Anda di halaman 1dari 20

MODEL PERMUKAAN DIGITAL

DEM (Digital Elevation Model)

“Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Model Permukaan Digital”

Dosen:

Aning Haryati, S.T., M.T.

Oleh:

Ali Abdul Hayyi

4122319130021

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEODESI

FAKULTAS TEKNIK, PERENCANAAN, DAN ARSITEKTUR

UNIVERSITAS WINAYA MUKTI

2022
DAFTAR ISI
BAB I ......................................................................................Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
Latar Belakang................................................................................................................. 3
Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
Tujuan ............................................................................................................................. 4
BAB II ................................................................................................................................... 5
LANDASAN TEORI ................................................................................................................ 5
Digital Elevation Model (DEM) Nasional ..................................................................... 5
Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR) ..................................................... 8
TerraSAR-X .................................................................................................................. 9
SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) ............................................................. 10
ASTER GDEM ............................................................................................................. 12
Koreksi Undulasi........................................................................................................ 13
Koreksi Kesalahan Tinggi ........................................................................................... 15
Penggabungan DEM .................................................................................................. 17
BAB III ................................................................................................................................ 18
PENUTUP ........................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data digital yang
merepresentasikan bentuk topografi suatu wilayah dalam tiga dimensi
(3D). Aplikasi Model Elevasi Digital antara lain adalah dalam
geomorfologi seperti pemodelan erosi, hidrologi misalnya dalam
pemodelan banjir, perencanaan tata ruang suatu wilayah, manajemen
penggunaan lahan, pemetaan wilayah rawan bencana, dan berbagai
keperluan lainnya seperti pembuatan peta rupabumi, serta peta ortofoto.
Data DEM umumnya dibentuk dari data pengukuran secara langsung pada
objek di lapangan (survei terestris), data penginderaan jauh, maupun data
digitasi peta analog. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam
pembentukan DEM antara lain adalah data foto udara, serta penginderaan
jauh dengan sensor aktif seperti LIDAR (Light Detection and Ranging)
dan SAR (Syntethic Aperture Radar). Pembuatan DEM melalui foto udara
membutuhkan data stereo yaitu kondisi dimana citra atau foto satu dengan
yang lainnya memiliki daerah yang saling tumpang tindih (overlap)
dengan sudut pandang yang berbeda.
Model tinggi yang tersedia di Indonesia salah satunya berupa data peta
Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diproduksi oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG). Peta RBI merupakan produk yang umum digunakan
karena terdiri dari berbagai skala. Ketersediaan peta RBI khususnya pada
skala detil 1:25.000 saat ini belum meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Peta RBI skala 1:25.000 baru tersedia untuk wilayah Pulau Jawa, Bali, dan
Nusa Tenggara. Salah satu penyebab sedikitnya ketersediaan peta RBI
skala 1:25.000 adalah dikarenakan minimnya ketersediaan data DEM yang

3
akurat dengan resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar untuk
pemetaan skala 1:25.000 di Indonesia.
Saat ini, data DEM yang banyak digunakan di Indonesia antara lain
adalah data DEM yang bersumber dari SRTM (Shuttle Radar Topographic
Mission), dan ASTER 2 GDEM. Masing-masing dari data DEM tersebut
masih memiliki kesalahan tinggi, sehingga belum dapat digunakan secara
maksimal untuk keperluan pemetaan. Julzarika (2015), dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa nilai akurasi vertikal global dari SRTM
C adalah sebesar 10-16 m, kemudian jika dilakukan koreksi nilai
kesalahan tinggi pada data tersebut, maka nilai akurasi vertikal dari SRTM
C akan meningkat menjadi 5-8 m. Ketika data SRTM C dilakukan
integrasi dengan data ALOS Palsar ataupun X SAR, maka nilai akurasi
vertikal data tinggi tersebut akan lebih baik lagi, yaitu meningkat menjadi
1-5 m.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apakah semua data dapat dilakukan integrasi DEM menjadi
purwarupa desain DEM Nasional?

2. Berapa nilai resolusi dan akurasi vertikal dari purwarupa desain


DEM Nasional?

1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui nilai resolusi dan akurasi
tinggi dari masing-masing kombinasi integrasi data DEM, serta untuk
mendapatkan purwarupa DEM Nasional dengan nilai resolusi dan akurasi
vertikal yang memenuhi standar pemetaan dasar skala 1:25.000 sesuai
dengan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Digital Elevation Model (DEM) Nasional


Model ketinggian didefinisikan menjadi beberapa model antara lain
DEM (Digital Elevation Model), DSM (Digital Surface Model), dan DTM
(Digital Terrain Model). DEM adalah data digital yang menggambarkan
geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari
himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan
algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan
himpunan koordinat (Tempfli, 1991). Terdapat dua tipe data DEM yaitu
Digital Terain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM). DEM
yang menyajikan permukaan bumi beserta segala penutup lahan yang ada
di atasnya dinamakan Digital Surface Model (DSM), sedangkan DEM
yang hanya merepresentasikan konfigurasi terain tanpa penutup lahan
yang ada di permukaan tanah dan dilengkapi fitur alami seperti sungai,
sering disebut sebagai Digital Terain Model (DTM). Dengan demikian,
DSM dapat dikatakan lebih detil dibandingkan DTM yang hanya
merepresentasikan permukaan bumi berdasarkan konfigurasi terain tanpa
penutup lahan yang ada di atasnya (Puspita, dkk, 2013). Gambar I.1.
merupakan visualisasi dari DTM dan DSM.

Gambar 1.1 Model tinggi (DTM dan DSM)(sumber: zonaspasial.com

5
Gambar I.1. merupakan visualisasi dari DSM dan DTM pada wilayah
Adelaide, Australia Selatan. Pada Gambar I.1. terlihat dengan jelas
perbedaan antara DSM dan DTM, dimana DSM dilengkapi dengan
ketinggian penutup lahan (tinggi bangunan, pohon, dan lain sebagainya),
sedangkan DTM merupakan representasi kondisi terrain tanpa penutup
lahan pada wilayah Adelaide. Istilah DEM Nasional merupakan istilah
yang diajukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Kriteria DEM
Nasional yang diajukan oleh BIG adalah sebagai berikut (File Preliminary
Study of National Elevation Dataset BIG, 2014) :
1. Merupakan data mosaik (seamless) ketinggian terbaik dari yang ada
yang didefinisikan dalam datum, unit ketinggian dan proyeksi yang
sama serta mencakup seluruh wilayah Indonesia.
2. Data tinggi merupakan hasil dari perekaman sensor RADAR baik
secara interferometri maupun radargrammetri dengan wahana pesawat
maupun satelit.
3. Format data dalam raster.
4. Data ketinggian nasional merupakan hasil kompilasi beberapa macam
data ketinggian yang didefinisikan dalam suatu sistem referensi
horisontal dan vertikal.
5. Data ketinggian Nasional dikelola dalam sistem koordinat geografis
menggunakan Datum WGS 84.
6. Satuan nilai ketinggian dalam meter menggunakan datum SRGI 2013.
7. Data ketinggian Nasional digunakan sebagai informasi ketinggian
dasar untuk keperluan ilmu pengetahuan kebumian, modeling
hidrologi, manajemen bencana, survei dan pemetaan di Indonesia.
8. Data Ketinggian nasional merupakan data berbagi pakai yang
disebarluaskan ke setiap simpul jaringan melalui skema IDSN
(Infrastruktur Data Spasial Nasional).
9. Memiliki metadata yang jelas.

6
10. Perbaikan dari data tinggi global yang telah tersedia (seperti SRTM,
dan ASTER GDEM).

Spesifikasi dari DEM Nasional yang disusun oleh BIG ditampilkan


dalam Tabel I.1 yang menjelaskan mengenai jenis data yang digunakan
untuk DEM Nasional, sistem koordinat, datum, resolusi spasial, akurasi,
tipe file, format file, dan tahun akuisisi data DEM Nasional.

Tabel I. 1. Spesifikasi DEM Nasional BIG


No Spesifikasi Keterangan
1. Jenis data tinggi DSM (Digital Surface Model)
2. Sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator)
3 Datum horizontal SRGI 2013
4 Datum vertikal SRGI 2013
5 Unit Meter
6 Spacing grid 5-10 meter
7 Akurasi horizontal 2-10 meter
8 Akurasi vertikal 2-6 meter
9 Tipe file 32 bit
10 Format RASTER Geotiff
11 Layer format Seamless
12 Tahun akuisisi 2005-2014

Dari spesifikasi DEM Nasional yang dijelaskan pada Tabel I.1.


tersebut, terdapat beberapa hal yang disesuaikan dengan penelitian ini.
Spesifikasi DEM Nasional yang disesuaikan dengan penelitian ini antara
lain datum horizontal yang digunakan pada penelitian ini adalah WGS
1984, tidak dilakukan transformasi ke SRGI 2013 karena tidak tersedianya
titik ikat untuk melakukan transformasi koordinat. Datum vertikal yang
digunakan adalah EGM 2008, karena datum vertikal SRGI 2013 pada

7
wilayah penelitian masih menggunakan EGM 2008. Akurasi yang diteliti
hanya sebatas akurasi vertikal, sehingga akurasi horizontal tidak dihitung.

2.2 Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR)


Salah satu metode SAR (Synthetic Aperture Radar) yang saat ini sedang
berkembang adalah IFSAR. IFSAR merupakan teknik penginderaan jauh
yang menggunakan citra hasil satelit RADAR, untuk mengekstraksi informasi
tiga dimensi dari permukaan bumi dengan pengamatan fasa gelombang
RADAR. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan RADAR berupa
gelombang radio dan gelombang mikro. Pantulan dari gelombang tersebut
digunakan untuk mendeteksi objek.
Citra RADAR yang diperoleh dari satelit maupun pesawat udara berisi dua
informasi penting yaitu informasi mengenai daya sinar pancar berupa fase
dan amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang yang
dipancarkan serta dipantulkan kembali. Citra IFSAR memiliki resolusi citra
yang tinggi dan mampu merepresentasikan objek di permukaan bumi dengan
jelas sehingga dapat dilakukan interpretasi dan identifikasi yang sesuai,
kemudian citra tersebut memiliki posisi tiga dimensi yang cukup sehingga
daerah yang dipetakan dapat diketahui topografinya.
Pada lintasan tunggal (single pass), kedua antena dapat dipasang melintang
pesawat terbang (across track), ataupun memanjang pesawat terbang (along
track). Pada posisi across track, kedua antenna dipasang di kiri dan di kanan
sayap pesawat terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima,
sedangkan antena lainnya hanya berfungsi sebagai penerima. Penerapan
prinsip RADAR apertur sintetik interferometri lintasan tunggal sistem
melintang pesawat pada tahun 2000 diterapkan di pesawat ulang-alik SRTM
(Shuttle Radar Topographic Mission).

8
Gambar I. 1. Penerapan RADAR apertur sintetik interferometris lintasan
tunggal (single pass) – Sistem melintang pesawat (across track)
Berdasarkan Gambar I. 1.. informasi ketinggian diperoleh dengan
menggunakan konsep beda fasa dari dua antena melalui perhitungan beda
fasa berikut :

Keterangan :

B = jarak antara antena kiri dan antena kanan (baseline)

By, Bz = komponen basis dalam arah mendatar dan tegak

θ = sudut masuk

r1, r2 = jarak miring (slant range), masing-masing dari antena pertama

ke objek dan dari antena kedua ke objek yang sama di

permukaan bumi

∆φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama

dan dari antena kedua

λ = panjang gelombang mikro yang digunakan

2.3 TerraSAR-X
TerraSAR-X adalah satelit observasi bumi merupakan sebuah kolaborasi
antara Jerman Aerospace Center (DLR) dan EADS Astrium. Diluncurkan

9
pada 15 Juni 2007 dan telah beroperasi secara resmi sejak Januari 2008. Pada
21 Juni 2010 Jerman kembali meluncurkan satelit kembaran TerraSAR-X
bernama TanDEM-X, dua satelit ini bekerja secara berpasangan. TerraSAR-X
merupakan teknologi RADAR terbaru untuk pemetaan dengan panjang
gelombang aktif X-band (panjang gelombang 31 mm, frekuensi 9,6 GHz)
yang mampu mengatasi tutupan awan (LAPAN, 2010). Tabel I.5. merupakan
keterangan fisik dari TerraSAR-X.

Tabel I. 2. Keterangan fisik dari TerraSAR-X


Keterangan Keterangan Tanggal
Fisik peluncuran 15 Juni 2007
Roket pembawa Dnepr rocket
Tempat peluncuran Baikonur Cosmodrome, Kazakhstan
Berat satelit 1.230 kg
Ukuran satelit Tinggi 5 meter, diameter 2,4 meter
Tipe Low earth orbit
Ketinggian orbit 514 km (319 mi)
Inklinasi 97,44o
Frekuensi RADAR 9,65 GHz
Panjang antena 4,8 meter
Lebar antena 0,7 meter
Satu kali memutari bumi 94,92 menit

2.4 SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)


Data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) merupakan suatu bentuk
data yang menyediakan informasi tentang tinggi tempat atau biasa disebut
DSM (Digital Surface Model). SRTM merupakan hasil kerjasama antara
NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan NGA (National
Geospatial-Intelligence Agency) untuk membuat peta Digital Elevation
Model (DEM) secara global menggunakan interferometri. SRTM

10
diterbangkan kapal pesawat ulang-alik Endeavour 11-22 Februari 2000
dengan ketinggian 233 km, kemiringan 57 derajat, dan misi selama 11 hari.
Endeavour mengorbit bumi 16 kali setiap hari selama misi 11 hari,
menyelesaikan 176 orbit. SRTM berhasil mengumpulkan data radar lebih dari
80% dari permukaan daratan bumi antara 60 ° Lintang Utara dan 56 ° Lintang
Selatan dengan titik data diposting setiap 1 arc-second (sekitar 30 meter).
Akurasi vertikal dari SRTM mencapai 16 meter dengan tingkat kepercayaan
90%.
SRTM memanfaatkan teknik yang disebut interferometri RADAR untuk
memperoleh informasi topografi. Ada dua jenis panel antena pada SRTM
yaitu CBand dan X-Band. Data RADAR C-band diproses di Jet Propulsion
Laboratory (JPL) yang menyediakan Digital Elevation Model (DEM) global.
DEM resolusi yang lebih tinggi (tapi tidak dengan cakupan global) yang
dihasilkan dari data RADAR X-Band, diolah dan didistribusikan oleh
German Aerospace Center, DLR (Rodriguez, 2006). Spesifikasi produk
SRTM dapat dilihat pada Tabel I.3.

Tabel I. 3. Spesifikasi produk SRTM


Spesifikasi Keterangan
Misi perekaman data 11 Februari 2000 – 22 Februari 2000
Lama misi 11 hari
Ketinggian orbit Endeavour 233 km
Inklinasi orbit Endeavour 57o
Petak data yang diperoleh 1000 (80% keseluruhan daratan bumi)
Akuisisi data >80 jam
Sistem proyeksi Geografis
Datum horizontal WGS 1984
Datum vertikal EGM (Earth Gravitational Model)
1996
Unit vertikal Meter

11
Resolusi spasial 1 arc-second untuk cakupan global
(~30 meter)
3 arc-second untuk cakupan global
(~90 meter)
Ukuran raster 1 degree tiles

Panjang gelombang C-band 5,6 cm

2.5 ASTER GDEM


ASTER merupakan salah satu sensor yang terdapat pada satelit Terra.
Satelit Terra diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dengan misi selama
6 tahun sebagai platform pertama program pengamatan bumi berskala besar
yang dipromosikan oleh NASA, yang kemudian program satelit ini diberi
nama baru sebagai EOS-AM1. ASTER GDEM merupakan singkatan dari
Advanced Spaceborne Thermal Emission And Reflection Radiometer global
DEM. ASTER GDEM adalah salah satu Digital Surface Model (DSM) yang
dapat diunduh gratis melalui situs USGS. ASTER GDEM memiliki informasi
topografi yang dihasilkan dari data ASTER sensor VNIR band 3N dan 3B
dengan resolusi 15 m. Data ini dapat digunakan dalam pemetaan 1:50.000
sampai 1:250.000. Band 3B dihasilkan dari perekaman perbedaan sudut
pandang sebesar 23,5o relatif terhadap nadir telescope. VNIR merekam
gambar stereo dari nadir teleskop kemudian backward-viewing telescope
merekam kembali daerah yang sama setelah selang waktu 60 detik sehingga
terbentuk citra stereo (Kervyn, dkk, 2007).
ASTER GDEM dibuat oleh METi dan JAXA Jepang dan sudah dilakukan
koreksi geometrik serta koreksi radiometrik. ASTER mencakup data DEM
dari koordinat 83° LU hingga 83° LS. Kemudian data tersebut dibagi atas
petak-petak citra 20 dengan luas 1x1 derajat. Jumlah petak untuk DEM
ASTER GDEM versi 1 yaitu 22.600, sedangkan jumlah area untuk DEM
ASTER GDEM versi 2 yaitu 22.702. Setiap petak citra DEM ASTER terdiri
atas dua file, yaitu data DEM dan data informasi kualitas DEM. DEM

12
ASTER GDEM versi 1 yang diluncurkan pada akhir bulan Juni 2009, dan
DEM ASTER GDEM versi 2 yang diluncurkan pada pertengahan bulan
Oktober 2011. ASTER GDEM versi 2 merupakan pengembangan dan
perbaikan dari ASTER GDEM versi 1. Perbaikan dilakukan dengan
menambahkan 260.000 scene untuk meningkatkan cakupan wilayah DEM

Tabel I. 4. Spesifikasi ASTER GDEM


Spesifikasi Keterangan
Penyedia data METi/NASA
Versi dan tahun akuisisi data Ver.2, 2011
Periode pengumpulan data 2000-2010
Teknik akuisisi Stereo Pairs, visible, and near
infrared
Faktor utama distorsi Awan
Datum horizontal WGS 1984
Datum vertikal EGM 1996
Resolusi horizontal 1 arc second
Akurasi horizontal ±30 meter (abs) 95% Circular Error
(CE)
Akurasi vertikal ±20 meter (abs) 95% Linear Error
(LE)
Format data GeoTIFF

2.6 Koreksi Undulasi


Koreksi undulasi digunakan untuk menyamakan bidang referensi
ketinggian (datum vertikal) dari data model tinggi yang digunakan dalam
penelitian ini. Pada penelitian ini model geoid yang digunakan adalah Earth
Gravitaional Model (EGM) 2008, sehingga data SRTM dan ASTER GDEM
yang masih menggunakan model geoid EGM 1996 memerlukan koreksi
undulasi terhadap EGM 2008. EGM 1996 adalah model harmonik bola dari

13
potensial gravitasi yang dibangun bersama-sama oleh the NASA Goddard
Space Flight Center, the National Imagery and Mapping Agency (NIMA),
dan the Ohio State University (NASA/GSFC, 2004). Model ini disusun oleh
koefisien-koefisien harmonik bola yang lengkap sampai derajad dan orde
360. Model ini dibentuk berdasarkan data dari seluruh dunia berupa data
gayaberat permukaan (surface gravity data), data anomali gaya berat yang
diturunkan dari data satelit altimeter ERS-1 dan GEOSAT, data penjejakan
satelit (GPS, TDRSS, DORIS, 22 TRANET) yang ekstensif, dan direct
altimeter ranges from TOPEX/POSEIDON, ERS-1, and GEOSAT
EGM 2008 adalah model geopotensial global bumi yang dipublikasikan
oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA). EGM2008
mengandung informasi mengenai koefisien harmonik bola antara lain orde
(L), degree (M), koefisien model geopotensial yang terasosiasi (C), koefisien
model geopotensial yang ternormalisasi penuh (S), serta standar deviasi dari
C dan S (σC dan σS). EGM 2008 dilengkapi dengan koefisien harmonik
hingga derajat dan orde 2159 serta memuat koefisien tambahan hingga derajat
2190 dan orde 2159
EGM 1996 merupakan geoid yang digunakan pada data SRTM dan
ASTER GDEM, sedangkan EGM 2008 digunakan pada data IFSAR dan
TerraSAR-X. Geoid (model geopotensial) didefinisikan sebagai salah satu
bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis
umumnya geoid dianggap berimpit dengan muka air laut rata-rata atau Mean
Sea Level (MSL). Geoid adalah bidang referensi untuk menyatakan tinggi
orthometrik. Secara matematis, geoid adalah suatu permukaan yang sangat
kompleks yang memerlukan sangat banyak parameter untuk
merepresentasikannya. Oleh karena itu untuk merepresentasikan bumi ini
secara matematis serta untuk perhitungan-perhitungan matematis orang
umumnya menggunakan suatu ellipsoid referensi dan bukan geoid. Ellipsoid
referensi dan geoid umumnya tidak berimpit, dan dalam hal ini ketinggian
geoid terhadap ellipsoid dinamakan undulasi geoid (N)

14
Gambar I. 2 Transformasi tinggi ellipsoid ke tinggi orthometrik
nilai tinggi orthometrik dapat dihitung dari selisih tinggi ellipsoid
dengan undulasi. Undulasi geoid di suatu titik dapat dihitung dengan
hubungan berikut:

𝑁𝐺𝑀 = ∑𝑛𝑚𝑎𝑥
𝑛=2 ∑𝑛𝑚=0 [𝐶𝑛𝑚 cos 𝑚𝜆 + 𝑆𝑛𝑚 sin 𝑚𝜆]𝑛𝑚 (𝑠𝑖𝑛𝜑)

Keterangan :
NGM = nilai undulasi pada model geoid global
Cnm, Snm = koefisien geopotensial yang dinormalisasi penuh (fully
normalized geopotential coefficients)
Pnm =fungsi Legendre yang dinormalisasi penuh (fully
normalized legendre function)
nmax = derajat maksimal model geopotensial
n,m = derajat dan orde model geopotensial
R = jari-jari rata-rata bumi
(φ,λ) = lintang dan bujur geosentrik

2.7 Koreksi Kesalahan Tinggi


Kesalahan tinggi pada model tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Keberagaman tutupan lahan, faktor internal dari data model tinggi yang
diperoleh, kesalahan saat melakukan interpolasi kontur merupakan beberapa
faktor-faktor yang menyebabkan adanya kesalahan tinggi pada data model

15
tinggi. Kesalahan yang diakibatkan oleh kesalahan saat melakukan interpolasi
kontur, dapat disebabkan karena penyebaran titik tinggi yang tidak merata
atau oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan sebenarnya.
Istilah kesalahan tinggi (height error) digunakan di DLR, NASA, dan
LAPAN. Istilah lain height error adalah bull eye’s yang digunakan di
Amerika Serikat, Golden software, dan LAPAN. Istilah noise digunakan di
Eropa dan Kanada, sedang istilah pit 24 dan spire digunakan di sebagian
Amerika Utara, Amerika Serikat, dan Golden software (Julzarika, 2015)
Pengecekan kesalahan tinggi dapat dilakukan dengan deteksi pit dan spire.
Pit adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi lembah terjal di
model tinggi, sedangkan spire adalah kondisi anomali tinggi yang
menyebabkan terjadi gunung terjal di model tinggi. Pit dan spire dapat terlihat
dari kontur yang sangat rapat yang menunjukkan pola bull eyes

Gambar I. 3. Contoh piksel dengan jendela 5x5 untuk deteksi pit dan spire

Tabel I. 5. Algoritma deteksi pit dan spire


No Pit Spire
1 Nilai C harus lebih rendah Nilai C harus lebih tinggi dibandingkan
dibandingkan dengan seluruh dengan seluruh piksel di dalam jendela
piksel di dalam jendela..
2 Nilai C harus lebih rendah Nilai C harus lebih tinggi dibandingkan
dibandingkan 8 piksel dengan 8 piksel dengan tanda X dengan
tanda X dengan kedalaman kedalaman spire yang didefinisikan saat
pit yang didefinisikan saat input proses.
input proses.

16
Koreksi kesalahan tinggi dilakukan untuk menghilangkan anomali tinggi
pada data model ketinggian. Ada tiga metode untuk koreksi kesalahan tinggi,
yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height Error Maps (HEM). Fill sink adalah
metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cekungan sedangkan
Cut Terrain adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah
cembung/terjal. Metode Height Error Maps (HEM) menghasilkan data
keluaran dengan akurasi dan presisi lebih baik dari FillSink dan Cut Terrain.
HEM dibuat dari nilai standar deviasi atau kesalahan vertikal pada data model
tinggi tersebut.
Proses koreksi kesalahan tinggi hanya dilakukan pada SRTM dan ASTER
GDEM karena data IFSAR dan TerraSAR-X sudah terkoreksi tinggi oleh
pihak penyedia data. HEM dari data SRTM disediakan oleh NASA, dan
ASTER GDEM disediakan oleh METi.

2.8 Penggabungan DEM


Mengacu pada penelitian sebelumnya, teknik penggabungan DEM
dilakukan dengan integrasi DEM. Julzarika (2015), menjelaskan konsep
integrasi model tinggi sebagai suatu metode untuk mendapatkan model tinggi
berdasarkan integrasi menggunakan berbagai keunggulan dari setiap model
tinggi berdasarkan karakteristik berupa penetrasi ke obyek, resolusi spasial,
dan minimal kesalahan tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi.
Tujuan dari integrasi model tinggi adalah untuk dapat menghasilkan suatu
model tinggi dengan akurasi vertikal dan resolusi yang baik menggunakan
keunggulan dari masing-masing karakteristik model tinggi yang
diintegrasikan.

17
BAB III

PENUTUP

2.8 Kesimpulan
Model ketinggian didefinisikan menjadi beberapa model antara lain DEM
(Digital Elevation Model), DSM (Digital Surface Model), dan DTM (Digital
Terrain Model). Terdapat dua tipe data DEM yaitu Digital Terain Model
(DTM) dan Digital Surface Model (DSM). Data tinggi merupakan hasil dari
perekaman sensor RADAR baik secara interferometri maupun
radargrammetri dengan wahana pesawat maupun satelit. Format data dalam
raster. Data ketinggian nasional merupakan hasil kompilasi beberapa macam
data ketinggian yang didefinisikan dalam suatu sistem referensi horisontal
dan vertikal. Data ketinggian Nasional dikelola dalam sistem koordinat
geografis menggunakan Datum WGS 84. Satuan nilai ketinggian dalam meter
menggunakan datum SRGI 2013.

18
DAFTAR PUSTAKA

Li, Lichen, et al. "DEM analysis of the plugging effect of open-ended pile
during the installation process." Ocean Engineering 220 (2021): 108375.
Kuang, Shibo, Mengmeng Zhou, and Aibing Yu. "CFD-DEM modelling
and simulation of pneumatic conveying: A review." Powder Technology 365
(2020): 186-207.
Peng, Zhengbiao, Elham Doroodchi, and Behdad Moghtaderi. "Heat
transfer modelling in Discrete Element Method (DEM)-based simulations of
thermal processes: Theory and model development." Progress in Energy and
Combustion Science 79 (2020): 100847.

19
20

Anda mungkin juga menyukai