Anda di halaman 1dari 16

PEMERINTAH KOTA PALEMBANG

DINAS KESEHATAN
PUSKESMAS MERDEKA
JL.Merdeka No. 66 Palembang Provinsi Sumatera Selatan
Telp.( 0711)317303 Kodepos 30135

PEDOMAN PROGRAM HEPATITIS

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena kami diberi kesehatan dan kesempatan untuk
tetap melaksanakan amanah dan tugas dalam bidang tugas kami masing-masing bagi kepentingan
Negara, nusa dan bangsa yang kami cintai ini.
Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama Hepatitis A
sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sangat meresahkan masyarakat.
Sementara Hepatitis B dan C seringkali diketahui apabila sudah terjadi sirosis atau kanker hati
(Hepatocarcinoma Celluler). Sesuai dengan resolusi WHA ke 63 tahun 2010, Indonesia dan Brazil
merupakan Negara yang berinisiatif mengusulkan atau ditetapkannya resolusi WHA tersebut, yang
isinya bahwa sudah saatnya negara-negara di dunia mulai melaksanakan pengendalian dan
penanggulangan Hepatitis. Untuk menindak lanjuti resolusi WHA tersebut perlu disusun pedoman
Pengendalian Hepatitis, sebagai acuan bagi petugas kesehatan, baik di rumah sakit maupun di
Puskesmas.
Akhirnya kami sampaikan ucapan terima kasih Puskesmas Merdeka Kota Palembang ini
dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk serta memberikan kekuatan kepada kita
semua dalam melaksanakan tugas pembangunan kesehatan.

Pimpinan Puskesmas Merdeka


Kota Palembang

Dr.Hj.Desty Aryani,M.Kes
Pembina Utama Madya
NIP.19630627198932003
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di


dunia, termasuk di Indonesia. VHB telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar
240 juta merupakan pengidap virus Hepatitis B kronis, penderita Hepatitis C di dunia diperkirakan
170 juta orang dan sekitar 1.500.000 penduduk dunia meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh
infeksi VHB dan VHC. Indonesia merupakan negara dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar
sesudah Myanmar diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region). Sekitar
23 juta penduduk Indonesia telah terinfeksi Hepatitis B dan 2 juta orang terinfeksi Hepatitis C.
Penyakit Hepatitis A sering muncul dalam bentuk KLB seperti yang terjadi di beberapa tempat di
Indonesia.
Menurut hasil Riskesdas tahun 2007, hasil pemeriksaan Biomedis dari 10.391 sampel
serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9.4% yang berarti bahwa diantara 10 penduduk di
Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus. Pada tanggal 20 Mei 2010 World Health
Assembly (WHA) dalam sidangnya yang ke 63 di Geneva telah menyetujui untuk mengadopsi
Resolusi WHA 63.18 tentang Hepatitis Virus, yang menyerukan semua negara anggota WHO untuk
melaksanakan pencegahan dan penanggulangan hepatitis virus secara komprehensif. Sebagai
pemrakarsa resolusi ini adalah tiga Negara anggota WHO, yaitu Indonesia, Brazil dan Columbia.
Dalam resolusi ini, ditetapkan tanggal 28 Juli menjadi Hari Hepatitis Sedunia atau World Hepatitis
Day. Peringatan hari Hepatitis Sedunia bermaksud untuk meningkatkan kepedulian pemerintah,
masyarakat dan semua pihak terhadap pengendalian penyakit Hepatitis. Dalam resolusi tersebut,
WHO akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam pengembangan strategi nasional,
program surveilans yang efektif, pengembangan vaksin dan pengobatan yang
efektif.Memperhatikan pentingnya isu ini dan telah diterimanya resolusi Hepatitis virus oleh WHO,
dalam pertemuan WHA ke 63 tersebut di atas, maka diperlukan kerjasama internasional yang erat
diantara negara-negara di dunia dalam upaya menanggulangi Hepatitis virus.
Indonesia bersama Brazil merupakan sponsor utama yang berjuang untuk melahirkan
resolusi WHO tersebut sehingga peranan yang penting tersebut dapat dipakai sebagai landasan
yang kokoh bagi terwujudnya Pengembangan Program Pengendalian Hepatitis di Indonesia.
Sebagai salah satu Negara yang menjadi sponsor utama dalam resolusi WHO mengenai Hepatitis,
maka Kementerian Kesehatan perlu mengembangkan Program Pengendalian Hepatitis di
Indonesia. Sebagai langkah awal, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP dan PL), menyusun buku Pedoman Pengendalian Penyakit Hepatitis yang
merupakan panduan bagi petugas kesehatan baik di pusat maupun daerah untuk pengembangan
Program Pengendalian Penyakit Hepatitis
B. TUJUAN PEDOMAN

a. Tujuan Umum
Tersusunnya pedoman pengendalian Hepatitis virus dan terselenggaranya kegiatan
pengendalian Hepatitis dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan angka kematian
akibat Hepatitis di Indonesia.

b. Tujuan Khusus
1. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam pelaksanaan dan
pengembangan program pengendalian Hepatitis virus di Indonesia.
2. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan deteksi dini Hepatitis di fasilitas
kesehatan.
3. Tersedianya panduan dalam meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat
dalam pengendalian Hepatitis virus.
4. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit
Hepatitis virus dan upaya pengendaliannya.
5. Tersedianya panduan untuk sistem pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi
program pengendalian Hepatitis virus.
6. Tersedianya panduan dalam pengadaan logistik untuk pengendalian Hepatitis virus.
7. Terbentuknya jejaring kerja dalam pengendalian Hepatitis virus.

C. SASARAN PEDOMAN
Sasaran buku pedoman ini adalah pemangku kebijakan dan petugas kesehatan di setiap jenjang
pelayanan kesehatan sesuai dengan peran dan fungsinya.

D. RUANG LINGKUP PEDOMAN


Ruang lingkup pedoman Hepatitis :
1. Pengendalian Hepatitis berdasarkan pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah (local area specific).
2. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja
secara multi disiplin, lintas program dan lintas sektor.
3. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan secara terpadu baik untuk pencegahan primer
(termasuk didalamnya imunisasi), sekunder, dan tersier.
4. Pengendalian Hepatitis dikelola secara profesional, berkualitas, merata dan terjangkau oleh
masyarakat melalui penguatan seluruh sumber daya
5. Penguatan sistem surveilans Hepatitis sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan
dan pelaksana program.
6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian Hepatitis harus dilakukan secara efektif dan efisien
melalui pengawasan yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya dengan pemantapan
sistem dan prosedur, bimbingan dan evaluasi.
E. BATASAN OPERASIONAL
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. “ Hepa “ berarti kaitan dengan hati,
sementara “ itis “ berarti radang ( seperti di atrilis, dermatitis, dan pankreatitis ). Hepatitis adalah
peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh infeksi atau toksin termasuk alcohol. Dari
pengertian diatas hepatitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus yang
menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis
dikatagorikan dalam beberapa golongan, di antaranya hepatitis A, B, C, D, E, F dan G.
Di Indonesia penderita penyakit hepatitis umunya cenderung lebih banyak mengalami
golongan hepatitis A, hepatitis B dan hepatitis C. Hepatitis merupakan penyakit yang harus segera
ditangani karena banyak menyerang manusia dan sangat membahayakan bagi manusia. Jika organ
manusia rusak, metabolism tubuh tidak akan berfungsi, selain itu, penularan penyakit hepatitis bisa
dari apapun sehingga penyebarannya pun relative cepat.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Tabel 1 Jenis/kualifikasi dan jumlah tenaga Puskesma Merdeka sebagai berikut
No Jenis Tenaga Kualifikasi Jumlah
1. Penanggung Jawab Dokter 1
2. Tenaga Teknisi S1 Kesmas 1
3. Tenaga Teknisi D3 Kebidanan 1
4. Tenaga Analis S1 Kesmas 1

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
No Jenis Tenaga Kualifikasi Jumlah
1. Penanggung Jawab Dokter 1
2. Tenaga Teknisi S1 Kesmas 1

3. Tenaga Teknisi D3 Kebidanan 1


4. Tenaga Analis S1 Kesmas 1

C.JADWAL KEGIATAN

NO Kegiatan P.Jawab Waktu Tempat


1 Deteksi Dini Kasus HIV 1.Dr.Hj.Desty Aryani, M.Kes 12x / Tahun Puskesmas
pada ibu Hamil 2. Dewi Evita Tourisia, SKM Merdeka
2. Deteksi Dini Kasus 1.Dr.Hj.Desty Aryani, M.Kes 4 / Tahun - Puskesmas
Hepatitis Pada Populasi 2. Dewi Evita Tourisia, SKM Merdeka
Kunci - `Pecandu
Napza
Terutama
IDU
3 Sosialisasi dan Penyuluhan 1.Dr.Hj.Desty Aryani, M.Kes 2x/ Tahun -Puskesmas
kepada Masyarakat dan 2. Dewi Evita Tourisia, SKM
pemangku Kepetingan
lainnya tentang Hepatitis
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG
Dalam upaya pelayanan kesehatan di Puskesms Merdeka, Program Hepatitis lebih dititik
beratkan pada Skrining pada ibu hamil, Tenaga Kesehatan dan Populasi Kunci yang beresiko
sehingga untuk tenaga teknisinya di tempatkan di Poli VCT Anggrek Bulan dan KIA. Sehingga
cakupan penemuan Hepatitis bisa terdeteksi, dan pencatatan, sistem pelaporan yang merupakan
komponen yang sangat penting selain untuk memantau kesehatan dan untuk cakupan penemuan
Hepatitis setiap bulannya.

1 2 4 5

6
1
0

9 8 7

Keterangan :
1. Lemari rak kayu
2. Timbangan
3. Pintu pembatas Poli Anak dan Poli Umum
4. Meja Dokter
5. Meja Bidan
6. Mejan Perawat ( Teknisi Hepatitis)
7. Lemari Arsip
8. Meja
9. Ranjang Periksa
10. Pintu keluar/masuk

B. STANDAR FASILITAS
a. Puskesmas
 Petugas Mampu mendiagnosis Hepatitis Klinis dan Merujuk
 Puskesmas Mampu Melakukan Pemeriksaan Serologi Hepatitis A, B dan C
( Puskesmas Senyinel )
 Tersedianya Reagen Rapid Diagnostik Test Hepatitis
 Tersedianya Laboratorium dengan Petugas terlatih
 Tersedianya Form / Status wawancara

b. Kabupaten
 Dinas Kesehatan kabupaten Kota adalah Pelaksana upaya pengendalian
Hepatitis ditingkat kabupaten Kota
 Melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan dalam upaya
peningkatan kinerja pelaksanaan pengendalian Hepatitis
 Penyediaan dan Penyimpanan serta pendistribusian logistic.
 Pengadaan Logistik dapat menggunakan Dana APBD atau Dana Alokasi
Khusus ( DAK ) serta dan Dana Tugas Perbantuan ( TP )

c. Provinsi
Dinas Kesehatan Propinsi bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengendalian
Hepatitis ditingkat Propinsi :
 Melakukan deseminasi informasi kepada pihak dan instansi terkait di tingkat
propinsi.
 Membangun jejaring kerja Hepatitis baik lintas program maupun lintas
sector di tingkat propinsi
 Memantau pengelolaan stok hepatitis untuk ditingkat Kabupaten / Kota
 Melakukan Pemantauan terhadap pengendalian Hepatitis di tingkat
Kabupaten / Kota
 Melakukan Rekapitulasi Pencatatan dan Pelaporan Hepatitis ditingkat
Propinsi
 Memberikan Umpan Balik hasil kegiatan
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. LINGKUP KEGIATAN
1. Deteksi Dini Kasus Hepatitis Pada Ibu Hamil
2. Pemberian Vaksin HB0 dan HBig pada bayi yang ibu hamil yang reaktif Hepatitis ke Rumah
Sakit atau Klinik Bersalin dimana tempat pasien melahirkan
3. Deteksi Dini Kasus Hepatitis pada Pengguna Napza dan ODHA
4. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya tentang
pengendalian Hepatitis

B. METODE
1. Penyuluhan Kesehatan Hepatitis dengan Menggunakan Leflet, Poster
2. Pelayanan Kesehatan Hepatitis pada Ibu Hamil, Semua Bumil yang berkunjung K1
dilakukan Pemeriksaan secara menyeluruh pemeriksaan Hepatitis,Sipilis,dan HIV juga
darah dan urine rutin
3. Follow up ibu hamil yang reaktif hepatitis selama kehamilannya dipantau terus agar setiap
bulan memeriksakan kehamilan di puskesmas
4. Kerjasama lintas program,antar layanan dan fasilitas kesehatan lainnya . misalnya antar Poli
Umum dan KIA, antara Puskesmas dan Rumah Sakit tempat ibu akan melahirkan.dalam
upaya pada saat bayi lahir segera di beri vaksin HB0 dan HBiG
5. Merujuk Ibu Hamil ke Spesialis Penyakit Dalam untuk mendapatkan terapi Imunologi.

C. LANGKAH KEGIATAN
1. Perencanaan
Perencanaan akan menghasilkan penetuan prioritas, rumusan tujuan, rumusan intervensi,
dan jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan.Perencanaan program Hepatitis hendaknya
terintegrasi dengan kegiatan perencanaan diwilayah kerja puskesmas.
Kegiatan perencanaan meliputi antara lain :
a. Menentukan prioritas maslah
b. Menentukan tujuan
c. Menyusun jadwal kegiatan
2. Pelaksanaan
Merupakan Upaya yang kan dilakukan sesuai dengan rencana kegiatan. Kegiatannya
merupakan implementasi dari kegiatan terpilih. Mekanisme pelaksanaan dapat dilakukan
dengan berbagai cara sebagaimana dijelaskan kegaitan diatas.
3. Monitoring
Monitoring atau pemantauan pengendalian Hepatitis dan kesiapsiagaan menghadapi
pademi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses pelaksanaan sudah sesuai
dengan jalur yag ditetapkan sebelumnya. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka tindakan
korektif dapat dilakukan dengan segera.Monitoring hendaknya dilakuakn secara berkala
( mingguan, bulanan, triwulan )
4. Evaluasi
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil keluaran/output yang diperlukan untuk koreksi
jangka waktu yang lebih lama misalnya 6 bulan,tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan
pelaksanaan seluruh kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi
perencanaan tahunan/periode berikutnya.
BAB V
LOGISTIK
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam nenunjang pelaksanaan pengendalian ISPA.
Penyedian logistik dilakukan sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku dan menjadi
tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan antara pusat
dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau contoh logistik yang sesuai standar
( spesifik ) untuk pelayanan kesahatan. Selanjutnaya pemerintah daerah berkewajiban memenihi
kebutuhan logistik sesuai kebutuhan.
Logistik yang dibutuhkan antara lain :
1. Obat
a. Tablet Kotrimoksazol 480 mg
b. Sirup Kotrimoksazol 240 mg
c. Sirup kering Amoxicillin 125 mg/5 ml
d. Tablet Paracetamol 500 mg
e. Sirup Paracetamol 120 mg/5 ml
Pola perhitungan jumlah obat yang diperlukan dalam satu tahun disuatu daerah didasarkan
pada rumusan berikut :
 Kebutuhan tablet Kotrimoksazol 480 mg setahun = Cakupan tahun sebelumnya x
perkiraaan pneumonia balita x 6 tablet + 10% bufferstock
 Kebutuhan Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml setahun = Cakupan tahun sebelumnya x
Perkiraan pneumonia balita x 2 botol + 10 % bufferstock
 Kebutuhan Sirup kering Amoxicillin 125 mg/5 ml setahun = Cakupan tahun sebelumnya x
Perkiraan pneumonia balita x 2 botol + 10% bufferstock
 Kebutuhan Tablet Paracetamol 500 mg setahun = Cakupan tahun sebelumnya X Perkiraan
pneumonia balita x 6 tablet + 10 % bufferstock
Obat – oabt tersebut merupakan obat yang umum digunakan di Puskesmas untuk berbagai
penyakit sehingga dalam penyediannya dilakukan secara terpadu dnganprogram lain dan proporsi
sesuai kebutuhan. Jika memungkinkan dapat disediakan antibiotik intramuskular : Ampisilin dan
Gentamisin. Untuk menghindari kelebihan obat maka perhitungan kebutuhan obat berdasarkan hasil
cakupan tahun sebelumnya dengan tambahan 10% sebagai bufferstock.
2. Alat
a. Acute Respiratory Infection Soundtimer ( ARI Soundtimer )
Digunakan untuk mengjitung frekuensi nafas dalam 1 menit. Alat ini memiliki masa
pakai maksimal 2 tahun ( 10.000 kali pemakaian)
Jumlah yang diperlukan minimal:
 Puskesmas
 3 buah ditiap Puskesmas
 1 buah di tiap Pustu
 1 buah ditiap bidan desa, Poskesdes, Polindes, Ponkesdes
 Kabupaten
 1 buah di dinas kesehatan kabupaten/kota
 1 buah dirumah sakit umum di ibukota kabupaten/kota
 Provinsi
 1 buah di dinas kesehatan provinsi
 1buah di rumah umum di ibukota provinsi
b. Oksigen Konsentrator
Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini diperuntukan khususnya bagi
fasiliats pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawatinap dan unit gawat
darurat yang mempunyai sumber daya energi ( listrik/generator )
c. Oksimeter denyut ( Pulseoxymetry )
Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas
pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen konsentrator
3. Pedoman
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas Keshatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas masing –masing minimal memiliki 1 set
buku pedoman pengadalian ISPA, yang terdiri dari :
a. Pedomn Pengendalian ISPA
b. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita
c. Pedoman Autopsi Verbal
d. Pedoman Penggulangan Episenter Pandemi Influenza
e. Pedoman Responden Nasional menghadapi Pademi Influenza
4. Media pencatatan dan pelaporan
a. Stempel ISPA
Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia balita sebagai status
penderita
b. Register harian Pneumonia ( Non sentinel dan sentinel)
c. Formulir laporan bulanan ( non sentinel dan sentinel)
Pemantauan logistik dilaksanakan sampai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
( dengan menggunakan formulir survisi) yang dilakukan oleh petugas pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Disemua tingkat pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan pengelolaan
barang milik pemerintah (UU No.19 tahun 2003 tentang badan usaha milik negara).Penilaian
kecakupan logistik dapat dilihat dari indikator logistik pengendalian ISPA
.

BAB VI
KESELAMATAN SASARAN KEGIATAN/PROGRAM
Pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatan pasien sesuai dengan
yang diucapkan hiprocates kira –kira 22400 tahun yang lalu yaitu : Primun, non nocere (Firts, do no
harm).Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi kedokteran, ilmu kedokteran yang dulu
sederhana inefektif dan relatif aman, menjadi semakin kompleks dan lebih efektif namun berpotensi
terjadinta KTD (Kejadian Tidak Diharapkan ) Pada pasien bila puskesmas tidak memperhatikan
keselamatan pasien.
Keselamatan pasien merupakan suatu sistem dimana pelayanan kesehatan membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dan insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Standar keselamatan pasien tersebut antara lain :
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan paleyanan
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatn pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatka keselamtan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien dan tindakan
yang diambil
8. Resiko yang dapat ditimbulkan dari obat-obatan ( suntikan Antibiotik ) TB Paru antara lain,
oedem, kerontokan rambut, kulit menghitam,
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
Dalam undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 dinyatakan
bahwa upaya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) terus dilaksanakan disemua tempat
kerja,khususnya tempat kerja yag mempunyai resiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit
atau mempunyai karyawannya sedikitnya 10 orang.Jika melihat isi dari pasal diatas maka jelaslah
bahwa Puskesmas termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang
dapat menimbulakan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaki langsung yang bekerja di
Puskesmas, tetapi juga terhadap pasien maupun pengunjung puskesmas.
Dari berbagai potensi bahaya, mak perlu upaya untuk mengendalikan meminimalisasi dan
bila mungkin meniadakannya. Oleh karena itu K3 Puskesmas perlu dikelolah dengan baik, agar
penyelenggaraan K3 Puskesmas lebih efektif, efesian dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman
manajemen K3 di Puskesmas, baik bagi pengelola maupun karyawan puskesmas, sehingga proses
manajemn kesehatan dan keselamatan kerja seperti proses manajemen umunya adalah penerapan
berbagai fungsi manajemen, yaitu perencanaan, organisasi pelaksanaan dan pengawasan.
Setiap kegiatan yang dilakukan baik diPoli Umum ataupun Poli Anak khususnya untuk
pelayanan kesehatan pasien ISPA mulai dari persiapan pasien sampai selesai dapat menimbulakan
bahaya ataupun resiko terhadap petugas untuk mengurangi dan mencegah bahaya yang akan
terjadi maka petugas haruslah menerapkan SOP yang telah ada.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Kesehatan dan keselamatan kerja yang bersifat umum
2. Kesehatan dan keselamatan kerja yang bersifat khusus
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
Pengendalian mutu ( quality control ) dalam manajemen mutu sistem kegiatan teknis yang
bersifat rutin yang dirancang untuk mengukur dan menilai mutu produk atau jasa yang diberikan
kepada pasien. Pengendalian mutu pada pelayanan kesehatan diperlukan agar produk layanan
kesehatan terjaga kualitasnya sehingga memuaskan masyarakat sebagai pelanggan. Penjamin
mutu pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan melalui berbagai model manajemen kendali
mutu. Salah satu model manajemen yang dapat digunakan adalah model PDCA ( Plan, Do, Check,
Action ) yang akan menghasilkan pengembangan berkelanjut ( continuous improvement ) atau
kaitan mutu pelayanan kesehatan.
BAB IX
PENUTUP
Pengendalian ISPA telah dikembangkan sejak tahun 1984 namun hingga saat ini penyakit
ISPA masih merupakan masalah kesehatan karena pneumonia merupakan penyakit pembunuh
utama balita di dunia dan nomor dua di Indonesia tetap masih sedikit perhatian terhadap upaya
pengendalian di Indonesia. Oleh karena itu perlu perhatian dari seluruh elemen bangsa yaitu
kemauan politik pemerintah dan pemerintah daerah, lembanga legislatif ( DPR, DPD, DPRD ) dan
peran aktif dari pemangku kepentingan terkait terhadap Pengendalian ISPA.
OLEH

INDAH SURYANI , AmKep

Anda mungkin juga menyukai