Anda di halaman 1dari 9

PRAKTIKUM SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ACARA VI

PETA KONTUR

Dwi Prasetya Adhi (20405244009)/BI

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum sistem informasi geografi acara enam dengan judul acara Peta
Kontur adalah sebagai berikut.
1. Mahasiswa dapat membuat Peta Kontur dari data Digital Elevation Model
2. Mahasiswa dapat menganalisis kemiringan lereng pada Peta Kontur.

B. Alat dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan praktikum acara enam dengan judul acara Peta Kontur adalah
sebagai berikut.
a. Seperangkat komputer dengan spesifikasi yang memadai
b. ArcGIS 10.6.1.
2. Bahan
Bahan yang digunakan praktikum acara enam dengan judul acara Peta Kontur adalah
sebagai berikut.
a. Data shapefile batas administrasi Kabupaten Gunungkidul
b. Data raster Digital Elevation Model Kapanewon Nglipar
c. Data raster Hillshade Kapanewon Nglipar

Gambar 6.1 Data Hillshade Kapanewon Nglipar

C. Dasar Teori
Geographic Information System (GIS) merupakan sebuah sistem informasi yang didesain
untuk mengolah sumber data spasial. Jenis data dalam bentuk peta dapat dimasukkan ke dalam
GIS terdiri dari berbagai macam. Salah satu sumber data masukan GIS adalah Digital Elevation
Model (DEM). DEM merupakan penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari
teknik pengumpulan datanya dapat dibedakan dalam pengukuran secara langsung pada objek
(terestris), pengukuran pada model objek dengan wahana pesawat udara (fotogrametris), dan
dari sumber data peta analog (digitasi). Teknik pembentukan DEM selain dari terestris,
fotogrametris dan digitasi dapat juga dilakukan dengan menggunakan citra yang
direkonstrusikan dalam bentuk model stereo (Wibowo, 2007 dalam Hidayat et al., 2016). Kualitas
DEM dilihat dari tingkat akurasi elevasi tiap pixel (keakuratan absolut) dan tingkat akurasi
morfologi yang ditampilkan (keakuratan relatif). Menurut Irfan Hidayat et al., (2016) terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penentuan kualitas DEM, yaitu:
a. Ketelitian (accuracy), ditunjukkan dengan nilai RMSE (Root Mean Square Error), rata-rata
absolut atau standar deviasi,
b. Ketelitian dalam perekaman (fidelity), terkait dengan konsep generalisasi dan resolusi,
ditentukan oleh : Perubahan medan yang tidak mendadak : ukuran grid, spasi titik dan akurasi
planimetris, Tingkat kepercayaan (confidence), pengukuran untuk kualitas semantic data,
Validitas (validity), tanggal sumber data, verifikasi data seperti cek lapangan, perubahan
bentuk di lapangan
c. Tampilan grafis (appearance of graphics), gradasi warna, simbol penggunaan data DEM
dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti pembuatan peta DAS (Daerah
Aliran Sungai), peta RBI (kontur) yang memang membutuhkan informasi ketinggian di atas
permukaan tanah. Aplikasi khusus dari penggunaan data DEM digunakan untuk
menggambarkan relief medan. Relief medan yang digambarkan menyerupai bentuk
sebenarnya di dunia nyata (real world) kemudian divisualisasikan dengan bantuan teknologi
informasi grafis (SIG) dan teknologi virtual reality dalam bentuk 3D (X, Y, dan Z).
Manfaat DEM yang paling menarik salah satunya adalah mampu memvisualisasikan tampilan
peta dalam bentuk 3 dimensi. Hal tersebut merupakan faktor pembeda yang paling menonjol
antara peta konvensional dan DEM (Indarto et al., 2012).
DTM/Digital Terrain Models menurut Jensen (2017) merupakan model tanah digital yang
memuat informasi ketinggian permukaan tanah (bare earth surface) tanpa terpengaruh oleh
vegetasi dan fitur buatan manusia lainnya. DTM disertai fitur-fitur tambahan seperti punggungan
bukit atau aliran air sungai memberikan representasi permukaan topografi yang lebih baik serta
mampu memodelkan relief lebih realistik. Pengertian lain tentang DTM merupakan DEM yang
telah ditambah dengan unsur-unsur seperti breaklines dan pengamatan selain data asli (Duantari
& Cahyono, 2017). Terdapat beberapa sumber data dalam pembentukan DTM. Contoh sumber
data yang digunakan untuk membuat data DTM yaitu dengan menggunakan data foto udara dan
data LiDAR (Light Detection and Ranging). Foto Udara adalah citra fotografi hasil perekaman dari
sebagian permukaan bumi yang diliput dari pesawat udara pada ketinggian tertentu
menggunakan kamera tertentu. Sedangkan, LiDAR adalah teknologi yang menerapkan sistem
penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang
dipasang pada wahana pesawat udara survei kecil. Salah satu metode untuk pengolahan data
foto udara untuk menghasilkan DTM yaitu dengan cara stereoplotting. Sedangkan, pembentukan
DTM dengan data LiDAR berdasarkan Triangular Irregular Network (TIN) (Rahmayudi & Rizaldy,
2016).
Proses mengolah data DEM ataupun DTM untuk menghasilkan sebuah informasi, akan
melewati beberapa proses dengan menggunakan beberapa tools di ArcGIS. Pertama ada tools
mosaic, yaitu data perekaman data citra satelit di mosaic dengan input vektor cutline. Mosaic
citra adalah proses menggabungkan atau menempelkan dua citra atau lebih yang tumpang
tindih sehingga menghasilkan citra representatif dan continue sesuai dengan yang diharapkan
(Yasada, 2020). Dengan langkah pertama yaitu menyiapkan citra utama dan satu atau lebih citra
pengisi yang telah dikoreksi radiometrik dengan path dan row yang sama, tetapi pada waktu
perekaman yang berbeda dan stripping tidak beririsan dengan citra utama. Kedua ada tools
masking, dilakukan untuk menghilangkan bagian citra yang tidak diinginkan, misalnya terdapat
bagian citra yang tertutup awan ataupun ingin menghilangkan citra di luar wilayah administrasi
suatu daerah (Wibowo et al., 2013). Secara sederhana masking dapat diartikan sebagai
pemberian penutup untuk citra, di mana bagian yang ditutup tersebut adalah bagian yang
dipertahankan.
Selanjutnya ada tools hillshade yang memodelkan bayangan relief dari data DEM dengan
mensimulasikan sinar matahari di permukaan bumi, sehingga hillshade dapat menggambarkan
bentuk topografi (Wibowo et al, 2013). Hillshade banyak digunakan untuk kepentingan estetika
dalam menentukan tata letak suatu peta. Secara arti hillshade dapat dikatakan sebagai
permukaan tiga dimensi yang merepresentasikan pencahayaan hipotetik yang dirancang sendiri
oleh pembuatnya. Terakhir ada tools contour yang digunakan untuk menginterpolasikan data
ketinggian format grid ke bentuk unsur spasial bertipe garis/vektor di mana merepresentasikan
ketinggian yang sama dengan interval tertentu (Afrisca, 2022). Fungsi tools contour adalah untuk
membuat sebuah theme line, di mana nilai dari setiap garis mewakili semua lokasi yang
bersebelahan dengan tinggi, besaran atau konsentrasi nilai apapun yang sama pada theme grid
input. Fungsi tersebut tidak berkaitan dengan pusat-pusat sel data tetapi menginterpolasi sebuah
garis yang terhubung dengan lokasi-lokasi yang besarannya sama. Garis-garis akan dihaluskan
sehingga membentuk sebuah surface contours yang realistik.
Setelah melewati proses pengolahan, akan menghasilkan sebuah informasi berupa peta
topografi. Peta topografi menampilkan gambaran permukaan bumi yang dapat diidentifikasi,
berupa objek alami maupun buatan. Peta topografi menyajikan objek-objek dipermukaan bumi
dengan ketinggian yang dihitung dari permukaan air laut dan digambarkan dalam bentuk garis-
garis kontur, dengan setiap satu garis kontur mewakili satu ketinggian. Peta topografi memiliki
dua unsur utama yaitu ukuran planimetrik (ukuran permukaan bidang datar) dan ukuran relief
(berdasarkan variasi elevasi). Ukuran planimetrik pada peta topografi digambarkan dengan
koordinat X dan Y, sedangkan ukuran relief digambarkan dalam koordinat Z. Elevasi pada peta
topografi ditampilkan dalam bentuk garis-garis kontur yang menghubungkan titik-titik di
permukaan bumi yang memiliki ketinggian yang sama.
Peta kontur adalah peta yang menggambarkan ketinggian permukaan bumi. Peta kontur
dibuat dengan mengambil citra permukaan bumi dari pesawat udara atau satelit. Proses
pencitraan akan menghasilkan sebuah gambar permukaan bumi dengan warna–warna yang
menunjukkan ketinggian tiap permukaan bumi yang dicitrakan. Gambar berwarna tersebut
kemudian diolah dengan memberi batas berupa polyline untuk tiap permukaan bumi yang
memiliki ketinggian yang sama (memiliki warna yang sama). Tiap garis dalam polyline akan
menggambarkan ketinggian permukaan bumi yang sama. Tiap polyline yang menggambarkan
ketinggian permukaan bumi tertentu disebut sebagai kontur. Kumpulan dari kontur disebut
sebagai peta kontur. Umumnya, setiap kontur dalam sebuah peta kontur akan menggambarkan
ketinggian permukaan bumi dengan kelipatan bilangan tertentu yang menunjukkan tingkat
ketelitian peta kontur tersebut (Jimmy, 2006).
Menurut Kusnadi dalam Afani et al. (2019) peta kontur adalah peta yang menggambarkan
sebagian bentuk-bentuk permukaan bumi yang bersifat alami dengan menggunakan garis-garis
kontur. Garis kontur pada peta topografi diperoleh dengan melakukan pengolahan interpolasi
linier antara titik-titik ketinggian yang berdekatan. Interpolasi linier mengasumsikan bahwa
atribut data bersifat continue di dalam ruang dan atribut ini saling berhubungan ( dependence).
Menurut Afani et al. (2019) pembentukan garis kontur menggunakan data dari pemetaan
terestris memiliki akurasi yang tinggi tetapi pengukuran terestris memiliki beberapa kelemahan
diantaranya membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang besar karena semakin luas area yang
dipetakan semakin banyak pula titik yang harus diukur. Semakin rapat titik yang diambil, maka
semakin akurat pula kontur yang dihasilkan, begitu pula sebaliknya. Titik ketinggian (spotheight)
yang diambil dalam pengukuran terestris harus memiliki kerapatan dan persebaran yang baik
untuk mengurangi kesalahan pada interpolasi kontur. Salah satu solusi untuk memperoleh data
ketinggian adalah dengan menggunakan data foto udara yang dihasilkan dari pemetaan
menggunakan Unmanned Aeral Vehicle (UAV). Data foto udara akan menghasilkan data Digital
Surface Model (DSM) yang kemudian dilakukan filterisasi untuk membentuk Digital Elevation
Model (DEM). Data DEM tersebut digunakan untuk mengekstrak spotheight untuk
mengoptimalisasi kerapatan titik ukur yang kurang.
Menurut Iskandar Muda (2008), sifat-sifat yang dimiliki garis kontur adalah sebagai berikut :
a). Berbentuk kurva tertutup; b). Tidak bercabang; c). Tidak berpotongan; d). Jika melewati sungai
menjorok ke arah hulu; e). Jika melewati permukaan jalan menjorok ke arah jalan menurun; f).Jika
melewati bangunan tidak tergambar; g). Keadaan permukaan tanah yang terjal ditunjukan
dengan garis kontur yang rapat; h). Keadaan permukaan yang landai ditunjukan dengan garis
kontur yang jarang; i). Skala peta yang disajikan menentukan penyajian interval garis kontur, jika
datar maka interval garis kontur adalah 1/1000 dikalikan dengan nilai skala peta, jika berbukit
maka interval garis kontur adalah 1/500 dikalikan dengan nilai skala peta dan jika bergunung
maka interval garis kontur adalah 1/200d ikalikan dengan nilai skala peta; j). Penyajian indeks
garis kontur pada daerah berbukit adalah setiap selisih 4 garis kontur, pada daerah datar adalah
setiap selisih 3 garis kontur, sedangkan pada daerah bergunung adalah setiap selisih 5 garis
kontur; k). Satu ketinggian tertentu diwakili satu garis kontur; l). Garis kontur yang lebih tinggi
dikelilingi garis kontur berharga lebih rendah; m). Punggungan gunung ditandai rangkaian garis
kontur yang berbentuk huruf"U"; n). Lembah/jurang ditandai suatu rangkaian garis kontur yang
berbentuk huruf "V".
Kemiringan Lereng merupakan sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi permukaan lahan
(relief), antara bidang datar tanah dengan bidang horizontal dan pada umumnya dihitung dalam
persen (%) dan derajat (°) (Syafri et al., 2015). Kemiringan lereng menjadi salah satu faktor yang
besar pengaruhnya terhadap tingkat kerawanan banjir di suatu wilayah (Sundari, 2020).
Kemiringan lereng suatu wilayah dapat direpresentasikan dalam bentuk peta digital. Peta
kelerengan atau kemiringan lereng menunjukkan kondisi tingkat kemiringan pada suatu lahan.
Selain melalui pengukuran secara langsung, nilai kelerengan juga bisa didapatkan melalui
perhitungan DEM/DTM. Pada area yang sangat luas, tentu pengukuran langsung akan
membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar. Dari hal itu, maka metode pengindraan jauh
dirasa sebagai metode yang lebih efisien waktu dan biaya (Mahmudi et al., 2015).

D. Langkah Kerja
1. Displaying data
1) Add data raster Digital Elevations Models Gunungkidul dan administrasi Kabupaten
Gunungkidul
2) Atur Coordinate System nya, Kabupaten Gunungkidul berada pada WGS 1984 UTM
Zone 49 S
3) Lakukan clip pada Kapanewon Nglipar melalui export data dari layer administrasi
Kabupaten Gunungkidul.
2. Mosaic
1) Buka ArcToolbox -> pilih Data Management Tools -> pilih Raster -> pilih Raster
Datasets -> pilih Mosaic to New Raster
2) Pada bagian Input Raster masukkan dua data DEM yang ingin disatukan
3) Bagian Output Location tambahkan new folder beri nama Nglipar dengan format .gdb
4) Lalu beri nama Mosaic_Gunungkidul
5) Bagian Pixel type pilih dengan 16_BIT_Signed
6) Untuk Number of bands isikan 1 lalu klik Ok
3. Masking
1) Klik search -> ketik masking -> pilih extract by mask -> input data raster berupa
DEM_Gunungkidul -> input raster or feature mask pilih data Kapanewon Nglipar ->
output penyimpanan Mask_DEM_Nglipar -> klik Ok
4. Hillshade
1) Buka ArcToolbox -> pilih 3D Analyst Tools -> pilih Raster Surface -> pilih Hillshade
2) Pada bagian Input raster masukkan data hasil masking Mask_DEM_Nglipar
3) Bagian Output raster pilih lokasi penyimpanan folder Nglipar.gdb dengan nama
Hillshade lalu klik Ok
5. Contour
1) Klik search -> ketik contour -> pilih Contour (Spatial Analyst)
2) Bagian Input Raster masukkan data DEM Nglipar
3) Bagian Output feature class beri nama Contour Major
4) Lalu bagian Contour Interval isi 40 lalu klik Ok
5) Buka lagi tools Contour bagian Input Raster masukkan data DEM Nglipar
6) Bagian Output feature class beri nama Contour Minor
7) Bagian Contour Interval isi 10 lalu klik Ok
6. Layouting
1) Pada bagian toolbars View pilih Layout View
2) Untuk menambahkan grid klik kanan pada layout pilih Properties dan Grids
3) Untuk menambahkan komponen peta lainnya bisa pilih melalui bagian toolbars Insert
4) Pada bagian toolbars Insert terdapat beberapa pilihan untuk menampilkan Legend,
Tittle, Text, North Arrow, Scale Bar,dan Scale Text
5) Untuk menampilkan Legenda pilih melalui Insert, pilih Default semua dan klik Next
sampai selesai kemudian klik Finish
6) Untuk melakukan perubahan teks pada legenda maka klik kanan pada legenda lalu pilih
Convert to Graphics
7) Lalu klik kanan pilih Ungroup dan klik pada teks yang ingin diubah
8) Untuk menambahkan Inset dengan memilih Insert pada bagian toolbars dan klik Data
Frame dan Add Data shapefile batas provinsi se-Indonesia
9) Lalu bisa tambahkan grid pada bagian Inset dengan klik kanan pilih Poperties dan pilih
Grids
10) Lalu ekspor hasil layouting dengan pilih File pada bagian toolbars dan pilih Export Map
Pilih format JPG/PNG dengan resolusi 300 dpi lalu beri nama dan klik Ok.
E. Hasil dan Pembahasan Praktikum
Hasil

Gambar 6.2 Peta Topografi Kapanewon Nglipar


Pembahasan
Pada praktikum kali ini mempraktikkan pembuatan peta kontur menggunakan data raster
berupa data DEM (Digital Elevetions Models). Data yang dipakai berupa data raster DEM dan
Batas Administrasi Kabupaten Gunungkidul. Data DEM yang ada dilakukan mosaic dan masking.
Mosaic dilakukan untuk menggabungkan dua data raster atau lebih yang tumpang tindih
sehingga menghasilkan citra representatif sesuai dengan yang diinginkan (Yasada, 2020).
Sedangkan pada proses masking digunakan untuk menghilangkan bagian data raster yang tidak
diinginkan, misalnya terdapat bagian citra yang tertutup awan ataupun ingin menghilangkan citra
di luar wilayah administrasi suatu daerah (Wibowo et al., 2013). Dalam hal ini feature mask-nya
berupa batas administrasi Kapanewon Nglipar.
Selanjutnya data raster yang sudah di masking dilakukan pemberian kesan topografi melalui
hillshade. Hillshade berfungsi memodelkan bayangan relief dari data DEM dengan
mensimulasikan sinar matahari di permukaan bumi, sehingga hillshade dapat menggambarkan
bentuk topografi (Wibowo et al, 2013). Secara arti hillshade dapat dikatakan sebagai permukaan
tiga dimensi yang merepresentasikan pencahayaan hipotetik. Lalu pemberian kontur melalui
tools contour. Tools tersebut digunakan untuk menginterpolasikan data ketinggian format grid
ke bentuk unsur spasial bertipe garis/vektor di mana merepresentasikan ketinggian yang sama
dengan interval tertentu (Afrisca, 2022). Fungsi tools contour yaitu untuk membuat sebuah
theme line, di mana nilai dari setiap garis mewakili semua lokasi yang bersebelahan dengan
tinggi, besaran atau konsentrasi nilai apapun yang sama pada theme grid input. Kontur interval
pada peta ini sebesar 40 m dengan skala peta 1 : 80.000. sedangkan kontur indeksnya sebesar
160 m yang didapat dari 4 kali kontur interval.
Setelah melewati proses pengolahan data, dihasilkan informasi baru berupa Peta Topografi
Kapanewon Nglipar. Peta tersebut menampilkan gambaran permukaan bumi yang dapat
diidentifikasi, berupa objek alami maupun buatan. Peta tersebut menyajikan objek-objek di
permukaan bumi dengan ketinggian yang digambarkan dalam bentuk garis-garis kontur, dengan
setiap satu garis kontur mewakili satu ketinggian. Peta topografi memiliki dua unsur utama yaitu
ukuran planimetrik (ukuran permukaan bidang datar) dan ukuran relief (berdasarkan variasi
elevasi). Ukuran planimetrik pada peta topografi digambarkan dengan koordinat X dan Y,
sedangkan ukuran relief digambarkan dalam koordinat Z. Elevasi pada peta topografi
ditampilkan dalam bentuk polyline/garis kontur yang menghubungkan titik-titik di permukaan
bumi yang memiliki ketinggian yang sama. Umumnya, setiap kontur dalam sebuah peta kontur
akan menggambarkan ketinggian permukaan bumi dengan kelipatan bilangan tertentu yang
menunjukkan tingkat ketelitian peta kontur tersebut (Jimmy, 2006).
Tabel 6.1 Hubungan Ketinggian dengan Morfografi
Ketinggian (meter) Unsur Morfografi
<50 Dataran Rendah
50 – 100 Dataran Rendah Pedalaman
100 – 200 Perbukitan Rendah
200 – 500 Perbukitan
500 – 1500 Perbukitan Tinggi
1500 – 3000 Pegunungan
>3000 Pegunungan Tinggi
Sumber: Van Zuidam, 1985.
Gambar 6.3 Pembagian Iklim Menurut Junghun

Sumber: Suastini, 2015.


Pada Peta Topografi Kapanewon Nglipar teridentifikasi bahwa elevasi tertinggi pada wilayah
tersebut sebesar 803 mdpl dan terendah dengan ketinggian 116 mdpl. Pada Kapanewon Nglipar
bagian utara memiliki elevasi yang lebih tinggi dengan kontur yang rapat. Jika dikaitkan dengan
Tabel 6.1 pembagian kelas ketingggian dihubungkan dengan morfografi menurut Van Zuidam
(1985), dapat dindikasikan bahwa pada wilayah tersebut masuk ke dalam kelas perbukitan tinggi
dengan lereng yang terjal. Oleh karena itu, wilayah tersebut memiliki potensi bencana gerakan
massa karena wilayahnya yang berbukit dan memiliki lereng yang terjal (Santoso et al., 2021).
Penggunaan lahan yang cocok pun hanya sebatas hutan lindung atupun konservasi mengingat
morfologinya berupa lereng yang terjal (Pranata & Hamzari, 2020). Dibandingkan dengan wilayah
utara, wilayah tengah dan selatan elevasinya relatif lebih rendah dengan kisaran 116-286 mdpal
dengan kerapatan kontur yang lebih renggang. Oleh karena itu, dapat diindikasikan bahwa
wilayahnya berupa perbukitan rendah dengan lereng yang relatif landai. Dengan wilayah yang
berupa perbukitan rendah ditambah lereng yang landai, menjadikan lebih banyak pilihan
peruntukkan lahannya dibandingkan dengan wilayah yang ada di bagian utara. Lalu berdasarkan
pembagian Iklim Junghun dalam Suastini (2005), vegetasi yang cocok ditanam pada wilayah utara
Nglipar berupa tembakau, kopi, dan padi. Sedangkan pada wilayah tengah dan selatan cocok
ditanami padi, tebu, dan kelapa. Akan tetapi, mengingat Kapanewon Nglipar termasuk ke dalam
kawasan karst tidak semua vegetasi tadi bisa ditanam mengingat tanahnya yang hanya bisa
ditanami vegetasi tertentu. Pertanian lahan kering bisa menjadi alternatif penggunaan lahan di
bagian perbukitan rendah. Lalu ada kemiringan lereng yang dapat teridentifikasi melalui data
DEM karena menyajikan data dalam bentuk 3 dimensi. Dari segi kemiringan lereng, dapat
teridentifikasi bagian utara Kapanewon Nglipar memiliki kemiringan yang cukup curam daripada
wilayah yang lain. Sedangkan wilayah lainnya didominasi dengan kemiringan yang relatif lebih
landai.

F. Kesimpulan
1. Elevasi pada Kapanewon Nglipar terbagi menjadi lima kelas dengan elevasi paling tinggi 803
mdpl dengan paling rendah 116 mdpl
2. Peta Topografi Kapanewon Nglipar menyajikan data berupa informasi elevasi dan kemiringan
3. Wilayah utara Nglipar memiliki elevasi yang lebih tinggi dengan wilayah lain dengan
morfografi berupa perbukitan tinggi dengan lereng yang terjal
4. Wilayah tengah dan selatan memiliki elevasi relatif lebih rendah dengan morfografi berupa
perbukitan rendah ditambah lereng yang landai
5. Kemiringan lereng secara keseluruhan dapat dikategorikan landai, hanya sebagian kecil di
bagian wilayah di utara termasuk ke dalam kelas curam
6. Penggunaan lahan yang sesuai untuk wilayah Nglipar bagian utara berupa hutan
lindung/konservasi
7. Wilayah tengah ataupun selatan memiliki banyak pilihan peruntukkan lahannya dan sebagai
alternatif dapat berupa pertanian lahan kering.

Daftar Pustaka
Afani, I. Y. N., Yuwono, B. D., & Bashut, N. (2019). Optimalisasi Pembuatan Peta Kontur Skala Besar
Menggunakan Kombinasi Data Pengukuran Terestris dan Foto Udara Format Kecil. Jurnal
Geodesi Undip Januari, 8(1), 180–189.
Afrisca, C. C. (2022). Pemanfaatan Zona Nilai Sewa Barang Milik Negara (BMN) Berbasis Spasial
Penataan Ruang. Indonesian Rich Journal, 3(1), 1-8.
Duantari, N., & Cahyono, A. B. (2017). Analisis Perbandingan DTM (Digital Terrain Model) dari LiDAR
(Light Detection and Ranging) dan Foto UDara dalam Pembuatan Kontur Peta Rupa Bumi
Indonesia. Jurnal Teknik ITS, 6(2).
Indarto, Soesanto, B., & Prasetyo, D. R. (2012). Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) dengan
Ketelitian Pixel (10 Meter x 10 Meter) Secara Manual di Sub-DAS Rawatamtu. Agrotek, 6(1), 78–
89.
Irfan Hidayat, P., Subiyanto, S., & Sasmito, B. (2016). Analisis Kualitas DEM dengan Membandingkan
Metode Orthorektifikasi Memakai Citra Resolusi Tinggi (Studi Kasus: Kecamatan Limbangan,
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah). Jurnal Geodesi Undip Oktober, 5, 22–31.
Iskandar Muda. (2008). Teknik Survei Dan Pemetaan Jilid 3 . Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional.
Jensen, J.R. (2007). Remote Sensing of the Environment : An Earth Resource Perspective . USA: Hall
series in Geographic Information Science.
Jimmy. (2006). Visualisasi Peta Kontur dalam Sudut Pandang Tiga Dimensi. Jurnal Informatika, 7(2), 77–
84.
Mahmudi, Subiyanto, S., & Yuwono, B. D. (2015). Analisis Ketelitian DEM Aster GDEM, SRTM, dan
LIDAR Untuk Identifikasi Area Pertanian Tebu Berdasarkan Parameter Kelerengan (Studi Kasus:
Distrik Tubang, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua). Jurnal Geodesi UNDIP, 4(1), 95–106.
Pranata, A., & Hamzari. (2020). Analisis Kesesuaian Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Tepo Asa Aroa di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali
Utara. Jurnal Warta Rimba, 8(1), 1-10.
Rahmayudi, A. A., & Rizaldy. (2016). Comparison of Semi Automatic DTM from Image Matching with
DTM from LIDAR. The International Archives of the Photogrammetry, 41(B3).
Santoso, D. H., Suharwanto, & Prasetyo, T. (2021). Analisis Kestabilan Lereng dan Pengelolaan Lereng
Akibat Penambangan Andesit di Sebagian Kecamatan Bagelan Purworejo. Jurnal Geografi, 18(1),
46–51.
Suastini. (2015). Klasifikasi Iklim Junghuhn. Jakarta: Angkasa Indah.
Sundari, Y. S. (2020). Kajian Luas Genangan di Wilayah Rentan Banjir Pada Sub DAS Karang Mumus
Ditinjau dari Peta Kemiringan Lereng di Kota Samarinda. Jurnal Riset Inossa, 2(1), 60–70.
Syafri, S., Tilaar, S., & Sela, R. L. E. (2015). Identifikasi Kemiringan Lereng di Kawasan Permukiman Kota
Berbasis SIG. Jurnal Spasial: Perencanaan Wilayah Dan Kota, 1(1), 70–79.
Van Zuidam, R. A. (1985). Aerial Photo – Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. The Hague: Smith Publisher.
Wibowo, T. W., Marhaento, H., Hutan, B. K. S., & No, J. A. (2013). Pelatihan Sistem Informasi Geografis
untuk Pengelolaan Kawasan Konservasi Tingkat Lanjut . Yogyakarta: Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada.
Yasada, G. (2020). Penentuan Kontur Tanah dengan Menggunakan Teknologi Global Positioning
System dan Citra Satelit Aster di Desa Manggis, Karangasem, Bali. Jurnal Manajemen Teknologi
dan Informatika, 10(2), 58-64.

Anda mungkin juga menyukai