360
PENSYARATAN (RESERVATION)
DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Oleh
Sri Setianingsih Suwardi
L Pendahuluan
Dalam tulisan ini akan dibahas masalah persyaratan dalam perjanjian
multilateral.
Untuk itu terlebih dulu akan diuraikan perkembangannya, pengaturannya
dalam konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian (Vienna Convention on
the law of treaties) yang selanjutnya kita sebut konvensi Wina dan kemudian
praktek Indonesia dalam persyaratan.
Seperti kita ketahui bahwasanya perjanjian Internasional adalah me-
rupakan sumber hukum yang penting bagi hukum Internasional positif,
karena dengan perjanjian-perjanjian multilateral diatur sebanyak mungkin
persoalan masyarakat Internasional secara tertulis.
Namun demikian kadang-kadang suatu negara berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan untuk kepentingannya tak dapat menyetujui isi dari pada suatu
perjanjian multilateral secara keseluruhannya. Dalam hal yang demikian maka
negara tersebut dapat mempertimbangkan apakah ikut sertanya dalam per-
janjian tersebut membawa banyak keuntungan, jika ternyata bahwa ikut
sertanya dalam perjanjian tersebut membawa keuntungan baginya, maka
untuk mengatasi kesulitan bahwa negaranya tak dapat menerima isi perjan-
jian multilateral secara sepenuhnya, negara tersebut dapat ikut serta dalam
perjanjian multilateral itu dengan suatu atau beberapa persyaratan (Reser-
vation). Hal ini dapat dilakukan oleh negara tersebut bila perjanjian multi-
Jateral itu memberi kemungkinan untuk ikut serta dalam persyaratan. .
Negara yang menyatakan ikut serta dalam suatu perjanjian multilateral deng-
an persyaratan berarti bahwa negara itu menyetujui isi perjanjian itu dengan
syarat-syarat yang diajukan, persyaratan itu dapat berupa. 1)
1. Mengadakan interprestasi tertentu pada pasal-pasal tertentu dalam
perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingannya.
2, Menyatakan bahwa pasal atau pasal-pasal tertentu tak berlaku
baginya.
z Menyatakan bahwa pada pasal-pasal tertentu akan diadakan
perubahan sehingga sesuai dengan kepentingannya.
Kemungkinan untuk mengadakan persyaratan dalam perjanjian mul-
13) Stake, J.G., Introduction to International Law, 6 th Edition, London
Butterwouths, 1967, hal. 364.reservation 361
tilateral disebabkan oleh hak dari suatu negara yang berdaulat untuk me-
nyatakan kehendaknya dan juga pada prinsip bahwa suatu negara tak akan
terikat pada suatu perjanjian tanpa mufakat dari padanya.
Persyaratan dapat dinyatakan pada saat penanda tanganan, pada waktu
melakuan ratifikasi_ atau pada waktu menerima perjanjian (abceding).
Walaupun negara dapat mengadakan persyaratan untuk ikut serta
dalam perjanjian, tetapi’ kadang-kadang pensyaratan tak dapat dibenarkan,
yaitu dalam hal :
1. Pensyaratan tak diizinkan oleh perjanjian itu sendiri.
2, Perjanjian tersebut menyatakan bahwa hanya pensyratan khusus
yang diperbolehkan sedangkan pensyaratan lain tidak (Specified/
Reservation).
3. Dan bila pensyaratan tak mungkin diadakan sesuai dengan mak-
sud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
I. Perkembangan Pensyaratan :
Pensyaratan adalah sangat penting dalam hubungan antar negara dewasa
ini, terutama dalam hubungan antara negara yang berbeda system politik,
sosial dan ekonominya, oleh karena kepentingan antara negara-negara ter-
sebut tidak selalu sama. Bila diantara negara-negara tersebut telah bersepa-
kat untuk mengatur persoalannya dalam perjanjian (hal-hal yang prinsip
telah disetujui dalam perjanjian tersebut), maka dengan pensyaratan mem-
buka kemungkinan banyak negara menjadi peserta dalam perjanjian tersebut
dan pada saat yang sama negara yang bersangkutan dapat mengajukan agar
kepentingannya diperhitungkan.
Effek hukum dari pensyaratan tergantung pada diterima atau ditolak-
nya pensyaratan tersebut oleh pihak Jain. Dalam kenyataannya dalam per-
mulaan perkembangannya persyaratan hanya berlaku apabila peserta-peserta
lain. dalam perjanjian multilateral yang bersangkutan menyetujuinya, Atau
dengan perkataan lain bahwa negara tidak dapat menjadi pihak dalam suatu
perjanjian dengan pensyaratan bila satu negara saja yang telah menjadi
peserta perjanjian tidak menyetujui pensyaratan yang diajukannya.
Azas ini dikenal dengan azas ”kesepakatan bulat” (Unanimity principle).
Azas ini dianut oleh Liga Bangsa-bangsa (L.B.B) bagi perjanjian Internasional
yang diadakan atas prakasa L.B.B.
Misalkan tahun 1925 Austria mengajukan pensyaratan pada konvensi me-
ngenai minuman keras dan narkotika (Convention on Opium and Drugs),
ternyata pensyaratan yang diajukan oleh Austria tersebut menimbulkan
keraguan-ragu untuk diterima, apakah pensyaratan tersebut membutuhkan
persetujuan dari peserta lainnya, masalah ini dibawa ke Komite L.B.B.
untuk kodifikasi Hukum Internasional. Dan Komite Kodifikasi Hukum In-
ternasiomal L.B.B. memberi pendangan bahwa negara-negara peserta harus
menyetujuinya.
Demikian pula pada tahun 1926 pensyaratan yang dibuat oleh Hungama
dan Amerika Serikat pada konvensi Perbudakan (Slavery Convention) telah362 hukum dan pembangunan
diajukan untuk diterima oleh semua pihak.
Pada tahun 1931 Mejalis Umum dari L.B.B Sehubungan dengan pensyara-
tan pada perjanjian Multilateral menyatakan
”The assembly Considers that a reservation can only be made at the
moment of ratification if all the other signatory States agree or if such
a reservation has been provided for in the text of the convention”. 2)
‘Azas kesepakatan “bulat yang diterapkan oleh L.B.B. diikuti oleh Per-
serikatan Bangsa-bangsa (P.B.B) sampai kira-kira tahun 1950, Perkembangan
penting dalam lembaga pensyaratan terjadi ketika Majelis Umum P.B.B.
pada 16 November 1950 meminta pendapat hukum (Advisory opinion)
pada Mahkamah Internasional sehubungan dengan masalah hukum pensya-
ratan dalam Genocide Convention tahun 1948 pertanyaan Majelis Umum.
Sampai seberapa jauh effek hukum dalam hubungannya dengan pen-
syaratan yang dibuat oleh suatu negara pada saat meratifikasikan atau ikut
serta pada Convention and Punishment of the Crime of Genoside?. Untuk
jelasnya pertanyaan tersebut diperinci. 3)
I. Dapatkah negara yang mengadakan pensyaratan menjadi peserta
konvensi dan tetap mempertahankan pensyaratannya jika pensya-
ratan tersebut tidak disetujui oleh satu atau lebih peserta Kon-
vensi.
I, Jika jawaban dari pertanyaan tersebut ya, apakah efek dari
pensyaratan tersebut antara negara yang mengajukan pensyaratan
dengan :
a. Negara yang menolak pensyaratan.
b. Negara yang menerima pensyaratan.
I Apakah effek hukum sehubungan dengan jawaban I, jika kebe-
ratan akan adanya pensyaratandibuat :
a. Oleh negara penanda-tanganan (a signatory State) tetap be-
lum mengesahkan (ratified) konvensi tersebut.
b, Oleh negara yang seharusnya menandatangani atau mene -
rima (Accede) tetapi belum melakukannya,
Dalam memberikan pandangan hukum atau pertanyaan Majelis Umum di
atas Mahkamah Internasional dengan tegas menyatakan bahwa pandangan
hukumnya adalah terbatas pada konvensi Genocide. Dan pertimbangan
Mahkamah atas pertanyaan di atas adalah Jawaban pertanyaan I.
2) O'Connell, D.P., International Law, second Edition, volume one, Stevens,
hal. 230 - 231.
3) O'Connell, D.P., Ibid., hal. 233., juga baca pada United Nations Confe-
rence on the law of Treaties First and Second Session, Vienna, 26 Maret — 24 May 1968
and 9 April - 22 May 1969, official Records Document of the Conference, United
Nations, hal. 23.reservation 363
Negara yang telah membuat dan mempertahankan pensyaratan yang telah
tidak disetujui oleh satu atau lebih pihak peserta lain dalam konvensi, tetap
dapat menjadi pihak dalam konvensi asalkan pensyaratan tersebut sesuai
dengan maksud dan tujuan dari konvensi.
Jawaban pertanyaan II :
a. Jika salah satu peserta konvensi keberatan pada pensya-
ratan yang diajukan oleh pihak lain dalam pensyaratan
ini tidak dilarang oleh konvensi, maka negara tersebut
dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan pen-
syaratan bukan pihak dalam konvensi.
b, Sebaliknya bagi pihak yang menyetujui pensyaratan yang
diajukan, maka pihak yang mengajukan pensyaratan adalah
pihak dalam konvensi.
Jawaban pertanyaan III.
a. Keberatan akan adanya pensyaratan bagi negara penanda-
tanganan yang belum meratifikasi konvensi dapat mempu-
nyai efek hukum seperti yang ditunjuk dalam jawaban
pertanayan I, hanya bila mengadakan ratifikasi.
Jadi tindakan tefsebut hanyalah perlu mendapat perhatian
bagaimana sikap dari negara penanda-tanganan.
b. Tidak mempunyai legal effek.
Pertimbangan Mahkamah tersebut di atas adalah didasarkan pada sifat
khusus dari konvensi Genocide tersebut.
Sifat-sifat khusus tersebut adalah :
1, Sifat hukuman (Condemation and punishment) dari Genocide
tersebut adalah merupakan prinsip yang diakui oleh bangsa-bang-
sa yang beradab dan merupakan prinsip yang mengikat Pemerin-
tah suatu negara walaupun tanpa konvensi.
2. Konsekwensi dari sifat universil dari konvensi.
3. Tujuannya adalah benar-benar didasarkan pada perikemanusiaan
dan peradaban tanpa memperhatikan untung atau rugi dari
konvensi.
Walaupun Mahkamah Inrtenasional menegaskan bahwa pendapatnya hanya
berlaku bagi pensyaratan-pensyaratan yang bertalian dengan Genocide Con-
vention namun ternyata pendapat Mahkamah Internasional tersebut sangat
penting dalam perkembangan, Hukum Internasional tentang pensyaratan.
Praktek baru dalam pensyaratan tersebut disebut dengan sistim Pan
Amerika. Menurut ajaran ini tidak diperlukan persetujuan yang bulat dari
peserta-peserta yang telah menjadi peserta suatu perjanjian atas pensyaratan
yang diadakan oleh negara yang hendak turut serta dalam perjanjian, melain-
kan perjanjian itu dianggap berlaku dengan pensyaratan yang diajukan antara
negara yang mengajukannya dengan negara yang menerima pensyaratan ter364 hukum dan pembangunan
sebut. Sedangkan diantara negara yang mengajukan pensyaratan itu dan
peserta perjanjian yang menolaknya, perjanjian itu dianggap tak berlaku.
Dan menurut Prof. Mochtar dikatakan. 4)
Bahwa pada sistim Pan Amerika ini suatu perjanjian multilateral
mungkin meruapkan kumpulan dari perjanjian-perjanjian Multilateral
yang masing-masing kecil jumlah pesertanya atau sekumpulan per-
janjian bilateral.
Selanjutnya dikatakan bahwa baik sistim Unanimity ataupun sistim
Pan Amerika ada segi baik dan buruknya.
Misalkan : Ajaran kebulatan (Unanimaty) bertujuan agar adanya ke-
utuhan (integrety) perjanjian, Sedangkan Pan Amerika bertujuan agar
sebanyak mungkin peserta dalam perjanjian dengan mengorbankan
keutuhan dari perjanjian......
Pada perkembangan ternyata bahwa ada kecenderungan kearah sistim
yang lebih mirip dengan sistim Pan Amerika. Perkembangan ini dise-
babkan oleh 2 hal :
1. Adanya keinginan untuk menjadikan perjanjian Internasional
sebagai sumber hukum Internasional positip dengan pengaturan
sebanyak mungkin persoalan-persoalan dengan perjanjian multi-
lateral.
2. Sistim ini menekankan pada segi kedaulatan negara
Perkembangan terakhir pensyaratan dengan sistim Pan Amerika ini
ternyata telah diterima ketentuan-ketentuan tentang pensyaratan dalam
Konvensi Wina, (perjanjian).
Di dalam bab selanjutnya akan penulis coba menguraikan ketentuan-keten-
tuan dalam konverisi Wina mengenai pensyaratan.
UI. Ketentuan Dalam Konvensi Wina.
Dalam konvensi Wina ketentuan-ketentuan mengenai pensyaratan di-
atur dalam pasal 19 s/d 23 Konvensi Wina 5)
Dalam garis besarnya ketentuan terhadap pensyaratan adalah sebagai
berikut :
1). Negara berhak mengemukakan pensyaratan pada saat penanda-tangan,
penyerahan dokumen ratifikasi, menerima (acceptence) suatu perjan-
jian menyatakan turut serta (accession), kecuali bila perjanjian itu
melarang untuk mengadakan pensyaratan, perjanjian tersebut me-
nyebutkan bahwa hanya pensyaratan khusus yang diperbolehkan se-
dangkan pensyaratan lain tidak atau pensyaratan bertentangan dengan
4) Muchtar Kusumaatmadja, Prod. Dr.SH. LLM, Pengantar Hukum Interna-
tional, Buku I Bagian Umum, Penerbit Binacipta, Bandung, 1976, hall 125 — 126.
Vienna Covention on the Law of Treaties, A/Cont. 80/W.P.2. | Marchreservation 365
2).
3).
4).
5).
6).
1).
maksud dan tujuan dari perjanjian itu. (pasal 19).
Jadi bila suatu perjanjian tidak tegas menyatakan adanya pensyaratan
negara dapat mengemukakan pensyaratan kecuali pensyaratan tersebut
bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian.
Bila pensyaratan diizinkan oleh perjanjian, maka tidak meminta suatu
pernyataan diterima oleh negara lain kecuali bila hal demikian disebut-
kan dalam perjanjian itu (pasal 20 (1) ).
Jadi terlihat di sini diterimanya sistim Pan Amerika dan pengaruh
dari pendapat hukum Mahkamah Internasional tahun 1951 tentang
Genocide convention.
Dalam keadaan Khusus yaitu bila perjanjian tersebut harus berlakuu
secara keseluruhannya (seutuhnya) maka persetujuan dari setiap ang-
gota disyaratkan (pasal 20 (2) ).
Bila perjanjian merupakan suatu anggaran dasar dari suatu organisasi
Internasional kecuali diatur lain maka pensyaratan memerlukan perse-
tujuan dari lembaga yang berwenang dari organisasi tersebut (pasal
20 (3) ).
Akibat hukum dari pensyaratan :
a). Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima
oleh negara peserta lain maka antara negara yang mengatakann
pensyaratan dan negara yang menerima pensyaratan tersebut,
perjanjian itu akan berlaku diantara mereka.
b). Suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensya-
ratan tidak mengesampingkan berlakunya perjanjian (antara me-
teka), kecuali bila maksud yang bertentangan secara tegas dinya-
takan oleh negara yang keberatan,
c). Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk
diikat dalam suatu perjanjian dan berisikan suatu pensyaratan
mulai berlaku sejak setidaknya satu peserta lain menerima pen-
syaratan tersebut ¢pasal 20 (4) ).
Kecuali perjanjian menyatakan lain suatu pensyaratan dianggap diteri-
ma oleh suatu negara apabila tak menimbulkan suatu keberatan ter-
hadap pensyaratan tersebut pada akhir 12 bulan setelah pensyaratan
dikemukakan atau pada saat di mana pensyaratan dikemukakan atau pa
dikemukakan atau pada saat di mana dijelaskan keinginannya untuk
mengikatkan diri pada perjanjian, satu dari kedua kemungkinan ter-
sebut yang lebih akhir (pasal 20 (4) ).
Bahwa pernyataan adanya pensyaratan ataupun keberatan terhadap
pensyaratan harus dinyatakan secara tertulis dan harus diberitahukan
pada pihak peserta lainnya dalam perjanjian tersebut (pasal 23 (1) ).
Kecuali ditentukan lain dalam perjanjian, maka suatu pensyaratan
dapat ditarik pada setiap saat dan persetujuan dari negara yang telah
menerima pensyaratan tak diperlukan.
Pernyataan keberatan terhadap pensyaratan dapat juga ditarik setiap
saat.366 hukum dan pembangunan
Yang perlu kita perhatikan adalah ketentuan yang terdapat dalam point
4 (b) di atas seperti yang diatur dalam pasal 20 (4) mengenai akibat
hukum dari suatu pensyaratan tegasnya hubungan antara negara yang
menyatakan pensyaratan dan peserta perjanjian yang menolak pen-
syaratan tersebut.
Dalam pasal 20 (4b) disebutkan :
Dalam pasal 20 (4b) disebutkan :
an objection by another contracting state to a reservation does
not preclude the entry into force of the treaty as between the
objecting and reserving states unless a contrary intention is
definitely.
Pada mulanya ketentuan mengenai masalah tersebut dalam rancangan
diatur dalam pasal 17 (4b), sebagai berikut = 6).
an objection by another contracting state to a resservation pre-
cludes the entry into force of the treaty as between the objec-
ting and reserving state unless a contrary intention is expressed
by the objecting state.
Jika kita bandingkan kedua ketentuan tersebut di atas maka terdapat
perubahan ketentuan rancangan, bila dalam rancangan ditentukan
bahwa
antara negara yang mengajukan pensyaratan dan peserta per-
janjian yang menolaknya, perjanjian itu dianggap tidak berlaku,
kecuali bila negara yang menolak menyatakan maksud yang
berlawanan.
Sedangkan ketentuan dalam pasal 20 (4b) konvensi menyebutkan
antara negara yang mengajukan pensyaratan dan peserta per-
janjian yang menolaknya, perjanjian dianggap berlaku, kecuali
bila negara yang menolak menyatakan maksud yang berlawanan.
Perubahan ketentuan di atas disebabkan oleh karena adanya usul dari
Rusia.
Usul Rusia pada garis besarnya mengatakan :
. bahwa suatu pernyataan tentang pensyaratan adalah suatu
tindakan dari suatu negara yang berdaulat dan tidak memerlukan
persetujuan oleh pihak lain.
Apabila suatu hak untuk menyatakan suatu pensyaratan dijalan-
kan oleh suatu negara, apa yang diperlukan hanyalah bahwa
pensyaratan itu tidak akan bertentangan dengan maksud dan
tujuan dari perjanjian, hak untuk menyatakan pensyaratan me-
nyebabkan kemungkinan bagi negara untuk menjadi peserta
pada suatu perjanjian ketika mereka menerima maksud tujuan
dasar dari perjanjian, tetapi untuk alasan yang bermacam-ma-
am_mereka tak menyetujui hal-hal yang khusus atau tak begi-
6) United Nations Conference on the Law of Treaties, Op.cit., hal. 265
Document A/Cont. 39/1.3.reservation 367
tu penting, Sejalan dengan ini maka hak untuk mengadakan
pensyaratan dimaksudkan memperluas peserta perjanjian, hal ini
sesuai dengan nasehat hukum (advisory opinion) dari Mahkamah
Internasional, 28 Mei 1951, tentang pensyaratan pada konvensi
Genocide.
Disamping itu ada hak dari negara berdaulat untuk menyatakan
tidak menyetujui pensyaratan yang diajukan oleh pihak peserta
perjanjian lainnya.
Untuk jelasnya kita kembali pada pendapat hukum mengenai
konvensi Genocide oleh Mahkamah Internasional.
if a party to the convention objects to a reservation, it can in
fact consider that the reserving state is not a party to the con-
vention.
Jadi menurut Mahkamah Internasional prinsipnya adalah bahwa ke-
beratan pada pensyaratan tidak selalu menunjukkan bahwa perjanjian
Internasional berhenti secara otomatis.
. that the fact of objection to a reservation does not signify
that an International treaty authomatically ceases to be in force
in realtions between the reserving state and the state objecting
to the reservation.
States in fact consider that the silence of a state with regard to the
legal consequences of its objetion to a reservation presup-poses
consent to the retention of the treaty in force in relations with
the reserving/State (with the exeption of those provisions ot the
treaty to which the reservation is made).
Kemudian dikemukakan sebagai contoh Republik Federasi Jerman
(Jerman Barat) keberatan atas pensyaratan yang diajukan oleh Rusia
untuk Konvensi Wina mengenai hubungan Diplomatik tahun 1961.
Bagaimanapun juga kedua negara tersebut menjamin bahwa Konvensi
tersebut berlaku dinatara mereka.
Hanya sedikit kasus di mana negara yang keberatan pada suatu pen-
syaratan mempertimbangkan tidak terikat pada perjanjian dalam hu-
bungan dengan negara yang menyatakan pensyaratan, karena praktek
tersebut maka banyak negara yang menjadi peserta perjanjian dengan
pensyaratan dan ketentuan dalam rancangan konvensi pasal 17 (4b)
tidak memberikan penyelesaian masalah tersebut.
Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan tersebut merupakan sulution
yang bukan kemajuan tetapi malah mundur,
....That solution is not progressive development of the law
of internasional treaties, but a patent step backward, a retro-
gression.
Oleh karena itu Rusia mengumumkan perubahan rancangan konvensi
pasal 17 (4b) sebagai berikut
an objection by another contracting state to a reservation does
nor preclude the entry into force of the treaty as between the368 hukum dan pembangunan
objecting and reserving states unless a contrary intention is
definitely expressed by the objecting state.
Jadi dalam usul Rusia tersebut ada kewajiban dari negara yang ke-
beratan atas pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara untuk me-
nyatakan secara pasti bahwa keberatannya adalah mempunyai akibat
bahwa perjanjian yang bersangkutan tak berlaku diantara merel
Terhadap pandangan tersebut maka Sinclair berpendapat bahwa
“akhirnya ada pertimbangan psychologis bahwa beban sekarang dile-
takkan pada negara yang keberatan untuk menyatakan secara terang-
terangan bahwa tidak bermaksud untuk mempunyai hubungan per-
janjian dengan negara yang mengemukakan pensyaratan”. Kewajiban
(beban) ini bagi negara kecil mungkin akan menemui kesulitan untuk
membebaskan negara yang mengemukakan pensyaratan adalah negara
besar.7)
Suatu hal yang tidak diatur dalam konvensi Wina ini adalah mengenai
masalah bagaimana jika suatu negara peserta beberapa tahun setelah menjadi
pihak dalam perjanjian multilateral, didasarkan oleh karena kepentingannya
(misalkan karena perkembangan situasi dalam negeri) merasa perlu untuk
mengajukan pensyaratan.
Jadi dengan perkataan lain apakah terhadap suatu perjanjian multilateral di
mana suatu negara telah menjadi peserta dapat diajukan pensyaratan ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut haruslah kita mempelajari
praktek di masyarakat Internasional. Jika kita berpegang pada prinsip
bahwa harus ada kepastian diantara peserta perjanjian maka jawaban atas
pertanyaan tersebut adalah pensyaratan yang diajukan setelah suatu negara
menjadi peserta adalah tidak diperbolehkan. Scbaliknya jika kita berpegang
pada hak bagi suatu negara yang berdaulat untuk menyatakan kehendak-
nya, maka pensyaratan yang diajukan setelah negara menjadi peserta seharus-
nya diperbolehkan.
Bagi penulis sendiri lebih condong untuk tidak memperbolehkan adanya
pensyaratan yang diajukan setelah suatu negara menjadi peserta alasannya
adalah :
a. Perlu adanya kepastian diantara peserta perjanjian.
b. Untuk mencegah penyalah gunaan lembaga pensyaratan.
Demikianlah ketentuan-ketentuan tentang pensyaratan dalam Konvensi
Dalam bab selanjutnya ‘akan kita tinjau bagaimana praktek Indonesia dalam
masalah pensyaratan.
IV. Praktek Indonesia bertalian dengan Pensyaratan.
Mengenai praktek Indonesia bertalian dengan pensyaratan dapat kita
tunjukkan contoh sebagai berikut :
a. Ratifikasi Konvensi Jenewa tentang Hukum Laut tahun 1958
dengan U.U. No. 19 tahun 1961 yang diundangkan tanggal 6
7) Sinclair, LM. C.M.G., The Vienna Convention on the Law of Treatics,
Manchesten University Press, USA, Oceana, Publications, Inc., hal. 43.reservation 369
September 1961 (L.N. No. 276 tahun 1961). Pensyaratan yang
diajukan adalah sehubungan dengan sitilah laut wilayah dan
laut pedalaman yang akan diartikan sesuai dengan U.U. No. 4
tahun 1960.
Pensyaratan tersebut ditujukan pada 3 konvensi yaitu :
1 Konvensi tentang Laut Lepas (Convention on the High
seas).
v
Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan
Hayati Laut di laut lepas (convention on Fishing and the
convention of the living resources of the High Seas).
3. Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on the
Continental shelf).
Oleh karena terhadap konvensi Perikanan dan Konvensi Landas
Kontinen yang tidak boleh dibubuhi pensyaratan, maka hanya
terhadap konvensi Laut Lepas yang diterima dan sah menurut
Hukum dan diterima oleh Sekretariat P.B.B. 8)
b. Konvensi Tokyo (1963) tentang "Offences and Certain other
acts Comitted on Board air craft, Konvensi Den Haag (1970)
tentang ”The suppression of unlawful seizure of air craft” dan
Konvensi Motreal (1971) tentang "The suppression of unlaw -
ful acts against the safety of civil aviation”.
Dirafikasi dengan U.U. No. 2 tahun 1976 (L.N. No. 18 tahun
1976).
Pensyaratan yang diajukan adalah sehubungan dengan pasal 24 (1)
Konvensi di Tokyo, pasal 12 (1) Konvensi Den Haag dan pasal
24 (1) Konvensi Montreal, yaitu bahwa Indonesia tidak mengakui
adanya jurisdiksi mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mah-
kamah Internasional.
Perkara yang hendak dibawa ke Mahkamah Internasional harus
ada persetujuan para pihak (di mana Indonesia adalah salah satu-
pihak) dan harus dilihat kasus per kasus.
c. Konvensi Tunggal Narkotika (single Convention Narcotic Drugs)
1961 beserta protokol yang mengubahnya. Konvensi tersebut di
ratifikasi dengan U.U. No. 8 tahun 1976 (L.N. 36 1976). Pen-
syaratan diajukan terhadap pasal 48 (2), yaitu bahwa Indonesia
tidak mengakui adanya jurisdiksi mengikat (compulsory juris-
distion) dari Mahkamah Internasional, Perkara yang hendak di-
bawa ke Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para
pihak dan harus dilihat kasus per kasus.
Dari contoh tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa_pensya-
ratan terhadap perjanjian multilateral tak banyak dilakukan oleh
Indonesia dan_pensyaratan yang diajukan pada contoh 2 dan 3
&) Muchtar Kusumaatmadja, Prof. Dr. SEL, LLM., Op.cit.. hal. 127, lihat
juga pada Masalah Lebar Laut Territorial pada Konperensi Hukum Laut Jenewa. Pe-
nerbitan Universitas Bandung, 9 1962, hal. 271.370 hukum dan pembangunan
adalah sama yaitu bahwa Indonesia tidak mengakui jurisdiksi
mengikat dari Mahkamah Ineternasional.
Vv. Kesimpulan.
Dari uraian di atas dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa dengan
pensyaratan suatu negara dapat ikut serta dalam perjanjian multilateral tanpa
mengorbankan kepentingannya, walaupun harus diakui bahwa ada perjanjian
multilateral yang tidak memungkinkan diadakan pensyaratan.
Pernyataan adanya pensyaratan harus jelas dan harus diberitahukan
kepada pihak peserta lain.
Bagi Indonesia agaknya masalah pensyaratan belum mendapat perhati-
an yang sungguh-sungguh sehingga kita ikut serta dalam perjanjian multilate-
ral tanpa mengadakan pensyaratan walaupun hal tersebut dimungkinkan.
Agaknya perlulah di sini kami tekankan kepada pejabat-pejabat Pemerintah
yang ikut mengadakan perundingan-perundingan memperhatikan kemung-
kinan akan adanya pensyaratan yang dapat diajukan dalam perjanjian-per-
janjian di mana Indonesia akan menjadi pihak peserta.
Peranan Departemen Tekhnis, Departemen Kehakiman, Sekretariat Kabinet
dan Departemen Luar Negeri yang ikut secara langsung dalam menangani
perjanjian Internasional harus menelaah secara mendalam setiap perjanjian
Internasional di mana Indonesia akan menjadi pihak. Schingga setiap ada
kesempatan untuk mengadakan pensyaratan dapat dipergunakan dengan baik
dan tepat, sehingga kepentingan nasional diutamakan dan tidak mendapat
kesulitan dalam pelaksanaannya.
serita MYM
BIBLIOGRAFI
Alamat Redaksi: Ji. Dr. Abdulrachman Saleh 26, Jakarta Telpon : 361261
Surat Kabar Umum
PEMBAHARU
Meluksunakan Dawah dan Puncusila
Mamat Redaksi/Lata Usaha > Jalan Brigien Katan
26, Banjarmasin. Telpon 335: