Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi
Undescendcus testis (UDT) atau disebut juga Kriptorkismus adalah gangguan
perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua testis
ke dalam skrotum.

B. Epidemiologi
Undenscended testis (UDT) merupakan kelainan genitalia kongenital
yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. Angka kejadian pada bayi laki-laki
yang lahir cukup bulan sebesar 3 % dan meningkat menjadi 30% pada bayi yang lahir
prematur. Sepertiga kasus mengalami UDT bilateral sedangkan dua pertiganya adalah
unilateral.
Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru lahir
yang rendah, kecil pada masa kehamilan, kehamilan kembar dan pemberian estrogen
pada trimester pertama. Testis dapat mengalami desensus secara spontan dengan
bertambahnya usia, sehingga prevalensinya menjadi sekitar 0,7-0,9 % pada saat umur
1 tahun. Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami
decensus secara spontan.

C. Embriologi dan Penurunan testis.


Menjelang akhir bulan ke-2, testis dan mesonefros, dilekatkan pada dinding
belakang perut melalui mesenterium urogenital. Dengan terjadinya degenerasi
mesonefros, pita melekat tersebut berguna sebagai mesenterium untuk gonad. Ke arah
kaudal, mesenterium ini menjadi ligamentum dan dikenal sebagai ligamentum
genitalis kaudal. Yang juga berjalan dari kutub kaudal testis adalah suatu pemadatan
mesenkim yang kaya akan matriks ekstraselluler dan dikenal sebagai gubernaculum.
Sebelum testis turun, korda mesenkim ini berujung di daerah inguinal di antara
muskulus oblikus abdominalis internus dan eksternus. Kemudian karena testis mulai
turun menuju annulus unguinalis, terbentuklah bagian ekstraabdomen gubernaculum
dan tumbuh dari daerah inguinal menuju ke tonjolan skrotum. Pada saat testis
melewati saluran inguinal, bagian ekstraabdomen ini bersentuhan dengan lantai
skrotum (gubernaculum terbentuk juga pada wanita, tetapi pada keadaan normal
korda ini tetap rudimenter).

1
Faktor-faktor yang mengendalikan turunnya testis tidak semuanya jelas. Tetapi,
tampaknya pertumbuhan keluar bagian ekstraabdomen gubernaculum tersebut
menimbulkan migrasi intraabdomen, bahwa bertambah besarnya tekanan
intraabdomen yang disebabkan oleh pertumbuhan organ mengakibatkan lewatnya
testis melalui kanalis ingunalis, dan bahwa regresi bagian ekstraabdomen
gubernaculum menyempurnakan pergerakan testis masuk ke dalam skrotum. Proses
ini pasti dipengaruhi oleh hormon dan mungkin melibatkan androgen dan SPM.
Sewaktu turun, suplai darah ke testis dari aorta tetap dipertahankan dan pembuluh-
pembuluh darah testis memanjang dari posisi lumbal yang aslinya ke testis yang
berada di skrotum.
Terlepas dari desensus testis, peritoneum rongga selom membentuk suatu
evaginasi pada sisi kanan dan kiri garis tengah ke dalam dinding ventral perut.
Penonjolan ini mengikuti perjalanan gubernaculum testis menuju ke tonjolan skrotum
dan dikenal sebagai prosessus vaginalis. Oleh karena itu, prosesus vaginalis, dengan
disertai lapisan otot dan fasia dinding badan, menonjol keluar masuk ke tonjolan
skrotum, sehingga membentuk kanalis inguinalis.
Testis turun melalui annulus inguinalis dan melintasi tepi atas os pubikum ke
dalam tonjolan skrotum pada saat lahir. Testis kemudian dibungkus oleh suatu lipatan
refeleksi prosesus vaginalis. Lapisan peritoneum yang membungkus testis dikenal
sebagai tunika vaginalis testis lamina viseralis; bagian lain kantong peritoneum
membentuk tunika vaginalis testis lamina parietalis. Saluran sempit yang
menghubungkan lumen prosesus vaginalis dengan rongga peritoneum, menutup pada
saat lahir atau segera sesudahnya.
Di samping dibungkus oleh lapisan-lapisan peritoneum yang berasal dari
prosesus vaginalis, testis juga terbungkus di dalam lapisan-lapisan yang berasal dari
dinding abdomen anterior yang dilewatinya. Dengan demikian, fasia transversalis
membentuk fasia spermatika interna, muskulus obliquus abdominalis internus
membentuk fasia kremasterika dan muskulus kremaster, dan muskulus obliquus
abdominalis eksternus membentuk fasia spermatika eksterna. Muskulus abdominis
transversus tidak ikut membentuk lapisan, karena otot ini melengkung di atas daerah
ini dan tidak menutup jalan migrasi.

2
A B
Gambar 1. A: Skema penurunan testis menurut Hutson. Antara minggu ke- 8 15 gubernaculum(G)
berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensoriumcranialis
(CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke- 28-35.
B:Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada jantan CSLmengalami regresi
dan gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya pada betina CSLmenetap, dan gubernaculum
menipis dan memanjang.

Hubungan antara rongga perut dan prosesus vaginalis dalam kantong skrotum
biasanya menutup dalam tahun pertama setelah lahir. Apabila jalan ini tetap terbuka,
gelung usus dapat turun ke dalam skrotum, sehingga menyebabkan suatu hernia
inguinalis kongenital. Kadang-kadang, penutupan jalan ini tidak teratur, dengan
meninggalkan kista kecil di sepanjang perjalanannya. Kelak kista ini dapat
mengeluarkan cairan yang berlebihan, mengakibatkan pertumbuhan hidrokel.
Pada sekitar saat kelahiran, tetapi terdapat variasi yang sangat besar antar
individu, testis sudah sampai ke dalam skrotum. Pada kasus-kasus tertentu satu atau
kedua testis bisa tetap berada di dalam rongga panggul ataupun dimana saja di dalam
kanalis inguinalis hingga masa pubertas dan kemudian turun atau tetap tinggal dalam
kedudukannya yang abnormal. Keadaan ini dikenal sebagai kriptorkismus dan
kemungkinan disebabkan oleh produksi hormone androgen yang abnormal. Testis
yang tidak turun, tidak dapat menghasilkan spermatozoa matang, sangat mungkin
karena suhu tinggi di dalam rongga perut.

D. Etiologi
Mekanisme terjadinya Undescended Testis (UDT) berhubungan dengan banyak
faktor. Segala bentuk gangguan pada proses penurunan testis akan berpotensi
menimbulkan UDT.

Tabel 1: Kemungkinan Penyebab UDT


3
A Defisiensi Androgen/blockade
Defisiensi Pituitary/placental gonadotropin
Disgenesis GonadAndrogen sythesis defect (jarang)
Androgen receptor defect (jarang)
B Anomali mekanis
Prune belly syndrome (bladder blocks inguinal canal)
Posterior urethral valves(bladder blocks inguinal canal)
Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular rupture)
Chromosomal/malformation syndrome (Connective tissue defect block migration)
C Anomali neurologis
Myelomeningocele (GNF dysplasia)GFN/CGRP anomalies
D Anomali yang didapat
Cerebral palsy (cremaster spasticity)
Ascending/retractile testes (Fibrous remnant of processus vaginalis)

UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly),
atau kelainan yang terjadi bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex,
dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti
hipospadia, kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12
25 %). Faktor keturunan berperan pada kasus UDT yang isolated, sekitar 4,0 % anak-
anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2-9,8% mempunyai saudara laki-laki
UDT, atau pada laki-laki yang mempunyai anggota keluarga UDT risiko 3,6 kali
terjadi UDT dibanding dengan populasi umum.

E. Klasifikasi UDT
Terdapat beberapa tipe UDT
i. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial
melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba
(palpable) dan tidak teraba (impalpable).
ii. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
iii. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis,
bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,


menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2). Gliding testis atau sliding
testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi
hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.

4
Gambar 2: Kemungkinan lokasi testis pada True UDT dan testis ektopik

F. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis yang ditanyakan adalah tentang prematuritas penderita
(30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil
(estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya
testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan
(testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada
umur 4-6 tahun). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan
genitalia, dan kematian neonatal.5,11
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-
tanda sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigu.
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan
frog leg position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih
baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis
inguinalis ke-arah medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis harus
dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi menyapu dan
menarik terkadang testis dapat didorong ke dalam skrotum. Dengan
mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1 menit, otot-otot
cremaster diharapkan akan mengalami fatigue; bila testis dapat bertahan di
dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan
segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.

5
Gambar 3: (a) posisi pasien harus dalam frog-leg position (b) bagian tangan yang di atas
meraba pada annulus inguinalis internus dan membawa testis yang teraba turun ke dalam
scrotum dan mencegah dari termasuknya ke dalam abdomen. (c) tangan yg di bagian bawah
digunakan untuk mendorong ke atas untuk menstabilisasi testis, lebih mudah untuk diraba

Gambar 4. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari SIAS. B&C:
Bila teraba testis, menggiring testis dengan ujung-ujung jari. D: Memanipulasi ke-dalam
skrotum.

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat
torsi. Testis kontralateralnya biasanya mengalami hipertrofi. Lokasi UDT
tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan
intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik akan dapat
menentukan lokasi UDT tersebut.
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu
dengan kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang
berat; atau Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero. Sedangkan
simple UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang
prematur, akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun
pertama kehidupannya. Berikut adalah berapa petanda klinis pada UDT
bilateral tidak teraba testis yang dapat dipakai pegangan untuk menentukan
kemungkinan penyebab pada pemeriksaaan fisik (tabel 2) :
Tabel 2: Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak teraba testis

Tanda Klinis Penyerta Kemungkinan Penyebab


Tanpa kelainan lain Simple UDT, anorchia, female pseudo-
hermaphroditsm

6
Mikro penis dengan atau tanpa hipospadia Gangguan sintesis androgen partial atau
Androgen insensitivity syndrome
Anosmia dan mikro penis Sindrom Kallmann
Gangguan intelektual atau dismorfik Sindrom tertentu

Mikro penis dan defek midline Defisiensi gonadotropin


Mikro penis dan hipoglikemi neonatal Multiple pituitary hormone deficiency

Perawakan tinggi (testis mungkin teraba Sindrom Klinefelter


di inguinal, kecil dan padat)

Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis
dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxyprogesterone)
untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT
bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH,
dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau
tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal
tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG
(human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar
testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi
mengindikasikan anorchia. Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test
adalah mengukur kadar hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam
setelah stimulasi. Respon testosteron normal pada hCG test sangat tergantung
umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCG test bervariasi antara 2-
10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x.
Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal,
maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
Tabel 3: Beberapa macam hCG test yang bisa digunakan.
Test Age hCG regimen Timing of androgen samples
1 Infancy and childhood 1000 IU im daily x 3 Days 0 and 3
2 Infancy and childhood 1000 IU im twice weekly x Day 0 and 24 h after the last
(prolonged test) 6 injection
3 Adolescence 2000 IU im on days 0 and 3 Days 0, 3, and 5

Pemeriksaan Pencitraan

7
USG : USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di
daerah inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan
dengan tangan. Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT
tidak teraba testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis
inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intra-abdomen, hal ini
tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan.
CT scan dan MRI : keduanya mempunyai ketepatan yang lebih tinggi
dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak
teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk
digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga
dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik USG, CT scan
maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis
ataupun anorchia.
Laparoskopi : Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk
mendeteksi UDT tidak teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan
metode invasif yang cukup aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya
dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah pemeriksaan lain tidak
dapat mendeteksi adanya testis di inguinal. Beberapa hal yang dapat
dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin inguinalis interna,
processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan vaskularisasinya serta
struktur wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah:
blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan anorchia (44%),
testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens) yang
keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy)

2.G.1 Terapi Hormonal

8
Terapi hormonal pada UDT telah dimulai semenjak tahun 1940-an, terutama
banyak digunakan di Eropa. Hal ini didasarkan fakta bahwa defisiensi aksis hipotalamus-
pituitary-gonad merupakan penyebab terbanyak UDT. Hormon yang biasa digunakan
adalah hCG, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone
(LHRH). Hormon hCG mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan
merangsang sel Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen pada
penurunan testis belum diketahui pasti, tapi diduga mempunyai efek pada cord testis atau
otot cremaster.
Berbagai regimen pemberian hCG telah direkomendasikan. Rekomendasi yang
sering digunakan adalah dari International Health Foundation dan WHO yang
merekomendasikan pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk umur 1-6
tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok umur diberikan 2x
seminggu selama 5 minggu. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah:
makin distal lokasi testis makin tinggi keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon
terhadap terapi hormonal, UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal
daripada unilateral.

2.G.2 Terapi Pembedahan


Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT
adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan
berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila
operasi tersebut ditunda. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan
testis spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah
umur 1 tahun. Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan
morfologis degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas. Keberhasilan
orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita, ukuran testis,
contralateral testis, dan keterampilan ahli bedah.
Prinsip dasar orchiopexy adalah :
1. Mobilisasi yang cukup dari testis
2. Ligasi kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum
Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum.

Algoritme penatalaksanaan UDT

9
Gambar 5: Algoritma penatalaksanaan UDT pada anak. Anak yang lebih besar sebaiknya segera
dirujuk saat diagnosis ditegakkan. LH=luteinizing hormone; FSH=follicle-stimulating hormone;
MIS=mullerian inhibiting substance; hCG=human chorionic gonadotropin

H. - Komplikasi
i. Resiko keganasan
Terdapat hubungan antara UDT dengan keganasan testis. Insiden keganasan testis
sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan
testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali
dibandingkan pada anak dengan testis normal. Suatu meta- analisis tentang
keganasan testis dari 21 studi kontrol, menunjukkan terdapat peningkatan rasio
3,5- 17,1 pada laki-laki dengan riwayat UDT. Makin tinggi lokasi UDT makin
tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 5x
lebih besar dibanding testis inguinal. Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi
risiko terjadinya keganasan, tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini
keganasan pada penderita yang telah dilakukan orchiopexy.

10
ii. Infertilitas
Laki-laki yang memiliki riwayat UDT berisiko untuk mengalami infertilitas, pada
umumnya memiliki kualitas semen yang buruk dan jumlah sperma yang rendah
dibandingkan dengan laki-laki normal yang tidak memiliki riwayat UDT. Penderita
UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat dibandingkan
penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal.
Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan
populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada
populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1
tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Fertilitas masih dapat
diperbaiki dengan pengobatan
iii. Komplikasi lain: risiko trauma testis terhadap tulang pubis, risiko torsio testis
dan faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong.

I. Prognosis
Tingkat keberhasilan terapi tergantung jenis tindakan yang dilakukan. pengobatan
hormonal menghasilkan tingkat keberhasilan keseluruhan kurang dari 20% untuk
testis yang tidak turun. Keputusan untuk menggunakan terapi hormonal tergantung
pada lokasi pretreatment testis. Berdasarkan pendekatan bedah, tingkat keberhasilan
adalah sebagai berikut: 89% untuk orchiopexy inguinal, 84% untuk mikrovaskuler
orchiopexy, 81% untuk orchiopexy transabdominal, 77% untuk dipentaskan Fowler-
Stephens orchiopexy, dan 67% untuk standar Fowler-Stephens orchiopexy.

DAFTAR PUSTAKA

11
1. Dorland, Kamus Kedokteran,W.B Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvanis,
edisi 29, 2009,
2. Muhammad Faizi, Netty EP, Penatalaksanaan UDT pada anak, journal, 2007
3. Sjamsuhidayat S, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah, edisi 2, EGC: Jakarta; 2005. H
p747-8
4. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattoz KL. Sabiston textbook of
surgery. 18th ed. USA: Saunders-Elsevier; 2007. P56-61
5. Sadler, TW., 2000. Embriologi Kedokteran Langman, Ed ke-7, EGC, Jakarta; p 304-8
6. Potts JM, Undescended testicles, Essential urology, a guide to clinical practice, 2 nd ed,
Humana press, 2012, p5-8
7. Elder JS. Disorders and anomalies of the scrotal contents, Nelson Textbook of
Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, Saunders Elsevier; 2011:chap 539.

12

Anda mungkin juga menyukai