Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PELATIHAN PERAWAT ANASTESI DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA KLIEN DENGAN UDT


(UNDECENDENT TESTIS) .DENGAN ANASTESI GENERAL ANASTESI
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH :

RIZKY FIRMAN STIAWAN


RUMAH SAKIT ISLAM AMINAH BLITAR

INSTALASI ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
Jl. JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 2
MALANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA An.M. AMSYAR DENGAN DIAGNOSA


UDT (UNDECENDENT TESTIS) DEKSTRA .DENGAN ANASTESI GENERAL ANASTESI

DI IBS RSUD Dr SAIFUL ANWAR MALANG

Telah Disetujui pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Malang, 2023
Peserta Pelatihan Pembimbing

( ) ( )
BAB I

KONSEP DASAR TENTANG PENYAKIT

A. Definisi

Undecendent Testis (UDT) atau disebut juga Kriptorkismus adalah gangguan perkembangan
yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua testis kedalam skrotum. UDT
atau cryptorchidism juga di artikan sebagai testis yang tidak dapat turun ke skrotum hingga
bayi berusia 12 minggu. Hal ini berbeda dengan acquired UDT atau disebut juga dengan
ascending testis. Pada acquired UDT, testis dapat turun secara normal sampai ke skrotum saat
bayi lahir hingga bayi berusia sekitar 3 bulan, namun setelah itu, semakin bertambahnya usia
bayi testis semakin bergerak naik keluar dari skrotum.

B. Klasifikasi UDT

Terdapat beberapa tipe UDT :

1) UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial melalui


jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba
(impalpable).
2) Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
3) Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan termasuk
UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan UDT sebenarnya menurut lokasi terhentinya testis, menjadi:
abdominal, inguinal, dan suprascrotal). Gliding testis atau sliding testis adalah istilah yang
dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi hingga bagian atas skrotum,
tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.

C. Epidemiologi

Undecendent Testis (UDT) merupakan kelainan genitalia kongenital yang paling


sering ditemukan pada anak laki-laki. Angka kejadian pada bayi laki-laki yang lahir cukup
bulan sebesar 3 % dan meningkat menjadi 30% pada bayi yang lahir prematur. Sepertiga
kasus mengalami UDT bilateral sedangkan dua pertiganya adalah unilateral.
Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru lahir yang
rendah, kecil pada masa kehamilan, kehamilan kembar dan pemberian estrogen pada
trimester pertama. Testis dapat mengalami desensus secara spontan dengan bertambahnya
usia, sehingga prevalensinya menjadi sekitar 0,7-0,9 % pada saat umur 1 tahun. Setelah usia
1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami decensus secara spontan.

D. Etiologi

UDT dapat disebabkan oleh kelainan dari kontrol hormon atau proses anatomi yang
diperlukan dalam proses penurunan testis secara normal. Kelainan hormon androgen, MIS,
atau Insl 3 jarang terjadi, tetapi telah diketahui dapat menyebabkan UDT Kelainan fase
pertama dari penurunan testis juga jarang terjadi. Sebaliknya, migrasi testis pada fase ke-2
dari penurunan testis adalah proses yang kompleks, diatur oleh hormon, dan sering
mengalami kelainan. Hal ini ditunjukkan dengan gagalnya gubernakulum bermigrasi ke
skrotum, dan testis teraba di daerah inguinal. Penyebab dari kelainan ini masih tidak diketahui
secara pasti, namun kemungkinan disebabkan oleh tidak baiknya fungsi plasenta sehingga
menghasilkan androgen dan stimulasi gonadotropin yang tidak cukup. Beberapa gangguan
jaringan ikat dan sistem saraf berhubungan dengan UDT, seperti arthrogryposis multiplex
congenita, spina bifida dan gangguan hypothalamus. Kerusakan dinding abdomen yang
menyebabkan gangguan tekanan abdomen juga meningkatkan frekwensi UDT, seperti
exomphalos, gastroschisis, dan bladder exstrophy. Prune Belly syndrome adalah kasus yang
spesial di mana terjadi pembesaran kandung kemih yang menghalangi pembentukan
gubernakulum di daerah inguinal secara normal, atau menghalangi penurunan gubernakulum
dari dinding abdomen karena kandung kemih menjadi sangat besar. Hal ini lalu menghalangi
prosesus vaginalis membentuk kanalis inguinalis secara normal dan oleh sebab itu testis tetap
berada pada daerah intra abdomen di belakang kandung kemih yang membesar tersebut.

E. Patofisiologi

Suhu testis 2-7 ° C di bawah suhu tubuh sangat penting untuk spermatogenesis . Ada
lima fitur anatomi unik dari skrotum yang penting untuk termoregulasi kulit skrotum tipis,
sering tanpa rambut, banyak kelenjar keringat, unika dartos, pleksus pampiniformis, otot
cremaster, tidak adanya jaringan adiposa. Penurunan gradien suhu rectoscrotal hanya 1–2 ° C
cukup untuk secara eksperimental menekan spermatogenesis. Varikokel dan UDT dapat
menyebabkan kesuburan pria yang berhubungan dengan spermatogenesis abnormal. UDT
berkembang dalam suhu ambien yang meningkat dari perut atau kanalis inguinalis. Cedera
termal ini dimediasi oleh spesies oksigen reaktif dan protein heat-shock tertentu, yang
merusak sel-sel germinal serta sel Sertoli. Orkiopeksi bahkan jika dilakukan sedini mungkin
sebelum usia 1 tahun tidak dapat mencegah perubahan morfologi postnatal pada testis.

Gangguan spermatogenesis dan infertilitas

Spermatogenesis adalah proses di mana sel sperma diproduksi. Ini terjadi di tubulus
seminiferus. Gonosit fetus / neonatal berubah menjadi spermatogonia dewasa gelap (Ad)
spermatogonia antara usia 3 dan 9 bulan, dirangsang oleh lonjakan gonadotropin dan
testosteron (pubertas mini). Selanjutnya, setelah periode tidak aktif, spermatosit primer
terbentuk pada sekitar 5-6 tahun kehidupan, dan spermatid muncul sekitar 10-11 tahun,
dengan onset spermatogenesis penuh . Tidak semua gonosit neonatal berubah menjadi
spermatogonia Iklan. Gonosit yang tersisa mengalami involusi oleh apoptosis, membersihkan
testis dari sel germinal janin yang tidak terdiferensiasi dan berpotensi, sehingga pada usia 2
tahun tidak ada yang tersisa di testis .

Testis yang tidak turun merusak baik transformasi gonosit menjadi spermatogonia Iklan
dan kematian sel Epitel germinal terprogram. Penghambatan transformasi ini menyebabkan
kekurangan sel induk untuk spermatogenesis pasca-pubertas dan infertilitas, sementara sel
yang belum terdiferensiasi dapat menjadi ganas setelah pubertas . Transformasi gonosit yang
rusak menjadi spermatogonia berkorelasi dengan jumlah sperma abnormal setelah pubertas

Banyak hasil studi jangka panjang telah menunjukkan bahwa cryptorchidism di masa lalu
dikaitkan dengan 30-60% risiko infertilitas atau kurangnya sel Epitel pada pria dewasa
Jumlah sel germinal menurun sekitar seperempat bayi baru lahir dengan cryptorchi.
Ditemukan bahwa ada tanda-tanda degenerasi dini di testis pada mikroskop elektron pada
sekitar 12 bulan. Kurangnya sel Epitel telah dilaporkan dari 12, dan terutama dari usia 18
bulan, dan karena itu operasi telah direkomendasikan sebelum 12 atau 18 bulan usia.

Risiko infertilitas di masa dewasa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan
bilateral UDT. Sekitar 10% pria infertil memiliki riwayat cryptorchidism dan orchidopexy.
Jika tidak ditangani, UDT bilateral menyebabkan azoospermia pada 89% pria dewasa. Jika
orchiopexy bilateral dilakukan di masa kanak-kanak, sekitar 28% dari pria-pria ini memiliki
setidaknya 20 juta sperma / ml ejakulasi. Sekitar 50% pria dengan UDT unilateral yang tidak
diobati memiliki setidaknya 20 juta sperma / ml dibandingkan dengan sekitar 70% setelah
orchiopexy. Pembedahan secara signifikan meningkatkan jumlah sperma dalam kasus uni dan
bilateral, meskipun pasien dari laporan yang dibahas berusia lebih dari 2 tahun di orchiopexy .
Meskipun pria dengan riwayat UDT unilateral memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah,
mereka memiliki tingkat paternitas yang sama dengan populasi normal. Orang dewasa dengan
riwayat UDT bilateral memiliki tingkat kesuburan dan paternitas yang lebih rendah.
F. Pathway

 Kelainan kontrol hormon gonodotropins dan anrogen

 jaringan ikat saraf arthorogyposis multripleks kongenotal,


spina bivida

 pruna bily sindrom

gagalnya gubernarculum berimigrasi ke scrotum

di lakukan tindakan bedah testis tidak turun di scrotum

orchiopexy

suhu tinggi di rongga abdomen

cemas

rusaknya transformasi gonosit menjadi spermatogenesis

luka insisi

tidak dapat menghasilkan spermatozoa matang

Nyeri

resiko infertilitas di masa dewasa

G. Tanda Dan Gejala

Pada sebagian besar kasus UDT, testis berada pada leher skrotum atau di luar annulus
inguinalis eksternal. Testis sering berada sedikit ke lateral dari annulus inguinalis eksternal di
ruang subkutan di bawah fascia Scarpa. Posisi ini biasanya bukan disebabkan oleh karena
migrasi ectopic dari gubernakulum, melainkan oleh karena lapisan fascia dari dinding
abdomen. Bahkan testis masih berada pada sebuah mesentery, Panjang spermatic cord pada
bayi adalah sekitar 4-5cm dari annulus inguinalis eksternal sampai ke puncak testis.
Sebaliknya, panjang spermatic cord pada anak usia 10 tahun adalah sekitar 8-10cm. Hal ini
dikarenakan oleh perubahan bentuk pelvis sehingga jarak antara annulus inguinalis eksternal
dengan skrotum semakin bertambah.
H. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium


lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan
virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah
17-hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.

Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral dengan


usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron akan dapat
membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3
bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test
menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar
testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan
anorchia. Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon
testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal
pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCG test
bervariasi antara 2- 10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x.
Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka
peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x

USG : USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di
mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada penelitian terhadap
66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12
dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intra-abdomen, hal ini tentunya
sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.

CT scan dan MRI : keduanya mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas
yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga
dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat
dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia.

I. Penatalaksanaan

Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy)

1. Terapi Hormonal

Terapi hormonal pada UDT telah dimulai semenjak tahun 1940-an, terutama banyak
digunakan di Eropa. Hal ini didasarkan fakta bahwa defisiensi aksis hipotalamus- pituitary-
gonad merupakan penyebab terbanyak UDT. Hormon yang biasa digunakan adalah hCG,
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Hormon
hCG mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan merangsang sel
Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen pada penurunan testis
belum diketahui pasti, tapi diduga mempunyai efek pada cord testis atau otot cremaster.

Berbagai regimen pemberian hCG telah direkomendasikan. Rekomendasi yang sering


digunakan adalah dari International Health Foundation dan WHO yang merekomendasikan
pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk umur 1-6 tahun, dan 1.000 IU
untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok umur diberikan 2x seminggu selama 5
minggu. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah: makin distal lokasi testis
makin tinggi keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap terapi hormonal,
UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal dari pada unilateral.

2. Terapi Pembedahan

Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan berbagai
faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila operasi tersebut
ditunda. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis spontan sampai
umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun. Pertimbangan
lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan morfologis degeneratif testis yang
dapat meningkatkan risiko infertilitas. Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 %
bergantung pada umur penderita, ukuran testis, contralateral testis, dan keterampilan ahli
bedah.

Prinsip dasar orchiopexy adalah :

 Mobilisasi yang cukup dari testis


 Ligasi kantong hernia
 Fiksasi yang kuat testis pada skrotum

 Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum. Algoritme
penatalaksanaan UDT

J. Komplikasi

Resiko keganasan

Terdapat hubungan antara UDT dengan keganasan testis. Insiden keganasan testis sebesar
1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak
turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan
testis normal. Suatu meta- analisis tentang keganasan testis dari 21 studi kontrol,
menunjukkan terdapat peningkatan rasio pada laki-laki dengan riwayat UDT. Makin tinggi
lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko menjadi
ganas 5x lebih besar dibanding testis inguinal. Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi
risiko terjadinya keganasan, tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada
penderita yang telah dilakukan orchiopexy.
BAB II

KONSEP DASAR ANESTESI

A. Pengertian
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa
teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan
general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik
intubasi yaitu pemasangan endotracheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan
intravena (Latief, 2007).
B. Tujuan General Anestesi
Grace & Borley (2010) menyatakan bahwa tujuan dari pemberian general anestesi
dalam pembedahan, yaitu:
1. Menginduksi hilangnya kesadaran dengan menggunakan obat hipnotik yang dapat
diberikan secara intravena (misalnya: propofol) atau inhalasi (misalnya: sevofluran).
2. Menyediakan kondisi operasi yang cukup untuk lamanya prosedur pembedahan dengan
menggunakan anestesi seimbang, yaitu kombinasi obat hipnotik untuk mempertahankan
anestesi (misalnya: propofol, sevofluran), analgesik untuk nyeri, dan bila diindikasikan
relaksan otot, atau anestesi regional.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis yang penting dengan cara berikut:
a. Menyediakan jalan napas yang bersih (masker laring atau selang trakea kurang lebih
ventilasi tekanan positif intermitten).
b. Mempertahankan akses vaskular yang baik.
c. Pemantauan fungsi tanda tanda vital (oksimetri nadi, kapnografi, tekanan darah arteri,
suhu, EKG, keluaran urin setiap jam).
d. Membangunkan pasien dengan aman saat akhir prosedur pembedahan.
C. Indikasi
Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan
ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang lebih panjang, misalnya pada kasus
bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang dan lain-lain. Selain
itu, anestesi umum biasanya dilakukan pada pembedahan yang luas (Potter & Perry, 2006).

D. Kontraindikasi
Muhardi, dkk (2009) menyatakan bahwa kontraindikasi general anestesi tergantung dari
efek farmakologi obat anestetika terhadap organ tubuh, misalnya pada kelainan:
1. Jantung : hindarkan pemakaian obat-obat yang mendespresi miokard atau menurunkan
aliran darah coroner
2. Hepar : hindarkan obat hepatotoksik, obat yang toksis terhadap hepar atau dosis obat
diturunkan
3. Ginjal : hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat yang
diekskresi melalui ginjal
4. Paru : hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru
5. Endokrin : hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada
diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan peninggian gula darah.

E. Obat-obatan General Anestesi


Sjamsuhidajat & De Jong (2010) menyatakan anestetik yang menghasilkan anestesia
umum dapat diberikan dengan cara inhalasi, parenteral, atau imbang/kombinasi.
1. Anestesi inhalasi
Pada anestesi ini, anestetik yang bentuk dasarnya berupa gas (N2O), atau larutan yang
diuapkan menggunakan mesin anestesi, masuk ke dalam sirkulasi sistemik melalui
system pernapasan yaitu secara difusi di alveoli. Jenis gas atau cairan yang digunakan
saat anestesi inhalasi diantaranya:
1) Eter, menimbulkan efek analgesia dan relaksasi otot yang sangat baik dengan batas
keamanan yang lebar jika dibandingkan dengan obat inhalasi lain. Eter jarang
digunakan karena baunya yang menyengat, merangsang hiperekskresi dan
menyebabkan mual dan muntah akibat rangsangan lambung maupun efek sentral.
Eter tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita trauma kepala dan keadaan
peningkatan intrakranial karena dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
2) Halotan, tidak berwarna dan baunya enak serta induksinya mudah dan cepat.
Walaupun mekanismenya belum jelas, efek bronkodilatasi yang timbul dapat
dimanfaatkan pada penderita asma bronkial. Daya analgesik dan relaksasi otot
luriknya lebih lemah dari pada eter. Halotan juga dapat menyebabkan depresi napas
dan depresi sirkulasi akibat vasodilatasi dan menurunnya kontraktilitas otot jantung.
Tidak dianjurkan bagi pasien Sectio Caesarea karena dapat menurunkan
kontraktilitas otot rahim serta mengurangi efektivitas ergotonin dan oksitosin.
Halotan juga dapat menimbulkan gangguan hati, diduga akibat hepatotoksisitas oleh
imun serta tidak boleh diberikan pasien dengan riwayat penggunaan halotan dalam
waktu 3 bulan sebelumnya.
3) Enfluran, bentuk dasarya adalah cairan tidak berwarna dengan bau menyerupai bau
eter. Induksi dan pulih sadarnya cepat, tidak bersifat iritan bagi jalan napas, dan tidak
menyebabkan
hiperekskresi kelenjar ludah dan bronkial. Biotransformasi enfluran minimal
sehingga kemungkinan kecil bagi gangguan faal hati.
4) Isofluran, cairan tidak berwarna dengan bau tidak enak. Efeknya terhadap pernapasan
dan sirkulasi kurang lebih sama dengan halotan dan enfluran. Perbedaannya adalah
bahwa pada konsentrasi rendah, isofluran tidak menyebabkan perubahan aliran darah
ke otak asalkan penderita dalam kondisi normokapnia.
5) Sevofluran, mempunyai efek neuroprotektif. Tidak berbau dan paling sedikit
menyebabkan iritasi jalan nafas sehingga cocok digunakan sebagai induksi anestesi
umum. Karena sifatnya mudah larut, waktu induksiya lebih pendek dan pulih sadar
segera terjadi setelah pemberian dihentikan. Biodegradasi sevofluran menghasilkan
metabolit yang bersifat toksik dalam konsentrasi tinggi.
2. Anestesi Parenteral
Anestetik parenteral secara umum digunakan untuk induksi anestesia umum dan
menimbulkan sedasi pada anestesia lokal dengan conscious sedation. Anestesia
parenteral langsung masuk ke darah dan eliminasinya harus menunggu proses
metabolisme sehingga dosisnya harus dihitung secara teliti. Untuk mempertahankan
anestesia atau sedasi pada tingkat yang diinginkan, kadarnya harus dipertahankan dengan
suntikan berkala atau pemberian infus kontinu. Agen anestetik yang dapat digunakan
yaitu propofol, benzodiazepin, dan ketamin (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).

F. Tahap-tahap General Anestesi


Selama pemberian anestetik, pasien akan melalui tahap-tahap yang telah diperkirakan
yang disebut sebagai kedalaman anestesi. Menurut Amy M. Karch (2011) tahapan tahapan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stadium I (tahap Analgesia), mengacu pada hilangnya sensai nyeri, sementara pasien
masih dalam keadaan sadar dan dapat berkomunikasi dengan orang lain.
2. Stadium II (tahap Eksitasi), merupakan periode peningkatan kegembiraan dan sering kali
perilaku melawan (pasien delirium dan eksitasi dengan gerakan diluar kehendak), dengan
berbagai tanda stimulasi simpatis (misalnya: takikardi, peningkatan penapasan,
perubahan tekanan darah). Dalam tahap ini kadang pasien mengalami inkotinensia dan
muntah.
3. Stadium III (Pembedahan), melibatkan relaksasi otot rangka, pulihnya pernapasan yang
teratur (sampai nafas spontan hilang), dan hilangnya reflek mata serta dilatasi pupil
secara progresif. Pembedahan dapat dilakukan dengan aman pada tahap 3.
4. Stadium IV (Depresi medulla oblongata), merupakan kondisi depresi SSP yang sangat
dalam dengan hilang pernapasan dan stimulus pusat vasomotor, yang pada kondisi itu
dapat terjadi kematian secara cepat. Pembuluh darah pasien kolaps dan jantung berhenti
berdenyut, disusul dengan kelumpuhan nafas sehingga perlu bantuan alat bantu nafas dan
sirkulasi.
G. Efek General Anestesi
Ada beberapa efek samping yang bisa saja ditimbulkan oleh general anestesi. Efek
samping yang ditimbulkan general anestesi pada tubuh menurut Katzung & Berkowitz
(2002) antara lain :
1. Pernapasan
Pasien dengan keadaan tidak sadar dapat terjadi gangguan pernapasan dan
peredaran darah. Maka dirasa penting dan harus dengan segera untuk melakukan
pertolongan resusitasi jika hal ini terjadi pada waktu anestesi agar pasien terhindar
dari kematian. Obat anestesi inhalasi menekan fungsi mukosilia saluran pernapasan
menyebabkan hipersekresi ludah dan lendir sehingga terjadi penimbunan mukus di
jalan napas.
2. Kardiovaskuler
Keadaan anestesi, jantung dapat berhenti secara tiba-tiba. Jantung dapat
berhenti disebabkan oleh karena pemberian obat yang berlebihan, mekanisme reflek
nervus yang terganggu, perubahan keseimbangan elektrolit dalam darah, hipoksia
dan anoksia, katekolamin darah berlebihan, keracunan obat, emboli udara dan
penyakit jantung. Perubahan tahanan vaskuler sistemik (misalnya: peningkatan aliran
darah serebral) menyebabkan penurunan curah jantung.
3. Gastrointestinal
Pada hal ini, regurgitasi dapat terjadi. Regurgitasi yaitu suatu keadaan
keluarnya isi lambung menuju faring tanpa adanya tanda-tanda. Salah satunya dapat
disebabkan karena adanya cairan atau makanan dalam lambung, tingginya tekanan
darah ke lambung dan letak lambung yang lebih tinggi dari letak faring. General
anestesi juga menyebabkan gerakan peristaltik usus akan menghilang.
4. Ginjal
Anestesi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal yang dapat
menurunkan filtrasi glomerulus sehingga dieresis juga menurun.
5. Perdarahan
Selama pembedahan pasien dapat mengalami perdarahan, perdarahan dapat
menyebabkan menurunnya tekanan darah, meningkatnya kecepatan denyut jantung
dan pernapasan, denyut nadi melemah, kulit dingin, lembab, pucat serta gelisah.

H. Tata Laksana Post Operasi Pasca General Anestesi


Pada pasien setelah dilakukan tindakan operative akah kembali ke perawatan pasca
operasi di ruang pemulihan atau recovery room. Perawatan pasca operatif memerlukan
pengawasan penuh karena setelah tindakan operasi dan efek obat anestesi yang masih tersisa
menyebabkan fungsi tubuh belum kembali ke fisiologi tubuh yang sempurna. Pada ruang
pemulihan atau recovery room perawat harus memeriksa kembali informasi perioperative
secara relevan, mengkaji status terakhir klien serta membuat dan mengimplementasikan
rencana tindakan asuhan keperawatan yang efektif. Setelah pasien berada di ruang
pemulihan ada beberapa hal yang perlu perawat perhatikan.
Menurut Potter & Perry (2006) hal yang perlu di perhatikan yaitu pemeriksaan
kondisi umum klien termasuk tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, kondisi balutan dan
drain, status infus cairan, tingkat rasa nyaman, dan integritas kulit klien termasuk juga waktu
pulih sadarnya. Klien dalam ruang pemulihan rentan terjadi komplikasi pasca bedah yang
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya penurunan metabolisme karena penurunan
fungsi tubuh, adanya insisi luka bedah, ruang operasi dan ruang pemulihan recovery room
yang suhunya dingin, akibat obat-obatan anestesi dan gas oksigen.

I. Gangguan Pasca Anestesi


1. Pernapasan
Gangguan pernapasan yang cepat dapat menyebabkan kematian karena hipoksia
sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab yang sering
dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anestesi (penderita tidak sadar
kembali) dan sisa pelemas otot yang belum dimetabolisme dengan sempurna, selain itu
lidah jatuh kebelakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Keduanya dapat
menyebabkan hipoventilasi, dan jika dalam derajat yang lebih berat dapat menyebabkan
apnea.
2. Sirkulasi
Penyulit yang sering dijumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup diganti. Sebab
lain adalah sisa anestesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika tahapan
anestesi masih dalam akhir pembedahan.
3. Regurgitasi dan Muntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anestesi. Pencegahan
muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
4. Hipotermi
Kejadian hipotermi dapat dipengaruhi juga oleh gangguan metabolisme pada
pasien, selain itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga
mempengaruhi ketiga elemen sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain itu
dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiolgis pada
fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk respons proses vasokontriksi,
menggigil, vasodilatasi, dan juga berkeringat.
5. Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh kerja anestesi
yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena penderita syok, hipotermi, usia
lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi lambat dikeluarkan dari dalam darah.
J. Penilaian Waktu Pulih Sadar
Pulih sadar merupakan bangun dari efek obat anestesi setelah proses pembedahan
dilakukan (Barone, 2004). Lamanya waktu yang dapat dihabiskan oleh pasien di recovery
room tergantung kepada berbagai faktor termasuk durasi dan jenis pembedahan, teknik
anestesi, jenis obat dan dosis yang diberikan dan kondisi umum pasien (Azhar, 2015).
Menurut Gwinnutt (2012) dalam bukunya mengatakan sekitar 30 menit berada
dalam ruang pemulihan dan itu pun memenuhi kriteria pengeluaran. Pasca operasi, pulih
dari anestesi general secara rutin pasien dikelola di recovery room atau disebut juga Post
Anesthesia Care Unit (PACU), idealnya adalah bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa
keluhan dan mulus dengan perhatian khusus dan pengelolaan secara intens sampai dengan
keadaan stabil menurut penilaian Score Aldrete.
Tingkat pulih sadar pasien pasca anestesi dapat dilakukan perhitungan menggunakan
Aldrete Score (Nurzallah, 2015). Kriteria yang dapat diukur dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Penilaian Aldrete Score
No. Kriteria Nilai
1. Aktivitas Motorik
a. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas sendiri 2
atau atas perintah
b. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 1
c. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi
a. Mampu nafas dalam dan tidak batuk 2
2.
b. Dispnea, pernafasan dangkal dan terbatas 1
c. Henti nafas atau apnea 0
Tekanan darah
a. Berubah +20 mmHg dari tekanan darah pra 2
anestesi
3.
b. Berubah +20-50 mmHg dari tekanan pra 1
anestesi
c. Berubah +50 mmHg dari tekanan pra anestesi 0
Kesadaran
a. Sadar penuh dan orientasi baik 2
4.
b. Sadar setelah dipanggil 1
c. Tidak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
Saturasi Oksigen
a. SpO2 >92% pada udara ruangan 2
5. b. Memerlukan tambahan O2 untuk mempertahankan 1
SpO2 >92%
c. SpO2 <92% dengan tambahan O2 0
Sumber: Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. H., & Rudiman, R. (Eds).
2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat & de Jong Edisi 3. Jakarta: EGC.
K. Faktor-Faktor Pemindahan Pasien
Faktor-faktor yang perlu dipehatikan sebelum memindahkan pasien ke ruangan adalah:
1) Obsevasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau
penawarnya (nalokson) secara intravena.
2) Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau narkotik secara
intramuskuler.
3) Observasi minimal 30 menit setelah oksigen dihentikan.
4) Observasi 60 menit setelah ekstubasi (pencabutan ETT).
5) Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh dokter spesialis anestesiologi dan dokter
spesialis bedah (Mangku dan Senapathi, 2010)
Kembalinya kesadaran pasien dari general anestesi secara ideal harus mulus dan
juga bertahap dalam keadaan yang terkontrol hingga kembali sadar penuh, waktu pulih
sadar tindakan general anestesi sebagai berikut (Mangku dan Senapathi, 2010):
1) General Anestesi Intravena
Waktu pulih sadar pasien dengan general anestesi dengan TIVA propofol TCI
(Target Controlled Infusion) adalah 10 menit
(Simanjuntak, 2013).
2) General Anestesi Inhalasi
Waktu pasien akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak sadar yang
berlangsung diatas 15 menit dianggap prolonged
(Mecca, 2013).
3) Anestesi Imbang/Kombinasi
Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau penawarnya (nalokson)
secara intravena dan observasi 60 menit setelah ekstubasi (pencabutan ETT).
L. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Waktu Pulih Sadar
1) Efek Obat Anestesi (premedikasi anestesi, induksi anestesi)
Penyebab tersering tertundanya pulih sadar (belum sadar penuh 30-60 menit
pasca general anestesi adalah pengaruh dari sisa-sisa obat anestesi sedasi dan
analgesik (midazolam dan fentanyl) baik absolut maupun relative dan juga potensasi
dari obat atau agen anestesi dengan obat sebelum (alkohol) (Andista, 2014).
Induksi anestesi juga berpengaruh terhadap waktu pulih sadar pasien. Pengguna
obat induksi ketamine jika dibandingkan dengan propofol, waktu pulih sadar akan
lebih cepat dengan penggunaan obat induksi propofol. Propofol memiliki lama aksi
yang singkat (5-10 menit), distribusi yang luas dan eliminasi yang cepat. Sifat obat
atau agen anestesi yang umumnya bisa menyebabkan blok sistem saraf, pernafasan
dan kardiovaskuler maka selama durasi anestesi ini bisa terjadi komplikasi-
komplikasi dari tindakan anestesi yang ringan sampai yang berat. Komplikasi pada
saat tindakan anestesi bisa terjadi selama induksi anestesi dari saat rumatan
(pemeliharaan) anestesi. Peningkatan kelarutan anestesi inhalasi serta pemanjangan
durasi kerja pelemas otot diduga merupakan penyebab lambatnya pasien bangun
pada saat akhir anestesi (Mecca, 2013).
Cara mencegah agar tidak terjadi komplikasi-komplikasi selama tindakan
anestesi maka diperlukan monitoring secara ketat sebagai bentuk tanggung jawab
kita sebagai petugas anestesi.
Monitoring pasien selama tindakan anestesi bisa menggunakan panca indera kita
maupun dengan menggunakan alat monitor pasien yang bisa digunakan sekarang.
2) Durasi Tindakan Anestesi
Durasi (lama) anestesi merupakan waktu dimana pasien dalam keadaan
teranestesi. Setiap pasien mengalami durasi operasi yang berbeda-beda tergantung
dengan jenis operasinya. Pengukuran durasi atau waktu lama anestesi dapat dimulai
pada saat pasien akan dilakukan pembedahan sampai pasien selesai dilakukan
pembedahan, selama itu pula ada beberapa keadaan yang memungkinkan pasien
untuk mendapat waktu tambahan anestesi jika dalam proses pembedahan ditemui
beberapa kesulitan atau komplikasi.
3) Usia
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
benda atau makhluk, baik yang hidup maupun mati. Lansia bukan merupakan
kontraindikasi untuk tindakan anestesi. Suatu kenyataan bahwa tindakan anestesi
sering memerlukan ventilasi mekanik, toilet trecheobronchial, sirkulasi yang
memanjang pada orang tua dan pengawasan fungsi faal yang lebih teliti, kurangnya
kemampuan sirkulasi untuk mengkompensasi vasodilatasi karena anestesi
menyebabkan hipotensi dan berpengaruh pada stabilitas keadaan umum pasca bedah
(Adista, 2014).
4) Berat Badan dan Indeks Massa Tubuh (Body Mass Indeks)
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan
dan kelebihan berat badan (Depkes RI, 2009). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah
cara untuk memperkirakan obesitas dan berkolerasi tinggi dengan massa lemak
tubuh, selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang
mempunyai resiko mendapat komplikasi medis.
5) Jenis Operasi
Beberapa jenis operasi yang dilakukan memberikan efek yang berbeda terhadap
kondisi pasien pasca bedah. Jenis-jenis operasi bedah cukup beragam berdasarkan
pada bagian tubuh yang perlu dibedah, waktu, jenis anestesi, jumlah sayatan yang
pasien butuhkan, penggunaan alat, teknik, tingkat risiko serta tujuan pembedahan.
6) Status Fisik Pra Anestesi
Status fisik pra anestesi atau ASA, sistem klasifikasi fisik adalah suatu sistem
untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of
Anesthesiologis (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status lima kategori fisik yaitu:
(a) ASA 1, seorang pasien normal dan sehat atau tidak ada penyakit organ.
(b) ASA 2, seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang tanpa
gangguan fungsional.
(c) ASA 3, seorang pasien dengan penyakit sistemik berat atau dengan gangguan
fungsional definitif.
(d) ASA 4, seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang merupakan
ancaman bagi kehidupan.
(e) ASA 5, seorang pasien yang hampir mati tidak ada harapan hidup dalam 24 jam
untuk bertahan hidup tanpa operasi.
Jika pembedahan termasuk dalam kategori darurat, klasifikasi status fisik diikuti
dengan “E” (untuk darurat) misalnya “3E”.
Status ASA ditentukan oleh semakin tinggi status ASA pasien maka gangguan
sistemik pasien tersebut akan semakin berat. Hal ini karena status ASA dapat
menyebabkan respon organ-organ tubuh terhadap obat atau agen anestesi tersebut
semakin lambat, sehingga berdampak pada semakin lama pulih sadar pasien
(Setiawan, 2010).
7) Gangguan Asam Basa dan Elektrolit
Tubuh seseorang memiliki mekanisme untuk mengatur keseimbangan asam,
basa, cairan maupun elektrolit yang mendukung fungsi tubuh yang optimal.
Mekanisme regulasi dilakukan terutama oleh ginjal yang mampu mengkonservasi
maupun meningkatkan pengeluaran cairan, kontribusi pengaturan asam basa maupun
elektrolit apabila terjadi ketidakseimbangan.
Mekanisme pengaturan keseimbangan asam basa didalam tubuh terutama oleh
tiga komponen yaitu sistem buffer kimiawi, paru-paru dan ginjal. Gangguan
keseimbangan asam basa tubuh terbagi menjadi empat macam yaitu asidosis
respiratorik, asidosis metabolik, alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik. Istilah
respiratorik merujuk pada kelainan sistem pernafasan, sedangkan istilah metabolik
merujuk pada kelainan yang disebabkan sistem pernafasan.
Pasien yang mengalami gangguan asam basa menyebabkan terganggunya fungsi
pernafasan, fungsi ginjal maupun fungsi tubuh yang lain. Hal ini akan berdampak
pada terganggunya proses ambilan maupun pengeluaran obat-obatan dan agen
anestesi. Begitu juga dengan gangguan keseimbangan elektrolit di dalam tubuh, baik
hipokalemia, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, ataupun ketidakseimbangan
elektrolit yang lain. Kondisi-kondisi tersebut dapat menyebabkan gangguan irama
jantung, kelemahan otot, maupun terganggunya perfusi otak. Sehingga ambilan obat-
obatan dan agen inhalasi anestesi menjadi terhalang dan proses eliminasi zat-zat
anestesi menjadi lambat yang berakibat waktu pulih sadar menjadi lebih lama.
BAB III

PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANESTESI


PADA FASE PERIANESTESI

Nama Pasien : An. M. Amsyar No.Register : 11568193


Umur : 3 Tahun 8 Bulan Dokter Operator : dr. Sinung Sp.BA
Ruang Rawat : Rinjani Asisten Operasi :
Diagnosa Medis : UDT ( Undencendent Testis ) Perawat Instrumen :
Dekstra Perawat Sirkuler :
Dokter Anestesi :
Tindakan : Laparoskopy Perawat Anestesi : Suparno
Tgl. Pengkajian : 8 Maret 2023 Tanggal Operasi : 8 Maret 2023
Jam Mulai OP. : 11.30 Jam Selesai OP. :14.00

PENGKAJIAN PRE ANESTESI


DATA SUBYEKTIF
 Keluhan Utama :

 Riwayat penyakit saat ini:

 Riwayat penyakit yang lalu:

 Riwayat anestesi/ operasi terdahulu :

 Riwayat kebiasaan pasien (Perokok, alcohol, obat obatan) :

DATA OBYEKTIF
a. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas : Paten / Obstruksi
Sesak nafas : Ya / tidak, terpasang O2 : lpm
Artificial airway : Oro/Nasofaringeal tube/ ETT / Tracheocanule
RR : x/menit
SpO2 : %
Gigi : Palsu ( ) Cakil ( ) Tongos ( ) Ompong ( )
Buka Mulut : jari
MALAMPATTI : 1 / 2 / 3 / 4
Jarak Mentothyroid : cm
Gerak leher : Flexy / Ekstensi
Suara nafas : Vesikuler / Bronkovesikuler
Ronchi : Whezing :

Riwayat Asthma : Ya / Tidak


Lain lain :
a. Sistem Kardiovaskuler (B2)
Tensi :
Nadi :
Suhu :
CRT : <2’ , >2’
Sirkulasi : S1 S2 Tunggal (reguler / irreguler) / extra systole / Gallop
Lain2 :
Konjungtiva : Anemis / Pink pale
Sianosis : Ya / Tidak
Perfusi :

b. Sistem Persyarafan (B3)


Keadaan Umum :
GCS :
Skala nyeri :
Reflek pupil : Isokor / Anisokor / Miosis / Pint point / Midriasis
Reflek cahaya : /
Motorik :

Plegi : Ya ( Tetra D S / Hemi D S ) Tidak


Parese : Ya ( Tetra D S / Hemi D S ) Tidak
Lain lain :

c. Sistem Perkemihan (B4)


Produksi urine :
Keluhan : Kencing menetes ( ), Inkontinensia ( ), Retensi Urine ( )
Oliguri ( ),Anuria ( ), Hematuri ( ),
Disuria ( ), Poliuria ( ), tidak ada keluhan ( )
Warna urine :
Kandung Kemih : Membesar / Tidak
Kateter : Terpasang / Tidak
Blass punctie : Terpasang / Tidak

d. Sistem Pencernaan (B5)


Mukosa bibir : Lembab / Kering
Abdomen : Supel / Distended / Nyeri tekan
Bising Usus : x/menit
Terpasang NGT : Tidak / Ya
Terpasang Drain : Tidak /Ya
Diare : Tidak / Ya Frekuensi :
Lain-lain :

e. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)


Pergerakan sendi : Bebas / terbatas
Fraktur : Tidak / Ya lokasi :
Kompartemen Syndrom : Tidak / Ya lokasi :
Turgor : Baik / Kurang / Jelek
Hiperpigmentasi : Tidak / Ya
Dekubitus : Tidak / Ya
Ikterik : Tidak / Ya
Lain -lain :
Keadaan Umum :
Tanda Vital : Tensi : Nadi : Suhu :
RR : SpO2 :
TB / BB : cm / kg
Surat Persetujuan Operasi : Tidak ada / Ada
Protese dan Gigi Palsu : Tidak ada / Ada
Cat kuku dan Lensa Kontak : Tidak ada / Ada
Perhiasan : Tidak pakai / Pakai
Folley Catheter : Tidak ada / Ada produksi : cc ( Ditampung / Dibuang )
NGT : Tidak ada / Ada
Persiapan Skiren / Cukur : Tidak / Ya
Huknah / Gliserin : Tidak / Ya Jam :
Persiapan darah : Tidak ada / Ada, Berapa kantong ( )
Contoh darah : Tidak ada / Ada
IV line : Tidak ada / Ada ( TaKa / TaKi )
Lokasi : Vena perifer / Central / Lain-lain ...............
Jenis Cairan : Kristaloid / Koloid / Darah Tetesan : tpm
Terakhir makan & minum : Makan : Minum
Obat yang telah dikonsumsi : Tidak ada / Ada Jenis :
Alergi obat : Tidak ada / Ada Jenis :
Obat Premedikasi : Tidak ada / Ada Jenis :
Jam :
Status ASA : 1 2 3 4 5
Jenis Operasi : Emergency/ Elektif
Pemeriksaan Penunjang
Data Penunjang Laboratorium
Darah Lengkap

Serum Elektrolit

Faal Hemostatis:

Faal Ginjal:

Faal Hati :

Data Penunjang :
Foto Rontgen :

CT Scan :

MRI :

EKG :
ANALISA DATA ( PRE ANESTESI)

NO DATA PENYEBAB MASALAH


DS :
DO:
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama :
No RM :
Tanggal :
NO Diagnosis Luaran Intervensi
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Nama (Inisial) :
No RM :
OK :

TGL/ TINDAKAN KEPERAWATAN TGL / EVALUASI PPA


JAM JAM
S :





P :
INTRA ANESTESI
Anestesi mulai: ; s/d wib

Pembedahan mulai : s/d wib


Jenis pembiusan : General : a. Intubasi Endotracheal Tube
b. Laringeal Mask Airway (LMA)
c. Face Mask
d. Total Intravena Anestesi (TIVA)
Regional : a. Sub Arachnoid Block (SAB)
b. Epidural Block
c. Combined Subarachnoid-epidural (CSE)
d. Block Ganglion / saraf perifer
e. Kaudal
Lain – Lain :
Jenis Operasi : 1. Bersih 2. Bersih kontaminasi
3. Kotor 4. Kontaminasi
Golongan Operasi : 1. Khusus 2. Besar 3. Sedang 4. Kecil
Plate Diathermi : Lokasi : 1. Bokong 2. Tungkai kaki 3. Bahu
4. Tangan 5. Paha
Dipasang oleh :
Pemeriksaan sebelumnya : 1. Utuh 2. Menggelembung
Pemeriksaan sesudah : 1. Utuh 2. Menggelembung
Monitor Anestesi : 1. Tidak 2. Ya 3. Standby
Mesin Anestesi : 1. Tidak 2. Ya 3. Standby
Persiapan Statics : 1. Lengkap. 2. Belum Lengkap
Anestesi Dengan : 1. Induksi :
2. Analgesik :
3. Maintenance :
Relaksasi dengan :
Ukuran ETT & kedalaman :
Mode (Presure/Volume) :
Teknik Anestesi :

Stadium Anestesi :
Lembar observasi Intra operasi
Tabel 3.3 Obat obatan

Jam Nama Obat/ Dosis jam Nama Obat/ Dosis Jam Nama Obat/dosis

08.00 09.00 1000

N TD

220
200
180 180
160 160
140 140
120 120
100 100
80 80
60 60
40
20
Keseimbangan Cairan
BALANCE CAIRAN 1 2 3 4 5 6
BB : Hb : Kristaloid        
EBV : Input Koloid        
ABL : Darah        
M : Urine        
O : Output Darah        
  M+O        
Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit /Excess Defisit /Excess
TOTAL
       

BALANCE CAIRAN 7 8 9 10 11 12
BB: Hb: Kristaloid        
EBV : Input Koloid        
ABL : Darah        
M : Urine        
O : Output Darah        
  M+O        
Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit / Excess Defisit /Excess Defisit /Excess
TOTAL
       
ANALISA DATA (INTRA ANESTESI)

NO DATA PENYEBAB MASALAH


DS :
DO:
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama :
No RM :
Tanggal :
NO Diagnosis Luaran Intervensi
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Nama (Inisial) :
No RM :
OK :

TGL/ TINDAKAN KEPERAWATAN TGL / EVALUASI PPA


JAM JAM
S :





P :
POST ANESTESI

Data Subyektif :
Data Obyektif
( √ ) KU Cukup, GCS 456 TD : mmHg ( ) Skala nyeri =
( ) Sesak (+) Nadi : x/mnt ( ) Menggigil
( ) Terpasang O2 lpm SpO2 : % ( ) Mual & Muntah
( ) RR : x/mnt ( ) Aldrete/Bromage skore=
09.00 10.00 11.00

N TD

220
200
180 180
160 160
140 140
120 120
100 100
80 80
60 60
40
20

A. Bromage score Nilai


Jika terdapat gerakan penuh tungkai 3
Jika mampu fleksikan lutut ttp tidak bisa angkat tungkai 2
Jika tidak mampu memfleksikan lutut 1
Jika tidak mampu memfleksikan pergelangan kaki 0
Pasien boleh pindah ruang jika nilai bromage score ≥ 2
B.   Aldrete Score (dewasa)
Nilai Warna:
         Merah muda    (2)
         Pucat               (1)
         Sianosis           (0)
Pernapasan:
         Dapat bernapas dalam dan batuk                    (2)
         Dangkal namun pertukaran udara adekuat     (1)
         Apnoea atau obstruksi                                    (0)
Sirkulasi:
         Tekanan darah menyimpang <20% dari normal         (2)
         Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal     (1)
         Tekanan darah menyimpang >50% dari normal         (0)
Kesadaran:
         Sadar, siaga dan orientasi                               (2)
         Bangun namun cepat kembali tertidur            (1)
         Tidak berespons                                              (0)
Aktivitas:
         Seluruh ekstremitas dapat digerakkan            (2)
         Dua ekstremitas dapat digerakkan                  (1)
         Tidak bergerak                                                (0)
Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

C. Steward Score (anak-anak)


Pergerakan: Kesadaran:
         Gerak bertujuan                      (2)          Menangis                                             (2)
         Gerak tak bertujuan                (1)          Bereaksi terhadap rangsangan              (1)
         Tidak bergerak                       (0)          Tidak bereaksi                                     (0)
Pernafasan:
         Batuk, menangis                     (2) Jika jumlah > 5, pasien dapat dipindahkan
         Pertahankan jalan nafas          (1) ke ruangan
         Perlu bantuan                         (0)
ANALISA DATA (POST ANESTESI)
NO DATA PENYEBAB MASALAH
DS :
DO:
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama :
No RM :
Tanggal :
NO Diagnosis Luaran Intervensi
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Nama (Inisial) :
No RM :
OK :

TGL/ TINDAKAN KEPERAWATAN TGL / EVALUASI PPA


JAM JAM
S :





P :

`
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai