Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem informasi

berbasiskan komputer untuk menyimpan, mengelola dan menganalisis, serta

memanggil data bereferensi geografis yang berkembang pesat pada lima

tahun terakhir ini. Sebagai suatu bentuk informasi, ketepatan dan ketelitian

bergantung pada teknik dalam melaksanakan pengumpulan pengaturan, pengolahan,

penyimpanan, serta pengkajian datanya. Oleh karena itu, guna memperoleh informasi

yang tepat dan akurat, semua komponen tersebut perlu dikembangkan secara terpadu

dalam suatu sistem yang dikenal dengan nama sistem informasi geografis (SIG).

Analisis spasial adalah sekumpulan teknik yang dapat digunakan dalam

pengolahan data Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis spasial juga dapat

diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi

data dari perspektif keruangan. Semua teknik atau pendekatan perhitungan matematis

yang terkait dengan data keruangan (spasial) dilakukan dengan fungsi analisis spasial

tersebut. Pengelolaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengelolaan

data Sistem Informasi Geografi, dimana salah satu contoh pengolahan data spasial

yaitu analisis data DEM.

Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu model untuk

menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat divisualisasikan

kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Ada banyak cara untuk memperoleh data DEM,

interferometri SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu algoritma


untuk membuat data DEM. Data citra SAR atau citra radar yang digunakan dalam

proses interferometri dapat diperoleh dari wahana satelit atau pesawat. DEM

khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan.

Pada praktikum ini, analisis data DEM yang dilakukan adalah analisis

ketinggian yang digunakan untuk mengukur ketinggian suatu titik di atas permukaan

laut. Selain itu, analisis lain yang dilakukan adalah analisis kemiringan lereng yang

digunakan untuk menghitung kondisi kemiringan pada suatu lahan.

B. Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui dan memahami data Digital Elevation Model (DEM) dan

analisis yang dapat dilakukan dengan data Digital Elevation Model (DEM).

2. Untuk mengetahui dan memahami analisis pada data Digital Elevation Model

(DEM) hingga menghasilkan data ketinggian dan kelerengan sesuai pengkelasan

masing-masing.

C. Manfaat Praktikum

Adapun manfaat dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Praktis

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam mengamalkan ilmu yang telah

dipelajari dalam beberapa waktu. Bagi mahasiswa Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kebumian diharapkan bisa tersalurkan ke pembaca lainnya.

2. Manfaat Teoritis
Praktikum ini bermanfaat untuk mengetahui langkah-langkah melakukan

analisis ketinggian dan analisis kelerengan pada data DEM.

D. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Wilayah kajian berada di Kecamatan Lealea, Kecamatan Kokalukuna,

Kecamatan Wolio, Kecamatan Batupoaro, Kecamatan Murhum, dan Kecamatan

Betoambari.

2. Metode analisis data yang digunakan yaitu reclassify dan analisis slope.

3. Interval kelas ketinggian yang digunakan yaitu 50 mdpl, 100 mdpl, 150 mdpl,

200 mdpl dan lebih dari 250 mdpl.

4. Interval kelas kemiringan yang digunakan yaitu 8 %, 15 %, 25 %, 45 %, dan

lebih dari 45 %.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ArcGIS

ArcGIS adalah perangkat yang sangat populer dan andal dalam melakukan

tugas-tugas Sistem Informasi Geografis (GIS). Keandalan ArcGIS tidak saja dalam

hal membuat peta, melainkan yang lebih utama adalah membantu praktisi SIG

melakukan analisis, pemodelan, dan pengelolaan data spasial secara efektif dan

efisien. Salah satu bentuk data yang dapat diolah oleh ArcGIS adalah data DEM yang

mampu menggambarkan geometri muka bumi (Indraswari dkk., 2018).

Meskipun cukup banyak perangkatnlunak alternatif yang lebih murah dan

bahkan gratis, tetapi ArcGIS masih menjadi perangkat lunak GIS yang utama.

Keandalan ArcGIS tidak saja dalam hal membuat peta, melainkan yang lebih utama

adalah membantu praktisi SIG melakukan analisis, pemodelan, dan pengelolaan data

spasial secara efektif dan efisien (Putranto dan Alexander, 2017).

ArcGIS memiliki kemapuan visualisasi data baik data spasial maupun data

tabular. Selain itu juga kemampuan dari ArcGIS dapat mengelola, menganalisa dan

menampilkan informasi pada peta yang ada pada GIS. ArcGIS pertama kali

digunakan pada tahun 2000-an dengan perangkat pendukung geo database. Dengan

dukungan geo database tersebut ArcGIS dapat membuat GIS skala besar sesuai

dengan kebutuhan pengguna. ArcGIS juga dapat melakukan berbagai hal pada sebuah

GIS diantaranya adalah preview tampilan peta sebelum di-published, published hasil

peta dan melakukan deployment ke dalam bentuk mds file. ArcGIS memiliki dua

versi yaitu versi dekstop dan web. Versi dekstop adalah ArcGIS yang pertama kali
dikembangkan dan hanya dapat berjalan pada stay alone saja sedangkan versi web

adalah pengembangan dari ArcGIS versi dekstop dan memiliki fitur yang lebih

interaktif dan dapat diakses melalui web browser. ArcGIS juga dapat

dikombinasikan. dengan Google Maps dalam pengembangan GIS yaitu pada proses

pembuatan peta dengan tahapan file kml dari Google Maps (Earth) dikonversi ke file

shp agar dapat diolah pada ArcGIS (Ependi, 2017).

B. Digital Elevation Model (DEM)

Digital Elevation Model (DEM) atau disebut dengan model elevasi digital

merupakan visualisasi topografi atau ketinggian muka tanah yang dibangun

berdasarkan hasil interpolasi deterministik. DEM berisi informasi koordinat posisi

(x,y) dan elevasi (z) pada setiap pikselnya. Selain DEM, DSM (Digital Surface

Model) dan DTM (Digital Terrain Model) juga berisikan informasi mengenai

ketinggian. DEM yang diunduh dari beberapa website tersebut merupakan DEM

global dengan resolusi menengah sampai kecil. Sebagai contoh, SRTM (Shuttle

Radar Topography Mission) mempunyai resolusi DEM 1 arc second (30 m) pada

ekuator di United States dan 3 arc second (90 m) di seluruh dunia. Data DEM yang

dihasilkan oleh SRTM mempunyai standar deviasi yang lebih besar dibandingkan

dengan data DEM yang dihasilkan oleh peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) (Iswari dan

Anggraini, 2018).

Data DEM dapat diperoleh dari ekstraksi data citra satelit. Penggunaan citra

satelit beresolusi tinggi menjadi salah satu alternatif untuk mendapatkan produk peta

skala besar dalam waktu singkat. Dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki oleh

Satelit Pleiades kemudian menjadi salah satu alternatif pilihan yang dapat
dipertimbangkan. Digital Elevation Model (DEM) dapat digunakan dalam berbagai

macam aplikasi, misalnya telekomunikasi, navigasi, manajemen bencana,

perencanaan sipil, orthorektifikasi citra satelit dan airbone. DEM dapat diperoleh

melalui berbagai macam teknik seperti stereo fotogrametri dari survey foto udara,

LiDAR, IFSAR, dan survey pemetaan. Metode lain yang dapat digunakan dalam

pembuatan DEM misalnya RTK-GPS, block adjustment dari citra satelit dan peta

topografi (Aryani dkk., 2017).

Penggunaan DEM sering kita temui pada banyak aplikasi penginderaan jauh,

seperti pembuatan peta dasar, pembuatan peta relief, ekstraksi paramater terrain

untuk geomorfologi, pemodelan aliran air untuk hidrologi, pemodelan pergerakan

permukaan bumi, render dari visualisasi 3 dimensi, analisis dari line of sight,

pemantauan pertanian dan kehutanan yang akurat, desain rekayasa infrastruktur, dan

lain lain (Dyatmika dkk., 2018).

C. Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS)

DEM Nasional dibuat dari beberapa sumber data meliputi data IFSAR

(resolusi 5m), TERRASAR-X (resolusi 5m) dan ALOS PALSAR (resolusi 11.25m),

dengan menambahkan data Masspoint hasil stereo-plotting. DEMNAS memiliki

resolusi spasial 0.27-arcsecond atau setara dengan 8.1 m. dengan menggunakan

EGM2008 sebagai datum vertikal acuannya (Alimsuardi dkk., 2020).

Keunggulan data DEMNAS ini yaitu mempunyai resolusi spasial yang lebih

tinggi 0.27 arc-second dibandingkan dengan resolusi data DEM internasional yang

masih 3 arc-second. Meskipun masih tergolong dalam perkembangan, namun dengan

adanya data DEMNAS yang telah dirilis oleh BIG diharapkan mampu mengatasi
kelemahan dari data DEM yang diunduh dari website penyedia data DEM

internasional (Iswari dan Anggraini, 2018).

DEMNAS adalah data DEM kontinyu seluruh Indonesia yang dihasilkan oleh

BIG. DEMNAS dihasilkan dari proses data blending menggunakan data DSM

(Digital Surface Model) dari beberapa data DEM (TerraSAR-X, IFSAR, Radarsat,

dan ALOS PALSAR) dan trusted mass point dari hasil stereo plotting dengan

mempertimbangkan perbedaan tinggi antara elevasi surface dengan ground untuk

menghasilkan DTM (Digital Terrain Model) terkoreksi. DEMNAS memiliki resolusi

0,27 arc-second serta RMSE 2,79 meter dengan bias error -0,13 meter, sehingga

secara kualitas DEMNAS dapat digunakan untuk pemetaan topografi pada skala

menengah (Oktaviani dkk., 2021).

D. Analisis Ketinggian

Elevasi merupakan posisi vertikal (ketinggian) suatu objek terhadap titik

tertentu (datum). Umumnya, datum yang digunakan mengacu pada tinggi permukaan

air laut yang sering dinyatakan sebagai ketinggian di atas permukaan laut (dpl).

Datum mengacu pada titik benchmark, yang elevasinya sudah ditentukan dengan

menggunakan GPS (Priyoadi dan Setiawan, 2020).

Informasi ketinggian suatu tempat di permukaan bumi (elevasi) merupakan

hal yang sangat penting di dalam analisis geospasial. Data elevasi tersebut umumnya

disimpan dalam bentuk Digital Elevation Model (DEM). Data ketinggian (elevasi)

merupakan data ketinggian suatu titik pada permukaan bumi yang diukur dari atas

permukaan laut. Informasi mengenai ketinggian suatu tempat merupakan hal yang

sangat penting dan dibutuhkan dalam berbagai bidang, antara lain pemetaan sumber
daya lahan, pemetaan jaringan sungai, pemodelan dan simulasi banjir, simulasi luas

genangan debris flow, dan lain-lain. Pada awalnya, data elevasi disimpan dalam

bentuk peta analog dan garis-garis kontur secara manual (Rustan dan Purqon, 2017).

E. Analisis Kelerengan

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling

berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Kemiringan lereng dinyatakan

dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100 persen sama dengan kecuraman 45

derajat. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curam lereng juga

memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan demikian memperbesar energi

angkut air. Selain itu dengan makin miringnya lereng, maka butir-butir tanah yang

terpecik kebawah oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Dengan demikian jika

lereng permukaan tanah lebih curam maka kemungkinan erosi akan lebih besar

persatuan luas. Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak

vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat

dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan º

(derajat). Bentuk lereng yang dilihat dari permukaan tanahnya dapat berbentuk

cembung dan dapat berbentuk cekung (Yumai dkk., 2019).

Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kualitas lahan dan merupakan salah

satu parameter dalam menentukan tingkat kesesuaian lahan suatu tanaman tertentu.

Kemiringan lereng juga merupakan salah satu faktor terjadinya erosi dan longsor di

lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin

miringnya suatu lereng. Tingkat erosi permukaan yang terjadi pada lahan dengan

kemiringan lereng landai lebih tinggi 38.4%, pada lereng agak miring lebih tinggi
63.6% dan pada lereng miring lebih tinggi 69.1% dibanding besarnya erosi

permukaan yang terjadi pada lahan datar. Ketinggian tempat tidak dapat diubah

sedangkan kemiringan lereng dapat dilakukan suatu tindakan konservasi untuk

mengurangi dampak kemiringan tersebut (Dengen dkk., 2019).

Presentase kemiringan lereng rendah dapat digunakan untuk membangun

lahan perumahan, karena pada area datar akan semakin mudah membangun rumah

dibandingkan di daerah yang memiliki kemiringan lereng sangat curam. Semakin

besar kemiringan lereng, maka daya dukung yang dihasilkan akan semakin menurun.

Lahan yang miring juga rawan terjadi longsor saat musim hujan tiba. Pada saat

lereng terlalu curam, terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang

kedap air serta terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan bidang luncur sehingga

tanah jenuh air (Setyoko, 2019).


BAB III
PROSEDUR KERJA

A. Analisis Ketinggian

1. Membuka software ArcGIS 10.8.

2. Memasukkan data yang akan diolah yaitu DEM Sulawesi Tenggara dan shapefile

administrasi kecamatan Kota Bau-Bau.

3. Memotong DEM Sulawesi sesuai dengan wilayah kajian yaitu mengklik menu

search kemudian mencari clip, memilih clip (data management)(tools)


4. Pada menu input raster memasukkan data DEM kemudian untuk outputnya

memasukkan shapefile wilayah kajian, selanjutnya mencentang kotak yang

bagian use input features fo clipping.

5. Selanjutnya melakukan pengkelasan ulang nilai ketinggian pada hasil clipping

DEM dengan cara mengklik menu search kemudian mencari reclassify dan

memilih reclassify (spatial analyst) (tool).


6. Untuk input raster memasukkan DEM yang telah dipotong, kemudian mengklik

classify.

7. Pada classes memilih angka lima, kemudian untuk break values memasukkan

nilai kelas ketinggian secara berurut yaitu 50, 100, 150, 200 dan kelas kelima

tidak perlu diganti, selanjutnya mengklik ok.

8. Mengkonversi hasil reklasifikasi yang merupakan data raster ke poligon.


9. Setelah di konversi menglik kanan pada data poligon, kemudian mengklik

properties. Mengklik categories kemudian pada menu value field memilih

gridcode dan untuk color ramp memilih warna yang mulai dari hijau ke merah.

10. Melakukan layout pada peta dengan cara mengklik layer layout kemudian

membuat garis tepi, lalu mengklik insert dan memasukkan informasi-informasi

peta seperti legenda, skala, dan lainnya.


B. Analisis Kelerengan

1. Membuka software ArcMap 10.8

2. Memasukkan data yang akan diolah yaitu data DEM Sulawesi Tenggara, dan peta

administrasi kecamatan Kota Bau-Bau.

3. Memotong DEM Sulawesi Tenggara sesuai dengan wilayah kajian yaitu

mengklik menu search kemudian mencari clip, dan memilih clip (data

management) (tools).
4. Melakukan analisis slope, yaitu mencari slope pada menu search kemudian

mengkli Slope (Spatial Analyst) (Tool).

5. Pada input raster memasukkan data DEM wilayah yang akan dianalisis,

kemudian untuk ouput measurement diganti menjadi percent, selanjutnya

mengklik ok.

6. Melakukan pengkelasan ulang hasil analisis slope dengan cara mengklikk menu

search kemudian mencari reclassify dan memilih reclassify (Spatial Analyst)

(Tools).
7. Untuk input raster memasukkan hasil yang telah dislope, kemudian mengklik

classify.

8. Pada classes memilih angka lima kemudian untuk break values memasukkan

nilai kelas kemiringan secara berurut 8%, 15%, 25%, 45%, dan kelas kelima

tidak perlu diubah, selanjutnya mengklik ok.

9. Mengkonversi hasil reklasifikasi yang merupakan data raster ke poligon.


10. Setelah di konversi menglik kanan pada data poligon, kemudian mengklik

properties. Mengklik categories kemudian pada menu value field memilih

gridcode dan untuk color ramp memilih warna yang mulai dari hijau ke merah.

11. Melakukan layout pada peta dengan cara mengklik layer layout kemudian

membuat garis tepi, lalu mengklik insert dan memasukkan informasi-informasi

peta seperti legenda, skala, dan lainnya.


BAB IV
METODOLOGI

A. Waktu dan Lokasi Praktikum

Praktikum SIG Pemodelan acara 3 analisis data DEM dilaksanakan pada hari

Sabtu, 27 November 2021 pada pukul 10.00 sampai 15.00. Praktikum ini

dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Universitas

Halu Oleo.

Wilayah yang digunakan pada praktikum ini yaitu Kecamatan Lea-Lea,

Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Wolio, Kecamatan Batupoaro, Kecamatan

Murhum, dan Kecamatan Betoambari yang berada di Kota Bau-Bau.

Kecamatan Betoambari secara astronomis terletak di 5º30’15.31” Lintang

Selatan dan 122º35’37.78” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan

dengan Kabupaten Buton, selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton Selatan, timur

berbatasan dengan Kabupaten Buton dan sebelah barat berbatasan dengan Selat

Buton. Kecamatan Betoambari merupakan ibukota kecamatan Kota Bau-Bau dengan

jumlah penduduk 22.434 jiwa (BPS, 2021).

Kecamatan Murhum secara astronomi terletak di 5º28’52.90” Lintang Selatan

dan 122º35’58.13” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan dengan

Selat Buton, timur berbatasan dengan Kecamatan Wolio, selatan berbatasan

Kecamatan Betoambari, dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

Kecamatan Murhum memiliki jumlah penduduk sebesar 20.021 jiwa (BPS, 2021).

Kecamatan Batupoaro secara astronomis terletak di 5º27’47.47” Lintang

Selatan dan 122º35’44.14” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan
dengan Selat Buton, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wolio, sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Murhum dan sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Betoambari. Jumlah penduduk Kecamatan Batupoaro yaitu 26.733 jiwa

(BPS, 2021).

Kecamatan Wolio secara astronomis terletak di 5º29’00.46” Lintang Selatan

dan 122º38’20.58” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan dengan

Selat Buton, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kokalukuna, sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Sorawolio dan sebelah barat berbatasan

dengan Kecamatan Murhum. Jumlah penduduk Kecamatan Wolio yaitu 43.342 jiwa

(BPS, 2021).

Kecamatan Kokalukuna secara astronomis terletak pada 5048’-5043’ Lintang

Selatan dan 122063’-122062’ Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara

berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan

Sorawolio, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolio dan sebelah barat

berbatasan dengan Selat Buton. Jumlah penduduknya yaitu sebesar 20.992 jiwa

(BPS, 2021).

Kecamatan Lea-Lea secara astronomis terletak pada 5º22’11.64” Lintang

Selatan dan 122º39’21.61” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan

dengan Selat Buton, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah

selatan berbatasan dengan Selat Buton dan sebelah barat berbatasan dengan Selat

Buton. Jumlah penduduknya yaitu 8.519 jiwa (BPS, 2021)


Gambar 14. Peta Lokasi Kota
Bau-Bau
B. Alat Praktikum
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut.

Tabel 8. Alat praktikum dan kegunaan


No Alat Kegunaan
1 Flashdisk Sebagai media menyimpan data
2 ArcGIS Sebagai media mengolah data

C. Bahan Praktikum

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut.

Tabel 9. Bahan praktikum dan kegunaan


No Bahan Kegunaan
1 Peta Administrasi Kecamatan Kota Bau-Bau Sebagai data yang akan diolah
2 Citra DEM Sulawesi Sebagai data yang akan diolah

D. Data Praktikum

1. Data Primer

Data primer adalah data pertama kali yang dikumpulkan oleh peneliti melalui

upaya pengambilan data di lapangan langsung. Karena hal inilah data primer disebut

data pertama atau data mentah.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan berbagai informasi yang telah ada sebelumnya dan

dengan sengaja dikumpulkan oleh peneliti yang digunakan untuk melengkapi

kebutuhan data penelitian. Data sekunder yang digunakan pada praktikum ini adalah

peta administrasi kecamatan Kota Bau-Bau dan Citra DEM Sulawesi.

E. Tahapan Praktikum

1. Tahapan Persiapan

Tahapan persiapan yang dilakukan dalam praktikum ini adalah pertama

menyiapkan alat dan bahan praktikum seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2.
2. Tahapan Literatur

Pada praktikum ini literatur yang digunakan yaitu jurnal yang dipublish 5

tahun terakhir. Jurnalnya yaitu mengenai ArcGIS, Digital Elevation Model (DEM),

DEM Nasional, analisis ketinggian, dan analisis kelerengan.

3. Tahapan Cropping

Pada tahapan ini yaitu memotong data DEMNAS Sulawesi Tenggara sesuai

wilayah kajian yang akan dianalisis.

4. Tahapan Analisis Ketinggian

Dilakukan dengan memasukkan citra DEM ke dalam aplikasi ArcMap.

Analisis ketinggian dilakukan dengan melakukan clipping pada DEM Sulawesi,

kemudian melakukan pengkelasan ulang, lalu mengubah data raster ke polygon.

5. Tahapan Reclassify Ketinggian

Tahapan ini dilakukan untuk mengklasifikasi ulang data ketinggian pada

DEM yang telah dipotong dengan menggunakan lima kelas yaitu 50, 100, 150, 200,

dan lebih dari 250 dengan satuan mdpl.

6. Tahapan Analisis Kemiringan

Tahapan ini dilakukan dengan memasukkan citra DEM ke dalam aplikasi

ArcMap. Analisis kemiringan lereng dengan menggunakan metode slope yaitu

membuka membuka menu search dan mencari slope. Dengan menggunakan analisis

slope maka dapat diketahui ketinggian tiap titik pada citra.

7. Tahapan Reclassify Kemiringan

Tahapan ini dilakukan untuk mengklasifikasikan ulang hasil slope sesuai

menjadi lima kelas yaitu 8%, 15%, 25%, 45%, dan lebih dari 45%. Tahapan ini
dimulai dengan memasukkan citra DEM yang telah di slope. Setelah ini mencari

menu reclassify dan memasukkan kelas kemiringan lereng.

8. Tahapan Layout Peta

Tahapan layout sebagai tahapan terakhir pengolahan citra untuk membuat

komposisi peta yang memuat informasi-informasi peta berupa judul peta, skala peta,

mata angin, legenda, sumber peta, inset peta, serta nama pembuat.
BAB V
HASIL

Kecamatan Betoambari secara astronomis terletak di 5º30’15.31” Lintang

Selatan dan 122º35’37.78” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan

dengan Kabupaten Buton, selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton Selatan, timur

berbatasan dengan Kabupaten Buton dan sebelah barat berbatasan dengan Selat

Buton. Kecamatan Betoambari merupakan ibukota kecamatan Kota Bau-Bau dengan

jumlah penduduk 22.434 jiwa. Sebaran perumahan penduduk yang padat dan terletak

di daerah pantai, sehingga sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian

sebagai nelayan dan sisanya adalah pedagang.


Gambar 15. Peta Ketinggian Kecamatan Betoambari
Kecamatan Murhum secara astronomi terletak di 5º28’52.90” Lintang Selatan

dan 122º35’58.13” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan dengan

Selat Buton, timur berbatasan dengan Kecamatan Wolio, selatan berbatasan

Kecamatan Betoambari, dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

Kecamatan Murhum memiliki jumlah penduduk sebesar 20.021 jiwa. Sebaran

perumahan penduduk yang padat dan terletak di daerah pantai, sehingga sebagian

besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sisanya adalah

pedagang.
Gambar 17. Peta Ketinggian Kecamatan Murhum
Kecamatan Batupoaro secara astronomis terletak di 5º27’47.47” Lintang

Selatan dan 122º35’44.14” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan

dengan Selat Buton, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wolio, sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Murhum dan sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Betoambari. Jumlah penduduk Kecamatan Batupoaro yaitu 26.733 jiwa.

Sebaran perumahan penduduk yang padat dan terletak di daerah pantai, sehingga

sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sisanya

adalah pedagang.
Gambar 19. Peta Ketinggian Kecamatan Batupoaro
Kecamatan Wolio secara astronomis terletak di 5º29’00.46” Lintang Selatan

dan 122º38’20.58” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan dengan

Selat Buton, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kokalukuna, sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Sorawolio dan sebelah barat berbatasan

dengan Kecamatan Murhum. Jumlah penduduk Kecamatan Wolio yaitu 43.342 jiwa.

Sebaran perumahan penduduk yang padat dan terletak di daerah pantai, sehingga

sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sisanya

adalah pedagang.
Gambar 20. Peta Ketinggian Kecamatan Wolio
Kecamatan Kokalukuna secara astronomis terletak pada 5048’-5043’ Lintang

Selatan dan 122063’-122062’ Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara

berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan

Sorawolio, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolio dan sebelah barat

berbatasan dengan Selat Buton. Jumlah penduduknya yaitu sebesar 20.992 jiwa.

Sebaran perumahan penduduk yang padat dan terletak di daerah pantai, sehingga

sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sisanya

adalah pedagang.
Gambar 22. Peta Ketinggian Kecamatan Kokalukuna
Kecamatan Lea-Lea secara astronomis terletak pada 5º22’11.64” Lintang

Selatan dan 122º39’21.61” Bujur Timur. Secara geografis disebelah utara berbatasan

dengan Selat Buton, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah

selatan berbatasan dengan Selat Buton dan sebelah barat berbatasan dengan Selat

Buton. Jumlah penduduknya yaitu 8.519 jiwa. Sebaran perumahan penduduk yang

padat dan terletak di daerah pantai, sehingga sebagian besar masyarakatnya bermata

pencaharian sebagai nelayan dan sisanya adalah pedagang.


Gambar 24. Peta Ketinggian Kecamatan Lea-Lea
BAB VI
PEMBAHASAN

A. Analisis Ketinggian

Gambar pertama merupakan peta analisis ketinggian pada Kecamatan

Betoambari. Analisis ketinggian dilakukan dengan menggunakan data DEMNAS

Sulawesi Tenggara yang dipotong berdasarkan peta administrasi Kecamatan

Betoambari. Berdasarkan hasil analisis dihasilkan lima kelas yaitu kelas pertama 50

mdpl merupakan wilayah berwarna hijau hijau tua dengan ketinggian yang sangat

rendah dengan luas 673.15 Ha, kelas kedua 100 mdpl merupakan wilayah berwarna

hijau muda dengan ketinggian rendah seluas 575.74 Ha, kemudian kelas ketiga 150

mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian sedang berwarna kuning seluas 572.73

Ha, selanjutnya kelas keempat 200 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian yang

tinggi berwarna jingga seluas 676.80 Ha, dan kelas terakhir yaitu lebih dari 200 mdpl

merupakan wilayah yang sangat tinggi berwarna merah seluas 722.09 Ha.

Gambar kedua merupakan peta analisis ketinggian pada Kecamatan Murhum.

Analisis ketinggian dilakukan dengan menggunakan data DEMNAS Sulawesi

Tenggara yang dipotong berdasarkan peta administrasi Kecamatan Murhum.

Berdasarkan hasil analisis dihasilkan empat kelas yaitu kelas pertama 50 mdpl

merupakan wilayah dengan ketinggian yang sangat rendah berwarna hijau tua dengan

luas 246.10 Ha, kelas kedua 100 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian rendah

berwarna hijau muda seluas 129.40 Ha, kemudian kelas ketiga 150 mdpl merupakan

wilayah dengan ketinggian sedang berwarna jingga seluas 118.52 Ha, dan kelas
terakhir 200 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian yang tinggi berwarna

merah seluas 73.217 Ha.

Gambar ketiga merupakan peta analisis ketinggian Kecamatan Batupoaro.

Analisis ketinggian dilakukan dengan menggunakan data DEM Sulawesi Tenggara

yang dipotong sesuai dengan peta administrasi kecamatan. Berdasarkan hasil analisis

dihasilkan lima kelas yaitu kelas pertama 50 mdpl merupakan wilayah dengan

ketinggian yang sangat rendah berwarna hijau tua dengan luas 22.97 Ha, kelas kedua

100 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian rendah berwarna hijau muda seluas

40.34 Ha, kemudian kelas ketiga 150 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian

sedang berwarna kuning seluas 57.14 Ha, selanjutnya kelas keempat 200 mdpl

merupakan wilayah dengan ketinggian yang tinggi berwarna jingga seluas 49.35 Ha,

dan kelas terakhir yaitu lebih dari 200 mdpl merupakan wilayah yang sangat tinggi

berwarna merah seluas 0.40 Ha.

Gambar keempat merupakan peta analisis ketinggian pada Kecamatan Wolio.

Analisis ketinggian dilakukan dengan menggunakan data DEM Sulawesi Tenggara

yang dipotong sesuai dengan peta administrasi Kecamatan Wolio. Berdasarkan hasil

analisis dihasilkan lima kelas yaitu kelas pertama 50 mdpl merupakan wilayah

dengan ketinggian yang sangat rendah berwarna hijau tua dengan luas 291.85 Ha,

kelas kedua 100 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian rendah berwarna hijau

muda seluas 305.01 Ha, kemudian kelas ketiga 150 mdpl merupakan wilayah dengan

ketinggian sedang berwarna kuning seluas 647.01 Ha, selanjutnya kelas keempat 200

mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian yang tinggi berwarna jingga seluas
837.52 Ha, dan kelas terakhir yaitu lebih dari 200 mdpl merupakan wilayah yang

sangat tinggi berwarna merah seluas 1049.77 Ha.

Gambar kelima merupakan peta analisis ketinggian pada Kecamatan

Kokalukuna. Analisis ketinggian dilakukan dengan menggunakan data DEM

Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil analisis dihasilkan lima kelas yaitu kelas

pertama 50 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian yang sangat rendah

berwarna hijau tua dengan luas 428.59 Ha, kelas kedua 100 mdpl merupakan wilayah

dengan ketinggian rendah berwarna hijau muda seluas 285.20 Ha, kemudian kelas

ketiga 150 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian sedang berwarna kuning

seluas 338.11 Ha, selanjutnya kelas keempat 200 mdpl merupakan wilayah dengan

ketinggian yang tinggi berwarna jingga seluas 240.04 Ha, dan kelas terakhir yaitu

lebih dari 200 mdpl merupakan wilayah yang sangat tinggi berwarna merah seluas

295.01 Ha.

Gambar keenam merupakan peta hasil analisis ketinggian pada Kecamatan

Lea-Lea. Analisis ketinggian dilakukan dengan menggunakan data DEM Sulawesi

Tenggara. Berdasarkan hasil analisis dihasilkan lima kelas yaitu kelas pertama 50

mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian yang sangat rendah berwarna hijau tua

dengan luas 1508.62 Ha, kelas kedua 100 mdpl merupakan wilayah dengan

ketinggian rendah berwarna hijau muda seluas 671.994 Ha, kemudian kelas ketiga

150 mdpl merupakan wilayah dengan ketinggian sedang berwarna kuning seluas

431.17 Ha, selanjutnya kelas keempat 200 mdpl merupakan wilayah dengan

ketinggian yang tinggi berwarna jingga seluas 421.69 Ha, dan kelas terakhir yaitu
lebih dari 200 mdpl merupakan wilayah yang sangat tinggi berwarna merah seluas

71.13 Ha.

B. Analisis Kemiringan Lereng

Gambar pertama merupakan peta hasil analisis kelerengan pada Kecamatan

Betoambari. Analisis kelerengan menggunakan data DEM Sulawesi Tenggara yang

dipotong sesuai dengan wilayah yang akan dianalisis. Berdasarkan hasil analisis

kelerengan di dapatkan lima kelas yaitu kelas pertama 8% merupakan wilayah

dengan kemiringan landai berwarna hijau tua seluas 2042.93 Ha, kelas kedua 15%

merupakan wilayah dengan kemiringan datar berwarna hijau muda seluas 864.77 Ha,

kemudian kelas ketiga 25% merupakan wilayah dengan kemiringan agak curam

berwarna kuning seluas 274.85 Ha, selanjutnya kelas keempat 45% merupakan

wilayah dengan kemiringan curam berwarna jingga seluas 23.51 Ha, dan kelas

terakhir lebih dari 45% merupakan wilayah dengan kemiringan yang sangat curam

berwarna merah seluas 0.100 Ha.

Gambar kedua merupakan peta hasil analisis kelerengan pada Kecamatan

Murhum. Analisis lerengan dilakukan dengan menggunakan data DEM Sulawesi

Tenggara yangd dipotong sesuai dengan wilayah yang akan diolah. Berdasarkan hasil

analisis kelerengan di dapatkan empat kelas yaitu kelas pertama 8% merupakan

wilayah dengan kemiringan landai berwarna hijau tua seluas 358.73 Ha, kelas kedua

15% merupakan wilayah dengan kemiringan datar berwarna hijau muda seluas

155.64 Ha, kemudian kelas ketiga 25% merupakan wilayah dengan kemiringan agak

curam berwarna jingga seluas 63.36 Ha, selanjutnya kelas keempat 45% merupakan

wilayah dengan kemiringan curam berwarna merah seluas 9.50 Ha.


Gambar ketiga merupakan peta hasil analisis kelerengan pada Kecamatan

Batupoaro. Analisis kelerengan dilakukan dengan menggunakan data DEMNAS

Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil analisis kelerengan di dapatkan lima kelas

yaitu kelas pertama 8% berwarna hijau tua, kelas kedua 15% berwarna hijau tua,

kelas ketiga 25% berwarna kuning, kelas keempat 45% berwarna jingga, dan kelas

terakhir lebih dari 45% berwarna merah.

Gambar keempat merupakan peta hasil analisis kelerengan pada Kecamatan

Wolio. Analisis kelerangan dilakukan dengan menggunakan data DEMNAS

Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil analisis kelerengan di dapatkan lima kelas

yaitu kelas pertama 8% merupakan wilayah dengan kemiringan landai berwarna

hijau tua seluas 1211.26 Ha, kelas kedua 15% merupakan wilayah dengan

kemiringan datar berwarna hijau muda seluas 1050.0536 Ha, kemudian kelas ketiga

25% merupakan wilayah dengan kemiringan agak curam berwarna kuning seluas

741.91 Ha, selanjutnya kelas keempat 45% merupakan wilayah dengan kemiringan

curam berwarna jingga seluas 106.53 Ha, dan kelas terakhir lebih dari 45%

merupakan wilayah dengan kemiringan yang sangat curam berwarna merah seluas

786 Ha.

Gambar kelima merupakan peta hasil analisis kelerangan Kecamatan

Kokalukuna. Analisis kelerengan dilakukan dengan menggunakan data DEMNAS

Sulawesi Tenggara yang dipotong sesuai dengan wilayah yang akan dianalisis.

Berdasarkan hasil analisis kelerengan di dapatkan lima kelas yaitu kelas pertama 8%

merupakan wilayah dengan kemiringan landai berwarna hijau tua seluas 635.76 Ha,

kelas kedua 15% merupakan wilayah dengan kemiringan datar berwarna hijau muda
seluas 492.13 Ha, kemudian kelas ketiga 25% merupakan wilayah dengan

kemiringan agak curam berwarna kuning seluas 357.02 Ha, selanjutnya kelas

keempat 45% merupakan wilayah dengan kemiringan curam berwarna jingga seluas

82.67 Ha, dan kelas terakhir lebih dari 45% merupakan wilayah dengan kemiringan

yang sangat curam berwarna merah seluas 0.045 Ha.

Gambar keenam merupakan peta hasil analisis kelerengan Kecamatan Lea-

Lea. Analisis kelerengan dilakukan dengan menggunakan data DEMNAS Sulawesi

Tenggara yang dipotong sesuai dengan wilayah yang akan dianalisis. Berdasarkan

hasil analisis kelerengan di dapatkan empat kelas yaitu kelas pertama 8% merupakan

wilayah dengan kemiringan landai berwarna hijau tua seluas 1871.05 Ha, kemudian

kelas kedua 15% merupakan wilayah dengan kemiringan datar berwarna hijau muda

seluas 718.46 Ha, selanjutnya kelas ketiga 25% merupakan wilayah dengan

kemiringan agak curam berwarna jingga seluas 388.52 Ha, dan kelas terakhir 45%

merupakan wilayah dengan kemiringan curam berwarna merah seluas 101.03 Ha.
BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Digital Elevation Model (DEM) atau disebut dengan model elevasi digital

merupakan visualisasi topografi atau ketinggian muka tanah yang dibangun

berdasarkan hasil interpolasi deterministik. Data DEM dapat digunakan untuk

melakukan analisis ketinggian maupun analisis kemiringan lereng pada suatu

wilayah.

2. Analisis ketinggian akan menghasilkan data ketinggian yang terbagi atas lima

kelas yaitu 50 mdpl, 100 mdpl, 150 mdpl, 200 mdpl, dan lebih dari 200 mdpl.

Pada praktikum ini dari total enam kecamatan yang dianalisis terdapat satu

kecamatan yang hanya memiliki empat kelas hasil ketinggian yaitu Kecamatan

Murhum. Sedangkan pada hasil analisis kelerengan terdapat dua kecamatan yang

hanya memiliki empat kelas kemiringan yaitu Kecamatan Murhum dan

Kecamatan Lea-Lea.

B. Saran

Adapun saran dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Saran untuk Dosen

Untuk dosen terima kasih atas segala materi yang telah diberi sehingga

praktikan lebih bisa menguasai materi dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
2. Saran untuk Asisten

Saran untuk asisten diharapkan kedepannya dalam menjelaskan agar lebih

jelas dan tidak terburu-buru.

3. Saran untuk Praktikan

Untuk praktikan sebaiknya tidak telat dan tepat waktu saat konsul. Selain itu,

sebaiknya praktikan agar lebih menguasai teori dan tidak hanya sekedar lancar di

praktikum saja.

Anda mungkin juga menyukai