antara penggunaan lahan existing
dengan RTRW maka banjir akibat limpasan dapat dikurangi.
METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Sub DAS Ngale yang merupakan bagian dari DAS Solo. Sub DAS
Ngale memiliki luasan sebesar 19684,32 ha. Secara administrasi Sub DAS Ngale terdapat di
Kabupaten Ngawi yang mencakup 7 Kecamatan dan 50 desa. Batas sub DAS Ngale:
Sebelah utara : Sub DAS Kaligede dan Sub DAS Ngantepan
Sebelah timur : Sub DAS Kali Madiun
Sebelah barat : Sub DAS Bibis dan sub DAS Sidowayah
Sebelah selatan : Sub DAS Grompol dan Sub DAS Samin
300
Ngawi tahun 2010-2030, Citra Landsat 8 tahun 2015 Path/row 119/65. Alat yang digunakan antara
lainNotebook ASUS Core i3 kapasitas RAM 6 GB dan harddisk 500 GB, Software Arc GIS 10.1 dan
Software Ms.Word dan Ms. Excel.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara secara kuantitatif dengan tabulasi dan kualitatif
deskriptif.Analisis ketidaksesuaian terhadap RTRW dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar
tingkat ketidaksesuaian antara penggunaan lahan terhadap RTRW. Analisis dilakukan dengan
melakukan overlay peta penggunaan lahan 2015 dengan peta rencana pola ruang. Hasil yang
diperoleh dalam analisis ini adalah tabel ketidakserasian penggunaan lahan. Hasil analisis
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu serasi, tidak serasi, dan belum serasi. Serasi berarti penggunaan lahan
yang ada sesuai dengan arahan RTRW, tidak serasi berarti penggunaan lahan yang ada tidak sesuai
arahan RTRW. Penggunaan lahan dianggap belum serasi apabila peruntukan lahan masih belum serasi
dengan RTRW namun masih bisa disesuaikan. Penentuan penggunaan lahan menjadi serasi, tidak
serasi, dan belum serasi berfungsi dalam evaluasi dan monitoring pelaksanaan arahan RTRW. Hasil
evaluasi dan monitoring dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah kabupaten
Ngawi dalam perencanaan penentuan kebijakan terutama dalam upaya pengendalian limpasan.
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di sub DAS Ngale terdiri dari 8 klasifikasi yang di dominasi oleh Sawah
irigasi sebesar 34,82%. Data penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.Selain sawah irigasi
terdapat juga sawah tadah hujan sebesar 17,52% dari luas sub DAS Ngale. Persawahan tersebar di
kawasan perkotaan maupun perdesaan. Komoditi pertanian terbesar di Kabupaten Ngawi adalah padi,
jagung dan kedelai yang terkonsentrasi di beberapa lokasi terutama di Sub DAS Ngale yaitu sebagian
wilayah Kecamatan Kedunggalar, Paron, dan Kecamatan Ngrambe. Banyak terjadi alih fungsi lahan
khususnya sawah menjadi kawasan terbangun, yang berarti bahwa semakin berkurangnya lahan
pertanian.
Pemukiman merupakan penggunaan lahan kedua terbesar setelah sawah irigasi yaitu sebesar
25,59% dari luas sub DAS Ngale. Kawasan pemukiman pada dasarnya dapat dibagi menjadi
duakelompok yakni pemukiman perdesaan dan perkotaan. Kawasan pemukiman di sub DAS Ngale
yang termasuk pemukiman pedesaan yang terdapat di Kecamatan Jogorogo, Ngrambe dan Kenda.
Pada kawasan perkembangan pemukiman harus diarahkan membentuk cluster denganpembatasan
pengembangan permukiman pada kawasan lindung.
Tegalan di Sub DAS Ngale sebesar 8,75% dari luas sub DAS Ngale merupakan lahan kering
yang letaknya terpisah dengan pemukimanbiasanya ditanami tanaman semusim dengan proporsi yang
lebih besardibandingkan tanaman berkayu maupun tahunan. Jenis tanaman yang terdapat ditegalan
antara lain jenis tanaman palawija (jagung, ketela pohon dan kedelai), beberapa tempat tegalan juga
ditanami tebu, sedangkan tanaman tahunan berupa jati, mahoni, randu, dan tanaman buah.
301
Potensi tutupan vegetasi rapat-sangat rapat terdapat pada tutupan lahan kebun dan hutan. Luas
Perkebunan sub DAS Ngale sebesar 13,10% dari luas sub DAS Ngale. Potensi komoditas kebun di
sub DAS Ngale antara lain: kelapa (di Kecamatan Jogorogo dan Kecamatan Paron), tebu, tembakau
virginia, tembakau rakyat, cengkeh dan melinjo yang mempunyai nilai jual cukup tinggi. Potensi
hutan di sub DAS Ngale sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,09%. Wilayah hutan merupakan hutan
produksi milik KPH Ngawi. Hutan produksi di Kabupaten Ngawi banyak yang mengalami kerusakan
dan tidak produktif. Perkembangan kawasan budidaya banyak yang merambah kawasan lindung atau
kawasan hutan produksi, sertakurangnya proporsi kawasan dengan peruntukan sebagai hutan lindung
di Kabupaten Ngawi.
302
Tabel 4. Pola Ruang Sub DAS Ngale
No Pola Ruang Luas (ha) Prosentase (%)
Kawasan Budidaya 16924,02 85,96
1 Kawasan Peruntukan Industri 1895,41 9,63
2 Kawasan Peruntukan Pariwisata 64,76 0,33
3 Kawasan Peruntukan Perkebunan 2534,30 12,87
4 Kawasan Peruntukan Permukiman 4638,26 23,56
5 Kawasan Peruntukan Pertanian 7791,29 39,58
Kawasan Lindung 2760,30 14,02
6 Hutan Lindung 1714,41 8,71
7 Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya 611,88 3,11
8 Kawasan Perlindungan Setempat 271,90 1,38
9 Sungai 162,10 0,82
Jumlah 19684,32 100,00
Sumber: Pola Ruang Kabupaten Ngawi,2011
Pola ruang untuk kawasan budidaya di sub DAS Ngale terdiri atas lima peruntukan yaitu
industri, pariwisata, perkebunan, permukiman dan pertanian. Pola ruang pada kawasan budidaya
didominasi oleh kawasan pertanian. Kawasan peruntukan pertanian meliputi: kawasan pertanian
pangan berkelanjutan, tegalan (tanah ladang), lahan kering, dan hortikultura. Kawasan tegalan (tanah
ladang) terletak di seluruh kecamatan terutama pada daerah yang kurang mendapatkan air dan
mengandalkan air hujan (tadah hujan). Kawasan hortikultura terletak di Kecamatan Kendal, Ngrambe
dan Jogorogo. Pola ruang terbesar kedua yaitu kawasan permukiman. Permukiman tersebar merata
pada seluruh sub DAS Ngale terutama pada bagian utara sedangkan pada bagian selatan cenderung
mengelompok. Kawasan peruntukan industri terdiri dari kawasan industri anyaman bambu, industri
batu bata dan industri parut kelapa. Perkebunan di sub DAS Ngale terletak menyebar di Kecamatan
Ngrambe, Jogorogo dengan jenis komoditas tembakau, teh, kopi, jahe, cengkeh, coklat, salak.
Kawasan peruntukan pariwisata alamyaitu Bumi Perkemahan Selondo seluas 64,76 ha.
Pola ruang kawasan lindung di sub DAS Ngale terdiri dari empat peruntukan yaitu hutan
lindung, kawasan pelestarian alam dan cagar budaya, perlindungan setempat dan sungai. Kawasan
hutan lindung terletak pada kawasan hutan dikaki Gunung Lawu Kecamatan Jogorogo, Ngrambe dan
Kendal dengan luas kurang lebih 1714,41 ha. Kawasan sempadan sungai terletak pada seluruh
kecamatan yang dilewati oleh sungai Bengawan Solo dan Kali Madiun termasuk sistem sungai
didalamnya. Kawasan cagar budaya terdapat di Museum Trinil (Desa Kawu Kecamatan
Kedunggalar), Benteng Van Den Bosch (Kelurahan Pelem Kecamatan Ngawi), Arca banteng (Dusun
Reco Banteng Desa Wonorejo Kecamatan Kedunggalar) dan Candi Pandem (Dusun Pandem
DesaKrandegan Kecamatan Ngrambe)
Tabel 5. Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang RTRW Sub DAS Ngale
No Pola Ruang Penggunaan Lahan Keserasian Luas (ha) Prosentase
(%)
Kawasan Lindung
1 Sungai Air Tawar Serasi 158,81 0,81
2 Hutan Lindung Belukar Tidak Serasi 250,16 1,27
3 Kawasan Perlindungan Setempat Belukar Tidak Serasi 2,26 0,01
4 Hutan Lindung Hutan Serasi 17,21 0,09
5 Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Kebun Tidak Serasi 66,94 0,34
6 Hutan Lindung Kebun Tidak Serasi 839,13 4,26
7 Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Kebun Tidak Serasi 3,97 0,02
8 Kawasan Perlindungan Setempat Kebun Serasi 18,37 0,09
9 Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Pemukiman Tidak Serasi 260,42 1,32
10 Kawasan Perlindungan Setempat Sawah Irigasi Tidak Serasi 77,13 0,39
303
No Pola Ruang Penggunaan Lahan Keserasian Luas (ha) Prosentase
(%)
11 Hutan Lindung Sawah Tadah Hujan Tidak Serasi 112,95 0,57
12 Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Sawah Tadah Hujan Tidak Serasi 227,19 1,15
13 Kawasan Perlindungan Setempat Sawah Tadah Hujan Tidak Serasi 73,52 0,37
14 Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Tanah Ladang Tidak Serasi 49,26 0,25
15 Hutan Lindung Tanah Ladang Tidak Serasi 480,56 2,44
16 Kawasan Perlindungan Setempat Tanah Ladang Tidak Serasi 96,15 0,49
Kawasan Budidaya
17 Kawasan Peruntukan Pariwisata Belukar Belum Serasi 1,65 0,01
18 Kawasan Peruntukan Industri Belukar Belum Serasi 3,41 0,02
19 Kawasan Peruntukan Perkebunan Belukar Belum Serasi 12,16 0,06
20 Kawasan Peruntukan Pariwisata Kebun Serasi 12,24 0,06
21 Kawasan Peruntukan Industri Kebun Belum Serasi 188,14 0,96
22 Kawasan Peruntukan Perkebunan Kebun Serasi 1454,72 7,39
23 Kawasan Peruntukan Permukiman Pemukiman Serasi 4614,09 23,44
24 Kawasan Peruntukan Industri Sawah Irigasi Belum Serasi 937,28 4,76
25 Kawasan Peruntukan Permukiman Sawah Irigasi Belum Serasi 153,65 0,78
26 Kawasan Peruntukan Pertanian Sawah Irigasi Serasi 5421,08 27,54
27 Kawasan Peruntukan Pariwisata Sawah Tadah Hujan Belum Serasi 49,74 0,25
28 Kawasan Peruntukan Industri Sawah Tadah Hujan Belum Serasi 672,08 3,41
29 Kawasan Peruntukan Pertanian Sawah Tadah Hujan Serasi 2299,34 11,68
30 Kawasan Peruntukan Industri Tanah Ladang Belum Serasi 78,22 0,40
31 Kawasan Peruntukan Perkebunan Tanah Ladang Belum Serasi 1051,32 5,34
32 Kawasan Peruntukan Permukiman Tanah Ladang Belum Serasi 1,19 0,01
Jumlah 19684,32 100,00
Sumber: Hasil analisis, 2016.
Hasil keserasian penggunaan lahan dengan pola ruang menunjukkan bahwa sebesar 13995,86
ha (71,10%) penggunaan lahan sudah serasi dengan pola ruang di sub Das Ngale, sedangkan 3148,83
ha (15,99%) belum serasi dan 2539,63 ha (12,90%) tidak serasi. Sebaran kriteria keserasian pada Sub
DAS Ngale dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.Pada kawasan budidaya 81,42% sudah serasi
dan 18,57% belum serasi. Keserasian terbesar di kawasan budidaya terdapat pada kawasan
peruntukan pertanian dan kemudian kawasan permukiman. Namun pada Tabel 3 terdapat hal menarik
mengenai proporsi kesesuaian penggunaan lahan dan pola ruang pada kawasan budidaya dan kawasan
lindung. Pada kawasan lindung terdapat 92,89% penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan pola
ruang dan hanya 7,11% yang serasi. Pada kawasan lindung yang seharusnya berfungsi lindung pada
kondisi existing yaitu berupa sawah tadah hujan, ladang, permukiman, kebun dan belukar. Akibat
adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan ini merupakan salah satu penyebab peningkatan kejadian
banjir terutama banjir limpasan.
304
Gambar 1. Peta Keserasian Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Sub DAS Ngale
305
menjadi pemukiman ataupun tegalan dan lahan pertanian. Dengan meningkatnya luas lahan terbuka
akan meningkatkan nilai koefisien aliran berarti prosentase air hujan yang menjadi limpasan (air
permukaan) menjadi lebih besar. Peningkatan volume air permukaan dalam konteks hidrologi DAS
menunjukkan kesehatan DAS cenderung memburuk. Artinya semakin tinggi aliran permukaan maka
potensi air yang meresap ke dalam tanah berkurang, sehingga peluang bencana banjir akan meningkat,
untuk itu diperlukan upaya pengendalian limpasan. Upaya pengendalian limpasan dapat dibagi dalam
2 aspek, yaitu manajemen dan teknis.
a. Aspek Manajemen
Manajemen pengelolaan limpasan merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai
upaya mitigasi terjadinya banjir. Beberapa hal yang selama ini menjadi hambatan dalam
penanggulangan bencana banjir di Indonesia adalah peraturan perundang-undangan daerah yang
terbatas, kebijakan pemerintah daerah yang juga sangat terbatas, partisipasi masyarakat sebagai
bagian dari stakeholders yang rendah, serta tergantungnya sumber pendanaan dari APBN dan APBD
(Direktorat Pengairan dan Irigasi, 2016). Dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah
dan perubahannya UU No 32 tahun 2004,tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, akan
membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di sub DAS Ngale berada di
pemerintah kabupaten Ngawi, termasuk kewenangan dalam penataan ruang. Atas dasar itu, produk
rencana tata ruang di masa depan merupakan acuan bagi bupati dalam penyelenggaraan pembangunan
daerah.
Langkah pertama yang dapat diambil dalam aspek manajemen pengelolaan limpasan ini
adalah revisi atau penyusunan regulasi baru. Revisi atau penyusunan regulasi baru terkait perencanaan
pola ruang sekaligus evalusi terhadap penggunan lahan sangat diperlukan dalam pengendalian
limpasan. Revisi atau regulasi baru ini dapat disusun berdasarkan hasil evaluasi penggunaan lahan
terhadap RTRW yang telah ada. Adanya perencanaan pengelolaan DAS terpadu harus sejalan dengan
RTRW sehingga perlu adanya internalisasi pada tiap program dan strategi pengelolaannya. Pada
kriteria yang tidak sesuai dan belum sesuai sebaiknya diupayakan agar sesuai dengan perencanaan
sebelumnya. Penyesuaian tersebut dapat dituangkan dalam regulasi baru dengan memperhatikan
beberapa hal, terutama aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan yang ada di masyarakat. Strategi
penataan ruang di sub DAS Ngale dapat dilakukan melalui: 1) Pemantapan tata ruang terutama fungsi
lindung, 2) Dukungan perundang-undangan dan sanksi, 3) Mengurangi konflik pemanfaatan ruang
Diperlukan pula kerjasama yang baik antar stakeholders harus terjalin dalam proses perencanaan,
pelaksanaan maupun pengawasan dalam setiap kebijakan yang akan diambil.
Berdasarkan hasil analisis ini maka strategi penataan ruang yang dilakukan yaitu pemantapan
tata ruang melalui pengoptimalan fungsi lindung. Dwiyanto (2009) menyampaikan bahwa penataan
ruang suatu wilayah, harus dimulai dari identifikasi kawasan yang secara alami harus diselamatkan
dan dijaga kelestariannya seperti kawasan lindung dan kawasan yang secara alami rentan terhadap
berbagai bencana seperti banjir maupun tanah longsor. Hasil penelitian Ginoga et al.,(2005) bahwa
fungsi ekologis hutan lindung sebagai kawasan penyangga untuk mencegah berbagai bencana masih
belum diapresiasi secara luas. Hal senada juga disampaikan oleh Dwiyanto (2009) bahwa tingginya
frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di daerah perkotaan disebabkan oleh tingginya volume run
off serta terbatasnya daerah resapan air. Dengan demikian, untuk mengurangi limpasan permukaan
sebagai penyebab banjir, maka kawasan lindung dan resapan air harus dioptimalkan dengan
manajemen penataan kawasan lindung yang tepat. Perlindungan kawasan lindung ini, juga
dimaksudkan untuk melindungi kawasan hulu suatu DAS. Fokus terhadap perencanaan daerah hulu
serta hilir pada suatu DAS, menurut Adianti dan Maryati (2015) memiliki keterkaitan biofisik melalui
daur hidrologi, karena semakin banyak air yang terserap di bagian hulu, maka air limpasan yang
mengalir menuju hilir dapat dikurangi sehingga potensi banjir juga menurun.
Berdasarkan perhitungan limpasan di sub DAS Ngale bahwa jika penggunaan lahan existing
sesuai dengan pola ruang terutama pada kawasan lindung, maka nilai limpasan pada kriteria ekstrim
akan menurun sebesar 5,59 ha (0,03%), kriteria limpasan tinggi akan berkurang sebesar 255,01 ha
(1,29%) dan kriteria limpasan normal akan meningkat sebesar 260,60 (1,33%). Demikian pula dengan
nilai koefisien aliran yang menurun dari koefisien limpasan existing 0,56 dengan kriteria kelas
limpasan Tinggi menjadi 0,43 dengan kriteria kelas limpasan Normal, sehingga bisa nilai koefisien
aliran turun sebesar 0,13. Tabel 4 menunjukkan simulasi nilai limpasan di Sub DAS Ngale
306
Tabel 4.Simulasi Limpasan Pada Sub DAS Ngale
No Limpasan Luas (ha) Prosentase Simulasi Luas (ha) Prosentase
(%) Limpasan (%)
1 Ekstrim 159,93 0,81 Ekstrim 154,34 0,78
2 Normal 16423,49 83,43 Normal 16684,09 84,76
3 Tinggi 3100,90 15,75 Tinggi 2845,89 14,46
Jumlah 19684,32 100,00 19684,32 100,00
Sumber: Hasil Analisis, 2016
b. Aspek Teknis
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi limpasan permukaan
melalui aspek teknis ini. Meskipun demikian diperlukan regulasi yang kuat sebagai landasan
pelaksanaan pengembangan teknis pengendalian limpasan. Teknik pengelolaan DAS yang memenuhi
kaidah konservasi tanah dan air akan menurunkan aliran permukaan (quick flow) dan menaikan aliran
dasar (base flow) serta memperpanjang masa aliran dasar secara substansial (Sinukaban et al., 1998
dalam Sinukaban, 2007). Secara teknis beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pengendalian
limpasan diantaranya:
a. Konservasi tanah dan air dengan metode vegetatif
Konservasi tanah dan air dapat dilakukan untuk membantu pengendalian limpasan
permukaan. Konservasi yang mudah dilakukan adalah dengan metode vegatatif. Menurut Wibowo
(2003) vegetasi merupakan cara terbaik dalam konservasi lahan karena akan melindungi tanah dari
pukulan air hujan serta memperbesar kemampuan lahan untuk peresapan air dalam tanah yang dapat
dilakukan dengan melakukan reboisasi kawasan hutan, pengembangan hutan rakyat dan hutan
kemasyarakatan, jalur hijau, agroforestry, penanaman rumput-rumputan, pembuatan taman, pagar
hidup, strip croping, contour farming, multiple croping (tumpangsari) serta pergiliran tanaman.
Sukaryorini dan Arifin (2007) menambahkan bahwa serasah tanaman atau rerumputan yang menutup
permukaan tanah akan menyebabkan penurunan kecepatan limpasan permukaan serta meningkatkan
kapasitas infiltrasi dan perkolasi tanah.
b. Bangunan untuk memperlambat limpasan
Bangunan yang dapat digunakan untuk memperlambat limpasan permukaan sangat diperlukan
untuk mengurangi kecepatan arus limpasan. Beberapa bangunan yang dapat digunakan untuk
memperlambat limpasan permukaan menurut Wibowo (2003) diantaranya adalah pembuatan teras,
parit atau selokan serta dam penahan. Bangunan-bangunan tersebut sebaiknya dibangun menyebar di
berbagai wilayah terutama daerah pertanian dan perkebunan.Selain bangunan tersebut, pembuatan
tanggul pada wilayah yang rawan banjir juga sangat disarankan.
c. Pemanenan air hujan
Pemanenan air hujan di berbagai tempat secara massal dapat membantu mengurangi limpasan
permukaan. Pembuatan embung atau bak penampungan air, selain bermanfaat untuk berbagai
keperluan, juga dapat membantu mengurangi volume air limpasan. Pemanenan air hujan selain
berfungsi menyediakan air saat kemarau, juga dapat mengurangi resiko banjir (Abdurachman.,et al,
2008).
d. Bangunan jebakan air
Bangunan jebakan air yang sering digunakan adalah pembuatan sumur resapan dan biopori.
Sumur resapan menurut Arafat (2008)memiliki prinsip kerja yang sederhana, yaitu menyalurkan dan
menampung air hujan agar air memiliki waktu yang lebih lama di permukaan sumur sehingga air
sedikit demi sedikit dapat meresap kedalam tanah, dimana fungsi utamanya adalah memperbesar
resapan air hujan ke dalam tanah dan memperkecil aliran permukaan sebagai penyebab banjir.
Demikian juga untuk biopori seperti disampaikan oleh Pungut dan Widyastuti, (2013) bahwa
pembuatan biopori berperan memperkecil debit limpasan permukaan langsung sehingga tidak terjadi
genangan diatas permukaan tanah. Pembangunan biopori dan sumur resapan tersebut, sebaiknya
dibangun secara massal, terutama pada areal perumahan atau permukiman penduduk, sehingga akan
lebih efektif mengurangi limpasan permukaan.
KESIMPULAN
307
Sub DAS Ngale merupakan bagian dari DAS Solo yang memiliki potensi limpasan tinggi-
ekstrim sebesar 16,57%dengan nilai koefisien aliran sebesar 0,56. Permasalahan utama di sub DAS
Ngale adalah adanya alih fungsi lahan. Pola ruang Sub DAS Ngale terdiri dari kawasan budidaya
sebesar 16924,02 ha (85,96%) dan kawasan lindung sebesar 2760,30 ha (14,02%). Hasil keserasian
penggunaan lahan dengan pola ruang menunjukkan bahwa sebesar 13995,86 ha (71,10%) serasi,
3148,83 ha (15,99%) belum serasi dan 2539,63 ha (12,90%) tidak serasi. Pada kawasan lindung
terdapat 92,89% penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan pola ruang dan hanya 7,11% yang serasi.
Upaya pengendalian limpasan dilakukan pada daerah yang teridentifikasi tidak serasi pada kawasan
lindung sebesar2559,30 ha. Berdasarkan simulasi, dapat diketahui apabila RTRW diterapkan dapat
mengurangi limpasan tinggi-ekstrim sebesar 1,33% atau potensi limpasan tinggi-ekstrim menjadi
15,22% dengan nilai koefisien aliran sebesar 0,43. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mengurangi limpasan permukaan sebagi sumber utama banjir menggunakan 2 aspek yaitu aspek
manajemen dan teknis. Aspek manajemen meliputi: revisi atau penyusunan regulasi baru, kerjasama
antar stakeholders dan pengoptimalan kawasan lindung dan kawasan resapan air, sedangkan aspek
teknis meliputi konservasi tanah dan air dengan metode vegetatif, bangunan untuk memperlambat
limpasan, pemanenan air hujan dan bangunan jebakan air. Diharapkan dengan adanya upaya-upaya
tersebut, pengelolaan limpasan di Sub DAS Ngale dapat teratasi.
REFERENSI
A. Abdurachman, A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan LahanKering
Mendukung Pengadaan PanganNasional.Jurnal Litbang Pertanian, 27(2): 43-49.
Adianti. P. Dan Maryati. S. 2015. Pengurangan Limpasan Air Permukaan Dengan Memanfaatkan Potensi Green
Infrastructure di DAS Hulu dan Persepsi Aktor Terhadap Potensi Pengembangan Green
Infrastructure. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota BSAPPK V4N2 : 355-360.
Arafat. Y. 2008. Reduksi Beban Aliran Drainase Permukaan Menggunakan Sumur Resapan. Jurnal SMARTek,
Vol. 6 NO. 3 Agustus 2008: 144-153.
Direktorat Pengairan dan Irigasi. 2016. Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia.
http://www.bappenas.go.id/files/5913/4986/1931/2kebijakan-penanggulangan-banjir-di-
indonesia__20081123002641__1.pdf.Diakses pada tanggal 1 April 2106.
Dwiyanto. A. 2009. Kuantitas Dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Di Permukiman Perkotaan. Jurnal TEKNIK –
Vol. 30 No. 2: 88-93.
Fitriyanto. A. M., Tjahjono. H., Suhandini. P. 2013.Evaluasi Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Semarang Tahun 2011 –2031 (Untuk Kecamatan Genuk, Pedurungan,Dan
Gayamsari). Jurnal Geo Image 2 (2) 2013: 43-49.
GinogaK., Lugina. M., dan Djaenudin. D. 2005. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung.Jurnal Penelitian
Sosial & Ekonomi Vol. 2 No. 2 Juli Th 2005, hal 203-231
Harmantyo.D. 2011.Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah Dan Pola Perkembangan Wilayah Di
Indonesia. Seminar Nasional dan PIT – IGI tanggal 21-23 Oktober 2011 di Bali.
Noor. M. F. 2015. KonsepsiPenggantianKerugian AtasPemberian Izin Mendirikan Bangunan (Imb) Yang Tidak
Sesuai dengan RTRW (Kajian terhadap pasal 37 Undang-Undang No.26 tahun 2007tentang
penataan ruang).Artikel Ilmiah. Universitas Brawijaya. Malang. 26 p.
Pungut dan Widyastuti. S. 2013. Pengaruh Artificial Recharge Melalui Lobang Resap Biopori Terhadap Muka
AirTanah. Jurnal Teknik Waktu. Vol 1 (01) Januari: 15-28.
Saleh Chairil. 2011.Kajian Penanggulangan Limpasan PermukaanDengan Menggunakan Sumur Resapan(Studi
Kasus di Daerah Perumnas Made KabupatenLamongan). Media Teknik Sipil, Volume 9, Nomor 2,
Agustus 2011: 116 – 124
SukaryoriniP. dan Arifin.M. 2007.Pengaruh Modeling Macam Tanaman Terhadap Nilai Erosi di Lahan
Pertanian. Jurnal Pertanian MAPETA Vol. 9.No. 2. April 2007: 96-10.
Wibowo. M. 2003. Teknologi Konservasi Untuk Penanganan Kawasan Resapan Air Dalam Suatu Daerah Aliran
Sungai.Jurnal Teknik Lingkungan No. 4(1): 8-13.
308