TAHUN 2016
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya buku
panduan Code Blue dapat terselesaikan dengan baik.
Buku Panduan Code Blue ini disusun sebagai panduan bagi dokter dan perawat
dalam memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang mengalami
kondisi darurat cardio-respiratory arrest yang berada dalam kawasan Rumah Sakit Siti
Khodijah. Dalam penyusunan panduan ini kami telah berusaha untuk menyajikan dengan
sebaik mungkin, tetapi kami menyadari bahwa kemungkinan panduan ini masih banyak
kekurangan sehingga kami membuka diri untuk segala masukan dan saran yang
sifatnya membangun.
Semoga buku panduan Code Blue ini memberikan manfaat bagi dokter dan perawat
rumah sakit Siti Khodijah pada khususnya. Sehingga dokter dan perawat dapat memberikan
pelayanan yang bermutu.
Penyusun
Assalamuallaikum Wr. Wb
Ketika berbicara tantang cardiac arrest, ingatan kita tidak bisa lepas dari penyakit
jantung dan pembuluh darah, karena penyebab tersering dari cardiac arrest adalah
penyakit jantung koroner.
Inti dari penanganan cardiac arrest adalah kemampuan untuk bisa mendeteksi dan
bereaksi secara cepat dan benar untuk sesegera mungkin mengembalikan denyut
jantung ke kondisi normal untuk mencegah terjadinya kematian otak dan kematian
permanen.
Panduan ini menjadi pegangan bagi seluruh komponen pelayanan di Rumah Sakit Siti
Khodijah yaitu dokter dan perawat serta seluruh karyawan di lingkungan Rumah Sakit
Siti Khodijah.
Semoga panduan ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan baik, sehingga dapat
memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang mengalami kondisi
darurat cardio-respiratory arrest yang berada dalam kawasan rumah sakit Siti
Khodijah.
Wassalamuallaikum Wr. Wb
1. Code Blue
Code Blue adalah kode isyarat yang digunakan dalam rumah sakit yang menandakan
adanya seorang pasien yang sedang mengalami serangan jantung (Cardiac Arrest) atau
mengalami situasi gagal nafas akut (Respiratory Arrest) dan situasi darurat lainnya
yang membutuhkan tindakan resusitasi segera.
Sebuah code blue harus segera dimulai setiap kali seseorang ditemukan dalam
kondisi cardiac atau respiratory arrest (tidak responsif, nadi tidak teraba, atau
tidak bernapas) misalnya pasien yang membutuhkan resusitasi cardiopulmoner (CPR).
1
BAB II
RUANG LINGKUP
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua
kondisi darurat medis kritis tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera mungkin.
Sistem respon terbagi dalam 2 tahap.
1. Respon awal (responder pertama) berasal petugas rumah sakit yang berada di
sekitarnya, yang sudah mendapat pelatihan BHD.
2. Respon kedua (responder kedua) merupakan tim khusus dan terlatih yang berasal dari
unit yang ditunjuk oleh pihak rumah sakit.
Sistem respon dilakukan dengan waktu respon tertentu berdasarkan standar kualitas
pelayanan yang telah ditentukan oleh rumah sakit.
Untuk menunjang hal tersebut yang dilakukan adalah :
1. Semua personil di rumah sakit harus dilatih dengan keterampilan BLS untuk
menunjang kecepatan respon untuk BLS di lokasi kejadian.
2. Peralatan BLS harus ditempatkan di lokasi yang strategis dalam kawasan rumah sakit,
misalnya lobi rumah sakit, ruang tunggu poliklinik dan ruang rawat inap, dimana
peralatan dapat dipindah atau dibawa untuk memungkinkan respon yang cepat.
2
BAB III
TATA LAKSANA
3
serta berirama ditengah tulang dada. Tekanan ini dilakukan untuk mengalirkan
darah serta mengantarkan oksigen ke otak dan otot jantung.
Pernafasan bantuan dilakukan setelah melakukan kompresi dada dengan
memberikan nafas dalam waktu satu detik sesuai volume tidal dan diberikan
setelah dilakukan 30 kompresi dada.
c. Defibrilasi segera
Defibrilasi sangat penting dalam memperbaiki rantai kelangsungan hidup
penderita. Waktu antara penderita kolaps dan dilaksanakan defibrilasi
merupakan saat kritis. Angka keberhasilan menurun 7-10% setiap menit
keterlambatan penggunaan defibrilator.
d. Perawatan kardiovaskular lanjutan yang efektif
Pertolongan lebih lanjut oleh team ACLS merupakan rantai keberhasilan
manajemen henti jantung dengan bantuan alat-alat ventilasi, obat untuk
mengontrol aritmia dan stabilisisasi penderita.
ACLS memiliki 3 tujuan dalam penyelamatan henti jantung :
- Mencegah terjadinya henti jantung dengan memaksimalkan manajemen
jalan nafas, pemberian bantuan nafas dan pemberian obat-obatan
- Terapi pada penderita yang tidak berhasil dengan defibrilasi
- Memberikan defibrilasi jika terjadi Fibrilasi Ventrikel, mencegah fibrilasi
berulang dan menstabilkan penderita setelah resusitasi
e. Penanganan terintegrasi pasca henti jantung
Dalam pedoman RJP yang dikeluarkan American Herat Association tahun 2010
mulai diperkenalkan kepentingan pelayanan sistematis dan penatalaksanaan
multi spesialistik bagi penderita setelah mengalami kembalinya sirkulasi secara
spontan (Return Of Spontaneous Circulation)
5. Pelaksanaan bantuan hidup dasar
Tujuan utama pelaksanaan RJP adalah untuk mempertahankan kehidupan,
memperbaiki kehidupan, memperbaiki kesehatan, mengurangi penderitaan dan
membatasi disability tanpa melupakan hak dan keputusan pribadi.
Dalam pelaksanaanya keputusan untuk melakukan tindakan RJP sering kali hanya
diambil dalam hitungan detik oleh penolong yang mungkin tidak mengenal
penderita yang mengalami henti jantung atau tidak mengerti ada permintaan lebih
lanjut. Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan
memahami hak penderita serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak
perlu dilakukan yaitu:
a. Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak secara sah dan
ditandatangani oleh penderita atau keluarga penderita.
4
b. Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang telah mendapat
pengobatan secara optimal
c. Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memilki angka mortalitas tinggi,
misalnya bayi sangat prematur, anensefali atau kelainan kromosom.
6. Penghentian RJP
Bantuan RJP dapat dihentikan bila:
a. Penolong sudah melakukan BHD dan Bantuan Hidup Lanjut secara optimal
b. Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun
atau mengalami overdosis obat yang menghambat susunan sistem saraf pusat
c. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama
10 menit atau lebih.
7. Tekhnik pelaksanaan BHD
a. Sebelum melakukan BHD penolong harus memastikan bahwa lingkungan
sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan dilanjutkan dengan
memeriksa kemampuan respons penderita, sambil meminta pertolongan untuk
mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan defibrilator
b. Pengecekan pulsasi arteri
- Pengecekan pulsasi tidak perlu dilakukan bila penderita mengalami pingsan
mendadak, tidak bernafas atau bernafas tidak normal. Penilaian pulsasi
sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik, jika dalam 10 detik tidak dapat
meraba pulsasi maka segera lakukan kompresi dada.
- Kompresi dada dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan
berirama pada tulang dada, dengan frekwensi minimal 100 kali/menit,
kedalaman minimal 5 cm, berikan kesempatan dada mengembang sempurna
setelah kompresi, seminimal mungkin interupsi dan hindari pemberian nafas
bantuan yang berlebihan.
c. Pembukaan jalan nafas
Pembukaan jalan nafas dilakukan dengan teknik angkat kepala angkat dagu
pada penderita yang diketahui tidak mengalami cedera leher, sedangkan untuk
yang mengalami cedera leher dilakukan dengan menarik rahang tanpa ekstensi
kepala.
d. Pemberian nafas bantuan
Pemberain nafas bantuan dilakukan setelah jalan nafas aman dengan
memperhatikan pemberian nafas bantuan dalam waktu 1 detik dengan volume
tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada, diberikan 2 kali nafas setelah
10 kali kompresi.
e. Defibrilasi
5
Defibrilasi hanya dilakukan bila pasien dengan fibrilasi ventrikel dengan
kemungkinan keberhasilan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya
waktu
6
BAB IV
DOKUMENTASI
DIREKTUR
RUMAH SAKIT SITI KHODIJAH PEKALONGAN