Anda di halaman 1dari 26

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK

SISTEM KAREKTERISASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)


Oleh
Beny Harjadi
Peneliti Madya Bidang Pedologi dan Penginderaan Jauh
adbsolo@yahoo.com, HP. 08122686657
Pada Balai Penelitian Kehutanan Solo
Jl. Ahmad Yani-Pabelan, PO. Box. 295 Solo 57147

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi setiap DAS (Daerah Aliran Sungai) selalu dinamis mengalami
perubahan baik dari lahan, tanaman dan air karena usaha pengelolaan yang dilakakukan
oleh manusia (faktor maangemen) atau karena perubahan alam (kondisi alami).
Perubahan tersebut terutama oleh faktor yang cepat berubah seperti erosi, teras atau
bangunan konservasi tanah, dan penutupan lahan. Perubahan yang lambat berubah atau
akan berubah menurut umur geologi > 100 tahun antara lain faktor tetap seperti bentuk
lahan, tipe batuan, jenis tanah, dan kemiringan lereng.
Penginderaan jauh sebagai alat untuk mendeteksi perubahan kondisi penutupan
lahan dapat dimaksimalkan untuk beberapa perhitungan yang terkait dengan formula
analisis sidik cepat. Beberapa perhitungan dari ahasil analisis perhitungan dengan alat
bantu citra satelit yang mengandung data digital antara lain yang terkait dengan kondisi
fisik lahan seperti kemiringan lereng, arah lereng, dan penutupan lahan juga perhitungan
formula untuk mendapatkan hasil erosi kualitatif dan erosi kuantitatif.

B. Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan tulisan buku pedoaman tentang Teknologi Penginderaan
Jauh Untuk Sistem Karekterisasi Daerah Aliran Sungai (DAS), antara lain :
1. Penerapan teknologi penginderaan jauh untuk analisis perubahan kondisi
sumber daya hutan, lahan dan air
2. Penerapan teknologi sistem informasi geografis untuk perhitungan dan
analisis perubahan pada setiap satuan peta penggunaan lahan.
3. Membantu identifikasi dan perhitungan dari Analisis Sidik Cepat Siskardas
PENGERTIAN-PENGERTIAN

a. Penginderaan Jauh : Remote Sensing, lebih dikenal dengan istilah Teledetection


(Perancis), dan Fernerkundung (Jerman), merupakan upaya memperoleh informasi
tentang objek dengan menggunakan alat yang disebut “sensor” (alat peraba), tanpa
kontak langsung engan objek.
b. Sistem Informasi Geografis (SIG) : Geographic Information System (GIS)
adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi
spasial (bereferensi keruangan). Sistem komputer yang memiliki kemampuan
untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi
berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam
sebuah database.
c. Pixel (picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil
pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari pixel disebut digital number (DN).
DN bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (gray
scale), tergantung level energi yang terdeteksi. Pixel yang disusun dalam order
yang benar akan membentuk sebuah citra. Kebanyakan citra satelit yang belum
diproses disimpan dalam bentuk gray scale, yang merupakan skala warna dari
hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk PJ, skala yang
dipakai adalah 256 shade gray scale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam, nilai
255 putih. Dua gambar di bawah ini menunjukkan derajat keabuan dan hubungan
antara DN dan derajat keabuan yang menyusun sebuah citra.
d. Contrast adalah perbedaan antara brightness relatif antara sebuah benda dengan
sekelilingnya pada citra. Sebuah bentuk tertentu mudah terdeteksi apabila pada
sebuah citra contrast antara bentuk tersebut dengan backgroundnya tinggi. Teknik
pengolahan citra bisa dipakai untuk mempertajam contrast. Citra, sebagai dataset,
bisa dimanipulasi menggunakan algorithm (persamaan matematis).
e. Resolusi dari sebuah citra adalah karakteristik yang menunjukkan level kedetailan
yang dimiliki oleh sebuah citra. Resolusi didefinisikan sebagai area dari
permukaan bumi yang diwakili oleh sebuah pixel sebagai elemen terkecil dari
sebuah citra. Pada citra satelit pemantau cuaca yang mempunyai resolusi 1 km,
masing-masing pixel mewakili rata-rata nilai brightness dari sebuah area
berukuran 1×1 km. Bentuk yang lebih kecil dari 1 km susah dikenali melalui
image dengan resolusi 1 km. Landsat 7 menghasilkan citra dengan resolusi 30
meter, sehingga jauh lebih banyak detail yang bisa dilihat dibandingkan pada citra
satelit dengan resolusi 1 km. Resolusi adalah hal penting yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka pemilihan citra yang akan digunakan terutama
dalam hal aplikasi, waktu, biaya, ketersediaan citra dan fasilitas
II. DASAR PENGINDERAAN JAUH

A. Prinsip-prinsip Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh merupakan alat untuk memantau sumber daya alam dengan
tanpa menyentuh obyek yaitu salah satunya dengan menggunakan citra satelit. Citra
satelit dengan informasi digital yang mengandung nilai atau angka dapat dilakukan
kalkulasi secara matematis untuk perhitungan suatu rumus tertentu. Beberapa rumus
yang dapat dihitung dengan kalkulasi data digital satelit antara lain kemiringan lereng,
arah lereng, erosi kualitatif dna erosi kuantitatif.

B. Koreksi Radiometrik dan Geometrik


a. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai
dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer
sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek
dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya,
tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses
serapan. Metode-metode yang sering digunakan untuk menghilangkan efek atmosfer
antara lain metode pergeseran histogram (histogram adjustment), metode regresi dan
metode kalibrasi bayangan. (Projo Danoedoro, 1996).
Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah metode penyesuaian
histogram. Pemilihan metode ini dilandasi oleh alasan bahwa metode ini cukup
sederhana, waktu yang digunakan untuk pemrosesan lebih singkat dan tidak memerlukan
perhitungan matematis yang rumit. Asumsi dari metode ini adalah dalam proses koding
digital oleh sensor, obyek yang memberikan respon spektral yang paling rendah
seharusnya bernilai 0. Apabila nilai ini ternyata melebihi angka 0 maka nilai tersebut
dihitung sebagai offset dan koreksi dilakukan dengan mengurangi seluruh nilai pada
saluran tersebut dengan offset-nya.

b. Koreksi Geometrik
Ketika akurasi area, arah dan pengukuran jarak dibutuhkan, citra mentah harus
selalu diproses untuk menghilangkan kesalahan geometric dan merektifikasi citra kepada
koordinat system bumi yang sebenarnya. Dengan citra satelit, sebagai contoh, kesalahan-
kesalahan itu didahului oleh beberapa faktor seperti, putaran (roll), gerak anggukan
(pitch) dan penyimpangan dari garis lurus (yaw) platform satelit dan kelengkungan bumi.
Untuk mengoverlaikan atau memosaik citra dalam ERMapper, citra tersebut harus berada
pada system koordinat yang sama. Koordinat umumnya adalah dapat berupa "raw"
(belum terkoreksi), atau system proyeksi peta dunia yang sebenarnya.
Sebuah Ground Control Point (GCP) adalah sebuah titik di permukaan bumi
dimana antara koordinat citra diukur dalam baris dan kolom) dan proyeksi peta (diukur
dalam derajat latitude longitude, meter atau feet) dapat diidentifikasi. Rektifikasi adalah
proses menggunakan GCP untuk transformasi geometri citra sehingga masing-masing
pixel terkait dengan sebuah posisi di sistem koordinat bumi sebenarnya (seperti
latitude/longitude atau easting/northing). Proses ini kadang disebut dengan "warping"
atau 'rubhersheeting" karena data citra direntangkan atau dirapatkan sesuai keperluan
untuk menyesuaikan dengan grid peta bumi atau system koordinat.
Ortorektifikasi adalah bentuk lebih akurat dari rektifikasi karena mengambil
penghitungan sensor (kamera) dan karakteristik platform (pesawat terbang). Ini khusus
direkomendasikan untuk foto udara. Ortorektifikasi dicakup terpisah di dalam `Image
orthorectification'.
Registrasi adalah penyesuaian sederhana dua citra sehingga mereka dapat
dioverlai atau superimpose untuk perbandingan. Dalam kasus ini, citra tidak harus
direktifikasi ke dalam proyeksi peta (mereka dapat berada dalam sistem koordinat `raw').
ERMapper Rectification utilities biasanya sering digunakan untuk
melaksanakan empat jenis operasi yang berbeda.
Image to map rectification menggunakan polynomial (titik kontrol) atau gcocoding
linier untuk merektifikasi sebuah citra ke dalam sebuah datum dan proyeksi peta
menggunakan GCP
Image to image rectification menggunakan polynomial (titik kontrol) atau geocoding
linier untuk merektifikasi satu citra ke citra yang lainnya menggunakan GCP
Map to map transformation, mentranformasikan sebuah citra yang sudah direktifikasi
dari satu datum/proyeksi peta ke datum/proyeksi peta lainnya.
Image rotation, merotasikan sebuah citra kedalam beberapa derajat

C. Analisis Vektor dan Raster


Vektor (SVG, VML, dll) dan raster (JPEG, BMP, GIF, dll) adalah 2 format
gambar yang memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing bergantung pada
implementasinya. Vektor yang berbasis teks bertolak belakang dengan raster yang
berbasis kumpulan pixel. Perbedaan yang mencolok selain cara penyimpanan data
gambar dari kedua tipe tersebut adalah:
1. Tipe Grafik
Vektor hanya dapat menampilkan tipe grafik yang bersifat primitif yang artinya
dapat dikalkulasikan secara matematis seperti lingkaran, segitiga, dan kotak.
Sedangkan raster dapat menampilkan gambar bertipe apa saja.
2. Ukuran file
Ukuran file pada vektor umumnya lebih kecil daripada raster karena vektor
menyimpan data dalam bentuk teks
3. Modifikasi gambar
Modifikasi gambar pada vektor dapat dilakukan tanpa merusak gambar asli
sedangkan raster kebalikannya. Hal ini dikarenakan pada vektor data disimpan
dalam bentuk teks yang terformat.

Masih ada beberapa hal yang membedakan antara gambar vektor dan raster.
Namun perbedaan inti dari kedua format tersebut adalah fleksibilitasnya, vektor
mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi sedangkan raster tidak. Hal ini mempunyai
dampak yang besar dalam pengimplementasiannya pada HTML. Seperti yang telah
diketahui sebelumnya, dengan tingkat fleksibiltas gambar vektor sehingga gambar dapat
dizoom atau dimodifikasi tanpa merusak gambar asli, vektor pada HTML untuk
menampilkan grafik harus mengkalkulasikan data-data yang telah disediakan dalam file
vektor tersebut pada sisi end-user. Hal ini berarti grafik harus diproses terlebih dahulu
sebelum dapat dilihat oleh pengguna. Pada raster, grafik sudah diproses sedemikian rupa
sehingga gambar yang ada dapat ditampilkan pada user tanpa melalui proses yang
panjang dan kompleks.
Dari penjelasan diatas berarti vektor memerlukan waktu proses yang lebih lama
daripada raster agar dapat ditampilkan. Hal ini akan dapat semakin jelas dilihat jika
gambar vektor dan raster ditampilkan pada halaman web dan gambar tersebut dapat
digerakkan sesuka hati dengan menggunakan javascript. Setiap terjadi perubahan pada
gambar di web seperti perubahan letak gambar, gambar berbasis vektor harus diproses
ulang sedangkan gambar berbasis raster hanya perlu disesuaikan dengan posisi yang baru.
Hal ini akan berakibat pada performa penampilan gambar pada web, gambar berbasis
vektor besar kemungkinan akan memperlambat proses modifikasi gambar pada web
melalui javascript sedangkan gambar berbasis raster sebaliknya. Berikut adalah
perbandingan gambar vektor dan raster dalam pengimplementasinnya pada halaman web
dengan menggunakan JavaScript (Tabel 1) :
Tabel 1. Perbandingan Vektor Data Grafis dan Raster Data Piksel
VEKTOR RASTER

1. Pemprosesan gambar sudah dilakukan


Pemprosesan gambar dilakukan pada
ketika pembuatan sehingga hanya perlu
end-user
pemprosesan untuk penampilan gambar

2.. Dapat memperberat kinerja JavaScript Mempercepat kinerja JavaScript dalam


dalam menampilkan gambar pad web menampilkan gambar pada web

3. Mempercepat page load halaman web Memperlambat page load halaman web
karena ukuran filenya yang rata-rata karena ukuran filenya yang rata-rata lebih
kecil daripada raster besar daripada vektor

4. Modifikasi gambar lebih mudah


Modifikasi gambar lebih sering dilakukan
dilakukan karena sifatnya yang
melalui pengubahan gambar aslinya
fleksibel

a. Analisis Vektor
Secara implisit berbentuk struktur data vektor dengan bentuk topologi
titik/garis/area(poligon): Atribut obyek dinyatakan dengan himpunan vektor yang
menyatakan keterhubungan (relational).
• Merupakan representasi yang cocok untuk penyajian dalam format peta (konvensional).
• Obyek geografis disajikan dalam titik atau segmen garis.
• Keuntungan dan keterbatasannya:
™ Membutuhkan tempat penyimpanan data yang kompak
™ Penyajian garis yang sangat halus
™ Proses overlay dan perhitungan luas area memerlukan algoritma yang kompleks
™ Merupakan data baku pembentuk data spasial untuk keperluan SIG/peta
Kelebihan (+) :
+ Data dipresentasikan pada resolusi yang sesungguhnya
+ Hasil cetak vektor lebih estetis dan memenuhi standar kartografi
+ Sebagian besar data rujukan berbentuk vektor/peta, jadi tidak perlu konversi data
+ Lokasi geografis dapat dibuktikan keakuratannya
+ Informasi topologi dapat disimpan dengan efisian, sehingga analisa bisa efisien
Kekurangan (-):
- Koordinat tiap titik/verteks harus disimpan secara eksplisit
- Diperlukan pembentukan struktur topologi yang memakan waktu dimana setiap
perubahan perlu pembangunan ulang struktur tersebut
- Algoritma vektor kompleks dengan waktu proses yang tinggi untuk data besar
- Data kontinu, seperti tinggi permukaan bumi perlu dilakukan interpolasi
- Analisis spatial, registrasi dan filtering tidak dapat dilakukan
b. Analisis Raster
Secara eksplisit berbentuk struktur data raster: Atribut obyek dinyatakan dengan
simbol / warna / tingkat keabuan yang merupakan nilai sel atau piksel
• Semua obyek geografis dalam bentuk TGA dinyatakan dengan sel atau piksel (luasan
kecil) yang merupakan titik yang mempunyai koordinat dan atribut.
• Merupakan pendekatan yang sesuai dengan data inderaja berupa citra dijital yang
merupakan salah satu data masukan SIG.
• Keuntungan dan keterbatasannya:
™ Membutuhkan tempat penyimpanan data yang besar
™ Penyajian kurang baik / kurang halus tergantung resolusi
™ Representasi yang sangat kompatibel dengan proses komposit lapis data SIG
™ Merupakan data baku pembentuk citra dijital pada sistem inderaja
Kelebihan (+) :
+ Letak geografis dinyatakan secara eksplisit berdasarkan posisi pixel/grid cell
+ Sifat penyimpanan data dalam matriks membuat analisis ebih mudah dan cepat
+ Sifatnya inherent (tiap area memiliki atribut sendiri) sehingga memudahkan
pemodelan matematik atau analisa kuantitatif
+ Kompatibel dengan data lain dan alat keluarannya (monitor, printer dan plotter)
Kekurangan :
- Resolusi ditentukan oleh ukuran sel atau piksel atau elemen, makin kecil makin
akurat tetapi makin besar atau berat datanya
- Sulit untuk analisis jaringan dan representasi feature garis karena tergantung
ukuran pixel, karena semakin rendah rosolusi maka akan nampak kotak-kotak sel.
- Pemrosesan data atribut dikaitkan dengan data spasial akan merepotkan karena
sifatnya yang inherent, karena setiap proses atributnya selalu menyertainya.
- Karena sebagian besar data rujukan berbentuk vektor maka diperlukan konversi
dari raster ke vektor, sedangkan untuk kalkulasi lebih mudah dengan raster
- Hasil cetak data raster tidak sebaik hasil cetak data vektor (jigsaw)

D. Interpretasi Visual dan Digital


a. Interpretasi Visual
Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk
mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra
tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya ( Howard, 1991 ).
Penafsiran citra merupakan kegiatan yang didasarkan pada deteksi dan identifikasi obyek
dipermukaan bumi pada citra satelit landsat TM7+. Dengan mengenali obyek-obyek
tersebut melalui unsur-unsur utama spectral dan spasial serta kondisi temporalnya.
Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat
melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil penafsiran
pada tingkat keakuratan dan kelengkapan yang baik. Menurut Sutanto (1990), teknik
penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran
yang meliputi: (1) data acuan dan (2) kunci interpretasi citra atau unsur diagnostik citra
1. Data acuan
Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan seorang
penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi daerah, peta, dan yang
terpenting disini data diatas dapat meningkatkan local knowledge pemahaman
mengenai lokasi penelitian.
2. Kunci interpretasi citra atau unsur diagnostik citra
Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Untuk itu
identitas dan jenis obyek pada citra sangat diperlukan dalam analisis memecahkan
masalah yang dihadapi. Karakteristik obyek pada citra dapat digunakan untuk
mengenali obyek yang dimaksud dengan unsur interpretasi. Unsur interpretasi
yang dimaksud disini antara lain Asosiasi (korelasi ). Asosiasi menunjukkan
komposisi sifat fisiognomi seragam dan tumbuh pada kondisi habita yang sama.
Asosiasi juga berarti kedekatan erat suatu obyek dengan obyek lainnya. Contoh
permukiman kita identik dengan adanya jaringan tarnsportasi jalan yang lebih
kompleks dibanding permukiman pedesaan. Konvergensi bukti Dalam proses
penafsiran citra penginderaan jauh sebaiknya digunakan unsure diagnostic citra
sebanyak mungkin. Hal ini perlu dilakukan karena semakin banyak unsure
diagnostic citra yang digunakan semakin menciut lingkupnya untuk sampai pada
suatu kesimpulan suatu obyek tertentu. Konsep ini yang sering disebut
konvergensi bukti.

b. Interpretasi Digital
Karakteristik objek menggunakan formulasi 2 jenis gelombang yaitu inframerah
(NIR) dan merah (read). Pohon yang hijau yang memiliki kandungan klorofil yang tinggi
dengan tingkat pemantulan (refleksi) yang tinggi pula akan tampak lebih cerah. Semua
objek di bumi memiliki karakteristik spectral tertentu.
Kegunaan Resolusi Spektral dan keahliannya antara lain; Dengan mengetahui
Visibelitas dan Tingkatan Spektrumnya, maka orang akan dapat menentukan kandungan
suatu mineral yang terdapat pada tanah tersebut. Sehingga diketahui daerah yang
mengandung sumber mineral. Di Dunia ini, masih sedikit lembaga yang memiliki
kemampuan mengetahui citra spectral tertentu. Salah satunya USGS, yang memiliki
Spectral Library yang mampu mengenali objek-objek di bumi secara spectral.
Jenis awan juga dapat terdeteksi. Jenia awan Cyirus, Strocumulus, Stratus
memiliki karakteristik spectral yang berbeda untuk mengetahui distribusi curah hujan.
BMG juga memanfaatkan MTSAT (meteorology satuan) yang satelitnya diopersikan oleh
Japan. Jenis Satelit yang mengorbit secara umum dibedakan menjadi dua yakni;
Geostationer dan Sansinkronos. geostationer menggunakan bumi sebagai referensi
orbitnya, sehingga kecepatan orbit bumi sama dengan kecepatan orbit satelit. Sedangkan
Sansinkronis menggunakan referensi waktu. Satelit melewati titik tertentu pada waktu
yang telah ditentukan. Alat terbaru yang akan dimiliki Departemen Geografi, Universitas
Indonesia adalah spektroradiometer dengan ketelitian resolusi 0,3 – 1 meter. Alat ini
dapat digunakan untuk merekam nilai spectrum masing-masing objek. Jenis hutan di
Indonesia secara umum dibedakan menjadi dua yakni hutan berdaun jarum (broad leaf
forest) dan hutan berdaun lebar (needle leaf forest).

E. Bentuk Data dan Informasi yang Dihasilkan


Bentuk data dan informasi yang dihasilkan dari Penginderaan Jauh dapat berupa
data kualitatif dan kuantitatif seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbedaaan Data Kualitatif dan Kuantitatif untuk Titik, Garis dan Poligon
SIMBOL KUALITATIF KUANTITATIF
Titik kota: simbolnya bulat; gunung: populasi kota: angka besarnya populasi;
simbolnya segitiga. tinggi gunung: angka tingginya gunung.

Garis Jalan: garis merah; sungai: (1) merupakan gambaran unsur garis
garis biru; batas negara: garis yang dapat menunjukkan unsur besaran
hitam; sesuai dengan bentuk secara sebanding, jalan tol: garis tebal,
nyata atau khayal, pola atau jalan kampung: garis tipis; (2)
karakteristik dari unsur yang menghubungkan titik/tempat yang
diwakilinya. mempunyai kuantitas/nilai sama, contoh:
garis kontur isobar menghubungkan
tempat-tempat dengan tekanan udara
yang sama; (3) garis dengan tanda arah /
panah menyatakan arah gerakan, contoh:
arah angin atau arah perpindahan
penduduk.

Poligon contoh: wilayah pertanian dan contoh: peta kepadatan penduduk yang
wilayah hutan lindung yang tingkat kepadatannya bisa dibedakan
bisa dibedakan dengan dengan warna yang makin gelap
memberi warna area tersebut menyatakan makin padat atau dengan
dengan kuning dan hijau atau mencantumkan nilai/harga statistiknya.
dengan deskripsi textual.
Simbol area.
a. Data Spasial
Data Spasial berupa titik, garis, poligon (2-D), permukaan (3-D), terdiri dari
informasi posisi geografis. Data Spasial: merupakan data grafik berbentuk poligon yang
merupakan closed area yang menghubungkan posisi-posisi geografis di lokasi Pondok
Indah (Tabel 3).
Tabel 3. Data Spasial untuk Fromat Titik, Garis, Poligon dan Permukaan

FORMAT TITIK FORMAT GARIS FORMAT POLIGON FORM.PERMUKAAN


- Koordinat tunggal - Koordinat titik - Koordinat titik - Area dengan
- Tanpa panjang awal dan akhir awal dan akhir koordinat vertikal
- Tanpa luasan - Punya panjang - Punya panjang, - Area dengan
tanpa luasan perimeter dan luasan ketinggian
Contoh : Contoh : Contoh : Contoh :
- Lokasi kecelakaan - Jalan, Sungai - Tanah persil - Peta slope
- Letak pohon Utility Contoh : - Bangunan - Bangunan tingkat
- Lokasi kecelakaan
- Letak pohon

b. Data Deskriptif
Data Deskriptif merupakan uraian atau atribut data spasial (anotasi, tabel, hasil
pengukuran, kategori obyek, penjelasan hasil analisis / prediksi dll.). Data Non-Spasial:
Luas Permukiman, Jumlah Penduduknya, Jumlah Rumah, Jumlah Kepala Keluarga,
Pendapatan Rata-Rata Kepala Keluarga, dll (Tabel 4).
Tabel 4. Data Deskriptif dalam Format Tabel, Laporan, Perhitungan dan Grafik Anotasi

FORMAT TABEL FORMAT LAPORAN FRM PERHITUNGAN F.GRAFIK ANOTASI


-Kode kata -Teks -Angka-angka -Kata-kata
-Kode alfanumerik -Deskripsi -Hasil analisis -Angka-angka
-Angka-angka -Simbol
Contoh : Contoh : Contoh : Contoh :
-Hasil proses -Perencanaan -Jarak -Nama obyek
-Indikasi -Laporan Proyek -Inventarisasi -Legenda
-Atribut -Pembahasan -Luas -Grafik/Peta
III. APLIKASI PJ UNTUK KARAKTERISTIK DAS

A. Teknik Analisis/Pengumpulan Data


a. Data Hasil Survai Lapangan
Dari data dasar berupa Citra satelit, peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dan Foto
udara dipakai sebagai dasar untuk menetapkan beberapa sampel yang harus didatangi di
lapangan (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram Alur dari Persiapan Sampai Pelaksanaan Survai Lapangan


b. Data Hasil Analisis Penginderaan Jauh
Data hasil analisis penginderaan jauh antara lain : kemiringan lereng (slope),
arah lereng (aspek), penutupan lahan (land use lan cover), erosi kualitatif SES, erosi
kuantitatif MMF, morfometri dan KPL (Gambar 2).

Gambar 2. Beberapa Parameter Fisik yang Diperoleh dari Hasil Analisis Penginderaan
Jauh.
Gambar 3. Contoh Peta Tanah di DAS Benain-Noelmina, NTT

Gambar 4. Analisis Batas Catchment SubDAS dan DAS di Nawagaon, India


Analisis Penginderaan Jauh
a. Klasifikasi Land Use Land Cover
Klasifikasi penutupan lahan dapat dilakukan dengan cara supervisi (klasifikasi
berbantuan) dan tanpa supervisi (klasifikasi tak berbantuan), sehingga diperoleh sebaran
lausan masing-masing penutupan lahan dan total untuk setiap kelas penutupan lahan
(Gambar 5).

Gambar 5. Urutan Klasifikasi Penutupan Lahan dari Hasil Analisis Penginderaan Jauh
dengan Klasifikasi Tak Berbantuan dan Berbantuan.
b. Morfometri DAS
Dari hasil analisis data citra satelit dan biofisik lapangan akan diperoleh
beberapa faktor fisik untuk morfometri DAS, yaitu : BiR (Bifucartion Ratio), P
(Perimeter), A (Area), BL (Basin Length), BW (Basin Width), SL (Stream of Length), DF
(Drainage Frequency), Nu (Number of Length), BR (Basin Relief), RR (Relief Ratio), DD
(Drainage Density), ER (Elongation Ratio), FF (Form Factor), CR (Circulation Ratio),
SI (Shape Index), CM (Constant of channel maintenance), RN (Ruggedness number).
Dengan 7 parameter BiR, RR, DD, DF, ER, FF dan CR maka akan diperoleh prioritas
suatu DAS berdasarkan urutan tingkat kerusakan yang paling berat (Gambar 6).

Gambar 6. Urutan Prioritas Suatu DAS dengan Dasar Morfometri dengan


Mempertimbangkan Faktor Pendukung, Penghambat dan Dasar Pemikiran
Gambar 7. Pola Drainase untuk Perhitungan Morfometri DAS

Gambar 8. Peta Penutupan Lahan (Land use Land cover) dari Hasil Analisis
Penginderaan Jauh di DAS Benain-Noelmina, NTT.
c. Kelas Kemampuan Lahan
Berdasarkan peta tanah, pete lereng dan peta erosi tanah maka masing-masing
dapat diperoleh KPL tanah, KPL lereng, dan KPL tanah. Perhitungan maximumdari
ketiga KPL tersebut akan diperoleh KPL Final, dan dengan peta land use land cover maka
akan diperoleh rekomendasi konservasi tanahnya (Gambar 9).

Gambar 9. Diagram Alur Perhitungan KPL (Kelas kemampuan Lahan) dengan Analisis
Raster Penginderaan Jauh dan SIG.
d. Perhitungan Erosi Kualitatif dan Kuantitatif
C1. Erosi Kualitatif SES (Soil Erosion Status)
Perhitungan erosi kualitatif dengan mengklasifikasikan erosi berdasarkan
tingkat erosi dari ringan sampai berat dapat dihitung dengan formula SES (Soil Erosion
Status). Perhitungan SES dengan menggunakan 5 faktor biofisik yaitu : kemiringan
lereng, orientasi atau arah lereng, kerapatan drainase, penggunaan lahan dan tekstur tanah
(Gambar 10).

Gambar 10. Formula Perhitungan Erosi Kualitatid dengan Metode SES


Gambar 11. Peta KPL (Kemampuan Penggunaan Lahan) atau LCC (Land Capability
Clasification) di DAS Nawagaon-Maskaro, India

Gambar 12. Peta Erosi Kualitatif dengan Metode SES (Soil Erosion Status) di DAS
Grindulu, Pacitan, Jawa-Timur
C2. Erosi Kuantitatif MMF (Morgan, Morgan dan Finney)
Perhitungan erosi kuantitatif dengan menghitung besarnya erosi dalam satuan
ton/ha/th dapat dihitung dengan formula MMF (Morgan, Morgan dan Finney).
Perhitungan erosi MMF faktor penggunaan lahan (pengelolaan tanaman, intersepsi dan
aliran batang, evapotranspirasi dan kedalaman perakaran) dan faktor tanah (kelembaban
tanah, bobot jenis, indeks erodibilitas tanah), lihat Gambar 13.

Gambar 13. Perhitungan Erosi Kuantitatif dengan MMF (Morgan, Morgan dan Finney)
e. Kelas Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng dapat diperoleh dari perhitungan dengan citra satelit SRTM
(Shuttle Radar Thematic Mapper) atau dari hasil interpolasi garis kontur. Dari kedua cara
tersebut akan diperoleh peta DEM (Digital Elevation Model), selanjutnya dilakukan
klasifikasi lereng dan aspek atau arah lereng ().

Gambar 14. Perhitungan Kelas Kemiringan Lereng dan Aspek Arah Lreng dengan
Analisis Penginderaan Jauh.
Gambar 15. Peta Erosi Kuantitatif dsngan Metode MMF (Morgan, Morgan, dan Finney)
di DAS Benain-Noelmina, NTT

Gambar 16. Peta Kelas Kemiringan Lereng dari Hasil Perhitungan Analisis dari Citra
SRTM (Shuttle Radar Thematic Mapper) atau dari Hasil Interpolasi Kontur.
B. Aplikasi Data
Penginderaan jauh sebagai alat dengan teknologi mutakhir memeiliki beberapa
keterbatasan yaitu beberapa parameter fisik di lapangan tidak bisa dideteksi atau
diformulasikan berdasarkan data digital dari citra satelit. Begitu juga beberapa parameter
fisik perlu dibantu dari data penginderaan jauh dengan skala yang besar atau resolusi
yang lebih rapat dengan bantuan foto udara.
Berikut beberapa parameter fisik yang dapat dihitung dengan analisis dan
interpretasi dari citra satelit dan tidak dapat dihitung dari formulasikan citra satelit atau
dari foto udara (Tabel 5).

Tabel 5. Beberapa Parameter SISKARDAS yang dapat dianalisis dengan Penginderaan


Jauh dan yang Harus dari Pengumpulan Data Lapangan
PARAMETER Penginderaan Jauh (PJ) Non PJ /
Siskardas Skala Besar Skala Kecil Survai
Foto Udara Citra Satelit Lapangan
I. POTENSI BANJIR ν
A. Estimasi (100%)
1. ALAMI (60%)
a. Hujan harian maksimum rata-rata ν ν
pada bulan basah (mm/hari) [35%]
b. Bentuk DAS [5%] ν ν
c. Gradien Sungai (%), (10%) ν
d. Kerapatan drainase (5%) ν
e. Lereng rata-rata DAS (%), (5%) ν
2. MANAJEMEN (40%)
a. Penggunaan lahan (40%) ν ν
B. Pengukuran (100%)
a. Debit puncak spesifik (m3/dt/km2), ν
(100%)
II. DAERAH RAWAN BANJIR
1. ALAMI (55%)
a. Bentuk lahan, (30%) ν ν
b. Meandering, Sinusitas (P) = ν ν
panjang/jarak sungai sesuai
belokan : jarak lurus, (5%)
c. Pembendungan oleh percabangan ν
sungai/air pasang, (10%)
d. Lereng lahan kiri-kanan sungai (%), ν ν ν
(10%)
2. MANAJEMEN (45%)
a. Bangunan air, (45 %) ν ν
III. KEKERINGAN DAN POTENSI AIR
1. ALAMI (60%)
a. Hujan tahunan (mm), (20%) ν ν
b. Evapotranspirasi aktual tahunan ν ν
(mm), (17.5%)
c.Bulan kering (< 100 mm/bl), (12.5%) ν ν
d. Geologi, (10%) ν ν
2. MANAJEMEN (40%)
a. Kebutuhan Air (Indeks Peng Air), ν
25%
b. Debit minimum spesifik (m3/dt/km2), ν
(15%)
IV. KEKRITISAN DAN POTENSI LAHAN
1. ALAMI (45%)
a. Solum tanah (Cm), (10%) ν ν
b. Lereng (%), 15%) ν ν ν
c. Batuan Singkapan (%), (5%) ν ν
d. Morfoerosi (erosi jurang, tebing ν ν
sungai, sisi jalan), 10%
e. Tekstur Tanah terhadap kepekaan ν
erosi, (5%)
2. MANAJEMEN (55%)
A. Kawasan Budidaya Pertanian
(55%)
a. Vegetasi Penutup (40%) ν ν ν
b. Konsevasi tanah mekanis (15%) ν ν
B. Kawasan hutan dan Perkebunan
(55%)
a. Kondisi vegetasi (45%) ν ν ν
b. Konservasi tanah (10%) ν
V. KERENTANAN TANAH LONGSOR
1. ALAMI (60%)
a. Hujan harian kumulatif 3 hari ν
berurutan (mm/3 hari), (25%)
b. Lereng lahan (%), (15%) ν ν ν
c. Geologi (Batuan), (10%) ν ν
d. Keberadaan sesar/ patahan/ ν ν
gawir,(5%)
e. Kedalaman tanah (regolit) sampai ν ν
lapisan kedap, (5%)
2. MANAJEMEN (40%)
a. Penggunaan Lahan, (20%) ν ν ν
b. Infrastruktur (jika lereng <25% =
skore 1), (15%)
c. Kepadatan Pemukiman (org/km2) ν ν
(jika lereng <25% = skore 1), (5%)
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan
Penginderaan jauh sebagai alat atau teknologi diharapkan mampu mengurangi
keterbatasan yang dilakukan secara manual oleh manusia, misalnya untuk
mengidentifikasi obyek mata manusia secara visual hanya mampu membedakan 12 warna
sedangkan dengan data digital dapat dibedakan sampai 256 warna. Dengan angka digital
yang dimiliki oleh penginderaan jauh maka kalkulasi matematis untuk suatu formula
perhitungan misalnya untuk menghitung erosi kualitatif SES dan kuantitatif MMF dapat
dilakukandengan mudah dan cepat. Dari beberapa keunggulan tersebut maka
penginderaan jauh diharapkan mampu membantu beberapa parameter fisik untuk
mengformulasikan perhitungan SISKARDAS. Beberapa parameter fisik tersebut antara
lain : potensi banjir, daerah rawan banjir, kekeringan dan potensi air, serta kkekritisan
dan potensi lahan.

B. Manfaat Bagi Pengguna


- Dengan bantuan penginderaan jauh maka data dapat diperoleh yang terbaru dan
dapat dibandingkan dengan data yang lama untuk melihat perubahan yang terjadi
pada sumber daya alam, misalnya untuk melihat perubahan Global Warming
diperlukan waktu sekitar 50 tahun.
- Dengan analisis penginderaan jauh maka akan diperloeh data yang lebih akurat
dan pada areal yang lebih luas serta dalam waktu yang lebih singkat, misalnya
untuk menghitung luas penutupan lahan, erosi, kelas kemiringan lereng dll.
- Dengan bantuan penginderaan jauh akan mengurangi frekwensi kunjungan
lapangan, sehingga dapat menghemat biaya dan mengurangi kesalahan letak dan
identifikasi obyek di lapangan, misalnya pada saat cheking lapangan kadang
satuan peta yang diidentifikasi tidak sesuai dengan satuan peta.
- Total perhitungan dari seluruh parameter fisik dan sosek selanjutnya diperoleh 5
tingkat kerentanan DAS dari rendah sampai tinggi seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Kerentanan Degradasi Sub DAS


No Kategori Nilai Tingkat Kerentanan/Degradasi
5 Tinggi > 4,3 Sangat rentan/sangat terdegradasi
4 Agak Tinggi 3,5 – 4,3 Rentan/Terdegradasi
3 Sedang 2,6 – 3,4 Agak rentan/Agak terdegradasi
2 Agak Rendah 1,7 – 2,5 Sedikit rentan/Sedikit terdegradasi
1 Rendah <1,7 Tidak rentan/Tidak terdegradasi
BIODATA BENY HARJADI
Data Diri :
Nama : Ir. Beny Harjadi, MSc.
Tempat/Tanggal Lahir: Surakarta, 17 Maret 1961
NIP/Karpeg : 19610317.199002.1.001/ E.896711
NPWP : 58.678.096.7-532.000
b
Pangkat/Golongan : Pembina / IV
Jabatan : Peneliti Madya

Riwayat Pendidikan :
TK : TK Aisyiyah Premulung, Surakarta (1967)
SD : SD Negeri 94 Premulung, Surakarta (1973)
SMP : SMP Negeri IX Jegon Pajang, Surakarta (1976)
SMA : SMA Muhammadiyah I, Surakarta (1980)
S1 : IPB (Institut Pertanian Bogor), Jurusan Tanah/Fak.Pertanian,BOGOR (1987)
Kursus LRI (Land Resources Inventory) kerjasama dengan New Zealand selama 9 bulan
untuk Inventarisasi Sumber Daya Lahan (1992), INDONESIA-NEW ZEALAND
S2 : ENGREF (École Nationale du Génie Rural, des Eaux et des Forêst), Jurusan
Penginderaan Jauh Satelit/ Fak.Kehutanan, Montpellier, PERANCIS (1996)
PGD : Post Graduate Diplome Penginderaan Jauh, di IIRS (Indian Institute of Remote
Sensing) di danai dari CSSTEAP (Centre for Space Science & Technology Education
in Asia and The Pasific) Affiliated to the United Nations (UN/PBB : Perserikatan
Bangsa-Bangsa), Dehradun – INDIA (2005).

Riwayat Pekerjaan :
1. Staf Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Surakarta (1989).
2. Ajun Peneliti Madya Bidang Konservasi Tanah dan Air pada BTPDAS-WIB
(Balai Teknologi Pengelolaan DAS – Wilayah Indonesia Bagian Barat), 1998.
3. Peneliti Muda Bidang Konservasi Tanah dan Air pada BTPDAS-WIB (Balai
Teknologi Pengelolaan DAS – Wilayah Indonesia Bagian Barat), 2001.
4. Peneliti Madya Bidang Konservasi Tanah dan Air pada BP2TPDAS-IBB (Balai
Litbang Teknologi Pengelolaan DAS - Indonesia Bagian Barat), 2005.
5. Peneliti Madya Bidang Pedologi dan Penginderaan Jauh pada BPK (Balai
Penelitian Kehutanan) Solo, 2006

Riwayat Organisasi :
1. Menwa Mahawarman, Jawa Barat (1980 – 1985)
2. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), (1980 – 1983)
3. Ketua ROHIS BP2TPDAS-IBB, 2 periode (2000-2006)

Penghargaan :
1. Satya Lancana Karya Satya 10 tahun, No. 064/TK/Tahun 2004

Alamat Penulis :
1. Kantor : BPK SOLO, d/a Jl.Ahmad Yani Pabelan, Po.Box.295, Surakarta. Jawa
Tengah, Telp/Fax : 0271–716709, 715969. E-mail: bpksolo@indo.net.id
2. Rumah : Perumahan Joho Baru, Jl.Gemak II, Blok T.10, Rt 04/ Rw VIII,
Kel.Joho, Sukoharjo, Jawa Tengah. Telp : 0271- 591268. HP : 081.22686657
E-mail : adbsolo@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai