Anda di halaman 1dari 13

SISTEM LIDAR PADA PENGADAAN MODEL ELEVASI

DIGITAL UNTUK PEMETAAN SKALA BESAR

Istarno a), Bambang Haryanto b), Subaryono a),


Hartono c), Dulbahri c),Djurdjani a)

a) Jurusan T.Geodesi FT UGM.( istarno@ugm.ac.id )


b) PT. Atlas Deltasatya, Jakarta.
c) Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK

Sistem Lidar merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS
(Positioning and Orientation System) yang mengintegrasikan DGPS (Differential Global
Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit. Lidar
mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai
obyeknya.
Hasil Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian permukaan
bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa vegetasi dan obyek
buatan manusia yang ada di atas tanah membetuk MPD (Model Permukaan Digital). MPD
dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan bumi. Tutupan
lahan yang biasanya diklasifikasikan secara interpretasi visual dari foto udara pada peta
skala besar (1: 1000) dengan adanya data Lidar dapat diklasifikasi berdasarkan
ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun bangunannya.

Kata kunci : Lidar, MPD, MED

PENDAHULUAN
Data topografi merepresentasikan permukaan medan yang memerlukan data
ketinggian. Survei terestris dengan kerapatan tinggi perlu biaya besar, teknologi sensor
aktif LIDAR (Light Detection And Ranging) sebagai solusinya karena cepat dan akurat,
kerapatan dan distribusi data sangat tinggi. MPD (Model Permukaan Digital) dari data
Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan bumi. Lidar
mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser
mengenai obyeknya. Hasil teknologi Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan
elevasi ketinggian permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan
detil berupa vegetasi dan obyek buatan manusia yang terletak melekat di atas tanah
membetuk MPD. Perbedaan pantulan pertama dan pantulan terakhir dapat digunakan
untuk deteksi ketinggian obyek dari permukaan tanah dengan teliti (misal : tinggi
vegetasi dari tanah ke puncak tajuk, tinggi bangunan dari tanah ke puncak atap).
Kerapatan data Lidar mampu membentuk tajuk kanopi pohon dalam koordinat (x,y,z)
yang sangat teliti. Ekstraksi informasi data Lidar sebagai pemodelan geospasial dan
representasi kuantitatif permukaan bumi memberi gambaran bentuk MPD dan keadaan
medan dipengaruhi oleh ketelitian, kerapatan dan distribusi datanya. Sehinga dapat
dipergunakan untuk klasifikasi tutupan lahan secara tiga dimensi.
Proses klasifikasi secara tiga dimensi sangat dipengaruhi oleh algoritma
penyaringan data yang terbentuk setelah segmentasi data dilakukan. Proses segmentasi
dilakukan untuk memisahkan seberkas titik data Lidar dengan algoritma organisasi
persepsi. Berkas titik-titik perlu dilakukan proses interpolasi untuk membentuk struktur
data baru yang dapat dilakukan pemodelan bentuk permukaan tanah sebenarnya. Hal ini
sangat mungkin untuk dilakukan karena data Lidar dapat mengidentifikasi secara
horisontal maupun vertikal. MPD untuk daerah terbuka maupun daerah yang memiliki
banyak vegetasi dapat diperoleh dari data Lidar dan disebabkan karena kemampuannya
merekam pantulan pertama dan terakhir dari sinyal yang dipancarkan ke permukaan
bumi. Tutupan lahan yang biasanya diklasifikasikan secara interpretasi visual dari citra
dan foto udara pada peta skala besar (1: 1000) dengan adanya data Lidar dapat
diklasifikasi berdasarkan ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun bangunannya.
Kekasaran obyek juga mempengaruhi intensitas pantulan data Lidar, sehingga obyek
yang berupa jalan, gedung, bangunan buatan manusia akan berbeda dengan vegetasi dan
tanah basah serta tubuh air.
Karakteristik yang menarik dari Lidar adalah dapat diaturnya frekuensi pancaran
sinyal, yang memungkinkan diaturnya kerapatan titik tiap satuan luas tertentu. Hal ini
juga dipengaruhi oleh tinggi terbang, kecepatan pesawat (60 meter/detik) dan pulsa rit
serta sudut cakupan dari sensor Lidar. Artinya semakin tinggi terbangnya, semakin luas
cakupannya di permukaan tanah dan semakin jarang kerapan titik yang terekam,
sehingga diperlukan peningkatan frekuensi atau rit pulsa Lidar untuk mendapatkan
kerapatan titik di permukaan tanah. Semakin rapat data Lidar semakin teliti deteksi
obyek volumetrik di atas permukaan tanah, tetapi semakin besar penyimpan data yang
digunakan.
Pengukuran jarak dengan Laser dengan ketelitian tinggi sebenarnya bukan
merupakan teknologi yang baru. Hal yang baru dari Lidar adalah bahwa sensor
Lasernya diletakkan pada wahana yang bergerak. Sebelumnya Laser digunakan untuk
pengukuran obyek pada sensor yang diam. Dengan diluncurkannya satelit GPS (Global
Positioning System) memungkinkan ditentukannya posisi saat wahana yang bergerak
dengan ketelitian yang tinggi. Sistem ini mengacu pada suatu sistem koordinat WGS 84
dan sistem navigasi yang digunakan adalah alat IMU (Inertial Measurement Unit) yang
dapat mencatat sikap pesawat udara. Hal yang perlu diketahui adalah integrasi alat
GPS/IMU dalam hal mencatat waktu dengan ketelitian tinggi. GPS mencatat waktu
(sampling rate) setiap detik, sedangkan IMU mencatat sikap pesawat (roll, pitch, yaw)
200 posisi setiap detik dan data Lidar sebanyak 50.000 sampai 200.000 pulsa setiap
detik. Sehingga trayektori atau lintasan pesawat dalam koordinat (x,y,z) dapat
diketahui. Dari beberapa faktor inilah yang membuat ketelitian data Lidar diperoleh dari
saling keterkaitan beberapa alat utama sistem Lidar.
Secara umum sistem Lidar wahana udara (gambar 1) merupakan perpaduan
antara LRF (Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) yang
secara jelas dengan mengintegrasikan DGPS (Differential Global Positioning System),
IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit (Wehr dan Lohr, 1999). Laser
mengukur jarak ke permukaan tanah atau obyek dan menghasilkan posisi 3dimensi bila
dikombinasikan dengan posisi dan orientasi dari sensor Laser terhadap suatu sistem
referensi koordinat tertentu (gambar 2).
Gambar 1. Pemetan Lidar wahana udara

Gambar 2. Hubungan antara sistem referensi koordinat


(Sumber : Hu, 2003)

Sedangkan rumus yang menyatakan hubungan antara sistem-sistem koordinat


dinyatakan pada persamaan sebagai berikut :
 0 
ri = rGPS (t ) + RINS (t ) Rlaserunit rlaserunit + Rlaserunit Rlaserbeam (t )  0  ..........(1)
m m m INS INS INS laserunit

− ρ i 
ri m :Vektor koordinat titik (i) dalam bingkai peta (m-frame)
m
rGPS :GPS vektor koordinat terinterpolasi dalam bingkai peta
INS
rlaserunit :Perbedaan letak (lever arm) antara pusat INS dan origin sistem
koordinat unit Laser, ditentukan dengan kalibrasi.
ρi :Vektor koordinat titik (i) dalam sistem koordinat sorotan
Laser
m
RINS (t ) :Matrik rotasi terinterpolasi antara bingkai badan IMU (b-frame)
dan bingkai peta (m-frame).
INS
Rlaserunit :Rotasi differensial (boresight) antara bingkai unit Laser dan
bingkai badan INS, ditentukan dengan kalibrasi.
laserunit
Rlaserbeam (t ) :Rotasi differensial antara bingkai sorotan Laser dan bingkai
unit Laser saat (t), ditentukan dengan mekanisme penyiam
Laser.
(t ) :Waktu pengambilan titik, ditentukan dengan sinkronisasi.

Hyyppa, et al. (2005) melakukan penelitian pada daerah hutan dalam


pembentukan MED dari data penyiaman Laser wahana udara. Secara empiris, penelitian
dilakukan pada kualitas MED, beberapa penelitian ditekankan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas pembentukan MED. Dalam penelitiannya juga meneliti waktu
saat akuisisi data, ketinggian terbang, mode pulsa, kemiringan lereng , tutupan hutan
dan variasi gambaran pada ketelitian MED pada zona hutan.
Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi ketelitian MED yang diperoleh dari sistem Lidar. Sehingga pertanyaan
yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi ketelitian MED yang diperoleh dari sistem Lidar ?.

LOKASI dan DATA PENELITIAN


Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah Karanganyar Sukoharjo Jawa Tengah. Daerah
tersebut termasuk daerah datar pada jenis tutupan lahan sawah dan permukiman serta
pada daerah perairan sekitar waduk Cengklik sampai Bengawan Solo . Pelaksanaan
penelitian melalui survei Lidar dan dilengkapi dengan pemotretan udara medium format
yang merupakan pemetaan koridor dengan lebar 1500 meter sepanjang kurang lebih 20
Km, dalam 3 jalur penerbangan yang bertampalan dan terbagi atas 3 penggal koridor
yang kesemuanya berjumlah 9 jalur penerbangan.

Data Lidar
Data penelitian diakuisisi pada tgl 24 Mei 2008 dalam rangka untuk perencanaan
DED jalan dengan:

Bahan atau materi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :


• Koordinat titik GPS pada area akuisisi data Lidar.
• Satu set hasil akuisisi data Lidar untuk uji ketelitian MPD di penelitian
• Data penunjang lainnya, berupa peta, citra Ortofoto daerah penelitian.

Peralatan-peralatan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :


• Satu set peralatan akuisisi data LIDAR ( Pesawat Udara Chieftain Paper Navajo,
Sensor Laser Riegl , DGPS type Geodetik , IMU ).
• Komputer PC Pentium IV, RAM 2 GB dan Laptop Centrino RAM 1 GB dan alat
bantu lainya.
• Alat survei GPS type Geodetik dan perlengkapannya.
• Alat survei Total Station dan perlengkapannya.
• Perangkat Lunak untuk proses data

Data Referensi
1. Berdasarkan pada rencana jalur terbang, maka dalam survei udara ini diperlukan
basis operasional di Bandara Adisumarmo Solo untuk mencapai batas wilayah
pemetaan sesuai dengan rencana penggunaannya.
2. Titik Referensi pemetaan yang terdiri dari : Referensi Horisontal; Titik N1.0251
yang terletak di halaman statsiun Kereta Api Solo Balapan, Sistem Koordinat
UTM (Timur = 480323,740 dan Utara = 9164682,751 ) meter.
3. Referensi Tinggi; TTG 882 (Tinggi ortometris = 93,453 meter) yang berada di
halaman Stasion KA Solo Balapan terletak di dekat titik referensi Horizontal
N1.0251 dengan jarak 63,3 meter dan beda tinggi = -0,161 meter, sehingga
tinggi ortometris N1.0251 = 93,292 meter. Pengecekan tinggi dengan referensi
TTG 1097 = 52,034 meter, TTG 1250 = 56,268 meter.
4. Peralatan Survei Lidar dan Pemotretan Udara dipasang pada badan pesawat
udara untuk pengukuran offset (lever arm) antena GPS dan muonting angle
yaitu perbedaan orientasi antara 2 body frame (IMU dan Lidar). Dikarenakan
data posisi yang ditentukan mengunakan GPS adalah di pusat antena GPS yang
dipasang ditubuh/fuselage pesawat, sedangkan rekaman data adalah laser dan
digital kamera, maka diperlukan offset atau ukuran jarak dari antena GPS
terhadap pusat laser generator dan pusat CCD kamera atau yang disebut offset
data.

METODOLOGI
Pembentukan MED dari data Lidar ini bertujuan untuk pengolahan data
sedangkan pelaksanaannya adalah untuk memperoleh Berkas Titik Laser yang
mempunyai referensi WGS 84 dan terdefinisi dalam format data keluaran serta dapat
disajikan. Pegolahan data terdiri dari tahapan-tahapan seperti pada gambar 3 berikut.
Hasil keluaran dari proses data berupa berkas titik Laser yang berupa MPD dan
diturunkan menjadi MED. Hasil MPD dapat diklasifikasi secara 3 dimensi dengan
menerapkan beberapa algoritma yang ada.

MPD dan MED


MPD merupakan data set ketinggian yang dibentuk dari koordinat teliti X, Y dan
Z dari sistem pantulan data Lidar yang memuat semua informasi data topografi,
planimetri dan vegetasi, baik buatan manusia maupun alam untuk daerah tersebut pada
saat penyiaman Laser berlangsung, seperti pada gambar 3.

Gambar 3. MPD, MED dan Normal MPD (Hu, 2003)

Sedangkan pengertian Model Elevasi Digital umumnya berkaitan representasi


permukaan topografi yang mempunyai ketinggian medan. Ketinggian medan yang
mewakili posisi permukaan tanah mempunyai posisi horisontal tertentu, sehingga data
Lidar dapat digunakan langsung sebagai model elevasi digital sebab mempunyai
koordinat x,y,z untuk setiap posisinya, akan tetapi bila elevasi tersebut di atas
permukaan tanah dan di situ ada obyeknya , maka lokasi tersebut merupakan model
permukaan digital.
Data seberkas titik
Lidar (*.x,y,z)

Model Permukaan 1. Penentuan Grid


Digital 2. Algoritma interpolasi

Penghilangan obyek diatas medan


Klasifikasi 1. Morfologi penapisan
2. Proses klasifikasi citra

Terain Non Terain

Konversi Interpolasi Model Elevasi Digital


data

Model Elevasi Digital

Normal MPD = MPD - MED

Gambar 4. Pendekatan umum MPD dan MED

HASIL
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan untuk memperoleh kontrol
kualitas hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk penampang melintang dari tiap-
tiap kelas, kelas permukaan tanah, kelas vegetasi rendah, kelas vegetasi medium, kelas
vegetasi tinggi, kelas bangunan. Untuk kesemua itu dapat divisualisasikan dalam
bentuk tampak atas dan potongan melintang seperti pada gambar 5.

Gambar 5. Hasil klasifikasi dan penampang melintang data Lidar


Hasil tumpang susun ortofoto dan data Lidar pada daerah permukiman dapat disajikan
pada gambar 6.

Gambar 7. Hasil tumpang susun ortofoto dan data Lidar

Hasil pengolahan MPD dapat disajikan pada gambar 8 yang secara shading yang
memperlihatkan model permukaan digital daerah permukiman (rumah, vegetasi, jalan
dan sawah).

Gambar 8. Hasil pengolahan MPD

Untuk menunjukkan hasil model elevasi digital yang diperoleh dari penyaringan MPD
dapat disajikan dengan pewarnaan berdasarkan elevasi permukaan tanah, sehingga
terlihat terinnya dari punggungan bukit sampai dengan alur sungai. Seperti pada gambar
9
Gambar 9. Hasil MED (Model Elevasi Digital)

Aplikasi penggunaan data MED dapat disajikan dalam bentuk tampilan garis kontur
maupun slope ketinggian dan aliran drainasi untuk seluruh daerah penelitian, seperti
ditunjukkan pada gambar 10.

Gambar 10. Hasil tampilan garis kontur dan alur drainasi

DISKUSI
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Data Lidar
Akurasi dari Posisi 3D
Ketelitian dari koordinat 3D tergantung dari banyak faktor. Faktor utama dari
akurasi adalah (a) jarak, (b) posisi dari sinar laser dan (c) arah dari sinar laser. Karena
hasilnya seringkali dalam WGS84, hasil final tergantung dari akurasi transformasi dari
WGS84 ke sistem koordinat lokal, termasuk koreksi undulasi geoid, yang menjadi
penting terhadap akurasi dari Lidar. Jarak, posisi, dan arah penyinaran diukur oleh
sensor yang berbeda, maka setiap saat kesalahan misregistrasi akan berpengaruh juga
terhadap hasil.

Beberapa Faktor akurasi yang utama


1. Akurasi jarak
Akurasi jarak merupakan komponen yang paling rumit di antara faktor akurasi
yang lain. Dalam kenyataannya jika pengukuran dilakukan dengan teliti, kontribusi dari
kesalahan jarak terhadap kesalahan koordinat 3D adalah minimum jika dibandingkan
dengan sumber kesalahan lain. Hal ini dapat terjadi jika tinggi terbangnya rendah dan
sudut penyiam kecil, karena tinggi terbang dan sudut penyiam merupakan komponen
yang berpengaruh terhadap kenaikan total kesalahan.
Akurasi kesalahan jarak dari pulsa laser tergantung dari faktor-faktor berikut:
a. Kemampuan memilih posisi yang relatif sama pada transmitter dan penerima
pulsa terkait pengukuran interval waktu. Hal ini dibatasi oleh gangguan,
kekuatan sinyal dan sensitivitas dari batas detektor dan perpendekan dan
kemampuan memancarkan (reproducibility) dari pulsa transmitter. Faktor utama
di sini merupakan tahapan penerimaan sinyal yaitu waktu bangkitan dari pulsa.
Tipikal laser pulsa dengan durasi 10ns mempunyai waktu bangkitan kira-kira 1
ns (1ns sama dengan 30 cm jarak). Waktu bangkitan bebas dari lebar pulsa.
Untuk detektor waktu bangkitan tergantung pada panjang gelombang sinar.
b. Akurasi dengan fixed time delay dalam sistem yang diketahui sebagai contoh
konter (frequency) tidak stabil bisa menyebabkan kesalahan sistematik drift.
c. Akurasi dari interval waktu konter sebagai contoh resolusi, time jitter. Konter
waktu mempunyai resolusi 0,1 ns yang akan berhubungan dengan resolusi
jarak 1,5 cm.
Contoh dari waktu bangkitan dan akurasi jarak. Diasumsikan padang jagung tinggi 1 m
dan 10 ns pulsa. Sebagian sinar laser akan dipantulkan oleh bagian atas tanaman, dan
sebagian akan diserap oleh daun dan tanah, Maka pantulan lengkap akan menjadi
tercampur dengan echo dari permukaan yang sangat kecil. Untuk penyederhanaan ini
diasumsikan bahwa semua pantulan permukaan didistribusikan lebih tinggi 1 meter.
Waktu bangkitan dari echo akan menjdi 7,6 ns (yaitu waktu bangkitan transmisi pulsa
sebesar 1ns dan tambahan disebabkan oleh kekasaran permukaan yaitu 6.6 ns ).
Pengukuran jarak dihitung antara atas dan bawah tanaman . Pada kondisi medan yang
datar dan keras (contoh jalan) , akurasi pulsa seharusnya 10 – 15 % dari waktu
bangkitan. sebagai contoh untuk 1 ns waktu bangkitan, akan menghasilkan 1.5 – 2.25
cm akurasi jarak.

2. Akurasi Posisi
Secara garis besar tergantung dari kualitas DGPS postprosessing. Faktor lain
Perangkat keras GPS, Konstelasi satelit GPS selama penerbangan, jumlah, distribusi,
jarak dari stasiun referensi ke pesawat, akurasi offset dan misalignment antara GPS dan
IMU, IMU dan Penyiam Lidar, akurasi dari arah sinar laser (akurasi Lidar). Kesalahan
GPS disebabkan karena kesalahan waktu, tetapi kesalahan ini dapat diminimalisir
melalui integrasi GPS dengan IMU. Dengan DGPS dan pasca pengolahan
(postprocessing) akurasi 5- 15 cm dapat diperoleh.
3. Akurasi Attitude
Ini tergantung pada kualitas dari IMU, IMU frekwensi (yaitu kesalahan
interpolasi), metode postprocessing, dan integrasi dengan GPS. Akurasi heading
ditambahkan tergantung dari lintang tempat. Efek dari kesalahan attitude terhadap
akurasi 3D bertambah dengan tinggi terbang dan sudut penyiam.

4. Penyesuaian Waktu (Time Offsets)


Untuk posisi 3D akurat, orientasi, posisi dan jarak dibutuhkan untuk diambil
pada waktu yang sama. Jika penyesuaian waktu tidak diketahui secara tepat, maka hal
ini akan menyebabkan variabel kesalahan. Kesalahan meningkat dengan meningkatnya
perubahan rata-rata dari pengukuran yang waktu. Contoh ketika penyesuaian waktu
antara jarak dan sudut rotasi bisa mempunyai efek yang kecil untuk penerbangan yang
tenang (sudut rotasi agak stabil) tetapi hal ini akan berdampak besar pada saat
penerbangan turbulent.

Pengaruh dari berbagai sumber kesalahan terhadap koordinat 3D.


Kesalahan ini biasanya diakibatkan oleh kemungkinan kesalahan dalam
transformasi ke sistem koordinat lokal, jumlah, distribusi dan jarak dari stasiun referensi
GPS, kualitas dari GPS/IMU pasca pengolahan, koreksi kesalahan relatif melalui
perataan blok dari jalur penerbangan.
Perlu adanya assumsi bahwa medan datar dan penyiaman ditampilkan dalam bidang
vertikal tegak lurus terhadap arah terbang. Sistem koordinat ditentukan sistem tangan
kanan x,y,z pusatnya pada origin sinar laser (pusat dari cermin scan) dan obyek
menggunakan sistem tangan kanan X,Y,Z dengan nadir origin dari origin sistem
koordinat lokal. Sumbu x positif searah dengan arah terbang. Kesalahan attitude
∆ω , ∆φ , ∆κ terkait kepada kesalahan rotasi terhadap sistem koordinat lokal. κ rotasi
dari sumbu X ke sumbu x dan β sudut penyiam laser

Kualitas MED dari Data Lidar


Menurut ISO19113, 2002 dalam Hu, 2003, kualitas geoinformasi dapat
dideskripsikan dengan elemen kualitas data sebagai berikut :
a. Kelengkapan (completeness) : kelengkapan fitur termasuk atribut dan
hubungannya.
b. Konsistensi logis (logical consistency) : tingkat kelekatannya pada aturan
logis struktur data, atribut dan hubungannya ( struktur data dapat berupa
konseptual, logikal adan fisik)
c. Ketelitian posisi (positional accuracy) : ketelitian posisi fitur
d. Ketelitian temporal (temporal accuracy): ketelitian temporal atribut dan
temporal hubungan fitur
e. Ketelitian tematik (thematic accuracy) : ketelitian kuantitatif atribut dan
kelengkapan nonkuantitatif atribut dan klasifikasi fitur serta hubungannya.
Dalam kasus kualitas MED, kelengkapan, ketelitian posisi dan ketelitian tematik
mendapat perhatian yang signifikan. Ketelitian posisi biasanya berupa ketelitian vertikal
dan horisontal yang ditunjukkan dengan perhitungan Root Mean Squared Error
(RMSE) yang dihubungkan dengan sejumlah titik kontrol. Menurut (FEMA, 2002)
asumsi kesalahan berupa distribusi normal, metadata akan menyatakan : MED dites
untuk 1,96 x RMSE (vertikal atau horisontal) ketelitian pada tingkat kepercayaan 95%.
Di lain pihak, perhitungan kualitatif dari kualitas MED dapat juga dikerjakan melalui
inspeksi visual kemampakan MED. Visualisasi perangkat yang efisien untuk
mengidentifikasi kesalahan dengan ketidak konsistensian dalam set data.
Sumber kesalahan MED Lidar dan cara meningkatkan ketelitian didapat dengan
upaya yang diambil untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketelitian
horisontal dan vertikal dari MED Lidar dan meningkatkan cara untuk
mengeliminasinya. Untuk meningkatkan kualitas hasil dengan mengidentifikasi 4
komponen utama yang menyebabkan kesalahan geometris data Lidar (gambar 11)

a. Kesalahan tiap titik


Seharusnya untuk mengukur keragu-raguan dari setiap titik penyiam Laser
menyebabkan kesalahan random atau noise titik sekitar 10-15 cm. Hal itu dapat
diturunkan dengan cara meratakan ketinggian dari sejumlah titik dalam area guna
keperluan menghitung nilai ketinggian rerata pada daerah tersebut. Perbedaan tinggi
titik pada perataan jalur atau perhitungan ketelitian tidak harus dihitung secara individu
titik sebab noise titik akan mempengaruhi hasil.
Jika perbedaan dihitung sebagai perbedaan rerata dari grup yang terdiri minimal 100
titik pada daerah tersebut kira-kira (50x50)m2 maka kesalahan random dapat minimal.
Titik noise sebesar 12 cm hasil dari (12x√2)/100=1,7 cm untuk perbedaan rerata tinggi.

Gambar 11. Komponen kesalahan dari akuisisi Lidar

b. Kesalahan tiap pengamatan GPS


Pengamatan GPS internal biasanya di set untuk setiap detik. Setiap pengamatan
GPS menyebabkan kesalahan random. Kesalahan GPS ini, besarnya konstan untuk
seluruh titik Laser terukur selama detik tersebut. Biasanya titik-titik tersebut terletak
dalam luasan jalur terbang kira-kira 60m panjang yang tergantung dari kecepatan
pesawat (v = 60 m/detik).
c. Kesalahan tiap jalur
GPS dan sensor IMU diperlukan untuk mengukur posisi dan orientasi pesawat
udara sepanjang jalur terbang. Sistem GPS/IMU mengenalkan vertikal offset untuk
setiap jalur sepanjang jalur sebesar tilt memanjang atau melintang. Kadang-kadang efek
dari kesalahan sistematik yang disebabkan GPS/IMU yaitu efek parabolik jalur
melintang, puntiran jalur dan efek periodik arah jalur terbang.
d. Kesalahan tiap blok
Pengukuran referensi terestris (titik kontrol tanah) digunakan untuk mengoreksi
blok pengukuran Laser. Sehingga, kesalahan pengukuran referensi menyebabkan
seluruh blok data ketinggian Laser. Perataan jalur terbang dan teknik koreksi deformasi
jalur terbang telah dikembangkan untuk meminimalkan komponen kesalahan tersebut.

KESIMPULAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi data Lidar adalah besarnya akurasi dari posisi
3D serta beberapa faktor akurasi yang utama yang meliputi : akurasi jarak, akurasi
posisi, akurasi attitude dan penyesuaian waktu (Time Offsets). Pengaruh dari berbagai
sumber kesalahan terhadap koordinat 3D. Kesalahan ini biasanya diakibatkan oleh
kemungkinan kesalahan dalam transformasi ke sistem koordinat lokal, jumlah, distribusi
dan jarak dari stasiun referensi GPS, kualitas dari GPS/IMU pasca pengolahan, koreksi
kesalahan relatif melalui perataan blok dari jalur penerbangan.

PUSTAKA
Ackermann, F., 1999, Airborne Laser Scanning – present status and future expectation,
ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54 (1999), pp.64-67.
Baltsavias, E., P., 1999a, A Comparison between Photogrammetry and Laser Scanning,
ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54 (1999),pp.83-94
Baltsavias, E., P., 1999b, Airborne Laser Scanning : basic relations and formulas ,
ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54 (1999), pp.199-214.
Hu, Y , 2003, Automated Extraction of Digital Terrain Models, Roads and Buildings
using Airborne Lidar Data, PhD Dissertation, The University of Calgary,
Alberta, Canada.
Jekeli, C., 2001, Inertial Navigation Systems with Geodetic Applications, Walter de
Gruyer , New York, USA.
Wehr, A. and Lohr, U., 2002, Improvement of Road crossing extraction and External
evaluation of the extraction result, IAPRS, Journal of Photogrammetry &
Remote Sensing, 54, pp. 68-82.

Anda mungkin juga menyukai