Anda di halaman 1dari 38

Revisi Hasil Pembahasan

22 mei 2019

BUPATI TASIKMALAYA
PROVINSI JAWA BARAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA
NOMOR 5 TAHUN 2019
TENTANG
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI TASIKMALAYA,

Menimbang : a. bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dan
setara untuk menjalankan kehidupan yang bermartabat
sesuai dengan prinsip kemanusiaan, kesetaraan dan
keadilan;
b. bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok
masyarakat yang rentan terhadap tindakan ketidakadilan
dan ketidaksetaraan serta tindak kekerasan yang dapat
mencederai hak dan martabatnya sebagai manusia;
c. bahwa maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak di Kabupaten Tasikmalaya diperlukan
penanganan dan tindakan nyata dari Pemerintah Daerah
untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan anak;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam
Lingkungan Provinsi Djawa Barat (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 1950), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang
Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2851);
2

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang


Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimation Agains Women)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3277);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5882);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4419);
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5602);
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4720);
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
3

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4604);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
13. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2015 tentang Panduan Partisipasi Anak Dalam
Perencanaan Pembangunan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1754);
14. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 7 Tahun
2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Tasikmalaya Tahun
2016 Nomor 7 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Tasikamlaya Nomor 1 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Tasikmalaya Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan
dan Susunan Perangkat Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2019 Nomor 1);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA
dan
BUPATI TASIKMALAYA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PEMBERDAYAAN


PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK.
4

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Bupati adalah Bupati Tasikmalaya.
2. Daerah Kabupaten adalah Daerah Kabupaten Tasikmalaya.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Perangkat Daerah Kabupaten adalah unsur pembantu Bupati dan
DPRD Kabupaten dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah Kabupaten.
6. Pemberdayaan Perempuan adalah setiap upaya meningkatkan kemampuan
fisik, mental, spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan agar
perempuan siap didayagunakan sesuai dengan kemampuan masing-
masing.
7. Perlindungan adalah serangkaian pemenuhan hak-hak perempuan dan
anak korban kekerasan dan diskriminasi mulai dari upaya pencegahan,
pelayanan dan rehabilitasi sosial.
8. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
9. Perlindungan Perempuan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
melindungi perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-
haknya dengan memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang
ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender.
10. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
11. Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
12. Kekerasan terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
ranah publik atau dalam kehidupan pribadi.
13. Kekerasan terhadap Anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental,
5

seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang


mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.
14. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh
Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa
aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh
kembangnya.
15. Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
16. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri,
atau ayah dan/atau ibu angkat.
17. Wali adalah oran atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
18. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga.
19. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
20. Lembaga Swadaya Masyarakat, yang selanjutnya disebut LSM adalah
organisasi/lembaga yang dibentuk oleh masyarakat warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta
bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial yang ditetapkan oleh
organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada
pengabdian secara swadaya.
21. Korban adalah perempuan dan anak yang mengalami kesengsaraan dan
atau penderitaan baik langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari
kekerasan yang terjadi di wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
22. Pencegahan adalah upaya pengembangan kemampuan dan mekanisme
Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam menciptakan kondisi yang dapat
mencegah terjadinya kekerasan, perlakuan salah, KDRT, eksploitasi
dan/atau penelantaran.
23. Penanganan adalah tindakan yang meliputi identifikasi, penyelamatan,
rehabilitasi dan reintegrasi terhadap perempuan dan anak yang menjadi
korban tindak kekerasan, perlakukan salah, KDRT, eksploitasi, perlakuan
salah atau penelantaran.
24. Pemulangan adalah upaya mengembalikan perempuan dan anak korban
kekerasan dari luar negeri ke titik debarkasi/entry point, atau dari daerah
penerima ke daerah asal.
25. Pelayanan adalah tindakan yang dilakukan sesegera mungkin kepada
korban ketika melihat, mendengar dan mengetahui akan, sedang atau telah
terjadinya kekerasan terhadap korban.
26. Pendampingan adalah upaya yang dilakukan oleh orang atau perwakilan
dari lembaga yang mempunyai keahlian melakukan pendampingan korban
6

untuk melakukan konseling, terapi dan advokasi guna penguatan dan


pemulihan diri korban kekerasan.
27. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis,
dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
28. Rehabilitasi Sosial adalah pelayanan yang ditujukan untuk memulihkan
dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
29. Reintegrasi Sosial adalah upaya penyatuan kembali korban dengan pihak
keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan
perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban.
30. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak yang
selanjutnya disingkat UPTD PPPA adalah pelaksana teknis untuk
melaksanakan kegiatan teknis operasional di wilayah kerjanya dalam
memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami masalah
kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan masalah lainnya;
31. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pendamping
hukum dan advokat untuk melakukan proses pendampingan saksi
dan/atau korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sensitif
gender.
32. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, yang
selanjutnya disingkat P2TP2A, adalah pusat pelayanan yang terintegrasi
dalam upaya pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan,
serta perlindungan perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi
dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang, yang dibentuk oleh
Pemerintah Daerah atau berbasis masyarakat, yang meliputi: pusat
rujukan, pusat konsultasi usaha, pusat konsultasi kesehatan reproduksi,
pusat konsultasi hukum, Pusat Krisis Terpadu (PKT), Pusat Pelayanan
Terpadu (PPT), pusat pemulihan trauma (trauma center), pusat penanganan
krisis perempuan (women crisis center), pusat pelatihan, Pusat Informasi
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PIPTEK), rumah aman (shelter), rumah
singgah, atau bentuk lainnya.
33. Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak adalah Unit Kerja
fungsional yang menyelenggarakan pelayanan perlindungan dan
penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan secara
terpadu di tingkat Kecamatan.
34. Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak adalah Unit Kerja
fungsional yang menyelenggarakan pelayanan perlindungan dan
penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan secara
terpadu di tingkat Desa.
35. Kabupaten Layak Anak adalah Kabupaten yang mempunyai sistem
pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan
sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana
secara menyuluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan
kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
7

36. Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak adalah lembaga koordinatif di


tingkat kabupaten yang mengoordinasikan upaya kebijakan, program dan
kegiatan untuk mewujudkan kabupaten layak anak.
37. Rencana Aksi Daerah Pembangunan Kabupaten Layak Anak adalah
dokumen yang memuat kebijakan, program dan kegiatan untuk
mewujudkan kabupaten layak anak.

BAB II
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Pasal 2
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pemberdayaan perempuan.
(2) Upaya pemberdayaan perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penetapan kebijakan, anggaran, program, dan kegiatan;
b. penetapan pedoman pelaksanaan;
c. penyelenggaraan layanan; dan
d. koordinasi kebijakan, program dan kegiatan.

Pasal 3
Pemberdayaan perempuan diarahkan untuk memperoleh kesempatan dan hak-
hak sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dibidang:
a. ekonomi;
b. sosial budaya;
c. politik; dan
d. hukum.

Pasal 4
Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dibidang ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilaksanakan melalui:
a. pemberian keterampilan dan pelatihan kerja;
b. fasilitasi pembentukan, penguatan dan pengembangan kelompok usaha
ekonomi produktif;
c. fasilitasi dan bantuan permodalan;
d. fasilitasi pengembangan jaringan pemasaran; dan
e. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Pasal 5
Pemberdayaan perempuan dibidang sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b dilaksanakan melalui:
a. peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mendorong
pemenuhan hak atas pendidikan secara berjenjang sesuai dengan potensi
untuk meningkatkan status sosial perempuan;
8

b. peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk mengatasi


permasalahan kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang terjangkau dan berkualitas utamanya dibidang kesehatan
reproduksi;
c. peningkatan kesadaran dan pengetahuan tentang perencanaan keluarga
mandiri, sehat dan sejahtera termasuk akses layanan konsultasi dan
pencatatan perkawinan; dan
d. fasilitasi dan upaya pelestarian adat istiadat dan pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan budaya untuk kemajuan perempuan.

Pasal 6
Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dibidang politik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi:
a. pendidikan politik untuk perempuan;
b. pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan diberbagai level
pemerintahan;
c. pemberian kesempatan bagi perempuan untuk menduduki jabatan publik;
d. partisipasi dalam pemilihan umum; dan
e. pengembangan diri melalui organisasi untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.

Pasal 7
Penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dibidang hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi:
a. peningkatan pengetahuan dan kesadaran dibidang hukum melalui
layanan komunikasi, informasi dan edukasi; dan
b. fasilitasi akses dan layanan konsultasi serta bantuan hukum cuma-cuma.

BAB III
PERLINDUNGAN PEREMPUAN
Pasal 8
(1) Perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak
kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan hak perempuan dalam
ketenagakerjaan, perlindungan perempuan dalam situasi darurat dan kondisi
khusus serta perlindungan hak perempuan dari tindak pidana perdagangan
orang.
(2) Perlindungan hak perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga
berupa pencegahan fisik dan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran,
penanganan, pelayanan dan pemberdayaan korban kekerasan dalam rumah
tangga.
(3) Perlindungan hak perempuan dalam hak ketenagakerjaan didalam atau diluar
negeri mendapatkan perlindungan dalam pencegahan dan penanganan kasus
penelantaran hak perempuan dalam hal ketenagakerjaan.
9

(4) Perlindungan hak perempuan dalam kondisi darurat dan kondisi khusus,
meliputi perlindungan perempuan dalam situasi darurat, didaerah konflik,
daerah bencana, perlindungan hak perempuan penyandang disabilitas, dan
perlindungan hak perempuan lansia penyandang masalah sosial.
(5) Perlindungan hak perempuan dari tindak perdagangan orang meliputi
pencegahan dan penanganan, pelayanan serta pemberdayaan korban tindak
pidana perdagangan orang.

Pasal 9
(1) Pemerintah Daerah wajib memberikan perlindungan kepada perempuan agar
dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar.
(2) Ketentuan mengenai Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IV
PERLINDUNGAN ANAK
Bagian Kesatu
Perlindungan Anak secara Umum
Pasal 10
Perlindungan Anak meliputi bidang:
a. Perlindungan Anak di bidang Agama dan Kepercayaan;
b. Perlindungan Anak di bidang Sipil dan Kebebasan;
c. Perlindungan Anak di bidang Kesehatan;
d. Perlindungan Anak di bidang Pendidikan;
e. Perlindungan Anak di bidang Sosial; dan
f. Perlindungan Anak di bidang Perlindungan Khusus.

Bagian Kedua
Perlindungan Anak di bidang Agama dan Kepercayaan
Pasal 11
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak
mengikuti agama orang tuanya.
(3) Dalam hal pengangkatan anak, Calon orang tua angkat harus seagama
dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
(4) Apabila asal usul anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diketahui,
maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
10

Bagian Ketiga
Perlindungan Anak di Bidang Sipil dan Kebebasan
Pasal 12
Perlindungan anak dibidang Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 pada
huruf b meliputi:
a. penjaminan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan nama dan
identitas diri sejak kelahirannya yang berupa akta kelahiran;
b. pembuatan akta kelahiran menjadi tanggungjawab Pemerintah;
c. pembuatan akta kelahiran tidak dikenai biaya dan ditanggung oleh
Pemerintah Daerah; dan
d. ketentuan pembuatan akte kelahiran diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Bupati.

Pasal 13

(1) Perlindungan anak dibidang sipil dan kebebasan membantu anak agar anak
dapat:
a. berpartisipasi dalam segala bidang;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan
agamanya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di daerah;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia
dan perkembangan anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul sesuai dengan norma dan etika mulia;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, dan berkarya seni budaya dengan
tidak melalaikan kewajiban sebagai anak; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan
keselamatan.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikembangkan dan disesuaikan
dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak
menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

Bagian Keempat
Perlindungan Anak di Bidang Kesehatan
Pasal 14
Perlindungan anak di bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf c, meliputi:
a. menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang
komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan
yang optimal sejak dalam kandungan yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah;
b. menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif dan gratis bagi
semua anak termasuk juga dari keluarga miskin;
c. memberikan jaminan kesehatan bagi anak korban kekerasan,eksploitasi,
penelantaran dan perlakuan salah;
11

d. bertanggung jawab menjaga kesehatan dan merawat anak sejak dalam


kandungan yang dilakukan oleh keluarga dan orang tua; dan
e. mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam
kelangsungan hidup dan atau menimbulkan kecacatan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Bagian Kelima
Perlindungan Anak di Bidang Pendidikan
Pasal 15
Penyelenggaraan perlindungan anak di bidang pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf d, meliputi:
a. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, keluarga dan orang tua;
b. setiap penyelenggara pendidikan dilarang mengeluarkan anak dari Lembaga
Pendidikan tanpa adanya jaminan terhadap keberlangsungan pendidikan
anak;
c. penyelenggaraan program wajib belajar 12 (dua belas) tahun, diatur dalam
Peraturan Daerah tersendiri;
d. memberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa bagi anak yang menyadang cacat;
dan
e. melindungi hak-haknya guna memperoleh pendidikan bagi anak korban
kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah.

Bagian Keenam
Perlindungan Anak di Bidang Sosial
Pasal 16
Penyelenggaraan perlindungan anak di bidang sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf e dilakukan dalam bentuk:
a. Layanan pencegahan, meliputi:
1) Membuat kebijakan tentang perlindungan anak dari segala bentuk
kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah di semua
kehidupan anak;
2) Membuat kebijakan tentang jaminan kesejahteraan sosial bagi anak
yang mengalami kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan
salah; dan
3) Menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas bagi
lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga.
b. Layanan Pengurangan Resiko, meliputi:
1) Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran
dan perlakuan salah;
2) Memberikan layanan bagi anak dan keluarga korban kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah meliputi:
12

1) bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan perilaku;


2) mediasi kepada pihak-pihak terkait;
3) layanan psikososial;
4) bantuan ekonomi dan kecakapan hidup;
5) tempat perlindungan sementara;
6) penyiapan reintegrasi sosial bagi anak korban kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah; dan
7) melindungi identitas korban agar tidak terjadi stigma buruk bagi
anak.
c. Layanan Penanganan kasus, meliputi:
1) Melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang dalam
kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
2) Memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban;
3) Memberikan konseling dan adanya dukungan dari keluarga;
4) Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial ;
5) Melakukan monitoring terhadap kondisi anak yang berada pada
pengasuhan alternatif dalam jangka panjang; dan
6) Membuat database tentang tempat pengasuhan alternatif bagi anak.

Bagian Ketujuh
Perlindungan Anak di Bidang Perlindungan Khusus
Pasal 17
Perlindungan Anak di bidang Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf f, meliputi:
a. anak dalam situasi darurat;
b. anak yang berhadapan dengan hukum (ABH);
c. anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual;
d. anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
e. anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
f. anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, dan anak yang
menyandang cacat; dan/atau
g. anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Paragraf 1
Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat
Pasal 18
(1) Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a,
terdiri dari:
a. anak yang menjadi pengungsi;
b. anak korban kerusuhan;
c. anak korban bencana alam; dan
d. anak dalam situasi konflik bersenjata.
13

(2) Penyelenggaraan perlindungan anak dalam situasi darurat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. Layanan Pencegahan, meliputi:
1) Membuat kebijakan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah di dalam situasi
darurat;
2) Membuat kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas
pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan
berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan bagi anak
yang menjadi pengungsi, korban kekerasan, korban bencana alam dan
anak dalam situasi konflik bersenjata; dan
3) Membuat kebijakan dan mekanisme penanggulangan bencana yang
memperhatikan kepentingan anak.
b. Layanan Pengurangan Resiko, meliputi:
1) Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga korban kekerasan, eksploitasi,
penelantaran dan perlakuan salah.
2) Memberikan layanan bagi anak dan keluarga korban kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah, yang meliputi:
a) konsultasi hukum;
b) mediasi kepada pihak-pihak terkait;
c) layanan psikososial;
d) bantuan ekonomi dan kecakapan hidup;
e) rumah aman; dan
f) rumah singgah.
c. Layanan Penanganan Kasus, meliputi:
1) Melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang dalam
kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
2) Memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban;
3) Memberikan konseling dan adanya dukungan dari keluarga;
4) Memperlakukan anak dalam situasi darurat secara manusiawi sesuai
dengan martabat dan hak-hak anak;
5) Memberikan rasa aman dan perlindungan bagi anak yang menjadi
pengungsi, korban kekerasan, korban bencana alam dan anak dalam
situasi konflik bersenjata; dan
6) Melakukan pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak dalam situasi
darurat yang mengalami gangguan psikososial.

Paragraf 2
Perlindungan bagi ABH
Pasal 19
(1) Perlindungan khusus bagi ABH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
b meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak
pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
14

(2) penyelenggaraan perlindungan khusus bagi ABH sebgaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. Layanan pencegahan, meliputi:
1) Membuat kebijakan tentang jaminan pendidikan bagi ABH;
2) Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua
dan/atau masyarakat, pers, pendidik, pemerintah, aparat penegak
hukum tentang perlindungan identitas ABH untuk menghindari
stigma buruk kepada anak;
3) Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang
tua/wali dan/atau masyarakat, pers, pendidik, Pemerintah Daerah
dan aparat penegak hukum tentang bentuk-bentuk alternatif
penegakan disiplin tanpa hukuman fisik dan psikis;
4) Memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemahaman
keadilan restoratif atau keadilan yang memulihkan;
5) Menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam melakukan advokasi kepada lembaga penegak
hukum agar melakukan pembedaan dalam menangani permasalahan
yang terkait dengan ABH;
6) Menyelenggarakan pelatihan untk meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam melakukan advokasi proses pengadilan anak agar
memberikan alternatif hukuman dalam bentuk tindakan; dan
7) Membuat mekanisme pengaduan untuk penanganan permaslahan
yang terkait dengan ABH.
b. Layanan Pengurangan Resiko, meliputi:
1) Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga yang beresiko;
2) Memberikan layanan bagi anak dan keluarga seperti:
a) bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan
prilaku;
b) konsultasi hukum;
c) mediasi kepada pihak-pihak terkait;
d) layanan psikososial; dan
e) melindungi identitas korban.
c. Layanan Penanganan Kasus, meliputi:
1) Memberikan konseling dan perlu adanya dukungan keluarga;
2) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
3) Memberikan jaminan bantuan hukum/pendamping khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum;
4) Memberikan rasa aman dan perlindungan dari pemberitaan tentang
identitas ABH untuk menghindari stigma buruk kepada anak;
5) Menyediakan sarana dan prasarana khusus bagi ABH;
6) Memberikan aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara;
7) Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial; dan
15

8) Melakukan pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap


perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.

Paragraf 3
Perlindungan Anak Tereksploitasi
secara Ekonomi dan/atau Seksual
Pasal 20
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c, merupakan
kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Penyelenggaraan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk:
a. Layanan Pencegahan, meliputi:
1) Membuat kebijakan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, dan perlakuan salah di semua situasi kehidupan anak;
2) Membuat kebijakan pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang
menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial
korban eksploitasi ekonomi dan/atau seksual;
3) Memberikan jaminan perlindungan bagi anak korban eksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
4) Memberikan jaminan perlindungan dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah bagi anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual;
5) Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua
dan/atau masyarakat, pers, pendidik, oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum tentang dampak buruk kekerasan dan eksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
6) Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua
dan/atau masyarakat, pers, pendidik, oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum tentang perlindungan identitas anak korban
eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; dan
7) Memberikan sosialisasi mengenai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.
b. Layanan Pengurangan Resiko, yang meliputi:
1) Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga yang beresiko mengalami dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
2) Memberikan layanan bagi anak dan keluarga korban kekerasan, dan
eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual meliputi:
a) konsultasi hukum;
b) bantuan hukum kepada korban kekerasan seksual;
c) mediasi kepada pihak-pihak terkait;
d) layanan psikososial;
16

e) bantuan ekonomi dan kecakapan hidup;


f) tempat perlindungan sementara; dan
g) melindungi identitas korban.
c. Layanan Penanganan Kasus, meliputi:
1) Melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang dalam
kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
2) Memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban;
3) Memberikan konseling dan adanya dukungan dari keluarga ;
4) Memperlakukan anak korban eksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
5) Memberikan rasa aman dan perlindungan bagi anak korban
eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dari pemberitaan; dan
6) Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Paragraf 4
Perlindungan Anak yang Menjadi Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika,
dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA)
Pasal 21
(1) Pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
(NAPZA) lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dan terlibat
dalam produksi dan distribusinya, menjadi kewajiban dan tanggung jawab
Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Penyelenggaraan perlindungan anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. Layanan Pencegahan, meliputi:
1. Membuat kebijakan perlindungan anak korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
2. Membuat kebijakan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (NAPZA); dan
3. Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua
dan/atau masyarakat dan anak tentang dampak buruk
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA).
b. Layanan Pengurangan Resiko, yang meliputi:
1. Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga yang beresiko;
2. Memberikan layanan bagi anak dan keluarga korban penyelahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA)
meliputi:
17

a. bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan


perilaku;
b. konsultasi hukum; dan
c. layanan psikososial.
c. Layanan Penanganan Kasus, meliputi:
1. Melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang dalam
kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
2. Memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
3. Melakukan konseling dan adanya dukungan dari keluarga;
4. Memperlakukan anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya(NAPZA) secara manusiawi sesuai
dengan martabat dan hak-hak anak; dan
5. Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Paragraf 5
Perlindungan Anak Korban Penculikan,
Penjualan dan Perdagangan
Pasal 22
(1) Perlindungan Khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e dilakukan
melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan dan
rehabilitasi oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Penyelenggaraan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penculikan, penjualan dan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam bentuk:
a. Layanan Pencegahan, meliputi:
1. Memberikan jaminan perlindungan bagi anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan; dan
2. Menyediakan mekanisme pengaduan dan penanganan kasus.
b. Layanan Pengurangan Resiko, meliputi:
1. Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga yang beresiko; dan
2. Memberikan layanan bagi anak dan korban penculikan,
penjualan dan perdagangan yang meliputi:
a. bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan
perilaku;
b. konsultasi hukum;
c. mediasi kepada pihak-pihak terkait;
d. layanan psikososial;
e. bantuan ekonomi dan kecakapan hidup;
f. tempat perlindungan sementara; dan
g. melindungi identitas korban.
c. Layanan Penanganan Kasus, meliputi:
1. Melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang
dalam kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
18

2. Memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban;


3. Melakukan konseling dan adanya dukungan dari keluarga;
4. Memperlakukan anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangansecara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
5. Memberikan aksesibilitas untuk mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara;
6. Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial; dan
7. Membuat database anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan.

Paragraf 6
Perlindungan Anak Korban Kekerasan
baik Fisik dan/atau Mental dan Anak yang Menyandang Cacat
Pasal 23
(1) Perlindungan Khusus bagi anak korban kekerasan baik fisik dan/atau
mental dan anak difabel yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud
dalam 17 huruf f dilakukan melalui upaya:
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang melindungi anak menjadi korban kekerasan;
b. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan
individu; dan
c. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus.
(2) Penyelenggaraan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental dan anak yang menyandang Cacat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. Layanan Pencegahan, yang meliputi:
1. membuat kebijakan pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang
menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial;
2. memberikan jaminan pendidikan bagi anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental dan anak yang menyandang cacat;
3. memberikan jaminan perlindungan dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi,penelantaran dan perlakuan yang salah bagi anak yang
menyandang cacat;
4. memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua
dan/atau masyarakat, pers, pendidik, oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum tentang dampak buruk kekerasan;
5. memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua
dan/atau masyarakat, pers, pendidik, oleh pemerintah tentang
perlindungan identitas anak yang menjadi korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental dan anak yang menyandang cacat dari stigma
buruk; dan
6. menyusun mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus.
19

b. Layanan Pengurangan Resiko, meliputi:


1. melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga yang beresiko;
2. memberikan layanan bagi anak dan keluarga korban kekerasan
yang meliputi:
a. bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan
perilaku;
b. konsultasi hukum;
c. mediasi kepada pihak-pihak terkait;
d. layanan psikososial;
e. bantuan ekonomi dan kecakapan hidup;
f. tempat perlindungan sementara; dan
g. melindungi identitas korban.
c. Layanan Penanganan Kasus, yang meliputi:
1. melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang
dalam kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
2. memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban;
3. melakukan konseling dan dukungan dari keluarga;
4. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
5. memberikan rasa aman dan perlindungan dari pemberitaan untuk
menghindari stigma buruk;
6. menyediakan sarana dan prasarana khusus bagi anak yang
menyandang cacat;
7. menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial; dan
8. membuat database anak korban kekerasan baik fisik dan/atau
mental dan anak yang menyandang cacat.

Paragraf 7
Perlindungan Anak
Korban Perlakuan Salah dan Penelantaran
Pasal 24
(1) Perlindungan anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dilakukan melalui upayapengawasan,
pencegahan, perawatan dan rehabilitasi oleh Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
(2) Penyelenggaraan perlindungan anak yang menjadi korban perlakuan salah
dan penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk:
a. Layanan Pencegahan, meliputi:
1. memberikan jaminan perlindungan bagi anak korbanperlakuan salah
dan penelantaran;
2. memberikan jaminan perlindungan dari segala bentuk penelantaran
dan perlakuan yang salah bagi anak;
20

3. memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua


dan/atau masyarakat, pers, pendidik, pemerintah, aparat penegak
hukum tentang dampak buruk perlakuan salah dan penelantaran;
dan
4. menyusun mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus.
b. Layanan Pengurangan Resiko, meliputi:
1. melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian
terhadap anak dan keluarga yang beresiko;
2. memberikan layanan bagi anak dan keluarga korban penelantaran
dan perlakuan salah meliputi:
a. bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan
perilaku;
b. konsultasi hukum;
c. mediasi kepada pihak-pihak terkait;
d. layanan psikososial; dan
e. tempat perlindungan sementara.
c. Layanan Penanganan Kasus, meliputi:
1. melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban yang dalam
kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya;
2. memberikan rujukan sesuai kebutuhan korban;
3. melakukan konseling dan dukungan dari keluarga;
4. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak; dan
5. melakukan pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
(4) Tata cara, mekanisme dan standar layanan perlindungan khusus bagi
tenaga kerja anak, pekerja anak dan anak yang bekerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB V
BENTUK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Pasal 25
Bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, antara lain:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual;
d. penelantaran;
e. eksploitasi; dan/atau
f. kekerasan lainnya.

Pasal 26
(1) Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a
merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit disertai cidera, luka
atau cacat pada tubuh, gugurnya kandungan, pingsan dan/atau
menyebabkan kematian perempuan dan/atau anak.
21

(2) Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b


merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan/atau penderitaan psikis pada perempuan dan/atau anak.
(3) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c,
meliputi:
a. perbuatan yang berupa pelecehan seksual, terdiri dari:
1. pelecehan fisik;
2. pelecehan lisan;
3. pelecehan isyarat;
4. pelecehan tertulis atau gambar; dan
5. pelecehan psikologis/emosional.
b. pemaksaan hubungan seksual;
c. pemaksaan hubungan seksual dengan tidak wajar atau tidak disukai;
dan/atau
d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
(4) Penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d, meliputi:
a. perbuatan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang dilakukan
oleh orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab
atas pengasuhannya;
b. perbuatan mengabaikan dengan sengaja untuk memelihara, merawat,
atau mengurus anak sebagaimana mestinya yang dilakukan oleh orang
tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhannya; dan/atau
c. perbuatan mengabaikan perempuan dengan sengaja dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada perempuan tersebut.
(5) Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e, meliputi:
a. perbuatan mengeksploitasi ekonomi atau seksual dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
b. perbuatan yang dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa, penindasan, pemerasan, pemanfaatan
fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain
untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril; dan
c. segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain
dari korban untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tidak terbatas pada
kegiatan pelacuran atau pencabulan.
(6) Kekerasan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf f
merupakan ancaman kekerasan dan pemaksaan.
22

(7) Ancaman kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi setiap
perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol,
atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.
(8) Pemaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi suatu keadaan
dimana seseorang atau korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian
rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
kehendak sendiri.

BAB VI
HAK-HAK KORBAN KEKERASAN
Pasal 27
Perempuan dan anak korban kekerasan mendapatkan hak-hak sebagai berikut:
a. hak untuk dihormati harkat dan martabat sebagai manusia;
b. hak atas pemulihan kesehatan dan psikologis dari penderitaan yang
dialami korban;
c. hak menentukan sendiri keputusannya;
d. hak mendapatkan informasi;
e. hak atas kerahasiaan;
f. hak kompensasi;
g. hak atas rehabilitasi sosial;
h. hak atas penanganan pengaduan;
i. hak atas pendampingan dan bantuan hukum;
j. hak untuk mendapatkan visum et repertum secara cuma-cuma; dan
k. hak korban dan keluarganya untuk mendapatkan kemudahan dalam proses
peradilan.

Pasal 28
Anak korban kekerasan, selain mendapatkan hak-hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 diberikan hak-hak khusus, sebagai berikut:
a. hak atas penghormatan dan penggunaan sepenuhnya untuk kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang;
b. hak pelayanan dasar;
c. hak perlindungan yang sama;
d. hak bebas dari berbagai stigma;
e. hak mendapatkan kebebasan; dan
f. hak untuk diadili berdasarkan azas restorative justice.

BAB VII
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 29
Kewajiban dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap
perempuan dan anak merupakan tanggungjawab bersama:
23

a. Pemerintah Daerah;
b. pemerintah desa;
c. Masyarakat; dan
d. orangtua, Wali dan/atau Keluarga.

Bagian Kedua
Pemerintah Daerah
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a,
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak korban serta hak-hak
khusus anak korban kekerasan;
b. menyusun dan melaksanakan program dan kegiatan terkait
perlindungan perempuan dan anak;
c. melaksanakan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan;
d. mengawasi pelayanan terhadap korban kekerasan berdasarkan
standar pelayanan minimal sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. mengalokasikan anggaran perlindungan terhadap perempuan dan
anak dari kekerasan sesuai kemampuan keuangan daerah dan
dianggarkan dalan setiap tahun anggaran; dan
f. mewujudkan Kabupaten Layak Anak.
(2) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan program perlindungan
perempuan dan anak yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, Pemerintah Daerah menyelenggarakan:
a. sistem data gender dan anak yang terpilah; dan
b. perencanaan dan penganggaran yang responsif gender dan layak anak.
(3) Pemerintah Daerah dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menjangkau
pelayanan di Daerah.

Bagian Ketiga
Pemerintah Desa
Pasal 31
(1) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 9 huruf b,
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. menyusun dan melaksanakan program dan kegiatan terkait
perlindungan perempuan dan anak;
b. melaksanakan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan;
c. mewujudkan desa Layak Anak; dan
d. mengalokasikan anggaran perlindungan terhadap perempuan dan
anak dari kekerasan sesuai kemampuan keuangan desa dalam setiap
tahun anggaran.
24

(2) Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah desa menyusun program
dan kegiatan aksi perlindungan perempuan dan anak dalam rencana aksi
desa yang merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka menengah
desa.

Bagian Keempat
Masyarakat
Pasal 32
(1) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 9 huruf c
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan perempuan
dan anak melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam perlindungan
perempuan dan anak.
(2) Bentuk peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak;
b. memberikan informasi dan/atau melaporkan tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak kepada penegak hukum atau pihak yang
berwenang; dan
c. turut serta dalam penanganan korban tindak kekerasan.

Bagian Kelima
Orangtua, Wali dan/atau Keluarga
Pasal 33
(1) Orangtua, wali dan/atau keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
huruf d secara hukum memiliki tanggung jawab penuh untuk mencegah
segala bentuk kekerasan dan melaporkan bila terjadi kekerasan dan
melindungi korban.
(2) Dalam hal orangtua, wali dan/atau keluarga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu
sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab dapat beralih kepada Pemerintah Daerah
dan keluarga lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB VIII
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 34
Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan penyelenggaraan perlindungan
perempuan dan perlindungan anak, yang meliputi:
25

a. pencegahan;
b. pelayanan; dan
c. rehabilitasi sosial.

Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 35
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a, dilaksanakan
dengan cara:
a. membentuk jaringan kerja dalam upaya pencegahan kekerasan;
b. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi pencegahan kekerasan
berdasarkan pola kemitraan;
c. membentuk sistem pencegahan kekerasan;
d. melakukan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak; dan
e. memberikan pengetahuan tentang pencegahan dan mekanisme
penanggulangan kekerasan pada perempuan dan anak.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
terpadu oleh Perangkat Daerah Kabupaten dan instansi terkait yang
mempunyai tugas pokok dan fungsinya dalam penyelenggaraan urusan:
a. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
b. pendidikan;
c. kesehatan;
d. sosial;
e. ketenagakerjaan;
f. pemuda dan olah raga; dan
g. mental dan spritual.
(3) Selain dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten dan instansi terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pencegahan juga dilaksanakan oleh:
a. keluarga dan/atau kerabat terdekat;
b. masyarakat, LSM, organisasi masyarakat, organisasi sosial dan
organisasi keagamaan; dan
c. dunia usaha.

Bagian Ketiga
Pelayanan
Pasal 36
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b, memperhatikan:
a. prinsip pelayanan; dan
b. bentuk pelayanan terhadap korban.

Pasal 37
Prinsip pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, terdiri atas:
a. cepat;
b. aman dan nyaman;
26

c. rasa empati;
d. non diskriminasi;
e. mudah dijangkau;
f. tidak dikenakan biaya; dan
g. dijamin kerahasiaannya.

Pasal 38
Bentuk pelayanan terhadap korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf b, terdiri atas:
a. pelayanan terhadap perempuan dan anak korban tindak kekerasan, meliputi:
1. pelayanan pengaduan, konsultasi dan konseling;
2. pelayanan pendampingan;
3. pelayanan kesehatan;
4. pelayanan bantuan hukum; dan
5. pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.
b. pelayanan khusus terhadap perempuan korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga atau perdagangan orang, meliputi:
1. pelayanan pengaduan;
2. pelayanan penjemputan;
3. pelayanan rujukan medis dan psikologis;
4. pelayanan shelter;
5. pelayanan pendampingan dan pemberian bantuan hukum; dan
6. pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.

Pasal 39
Pelayanan pengaduan, konsultasi dan konseling sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 huruf a angka 1, meliputi:
a. identifikasi atau pencatatan awal korban; dan
b. persetujuan dilakukan tindakan (informed consent).

Pasal 40
Pelayanan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a
angka 2 meliputi:
a. mendampingi korban selama proses pemeriksaan dan pemulihan kesehatan;
b. pendampingan korban selama proses recovery psikologis;
c. mendampingi korban selama proses medicolegal;
d. mendampingi korban selama proses pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan;
e. memantau kepentingan dan hak-hak korban dalam proses pemeriksaan di
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan;
f. menjaga privasi dan kerahasiaan korban dari semua pihak yang tidak
berkepentingan, termasuk pemberitaan oleh media massa;
g. melakukan koordinasi dengan pendamping yang lain; dan
h. memberikan penanganan yang berkelanjutan hingga tahap rehabilitasi.
27

Pasal 41
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a angka 3
meliputi:
a. pertolongan pertama kepada korban oleh petugas yang berkompeten;
b. perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan
kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis; dan
c. rujukan ke pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan.

Pasal 42
(1) Pelayanan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a
angka 4 untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan.
(2) Pelayanan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara:
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai
hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk
secara lengkap menjelaskan kekerasan yang dialaminya; dan
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.

Pasal 43
(1) Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 huruf a angka 5 dilakukan untuk mengembalikan korban kepada
keluarga dan lingkungan sosialnya.
(2) Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan:
a. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam satu wilayah Provinsi atau luar
Provinsi; dan/atau
b. instansi dan lembaga terkait baik Pemerintah maupun non Pemerintah.
(3) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 8 , dilaksanakan
sesuai standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah/Pemerintah
Daerah dan dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten yang
mempunyai tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan urusan:
a. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
b. sosial;
c. ketenagakerjaan;
d. kesehatan;
e. pendidikan;
f. keamanan dan ketertiban; dan
g. mental dan spiritual.
(4) Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota lain, dan masyarakat.
28

Bagian Keempat
Rehabilitasi Sosial
Pasal 44
(1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c
merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping untuk memulihkan
kondisi traumatis korban.
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara:
a. memberikan bimbingan dan konseling terhadap korban dan orang tua
korban;
b. pemulihan kejiwaan korban;
c. pendampingan korban dan orang tua korban di lingkungan keluarga
dan masyarakat; dan
d. menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan yang membutuhkan
penanganan berkelanjutan.
(3) Rehabilitasi sosial khusus bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga dan perdagangan orang dilakukan dengan cara:
a. pemberian bimbingan dan konseling;
b. pemulihan kejiwaan korban; dan
c. pendampingan korban di lingkungan keluarga dan masyarakat.
(4) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Perangkat Daerah Kabupaten yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
dalam penyelenggaraan urusan:
a. sosial;
b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
c. kesehatan; dan
d. mental dan spiritual.
(5) Selain dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), rehabilitasi sosial juga dapat dilaksanakan oleh
masyarakat atau lembaga pelayanan sosial.

BAB IX
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 45
Untuk membantu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,
Pemerintah Daerah dapat membentuk:
a. Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak;
b. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di tingkat
Daerah;
c. Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Kecamatan;
d. Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Desa;
29

e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah;


f. Forum Anak Daerah; dan
g. Lembaga atau organisasi lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Unit Pelaksana Teknis Daerah
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Pasal 46
UPTD PPPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a adalah pelaksana
teknis untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional di wilayah kerjanya
dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami masalah
kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan masalah lainnya.

Bagian Ketiga
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
Pasal 47
(1) P2TP2A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, merupakan wadah
pelayanan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang berbasis
terhadap masyarakat yang berfungsi sebagai pusat pelayanan terpadu dalam
memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak.
(2) Susunan anggota P2TP2A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
terdiri dari:
a. unsur Pemerintah Daerah;
b. akademisi;
c. ahli hukum;
d. psikolog;
e. psikiater;
f. tokoh agama; dan
g. unsur masyarakat.
(3) Tugas pokok dari P2TP2A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak; dan
b. meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan P2TP2A ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.

Bagian Keempat
Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Kecamatan
Pasal 48
(1) Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Kecamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c, merupakan unit kerja
fungsional yang menyelenggarakan pelayanan perlindungan dan
penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan secara terpadu
di tingkat Kecamatan.
30

(2) Pengurus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Kecamatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. unsur aparat Kecamatan;
b. dinas atau instansi tingkat Kecamatan;
c. unsur Kepolisian Sektor;
d. unsur Komando Rayon Militer;
e. tokoh masyarakat atau tokoh agama;
f. unsur pemuda; dan
g. unsur Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Kecamatan.
(3) Tugas pokok Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat
Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. memberikan pelayanan dalam rangka perlindungan perempuan dan
anak;
b. menerima pengaduan masyarakat mengenai kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak di wilayah Kecamatan dan Desa;
c. memfasilitasi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan
dalam menyelesaikan permasalahannya;
d. mensosialisasikan kepada masyarakat tentang perlindungan perempuan
dan anak; dan
e. memberikan pendampingan bagi korban atau merujuk ke P2TP2A,
kepolisian sektor/kepolisian resor, rumah sakit atau lembaga lain yang
diperlukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas, dan fungsi tugas
perlindungan perempuan dan anak tingkat kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Camat.

Bagian Kelima
Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Desa
Pasal 49
(1) Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d merupakan unit kerja
fungsional yang menyelenggarakan pelayanan perlindungan dan
penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan secara
terpadu di tingkat Desa.
(2) Pengurus Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. unsur aparat Desa;
b. unsur Bintara Pembina Desa atau Kelurahan;
c. unsur Bintara Pembina Masyarakat;
d. tokoh masyarakat atau tokoh agama;
e. unsur pemuda; dan
f. unsur Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Desa.
(3) Tugas pokok Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
31

a. memberikan pelayanan dalam rangka perlindungan perempuan dan


anak;
b. menerima pengaduan masyarakat mengenai kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak di wilayah Desa;
c. memfasilitasi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan
dalam menyelesaikan permasalahannya;
d. mensosialisasikan kepada masyarakat tentang perlindungan perempuan
dan anak; dan
e. memberikan pendampingan bagi korban atau merujuk ke gugus tugas
perlindungan perempuan dan anak tingkat Kecamatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas dan fungsi satuan
tugas perlindungan perempuan dan anak tingkat desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan kepala desa.

Bagian Keenam
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
Pasal 50
(1) Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf e merupakan mitra Pemerintah dalam ikhtiar pemenuhan
hak-hak anak dan perlindungan anak serta berkedudukan di tingkat
Kabupaten.
(2) Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah ditetapkan dengan keputusan
Bupati.
(3) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah terdiri atas 1
(satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang anggota.
(4) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah berasal dari unsur
Pemerintah Daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli
terhadap pelindungan anak.

Pasal 51
(1) Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf e mempunyai rincian tugas meliputi :
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan
pemenuhan hak anak;
b. memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan perlindungan anak;
c. mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak;
d. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran hak anak;
e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak;
f. melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di
bidang perlindungan anak; dan
g. tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
32

(2) Dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan berkenaan


dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah, maka pengaturan
mengenai Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.

Bagian Ketujuh
Forum Anak Daerah
Pasal 52
(1) Forum Anak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf f adalah
organisasi atau lembaga sosial yang digunakan sebagai wadah atau pranata
partisipasi bagi anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dimana
anggotanya merupakan perwakilan dari kelompok anak atau kelompok
kegiatan anak yang dikelola oleh anak-anak dan dibina oleh pemerintah
sebagai media untuk mendengar dan memenuhi aspirasi, suara, pendapat,
keinginan dan kebutuhan anak dalam proses pembangunan.
(2) Forum Anak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk secara
berjenjang pada semua tingkatan yaitu :
a. Tingkat Kabupaten;
b. Tingkat Kecamatan; dan
c. Tingkat Desa.

Paragraf 1
Forum Anak Tingkat Kabupaten
Pasal 53
(1) Forum Anak Tingkat Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) huruf a merupakan wadah partisipasi anak dalam wilayah Kabupaten
yang beranggotakan perwakilan Forum Anak Tingkat Kecamatan paling
kurang 1 (satu) anak perempuan dan 1 (satu) anak laki-laki.
(2) Forum Anak Tingkat Kabupaten ditetapkan dengan Keputusan Bupati
dengan masa kepengurusan selama 2 (dua) tahun.
(3) Agar Forum Anak Tingkat Kabupaten dapat berjalan dengan baik harus
dibentuk sekretariat.
(4) Pembentukan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
melibatkan paling banyak 40% (empat puluh perseratus) orang dewasa yang
belum menikah.
(5) Keterlibatan orang dewasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dimaksudkan untuk membimbing dan membina anggota baru pada Forum
Anak Tingkat Kabupaten.
(6) Perangkat Daerah Kabupaten yang membidangi pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak sebagai Pembina Forum Anak Tingkat Kabupaten
memfasilitasi terbentuknya Forum Anak Tingkat Kabupaten mulai tahap
pemilihan, pengesahan kepengurusan dan pembinaan dalam peningkatan
kapasitas dari anggota Forum Anak Tingkat Kabupaten.
33

Paragraf 2
Forum Anak Tingkat Kecamatan
Pasal 54
(1) Forum Anak Tingkat Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) huruf b merupakan wadah partisipasi anak dalam wilayah kecamatan
yang beranggotakan perwakilan Forum Anak Tingkat Desa paling kurang 1
(satu) anak perempuan dan 1 (satu) anak laki-laki.
(2) Forum Anak Tingkat Kecamatan ditetapkan dengan Keputusan Camat
dengan masa kepengurusan selama 2 (dua) tahun.
(3) Pemerintah Kecamatan sebagai Pembina Forum Anak Tingkat Kecamatan
memfasilitasi terbentuknya Forum Anak Tingkat Kecamatan mulai tahap
pemilihan, pengesahan kepengurusan dan pembinaan dalam peningkatan
kapasitas dari anggota Forum Anak Tingkat Kecamatan.

Paragraf 3
Forum Anak Tingkat Desa
Pasal 55
(1) Forum Anak Tingkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)
huruf c merupakan wadah partisipasi anak dalam wilayah Desa yang
beranggotakan perwakilan dari Rukun Tetangga dan Rukun Warga paling
kurang 1 (satu) anak perempuan dan 1 (satu) anak laki-laki.
(2) Forum Anak Tingkat Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa dengan
masa kepengurusan selama 2 (dua) tahun.
(3) Pemerintah Desa sebagai Pembina Forum Anak Tingkat Desa memfasilitasi
terbentuknya Forum Anak Tingkat Desa mulai tahap pemilihan, pengesahan
kepengurusan dan pembinaan dalam peningkatan kapasitas dari anggota
Forum Anak Tingkat Desa.
(4) Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa mempunyai berkewajiban
menampung dan membina partisipasi anak dalam pembangunan serta dalam
memperjuangkan hak anak.

BAB X
KABUPATEN LAYAK ANAK
Pasal 56
(1) Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem penyelenggaraan
Kabupaten Layak Anak dalam rangka memenuhi hak-hak anak.
(2) Pengembangan Kabupaten Layak Anak dilaksanakan berdasarkan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. tata pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, keterbukaan informasi, dan supremasi hukum;
b. non-diskriminasi, yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis
kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi,
kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya;
34

c. kepentingan terbaik bagi anak, yaitu menjadikan hal yang paling baik
bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap kebijakan, program,
dan kegiatan;
d. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, yaitu
menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
anak semaksimal mungkin; dan
e. penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan
memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk
menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk
mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu
hal yang mempengaruhi dirinya.
(3) Perangkat penyelenggaraaan Kabupaten Layak Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sistem pembangunan dan pelayanan publik;
b. Pelayanan kesehatan Ramah Anak;
c. Keluarga Ramah Anak;
d. Sekolah Ramah Anak; dan
e. Lingkungan Ramah Anak;
f. Pesantren Ramah Anak.
(4) Pemerintah Daerah di dalam menyelenggarakan Kabupaten Layak Anak
sebagimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan Indikator
Kabupaten Layak Anak yang meliputi:
a. kelembagaan; dan
b. klaster hak anak.
(5) Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a meliputi:
a. adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan
hak anak;
b. persentase anggaran untuk pemenuhan hak anak, termasuk anggaran
untuk penguatan kelembagaan;
c. jumlah peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan
yang mendapatkan masukan dari Forum Anak dan kelompok anak
lainnya;
d. tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) terlatih Konferensi Hak-hak Anak
(KHA) dan mampu menerapkan hak anak ke dalam kebijakan, program,
dan kegiatan;
e. tersedia data anak terpilah menurut jenis kelamin, umur, dan
kecamatan;
f. keterlibatan lembaga masyarakat dalam pemenuhan hak anak; dan
g. keterlibatan dunia usaha dalam pemenuhan hak anak.

Pasal 57
Klaster hak anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4) huruf b yang
meliputi:
a. Hak sipil dan kebebasan yang meliputi:
1) hak anak atas identitas;
2) hak perlindungan identitas;
35

3) hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat;


4) hak berpikir, berhati nurani, beragama, dan berkepercayaan;
5) hak berorganisasi dan berkumpul secara damai;
6) hak atas perlindungan kehidupan pribadi;
7) hak akses informasi yang layak; dan
8) hak bebas dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
b. Hak lingkungan keluarga dan pengasuhan yang meliputi:
1) bimbingan dan tanggung jawab orang tua;
2) anak yang terpisah dari orang tua;
3) reunifikasi;
4) pemindahan anak secara ilegal;
5) dukungan kesejahteraan;
6) anak yang terpaksa dipisahkan dari lingkungan keluarga;
7) pengangkatan/adopsi anak;
8) tinjauan penempatan secara berkala; dan
9) kekerasan dan penelantaran.
c. Hak anak dalam kesehatan dasar dan kesejahteraan yang meliputi:
a. anak penyandang disabilitas mendapatkan akses pelayanan kesehatan
dan kesejahteraannya;
b. kesehatan dan layanan kesehatan;
c. jaminan sosial layanan dan fasilitasi kesehatan; dan
d. standar hidup;
d. Hak anak dalam pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya
yang meliputi:
1) pendidikan;
2) tujuan dari pendidikan; dan
3) kegiatan liburan, kegiatan budaya, dan olah raga.
e. Perlindungan kepada anak dalam perlindungan khusus yang meliputi:
1) anak dalam situasi darurat;
2) anak yang berhadapan dengan hukum;
3) anak dalam situasi eksploitasi; dan
4) anak yang masuk dalam kelompok minoritas dan terisolasi.

Pasal 58
(1) Untuk mengefektifkan pengembangan Kabupaten Layak Anak, maka
dibentuk Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
(2) Keanggotaan Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak sebagimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berasal dari Pemerintah Daerah, perwakilan anak, dunia
usaha, tokoh agama, tokoh masyarakat dan pihak lain sesuai kebutuhan.
(3) Dalam menyelenggarakan tugas pokok, anggota Gugus Tugas Kabupaten
Layak Anak sebagimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai rincian tugas
meliputi:
a. mengkoordinasikan berbagai upaya pengembangan Kabupaten Layak
Anak;
36

b. menyusun Rencana Aksi Daerah Pembangunan Kabupaten Layak Anak;


c. melaksanakan sosialisasi, advokasi dan komunikasi pengembangan
Kabupaten Layak Anak;
d. melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan, program dan
kegiatan dalam Rencana Aksi Daerah Pembangunan Kabupaten Layak
Anak;
e. melakukan evaluasi setiap akhir tahun terhadap pelaksanaan kebijakan,
program dan kegiatan dalam Rencana Aksi Daerah Pembangunan
Kabupaten Layak Anak; dan
f. menyampaikan laporan kepada Bupati.

Pasal 59
(1) Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf b
disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan
yang terintegrasi dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah,
dan rencana kerja perangkat daerah.
(2) Rencana Aksi Daerah memiliki fokus program tahunan yang mengacu pada
tahapan pencapaian indikator Kabupaten Layak Anak.
(3) Rencana Aksi Daerah Kabupaten Layak Aanak harus berbasis pada
permasalahan di lapangan dan penyelesaiannya secara menyeluruh.
(4) Rencana Aksi Daerah disosialisasikan kepada seluruh Perangkat Daerah,
pemangku kepentingan anak, keluarga, dan masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Aksi Daerah Kabupaten Layak
Anak ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB XI
PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN
Pasal 60
Pemantauan dilakukan secara berkala dan terpadu dilakukan setiap 6 (enam)
bulan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berkoordinasi dengan
Perangkat Daerah atau unit-unit lainnya yang menangani pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak.

Pasal 61
Evaluasi penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
dilakukan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak paling sedikit 2
(dua) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 62
(1) Pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak dilakukan oleh:
37

a. P2TP2A kepada Bupati;


b. Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Kecamatan
kepada Camat;
c. Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Desa
kepada Kepala Desa; dan
d. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah kepada Bupati melalui
Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis, meliputi:
a. administrasi;
b. keuangan;
c. pelayanan; dan
d. kinerja.
(3) Penyampaian laporan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

BAB XII
PENDANAAN
Pasal 63
Pendanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. anggaran pendapatan dan belanja desa; dan
c. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB XIII
SANKSI
Pasal 64
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 10 atau tidak
memberikan perlindungan terhadap bentuk kekerasan pada perempuan dan
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, serta tidak
memberikan hak perempuan dan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dan Pasal 28, sehingga menyebabkan terjadinya kekerasan, membiarkan
terjadinya kekerasan, dan/atau tidak melaporkan dan tidak memberikan
perlindungan terhadap korban, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(2) Perangkat Daerah Kabupaten yang mempunyai tugas dan fungsi
menyelenggarakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tidak
melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya dikenakan sanksi
administratif.
(3) Pengurus P2TP2A, Gugus Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat
Kecamatan, Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Tingkat Desa
dan Lembaga atau organisasi lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
38

undangan yang melaksanakan tugas perlindungan, apabila melanggar


prinsip-prinsip perlindungan, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
mekanisme yang berlaku di internal lembaga atau organisasi masing-masing.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Tasikmalaya.

Ditetapkan di Singaparna
pada tanggal 30 Agustus 2019

BUPATI TASIKMALAYA,

ttd.

ADE SUGIANTO

Diundangkan di Singaparna
pada tanggal 30 Agustus 2019

Pj.SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN TASIKMALAYA,

ttd.

IIN AMINUDIN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 2019 NOMOR 5


NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA, PROVINSI JAWA
BARAT NOMOR 5/220/2019

Anda mungkin juga menyukai