Anda di halaman 1dari 90

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN: 978-602-1145-00-5

Hak Menguasai Negara Atas Tanah & Asas-Asas Hukum


Pertanahan

Oleh: Dr. H. Umar Ma’ruf, S.H., Sp.N., M.Hum.

15.5 x 23, v + 84

Diterbitkan oleh Badan Penerbit UNISSULA PRESS

Jl. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang

Desain sampul dan tata letak: ………..

Cetakan Pertama Mei 2014

Dicetak oleh; Sultan Agung Press

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagaian ataa seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ii
KATA PENGANTAR
Sungguh penulis sangat bersyukur kepada Allah
SWT yang telah memberikan kemampuan kepada penulis
sehingga bisa menyelesaikan penulisan buku dengan
judul: Hak Menguasai Negara Atas Tanah & Asas-Asas
Hukum Pertanahan ini.
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan
kebijakan dasar mengenai penguasaan dan penggunaan
sumber-sumber daya alam yang ada, dengan kata-kata:
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal 33 ayat (3) ini
terkandung konsep politik hukum pertanahan.
Berdasarkan rumusan kalimat “dikuasai oleh negara” inilah
yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak Menguasai
dari Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan
pemanfaatan sumber-sumber agrarian atau pertanahan
terpusat pada kekuasaan yang besar pada negara.
Keberadaan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal sebagai Undang-
undang Pokok Agraria (UUPA lebih mempertegas makna
politik hukum hak menguasai negara (HMN) atas tanah
yang diatur di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945
tersebut
Dalam buku ini lebih lanjut akan diuraikan tentang
HMN atas tanah dan pelimpahan HMN atas tanah. Pembaca
juga akan menemukan asas-asas hukum pertanahan
terutama asas unifikasi hukum dan asas-asas hukum
pertanahan lainnya.

iii
Buku Hak Menguasai Negara Atas Tanah & Asas-Asas
Hukum Pertanahan ini dimaksudkan sebagai bahan bacaan
yang diharapkan bisa dipakai sebagai referensi bagi
mahasiswa hukum maupun bagi pihak lain yang berminat
terkait dengan persoalan hukum pertanahan.
Pada kesempatan ini kepada semua pihak yang
tentunya tidak bisa disebutkan secara satu persatu, penulis
ucapkan terima kasih atas semua bantuannya sehingga
penulis bisa menyelesaikan penulisan buku ini.
Teristimewa kepada istriku Hj. Yuli Wahyuningsih, S.H.,
dan anak-anak penulis: Fahmi Firdaus Rufliansah, Rafi
Madani, Najma Madina Firdausi, dan Visitia Firdausi
diucapkan terima kasih atas do’a, perhatian, harapan,
kebersamaan, cinta dan kasih sayangnya selama ini dan
mendatang. Kepada Rektor Unissula, Badan PR & Creativity
Unissula, dan Penerbit UNISSULA Press, penulis juga
mengucapkan terima kasih atas fasilitasi dan kesediaannya
menerbitkan buku ini sehingga bisa hadir di tangan para
pembaca sekalian.
Akhirnya kritik dan saran dari sesiapapun dengan
tangan terbuka penulis terima, kesemuanya demi
kesempurnaan buku ini. Terakhir harapan penulis buku ini
ada manfaatnya. Aamiin.

Semarang 2014
Salam Penulis

iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………..…….. iii
Daftar Isi ………………………………………………………………..………. v
BAB I : PENDAHULUAN ….……. ……………………………………… 1
BAB II : HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH............ 10
A. Dasar Hak Menguasai Negara Atas Tanah....... 10
B. Kekhawatiran Pergeseran Makna HMN
Atas Tanah ...................................................... 26
C. Pemaknaan Mahkamah Konstitusi Tentang
HMN .................................................................. 30
BAB III : PELIMPAHAN HMN ATAS TANAH ……………………. 39
A. HMN Atas Tanah Tugas Pemerintah Pusat ..... 39
B. Pelimpahan HMN Atas Tanah Kepada Pemda
& Masyarakat Hukum Adat ..................................... 45
C. Pelimpahan HMN Atas Tanah Dalam Bentuk
Hak Pengelolaan ............................................................. 56
BAB IV : UNIFIKASI HUKUM PERTANAHAN .................... 60
BAB V : ASAS HUKUM PERTANAHAN LAINNYA ............ 65
A. Pengertian Asas Hukum ................................. 65
B. Beberapa Asas Hukum Pertanahan . ………………. 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 74
BIODATA ............................................................................................... 84

v
BAB I
PENDAHULUAN

Tanah bagi masyarakat kita memiliki makna yang


multi dimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah
merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan
kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat
menentukan posisi seseorang dalam pengambilan
keputusan masyarakat. Ketiga, secara kultural tanah dapat
menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.
Kempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan
waris dan masalah-masalah transendental.1
Secara kultural, ada hubungan batin yang tak
terpisahkan antara tanah dan manusia. Untuk
menunjukkan begitu bernilainya tanah bagi orang Jawa,
masyarakat Jawa sangat lekat dengan pepatah: ”sadumuk
bathuk sanyari bumi ditohi pecahing dhadha wutahing
ludira atau dengan pembahasaan yang sedikit berbeda
tetapi dengan makna yang sama, dengan ungkapan:
“sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi satumekaning pati”.
Kalau digabung arti dari kalimat tersebut adalah hal yang
menyangkut harga diri seseorang (sadumuk bathuk) dan
sejengkal tanah milik seseorang (sanyari bumi) akan
dipertahankan sampai mati-matian dan berdarah-darah
atau malahan sampai mati yang sebenarnya sekalipun.

1
Brahmana Adhie & Hasan Basri Nata Manggala (Penyunting),
Reformasi Pertanahan, Pemberdayaan Hak-Hak Atas Tanah Ditinjau dari
Aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, agama dan
Budaya, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 99.
1
Hubungan antara manusia dengan tanah2 sudah ada
sejak adanya manusia itu sendiri. Betapa pentingnya arti
tanah bagi kehidupan manusia dapat dilihat dari dasar
filsafatinya, bahwa manusia diciptakan oleh Allah Tuhan
yang Maha Kuasa dari tanah,3 hidup (makan) dari tanah4
dan setelah mati akan kembali ke tanah. 5 Semua agama
samawi menyatakan manusia pertama yaitu nabi Adam
diciptakan oleh Tuhan dari tanah. Oleh sebab itu peranan
tanah sangat menentukan bagi kehidupan dan
penghidupan manusia. Tetapi di samping hal-hal yang baik
tersebut, sejarah kehidupan manusia cukup banyak
mencatat peristiwa berdarah dikarenakan persengketaan
masalah pertanahan.
Sejarah hubungan manusia Indonesia dengan
tanahnya juga setua sejarah manusia Indonesia itu sendiri.
Bagi rakyat Indonesia hubungan dengan tanah merupakan

2
Tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 1).
permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali, 2). permukaan
bumi yang diberi batas, 3). permukaan bumi yang terbatas yang ditempati
suatu bangsa, negara atau menjadi daerah negara atau negeri. Lihat Pusat
Bahasa Depdiknas, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm. 1132. Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan: atas dasar hak
menguasai dari negara ditentukan macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah.
3
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang
berkembang biak.” (Al Qur’an Surat Ar-Rum <30>: 20).
4
“Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana
Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali
kamu bersyukur.” (Al Qur’an Surat Al A-Rof <7>: 10)
5
“Mereka berkata: Apakah betul apabila kami telah mati dan telah
menjadi tanah dan tulang belulang, kami akan benar-benar dibangkitkan
kembali?; .....dan dihadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka
dibangkitkan.” (Al Qur’an Surat Al Mukminun <23>: 82, 100). “Dari tanah
kita diciptakan, dari tanah pula kita dikeluarkan serta ke tanah kita
dikembalikan.” (Sabda Rasulullah SAW).
2
hal yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan ini sangat
menentukan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan,
keberlanjutan dan harmoni bagi bangsa dan negara
Indonesia.6
Pengaturan mengenai hubungan antara tanah
dengan manusia Indonesia secara terorganisir bermula
pada masa kolonial Belanda. 7 Pada masa sebelum

6
Joyo Winoto, Reforma Agraria: Tanah Untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat, Makalah dalam Seminar Nasional Penguatan Hak
Kepada Rakyat Dalam Reforma Agraria Melalui Persamaan Hak
Memperoleh Hak Atas Tanah, diselenggarakan oleh Prodi Magister
Kenotariatan Undip, Kanwil BPN Propinsi Jateng, KAPTi Agraria Jateng, dan
Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan (IMMK) Undip, Semarang, 15 Mei
2008. hlm. 5.
7
Perkembangan pengaturan tanah pada masa kolonial pada garis
besarnya dalam 4 tonggak. Tonggak pertama pada tahun 1811 atau masa
Gubernur Jendral Raffles. Berdasarkan hasil panitia penyelidikan keadaan
agraria yang diketuai oleh Mackenzie, Raffles menarik kesimpulan bahwa
semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Dengan pegangan itu
maka dibuatlah sitem penarikan pajak bumi Landrente, sistem ini
mewajibkan setiap petani membayar pajak 2/5 dari hasil tanah
garapannya. Teori Raffles ini mempengaruhi politik agraria selama
sebagaian besar abad 19. Tonggak kedua pada tahun 1830 masa Gubernur
Jendral Van Den Bosc yang mempopulerkan konsep cultuur stelsel atau
yang lazim disebut tanam paksa. Van Den Bosc tetap mengacu kepada
teori Raffles yaitu tanah adalah milik pemerintah dengan modifikasi 1/5
dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman tertentu yang dikehendaki
oleh pemerintah seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan sebagainya,
kemudian harus diserahkan kepada pemerintah untuk ekspor ke eropa.
Tonggak keempat tahun 1848 dengan diundangkannya Grondwet (UUD
Belanda) yang salah satu pasalnya menyebutkan pemerintah di tanah
jajahan harus diatur dengan UU., Maka pada tahun 1854 keluarlah
Regerings Reglement (RR) 1854. Salah satu pasalnya menyebutkan
Gubernur Jendral boleh menyewakan tanah dengan ketentuan-ketentuan
yang akan ditetapkan dengan ordonansi. Dalam rangka pembuatan
ordonansi itu pada tahun 1865 Menteri Jajahan Van De Putte mengajukan
RUU agar Gubernur Jendral bisa memberikan hak erfpact selama 99 Tahun
dan hak milik pribumi diakui sebagai hak mutlak (eigendom), ternyata
RUU ini ditolak oleh parlemen. Tonggak Keempat pada tahun 1870 dengan
3
kemerdekaan atau pada masa kolonial Belanda tersebut
perangkat hukum tanah yang tersedia masih bersifat
pluralistik dan beragam konsepsi serta kebijakan yang
melandasinya. Ada hukum tanah barat yang berkonsepsi
individualistik-liberal, ada hukum tanah Swapraja yang
bersifat feodal, dan ada Hukum Tanah Adat yang
berkonsepsi nasional, yaitu komunalistik-religius.8 Ada pula
apa yang disebut Hukum Tanah Administratif, yang
memberi kewenangan pada pemerintah Hindia Belanda
dalam melaksanakan kebijakan kolonialnya di bidang
pertanahan. Jenis hukum tanah yang terakhir tersebut
sebagaimana yang dituangkan dalam apa yang dikenal
dengan Agrarische Wet 1870, 9 yang mengutamakan
tersedianya tanah bagi perusahaan perkebunan besar dan
Agrarische Besluit 1870,10 yang menyatakan semua tanah

keluarnya Agrarisceh Wet. Lihat Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika,


Jakarta, 2007, Hlm. 44-45.
8
Komunalistik-Religius menunjuk kepada kepercayaan, bahwa
semua tanah sejak semula adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
rakyat Indonesia, yang sudah bersatu menjadi bangsa Indonesia dan
merupakan tanah bersama. Lihat Boedi Harsono, Amandemen UUPA
No.5/1960 Suatu Tinjauan Historis, Filosofis, Sosiologis dan Politis,
Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama
Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24
Maret 2006, hlm. 4.
9
Agrarische Wet 1870 diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran
Negara) No. 55, 1870. Salah satu pasalnya menyatakan Gubernur Jendral
akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun. Karena itulah tahun 1870
merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria Indonesia.
Karena adanya peraturan pemberian hak erfpacht selama 75 tahun maka
sejak itulah mulai berduyun-duyun modal swasta Eropa mencengkeram
bumi Indonesia. Muncullah perkebunan-perkebunan besar di Sumatra dan
juga Jawa, dengan segala akibatnya. Ibid, hlm. 169.
10
Agrarische Besluit diundangkan dalam Staatblad No. 118, 1870.
Pasal 1 dari Agrarische Besluit inilah yang memuat suatu pernyataan
4
yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom perorangan
adalah tanah milik negara (”asas domein”).11
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan esok
harinya, tanggal 18 Agustus 1945 merumuskan bentuk dan
sendi-sendi pokok Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pengaturan mengenai tanah dilandaskan pada tujuan
dibentuknya Negara Republik Indonesia. Sebagaimana
dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), tujuan
didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia antara
lain adalah ”memajukan kesejahteraan umum”.12
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum itu,
hubungan antara manusia Indonesia dengan tanahnya
dilakukan dan terangkum dalam ketentuan Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI 1945, yang menegaskan kebijakan dasar
mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber
daya alam yang ada, dengan kata-kata : ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.” Tetapi baik dalam batang tubuh

penting yang telah cukup dikenal yaitu Domein Verklaring, yang


menyatakan bahwa: “....... semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas
tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom), adalah domein negara” (milik
mutlak negara).
11
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum
Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 2.
12
Sebagaimana termaktub di dalam alinea ke empat UUD NRI 1945,
tujuan Negara Indonesia adalah: melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
5
maupun penjelasan UUD NRI 1945, tidak terdapat
penjelasan mengenai sifat dan lingkup hak menguasai dari
negara, yang meliputi bumi dan air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Di dalam penjelasan UUD
NRI 1945 hanya diberikan penegasan, bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.13
Baru dengan kelahiran Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
yang lebih dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) pada tanggal 24 September 1960, diberikan
penjelasan resmi (otentik) mengenai sifat dan lingkup hak

13
Dalam rangka memberikan makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI 1945, Anang Husni menyatakan: Ketentuan dasar tersebut
memperlihatkan prinsip dasar hubungan antara negara dan warga
masyarakat berkaitan dengan tanah. Dalam ketentuan dasar tersebut
terutama terkandung maksud untuk menghapus prinsip dasar yang dikenal
pada masa Hindia Belanda, maksudnya peran negara sebagai pemilik
seperti digunakan dalam prinsip domein verklaring. Asas domein ini tidak
dikenal dalam sendi peraturan peundang-undangan agraria di Indonesia.
Di samping karena asas domein verklaring bertentangan dengan kesadaran
hukum masyarakat dan asas ketatanegaraan, juga tidak perlu negara
merupakan pemilik tanah. Lebih tepat, jika diartikan negara sebagai
lembaga kekuasaan “menguasai” (bukan “memiliki”) tanah. Dalam Pasal
33 ayat (3) UUD NRI 1945 – kata dikuasai sesungguhnya terkandung
makna tujuan pemanfaatan sumber daya alam bagi kemakmuran rakyat.
Ini berarti penguasaan Negara terhadap sumber daya alam diperkenankan
jika dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Jika hal ini disimpangi, maka
makna yang dikembangkan oleh Negara adalah yang terkandung dalam
prinsip domeinverklaring. Tujuan pemanfaatan sumber daya alam bagi
kemakmuran rakyat merupakan suatu keharusan etis. Lihat Anang Husni,
Hukum, Birokrasi dan Budaya, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.
84.
6
menguasai dari negara tersebut. Pasal 1 UUPA menyatakan
bahwa:
”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”
Pernyataan tersebut merumuskan isi konsepsi khas
Hukum Agraria Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai
konsepsi komunalistik-religius, yang menegaskan
hubungan kepunyaan bersama rakyat/bangsa Indonesia
dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, yang bersifat perdata, tetapi
bukan hubungan pemilikan, pernyataan tersebut sekaligus
juga mengandung unsur hubungan publik. Dalam rangka
mewujudkan amanat Pembukaan UUD NRI 1945 yaitu
memajukan kesejahteraan umum, maka dilimpahkanlah
kepada Negara Republik Indonesia serangkaian
kewenangan hubungan publik tersebut, yang dirumuskan
dalam Pasal 2 UUPA, yang menegaskan sifat publik dan
sekaligus lingkup Hak Menguasai dari Negara yang
dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.14

14
Boedi Harsono, Penyerahan Kewenangan Bidang Pertanahan
Kepada Daerah Otonom Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 (Suatu
Tinjauan yuridis), Disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional “45 Tahun
UUPA” diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum
Trisakti, 21 September 2005, Jakarta, hlm. 4.
7
Mengenai hak menguasai dari negara terhadap bumi,
oleh UUPA lebih dipertegas di dalam Pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan:
”bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat
Indonesia”.
Dalam ayat (2)-nya dinyatakan, bahwa hak
menguasai dari negara meliputi kewenangan untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa Indonesia.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang
angkasa tersebut.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
Mengenai Pasal 2 UUPA tersebut di atas, A.P.
Parlindungan mengemukakan antara lain:15
”Dengan demikian negara sebagai organisasi
kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan,
kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan
(execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan
(reservation) dan pemeliharaannya (maintenance) dari
bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan
mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-
peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan
15
A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok
Agraria, Alumni, Bandung, 1990, hlm. 28.
8
dari hak menguasai dari negara tersebut. Dan kemudian
menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat
peraturan-peraturan) bagaimana seharusnya hubungan
antara orang atau badan hukum dengan bumi, air, dan
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”.
Menyitir apa yang disampaikan A.P. Parlindungan di
atas, kewenangan negara atas tanah tersebut tentunyalah
diletakkan pada wewenang membuat aturan hukum
tentang segala hal berkaitan dengan tanah. Wewenang
membuat aturan hukum merupakan kekuasaan yang selalu
melekat atau dilekatkan kepada negara atau pemerintah
(dalam hal ini pemerintah pusat).
Berdasarkan kewenangan tersebut, sepanjang yang
mengenai tanah oleh Negara telah disusun Hukum Tanah
Nasional, yang terdiri atas satu perangkat hukum
perundang-undangan, yang merupakan Hukum Tanah
Nasional yang tertulis, dilengkapi dengan ketentuan-
ketentuan hukum adat setempat yang masih berlaku, yang
merupakan bagian Hukum Tanah Nasional yang tidak
tertulis, serta lembaga-lembaga baru yang diperlukan
dalam melayani masyarakat masa kini.16

16
Op.Cit. hlm. 4-5
9
BAB II
HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH

A. Dasar Hak Menguasai Negara Atas tanah

Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum,


hubungan antara manusia Indonesia dengan tanahnya
dilakukan dan terangkum dalam ketentuan Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI 1945, yang menegaskan kebijakan dasar
mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber
daya alam yang ada, dengan kata-kata : ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”. Tetapi baik dalam batang tubuh
maupun penjelasan UUD NRI 1945, tidak terdapat
penjelasan mengenai sifat dan lingkup hak menguasai dari
negara, yang meliputi bumi dan air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Di dalam penjelasan UUD
NRI 1945 hanya diberikan penegasan, bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Menurut Lemaire, Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945
adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen
Indonesisch”17 atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia,
yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia
yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada

17
Lemaire, W.L.G., “Het Recht in Indonesia”, NV Uitgeverij,
Bandung, 1955, hlm. 120, dalam: Abdurrahman, “Tebaran Pikiran
Mengenai Hukum Agraria”, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 36
10
Negara. Dilihat dari tempatnya di dalam UUD ketentuan ini
ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini
erat hubungannya dengan usaha menciptakan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Sejalan
dengan itu, Mohammad Hatta memaknai Pasal 33 Ayat (3)
UUD NRI 1945, sebagai berikut:
“Apabila kita pelajari Pasal 33 UUD 1945, nyata-nyata
bahwa masalah yang diurusnya ialah politik perekonomian
Republik Indonesia”. Dalam bagian ke dua dan ke tiga
daripada pasal 33 UUD disebut dikuasai oleh negara.
Dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi
penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat
dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada
membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi,
peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang
lemah oleh orang yang bermodal. Negara mempunyai
kewajiban pula supaya penetapan UUD 1945, pasal 27 ayat
2 terlaksana, yaitu tiap-tiap Warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan” 18

Sehubungan dengan itu juga Mohammad Hatta


dalam “Dasar Pre-advis kepada Panitia Penyelidik Adat
Istiadat dan Tata-usaha lama” di tahun 1943, juga
mengungkapkan bahwa:
“Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang
makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan
dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk
mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik
perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang

18
Ibid, hlm. 37.
11
ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria.
Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka
hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan
tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat
umumnya”.19
Tentang rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut, Moh.
Mahfudz20 menyatakan, dari latar belakang filosofi yang
seperti itu maka politik hukum agraria (pertanahan-pen)
jika digali dari Undang-Undang Dasar 1945 sekurang-
kurangnya ada dua yang saling terkait yakni: Pertama,
Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai (dalam arti diatur
sebaik-baiknya) oleh negara; Kedua, penguasaan oleh
negara ditujukan untuk membangun kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 dikenal sebagai ideologi politik
ekonomi Indonesia [ayat (1) dan (2)], dengan “hak
19
Dalam Noer Fauzi, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan
Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial”, dalam:
Dianto Bachriadi, (editor, et-al), “Reformasi Agraria, Perubahan Politik,
Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia”, Lembaga
Penerbit FE-UI, Jakarta, 1997, hlm. 67.
20
Moh. Mahfud MD, Amandemen UUPA No.5/1960 Dalam
Perspektif Politik Hukum, Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan
Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006, hlmn. 2. Lebih lanjut
Moh. Mahfudz menyatakan bahwa sebenarnya kalau kita menyebut istilah
agraria bukan hanya menyangkut soal tanah melainkan juga menyangkut
perairan, tanah di bawah perairan, dan udara serta kekayaan-kekayaan
yang terkandung di dalamnya. Teori Venn Agraria menggambarkan
cakupan agraria itu sebagai berikut: 1. Bumi mencakup benda di atas
bumi, benda yang ditanam bumi, benda di tubuh bumi; 2. Air mencakup
perairan lautan, perairan pedalaman, bumi di bawah perairan; 3. Ruang
angkasa mencakup angkasa di atas perairan dan angkasa di atas bumi.
Tetapi sampai saat ini kita hanya menggunakan istilah agraria dalam arti
yang sempit yaitu tanah, sehingga dalam praktik sehari-hari sering
disamakan begitu saja antara tanah dan agraria.
12
menguasai negara” sebagai konsep politik hukumnya
(political legal concept). Sedangkan rumusan ayat (3)-nya
merupakan arah dan tujuan politik ekonomi Indonesia
yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.21
Perumusan Pasal 33 UUD 1945 memang merupakan
pemikiran yang brilian dari para the founding fathers kita.
Pemikiran oleh the founding fathers telah membuat
pondasi yang kokoh untuk membangun negara
kesejahteraan (welfare state)22. Pemikiran Soekarno dan
Moh Hatta ternyata memberikan bentuk demokrasi yang
akan dikembangkan tidak hanya bercorak demokrasi
politik saja tetapi juga demokrasi ekonomi yang
dituangkan dalam UUD 1945.23
Moh. Hatta memberikan bentuk negara Indonesia
dengan sebutan “Negara Pengurus”, yang dimaksudkan
adalah membangun masyarakat baru yang berdasarkan
gotong royong, usaha bersama, bercorak kekeluargaan,
yang tidak lain adalah negara kesejahteraan. Kejernihan

21
Firman Muntaqo, Karakter Politik Hukum Pertanahan Era Orde
Baru dan Era Reformasi, Badan Penerbit Undip, Semarang , 2010, hlm. 71.
22
Faham negara kesejahteraan (welfare state) membenarkan negara
ikut campur dalam segala bidang kehidupan demi menjamin kesejahteraan
warga negaranya. Negara tidak bisa lagi hanya sekedar menjadi penjaga
malam (nachtwakersstaat) yang hanya bertugas menjaga ketertiban dan
keamanan. Lihat Arief Hidayat, Bernegara itu Tidak Mudah (Dalam
Perspektif Politik dan Hukum), Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu
Hukum UNDIP Semarang, Badan Penerbit Undip, 2010, hlm.8. Lihat juga
Yos Johan Utama, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang
Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum UNDIP
Semarang, Badan Penerbit Undip, 2010, hlm. 3-4.
23
Djauhari, Politik Hukum Negara Kesejahteraan: Studi tentang
Kebijakan Regulasi dan Institusionalisasi Gagasan Kesejahteran
SosialEkonomi Masyarakat Nelayan di Jawa Tengah, Ringkasan Disertasi
Pascasrjana UII Yogyakarta, 2007, hlm. 11.
13
pemikiran Moh Hatta tersebut mengilhami lahirnya Pasal
33 UUD 1945. Di samping di Pasal 33, secara konstitusional
negara kesejahteraan Indonesia tertuang dalam
Pembukaan, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34. Dengan dasar
inilah, negara dituntut untuk bertanggungjawab dalam
pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basiic needs),
mengatasi kemiskinan dan jaminan pekerjaan bagi
rakyatnya.24
Pemikiran Negara kesejahteraan ini merupakan
penolakan atas teori Adam Smith yang berdasarkan
perumpamaan “homo economicus”,yang melahirkan sistem
liberalisme dengan bentuk “laissez faire laissez aller. 25
Pemikiran ini dipandang oleh the founding fathers tidak
sesuai dengan alam pikiran masyarakat Indonesia.
Pada saat reformasi yang salah satu agendanya
adalah mengubah UUD 1945, Keinginan untuk mengubah
Pasal 33 juga muncul. Tolak tarik pemikiran perlu dan
tidaknya Pasal 33 diamandemen di dalam maupun di luar
MPR terjadi. Pada saat itu terdapat dua pandangan yang
diametral. Pertama, menolak asas kekeluargaan yang
dianggap tidak relevan, untuk diganti dengan asas lain
misalnya “pasar berkeadilan” atau setidak-tidaknya sistem
“pasal sosial (social market economy)”. Kedua, kelompok
yang menghendaki pelestarian rumusan Pasal 33
walaupun menyetujui tambahan ayat-ayat yang
merupakan perkembangan pemikiran baru. Akhirnya,
terjadilah kompromi dan kemudian dari amandemen

24
Ibid, hlm. 12.
25
Sri Eddy Swasono, Indonesia dan Doktrin Negara Kesejahteraan
Sosial, Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Faire,
Yayasan Hatta Jakarta, 2005, hlm. 28-29.
14
tersebut menghasilkan rumusan, judul Bab XIV menjadi
“Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”,yang
sebelum diamandemen berjudul “Kesejahteraan Sosial”,
dengan menambah Pasal 33 yang semula 3 ayat menjadi 5
ayat.26
Dawan Rahardjo menyatakan bahwa perubahan
Pasal 33 UUD 1945 menunjukkan tetap berkomitmennya
Indonesia dengan bentuk Negara Kesejahteraan.
Perubahan dengan bentuk hanya penambahan 2 ayat
tersebut, sistem kesejahteraan khususnya dalam bidang
ekonomi menerima sisi positif dari sistem liberalis dan
sosialis, tetapi tetap menolak pandangan fundamentalisme
pasar (market fundamentalism).27
Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria
yang dirumuskan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Rumusan
kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian
dikenal sebagai konsep “Hak Menguasai dari Negara”
(HMN) 28 yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria terpusat pada kekuasaan yang
begitu besar pada negara.
Secara teoretik kekuasaan negara atas sumber-
sumber agraria bersumber dari rakyat yang dikenal

26
Mubyarto dalam Djauhari, Op. Cit., hal. 14-15.
27
Dalam Djauhari, Op. Cit., hal. 15.
28
Sebagaimana tersebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 frasa
yang dipakai adalah “....... dikuasai oleh negara ......”, sedangkan dalam
pasal-pasal UUPA yaitu Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 8 digunakan frasa “.....
hak menguasai dari negara...”. Dalam disertasi ini, penulis menggunakan
istilah sebagaimana dalam UUPA yaitu Hak Menguasai dari Negara yang
bisa disingkat HMN. Banyak juga para ahli yang menuliskan Hak Menguasai
Negara (HMN) tanpa kata “dari” yang hal ini pada prinsipnya
berpengertian sama dengan Hak Menguasai dari Negara.
15
dengan hak bangsa. Dalam hal ini negara dipandang
sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat
umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau
kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan
mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumber daya
agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun
tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa
Indonesia. Adapun kaitan hak penguasaan negara dengan
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melahirkan
kewajiban Negara untuk mengatur:
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil
yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang
terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai
kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara
langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang
akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai
kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam
menikmati kekayaan alam.29
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala
jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber
daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa
dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan
pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad),
tidak untuk melakukannya sendiri (eigensdaad).

29
Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konsep Penguasaan Negara
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
http://www.jurnalhukum.blogspot.com/.
16
Pembahasan mengenai makna kata-kata “dikuasai
oleh negara” secara lebih mendalam dapat didekati dengan
memahami pengertian-pengertian yang diberikan para
ahli, antara lain:
a. Mohammad Hatta, dalam bukunya “Pelaksanaan
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33” memaknai
dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri
menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih
tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat
pada membuat peraturan guna kelancaran jalan
ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan”
orang yang lemah oleh orang yang bermodal.30
b. Muhammad Yamin, baginya perkataan “dikuasai oleh
negara” tidaklah berarti dimiliki, diselenggarakan, atau
diawasi, melainkan berarti diperlakukan dengan
tindakan-tindakan yang berdasarkan pada kekuasaan
tertinggi dalam tangan negara. Selain itu, menurutnya
Pasal 33 ayat (3) melarang organisasi-organisasi yang
bersifat monopoli partikelir yang merugikan ekonomi
nasional. Walaupun “Sosialisme Indonesia” mengenal
milik swasta perseorangan (privaatbezit; privaat
eigendom) karena sesuai dengan kepribadian Indonesia
dan tidak dilarang Pasal 33.31
c. Notonagoro, adalah salah seorang konseptor dari
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok Agraria (UUPA), dan UUPA
merupakan aturan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI 1945. Notonagoro menyatakan pendapatnya
tentang kata-kata “dikuasai oleh negara” dalam tema
30
Abdurrahman, Op.cit, hlm. 37
31
Ibid, hlm. 38.
17
pokok “hak menguasai daripada negara” sebagai dasar
baru hukum agraria di Indonesia. Menurut Notonagoro
“untuk menentukan hakekat sifat hak menguasai tanah,
kita harus mendasarkan diri menurut kedudukan hak
menguasai tanah oleh negara itu dalam rangkaian
kekuasaan negara pada umumnya”. Notonagoro
mendasarkan argumentasinya ini pada pandangan Van
Vollenhoven yang menyatakan bahwa, sebenarnya hak
negara terhadap tanah ialah untuk mengatur dan
sebagainya itu, tidak lain daripada kekuasaan negara
terhadap segala sesuatu. Tanah merupakan suatu
spesmen (hal khusus), jika dalam hal ini perlu diberi
bentuk lain, maka sudah tentu tidak boleh mengurangi
dan mengubah kedudukan negara terhadap segala
sesuatu itu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa untuk
menentukan hakikat sifat hak menguasai tanah, kita
melihat kepada kekuasaan negara, yang tidak lain ialah
membangun, mengusahakan memelihara dan mengatur
hidup bersama. Khusus mengenai tanah berarti
membangun mengusahakan, memelihara dan mengatur
segala sesuatu mengenai tanah. Dengan demikian
dapatlah kita rumuskan hakikat dan sifat hak
menguasai tanah itu, ialah: “dalam membangun,
mengusahakan, memelihara dan mengatur tanah untuk
kepentingan negara kepentingan umum, kepentingan
rakyat sama dan membantu kepentingan
perseorangan”. 32

d. Sudargo Gautama dalam menafsirkan hak menguasai


negara mendasarkan argumentasinya pada pandangan

32
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di
Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 117-119.
18
yang melihat negara sebagai organisasi kekuasaan dari
seluruh rakyat (bangsa). Oleh karenanya berdasarkan
kwalitasnya itu, negara bertindak selaku Badan
Penguasa. Pikirannya ini dipararelkan dengan susunan
kata-kata dalam Pasal 33 ayat (3), yang diadopsi dalam
Pasal 2 ayat (1) UUPA “bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Dengan
adanya pendirian semacam ini tidaklah diperlukan bagi
negara untuk bekerja dengan pengertian milik, seperti
halnya dengan teori domein. Artinya istilah “dikuasai”
dalam ayat ini bukan berarti “dimiliki”. Istilah dikuasai
ini berarti bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan
daripada bangsa Indonesia, diberikan wewenang untuk
mengatur sesuatu yang berkenaan dengan tanah. 33
Kata dikuasai atau menguasai oleh negara di sini
tidak bisa diartikan bahwa negara langsung menjadi
pemilik atas semua sumber daya alam. Menguasai di dalam
hukum diartikan “mengatur”. Sebab hak milik perorangan
tetaplah diakui sebagaimana digariskan di dalam Pasal 28H
ayat (4) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.” Memang untuk mengimbangi itu ada ketentuan
Pasal 33 tentang hak menguasai oleh negara yang
memungkinkan negara melakukan pencabutan hak atas
tanah untuk kepentingan umum. Tapi dua ketentuan
tersebut tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus

33
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria.
Alumni, Bandung, 1973, hlm. 47-48.
19
dilihat sebagai hubungan umum dan khusus. Secara umum
orang boleh memiliki hak milik, tetapi dalam keadaan
khusus (untuk kepentingan umum), maka hak milik itu bisa
diambil oleh negara dengan cara yang tidak sewenang-
wenang.34
Keberadaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih
dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 dalam
Lembaran Negara 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara 2043, lebih mempertegas makna politik hukum
pertanahan yang diatur di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD
NRI 1945.
Di dalam UUPA dapat diketemukan bahwa hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak bangsa.
Hal ini bisa kita simpulkan berdasarkan ketentuan Pasal 1
ayat (1), (2) dan (3) yang menyatakan:
(1) seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu
sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah republic Indonesia sebagai Karunia Tuhan
Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi,
air dan ruang angkasa termasud dalam ayat (2) Pasal
ini adalah hubungan yang bersifat pribadi.
Hak bangsa sebenarnya adalah sebutan yang
diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah. Hak ini

34
M. Mahfudz MD, 2006, Op.Cit., hlm .3.
20
merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi
dalam hukum tanah nasional. Hak-hak penguasaan atas
tanah yang lain, secara langsung atau tidak langsung
bersumber padanya. Hak bangsa mengandung 2 unsur,
yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk
mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan
tanah-tanah bersama yang dipunyainya. Hak bangsa atas
tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam
pengertian yuridis. Dalam hak bangsa ada hak milik
perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur
penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama
tersebut pelaksanaanya dilimpahkan kepada negara. 35
Selanjutnya mengenai hak bangsa ini dapat dilihat
dalam penjelasan umum UUPA yang mengatakan:
“Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah republik
Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh
bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari
bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi
hak dari para pemikik saja. Demikian pula tanah-
tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidaklah
semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah dan
pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian
demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan
semacam hubungan hak ulayat, yang diangkat pada
tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang
mengenai seluruh wilayah negara.”

35
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum
Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta., 2003, hlm 269-270.
21
Pernyataan bahwa hak bangsa adalah semacam Hak
Ulayat berarti, bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah
Nasional, hak tersebut merupakan hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan
hak-hak individual atas tanah yang dimaksudkan oleh
penjelasan umum di atas, secara langsung ataupun tidak
langsung, semuanya bersumber pada hak bangsa. Dengan
demikian tidak ada sejengkal tanahpun di negara kita yang
merupakan apa yang disebut res nullius (tanah yang tidak
bertuan).36
Penjelasan Umum II menyatakan:
”Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang
bersifat abadi. Ini berarti, bahwa selama rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia
masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang
bagaimanapun, tidak ada suatu kekuasaan yang akan
dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut. Dengan demikian, maka biarpun sekarang
ini (tahun 1960 -pen.) daerah Irian Barat, yang
merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia, berada dibawah kekuasaan penjajah, atas
dasar ketentuan pasal ini, bagian tersebut menurut
hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia.”
Hubungan yang bersifat abadi berarti hubungan
yang akan berlangsung tiada terputus-putus untuk selama-

36
Boedi Harsono, Ibid, hlm. 267
22
lamanya. Dari penjelasan arti ketentuan ayat 3 tersebut
ternyata,bahwa UUPA pun memberikan dasar falsafah bagi
perjuangan mengembalikan Irian barat, sekarang papua, ke
dalam pangkuan ibu pertiwi. Kita ketahui, bahwa papua
telah kembali ke dalam wilayah Republik Indonesia
berdasarkan New York Agreement tanggal 15 Agustus
1962.
Bahwa tanah bersama dalam Pasal 1 ayat (2)
dinyatakan sebagai “kekayaan Nasional” menunjukkan
adanya unsur keperdataan, yaitu hubungan kepunyaan
antara bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut.
Hubungan kepunyaan menurut artinya yang asli memberi
wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai empunya,
artinya sebagai tuannya. Hubungan kepunyaan bisa
merupakan kepemilikan, tetapi tidaklah selalu demikian.
Sebagaimana halnya dengan hak ulayat, hubungan
kepunyaan hak bangsa juga bukan hubungan kepemilikan.
Dalam rangka hak bangsa orang perorang dapat dapat
menguasai tanah dengan hak milik, hak guna bangunan,
hak guna usaha ataupun hak pakai. Hal ini tidak mungkin
terjadi apabila hubungan antara Bangsa Indonesia dengan
tanah bersama tersebut merupakan hubungan
kepemilikan.37
Hak bangsa juga mempunyai dimensi hukum lain
yaitu hukum Publik. Unsur hukum publik ini diwujudkan
dalam pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia
berupa mengatur dan memimpin penguasaan dan
penggunaan tanah-tanah bersama tersebut yang menurut
sifatnya termasuk bidang hukum publik.

37
Ibid., hlm. 232
23
Tugas kewajiban tersebut, yang menurut sifatnya
termasuk bidang hukum publik, tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia. Maka
penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia, sebagai
pemegang hak dan dan pengemban amanah tersebut, pada
tingkatan yang tertinggi dikuasakan kepada Negara
Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat. Jelas kiranya, bahwa dalam hubungan dengan bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, selaku organisasi kekuasaan
seluruh rakyat, Negara bertindak dalam kedudukannya
sebagai kuasa dan Petugas Bangsa Indonesia. Dalam
melaksanakan tugas tersebut ia merupakan organisasi
kekuasaan rakyat yang tertinggi. Yang terlibat (mewakili)
sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya penguasa
legislatif dan eksekutif saja, tetapi juga penguasa
yudikatif.38
Selanjutnya mengenai hak menguasai dari negara
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa Indonesia.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang
angkasa tersebut.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
Adanya rincian kewenangan mengatur, menentukan
dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam Pasal 2
ayat (2) tersebut oleh UUPA diberikan suatu interpretasi

38
Ibid., Hlm 233.
24
otentik mengenai hak menguasai dari negara yang
dimaksudkan oleh UUD 1945, sebagai hubungan publik
semata-mata. Dengan demikian tidak ada lagi tafsiran lain
mengenai pengertian dikuasai dalam Pasal UUD tersebut. 39
Moh. Mahfud menyatakan, istilah menguasai di sini
bukan berarti menjadi pemilik langsung, melainkan
mengatur bagaimana terjadinya hak milik dan bagaimana
cara mengubah hak milik itu menjadi hak lain bagi pihak
lain atau bagi kepentingan umum atau bagaimana
hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam. 40 Abbrar Salleng 41
menyatakan dikuasai oleh negara tidak sama dengan
dimiliki negara. Ini bertalian dengan atau suatu bentuk
reaksi dari sistem atau konsep domein yang dipergunakan
pada masa kolonial Belanda. Konsep ini lebih dikenal
dengan asas domein, mengandung pengertian kepemilikan
(ownership) dan bersifat privaatrechtelijk. Negara adalah
pemilik atas tanah, karena itu memiliki segala kewenangan
melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan
(eingensdaad).42

39
Ibid., hlmn 234.
40
Moh. Mahfud, Op. Cit., hlmn 3.
41
Abbrar Saleng, Sinkronisasi dan Fungsionalisasi Hak atas
sumber Daya Pertambangan dalam Amandemen UUPA No. 5/1960.
Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama
Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yohyakarta, 24
Maret 2006, hlmn. 2. Dalam penjelasan umum UUPA ditegaskan bahwa
negara tidak memiliki, melainkan sebagai pemegang
42
Dalam penjelasan umum UUPA ditegaskan bahwa negara tidak
memiliki, melainkan sebagai pemegang kekuasaan, jadi bersifat
publiekrechtelijk atau bersifat pelaksanaan fungsi pemerintahan belaka
(bestuursdaad).
25
Pendapat senada tentang Hak Menguasai Negara
(HMN) tetapi dari sudut pandang berbeda disampaikan
oleh Noer Fauzi. Dia menyatakan tidak ada konsepsi politik
hukum keagrarian yang paling berpengaruh dewasa ini se-
berpengaruh HMN. HMN adalah hak tertinggi yang
dikenakan terhadap tanah melebihi apapun juga. HMN ini
secara definitif dibatasi oleh keharusan etis: ”sebesar-besar
kemakmuran rakyat”, dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur. HMN adalah suatu konsep politik hukum yang
mengasumsikan bahwa pemegang kekuasaan negara
kesatuan berwatak budiman. Perumus UUPA percaya
bahwa negara adalah organisasi penyelenggara kekuasaan
rakyat yang akan bekerja untuk ”sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Tidak pernah terbayangkan oleh
pembuat UUPA bahwa penyelenggara negara dapat
mengingkari etik ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”.43

B. Kekhawatiran Pergeseran Makna HMN atas tanah


Persoalan yang sering muncul adalah bergesernya
penggunaan hak menguasai negara yang berintikan
”mengatur” dalam kerangka populisme menjadi ”memiliki”
dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan. Moh. Mahfudz dengan meminjam istilah
44

43
Noer Fauzi, Kadilan Agraria di Masa Transisi, dalam Prinsip-
prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan kemakmuran rakyat,
Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlmn. 154.
44
Moh Mahfudz, Op.Cit., hlmn. 3-4
26
Sudijono45 menengarai pemiskinan petani terjadi karena
pemerintah keluar dari design ideologis UUPA yang
populisme menjadi liberal-individualisme.
Kritik tajam terhadap implementasi HMN
dikemukakan oleh Noer Fauzi. Dalam prakteknya,
kedudukan negara yang dominan tersebut, telah
dmanfaatkan oleh pemerintahan dan pengusaha kroninya
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk
usaha-usaha peningkatan produktifitas. Hal itu dilakukan
tanpa memberi rakyat peran yang memadai untuk
berpartisipasi dalam penguasaan, peruntukan, pengelolaan
dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta
menikmati hasilnya. 46 Sebagai sebuah konsep politik
hukum (politico-legal concept), HMN justru dinilai telah
menyumbangkan kontribusi yang signifikan terhadap
meningkatnya sengketa tanah di Indonesia. HMN dianggap
lebih menonjolkan kepentingan negara dan menegasikan
hak-hak rakyat.47
Terhadap kekhawatiran penyalahgunaan HMN di
atas, Abbrar Saleng 48 menyatakan, apabila terjadi
pergeseran bestuursdaad menjadi eigensdaad, maka tidak
akan ada jaminan bagi tujuan dipergunakan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pemahaman
ini betapa essensialnya untuk selalu mengukur
pelaksanaan atau penyelenggaraan hak menguasai negara

45
Sudijono Sastroatmodjo, Analisis Sosio-yuridis tentang Pengaruh
Pemikikan dan Penguasaan Obyek Landreform terhadap Kemiskinan
Petani diKabupaten Pacitan,Disertasi di Universitas Diponegoro, 2005.
46
Noer Fauzi, Op.Cit., hlmn. 142
47
Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep
Pemilikan Tanah oleh Negara, Insist, Yogyakarta:, 2002, hlm. xxiii.
48
Abbrar Saleng, Op.Cit.,, hlm. 3
27
dengan tujuan mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Pasal 2 UUPA ini merupakan pasal krusial yang
menjadi asas hukum49 tanah nasional. Selain krusial, pasal
ini juga pasal paling ‘bermasalah’ setiap kali
diimplementasikan dalam bentuk peraturan maupun
kebijakan. Tafsir otentik—seperti yang dikatakan Boedi
Harsono—boleh jadi benar pada tingkat peraturan undang-
undang. Hal itu dapat dibuktikan dari minimnya kritik dari
banyak kalangan terhadap substansi asas HMN ini. Namun
bila ‘ditafsirkan’ lagi oleh pemerintah dalam peraturan
pelaksanaan maupun peraturan-peraturan lainnya, maka
tafsir itu tidak lagi otentik. Otentisitasnya dipertanyakan
karena begitu banyak kritik atau sikap pro dan kontra yang
terjadi di masyarakat.50 Dengan demikian, baik buruknya

49
Yang dimaksud asas hukum, menurut Bellefroid adalah norma
dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Menurut Kelsen, norma dasar
dari dari suatu tata hukum positif tidak lain (adalah) peraturan
fundamental menurut peraturan mana berbagai norma dari tata hukum
positif itu harus dibuat. Lihat Moempoeni M.M., “Implementasi Asas-asas
Hukum Tata Negara Menuju Perwujudan Ius Constituendum di Indonesia”,
dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Semarang: UNDIP, 2003), h. 4-5.
Asas hukum dapat disebut pula “jantungnya” peraturan hukum, karena ia
merupakan landasan bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Selain itu, asas
hukum merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Oleh karena itu, asas
hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan
cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Lihat Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 45-6.
50
Lihat pro kontra tentang Peraturan Presiden (Perpres) No. 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum yang lahir tanggal 3 Mei 2005, kemudian
diganti dengan Perpres No. 65 tahun 2006 yang terekam oleh media
massa. Perpres yang terbit di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan
wakilnya M. Yusuf Kalla, merupakan ‘tafsir’ atas ketentuan pasal 2 UUPA.
Bandingkan tafsir pasal 2 UUPA atas pasal 33 UUD dengan tafsir Perpres
36/ 2005 atas pasal 2 UUPA.
28
pelaksanaan kewenangan Negara dalam soal tanah sangat
tergantung dengan watak rezim pemerintahan yang sedang
berkuasa. Pemerintahan yang demokratis akan menjamin
keadilan, kepastian hukum dan pemanfataan tanah
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebaliknya
pemerintahan yang otoriter akan memperburuk
pelaksanaan UUPA yang hanya menguntungkan sebagian
kecil rakyat.
Dalam prinsip “negara menguasai”, negara tidak
dapat mensubordinasikan masyarakat. Negara justru harus
amanah mengemban kuasa dari masyarakat. Kewenangan
mengatur oleh Negara dibatasi UUD maupun relevansinya
dengan tujuan yang hendak dicapai. 51 Persoalan yang
sering muncul adalah bergesernya penggunaan hak
menguasai yang berintikan ‘mengatur’ dalam kerangka
populisme menjadi ‘memiliki’ dalam rangka pragmatisme
untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada pertumbuhan. Dalam istilah
Sudijono, pemiskinan petani terjadi karena pemerintah
keluar dari design ideologis UUPA yang populisme menjadi
liberal-individualisme.52 Disinilah pentingnya peran serta
masyarakat untuk mengawasi dan kesadaran hukum
pemerintah dan pemilik modal untuk arif memanfaatkan
wewenang dan kekuatan yang dimiliki.
Perkembangan yang harus dicermati dengan HMN
adalah berkaitan dengan perubahan ke empat UUD 1945
(2002) khususnya mengenai Pasal 33. Pasal 33 UUD 1945
telah mengalami pengembangan makna dari yang

51
Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara
Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 47.
52
Lihat Sudijono Sastroatmodjo, Op. Cit.
29
sebelumnya, walaupun tidak merubah tiga ayat yang asli,
penambahan dua ayat terakhir pada Pasal 33 berimplikasi
pada perubahan makna Pasal 33 secara keseluruhan.
Belum lagi masalah Penjelasan dari UUD 1945 yang tidak
lagi menjadi Penjelasan Otentik.

C. Pemaknaan Mahkamah Konstitusi Tentang HMN

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang


berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, juga berfungsi mengawal konstitusi (the
guardian of costitution) agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
samping untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
negara yang stabil, juga merupakan koreksi terhadap
pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Disebabkan tidak adanya lagi penjelasan otentik
terhadap UUD 1945, mengharuskan Mahkamah Konstitusi
berperan untuk menafsirkan UUD 1945 apabila munculnya
pertentangan norma antara undang-undang dengan UUD
1945. Dalam salah satu putusannya Mahkamah Konstitusi
telah memberikan pengertian atau makna dari kalimat
“dikuasai oleh negara”, sebagai berikut:
“Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33
UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi
atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi
hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara
merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan
dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam
UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik)

30
maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam
paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui
sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara,
sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi
tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik
oleh rakyat secara kolektif. …Rakyat secara kolektif itu
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)
dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi
pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan
oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(concessie). Fungsi pengaturan oleh negara
(regelendaad) dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan
regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi
pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan
melalui mana negara c.q. Pemerintah
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi
pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad)

31
dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang
penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat53.
Perlu dicermati kembali dari putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas yang menyatakan, bahwa
pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD NRI
1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih
luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata
(konsepsi eigendom-pen), …”. Pendapat dari Mahkamah
Konstitusi tersebut, telah mempersamakan pengertian
negara dengan bangsa. Pemaknaan yang demikian adalah
keliru, walaupun ada konsep negara bangsa, sebab
sejatinya pengertian negara tidak sama dengan pengertian
bangsa. Negara itu sendiri adalah organisasi kekuasaan
yang dibentuk oleh bangsa agar tujuan berbangsa dapat
dicapai. Selain itu, konsep eigendom tidak lahir dari
struktur masyarakat yang komunalis, tetapi lahir dari
masyarakat dengan tatatan individualis, liberalis, dan
materialis.54
Dilihat dari sudut sejarah, negara adalah produk
budaya dari bangsa, dengan demikian, tidak secara

53
Mahkamah Konstitusi, Pertimbangan Hukum, putusan uji materi
UU No.20 /2003 tentang Ketenagalistrikan, Nomor 001-021-022/PUU-
I/2003 hlm. 332-334. Pemaknaan HMN dengan penafsiran yang sama juga
terjadi pada putusan uji materi UU No.22 /2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, perkara Nomor 002/PUU-I/2003, dan putusan Uji materi UU No.7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004.
54
Firman Muntaqo, Op. Cit., hlm. 76-77
32
otomatis hak-hak bangsa beralih menjadi hak negara.
Dalam teori kenegaraan dikenal teori kontrak sosial yang
terdiri dari perjanjian umum (volente de generalle) dan
perjanjian khusus (volente de tous). Pada volente de
generalle, perjanjian dibuat berbentuk perjanjian antar
sesama (rakyat) untuk membentuk negara yang didasari
persamaan nasib, pandangan hidup, dan tujuan hidup yaitu
untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan,
sedangkan volente de tous adalah perjanjian yang berisikan
seberapa besar kedaulatan/kekuasaan yang ada pada
rakyat akan diserahkan kepada negara agar pemerintah
sebagai organ negara dapat menyelenggarakan
kewajibannya untuk mencapai tujuan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian, karakter dan budaya
masyarakat yang membentuk bangsa yang bersifat khas
yang menjadi dasar pengaturan kehidupan sosialnya yang
lebih dikenal dengan Peculiar form of social life adalah
faktor signifikan yang menentukan bagaimana cara,
seberapa besar, dan dalam hal apa kedaulatan yang ada
dimandatkan/dikuasakan untuk dilaksananakan oleh
negara melalui pemerintah (dalam arti luas) sebagai
organnya.55
Karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara
sosio-yuridis tidaklah hapus akibat dibentuknya negara
dan pemerintah yang bernama Indonesia56. Konsepsi yang

55
Ibid, hlm 78
56
Ketentuan Pasal 18B UUD NRI 1945: (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
33
berhubungan dengan hak-hak agraria, termasuk hak atas
tanah, dengan demikian bersumber pada hukum yang
hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan Indonesia
(sebagai peculiar form of social life). Tatanan tersebut tidak
mengenal konsepsi eigendom, namun mengenal konsepsi
komunal yang dikenal dengan hak ulayat/hak ulaya, atau
dengan sebutan lain.
Benar bahwa negara adalah organisasi seluruh rakyat
Indonesia, namun tidak berarti bahwa negara memperoleh
seluruh asset yang dimiliki Bangsa Indonesia, karena
negara hanya merupakan salah satu unsur dari bangsa.
Konsep hak ulayat lebih tepat digunakan untuk menjadi
acuan penafsiran bagi Hak Menguasai Negara,
dibandingkan dengan hak eigendom. Faham individualis
yang menghasilkan konsep eigendom menempatkan
negara dan rakyat pada dua posisi yang berhadapan
dengan kedudukan yang sama, oleh karena itu lahir konsep
“Staatdomein” untuk eigendom yang dimiliki oleh negara,
dan konsep “eigendom” untuk hak yang dapat dimiliki oleh
individu/rakyat. Dengan demikian, menggunakan konsep
eigendom sebagai acuan untuk menafsirkan makna Hak
Menguasai Negara adalah tidak tepat, dengan alasan: 57
a. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya eigendom yaitu
faham individualis, liberalis, dan materialis, tidak
sesuai dengan faham yang dianut Bangsa Indonesia,
yaitu manusia sebagai mahkluk mono-dualis,
komunal, dan gotong royong, serta magisch religius.
b. (Perlu ada ditegaskan) negara hanya berkedudukan
sebagai lembaga yang memperoleh mandat untuk

57
Firman Muntaqo, Op.Cit. hlm 79-80
34
menguasai pada tingkatan tertinggi, namun tidak
berkedudukan sebagai pemilik. Oleh karena itu,
pemberian suatu hak atas agraria oleh
negara/pemerintah kepada subjek hukum tertentu,
harus dimaknakan sebagai pelaksanaan peran
negara/pemerintah sebagai penerima/pemegang
kuasa dari bangsa sebagai pemilik agraria, untuk
memberikan suatu hak kepada subjek hukum
tertentu.
c. Menafsirkan menguasai negara sebagai lembaga
hukum yang lebih tinggi dari eigendom adalah
bersifat destruktif, terlebih apabila yang berkuasa
adalah rezim kapitalis.
Walaupun harus diakui, bahwa konsep “Hak
Menguasai Negara” mengacu pada pemikiran bahwa
negara/pemerintahan diselenggarakan oleh rezim yang
populis, atau dalam bahasa Kuntowijoyo “negara budiman”.
Namun, tidak pernah dapat dipastikan bahwa rezim yang
muncul dan berkuasa untuk melaksanakan pemerintahan
adalah rezim populis. Jika konsep HMN diterapkan
dibawah rezim yang populis, maka penguasaan negara atas
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat berkemungkinan akan dilakukan. Tetapi jika
penyelenggara pemerintah dibawah rezim yang
kapitalistik, maka penguasaan oleh negara akan
didistribusikan kepada segelintir orang yang kuat secara
ekonomi maupun politik, sehingga sangat potensial
mempengaruhi rumusan berbagai peraturan perundang-

35
undangan.58 Kondisi demikian dapat mengakibatkan atau
memungkinkan berbagai peraturan perundang-undangan
yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari konstitusi,
dalam hal ini Pasal 33 UUD 1945, terutama peraturan
perundang-undangan di bidang agraria/pertanahan,
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Berdasarkan apa yang terurai di atas, maka dapat
dijabarkan dinamika politik hukum hak menguasai negara
khususnya yang berkaitan dengan tanah seperti yang
tampak pada matrik di halaman berikut.

58
Roem Topatimasang menyatakan perbedaan semantik panjang
terhadap tafsir kata-kata “dikuasai” menjadi sama sekali tak bermakna,
bahwa –apapun yang dikatakan oleh para pakar dan pengamat --tetap saja
pemerintah yang memiliki kekuasaan pamungkas mutlak untuk
menafsirkan semua dokumen hukum resmi sesuai dengan kepentingan
pemerintah sendiri. Dalam kenyataannya, bukan naskah konstitusi itu
(Pasal 33 ayat [3] UUD 1945-pen), tetapi hampir semua perangkat
perundang-undangan dan peraturan yang berada di bawahnya –seperti
peraturan pemerintah pelaksanaan undang-undang, keputusan atau
instruksi presiden, keputusan menteri, peraturan daerah dan seterusnya—
yang justru sangat menentukan dalam seluruh tatanan kehidupan politik,
ekonomi, budaya dan sosial di negara otoriter bernama Indonesia ini,
paling tidak selama 30 tahun rezim militer orde baru, dalam Ton Dietz,
2005, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam, Kontur Geografi Lingkungan
Politik, INSISTPress, Yogyakarta, hlm. 122.
36
Dinamika Politik Hukum HMN

No Ihwal UUD 1945 UUPA Penafsiran MK


.
Ps. 33 (3)

1. Sumber Pelimpaha Pelimpahan tugas Pelimpahan tugas


n tugas kewenangan bangsa dari rakyat sebagai
kewenang pemilik dan
an bangsa sekaligus pemegang
kekuasaan tertinggi
dalam kehidupan
bernegara

2. Subyek Negara Negara (sebagai Negara (diberi


organisasi kekuasaan mandat oleh rakyat)
seluruh rakyat) yg
selanjutnya menjadi
tugas pemerintah pusat,
bisa dilimpahkan dlm
bentuk medebewind
kepada pemerintahan
daerah

3. Tujuan Sebesar- Sebesar-besar Sebesar-besar


besar kemakmuran rakyat kemakmuran rakyat
kemakmur dalam arti kebangsaan,
an rakyat kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yg
merdeka, berdaulat, adil
dan makmur

4. Substan Bumi, air Negara berwenang: Negara mengadakan


si dan kebijakan
a. mengatur dan
kekayaan (beleidaad),
menyelenggarakan
alam yg tindakan
peruntukan,
terkandun pengurusan
pengunaan, persediaan
g di (bestuursdaad),
dan pemeliharaan
dalamnya pengaturan

37
dikuasai bumi, air dan ruang (regelendaad),
oleh angkasa; pengelolaan
negara (beheersdaad) dan
b. menentukan dan
pengawasan
mengatur hubungan-
(toezichthoudensdaa
hubungan hukum
d) terhadap bumi,
antara orang-orang
air dan kekayaan
dengan bumi, air dan
alam yg terkandung
ruang angkasa;
di dalamnya
c. menentukan dan
mengatur hubungan-
hubungan hukum
antara orang-orang
dan perbuatan-
perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.

5. Dimensi Publickrec Publickrechtelijk Publickrechtelijk


htelijk

38
BAB III
PELIMPAHAN HAK MENGUASAI
NEGARA ATAS TANAH

A. HMN Atas Tanah Tugas Pemerintah Pusat

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


1945 (UUD NRI 1945) Pasal 33 ayat (3) menegaskan
kebijakan dasar mengenai penguasaan dan penggunaan
sumber-sumber daya alam yang ada, dengan kata-kata :
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Implementasi
daripada Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 di bidang
keagrariaan (pertanahan-pen) ialah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria yang biasa disingkat UUPA.59
Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 ini kemudian
menjadi landasan berpijak dari konsepsi politik hukum
agraria (politico-legal concept) yaitu, Hak Menguasai
Negara (HMN). Hak ini dirumuskan secara formal dalam
Pasal 2 UUPA, yang memberi wewenang Negara untuk: (a)

59
UUD 1945 sebagaimana terlihat dari Pasal 33 ayat (3) setelah
ditambah dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA sebenarnya mengikuti
arti agraria berdasarkan teori Venn. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan
menggunakan rumusan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya ....”, sedangkan Pasal 2 ayat (1) UUPA menyebut: “bumi, air,
kekayaan alam, dan ruang angkasa......”. Teori Venn agraria
menggambarkan cakupan agraria terdiri dari: (1) Bumi mencakup benda di
atas bumi, benda yang ditanam di bumi, dan benda ditubuh bumi; (2) Air
mencakup perairan lautan, perairan pedalaman, bumi di bawah perairan;
dan (3) Ruang angkasa mencakup angkasa di atas perairan dan angkasa di
atas bumi. Lihat M. Mahfud MD, Op. Cit. Hlm.2.
39
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air,
dan ruang angkasa, (c) menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa. Hak menguasai daripada negara inilah yang
menjadi hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah,
melebihi hak apapun juga. Secara sosiologis HMN
memberikan kewenangan yang demikian luas kepada
pemerintah dalam hal penguasaan tanah.
Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya” merupakan cita-cita
ideal yang menempatkan negara sebagai sentral yang
mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk
kemakmuran rakyat. Untuk mencapai cita-cita ini
prasyaratnya adalah adanya sebuah negara yang kuat,
karena (negara-pen) akan menjadi pusat dari segala hal,
paling tidak dalam hal ini persoalan keagrariaan. 60
Ide politik hukum hak menguasai daripada negara
di dalam UUPA, beranjak dari Prasaran Seksi Agraria
Universitas Gadjah Mada pada Seminar Agraria dari
Kementrian Agraria di Tretes bulan November tahun 1958.
Intinya Badan Pembuat undang-undang meminta saran
dari akademisi mengenai dasar-dasar filosofis yang
membenarkan kekuasaan negara atas sumber-sumber
60
.Noer Fauzi & Dianto Bachriadi, “Hak Menguasai dari Negara
(HMN) Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan”, dalam: “Usulan Revisi
UUPA 1960;”Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber
Agraria”, KRHN & KPA, Jakarta, 1998, hlm. 214.

40
agraria di seluruh wilayah negeri ini, yang dirumuskan
dalam Bagian B angka 32 berikut ini:
“B. Hak Menguasai Tanah dari Negara. Dalam
mengadakan hubungan langsung antara negara dengan
tanah, dapat dipilih tiga kemungkinan:
1. Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan
perseorangan, sehingga dengan demikian hubungan
antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privaat
rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah
hak dominium.
2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai
perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan
kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak
negara adalah hak dominium juga dan disamping itu
dapat juga digunakan istilah hak publique.
3. Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai
perseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan,
akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat
seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak
lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri,
menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan
rakyat.
Apabila demikian, maka hak negara dapat berupa;
a. hak kommunes, kalau negara sebagai personafikasi
yang memegang kekuasaan atas tanah, dan;
b. hak emperium, apabila memegang kekuasaan tentang
pemakaiannya tanah saja”.
Tersebut No. 3 negara sebagai personafikasi rakyat
bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau

41
dari sudut perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk
sosial juga dengan sifat perseorangan yang merupakan
kesatuan daripada individu-individunya. 61
Konsep inilah yang kemudian menjadi prinsip dari
politik hukum UUPA. Jika ditelaah lebih mendalam,
konsepsi negara menguasai ini, mengasumsikan “negara
berdiri di atas kepentingan semua golongan”62 atau dalam
istilah Kuntowijoyo “Negara Budiman”. Padahal, pada
kenyataannya tidak demikian, karena negara merupakan
organisasi kekuasaan yang sarat dengan sejumlah
kepentingan kelompok atau individu yang
mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan
negara.63
Apa yang disebut sebagai dikuasai oleh Negara
sejak dari pasal awal UUPA dijelaskan secara otentik yaitu
dalam Pasal 1 UUPA yang menyatakan bahwa:
”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,

61
Iman Soetiknjo, “Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi
Agraria Universitas Gadjah Mada”, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1987, hlm. 37-38.
62
Paham ini sangat dipengaruhi oleh teori integralistik dari Spinoza,
Adam Muller, Hegel dan lain-lain yang berpendapat bahwa, negara bukan
dimaksudkan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan
tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu
kesatuan. Lebih lanjut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang
integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan
erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis.
Yang terpenting ialah dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral
ialah penghidupan bangsa seluruhnya (dalam: Moh. Mahfud MD, 2001,
“Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia” (Edisi Revisi), Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 34-35.
63
Firman Muntaqo, Op..Cit. hlm. 36.
42
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.”
Pernyataan tersebut merumuskan isi konsepsi khas
Hukum Agraria Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai
konsepsi komunalistik-religius, yang menegaskan hubungan
kepunyaan bersama rakyat/bangsa Indonesia dengan
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, yang bersifat perdata, tetapi
bukan hubungan pemilikan, pernyataan tersebut sekaligus
juga mengandung unsur hubungan publik. Dalam rangka
mewujudkan amanat Pembukaan UUD NRI 1945 yaitu
memajukan kesejahteraan umum, maka dilimpahkanlah
kepada Negara Republik Indonesia serangkaian
kewenangan hubungan publik tersebut, yang dirumuskan
dalam Pasal 2 UUPA, yang menegaskan sifat publik dan
sekaligus lingkup Hak Menguasai dari Negara yang
dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.64
Mengenai hak menguasai dari negara terhadap
bumi, oleh UUPA lebih dipertegas interpretasi otentiknya
di dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:
”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi seluruh rakyat Indonesia”.

64
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 4
43
Dalam ayat (2)-nya dinyatakan, bahwa hak
menguasai dari negara meliputi kewenangan untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa Indonesia.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa tersebut.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa tersebut.
Untuk lebih menekankan HMN bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945, maka
dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA dinyatakan wewenang yang
bersumber pada HMN sebagaimana tersebut dalam Pasal 2
ayat (2) UUPA digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil
dan makmur.
Dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA dinyatakan: Soal
agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan
tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 UUPA tersebut
menunjukkan yang melaksanakan HMN atas tanah adalah
Pemerintah Pusat sebagai petugas Negara Republik
Indonesia. Sementara negara berfungsi sebagai subyek
atau pemegang HMN atas tanah yang merupakan
organisasi keseluruhan seluruh rakyat dan bangsa

44
Indonesia. Pemerintah (Pusat) dalam menjalankan tugas
pelaksanaan wewenang HMN atas tanah dengan sendirinya
sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2
UUPA dalam rangka untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil
dan makmur.

B. Pelimpahan HMN Atas Tanah Kepada


Pemerintahan Daerah & Masyarakat Hukum Adat
Dalam Pasal 2 ayat (4) dinyatakan bahwa :
”Hak Menguasai dari Negara tersebut pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”
Berdasarkan Ketentuan Pasal 2 ayat (4) tersebut
maka wewenang pemerintahan di bidang pertanahan
dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintahan
Daerah (dalam bahasa UUPA pada saat diundangkan
disebut Daerah Swatantra). Kedudukan Pemerintahan
Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan
negara yang tidak bersifat asli karena diberikan
(dilimpahi) wewenang untuk itu oleh Pemerintah Pusat.
Oleh karena itu Pemerintahan Daerah harus bertindak atas
dasar taat asas terhadap ketentuan normatif
ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Pelimpahan
wewenang di bidang pertanahan tersebut sepenuhnya
terserah kepada Pemerintah Pusat yang menentukan

45
seberapa besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut
diserahkan kepada daerah atau masyarakat hukum adat.65
Mengenai bentuknya bagaimana pemberian
kewenangan di bidang pertanahan kepada Pemerintahan
Daerah dpat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4)
UUPA yang menyatakan, bahwa:
”Ketentuan ayat (4) adalah bersangkutan dengan asas
otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan
pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (Pasal 33
ayat (3) Undang Undang Dasar). Dengan demikian maka
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan Hak
Menguasai dari Negara atas tanah merupakan
medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan
menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang
dalam bidang agraria merupakan sumber keuangan bagi
daerah itu”.
Dari apa yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 2
ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwa UUPA
menentukan kewenangan untuk menguasai dari negara
terhadap tanah kepada pemerintahan daerah (dalam UUPA
menggunakan istilah daerah swatantra) hanyalah dalam
bentuk medebewind atau tugas pembantuan.
Jika argumentasi didasarkan pada Pasal 2 ayat (4),
maka persoalan agraria merupakan tugas pemerintah
pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah
merupakan medebewind. Berdasarkan penafsiran otentik

65
Suriansyah Murhaini, Op. Cit., hlm. 33.
46
(authentieke atau officiele interpretatie) atau sesuai dengan
tafsir yang dinyatakan dalam undang-undang itu sendiri,
maka Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan; bahwa
wewenang agraria dalam sistem UUPA ada pada
pemerintahan pusat, dan pemerintahan daerah tidak boleh
melakukan tindakan-tindakan di bidang agraria jika tidak
ditunjuk ataupun dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah pusat (asas medebewind).66
Namun, menurut Firman Muntaqo 67 jika
argumentasinya didasarkan pada Pasal 14 UUPA, maka
pengertian pelimpahan wewenang untuk melaksanakan
hak penguasaan negara atas tanah menurut Pasal 2 ayat
(4) di atas menjadi berbeda, karena Pasal 14 secara
eksplisit memerintahkan otonomisasi di bidang agraria.
Selengkapnya bunyi Pasal 14 UUPA adalah sebagai
berikut:
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2
ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1)
dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia,
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa;
c.untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat,
sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
66
Firman Muntaqo, Op.Cit. hlm. 83
67
Firman Muntaqo, Loc. Cit
47
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi
pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1)
pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang
bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta
ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan
keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat
pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden,
Daerah Tingkat II dari Gubernur/Kepala Daerah yang
bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari
Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 14 UUPA sebagaimana dikutip di
atas, pemerintah pusat mempunyai kewenangan membuat
suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sedangkan
pemerintah daerah, berdasarkan rencana umum tersebut
berwenang mengatur persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk
daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Berdasarkan memori penjelasan UUPA, disebutkan
bahwa untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa
dan Negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu
rencana ("planning") mengenai peruntukan, penggunaan
dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk
48
pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: rencana
umum ("national planning") yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-
rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah.
Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat
dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat
membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan
rakyat. Selanjutnya, mengingat akan corak perekonomian
negara di kemudian hari dimana industri dan
pertambangan menjadi penting, maka di samping
perencanaan pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan
untuk industri dan pertambangan. Perencanaan itu tidak
saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian,
peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi
juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan
Peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam
rangka rencana umum yang dibuat oleh pemerintah pusat
dan sesuai dengan kebijaksanaan pusat. 68
Firman Muntaqo menyatakan, jika ditafsirkan
secara gramatikal atau interpretasi bahasa yang
menekankan pada makna teks yang dinyatakan di dalam
kaidah hukum, maka Pasal 14 UUPA tersebut
memerintahkan, bahwa urusan-urusan bidang pertanahan
yang berkaitan dengan regional planning yang meliputi
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta
ruang angkasa untuk daerah, dapat dilaksanakan dengan
asas desentralisasi sesuai dengan keadaan daerahnya
masing-masing. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan
menetapkan dan membuat peraturan-peraturan daerah

68
Memori Penjelasan Umum Angka II (8), dan Penjelasan Pasal 14
UUPA.
49
yang mengacu pada rencana umum (national planning)
yang dibuat oleh pemerintah. Artinya pembuat undang-
undang sadar bahwa perencanaan peruntukan dan
penggunaan akan bumi, air serta ruang angkasa harus pula
disesuaikan dengan kondisi geografis atau keadaan
tertentu dari daerah masing-masing, untuk itulah
pengaturannya di desentralisasikan kepada daerah. Maka
berdasarkan uraian tersebut penyelenggaraan
kewenangan di bidang pertanahan dapat dilaksanakan
secara dekonsentrasi (yang merupakan penghalusan dari
sentralisasi), medebewind atau asas pembantuan dan
secara desentralisasi.69
Penafsiran dari Firman Muntaqo tersebut berbeda
dengan pendapat Arie S Hutagalung, menurutnya
kewenangan pertanahan yang dilaksanakan secara
sentralisasi oleh pemerintahan pusat adalah mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan rencana umum (national
planning) seperti pengaturan dan penetapan hukum tanah
nasional yang meliputi perencanaan dan peruntukan tanah,
penguasaan dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai
tanah serta pendaftaran tanah. Kalaupun ada pelimpahan
kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu dalam
rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah

69
Firman Muntaqo, Op.cit , hlm. 83, menurutnya, hal ini sejalan
dengan salah satu alasan utama dari desentralisasi yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen, dalam bukunya ”General Theory of Law and State”, yang
dinyatakan bahwa: “…desentralisasi memberi kemungkinan pengaturan
masalah yang sama secara berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda.
Pertimbangan yang membuat perbedaan tata hukum nasional semacam
itu lebih dikehendaki mungkin karena pertimbangan-pertimbangan
geografis, nasional atau keagamaan. Semakin besar teritorial negara, dan
semakin bervariasi kondisi-kondisi sosial, maka akan semakin diharuskan
desentralisasi melalui pembagian teritorial.
50
Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada Pemerintahan
Daerah dalam rangka medebewind bukan otonomi.70
Kalau dilihat sepintas penafsiran dari Firman
Muntaqo berkaitan dengan Pasal 14 UUPA yang
mengindikasikan adanya desentralisasi di bidang
pertanahan seakan-akan ada benarnya. Hal ini karena
adanya kalimat dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang
menyatakan: .....Pemerintah Daerah mengatur persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa
untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah
masing-masing. Kosa kata sesuai dengan keadaan daerah
masing-masing memang mencerminkan salah satu indikasi
desentralisasi kewenangan. Tetapi Firman Muntaqo
kurang cermat bahwa sebagaimana dalam Pasal 14 ayat
(2) tersebut yang diberi kewenangan adalah Pemerintah
Daerah bukan Pemerintahan Daerah. Sementara prinsip
desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada
Pemerintahan Daerah bukan Pemerintah Daerah. Mengacu
kepada Pasal 14 ayat (3) UUPA yang berbunyi: “Peraturan
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal
ini......”, menunjukkan produk hukum yang dimaksudkan
untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai
dengan keadaan daerah masing-masing, adalah Peraturan
Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Daerah
tentunya adalah peraturan yang dibuat oleh Kepala Daerah
(sekarang ini: bisa Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) atau
Kepala Daerah Kabupaten/Kota <Bupati/Walikota>),
bukan Peraturan Daerah yang dibuat oleh Kepala Daerah
70
Arie S.Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum
Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.
40.
51
dengan DPRD sebagai produk hukum Pemerintahan
Daerah.
Hal yang lebih penting lagi dalam menjelaskan Pasal
14 UUPA yang tidak serta merta berkaitan dengan asas
desentralisasi adalah menafsirkan dengan menggunakan
metode interpretasi sistematis 71 Berlandaskan penggunaan
metode interpretasi sistematis, maka Pasal 14 UUPA
disinkronkan dengan pasal lain yang ada di dalam UUPA
yang berkaitan persoalan yang diatur, dalam hal ini Pasal
2 UUPA. Sebagaimana telah terjelaskan dimuka, dari
ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA dapat disimpulkan
bahwa UUPA menentukan kewenangan untuk menguasai
dari negara terhadap tanah kepada pemerintahan daerah
(dalam pasal tersebut menggunakan istilah daerah
swatantra), dan berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (4)

71
Sudikno Mertokusumo menyatakan interpretasi sistematis atau
logis adalah menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain
atau dengan keseluruhan sistem hukum. Sudikno Mertokusumo, 1996,
Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Lyberty, Yogjakarta, hlm. 57,
lihat juga, Sudikno Mertokusumo dan Pittlo, 1993, Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bhakti, hlm. 16-17 dan Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogjakarta, 1996, hlm. 153. Sementara menurut Jazim Hamidi, interpretasi
sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Artinya tidak
satupun dari peraturan perundangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-
akan ia berdiri sendiri, tetapi ia harus selalu dipahami dalam kaitannya
dengan jenis peraturan lainnya. Menafsirkan peraturan perundangan tidak
boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan suatu
negara. Lihat Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan
Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, hlm. 54.
Mengenai penafsiran sistematis ini, dalam konteks menafsirkan Pasal 14
UUPA ini, penulis menggunakan interpretasi sistematis yang dipersempit,
yaitu menafsirkan suatu pasal dalam undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem undang-undang tersebut dalam hal ini UUPA.
52
tersebut hanyalah dalam bentuk medebewind atau tugas
pembantuan. Maka dengan sendirinya berdasarkan
interpretasi sistematis pemberian kewenangan pertanahan
kepada pemerintahan daerah dalam Pasal 14 UUPA juga
dalam bentuk medebewind.
Dari apa yang terurai di atas penulis lebih bersetuju
dengan pendapat Arie S Hutagalung bahwa Pasal 14 UUPA
tidak bisa ditafsirkan bahwa bidang pertanahan bisa
didesentralisasikan. Sebenarnya Pasal 14 UUPA memberi
peluang adanya pemberian kewenangan di bidang
pertanahan dalam bentuk pelimpahan itu dalam rangka
dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat
yang ada di Daerah (sebagai bagian sentralisasi) atau kalau
istilah pemerintah daerah dalam Pasal 14 UUPA dimaknai
sebagai pemerintahan daerah, maka bisa dalam bentuk
tugas pembantuan kepada pemerintahan daerah (yang juga
tentunya sentralisasi). 72 Penafsiran seperti ini
memperlihatkan Pasal 14 UUPA tidak berlawanan dengan
Pasal 2 ayat (4) UUPA, di mana Pasal 2 ayat (4) UUPA
menentukan prinsip bahwa kewenangan pertanahan
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sesuai
Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UUPA kewenangan pertanahan
tersebut bisa diberikan menjadi kewenangan
Pemerintahan Daerah dalam bentuk medebewind.
Sementara itu untuk pelimpahan kewenangan HMN
atas Tanah kepada masyarakat hukum adat ternyata di

72
Lihat juga pendapat dari Syarif Hidayat, Op.Cit., hlm. 41, dia
menyatakan Pasal 14 UUPA menunjukkan otoritas daerah dalam
menyusun Rencana Umum Tata Ruang tersebut belum berstatus
wewenang yang didesentralisasikan, tetapi lebih pada apa yang disebut
medebewind (tugas pembantuan). Peran pemerintah daerah disini hanya
sebagai pembantu teknis dari pemerintah pusat.
53
dalam UUPA hal ini dikaitkan dengan keberadaan hak
ulayat.
Berkaitan dengan keberadaan hak ulayat ini
selengkapnya dinukilkan Penjelasan Umum Romawi II
angka (3) UUPA yang menyatakan:
“Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta
air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalam
pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan
mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada
tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa
ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa: "Pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi".
“Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan
adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru.
Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya
hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula
didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak
tersebut diakui secara resmi di dalam Undang-Undang,
dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-
peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan
dulu sering kali diabaikan.”

“Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam


Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya
berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak
ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut
menurut kenyataannya memang masih ada pada
masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam
pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-
54
usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya
akan didengar pendapatanya dan akan diberi "recognitie",
yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak
ulayat itu.
“Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut
menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu,
sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh
perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula
tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum
berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja
dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk
melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka
pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan
pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula,
bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali
terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak
ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari
pada ketentuan dari pasal 3 tersebut diatas.
“Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk
pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan
hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan
kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat
dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini
sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan
pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia
terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-
masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam
lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian
terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum
dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa
akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai
kemakmuran Rakyat seluruhnya.”
“Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak
berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang
bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.”
55
Berdasarkan penjelasan UUPA di atas maka
pelimpahan HMN atas tanah kepada masyarakat hukum
adat diukur dari keberadaan hak ulayatnya. Sementara
kriteria masih adanya hak ulayat di dalam kelompok
masyarakat hukum adat bisa diketahui dari kenyataan
mengenai73: 1) masih adanya suatu kelompok orang-orang
yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat
tertentu, 2) masih adanya tanah yang merupakan wilayah
masyarakat hukum adat tersebut yang disadari sebagai
kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat
itu sebagai ”lebensraum-”nya,dan 3) masih adanya kepala
adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya diakui
oleh para warganya dan melakukan kegiatan sehari-hari
sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat hukum
adatnya, mengelola, mengatur peruntukan, pengasaan dan
penggunaan tanah bersama tersebut.

C. Pelimpahan HMN Atas Tanah Dalam Bentuk Hak


Pengelolaan

Istilah “pengelolaan” di dalam UUPA dapat kita


temukan di dalam Penjelasan Umum Romawi II angka (2).
Di dalam penjelasan umum tersebut dinyatakan:
“Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih
luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang
disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang
demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan
sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,
misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan
atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan

73
Boedi Harsono, Hukum Agraria Ind….……, Loc. Cit, hlmn. 192.
56
kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan
atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4).”
“Hak” pengelolaan (HPL) adalah hak menguasai
dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya. Dilihat dari PP No. 8
Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara
yang mengatur hak pengelolaan ini, maka hak pengelolaan
merupakan tanah yang dikuasai oleh negara (tanah
negara). Dikatakan sebagai hak pengelolaan jika tanah
negara tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan
instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat
diberikan dengan sesuatu hak (hak milik, hak guna
bangunan, hak pakai) kepada pihak ketiga. Obyek dari hak
pengelolaan adalah tanah negara. Hak pengelolaan
bukanlah hak atas tanah meskipun pemegang hak
pengelolaan mempunyai kewenangan menggunakan tanah
yang dihaki bagi keperluan usahanya, tetapi itu bukan
pemberian hak itu kepadanya. Tujuan utamanya adalah,
bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi
penggunaan bagi pihak-pihak lain yang memerlukan.
Dengan demikian hak pengelolaan tidak bisa dialihkan dan
tidak bisa dijadikan jaminan utang. 74
Menurut Maria S.W. Soemardjono,
fungsi/wewenang publik yang tersirat dalam Penjelasan
Umum II angka (2) UUPA yang kemudian diberi sebutan
hak pengelolaan dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA)
No. 9 Tahun 1965 tentang Konversi atas Hak Penguasaan
atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang
Kebijaksanaan, selanjutnya berlanjut sampai dengan saat

74
Lihat Budi Harsono, 2003, Op.Cit. hlm. 247.
57
ini. Dalam perjalanan waktu, HPL yang semula
dimaksudkan sebagai fungsi/wewenang yang beraspek
publik itu, karena berbagai faktor, antara lain kebutuhan
praktis untuk memberi landasan pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga melalui suatu perjanjian di atas HPL,
maka aspek publik itu justru menjadi kurang menonjol
dibading aspek perdatanya. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa telah terjadi pergeseran Hak pengelolaan
dari sifatnya yang cenderung publik, kemudian cenderung
bergeser ke sifat keperdataan, dan semenjak tahun 1996
cenderung kembali ke arah sifat publik lagi.75
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan
Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, dalam Pasal 3
menyatakan hak pengelolaan berisikan wewenang untuk :
a. merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah
yang bersangkutan;
b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan
pelaksanaan usahanya;
c. menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu
kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang
ditentukan oleh perusahaan pemegang hak
tersebut, yang meliputi segi segi peruntukkan,
penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan
oleh pejabat- pejabat yang berwenang menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 tahun 1972
tentang "Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak
atas Tanah", sesuai dengan peraturan perundangan
agraria yang berlaku.

75
Lihat Maria S.W. Soemardjono, Tanah Dalam Persepektif Sosial,
Ekonomi, dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2009, hlm. 198.
58
Kepastian bahwa hak pengelolaan merupakan
bagian dari HMN dapat kita lihat di dalam ketentuan
Pasal 1 angka 2 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah yang menyatakan “Hak Pengelolaan adalah hak
menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya. Ini menunjukkan bahwa dikaji dari
sistematika hak-hak penguasaan atas tanah, HPL
bukanlah bagian dari Hak-hak atas tanah tetapi
merupakan bagian dari HMN atas tanah. HPL ini bisa
dilimpahkan kepada Kementerian, Jawatan, Perusahaan
Negara (BUMN/BUMD) ataupun kepada pemerintahan
daerah sebagai pemegang HPL. Berdasarkan
pelimpahan tersebut pemegang HPL bisa memberikan
sebagian dari HPL tersebut kepada pihak lain dalam
bentuk hak-hak atas tanah (HM, HGB, Hak Pakai, atau
HM Sarusun).

59
BAB IV
UNIFIKASI HUKUM PERTANAHAN

Selain politik hukum HMN, tidak kalah pentingnya


dikemukakan adanya asas unifikasi hukum pertanahan.
Dengan diundangkannya UUPA, maka bangsa Indonesia
telah mempunyai hukum agraria yang sifatnya nasional,
baik ditinjau dari segi formal maupun dari segi
materialnya. Dari segi formalnya, sifat nasional UUPA dapat
dilihat dalam konsiderannya di bawah kata “menimbang”
yang menyatakan keburukan-keburukan dan kekurangan-
kekurangan dalam hukum agraria yang berlaku sebelum
UUPA. Keburukan-keburukan itu antara lain dinyatakan
bahwa hukum agraria kolonial itu mempunyai sifat
dualisme dan tidak menjamin kepastian hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia.76
Dalam penjelasan umum romawi III UUPA
dinyatakan, karena hukum agraria sekarang ini (pada saat
akan diundangkannya UUPA-pen) mempunyai sifat
“dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak
tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut
hukum barat, UUPA bermaksud menghilangkan dualisme
itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum,
sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu
dan sesuai dengan kepentingan perekonomian. Boedi
Harsono 77 menyatakan dualisme dalam hukum tanah
bukan disebabkan karena para pemegang hak atas tanah
berbeda hukum perdatanya, melainkan karena perbedaan

76
Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia
Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 49.
77
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia........, Op. Cit., hlm. 53.
60
hukum yang berlaku terhadap tanahnya. Tanah dalam
hukum Indonesia mempunyai status atau kedudukan
hukum sendiri, terlepas dari status hukum subyek yang
mempunyainya.
Selanjutnya dalam penjelasan umum romawi III
UUPA itu ditetapkan apa yang akan menjadi dasar unifikasi
hukum tanah nasional itu, selengkapnya sebagai berikut :
“Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus
sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat
banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian
terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum
agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara yang modern
dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Sebagimana dimaklumi maka hukum adat dlam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh
politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan
masyarakat swapraja yang feodal.”
Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi
komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong
dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah
merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau
geneologik. Hak-hak perorangan atas tanah secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak
bersama tersebut. Oleh karena itu, biarpun sifatnya pribadi
dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan
keluarganya, tetapi berbeda dengan hak-hak dalam hukum
tanah barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya

61
sudah terkandung unsur kebersamaan. Yang dihaki dengan
hak-hak individual itu adalah sebagian tanah bersama,
yang dalam kepustakaan disebut tanah adat. Biarpun
demikian sebagai hukum yang hidup hukum tanah adat
tidak terluput dari pengaruh masyarakat tempat berlaku
dan bertumbuhnya. Masyarakat hukum adat itupun pada
gilirannya juga mengalami pengaruh dari masyarakat dan
suasana sekelilingnya, yaitu masyarakat modern yng
kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Oleh
karena itu pada kenyataanya hukum tanah adat yang
berlaku sudah tidak seluruhnya murni lagi.78
Berdasarkan penjelasan romawi III UUPA
sebagaimana dikutipkan di atas, maka hukum adat
ditetapkan sebagai dasar hukum tanah nasional Indonesia.
Penetapan ini mengakhiri kebhinekaan perangkat hukum
yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan
hukum tanah nasional yang tunggal yang didasarkan pada
hukum adat. Bersumber utama pada hukum adat, menurut
Boedi Harsono 79 berarti hukum tanah nasional kita
menggunakn konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaganya
hukum tanah adat, dengan peraturan-peraturan yang
berbentuk hukum perundang-undangan disusun menurut
sistemnya hukum adat.
Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan selain
hukumnya, UUPA juga mengunifikasikan hak-hak
penguasaan atas tanah, baik hak-hak atas tanah maupun
hak jaminan atas tanah. Semua hak atas tanah yang
mendapatkan pengaturan dalam perangkat-perangkat
hukum tanah yang lama, kecuali apa yang disebut “hak

78
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 62.
79
Boedi Harsono, Amandemen UUPA....., Op.Cit., hlm. 3
62
erfpacht untuk pertanian kecil”, yang serentak dinyatakan
hapus dan hak-hak consessie serta hak sewa untuk
perkebunan besar, yang akan diatur lebih lanjut kemudian,
diubah (istilahnya “dikonversi”) menjadi salah satu hak
yang diatur dalam UUPA (Pasal-pasal Ketentuan-ketentuan
Konversi UUPA).80
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, sekalipun
mengklaim diri kepada hukum adat, UUPA dari tahun 1960
ini ternyata mengabaikan banyak sekali kaidah-kaidah
hukum adat lokal. Yang hendak tetap diperhatikan
hanyalah asas-asas umum yang terdapat dalam hukum
adat Indonesia. Jelas bahwa misi UUPA ini adalah untuk
menciptakan hukum yang berlaku umum untuk seluruh
rakyat Indonesia.81

80
Ibid, hlm. 176
81
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum
Nasional; Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-
1990), PT. Raja Grafindo Persada, Cet. V. Jakarta, 1995, hlm. 212. Lebih
tegas lagi hal yang sama dikatakan oleh Samuel Clark (ed.), yang
menyatakan: Mungkin kelemahan paling serius UUPA adalah kurangnya
pengakuan atas klaim adat. Memang benar kalau referensi adat sudah
banyak dijumpai di dalam dokumen tersebut, namun isi dari pembukaan
(Explanatory Memorandum) menyatakan bahwa undang-undang agraria
nasional “berdasar atas hukum adat” dan mengakui peran terus menerus
hukum adat. Dapat dkatakan bahwa dasar dan pengakuan ini sangat
terbatas: terkait dengan aspek dasarnya, Pasal 5 menyatakan bahwa dasar
UUPA “ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara”. Sedangkan terkait aspek pengakuan,
Pasal 56 menyatakan bahwa pengakuan adat berlaku “sepanjang <hukum
adat> tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-
Undang ini.” Senada dengan hal itu, Pasal 3 UUPA mengakui hak ulayat
tetapi melarang pendaftarannya. Dalam konteks Indonesia kelemahan ini
signifikan karena, seperti yang dapat dilihat dari kebanyakan studi kasus,
sebagian besar tanah berada di bawah kendali masyarakat secara
komunal. Lihat Samuel Clark (ed.), Bukan Sekedar Kepemilikan, Sepuluh
63
Mengenai segi materiilnya, hukum agraria
(pertanahan-pen) juga bersifat nasional pula, artinya
tujuan, asas-asas dan isinya harus sesuai dengan
kepentingan nasional. Dalam hal ini UUPA menyatakan
pula dalam konsiderannya di bawah kata “berpendapat”
bahwa hukum agraria yang baru harus:82
a. Didasarkan hukum adat tentang tanah;
b. Sederhana;
c. Menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia;
d. Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama;
e. Memberi kemungkinan supaya bumi, air, dan ruang
angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun
masyarakat adil dan makmur;
f. Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
g. Memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria;
h. Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas
kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945;
i. Merupakan pelaksanaan dari dekrit presiden 5 Juli 1959
dan manifesto politik; dan
j. Melaksanakan pula ketentuan Pasal 33 UUD 1945.

Studi Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa Timur dan
Flores, The World Bank, Jakarta, 2004, hlm. 4.
82
Konsideran UUPA di bawah kata “Berpendapat”. Lihat pula
Muchsan, Imam Koeswahyono, Soimin, Op. Cit., hlm. 49-50.
64
BAB V
ASAS HUKUM PERTANAHAN LAINNYA

A. Pengertian Asas Hukum

Asas hukum menurut Bellefroid adalah norma dasar


yang dijabarkan dari hukum positif, sedangkan menurut
Kelsen norma dasar dari suatu tata hukum positif tidak lain
(adalah) peraturan fundamental menurut peraturan mana
berbagai norma dari tata hukum positif itu dibuat. 83 Asas
hukum dapat disebut pula “jantungnya” peraturan hukum,
karena ia merupakan landasan bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Selain itu asas hukum merupakan ratio
legis dari peraturan hukum. Oleh karena itu, asas hukum
merupakan jembatan antara peraturan-perturan hukum
dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya.84
Sudikno Mertokusumo, setelah mencermati
berbagai pendapat mengenai apa itu asas hukum, maka
sampai pada kesimpulan asas hukum bukanlah peraturan
hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan
dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positip dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit itu.
Biasanya memang asas hukum tidak dituangkan dalam

83
Lihat Moempoeni M. Marwoto, Op. Cit., hlm. 4-5.
84
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 45-46
65
bentuk pasal-pasal, tetapi tidak jarang juga asas hukum itu
dituangkan dalam peraturan hukum konkrit dalam pasal-
pasal.85

B. Beberapa Asas Hukum Pertanahan


Di dalam UUPA kita juga akan menemukan beberapa
asas-asas hukum yang menjadi norma dasar pembentukan
UUPA. Asas-asas hukum yang bisa kita temukan dalam
UUPA antara lain: asas nasionalitas (Pasal 1), asas
mengutamakan kepentingan nasional daripada
kepentingan sendiri atau golongan (Pasal 3), asas semua
hak tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6), asas tanah
pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya
(Pasal 17), asas persamaan hak bagi setiap warga Negara
(Pasal 9, 11, 13) dan asas tata guna tanah/penggunaan
tanah secara berencana. Asas yang terakhir merupakan hal
baru yang dimaksudkan agar setiap jengkal tanah
dipergunakan seefisien mungkin dengan memperhatikan
asas lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) untuk
penggunaan tanah di pedesaan. Sedangkan asas aman,
tertib, lancar dan sehat (ATLAS) untuk penggunaan tanah
di perkotaan.86 Seluruh pelaksanaan UUPA dan segenap
peraturan yang dibawahnya hendaknya dijiwai oleh asas-
asas di atas.
Dalam asas nasionalitas, bumi, air dan ruang angkasa
menjadi hak bangsa Indonesia yang bersifat abadi (Ps. 1).

85
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 33.
86
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Kencana,
Jakarta, 2005, Hlm 63.

66
Pasal 2 ditegaskan, hanya warga negara Indonesia dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air
dan ruang angkasa. Oleh karena itu, tiap-tiap warga negara
memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki dan
memanfaatkan tanah-tanah yang dimaksud.
Asas mengutamakan kepentingan nasional daripada
kepentingan sendiri atau golongan berarti sekalipun tanah-
tanah sudah dilekati dengan hak-hak tertentu, bila
sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pemerintah maka hak-hak
hedaknya dilepaskan menurut ketentuan undang-undang.
Begitu pula dengan kepentingan suatu masyarakat hukum
tertentu (misalnya masyarakat hukum adat) harus tunduk
pada kepentingan nasional. Sekalipun demikian,
kepentingan individu atau golongan tidak akan
dikorbankan begitu saja atas nama kepentingan nasional.
Asas ini merupakan prinsip dasar UUPA dalam rangka
pemanfaatan sektor agraria untuk kemakmuran rakyat.
Termasuk dalam kategori asas ini adalah ketentuan ;87
a. Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial.88
b. Pasal 3 dan 5 yang membatasi berlakunya hukum
adat dengan kepentingan nasional dan Negara
yang berdasar atas persatuan bangsa.
c. Pasal 18 yang memungkinkan negara mencabut
hak atas tanah untuk kepentingan umum.

87
Abdurrahman, Op.Cit. hlm. 30-31.
88
Mengenai fungsi sosial hak atas tanah terutama HM yang
mengalami perubahan fungsi karena industrialisasi dapat dbaca dalam
Yusriyadi, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
67
Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi social
berkonsekuensi kalau tanah diperlukan negara atau untuk
kepentingan umum atau orang banyak maka harus
diserahkan dan mendapat ganti rugi. Dalam asas ini juga
menentukan penggunaan tanah harus sesuai Rencana Tata
Ruang dan Wilayah yang ditentukan oleh
pemerintah/pemerintah daerah, memperhatikan sifat dan
tujuan pemberian haknya, dan tanah tidak boleh
ditelantarkan. Di samping itu tanah tidak digunakan
sebagai komoditi perdagangan/semata-mata investasi.
Demi kepentingan pemenuhan hak orang lain asas tanah
mempunyai fungsi sosial diwujudkan dalam bentuk
memberi jalan keluar/jalan air bagi tanah yang terkurung
oleh tanah lainnya.
Untuk tidak menganggu kepentingan umum dan agar
tetap dapat dimanfaatkan maksimal untuk kepentingan
sekarang dan yang akan datang, UUPA mengatur larangan
pemilikan tanah yang melampaui batas. Monopoli
pemilikan tanah di tangan segelintir orang sangat
membahayakan kepentingan nasional. Monopoli tanah
dapat menjurus ke monopoli harga, hingga monopoli
kekuasaan.
UUPA juga memandatkan satu pokok soal yang maha
penting bagi negara agraris seperti Indonesia: mandat
untuk melaksnakan landreform. Dalam rumusan Pasal 10
ayat (1) yaitu, ‘Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri’. Ini
merupakan asas yang menjadi dasar pada perubahan-
perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh

68
dunia, yaitu di negara-negara yang menyelenggarakan
landreform atau pembaharuan agraria.89
Gerakan landreform timbulnya karena tidak adanya
keadilan sosial dalam masyarakat pertanian. Dalam
catatan sejarah, landreform yang pertama muncul
bersamaan dengan revolusi Perancis, dimana para petani
di Eropa Barat menuntut emansipasi hak atas tanah.
Tuntutan tersebut terus meluap ke Eropa Tengah dan
sesudah perang dunia pertama merembet ke Eropa Timur,
terutama di Rusia yang djalankan secara konsekuen.90
Untuk itu, UUPA memuat asas pemanfaatan secara
aktif, tidak hanya terhadap tanah pertanian tapi juga
tanah-tanah lainnya. Setiap pemilik lahan berkewajiban
mendayagunakan tanah miliknya dan tidak diperkenankan
menelantarkannya. Meski tidak ada larangan menjadikan
tanah sebagai obyek investasi, menumpuk pemilikan tanah
tanpa diimbangi dengan pemanfaatan yang maksimal
sama saja dengan memonopoli tanah untuk akumulasi
modal.
Asas LOSS dan ATLAS ingin menjamin agar
pemanfaatan dan pelestariannya terjadi secara seimbang.
Karena pemanfaatan tanah tidak hanya untuk generasi
sekarang, tapi juga untuk generasi mendatang maka
pelestarian tanah mutlak dilakukan.

89
Hamengku Buwono X, Urgensi Amandemen Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Makalah Keynote Speech Semiloka
Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII
dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006, hlm. 2
90
Loc. Cit.
69
Asas-asas hukum tanah nasional digali dari nilai-
nilai atau pandangan hidup yang mengakar di masyarakat.
Nilai-nilai atau pandangan hidup yang dipraktekkan
berulang dan menjadi kebiasaan masyarakat luas akan
menjadi hukum adat.91 Setidaknya ada dua unsur utama di
dalam hukum adat; 1) unsur asli,92 berupa kebiasaan
sebagai unsur terbesar; dan 2) unsur agama sebagai unsur
terkecil.93 Dari sini wajar bila adat dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum tanah nasional setelah dicabutnya
peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda.94 Masalahnya UUPA

91
Djojodigoeno menyatakan:”.... Perkataan hukum adat itu
berwajah arti: pertama, hukum tidak tertulis, dalam arti demikian hukum
adat adalah lawan dari hukum peraturan; kedua, artinya tegas dalam
perkataan hukum adat Indonesia, ialah bahan hukum asli Indonesia. Dalam
arti demikian hukum adat adalah bahan hukum asli yang kita lawankan
dengan bahan hukum asing. Yang kami sebut bahan hukum asing misalnya
bahan hukum yang termuat dalam kodifikasi yang sekarang berlaku di
Indonesia, seperti:WvS, BW, WvK.” Dalam Khudzaifah Dimyati, 2004,
Teorisasi Hukum, studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Penerbit Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta, hlm. 157.
92
Soediman Kartohadiprodjo dalam tulisannya Pancasila dan
Hukum menyatakan: “di atas hukum adat ini dipergunakan sebagai alat
pengukur karena merupakan pernyataan isi jiwa bangsa Indonesia turun
temurun daripada isi pikiran yang kita berikan pada lima sila yang disebut
oleh Bung Karno sebagai Pancasila. Lihat Soediman Kartohadiprodjo dalam
Achmad Suhardi Kartohadiprodjo dkk (editor), Pancasila Sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Bandung/Jakarta, 2009, hlm. 108.
93
I.G.N. Sugangga, Pengantar Hukum Adat, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro,, Semarang, 1994, hlm. 4.
94
Peraturan dan keputusan yang dicabut UUPA, yaitu: 1) Agrarische
wet Stb. 1870 No. 55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS Stb. 1925 No.
447, 2) Peraturan tentang Domein Verklaring baik yang bersifat umum
maupun khusus, 3) Koninklijk (Keputusan raja) tanggal 16 April 1872 No.
29 (Stb. 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya, 4) Buku II KUH
Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan
70
menyatakan bahwa hukum pertanahan Indonesia
merupakan hukum adat, selama hukum adat ini tidak
bertentangan dengan semangat dan ketentuan UUPA serta
undang-undang lainnya. Batasan seperti ini secara
potensial mengurangi kekuatan hukum adat, sehingga
benar-benar tidak dapat diterapkan.95
Dengan diundangkannya UUPA, maka unifikasi
hukum tanah nasional sudah terwujud setelah sebelumnya
hukum yang mengatur soal tanah bermacam-macam,
seperti bersumber dari hukum adat, berkonsepsi
komunalitas religius (agama), bersandar pada hukum
perdata barat yang individualistik-liberal dan ada pula
yang berasal dari berbagai bekas pemerintahan swapraja
yang berkonsepsi feodal.96
Salah satu tujuan diundangkannya UUPA adalah
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria
Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat. Dalam perspektif teoretis, penggunaan UUPA
sebagai sarana pembawa kemakmuran bagi rakyat
merupakan penjabaran dari fungsi hukum sebagai sarana
rekayasa sosial (a law as tool of social engineering).97
Fungsi hukum seperti ini pada dasarnya dijalankan oleh
hukum modern, yaitu tidak sekedar merekam kembali
pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat,

alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan tentang


Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.
95
Hamengkubuwono, Op.Cit.,hlm. 3.
96
Boedi Harsono, Op. Cit., h. 1- 2.
97
Oloan Sitorus, “Penataan Pemilikan dan Penguasaan Tanah
dalam Amandemen UUPA” dalam Semiloka Nasional Penyempurnaan
Undang-undang No. 5 Tahun 1960, UII dan DPD RI, 24 Maret 2006, hlm 1.
71
melainkan diusahakan untuk menjadi sarana menyalurkan
kebijakan-kebijakan yang dengan demikian berarti
menciptakan keadaan-keadaan yang baru atau merubah
sesuatu yang sudah ada. UUPA merupakan undang-undang
yang menimbulkan tipe perubahan struktural, oleh karena
secara kualitatif merubah struktur hubungan antara orang
dan tanah di Indonesia. Selain itu undang-undang ini juga
menginginkan terjadinya perubahan struktural yang
memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang
lain terutama perubahan proses sosial.98
Dilihat dari proses penyusunannya yang partisipatif
dan isinya yang aspiratif, UUPA merupakan hukum yang
berkarakter responsif. Sedang dipandang dari nilai sosial
yang mendasarinya, UUPA merupakan tipe hukum
prismatik yang ideal karena mengkombinasikan
(mengambil segi-segi baik) dua ekstrem pilihan nilai
sosial, yaitu nilai sosial paguyuban dan patembayan
dengan titik berat pada nilai kepentingan yang populistik
(kemakmuran bersama) tanpa menghilangkan hak-hak
individu. Dengan kata lain, konsepsi hukum prismatik
berusaha memadukan inti nilai yang baik dari berbagai
nilai yang saling bertentangan.99
Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan
dengan empat hal.100 Pertama, memadukan unsur yang
baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini
diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak
dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya

98
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu
Tinjauan Teoritis serta Pengalaman di Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung 1983, hlm 148-149.
99
Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 4
100
Loc.Cit.
72
kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk
sosial. Kedua, mengintegrasikan konsepsi Negara hukum
“Rechtstaat” yang menekankan pada civil law dan
kepastian hukum serta konsepsi Negara hukum “the rule of
law” yang menekankan pada common law dan rasa
keadilan. Ketiga, sebagai alat pembaruan masyarakat (law
as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai
cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living
law). Dan keempat, tidak menganut atau dikendalikan satu
agama tertentu (karena Indonesia bukan Negara agama),
tapi juga tidak hampa agama (karena bukan negara
sekuler).
Konsep hukum tanah nasional secara tersurat ingin
menggabungkan dua mazhab besar di bidang ekonomi
yang bertolak belakang. Bila mazhab sosialisme (sebagai
tesa) memandang tanah adalah milik Negara dan hak-hak
individu direduksi sedemikian rupa, dan mazhab
kapitalisme (sebagai sintesa) berdiri sebaliknya dengan
menghormati kebebasan individu untuk memiliki tanah
seluas-luasnya, maka posisi hukum tanah nasional hendak
berdiri di tengah (sebagai antitesa). Harapannya akan
terwujud suatu hukum tanah nasional yang khas
Indonesia, yakni berdasarkan Pancasila yang tidak ekstrim
kiri (sosialisme) dan tidak ekstrim kanan (kapitalisme).
Posisi tengah ini sesungguhnya sudah cukup ideal, namun
faktanya bandul kebijakan di bidang tanah lebih mengarah
pada kapitalisme.101 Inilah yang menyebabkan
implementasi UUPA tidak luput dari berbagai persoalan di
lapangan.

101
Ibid, hlm. 5.
73
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah, Artikel


Abdurrahman, 1978, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam
Pembangunan Di Indonesia, Alumni, Bandung.
Adhie, Brahmana. & Hasan Basri Nata Manggala
(Penyunting), 2002, Reformasi Pertanahan,
Pemberdayaan Hak-Hak Atas Tanah Ditinjau dari
Aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam,
Teknis, agama dan Budaya, Penerbit Mandar Maju,
Bandung,
Bachriadi, Dianto (editor, et-al)., 1997, “Reformasi Agraria,
Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda
Pembaruan Agraria di Indonesia”, Lembaga
Penerbit FE-UI, Jakarta.
Buwono X, Hamengku., 2006, Urgensi Amandemen Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960,
Makalah Keynote Speech Semiloka Nasional
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta.
--------------------------, 2006, Pembaharuan Hukum
Keagrariaan Dalam Rangka Mendukung Penyelenggaraan
Otda, Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24
Maret 2006.
Clark, Samuel. (ed.), 2004, Bukan Sekedar Kepemilikan,
Sepuluh Studi Kasus Konflik Tanah dan Sumber
Daya Alam dari Jawa Timur dan Flores, The World
Bank, Jakarta.

74
Dietz, Ton., 2005, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam,
Kontur Geografi Lingkungan Politik, INSISTPress,
Yogyakarta.
Djauhari, 2007, Politik Hukum Negara Kesejahteraan: Studi
tentang Kebijakan Regulasi dan Institusionalisasi
Gagasan Kesejahteran SosialEkonomi Masyarakat
Nelayan di Jawa Tengah, Ringkasan Disertasi
Pascasrjana UII Yogyakarta.
DPD RI dengan FH UII, 2006, Naskah Akademik Dan
Rancangan Amandemen Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Faiz, Pan Mohamad., Penafsiran Konasep Penguasaan
Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Fauzi, Noer., 2001, Keadilan Agraria di Masa Transisi, dalam
Prinsip-prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan
dan kemakmuran rakyat, Lapera Pustaka Utama,
Yogyakarta.
-------------& Dianto Bachriadi, 1998, “Hak Menguasai dari
Negara (HMN) Persoalan Sejarah yang Harus
Diselesaikan”, dalam: “Usulan Revisi UUPA
1960;”Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas
Sumber-Sumber Agraria”, KRHN & KPA, Jakarta.
Gautama, Sudargo.,1973, Tafsiran Undang-Undang Pokok
Agraria. Alumni, Bandung.
Gumelar, Agum., 2002, Kebijakan Agraria/Pertanahan dari
Perspektif Pertahanan Keamanan Dalam Konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tulisan dalam
Brahmana Adhie & Hasan Basri Nata Manggala
(Penyunting), Reformasi Pertanahan,
Pemberdayaan Hak-Hak Atas Tanah Ditinjau dari
Aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam,
Teknis, agama dan Budaya, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.

75
Harsono, Boedi., 2003, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah
Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta.
-------------------, 2005, Penyerahan Kewenangan Bidang
Pertanahan Kepada Daerah Otonom Menurut UU
Nomor 32 Tahun 2004 (Suatu Tinjauan yuridis),
Disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional “45
Tahun UUPA” diselenggarakan oleh Pusat Studi
Hukum Agraria Fakultas Hukum Trisakti, 21
September 2005, Jakarta
------------------, 2006, Amandemen UUPA No.5/1960 Suatu
Tinjauan Historis, Filosofis, Sosiologis dan Politis,
Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas
kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan
Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006.
Hasan, M. Tholchah., 2002, Pertanahan Dalam Perspektif
Agama Islam dan Budaya Muslim Menuju
Pembangunan Indonesia Yang Berkeadilan dan
Berkelanjutan, dalam Brahmana Adhie & Hasan
Basri Nata Manggala (Penyunting), Reformasi
Pertanahan, Pemberdayaan Hak-Hak Atas Tanah
Ditinjau dari Aspek Hukum, Sosial, Politik,
Ekonomi, Hankam, Teknis, agama dan Budaya,
Penerbit Mandar Maju, Bandung
Hatta, Mohammad ., 1977, Penjabaran Pasal 33 UUD 1945,
Mutiara, Jakarta.
Herwati, Siti Rahma Mary. dan Dody Setiadi, 2005,
Memahami Hak Atas Tanah Dalam Praktek
Advokasi, 2005, Penerbit CakraBooks, Surakarta.
Hidayat, Arief. , 2010, Bernegara itu Tidak Mudah (Dalam
Perspektif Politik dan Hukum), Pidato Pengukuhan

76
Guru Besar dalam Ilmu Hukum UNDIP Semarang,
Badan Penerbit Undip.
H.R., Syaukani., Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, 2002,
Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta Hutagalung, Arie S., 2005,
Tebaran Pemikiran Masalah Seputar Masalah
Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum
Indonesia, Jakarta.
Ismail, Nurhasan., 2006, Amandemen UUPA No. 5 tahun
1960 Dalam Perspektif Landreform di Indonesia,
Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas
kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan
Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006.
--------------------, 2006, Catatan Kecil Dalam Rangka Revisi
UUPA, Makalah Semiloka Nasional
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta,
24 Maret 2006.
Karim, Abdul., 2008, Mengoperasikan Reforma Agraria
Dalam Otonomi Daerah, Artikel dalam Jurnal
Tashwirul Afkar, Lakpesdan NU, Edisi No. 24
Tahun 2008.
Karim, Zulkarnain., 2004, “Beberapa Catatan Desentralisasi
Bidang Pertanahan,” makalah Simposium Bidang
Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesia,
Pangkal Pinang.
----------------------------, 2004, Penyelenggaraan Kewenangan
Pertanahan, Suatu political will yang ragu-ragu,
Pangkalpinang.

77
Kelsen, Hans., 2005, Teori Murni Hukum Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif,
Alih Bahasa oleh Somardi, Rimdi Press, Bandung.
KRHN-KPA, 1998, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok
Agraria, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas
Sumber-Sumber Agraria, diterbitkan bersama
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan
Konsorsium Pembaharuan Agraria, Jakarta-
Bandung.
Kusnu Goesniadhie S., 2006, Harmonisasi Hukum Dalam
Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis
Suatu Masalah). JP Books, Surabaya.
Lubis, M. Solly, 2002, Sistem Nasional, CV Mandar Maju,
Jakarta.
-----------------, 2007, Dasar- Dasar Konstitusional
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Makalah di Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 2,
Juni 2007, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta.
Mahfud MD, Moh., 2006, Amandemen UUPA No.5/1960
Dalam Perspektif Politik Hukum, Makalah Semiloka
Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta,
24 Maret 2006.
---------------------, 2006, Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta.
Ma’ruf, Umar., 2010, Politik Hukum di Bidang Pertanahan,
Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Mertokusumo, Sudikno. dan Pittlo, 1993, Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bhakti.
Mertokusumo, Sudikno., 1996, Penemuan Hukum Suatu
Pengantar, Penerbit Lyberty, Yogjakarta.

78
----------------------------, 1996, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Penerbit Lyberty, Yogjakarta
Moelatingsih, Moempoeni., 2003, Implementasi Asas-asas
Hukum tata Negara Menuju Perwujudan Yus
Constituendum di Indonesia, Pidato Pengukuhan
sebagai Guru Besar FH Undip, BP Undip,
Semarang.
MPR RI, 2010, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat,
Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta.
Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, 2007, Hukum
Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika
Aditama, Bandung.
Mudjiono, 1997, Politik dan Hukum Agraria, Liberty,
Yogyakarta.
Muntaqo, Firman., 2010, Karakter Politik Hukum
Pertanahan Era Orde Baru dan Era Reformasi,
Badan Penerbit Undip, Semarang .
Parlindungan, A.P., 1990, Komentar atas Undang-Undang
Pokok Agraria, Alumni, Bandung.
Pusat Bahasa Depdiknas, 2003, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto., 1983, Hukum dan Perubahan Sosial:
Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman di
Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
-----------------------,1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
-----------------------,2004, Ilmu Hukum: Pencarian,
Pembebasan, dan Pencerahan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta Press, Surakarta.
Rokhmat, Abu., 2006, Konsep dan Asas Hukum Tanah Dalam
Islam, Tulisan dalam Jurnal Hukum Terakreditasi

79
Vol. XVI. No. 3 September 2006, Fakultas Hukum
Unissula, Semarang.
Safitri, Myrna A., dkk, Pembaruan Kebijakan Tanah dan
Kekayaan Alam, Sekretariat Konsultasi Publik,
Jakarta.
Saleng, Abbrar., 2006, Sinkronisasi dan Fungsionalisasi Hak
atas sumber Daya Pertambangan dalam
Amandemen UUPA No. 5/1960. Makalah Semiloka
Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta,
24 Maret 2006.
Samadi, Wibowo Murti., 2006, Politik Hukum Agraria,
Semarang.
Santoso, Urip., 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak atas
Tanah, Kencana, Jakarta.
Setiawan, Usep, 2007, Politik Agraria Nasional dan
Dinamika Kebijakan Reforma Agraria di
Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional
Penguatan Hak Kepada Rakyat Dalam Reforma
Agraria Melalui Persamaan Hak Memperoleh
Hak Atas Tanah, diselenggarakan oleh Prodi
Magister Kenotariatan Undip, Kanwil BPN
Propinsi Jateng, KAPTI Agraria Jateng, dan
Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan
(IMMK) Undip, Semarang, 15 Mei 2008.
Sihombing, B.F., 2004, Evolusi Kebijakan Pertanahan
Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung,
Jakarta.
Simarmata, Rikardo., 2002, Kapitalisme Perkebunan dan
Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara, Insist,
Yogyakarta.
Sitorus, Oloan., 2006, “Penataan Pemilikan dan
Penguasaan Tanah dalam Amandemen UUPA”

80
dalam Semiloka Nasional Penyempurnaan
Undang-undang No. 5 Tahun 1960, UII dan DPD
RI, Yogjakarta.
Soemardjono, Maria S.W. , 2005, Kebijakan Pertanahan:
Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas,
Jakarta.
------------------------------, 2008, Keadilan dan Kepastian
Hukum Akses Terhadap Penguasaan/Pemilikan dan
Pemanfaatan Tanah., Makalah dalam Seminar
Nasional Penguatan Hak Kepada Rakyat Dalam
Reforma Agraria Melalui Persamaan Hak
Memperoleh Hak Atas Tanah, diselenggarakan
oleh Prodi Magister Kenotariatan Undip, Kanwil
BPN Propinsi Jateng, KAPTi Agraria Jateng, dan
Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan (IMMK)
Undip, Semarang, 15 Mei 2008.
------------------------------- , 2009, Tanah Dalam Persepektif
Sosial, Ekonomi, dan Budaya, Kompas, Jakarta
Soeromihardjo, Soedjarwo., 2010, Mengkritisi Undang-
Undang Pokok Agraria, Meretas Jalan Menuju
Penataan Kembali Politik Agraria Nasional, Cerdas
Pustaka Publisher, Jakarta.
Soetiknjo, Iman., 1987, “Proses Terjadinya UUPA, Peran
Serta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sugangga, I.G.N., 1994, Pengantar Hukum Adat, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro,, Semarang.
Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset
Daerah,Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan
Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Sutiyoso, 2006, Sumber Daya Agraria Dalam Amandemen
UUPA, Makalah disampaikan dalam Semiloka

81
Nasional Tentang amandemen UUPA, Hotel Sahid
Yogyakarta.
Swasono, Sri Eddy., 2005, Indonesia dan Doktrin Negara
Kesejahteraan Sosial, Dari Klasikal dan Neoklasikal
sampai ke The End of Laissez-Faire, Yayasan Hatta
Jakarta.
Utama, Yos Johan., 2010, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang
Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum
UNDIP Semarang, Badan Penerbit Undip.
Warsito, Happy., 2006, Studi Terhadap Politik Hukum
Agraria di Indonesia, Tulisan dalam Jurnal Hukum
Vol. XVI. No. 3, September 2006, Fakultas Hukum
UNISSULA, Semarang.
Wignjosoebroto, Soetandyo., 1995, Dari Hukum Kolonial Ke
Hukum Nasional; Suatu Kajian tentnag Dinamika
Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama
Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990),
Cet.V. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
---------------------, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta.
Wilk, Kurt., ed., 1950, “The Legal Philosophies of Lask,
Radbruch, and Dabin”, Harvard University Press,
Cambridge.
Winoto, Joyo., 2008, Reforma Agraria: Tanah Untuk
Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, Makalah
dalam Seminar Nasional Penguatan Hak Kepada
Rakyat Dalam Reforma Agraria Melalui Persamaan
Hak Memperoleh Hak Atas Tanah,
diselenggarakan oleh Prodi Magister Kenotariatan
Undip, Kanwil BPN Propinsi Jateng, KAPTi Agraria
Jateng, dan Ikatan Mahasiswa Magister
Kenotariatan (IMMK) Undip, Semarang, 15 Mei
2008.

82
Wiranata, I Gede A.B., 2006, Reorientasi Terhadap Tanah
Sebagai Objek Investasi, Hasil Penelitian yang
dimuat dalam Jurnal Hukum FH,Unissula Vol XVI
No. 3 September 2006, Semarang.
Wojowasito, 1999, Kamus Umum Bahasa Belanda
Indonesia, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Yusriyadi, 2010, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial
Hak Milik Atas Tanah, Genta Publishing,
Yogyakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 tahun 1972

C. Internet
http://www.bpn.go.id
http://hukumonline.com
http://www.jurnalhukum.blogspot.com
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

83

Anda mungkin juga menyukai