Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


ACARA VI

PETA TOPOGRAFI KAPANEWON IMOGIRI (SLOPE)

FAHREZA YOGA ADITAMA (21405244047)/K4

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum sistem informasi geografi acara satu dengan judul acara Peta
Topografi adalah sebagai berikut.
1. Mahasiswa dapat membuat peta kontur dari data Digital Terrain Model.
2. Mahasiswa dapat menganalisis kemiringan lereng dari peta kontur
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan praktikum acara satu dengan judul acara Peta Topografi
adalah sebagai berikut.
a. Seperangkat komputer dengan spesifikasi yang memadai
b. ArcGIS 10.8
2. Bahan
Bahan yang digunakan praktikum acara satu dengan judul acara Peta Topografi
adalah sebagai berikut.
a. Data Shapefile Batas Administrasi Kecamatan

Gambar 6.1 Batas Administrasi Kecamatan


b. Data Raster DEMNAS

Gambar 6.2 Data DEMNAS


c. Data raster Hillshade Kapanewon Imogiri

C. Dasar Teori
DATA RASTER
Data raster (atau disebut jugan dengan sel grid) adalah data yang dihasilkan dari sistem
Penginderaan Jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel
grid yang disebut dengan pixel (picture element). Pada data raster, resolusi (definisi visual)
tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran
sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada itra. Semakin kecil
ukuran permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya.
Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual,
seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya (Irwansyah,
2013)
DEM, DSM, DTM
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk
mengelola data spasial. Ada berbagai jenis data dalam bentuk peta yang dapat dimasukkan
ke dalam SIG, dan salah satu sumber data yang digunakan dalam SIG adalah Model Elevasi
Digital (DEM). DEM adalah representasi digital dari ketinggian permukaan bumi. Dalam
pengumpulan data DEM, ada beberapa teknik yang dapat dibedakan, yaitu pengukuran
langsung pada objek (terestris), pengukuran pada model objek menggunakan pesawat udara
(fotogrametri), dan pengambilan data dari sumber peta analog dengan cara digitasi. Selain
metode tersebut, DEM juga dapat dibentuk dengan menggunakan citra yang direkonstruksi
dalam bentuk model stereo (Wibowo, 2007 dalam Hidayat et al., 2016). Kualitas DEM dinilai
berdasarkan tingkat akurasi elevasi tiap pixel (akurasi absolut) dan tingkat akurasi dalam
menampilkan morfologi (akurasi relatif). Manfaat DEM yang paling menarik salah satunya
adalah mampu memvisualisasikan tampilanpeta dalam bentuk 3 dimensi. Hal tersebut
merupakan faktor pembeda yang paling menonjolantara peta konvensional dan DEM
(Indarto et al., 2012).
Menurut Jensen (2007) DEM dibedakan menjadi dua, yaitu: DSM (Digital Surface Model),
yang memuat informasi ketinggian semua fitur di permukaan bumi meliputi: vegetasi,
bangunan dan fitur lainnya. DSM merupakan gambaran ketinggian permukaan bumi yang
mencakup obyek di atasnya seperti bangunan ataupun pepohonan. Dan, Digital Terrain
Models (DTM) adalah model digital yang mengandung informasi mengenai elevasi
permukaan tanah (bare earth surface) tanpa terpengaruh oleh vegetasi atau elemen buatan
manusia lainnya. DTM dilengkapi dengan fitur tambahan seperti puncak bukit atau aliran
sungai, yang memberikan representasi topografi yang lebih akurat dan mampu memodelkan
relief yang lebih realistis. Dalam pengertian lain, DTM adalah Digital Elevation Model (DEM)
yang diperkaya dengan unsur-unsur seperti garis pemisah (breaklines) dan pengamatan
tambahan selain data asli (Duantari & Cahyono, 2017). Ada beberapa sumber data yang
digunakan dalam pembentukan DTM. Contoh sumber data yang digunakan untuk membuat
DTM mencakup data foto udara dan data LiDAR (Light Detection and Ranging). Foto udara
adalah citra fotografi yang diambil dari pesawat udara pada ketinggian tertentu
menggunakan kamera khusus. Di sisi lain, LiDAR adalah teknologi yang menggunakan sensor
aktif dalam penginderaan jauh untuk mengukur jarak dengan mengirimkan sinar laser dari
wahana pesawat udara survei kecil. Salah satu metode pengolahan data foto udara untuk
menghasilkan DTM adalah melalui teknik stereoplotting. Sementara itu, pembentukan DTM
dengan data LiDAR biasanya didasarkan pada Triangular Irregular Network (TIN) (Rahmayudi
& Rizaldy, 2016).
TOOLS MOSAIC TO RASTER, MASKING, HILLSHADE, CONTOUR
Proses pengolahan data DEM atau DTM untuk menghasilkan informasi melibatkan
beberapa tahap menggunakan berbagai alat dalam perangkat ArcGIS. Tahap pertama
melibatkan alat "mosaic," di mana data citra satelit digabungkan dengan menggunakan
vektor cutline. Mosaik citra adalah proses penggabungan dua citra atau lebih yang tumpang
tindih untuk menghasilkan citra representatif yang sesuai dengan harapan (Yasada, 2020).
Dalam langkah ini, citra utama dipersiapkan bersama satu atau lebih citra pengisi yang telah
dikoreksi radiometrik dengan jalur dan baris yang sama, tetapi direkam pada waktu yang
berbeda dan tidak tumpang tindih dengan citra utama.
Langkah kedua melibatkan alat "masking," yang digunakan untuk menghapus bagian
citra yang tidak diinginkan, seperti bagian yang tertutupi awan atau di luar wilayah
administrasi tertentu (Wibowo et al., 2013). Dengan kata lain, masking dapat dianggap
sebagai penutupan pada citra di mana bagian yang ditutup adalah bagian yang dijaga.
Selanjutnya, alat "hillshade" digunakan untuk memodelkan bayangan relief dari data DEM
dengan mensimulasikan sinar matahari pada permukaan bumi, sehingga dapat
menggambarkan bentuk topografi (Wibowo et al., 2013). Hillshade sering digunakan untuk
tujuan estetika dalam pembuatan peta.
Terakhir, alat "contour" digunakan untuk menginterpolasi data ketinggian dari format
grid menjadi bentuk vektor garis, yang merepresentasikan ketinggian dengan interval
tertentu (Afrisca, 2022). Fungsi contour adalah menciptakan garis-garis tema di mana nilai
dari setiap garis mewakili lokasi dengan ketinggian yang sama pada input grid. Ini melibatkan
interpolasi garis yang menghubungkan lokasi dengan nilai yang sama, dan hasilnya adalah
garis kontur yang realistis.
Setelah melewati proses pengolahan ini, informasi yang dihasilkan adalah peta topografi,
yang menggambarkan permukaan bumi dengan berbagai objek alami dan buatan. Peta
topografi menampilkan objek di permukaan bumi dengan ketinggian dihitung dari
permukaan laut, digambarkan dalam bentuk garis kontur, dengan setiap garis mewakili
tingkat ketinggian. Peta topografi memiliki dua unsur utama, yaitu ukuran planimetrik yang
menggambarkan permukaan datar dengan koordinat X dan Y, serta ukuran relief yang
menggambarkan variasi elevasi dalam koordinat Z. Elevasi pada peta topografi diwakili oleh
garis kontur yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang sama.
PETA KONTUR
Peta kontur adalah representasi visual ketinggian permukaan bumi yang dibuat dengan
memotret permukaan bumi dari pesawat udara atau satelit. Selama proses pencitraan,
gambar permukaan bumi dibentuk dengan berbagai warna yang mencerminkan ketinggian
setiap area yang direpresentasikan. Gambar berwarna ini kemudian diproses dengan
menambahkan polyline sebagai batas untuk area dengan ketinggian yang sama, sehingga
membentuk garis kontur. Setiap polyline yang menggambarkan ketinggian permukaan
tertentu disebut kontur, dan kumpulan kontur ini membentuk peta kontur. Biasanya, setiap
garis kontur dalam peta akan mewakili ketinggian tertentu dengan interval tertentu,
menunjukkan tingkat ketelitian peta kontur (Jimmy, 2006).
Menurut Kusnadi dalam Afani et al. (2019), peta kontur adalah representasi permukaan
bumi yang bersifat alami menggunakan garis kontur. Garis kontur pada peta topografi
didapat melalui interpolasi linier antara titik-titik ketinggian yang berdekatan. Interpolasi
linier mengasumsikan bahwa data atribut memiliki kelanjutan di ruang dan atribut ini
berkaitan satu sama lain. Data pemetaan terestris dikenal memiliki akurasi yang tinggi dalam
pembentukan garis kontur, namun, pengukuran terestris memerlukan sumber daya yang
signifikan dalam hal biaya, waktu, dan tenaga karena semakin luas area yang dipetakan,
semakin banyak titik yang harus diukur. Keakuratan kontur dipengaruhi oleh kerapatan dan
distribusi titik ketingian (spotheight) dalam pengukuran terestris. Salah satu solusi adalah
menggunakan data foto udara yang diambil dari Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Data foto
udara ini digunakan untuk membuat Digital Surface Model (DSM) yang kemudian diolah
menjadi Digital Elevation Model (DEM). Data DEM digunakan untuk mengekstrak titik-titik
ketinggian (spotheight) dan meningkatkan kerapatan titik pengukuran.
Sifat-sifat garis kontur adalah berbentuk kurva tertutup, tidak bercabang, tidak
berpotongan, menjorok ke arah hulu jika melewati sungai, menjorok ke arah jalan menurun
jika melewati permukaan jalan, tidak menggambarkan bangunan, keadaan permukaan tanah
yang terjal ditunjukkan dengan garis kontur yang rapat, keadaan permukaan yang landai
ditunjukkan dengan garis kontur yang jarang, dan skala peta menentukan interval garis
kontur. Pada peta kontur, setiap selisih garis kontur ditentukan oleh karakteristik topografi
daerah tersebut. Garis kontur yang lebih tinggi dikelilingi oleh garis kontur yang lebih rendah,
punggungan gunung ditandai dengan rangkaian garis kontur berbentuk huruf "U,"
sedangkan lembah/jurang ditandai oleh rangkaian garis kontur berbentuk huruf "V."
Kemiringan lereng adalah sudut yang mencerminkan perbedaan tinggi permukaan lahan,
dihitung dalam persen (%) atau derajat (°) (Syafi et al., 2015). Kemiringan lereng
mempengaruhi kerawanan banjir di wilayah tertentu (Sundari, 2020). Nilai kemiringan bisa
diperoleh melalui pengukuran langsung atau dengan perhitungan DEM/DTM. Metode
pengindraan jauh dianggap lebih efisien dalam hal biaya dan waktu ketika datanya harus
diterapkan pada wilayah yang sangat luas (Mahmudi et al., 2015).
Tabel 6.1 Hubungan Ketinggian dengan Morfografi

KAIDAH KARTOGRAFIS DAN SIMBOLOGI


Aturan atau ketentuan yang menjadi dasar dan acuan dalam desain dan visualisasi peta
agar memberikan hasil yang baik dan efektif merupakan termasuk pengertian kaidah
kartografi. Kraak dan Ormeling (1996) menyebut kaidah kartografis dengan istilah
cartographic grammar atau cartographic rule, dan bermanfaat untuk memperbaiki transfer
informasi dengan menggunakan karakteristik murni berbagai karakteristik simbol grafis.
Dalam kaidah kartografis terdapat simbol kartogrfis yang didalamnya terdapat Semiologi
kartografis, yaitu pemikiran teoretis tentang simbol kartografis, yaitu hubungan simbol
dengan fenomena yang disajikan dan keefektifannya dalam mengkomunikasikan informasi
kepada pengguna peta (Boss, 1977 dalam (Handoyo, 2009)).

D. Langkah Kerja
1. Displaying data
a. Buka software ArcMap 10.8.1 di bagian desktop
b. Add data raste rDigital Elevations Models Bantul dan administrasi Kabupaten Bantul
c. Atur Coordinate Systemnya, Kabupaten Bantul berada pada WGS 1984 UTM Zone
49S
d. Lakukan clip pada Kapanewon Imogiri melalui export data dari layer administrasi
Kabupaten Bantul.
2. Mosaic
a. Buka ArcToolbox-> pilih Data Management Tools -> pilih Raster -> pilih Raster
Datasets -> pilih Mosaic to New Raster
b. Pada bagian Input Raster masukkan dua data DEM yang ingin disatukan
c. Bagian Output Location tambahkan new folder beri nama Imogiri dengan
format.gdb
d. Lalu beri nama Mosaic_Bantul
e. Bagian Pixel type pilih dengan 16_BIT_Signed
f. Untuk Number of band isikan 1 lalu klik Ok
3. Masking
a. Klik search -> ketik masking -> pilih extract by mask -> input data raster berupa
DEM_Bantul -> input raster or feature mask pilih data Kapanewon Imogiri ->
output penyimpanan Mask_DEM_Imogiri -> klik Ok
4. HillShade
a. Buka ArcToolbox -> pilih 3D Analyst Tools -> pilih Raster Surface -> pilih
Hillshade
b. Pada bagian Input raster masukkan data hasil masking Mask_DEM_Imogiri
c. Bagian Output raster pilih lokasi penyimpanan folder Imogiri.gdb dengan nama
Hillshade lalu klik Ok
5. Contour
a. Klik search -> ketik contour-> pilih Contour (Spatial Analyst)
b. Bagian Input Raster masukkan data DEM Imogiri
c. Bagian Output feature class beri nama Contour Major
d. Lalu bagian Contour Interval isi 40 lalu klik Ok
e. Buka lagi tools Contour bagian Input Raster masukkan data DEM Imogiri
f. Bagian Output feature class beri nama Contour Minor
g. Bagian Contour Intervalisi 10 lalu klik Ok
6. Layouting
a. Sebelum melakukan layout tampilan pada ArcMap harus di ubah dari data view ke
layout view. Cara merubah tampilannya dengan Klik Icon Layout View di pojok kiri
bawah.
b. Mengatur halaman dan ukuran kertas. Klik kanan di tempat kosong pada layout
view > Pilih Page and Print Setup. Maka akan muncuk Jendela Pengaturan atur
kertas kedalam ukuran A4 dan orientasi di ubah menjadi landscape agar sama
dengan ukuran kertas laporan. Kemudian klik Ok.
c. Pada bagiantoolbars View pilih Layout View
d. Untuk menambahkan grid klik kanan pada layout pilih Properties dan Grids
e. Untuk menambahkan komponen peta lainnya bisa pilih melalui bagian toolbars
Insert
f. Pada bagian toolbars Insert terdapat beberapa pilihan untuk menampilkan Legend,
Tittle, Text, North Arrow, Scale Bar, danScale Text
g. Untuk menampilkan Legenda pilih melalui Insert, pilih Default semua dan klik Next
sampai selesai kemudian klik Finish
h. Untuk melakukan perubahan teks pada legenda maka klik kanan pada legenda lalu
pilih Convert to Graphics
i. Lalu klik kanan pilih Ungroup dan klik pada teks yang ingin diubah
j. Untuk menambahkan Inset dengan memilih Insert pada bagian toolbars dan klik
DataFrame dan Add Data shapefile batas provinsi se-Indonesia
k. Lalu bisa tambahkan grid pada bagian Inset dengan klik kanan pilih Poperties dan
pilih Grids.
l. Setelah selesai layouting pilih menu file lalu export map dan pilih format file
JPG/PNG/PDF, lalu klik save.
E. Hasil dan Pembahasan Praktikum
Hasil
1. Peta Topografi Kapanewon Imogiri

Gambar 6.3 Layout Peta Topografi Kapanewon Imogiri


Pembahasan
Dalam praktikum ini, melakukan pembuatan peta kontur menggunakan data raster
berbentuk Digital Elevation Models (DEM). Data yang digunakan mencakup data raster DEM
dan Batas Administrasi Kabupaten Bantul. Proses ini terdiri dari beberapa langkah, yang
dimulai dengan mosaik dan masking data DEM. Mosaik dilakukan untuk menggabungkan
dua data raster atau lebih yang tumpang tindih, menciptakan citra yang merepresentasikan
permukaan bumi sesuai dengan kebutuhan (Yasada, 2020). Pada tahap masking, digunakan
untuk menghilangkan bagian data raster yang tidak diperlukan, seperti bagian citra yang
tertutup awan atau yang berada di luar wilayah administrasi suatu daerah (Wibowo et al.,
2013). Dalam hal ini, fitur masking mengacu pada batas administrasi Kapanewon Imogiri.
Selanjutnya, data raster yang telah dimasking diberikan efek topografi melalui
penggunaan tools "hillshade." Hillshade berfungsi untuk menciptakan bayangan relief
berdasarkan data DEM dengan mensimulasikan sinar matahari pada permukaan bumi,
sehingga dapat menggambarkan bentuk topografi (Wibowo et al., 2013). Dengan kata lain,
hillshade menciptakan representasi tiga dimensi yang menggambarkan cahaya hipotetis.
Kemudian, garis kontur diterapkan melalui penggunaan tools "contour." Tools ini
digunakan untuk mengubah data ketinggian dalam format grid menjadi bentuk vektor garis,
yang merepresentasikan ketinggian dengan interval tertentu (Afrisca, 2022). Tujuan dari alat
contour adalah untuk membuat tema garis di mana nilai setiap garis mencerminkan
ketinggian yang sama pada tema grid input. Interval kontur dalam peta ini ditetapkan
sebesar 40m dengan skala peta 1:80.000, dan kontur indeksnya diatur sebesar 160m, yang
diperoleh dari empat kali lipatan interval kontur.
Setelah melewati tahap pengolahan data ini, hasilnya adalah Peta Topografi Kapanewon
Imogiri. Peta ini menampilkan representasi permukaan bumi yang dapat diidentifikasi,
termasuk objek alami dan buatan. Peta ini menggambarkan objek-objek di permukaan bumi
dengan ketinggian yang direpresentasikan melalui garis kontur, di mana setiap garis kontur
mewakili satu ketinggian. Peta topografi memiliki dua elemen utama, yaitu ukuran
planimetrik yang menggambarkan bidang datar dengan koordinat X dan Y, serta ukuran
relief yang menggambarkan variasi elevasi dalam koordinat Z. Elevasi pada peta topografi
ditampilkan melalui polyline atau garis kontur yang menghubungkan titik-titik di permukaan
bumi dengan ketinggian yang sama. Kontur pada peta kontur umumnya mencakup
ketinggian yang memiliki interval tertentu, yang mencerminkan tingkat ketelitian peta kontur
tersebut (Jimmy, 2006).
Pada Peta Topografi Kapanewon Imogiri, terlihat bahwa elevasi tertinggi di wilayah
tersebut mencapai 421 mdpl, sementara elevasi terendahnya hanya sekitar 3 mdpl. Wilayah
bagian timur dan selatan Kapanewon Imogiri memiliki elevasi yang lebih tinggi dan kontur
yang lebih rapat. Berdasarkan pembagian kelas ketinggian yang dihubungkan dengan
morfografi menurut Van Zuidam (1985), wilayah ini dapat dikategorikan sebagai perbukitan
dengan lereng yang agak curam. Oleh karena itu, wilayah ini memiliki potensi untuk bencana
gerakan massa dan tanah longsor, terutama karena topografinya yang berbukit dan lereng
yang curam (Santoso et al., 2021). Penggunaan lahan yang sesuai untuk wilayah ini terbatas
pada hutan lindung atau konservasi, mengingat morfologinya yang terdiri dari lereng yang
curam (Pranata & Hamzari, 2020). Di sisi lain, wilayah utara, tengah, dan barat memiliki elevasi
yang lebih rendah, berkisar antara 3 hingga 67 mdpl dan 67 hingga 133 mdpl, dengan kontur
yang lebih renggang. Ini mengindikasikan bahwa wilayah ini lebih merupakan perbukitan
rendah, dataran rendah pedalaman, dan dataran rendah dengan lereng yang cenderung
agak landai. Kondisi ini memungkinkan lebih banyak pilihan untuk penggunaan lahan, seperti
permukiman dan pertanian, jika dibandingkan dengan wilayah di bagian timur dan selatan.
F. Kesimpulan
Dari praktikum yang sudah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kapanewon Imogiri memiliki variasi elevasi yang mencakup lima kelas, mulai dari yang
tertinggi sekitar 421 mdpl hingga yang terendah sekitar 3 mdpl.
2. Daerah di bagian Timur dan Selatan Kapanewon Imogiri memiliki elevasi yang lebih
tinggi daripada daerah lainnya, dan memiliki karakteristik morfologi sebagai perbukitan
dengan lereng yang agak curam.
3. Sementara wilayah di bagian barat dan utara memiliki elevasi yang cenderung lebih
rendah dan memiliki ciri-ciri morfologi sebagai perbukitan rendah dan dataran rendah
pedalaman dengan lereng yang landai.
4. Secara umum, kemiringan lereng di wilayah ini dapat dianggap landai, meskipun ada
beberapa bagian di Timur yang termasuk dalam kategori agak curam.
5. Penggunaan lahan yang sesuai untuk wilayah bagian utara dan selatan Kapanewon
Imogiri adalah untuk hutan lindung atau konservasi.
6. Di wilayah tengah dan barat, terdapat berbagai pilihan penggunaan lahan yang
mencakup pertanian dan pemukiman.

Daftar Pustaka

Afani, I. Y. N., Yuwono, B. D., & Bashut, N. (2019). Optimalisasi Pembuatan Peta Kontur Skala
BesarMenggunakan Kombinasi Data Pengukuran Terestris dan Foto Udara Format Kecil.
Jurnal Geodesi Undip Januari ,8 (1), 180–189.
Afrisca, C. C. (2022). Pemanfaatan Zona Nilai Sewa Barang Milik Negara (BMN) Berbasis Spasial
Penataan Ruang. Indonesian Rich Journal, 3 (1), 1-8.
Duantari, N., & Cahyono, A. B. (2017). Analisis Perbandingan DTM (Digital Terrain Model) dari
LiDAR(Light Detection and Ranging) dan Foto Udara dalam Pembuatan Kontur Peta Rupa
Bumi Indonesia. Jurnal Teknik ITS ,6 (2).
Indarto, Soesanto, B., & Prasetyo, D. R. (2012). Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) dengan
Ketelitian Pixel (10 Meter x 10 Meter) Secara Manual di Sub-DAS Rawatamtu. Agrotek ,6
(1), 78–89.
Irfan Hidayat, P., Subiyanto, S., & Sasmito, B. (2016). Analisis Kualitas DEM dengan
Membandingkan Metode Orthorektifikasi Memakai Citra Resolusi Tinggi (Studi Kasus:
Kecamatan Limbangan,Kabupaten Kendal, Jawa Tengah). Jurnal Geodesi Undip Oktober,
5, 22–31.
Irwansyah, E. (2013). Sistem informasi geografis: prinsip dasar dan pengembangan aplikasi .
DigiBook Yogyakarta.
Iskandar Muda. (2008).Teknik Survei Dan Pemetaan Jilid 3 . Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional.
Jensen, J.R. (2007). Remote Sensing of the Environment : An Earth Resource Perspective . USA:
Hallseries in Geographic Information Science.
Jimmy. (2006). Visualisasi Peta Kontur dalam Sudut Pandang Tiga Dimensi. Jurnal Informatika ,7
(2), 77–84.
Mahmudi, Subiyanto, S., & Yuwono, B. D. (2015). Analisis Ketelitian DEM Aster GDEM, SRTM, dan
LIDAR Untuk Identifikasi Area Pertanian Tebu Berdasarkan Parameter Kelerengan (Studi
Kasus: Distrik Tubang, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua). Jurnal Geodesi UNDIP ,4 (1),
95–106.
Marfai, Muh. A. (2006). Analisis Neighbourhood Operations Dalam Teknologi Sistem
InformasiGeografis Berbasis Raster dan Aplikasinya Untuk Pwmetaan Genangan Pasang
Air Laut.Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi , 7–12
Pranata, A., & Hamzari. (2020). Analisis Kesesuaian Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Tepo Asa Aroa di Kecamatan Petasia Kabupaten
Morowali Utara. Jurnal Warta Rimba, 8 (1), 1-10.
Rahmayudi, A. A., & Rizaldy. (2016). Comparison of Semi Automatic DTM from Image Matching
with DTM from LIDAR. The International Archives of the Photogrammetry, 41(B3).
Santoso, D. H., Suharwanto, & Prasetyo, T. (2021). Analisis Kestabilan Lereng dan Pengelolaan
Lereng Akibat Penambangan Andesit di Sebagian Kecamatan Bagelan Purworejo. Jurnal
Geografi,18 (1),46–51.
Syafri, S., Tilaar, S., & Sela, R. L. E. (2015). Identifikasi Kemiringan Lereng di Kawasan Permukiman
Kota Berbasis SIG. Jurnal Spasial: Perencanaan Wilayah Dan Kota ,1(1), 70–79.
Van Zuidam, R. A. (1985). Aerial Photo – Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. The Hague: Smith Publisher.
Wibowo, T. W., Marhaento, H., Hutan, B. K. S., & No, J. A. (2013). Pelatihan Sistem Informasi
Geografis untuk Pengelolaan Kawasan Konservasi Tingkat Lanjut. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Yasada, G. (2020). Penentuan Kontur Tanah dengan Menggunakan Teknologi Global Positioning
System dan Citra Satelit Aster di Desa Manggis, Karangasem, Bali. Jurnal Manajemen
Teknologi dan Informatika, 10 (2), 58-64

Anda mungkin juga menyukai