PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Ketika berbicara tentang cardiac arrest, ingatan kita tidak bisa lepas dari penyakit
jantung dan pembuluh darah, karena penyebab tersering dari cardiac arrest adalahpenyakit
jantung koroner. Setiap tahun terdapat kurang lebih 295.000 kasus cardiac arrest yang
ditangani baik di rumah sakit maupun diluar rumah sakit di Unites State (American Heart
Association, 2012).
WHO 2008 menerangkan bahwa penyakit jantung, bersama-sama dengan penyakit
infeksi dan kanker masih tetap mendominasi peringkat teratas penyebab utama kematian di
dunia. Serangan jantung dan problem seputarnya masih menjadi pembunuh nomor satu
dengan raihan 29 persen kematian global setiap tahun.
Demikian halnya di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Nasional tahun 1986 dan
1991, penyakit jantung koroner bersama dengan penyakit infeksi merupakanpenyebab
kematian utama di Indonesia (Diklat Yayasan Ambulans 118 2010). Kematian jantung
mendadak atau cardiac arrest adalah berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba pada
seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung, waktu dan
kejadiannya tidak terduga, yakni segera setelah timbul keluhan (American Heart
Association, 2010).
Kematian otak dan kematian permanen terjadi dalam jangka waktu 8 sampai
10menitsetelah seseorang mengalami cardiac arrest (Diklat Ambulans 118 2010). Cardiac
arrest dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan cardiopulmonary resuscitation dan
defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal.
Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 8 sampai 10 persen pada
tiapmenit yang berjalan tanpa cardiopulmonary resuscitation dan defibrilasi (American
Heart Assosiacion, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian dari American Heart Association pada bulan Juni 1999
didapatkan data bahwa 64% pasien dengan cardiac arrest yang mendapatkan penanganan
segera dapat bertahan hidup tanpa kerusakan otak. Inti dari penangan cardiac arrest adalah
kemampuan untuk bisa mendeteksi dan bereaksi secara cepat dan benar untuk sesegera
mungkin mengembalikan denyut jantung ke kondisi normal untukmencegah terjadinya
kematian otak dan kematian permanen.
Penanganan secara cepat dapat diwujudkan jika terdapat tenaga yang
memilikikemampuan dalam melakukan “chain of survival” saat cardiac arrest terjadi.
Keberadaan tenaga inilah yang selama ini menjadi masalah atau pertanyaan besar, bahkan
di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang yang notabene banyak terdapat tenaga
medis dan perawat. Tenaga medis dan perawat di Rumah Sakit sebenarnya sudah memiliki
kemampuan dasar dalam melakukan life saving, akan tetapi belum semuanya dapat
mengaplikasikannya secara maksimal dan seringkali belum terdapat pengorganisasian yang
baik dalam pelaksanaannya. Masalah inilah yang kemudian memunculkan terbentuknya tim
reaksi cepat dalam penanganan Arrest segera yang disebut “CODE BLUE”
1
B. Tujuan
Tujuan dari panduan ini adalah:
1. Untuk memberikan panduan baku bagi tim code blue dalam melaksanakan tugas-
tugasnya sebagai tim reaksi cepat jika code blue diaktifkan.
2. Membangun respon seluruh petugas di RSUD Torabelo Sigi pada pelayanan
kesehatan dalam keadaan gawat darurat.
3. Mempercepat respon time kegawatdaruratan di rumah sakit untuk menghindari
kematian dan kecacatan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
C. Definisi
e. Pasien gawat
Pasien yang terancam jiwanya tetapi belum memerlukan pertolongan RJP.
1
f. Triage.
Pemilihan kondisi pasien melalui penilaian klinis pasien.
g. Perawat terlatih
Mendapatkan pelatihan RJP / Code Blue Team.
D. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perumasakitan;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Keselamatan dan Kesehatan;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/ Menkes/
1128/ 2022 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit;
2
BAB II
RUANG LINGKUP
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua kondisi
darurat medis kritis tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera mungkin. Sistem
respon terbagi dalam 2 tahap yaitu:
1. Respon awal (responder pertama) berasal petugas rumah sakit yang berada di sekitar
korban yang mengalami kondisi gawat darurat.
2. Respon kedua (responder kedua) berasal dari tim code blue.
Sistem respon dilakukan dengan waktu respon tertentu berdasarkan standar kualitas
pelayanan yang telah ditentukan oleh rumah sakit. System respon dilakukan dengan
waktu respon tertentu berdasarkan standar kualitas pelayanan yang telah ditentukan oleh
rumah sakit. Untuk menunjang hal tersebut yang dilakukan adalah :
1. Semua personil di rumah sakit harus dilatih dengan keterampilan BHD untuk
menunjang kecepatan respon untuk BHD di lokasi kejadian.
2. Peralatan BHD harus ditempatkan di lokasi yang strategis dalam kawasan rumah sakit,
misalnya lobi rumah sakit, ruang tunggu poliklinik dan ruang rawat inap, dimana
peralatan dapat dipindahkan atau dibawa untuk memungkinkan respon yang cepat.
3
C. Kualifikasi Tim Code Blue
Kualifikasi
No Nama Jabatan URAIAN TUGAS
Formal
1 Leader/ Dokter Jaga 1. Menguasai seluruh algoritma.
Kapten Memberikan intruksi dengan jelas dan
sistemik.
2. Mengambil alih tugas bila diperlukan.
3. Mengecek tugas Ventilator (orang
yang melakukan pembebasan jalan
nafas / Airway & Breathing)
4. Mengecek tugas Kompresor (orang
yang melakukan pijat jantung).
5. Mengecek tugas Sirkulator (orang
yang melakukan pemasangan IV line
dan persiapan alat).
4
D. Pengaturan Jaga
a. Dokter Jaga IGD
b. Perawat/bidan yang bertugas sebagai tim CODE BLUE (disetiap bagian dan
setiap shift jaga terdapat perawat yang ditunjuk sebagai petugas penanggung
jawab CODE BLUE)
c. Tim Code Blue yang bertugas diatur secara bergantian setiap bulan
5
BAB III
TATA LAKSANA
2. Uraian Tugas.
a. Koodinator Team
Dijabat oleh Kepala Instalasi IGD bertugas :
i. Mengkoordinir segenap anggota tim.
ii. Bekerjasama dengan diklat membuat pelatihan kegawat daruratan yang
dibutuhkan oleh anggota tim.
c. Perawat Pelaksana.
Perawat bertugas :
i. Bersama dokter penanggung jawab medis mengidentifikasi/triage pasien di ruang
perawatan.
ii. Membantu dokter penanggung jawab medis menangani pasien gawat dan gawat
darurat di ruang perawatan.
d. Tim Resusitasi.
Dijabat Perawat terlatih dan Dokter Jaga IGD. Bertugas :
i. Memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien gawat / gawat darurat diruang
perawatan.
ii. Melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien gawat darurat diruang perawatan
6
ruangan menghubungi DPJP, mengusulkan pasien dipindah ke IRI.
ii. Perawat Pelaksana.
c. Melakukan RJP
i. Dokter Jaga IGD dengan atau tanpa bantuan dokter jaga ruangan.
ii. Perawat Terlatih 2 - 3 orang (dari IGD dan IRI).
iii. Perawat pelaksana
4. Perencanaan Komunikasi
Komunikasi dalam penanganan kegawat daruratan di rumah sakit merupakan hal yang
sangat penting, untuk itu ada hal – hal yang harus dipenuhi dalam berkomunikasi,
yaitu :
a. Komunikasi dilakukan dengan singkat, jelas dan benar.
b. Menggunakan kata sandi Kode Biru dan menyebutkan lokasi ruangan dan nomor
kamar pasien.
Alat – alat komunikasi yang dapat digunakan sebagai standar :
a. Speaker RS yang berada diruang informasi
7
d. Jika lokasi kejadian di ruangan rawat inap maka informasikan: “ nama
ruangan ….. nomor …. “.
C. Waktu respon operator menerima telepon “0” adalah harus secepatnya diterima,
kurang dari 3 kali deringan telepon.
D. Jika lokasi kejadian berada di area ruang rawat inap ataupun rawat jalan, setelah
menghubungi operator, penolong kedua atau perawat ruangan (II) jika
memungkinkan segera membawa troli emergensi (emergency trolley) atau AED
(jika lokasi di poliklinik/lobi lantai 1) ke lokasi dan membantu penolong pertama
atau perawat ruangan (I) melakukan resusitasi sampai dengan tim Code Blue
datang. Operator mengumumkan code blue melalui paging, jika paging
bermasalah maka menggunakan alat telekomunikasi Handy Talky (HT) atau
pengeras suara mengatakan code blue dengan prosedur sebagai berikut:
a. “Code Blue, Code Blue, Code Blue, di area ….. (nama lokasi atau
ruangan…..”.
b. Jika lokasi kejadian diruangan rawat inap maka informasikan: “Code Blue,
Code Blue, Code Blue, nama ruangan ….. nomor kamar …..”.
E. Setelah tim code blue menerima informasi tentang aktivasi code blue, mereka segera
menghentikan tugasnya masing-masing, mengambil resusitasi kit serta trolley
emergency dan menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest. Waktu respon
dari aktivasi code blue sampai dengan kedatangan tim code blue di lokasi terjadinya
cardiac respiratory arrest adalah 5 menit.
F. Sekitar 5 menit kemudian, operator menghubungi lokasi code blue untuk memastikan
bahwa tim code blue sudah menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest.
G. Jika lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah lokasi yang padat manusia
(public area) maka petugas keamanan (security) segera menuju lokasi terjadinya
untuk mengamankan lokasi tersebut sehingga tim code blue dapat melaksanakan
tugasnya dengan aman dan sesuai prosedur.
H. Tim code blue melakukan tugasnya sampai dengan diputuskan bahwa resusitasi
dihentikan oleh kapten tim code blue.
I. Untuk pelaksanaan code blue di area terbuka (lobi, ruang tunggu, area poliklinik, dan
tempat parkir), Tim code blue memberikan bantuan hidup kepada pasien hingga
transportable kemudian pasien segera ditransfer ke Instalasi Gawat Darurat.
J. Kapten tim code blue memutuskan tindak lanjut pasca resusitasi pada pasien rawat
inap, yaitu:
a. Jika resusitasi berhasil dan pasien stabil maka dipindahkan secepatnya ke
Instalasi Perawatan Intensif untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut jika
keluarga pasien setuju.
b. Jika keluarga pasien tidak setuju atau jika Instalasi Perawatan Intensif penuh
maka pasien dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
c. Jika keluarga pasien menolak dirujuk dan meminta dirawat di ruang
perawatan biasa, maka keluarga pasien menandatangani surat penolakan.
d. Jika resusitasi tidak berhasil dan pasien meninggal, maka lakukan koordinasi
dengan bagian bimbingan rohani, kemudian pasien dipindahkan ke kamar
jenazah.
8
K. Kapten tim code blue melakukan koordinasi dengan DPJP.
L. Kapten tim code blue memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
M. Perawat ruangan mendokumentasikan semua kegiatan dalam rekam medis pasien dan
melakukan koordinasi dengan ruangan pasca resusitasi.
b. Circulation Support
i. Set infus mikro 1 bh
ii. Set infus makro 1 bh
iii. Venocath 1 bh
d. Obat – obatan
i. Lidokain inj. 1 bh
ii. Adrenalin inj. 1 bh
iii. Phenobarbital inj. 1 bh
iv. Sulfas Atropin inj. 1 bh
v. MgSO4 inj. 1
vi. Dopamin inj
vii. Dobutamin inj
viii. Norepinephrine
9
sehingga mencegah kematian dan kecacatan yang tidak perlu terjadi.
b. Pelayanan Kegawat daruratan Pasien Di Ruangan. Merupakan kegiatan pelayanan
dalam menangani pasien gawat darurat dengan memberikan pertolongan bantuan
hidup dasar dan resusitasi jantung, paru dan otak (RJP).
c. Pelatihan dan Peningkatan SDM. Guna menjaga dan meningkatkan kualitas
kemampuan anggota tim, maka dibuatkan suatu pendidikan dan pelatihan meliputi
teori dan praktek sesuai kebutuhan tim .
d. Evaluasi dan Kendali Mutu. Pelaksanaan kegiatan penanggulangan dan penanganan
pasien gawat / gawat darurat oleh Blue Team harus dapat dievaluasi dan kendali
mutu agar kesempurnaan kegiatan menjadi lebih baik. Oleh karena itulah Tim
Pengendalian Mutu rumah sakit diharapkan dapat turut berperan dalam hal evaluasi
dan kendali mutu Blue Team
10
BAB IV
DOKUMENTASI
Setiap kejadian code blue dicatat di formulir kejadian. Pencatatan dilakukan oleh
petugas code blue sesuai zonasi dan dievaluasi setiap bulan oleh tim code blue. Monitoring
ketersediaan dan kesiapan obat serta alat-alat emergency dilakukan setiap bulan oleh tim code
blue bekerjasama dengan petugas ruangan, instalasi farmasi dan IPSRS.
11
BAB V
PENUTUP
Langkah-langkah kritis yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan code blue adalah
pengenalan keadaan serta aktivasi sistem gawat darurat segera, RJP segera serta defibrilasi
segera. Tindakan tersebut harus dilakukan oleh orang di sekitar yang paling dekat jika
menyaksikan seseorang tidak sadarkan diri secara mendadak.
Tidak seperti mitos yang kita dengar, untuk kondisi penderita seperti diatas, RJP
merupakan tindakan yang tidak berbahaya. Lebih berbahaya bagi penderita jika penolong
tidak bertindak apa-apa. Kualitas RJP harus kita perhatikan, kompresi dada harus dikerjakan
dengan baik melalui menekan cepat dan kuat di bagian setengah bawah tulang dada. Seluruh
tim medis Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang memegang peranan penting dalam
perkembangan sistem code blue.
12
13