Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem informasi

berbasiskan komputer untuk menyimpan, mengelola dan menganalisis, serta

memanggil data bereferensi geografis yang berkembang pesat pada lima

tahun terakhir ini. Sebagai suatu bentuk informasi, ketepatan dan ketelitian

bergantung pada teknik dalam melaksanakan pengumpulan pengaturan, pengolahan,

penyimpanan, serta pengkajian datanya. Oleh karena itu, guna memperoleh informasi

yang tepat dan akurat, semua komponen tersebut perlu dikembangkan secara terpadu

dalam suatu sistem yang dikenal dengan nama sistem informasi geografis (SIG).

Analisis spasial adalah sekumpulan teknik yang dapat digunakan dalam

pengolahan data Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis spasial juga dapat

diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi

data dari perspektif keruangan. Semua teknik atau pendekatan perhitungan matematis

yang terkait dengan data keruangan (spasial) dilakukan dengan fungsi analisis spasial

tersebut. Pengelolaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengelolaan

data Sistem Informasi Geografi, dimana salah satu contoh pengolahan data spasial

yaitu analisis data DEM.

Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu model untuk

menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat divisualisasikan

kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Ada banyak cara untuk memperoleh data DEM,

44
interferometri SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu algoritma

untuk

45
45

membuat data DEM. Data citra SAR atau citra radar yang digunakan dalam proses

interferometri dapat diperoleh dari wahana satelit atau pesawat. DEM khususnya

digunakan untuk menggambarkan relief medan.

Pada praktikum ini, analisis data DEM yang dilakukan adalah analisis

ketinggian yang digunakan untuk mengukur ketinggian suatu titik di atas permukaan

laut. Selain itu, analisis lain yang dilakukan adalah analisis kemiringan lereng yang

digunakan untuk menghitung kondisi kemiringan pada suatu lahan.

B. Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui dan memahami data Digital Elevation Model (DEM) dan

analisis yang dapat dilakukan dengan data Digital Elevation Model (DEM).

2. Untuk mengetahui dan memahami analisis pada data Digital Elevation Model

(DEM) hingga menghasilkan data kelerengan sesuai pengkelasan masing-

masing.

C. Manfaat Praktikum

Adapun manfaat dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Praktis

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam mengamalkan ilmu yang

telah dipelajari dalam beberapa waktu. Bagi mahasiswa Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kebumian diharapkan bisa tersalurkan ke pembaca lainnya.

2. Manfaat Teoritis

Praktikum ini bermanfaat untuk mengetahui langkah-langkah melakukan

analisis ketinggian dan analisis kelerengan pada data DEM.


46

D. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Wilayah kajian berada di Kabupaten Buton

2. Metode analisis data yang digunakan yaitu reclassify, analisis slope, inverse

distance weighted

3. Interval kelas kemiringan yang digunakan yaitu 3%, 8%, 15%, 30% dan lebih

dari 30%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Analisis Slope

Lereng adalah suatu bidang di permukaan tanah yang menghubungkan

permukaan tanah yang lebih tinggi dengan permukaan tanah yang lebih rendah.

Lereng dapat terbentuk secara alami dan dapat juga dibuat oleh manusia. Dalam

bidang Teknik Sipil, ada tiga jenis lereng yaitu:

1. Lereng alam, yaitu lereng yang terbentuk karena proses-proses alam, misalnya

lereng suatu bukit.

2. Lereng yang dibuat dengan tanah asli, misalnya apabila tanah dipotong untuk

pembuatan jalan atau saluran air untuk keperluan irigasi.

3. Lereng yang dibuat dari tanah yang dipadatkan, sebagai tanggul untuk jalan atau

bendungan tanah.

Pada ketiga jenis lereng ini kemungkinan untuk terjadi longsor selalu ada,

karena dalam setiap kasus tanah yang tidak rata akan menyebabkan komponen

gravitasi dari berat memiliki kecenderungan untuk menggerakkan massa tanah dari

elevasi lebih tinggi ke elevasi yang lebih rendah (Pengemanan, 2016).

Q-Slope adalah klasifikasi metode empiris kestabilan lereng batuan yang

pertama kali dipublikasikan oleh Neil Bar dan Nick Barton pada tahun 2015 dan

merupakan pengembangan dari klasifikasi Q-System (Barton et all, 1974) yang telah

banyak diaplikasikan untuk klasifikasi massa batuan pada konstruksi dan tambang

bawah tanah. Penilaian metode Q-Slope berdasarkan terhadap enam parameter utama

untuk mengetahui peringkat klasifikasi massa batuan yakni RQD (Rock Quality

47
48

Designation), Jn (jumlah set diskontinu), Jr (kekasaran bidang diskontinu), Ja

(tingkat alterasi bidang diskontinu), Jw (faktor air pada bidang diskontinu), dan SRF

(Stress Reduction Factor). Namun, terdapat penambahan perhitungan faktor orientasi

bidang diskontinu (O-Factor) sesuai dengan potensi longsor batuan (Akbar, 2020).

Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui nilai

faktor keamanan dari lereng tersebut. Nilai dari faktor keamanan lereng merupakan

hasil perbandingan antara kekuatan yang diperlukan dalam menahan dengan gaya

dorong yang ada Perhitungan faktor keamanan lereng ini dilakukan dengan

menggunakan program Slope/W untuk kemiringan lereng 40°, 45°, 50°, 55°, dan 60°

dengan menampilkan beberapa metode dan hasil perhitungan (Munir, 2018).

SMR (Slope Mass Rating) digunakan untuk menentukan kestabilan suatu

lereng yang dikaitkan dengan geometri lereng dan diskontinuitas. Pembobotan nilai

SMR didasarkan pada pers. Berdasarkan Romana, 1985. Untuk lereng yang sangat

stabil akan mengasilkan nilai SMR >80. Untuk SMR range 60-80 termasuk dalam

kelas stabil dengan kemungkinan bisa terjadi longsoran berupa blok yang

probalitasnya 20%. Untuk SMR range 40-60 termasuk dalam kelas sedang atau

sebagian stabil yang dimana probalitas longsornya 40% yang dikontrol oleh adanya

kekar atau baji kecil. Untuk SMR range 20-40 masuk kategori tidak stabil dengan

probalitas 60% yang kemungkinan terjadi longsoran bidang atau baji besar. Adapun

untuk lereng yang sangat tidak stabil memiliki nilai SMR 0-20 dengan probalitas

longsor 90% dengan jenis longsoran bidang atau seperti keruntuhan material lepas

(Hasria dkk, 2019).


49

B. Kemiringan Lereng

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling

berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Kemiringan lereng dinyatakan

dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100 persen sama dengan kecuraman 45

derajat. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curam lereng juga

memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan demikian memperbesar energi

angkut air. Selain itu dengan makin miringnya lereng, maka butir-butir tanah yang

terpecik kebawah oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Dengan demikian jika

lereng permukaan tanah lebih curam maka kemungkinan erosi akan lebih besar

persatuan luas. Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak

vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat

dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan º

(derajat). Bentuk lereng yang dilihat dari permukaan tanahnya dapat berbentuk

cembung dan dapat berbentuk cekung (Yumai dkk, 2019).

Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kualitas lahan dan merupakan salah

satu parameter dalam menentukan tingkat kesesuaian lahan suatu tanaman tertentu.

Kemiringan lereng juga merupakan salah satu faktor terjadinya erosi dan longsor di

lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin

miringnya suatu lereng. Tingkat erosi permukaan yang terjadi pada lahan dengan

kemiringan lereng landai lebih tinggi 38.4%, pada lereng agak miring lebih tinggi

63.6% dan pada lereng miring lebih tinggi 69.1% dibanding besarnya erosi

permukaan yang terjadi pada lahan datar. Ketinggian tempat tidak dapat diubah
50

sedangkan kemiringan lereng dapat dilakukan suatu tindakan konservasi untuk

mengurangi dampak kemiringan tersebut (Dengen dkk, 2019).

Presentase kemiringan lereng rendah dapat digunakan untuk membangun lahan

perumahan, karena pada area datar akan semakin mudah membangun rumah

dibandingkan di daerah yang memiliki kemiringan lereng sangat curam. Semakin

besar kemiringan lereng, maka daya dukung yang dihasilkan akan semakin menurun.

Lahan yang miring juga rawan terjadi longsor saat musim hujan tiba. Pada saat

lereng terlalu curam, terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang

kedap air serta terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan bidang luncur sehingga

tanah jenuh air (Setyoko, 2019).

Informasi laju erosi di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) diperlukan untuk

pengelolaan sumberdaya lahan secara lestari. Informasi laju erosi untuk keperluan

perencanaan dalam pengelolaan sumberdaya lahan umumya diduga menggunakan

persamaan umum pendugaan laju erosi dengan Metode USLE (Universal Soil Loss

Equation), RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation,) dan MUSLE (Modified

Universal Soil Loss Equation). Salah satu parameter dalam USLE, RUSLE maupun

MUSLE adalah faktor topografi (Hengki dkk., 2017).

Untuk mengklasifikasikan kelas kemiringan lereng diperlukan suatu

informasi geografis. Informasi geografis merupakan informasi mengenai tempat-


51

tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu

objek terletak di permukaan bumi dan informasi mengenai keterangan-keterangan

(atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diketahui. Semuanya

dirangkai dalam suatu sistem yang disebut Sistem Informasi Geografis atau yang

lebih dikenal dengan istilah SIG. Dengan SIG akan lebih mudah untuk

mengklasifikasikan kelas kemiringan lereng dan memberi informasi mengenai

permukiman yang melanggar kaidah yang berlaku. Dan untuk menginterpretasikan

hasil dapat dilakukan melalui visualisasi 3D (Mega dkk., 2018).


BAB III
PROSEDUR KERJA

1. Membuka software ArcGis 10.3

2. Memasukkan citra DEMNAS Kota Bau-Bau dengan cara mengklik add file

kemudian mencari letak penyimpanan citra.

3. Setelah itu melakukan proses slope dengan cara mengeklik menu pencarian di

ArcGIS.

4. Setelah muncul fitur pencarian, mengetik slope kemudian memilih menu slope

(spatial analisyst) (tool) untuk membuat kelas lereng pada data DEM yang sudah

di masukan sebelumnya.

52
53

5. Memasukkan file citra DEMNAS Kabupaten Buton

6. Mengubah fitur output measurement menjadi percent rise agar persentasi

kemiringan menjadi dalam bentuk persen lalu mengeklik ok.

7. Setelah prosesnya selsai , kemudian mengetik reclassify di menu pencarian

kemudian memilih menu reclassify (spatial analisyst) (tool) untuk

mengklasifikasikan kembali hasil kemiringan lereng yang di peroleh setelah

melakukan slope.
54

8. Memilih menu slope di input raster kemudian mengklik classify.

9. Membagi kelas klassifikasi menjadi 5 (lima) dengan cara mengubah value pada

classes menjadi 5 dan pada break values mengeklik symbol percent (%) seperti

pada gambar kemudian mengklik ok .

10. Setelah itu akan muncul tampilan sebagai berikut.


55

11. Data yang dihasilkan ini tentu masih belum tersimpan di penyimpana pada

laptop sehingga perlu melakukan export data dengan cara mengeklik kanan pada

layer hasil reclassify kemudian klik data lalu export data.

12. Memilih lokasi penyimpanan serta member nama file DEM yang akan di export

lalu mengeklik save.

13. Setelah semua proses selesai kemudian melakukan proses layouting.


BAB IV
METODOLOGI

A. Waktu dan Lokasi Praktikum

Praktikum SIG Pemodelan acara 3 analisis data DEM dilaksanakan pada hari

Sabtu, 27 November 2021 pada pukul 10.00 sampai 15.00. Praktikum ini

dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Universitas

Halu Oleo.

Secara astronomis Kabupaten Buton terletak pada 4,96o LS - 6,25o LS dan

120o BT - 123,34o BT. Secara geografis Kabupaten Buton disebelah barat berbatasan

dengan Kota Bau-Bau, dan disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muna.

Kabupaten Buton memiliki luas wilayah daratan 2.488,71 km 2 dan wilayah perairan

laut 21.054,69 km2

B. Alat Praktikum
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Alat praktikum dan kegunaan


No Alat Kegunaan
1 Flashdisk Sebagai media menyimpan data
2 ArcGIS 10.8 Sebagai media mengolah data

C. Bahan Praktikum

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Bahan praktikum dan kegunaan


No Bahan Kegunaan
1 Peta Administrasi Kabupaten Buton Sebagai data yang akan diolah
2 Citra DEM Sulawesi Sebagai data yang akan diolah

56
57
58

D. Data Praktikum

1. Data Primer

Data primer adalah data pertama kali yang dikumpulkan oleh

peneliti melalui upaya pengambilan data di lapangan langsung. Karena hal

inilah data primer disebut data pertama atau data mentah.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan berbagai informasi yang telah ada

sebelumnya dan dengan sengaja dikumpulkan oleh peneliti yang digunakan

untuk melengkapi kebutuhan data penelitian. Data sekunder yang digunakan

pada praktikum ini adalah peta administrasi Kabupaten Buton dan Citra DEM

Sulawesi.

E. Tahapan Praktikum

1. Tahapan Persiapan

Tahapan persiapan yang dilakukan dalam praktikum ini adalah

pertama menyiapkan alat dan bahan praktikum seperti pada Tabel 1 dan

Tabel 2.

2. Tahapan Literatur

Pada praktikum ini literatur yang digunakan yaitu jurnal yang

dipublish 5 tahun terakhir. Jurnalnya yaitu mengenai slope, dan kemiringan

lereng.

3. Tahapan Cropping

Pada tahapan ini yaitu memotong data DEMNAS Sulawesi

Tenggara sesuai wilayah kajian yang akan dianalisis.


59

4. Tahapan Analisis Kemiringan

Tahapan ini dilakukan dengan memasukkan citra DEM ke dalam

aplikasi ArcMap. Analisis kemiringan lereng dengan menggunakan metode

slope yaitu membuka membuka menu search dan mencari slope. Dengan

menggunakan analisis slope maka dapat diketahui ketinggian tiap titik pada

citra.

5. Tahapan Reclassify Kemiringan

Tahapan ini dilakukan untuk mengklasifikasikan ulang hasil slope

sesuai menjadi lima kelas yaitu 3%, 8%, 15%, 30%, dan lebih dari 30%.

Tahapan ini dimulai dengan memasukkan citra DEM yang telah di slope.

Setelah ini mencari menu reclassify dan memasukkan kelas kemiringan

lereng.

6. Tahapan Layout Peta

Tahapan layout sebagai tahapan terakhir pengolahan citra untuk

membuat komposisi peta yang memuat informasi-informasi peta berupa judul

peta, skala peta, mata angin, legenda, sumber peta, inset peta, serta nama

pembuat.
60
BAB VI
PEMBAHASAN

IDW mengasumsikan setiap plot mempunyai pengaruh yang bersifat lokal

dan nilai plot tersebut akan semakin berkurang terhadap jarak. Pada praktikum ini

didapatkan hasil kemiringan lereng dengan menggunakan metode ini yang

menghasilkan lima kelas kemiringan.

Pada metode interpolasi Inverse Distance Weight (IDW), diperoleh 5 kelas

kemiringan lereng dengan luas yang bervariasi. Pada kelas kemiringan lereng

berwarna hijau muda dengan kemiringan 0-3 % memiliki luas 760,29 ha. Pada kelas

kemiringan lereng berwarna hijau tua dengan kemiringan 3-8 % memiliki luas

1206,23 ha. Selanjutnya kelas kemiringan lereng berwarna kuning dengan

kemiringan 8-15 % memiliki luas 1006,90 ha.pada kelas kemiringan lereng berwarna

jingga memiliki kemiringan 15-30 % dengan luas 921,90 ha. Kelas kemiringan

berwarna merah dengan kemiringan >30 % memiliki luas 43,09 ha.

61
BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat di ambil dalam praktikum ini adalah :

1. Dalam konteks pemetaan, interpolasi merupakan proses estimasi nilai pada

wilayah-wilayah yang tidak disampel atau di ukur untuk keperluan penyusunan

peta atau sebaran nilai pada seluruh wilayah yang dipetakan.

2. Model Inverse Distance Weighted (IDW) memiliki asumsi bahwa setiap titik

input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal adan berkurang terhadap jarak.

Metode kriging adalah metode interpolasi spasial yang memanfaatkan nilai

spasial pada lokasi tersampel untuk memproduksi nilai pada lokasi lain yang

tidak tersampel.

B. Saran

Adapun saran dari praktikum ini adalah sebagai berikut.

1. Saran untuk Dosen

Untuk dosen terima kasih atas segala materi yang telah diberi sehingga

praktikan lebih bisa menguasai materi dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

62
63

2. Saran untuk Asisten

Saran untuk asisten diharapkan kedepannya dalam menjelaskan

agar lebih jelas dan tidak terburu-buru.

3. Saran untuk Praktikan

Untuk praktikan sebaiknya tidak telat dan tepat waktu saat konsul.

Selain itu, sebaiknya praktikan agar lebih menguasai teori dan tidak hanya

sekedar lancar di praktikum saja.

Anda mungkin juga menyukai