Anda di halaman 1dari 14

Resume Jurnal Mengenai

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sumber Daya Air

DISUSUN OLEH :

Nama : Kartika Sukma Pratiwi


NIM : 03011182025022
Kelas : B Indralaya

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
KELAS B INDRALAYA
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2022
Dampak Perubahan Iklim terhadap Sumberdaya Air: Identifikasi,
Simulasi, dan Rencana Aksi
Popi Rejekiningrum
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl. Tentara
Pelajar No. 1A, Bogor 16114;
email: popirejeki@yahoo.com

Perubahan iklim saat ini telah terjadi secara global. Bukti-bukti tentang hal itu
telah dilaporkan secara sistematis oleh Intergovermental Panel on Climate Change
(IPCC) dan The United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC).
Perubahan iklim telah dan akan menyebabkan bahaya langsung berupa
perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, kenaikan muka air, dan kejadian iklim
ekstrim. Berbagai proses yang memicu perubahan iklim global dan perubahan iklim
telah diterima banyak pihak sebagai keniscayaan yang dicirikan oleh pemanasan global,
dengan dampak langsung terhadap daur hidrologi, sehingga perubahan iklim diyakini
memberi dampak secara nyata terhadap sumberdaya air di banyak wilayah di dunia
dengan konsekuensi luas pada kehidupan masyarakat dan lingkungan.
Makalah ini membahas dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air di
Indonesia melalui identifikasi dengan data dan fakta empirik terjadinya tren perubahan
curah hujan dan debit aliran sungai‐sungai di Indonesia dan berbagai upaya antisipasi
melalui adaptasi, serta Undang Undang dan Rencana Aksi yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya air dalam menyikapi perubahan iklim global. Upaya-upaya
tersebut diharapkan menjadi strategi untuk mengurangi kerentanan dan risiko
perubahan iklim sektor sumberdaya air.
Perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim yang magnitude dan/atau
intensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari dinamika dan kondisi rata-rata,
menuju ke arah (tren) tertentu (meningkat atau menurun). Penyebab utama perubahan
iklim adalah kegiatan manusia (antropogenik) yang berkaitan dengan meningkatnya
emisi gas rumah kaca (GRK) seperti CO2, metana (CH4), CO2, NO, dan CFCs
(chlorofluoro-carbons) yang mendorong terjadinya pemanasan global dan telah
berlangsung sejak hampir 100 tahun terakhir (Balitbangtan 2011).

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL: IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI


Perubahan Iklim Global

Laporan Kelompok Kerja Pertama IPCC tentang fakta ilmiah terjadinya


perubahan iklim secara global dikeluarkan pada tanggal 30 September 2013. Menurut
IPCC, kenaikan suhu global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89˚C. Di kawasan Asia
Tenggara, tercatat kenaikan suhu pada kisaran 0,4-1˚C. Diperkirakan kenaikan suhu di
wilayah Asia Tenggara untuk jangka menengah (2046-2065) sebesar 1,5-2˚C. Pada saat
ini, kenaikan suhu yang paling tinggi terkonsentrasi di daerah bagian barat laut yaitu di
beberapa negara seperti Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Untuk
jangka panjang (2081-2100), kenaikan suhu diperkirakan 2-4˚C yang akan menyebar
ke seluruh daratan secara merata. Suhu tertinggi di siang hari akan mencapai 3-4˚C
lebih tinggi dari suhu rata rata saat ini di seluruh daratan di kawasan Asia Tenggara.
Curah hujan diperkirakan akan meningkat di beberapa negara termasuk
Indonesia dan Papua Nugini. Sedangkan di negara lain seperti Thailand, Laos,
Myanmar, Kamboja, dan Vietnam, curah hujan diperkirakan akan menurun sebesar
10%-20% pada bulan Maret-Mei. Secara keseluruhan, curah hujan tahunan
diperkirakan akan meningkat, kecuali di bagian barat daya Indonesia. Kelembaban
tanah akan meningkat hingga 1 mm di bagian barat daya Papua Nugini dan penurunan
sekitar 0,6 mm di bagian barat Papua Nugini, yaitu di negara-negara Laos, Vietnam,
Kamboja, Thailand, Malaysia, dan sebagian Indonesia dan Myanmar.
IPCC juga mencatat adanya kemungkinan terjadi panas ekstrim dan gelombang
panas (heatwaves) di Asia. Kawasan Asia juga akan kehilangan keanekaragaman hayati
berupa terumbu karang hingga 88% akibat dari pemutihan untuk 30 tahun mendatang.
Risiko pemutihan tahunan terumbu karang akan terjadi mulai dari tahun 2030. IPCC
mencatat bahwa fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi merupakan dampak
perbuatan manusia dan bukan bencana alam (IPCC 2013).

Perubahan Iklim Indonesia

Menurut World Bank ada beberapa daerah di Indonesia yang sangat rentan
terhadap bahaya perubahan iklim. Meskipun suhu udara di Indonesia kemungkinan
hanya akan mengalami sedikit kenaikan, perubahan iklim akan mengakibatkan
kenaikan curah hujan dan permukaan laut yang lebih besar. Masyarakat dan ekosistem
yang sangat rentan terhadap risiko perubahan iklim berada di Jawa, Bali, beberapa
bagian Sumatera dan sebagian besar Papua. Peningkatan suhu di laut juga akan
berpengaruh pada keanekaragaman hayati laut dan sangat berbahaya bagi terumbu
karang. Adapun dampak ekonomi dari perubahan iklim di Indonesia akan tinggi. Tanpa
mempertimbangkan dampak non pasar dan risiko bencana, kerugian Produk Domestik
Bruto (PDB) rata rata diproyeksikan mencapai 2,5% di tahun 2100.
(http://go.worldbank.org/0F7PS203T0)
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan
suhu rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya
El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini memberi dampak
serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, termasuk kesehatan, pertanian, dan
perekonomian. Beberapa studi dari beberapa institusi, baik dari dalam maupun luar
negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960,
meskipun analisis ilmiah maupun datadatanya masih terbatas.
Peningkatan suhu rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap
pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun Asia dan Australia.
Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap
setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau). Perubahan suhu rerata harian
juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrim.
Kenaikan rerata tinggi muka laut global pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7
mm per tahun, walaupun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia
yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak
seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan pola arus, juga
meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi wetland
(lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap akifer
daerah pantai.
Kajian dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air antara lain
meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berpotensi menimbulkan banjir,
tanah longsor, dan kekeringan. Kondisi tersebut diperparah oleh semakin menurunnya
daya dukung lahan akibat meningkatnya tekanan terhadap lahan. Pada dasarnya,
perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal dari bencana alam yang saat ini
semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim berkontribusi dalam membuat
fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrim atau luar biasa.

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUMBERDAYA AIR GLOBAL

Pawitan (1999), dan Rango (1998), mempertimbangkan peran pemodelan


hidrologi dalam kajian perubahan iklim dan kerentanan sistem sumberdaya air wilayah.
Hasil penelitian Pawitan(1999) menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan
berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi
musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, dan ukuran DAS
serta kapasitas sistem storage DAS, baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa,
danau/waduk, dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi),
akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem
sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim.
Gleick (1989) mengulas state-of-the-art kajian dampak perubahan iklim
terhadap daur hidrologi dan sumberdaya air wilayah, serta dampak perubahan terhadap
perencanaan dan pengelolaan air di masa mendatang. Dua kemungkinan skenario yang
perlu dipertimbangkan adalah: (1) skenario limpasan dan kelengasan tanah untuk
menentukan peningkatan frekuensi dan lama dari tingkat air rendah, dan (2) skenario
suhu dan curah hujan untuk menentukan perubahan distribusi temporal dan amplitudo
dari tingkat air musiman. Selanjutnya skenario perubahan iklim yang dihasilkan GCM
ini diterjemahkan ke dalam neraca air wilayah dan limpasan pada skala DAS untuk
menyatakan tingkat ketersediaan air wilayah melalui model pengelolaan air.

Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim terkait Sumberdaya


Air

Perbaikan pola pembangunan yang selama ini dilakukan sudah saatnya


diperbarui. Paradigma lingkungan harus diinternalisasikan ke dalam berbagai sektor
pembangunan, seperti sektor energi, pengelolaan hutan dan sumberdaya alam,
pertanian, perkebunan, tata ruang, dan infrastruktur. Berbagai instansi yang terkait
dengan upaya penanggulangan perubahan iklim dan dampaknya perlu melakukan
koordinasi yang rapi dan sistematik. Pola-pola pembangunan lama harus ditinggalkan
dan digantikan dengan pola pembangunan yang berkelanjutan. Dokumen Rencana Aksi
Nasional merupakan sebuah instrumen kebijakan yang bersifat dinamis sehingga perlu
dievaluasi, diperbarui, dan diperbaiki secara berkala disesuaikan dengan dinamika
perubahan iklim itu sendiri. Rencana aksi ini diharapkan bisa diimplementasikan dan
dijadikan sebagai panduan untuk seluruh instansi terkait, baik di pusat maupun daerah,
dalam melaksanakan pembangunan di masa sekarang ataupun yang akan datang. Oleh
karena itu, Rencana Aksi Nasional ini sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM).
Selanjutnya Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi perubahan iklim pada
sektor sumberdaya air, mempunyai tujuan yang tertuang dalam agenda adaptasi
terhadap perubahan iklim adalah mendukung pencapaian visi air Indonesia yakni
“Menuju Terwujudnya Kemanfaatan Air yang Mantap, Berdayaguna, Berhasilguna dan
Berkelanjutan bagi Kesejahteraan Seluruh Rakyat.”
Dengan berubahnya iklim, kejadian kekeringan bertambah parah, air tanah
semakin berkurang serta kenaikan air laut memicu instrusi air laut ke daratan sehingga
mencemari kualitas sumber-sumber air untuk keperluan air bersih dan irigasi. Untuk
memperkuat program dan inisiatif yang telah ada sehingga menjadi tahan terhadap
perubahan iklim, rencana aksi yang perlu diimplementasikan antara lain:
• Mengadakan inventarisasi tempat pengambilan air baku untuk air minum di
sungai (intake) dan daerah irigasi yang terkena dampak kenaikan muka air laut
dan mengidentifikasi upaya-upaya penanganannya.
• Memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi
perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan
sumber air.
• Menginventarisasi DAS yang mengalami pencemaran namun tingkat
penggunaan airnya sangat tinggi untuk ditentukan prioritas penanganannya.
• Melaksanakan program pembangunan situ, embung dan waduk di wilayah
Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Bali, NTB, dan NTT seperti yang
telah diprogramkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2008. Tempat-
tempat penampungan air tersebut dapat dipergunakan sebagai sarana
penyimpan air di musim hujan sehingga bisa dimanfaatkan di musim kemarau.
• Melanjutkan gerakan hemat air untuk segala keperluan, seperti air minum,
domestik, pertanian, industri, pembangkit listrik, dan sebagainya.
• Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan
memperbaiki daerah tangkapan air sebagai daerah resapan air melalui upaya
konservasi lahan, baik dengan metode mekanis (misal: pembuatan terasering
dan sumur resapan) mapun vegetatif.
• Mengembangkan teknologi dam parit yang dibangun pada alur sungai untuk
menambah kapasitas tampung sungai, memperlambat laju aliran dan
meresapkan air ke dalam tanah (recharging).
• Perlu dikembangkan teknologi yang dapat memanfaatkan air laut menjadi air
yang dapat diminum. Upaya daur ulang air juga perlu dilaksanakan.

Undang Undang dan Rencana Aksi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya
air dalam menghadapi perubahan iklim global yang dapat diacu sebagai landasan
yuridis adalah Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air, UU No. 24
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, UU No. 23 Tahun 1997 tentang
lingkungan hidup. Rencana Aksi Nasional merupakan instrumen kebijakan yang
bersifat dinamis sehingga perlu dievaluasi, diperbarui, dan diperbaiki secara berkala
disesuaikan dengan dinamika perubahan iklim itu sendiri. RAN-API untuk sektor
sumberdaya air adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan manajemen prasarana sumberdaya air dalam rangka mendukung


penyediaan air dan ketahanan pangan.

a. Pembangunan pengelolaan dan rehabilitasi bendung, embung dan bendungan


serta meningkatkan kualitas pengelolaannya.
b. Pengendalian penggunaan air pada sumber air.
c. Pemantauan pengelolaan kualitas air pada sumber air.
d. Pembangunan, pemeliharaan dan rehabilitasi pra-sarana penyediaan air baku,
untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, perkotaan, dan industri.
e. Pembangunan, pengelolaan dan rehabilitasi sistem jaringan irigasi (termasuk
subak) untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
f. Pengembangan dan penerapan teknologi irigasi hemat air dalam rangka
intensifikasi pertanian.
g. Penyusunan dan pemutakhiran Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK)
untuk pengelolaan sumberdaya air.

2. Mengembangkan disaster risk management banjir (sungai, rob, lahar hujan),


longsor, dan kekeringan.

a. Pembangunan dan/atau pemeliharaan bangunan pantai untuk mengatasi


banjir/rob pada kota-kota besar di daerah pesisir dan strategis lainnya.
b. Pelaksanaan penataan, penertiban sempadan sungai untuk lokasi-lokasi yang
mengalami banjir/penyebab banjir.
c. Pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana pengendalian
banjir dan kekeringan untuk kota dan kabupaten yang rentan terhadap bencana.
d. Peningkatan kapasitas (capacity building) dalam disaster risk management.
e. Pembangunan prasarana early warning system untuk antisipasi bencana
(bencana dan kekeringan).
f. Penyusunan dan pemutakhiran NSPK untuk disaster risk management
sumberdaya air.
g. Penyusunan rencana tata tanam yang reliable dan pelaksanaan sosialisasinya
dalam rangka antisipasi kekeringan.
h. Penyelenggaraan perbaikan sistem pengelolaan irigasi dengan
mengintegrasikan pengelolaan risiko perubahan iklim.
i. Pelaksanaan reevaluasi pengaturan operasi dan pemeliharaan irigasi untuk
mengakomodasi dampak perubahan iklim dalam hal bertambah atau
berkurangnya intensitas curah hujan.

3. Meningkatkan manajemen dan mengembangkan prasarana sumberdaya air


untuk pengendalian daya rusak air

a. Pengembangan teknologi, pembangunan, dan pemeliharaan prasarana dan


sarana untuk pengendalian pencemaran air pada sumber air (sungai, danau, dan
waduk).
b. Pengembangan teknologi, pembangunan, dan pemeliharaan prasarana dan
sarana untuk pengendalian sedimentasi sungai, danau, dan waduk.
c. Pengembangan teknologi, pembangunan, dan pemeliharaan prasarana dan
sarana untuk pengendalian erosi dan sedimentasi pada pantai.

4. Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat tentang penyelamatan air

a. Pelaksanaan kampanye hemat air/Gerakan Nasional Penyelamatan Air


(GNPA).
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam gerakan hemat air dan
penyelamatan air.

5. Meningkatkan penyediaan dan akses terhadap data dan informasi terkait


dampak perubahan iklim.

a. Penyusunan dan pemutakhiran database mengenai neraca air (potensi dan


kebutuhannya) wilayah sungai untuk ketersediaan air di masa depan dengan
memperhitungkan perubahan iklim.
b. Penyusunan kajian dan database kerawanan kawasan/daerah yang rentan
terhadap bencana dampak perubahan iklim.
c. Pelaksanaan rasionalisasi jaringan pos hidrologi dan penerapan teknologi
telemetri dalam forecasting untuk memantau dampak perubahan iklim.

KESIMPULAN

Identifikasi terjadinya perubahan iklim dilakukan dengan melihat fakta-fakta


ilmiah secara global yang dilaporkan oleh IPCC, DNPI dan Pokja Perubahan Iklim.
Terjadinya perubahan iklim diidentifikasi dari kenaikan suhu global, kenaikan muka air
laut di kawasan pesisir pantai, perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim.
Analisis perubahan iklim dilakukan dengan melakukan kajian lebih intensif
dengan pendekatan simulasi empirik, semi empirik, dan modeling iklim global (GCM),
dan yang lebih penting pada tingkat nasional adalah kajian terhadap perubahan iklim
wilayah.
Dampak perubahan iklim pada sumberdaya air teridentifikasi dari indikator
penting perubahan iklim yaitu trend debit aliran sungai, kondisi biofisik DAS, respon
hidrologi DAS (menentukan ketersediaan air wilayah untuk berbagai kebutuhan dan
ikut menentukan nilai ekologi, sosial dan ekonomi sumberdaya air yang ada),
peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian iklim ekstrim (banjir dan kekeringan).
Undang Undang dan Rencana Aksi yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya air dalam menghadapi perubahan iklim global yang dapat diacu sebagai
landasan yuridis adalah Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air,
UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, UU No. 23 Tahun 1997
tentang lingkungan hidup. Rencana Aksi Nasional merupakan instrumen kebijakan
yang bersifat dinamis sehingga perlu dievaluasi, diperbarui, dan diperbaiki secara
berkala disesuaikan dengan dinamika perubahan iklim itu sendiri.
RAN-API untuk sektor sumberdaya air adalah sebagai berikut: (1)
Meningkatkan manajemen prasarana sumberdaya air dalam rangka mendukung
penyediaan air dan ketahanan pangan, (2) Mengembangkan disaster risk management
banjir (sungai, rob, lahar hujan), longsor, dan kekeringan, (3) Meningkatkan
manajemen dan mengembangkan prasarana sumberdaya air untuk pengendalian daya
rusak air, (4) Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat tentang
penyelamatan air, dan (5) Meningkatkan penyediaan dan akses terhadap data dan
informasi terkait dampak perubahan iklim.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KENAIKAN MUKA
AIR LAUT DI WILAYAH PESISIR PANGANDARAN
Bambang DwiDasanto1, Sulistiyanti1,*, Anria1, RizaldiBoer11Centre for Climate
Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM -
SEAP)Gedung Fisik dan Botani Lantai 2, Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB)
Baranangsiang, Bogor 16143
*Email: sulis.ipb46@gmail.com

Salah satu dampak paling signifikan dari perubahan iklim adalah kenaikan
permukaan laut. Wilayah pesisir Pangandaran yang terletak di Selatan Jawa Samudra
Hindia secara langsung memiliki risiko banjir lebih tinggi akibat kenaikan permukaan
laut (SLR) dibandingkan dengan wilayah pesisir di Utara Jawa. Dampak langsung dari
kenaikan muka laut, pada umumnya, diukur berdasarkan besarnya kerusakan fisik
maupun kerugian ekonomi. Dalam kajian ini, kerusakan fisik dinotasikan sebagai
persentase penyusutan atau perubahan penggunaan/tutupan lahan yang terpapar oleh
banjir air laut. Kerugian ekonomi didekati dengan biaya kerusakan tiap jenis
penggunaan lahan yang terpapar oleh banjir air laut. Satuan biaya (unit cost) tiap jenis
penggunaan/tutupan lahan yang terusakkan dapat diperoleh dari hasil survei kuesioner,
diskusi kelompok mendalam (focus group discussion, FGD), dan riset terdahulu.

PENDAHULUAN
Isu perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi perhatian utama
dunia, karena ia berdampak besar pada kehidupan manusia. Seiring dengan semakin
intensnya pemanasan global, kejadian bencana yang berkaitan dengan iklim, akan
semakin sering terjadi dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada tahun 1997/1998
Indonesia mengalami kekeringan ekstrim akibat El Nino dan pada tahun 1999 curah
hujan di atas normal terjadi akibat La Nina. Selain itu kenaikan muka air laut setinggi
20 cm hingga 30 cm akan menyebabkan kejadian banjir di sebagian besar wilayah
Indonesia khususnya di wilayah pesisir.
Kabupaten Pangandaran berlokasi di pantai selatan Jawa dengan kerentanan
yang cukup tinggi terhadap masalah banjir rob/kenaikan muka air laut dan intrusi air
laut. Pesisir ini baru mengalami ancaman ketika terkena perubahan muka laut yang
relatif tinggi (seperti tsunami).
Menurut analisis kenaikan muka air laut dan proyeksi ICCSR (2010), kenaikan
muka air laut di wilayah selatan Jawa berkisar antara 0.2 cm hingga 0.4 cm per tahun.
Kenaikan muka air laut pada tahun 2030 akan mencapai 6 cm hingga 30 cm di kawasan
Indonesia. Menurut IPCC WG II (2011) isu kenaikan muka air laut menjadi salah satu
pembahasan utama perubahan iklim karena berdampak sangat besar pada ekonomi.
Wilayah pesisir Pangandaran mempunyai peruntukan fungsi lahan yang
beranekaragam, mulai dari lokasi tempat tinggal, perkebunan, perdagangan, wisata,
industri dan berbagai sektor lainnya. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang
sangat potensial untuk perkembangan ekonomi, namun sangat rentan tehadap kenaikan
muka air laut.
Dampak dari naiknya muka laut ini adalah hilangnya lahan (land loss) yang
akan diikuti oleh kerugian baik fisik maupun ekonomi di wilayah itu. Tujuan dari kajian
ini adalah: (i) mengidentifikasi, memprediksi dan memetakan genangan air laut di
wilayah pesisir Kabupaten Pangandaran yang disebabkan oleh SLR, dan (ii) meneliti
dampak SLR pada sektor fisik dan sosial- ekonomi. Hasil kajian ini diharapkan dapat
(i) menjadi referensi dan informasi dasar untuk mengembangkan wilayah pesisir yang
tangguh dalam menghadapi risiko perubahan iklim di masa depan, khususnya yang
terkait dengan SLR, dan (ii) menjadi dasar referensi untuk mengurangi risiko kerusakan
dari bencana alam yang dipicu oleh SLR.

METODOLOGI
Penilaian dampak perubahan iklim dan SLR untuk wilayah pesisir Pangandaran
terdiri dari beberapa tahap. Pertama, identifikasi terhadap perubahan muka laut rata-
rata global maupun variasi spasial regional dan/atau lokal. Kedua, pemetaan wilayah
yang berpotensi terpapar oleh SLR. Terakhir adalah menganalisis potensi kerugian
(fisik dan ekonomi) yang diakibatkan oleh SLR.

HASIL
Pangandaran dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas topografi, yaitu berbukit,
berombak, bergelombang dan datar. Topografi datar terletak di bagian selatan dengan
elevasi kurang dari 25 m dpal. Berdasarkan kondisi topografinya, wilayah bertopografi
datar adalah wilayah yang rentan terhadap SLR. Dampak dari SLR adalah
berkurangnya luas lahan pesisir dan naiknya kerugian sosial-ekonomi. Topografi datar
di wilayah ini menyebar dari Kecamatan Cijulang, Parigi, Sidamulih dan Pangandaran
dengan elevasi bervariasi antara 8-25 m dpal dan kurang dari 8 m dpal. Wilayah pesisir
dengan elevasi kurang dari 8 m dpal terdapat di sebagian Kecamatan Parigi dan
Cijulang dan pesisir di dua kecamatan ini lebih rentan terhadap SLR daripada pesisir di
Kecamatan Sidamulih dan Pangandaran.
Dalam konteks penentuan daerah sasaran banjir, proyeksi perubahan muka laut
rata-rata global ditekankan hanya untuk satu skenario emisi, yaitu RCP4.5 terutama
untuk skenario pada level rendah (low) dan tinggi (high). Skenario ini setara dengan
skenario SRES B1 yang terdapat dalam laporan IPCC ke-4 tahun 2007 (Yin et al.,
2013).
Dalam rangka mempelajari perubahan muka laut di suatu lokasi maka perlu
ditetapkan lebih dahulu kondisi awal (baseline condition) dari muka laut di lokasi
tersebut. Dalam kajian ini, kondisi awal muka laut disetarakan dengan tinggi muka laut
yang terekam pada data DEM SRTM tahun 2000; artinya, pada tahun tersebut SLR
dianggap 0 m dpal. Berdasarkan model SimCLIM 2013, pada tahun 2050 SLR untuk
skenario rendah diduga hanya sekitar 0,295 m tetapi pada skenario tinggi dapat
mencapai 0,434 m atau lebih tinggi 47%. Pada tahun 2100, SLR untuk skenario rendah
adalah sekitar 0,625 m tetapi pada saat skenario tinggi diduga dapat mencapai 1,031 m
atau lebih tinggi 65%.
Dalam kajian ini perubahan tinggi muka laut regional diasumsikan mengikuti
tren dari data satelit altimetri. Berdasarkan data tren tersebut, perubahan tinggi muka
laut regional dapat diproyeksikan hingga tahun 2100 atau selama abad 21. Perubahan
tinggi muka laut untuk wilayah pesisir Pangandaran terjadi secara bertahap. Pada tahun
2025 dan 2050, tinggi muka laut diperkirakan naik 0,107 dan 0,214 m; namun, pada
tahun 2075 dan 2100, tinggi muka laut diperkirakan naik lebih tinggi lagi yaitu 0,321
dan 0,427 m. Artinya, SLR regional pada akhir abad 21 diperkirakan dapat mencapai
sekitar 0,427 m atau hampir mencapai 0,50 meter.
Salah-satu bentuk dampak fisik dari SLR adalah terendamnya lahan secara
permanen dan sementara (periodik). Lahan yang terendam secara permanen
dikategorikan sebagai penyusutan atau pengurangan luas lahan (land loss), sedangkan
yang terendam secara periodik dikategorikan sebagai lahan terdegradasi.
Berdasarkan hasil model SLR, potensi luas lahan terendam secara periodik di
lokasi studi mencapai lebih dari 85 ha dan ini terjadi rata-rata sekali dalam rentang
waktu 100 tahun. Lahan yang terendam air laut secara periodik akan mengalami
penurunan kualitas; hasilnya berupa lahan terdegradasi. Distribusi dari lahan
terdegradasi tersebut terdapat di beberapa desa, yaitu: desa Batukaras (Kec. Cijulang),
desa Karangjaladri (Kec. Parigi), desa Cikembulan, Sukaresik (Kec. Sidamulih), desa
Legokjawa, Masawah (Kec. Cimerak), desa Pamotan, Putrapinggan (Kec. Kalipucang),
dan desa Pangandaran, Babakan, (Kec. Pangandaran). Menurut persentasenya, luas
lahan terdegradasi dengan persentase tertinggi terdapat di desa Sukaresik (29.39%).
Hasil analisis SLR menunjukkan bahwa sementara penurunan tanah mencapai
lebih dari 85 ha. Sementara itu, kerugian permanen akibat SLR pada 2025 dan 2050
hampir sama yaitu sekitar 40 ha, meskipun SLR meningkat lebih dari 0,24 meter
menjadi 0,50 meter (skenario rendah) atau dari 0,30 meter hingga 0,64 meter (skenario
tinggi).
Salah-satu bentuk dampak fisik dari SLR adalah terendamnya lahan secara
permanen dan sementara (periodik). Hasil analisis SLR menunjukkan bahwa potensi
luas lahan terendam secara periodik mencapai lebih dari 85 ha, dan ini terjadi rata-rata
sekali dalam rentang waktu 100 tahun. Lahan yang terendam air laut secara periodik
akan mengalami penurunan kualitas; hasilnya berupa lahan terdegradasi.
Selain kerugian fisik, jenis kerugian lain yang perlu diidentifikasi sebagai akibat
SLR adalah rusak atau hilangnya sebagian penggunaan lahan. Hasil analisis kerugian
menunjukkan bahwa kerugian paling tinggi terjadi pada sektor permukiman
dibandingkan sektor pertanian. Artinya, luas penggunaan lahan permukiman yang
terdampak oleh SLR semakin luas untuk setiap penambahan tahun proyeksi.
Merujuk pada hal tersebut, maka perlu adanya upaya dalam mengantisipasi
dampak naiknya muka air laut, berupa mitigasi dan adaptasi. Upaya mitigasi dan
adaptasi dapat dilakukan dengan cara membangun tembok pelindung pantai,
meninggikan pondasi bangunan dan jalan, serta betonisasi dinding sungai/pantai.

KESIMPULAN

Isu perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi perhatian utama
dunia, karena ia berdampak besar pada kehidupan manusia. Seiring dengan semakin
intensnya pemanasan global, kejadian bencana yang berkaitan dengan iklim, akan
semakin sering terjadi dengan intensitas yang semakin tinggi. Salah satu dampak paling
signifikan dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan laut. Wilayah pesisir
Pangandaran yang terletak di Selatan Jawa Samudra Hindia secara langsung memiliki
risiko banjir lebih tinggi akibat kenaikan permukaan laut (SLR) dibandingkan dengan
wilayah pesisir di Utara Jawa. Dampak langsung dari kenaikan muka laut, pada
umumnya, diukur berdasarkan besarnya kerusakan fisik maupun kerugian ekonomi.
Dalam kajian ini, kerusakan fisik dinotasikan sebagai persentase penyusutan atau
perubahan penggunaan/tutupan lahan yang terpapar oleh banjir air laut. Kerugian
ekonomi didekati dengan biaya kerusakan tiap jenis penggunaan lahan yang terpapar
oleh banjir air laut. Satuan biaya (unit cost) tiap jenis penggunaan/tutupan lahan yang
terusakkan dapat diperoleh dari hasil survei kuesioner, diskusi kelompok mendalam
(focus group discussion, FGD), dan riset terdahulu.
Hasil analisis SLR menunjukkan bahwa sementara penurunan tanah mencapai
lebih dari 85 ha. Sementara itu, kerugian permanen akibat SLR pada 2025 dan 2050
hampir sama yaitu sekitar 40 ha, meskipun SLR meningkat lebih dari 0,24 meter
menjadi 0,50 meter (skenario rendah) atau dari 0,30 meter hingga 0,64 meter (skenario
tinggi).
Salah-satu bentuk dampak fisik dari SLR adalah terendamnya lahan secara
permanen dan sementara (periodik). Selain kerugian fisik, jenis kerugian lain yang
perlu diidentifikasi sebagai akibat SLR adalah rusak atau hilangnya sebagian
penggunaan lahan. Hasil analisis kerugian menunjukkan bahwa kerugian paling tinggi
terjadi pada sektor permukiman dibandingkan sektor pertanian. Artinya, luas
penggunaan lahan permukiman yang terdampak oleh SLR semakin luas untuk setiap
penambahan tahun proyeksi. Merujuk pada hal tersebut, maka perlu adanya upaya
dalam mengantisipasi dampak naiknya muka air laut, berupa mitigasi dan adaptasi.
Upaya mitigasi dan adaptasi dapat dilakukan dengan cara membangun tembok
pelindung pantai, meninggikan pondasi bangunan dan jalan, serta betonisasi dinding
sungai/pantai.
DAMPAK DAN PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Julismin
Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate Medan 20211, Indonesia
email : julismin_1957@yahoo.com

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang cukup ramai dibicarakan
belakangan ini. Hal ini disebabkan karena dampak perubahan iklim tersebut sudah
sangat dirasakan pada setiap aspek-aspek kehidupan manusia.
Indonesia dikenal dengan sebutan negara kepulauan karena Indonesia memiliki
jumlah pulau paling banyak di dunia. Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), pada 2004 jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 17.504
pulau. Pulau yang tidak berpenghuni sebanyak 6.000 pulau. Indonesia terdiri atas 5
pulau besar, yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jika perairan
antara pulau-pulau tersebut digabungkan, luas Indonesia adalah 1,9 juta mil2.
Ada tiga faktor penting yang mempengaruhi watak iklim Indonesia. Pertama
adalah kedudukan matahari yang berubah-ubah. Pada periode dimana matahari
berkedudukan di atas daratan Asia menyebabkan daratan Asia memiliki temperature
udara yang lebih tinggi yang berakibat mempunyai tekanan yang relatif lebih rendah.
Faktor kedua adalah adanya wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau. Hal ini
menyebabkan iklim Indonesia umumnya bersifat menengah atau moderat. Faktor
ketiga, di beberapa pulau di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya
terdapat gunung-gunung yang tinggi. Gunung yang tinggi ini baik secara vertikal
maupun horizontal menyebabkan terjadinya perbedaan iklim yang jelas walaupun
tempatnya tidak berjauhan. Sebagai contoh temperature udara makin ke atas makin
rendah. Sampai batas tertentu makin ke atas curah hujan makin banyak. Di beberapa
tempat lereng gunung atau pegunungan yang menghadap ke tenggara misalnya Jawa
Timur dan Jawa Tengah mempunyai curah hujan lebih banyak.
Kecenderungan perubahan iklim di Indonesia oleh ulah dan aktivitas manusia
seperti urbanisasi, deforestasi, industrialisasi, dan oleh aktivitas alam seperti pergeseran
kontinen, letusan gunung berapi, perubahan orbit bumi terhadap matahari, noda
matahari dan El-Nino.
Pembangunan berwawasan lingkungan perlu memperhatikan usaha
pemeliharaan sistem alami dan perlu menganalisis dampak pembangunan terhadap
iklim. Atmosfer di atas kota besar dan di kawasan industri terasa lebih panas dan lebih
kotor oleh gas buangan kendaraan bermotor dan oleh proses industri dibandingkan
dengan atmosfer di atas hutan atau di daerah pegunungan yang terasa sejuk dan lebih
bersih. Aktivitas manusia kota menginjeksikan sejumlah polutan berbentuk gas dan
partikel kecil ke dalam atmosfer.
Beberapa pencemar yang berada di atmosfer bawah terutama di troposfer dapat
mengganggu keseimbangan radiasi yang pada gilirannya dapat mengubah iklim.
Pencemar berupa gas dapat mempengaruhi iklim melalui efek rumah kaca. Sebagai
aerosol, maka pencemar mengubah keseimbangan radiasi melalui hamburan,
pemantulan dan penyerapan, dan pembentukan awan. Sebagai akibat pencucian aerosol
sulfat dan nitrat oleh tetes awan dan hujan, maka terjadi hujan asam yang menyebabkan
penurunan pH dalam tanah dan air. Aerosol dapat dibagi menjadi 2 menurut
aslanya, yaitu aerosol primer dan aerosol sekunder, juga dapat dibagi dalam aerosol
natural dan antropogenik. Aerosol primer, misalnya percikan garam laut, hembusan
debu atau abu vulkanik. Aerosol antropogenik misalnya debu dari proses pembakaran
dalam industri atau pembakaran dalam pertanian. Aerosol dapat mempengaruhi
perubahan iklim melalui hamburan dan penyerapan radiasi matahari, dan melalui emisi
radiasi gelombang panjang.
Peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota,
pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan lain sebagainya telah
banyak menarik perhatian dalam masalah perubahan iklim. Interaksi antara urbanisasi,
perkembangan kota, industri, lalu lintas, kehutanan, pertanian, dengan iklim, akhir-
akhir ini telah banyak diperbincangkan baik secara nasional, regional, maupun
internasional. Kota yang berada di perbukitan, di lembah, di pantai, mempunyai cuaca
dan iklim lokal yang berbeda. Suhu dan kelembapan berubah di jalanan, di lapangan,
dan di kebun atau taman. Perkembangan kota menyebabkan lapisan atmosfer di
atasnya menjadi tercemar oleh partikel debu atau asap kendaraan bermotor dan
pembakaran domestik. Partikel ini akan naik konsentrasinya pada musim kemarau dan
menurun pada musim hujan. Di kota besar Kabas dapat terjadi. Partikel debu dan
asap dapat menaikkan suhu udara di atas kota dan mencemari udara di sekitarnya.
Aktivitas manusia dapat mengubah cuaca secara tidak sengaja. Bahan bangunan
di daerah kota seperti bata, beton, dan aspal dapat menyerap dan menyimpan panas
matahari pada siang hari, kemudian memberikan panas pada atmosfer lingkungannya
setelah matahari terbenam. Selain itu, alat pemanas, pengatur udara, dan pembangkit
listrik dapat mengeluarkan buangan panas. Limpasan air hujan yang terlalu cepat di
dalam kota pada hakekatnya mengurangi perembesan dan tendon ke dalam tanah, serta
mengurangi penguapan dari permukaan tanah.
Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil, beberapa
tempat atau ekosistem atau masyarakat tertentu sangat rentan (vulnerable) menghadapi
perubahan tersebut. Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan ekosistem atau
masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim rendah. Peningkatan suhu yang
besar terjadi pada daerah dataran tinggi, sehingga akan menimbulkan beberapa
perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi
vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati. Sementara itu, daerah tropis atau lintang
rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan
penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan merubah pola
dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan
menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah sehingga kelestarian
sumberdaya air akan terganggu.
Air adalah sumberdaya alam yang sangat diperlukan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, baik untuk keperluan domestik, industri maupun pertanian.
Dengan iklim yang berubah besaran dan distribusi air juga akan mengalami perubahan
dan dalam jangka panjang kelestarian sumberdaya air memerlukan perhatian yang
serius.
Konsekuensi meningkatnya ketersedian air adalah banjir, erosi, dan tanah
longsor karena meningkatnya surplus dari suatu daerah tangkapan air. Dengan
meningkatnya surplus yang bersamaan dengan menurunnya defisit, maka limpasan
permukaan dan aliran sungai pun akan meningkat. Curah hujan dengan jumlah yang
lebih besar biasanya disertai dengan intensitas yang tinggi, akibatnya erosi juga
meningkat. Situasinya akan makin memburuk apabila vegetasi penutup lahan dan
upaya-upaya konservasi tanah tidak ditingkatkan.
KESIMPULAN

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang cukup ramai dibicarakan
belakangan ini. Hal ini disebabkan karena dampak perubahan iklim tersebut sudah
sangat dirasakan pada setiap aspek-aspek kehidupan manusia. Indonesia merupakan
salah satu negara dengan sumberdaya alam yang cukup melimpah. Namun pada
kenyataanya, tingkat kerusakan lingkungan juga cukup tinggi terjadi di Indonesia.
Kerusakan lingkungan ini disinyalir berkontribusi menyebabkan terjadinya perubahan
iklim belakangan ini. Kecenderungan perubahan iklim di Indonesia oleh ulah dan
aktivitas manusia seperti urbanisasi, deforestasi, industrialisasi, dan oleh aktivitas alam
seperti pergeseran kontinen, letusan gunung berapi, perubahan orbit bumi terhadap
matahari, noda matahari dan El-Nino.
Air adalah sumberdaya alam yang sangat diperlukan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, baik untuk keperluan domestik, industri maupun pertanian.
Dengan iklim yang berubah besaran dan distribusi air juga akan mengalami perubahan
dan dalam jangka panjang kelestarian sumberdaya air memerlukan perhatian yang
serius.
Aktivitas manusia dapat mengubah cuaca secara tidak sengaja. Bahan bangunan
di daerah kota seperti bata, beton, dan aspal dapat menyerap dan menyimpan panas
matahari pada siang hari, kemudian memberikan panas pada atmosfer lingkungannya
setelah matahari terbenam. Selain itu, alat pemanas, pengatur udara, dan pembangkit
listrik dapat mengeluarkan buangan panas. Limpasan air hujan yang terlalu cepat di
dalam kota pada hakekatnya mengurangi perembesan dan tendon ke dalam tanah, serta
mengurangi penguapan dari permukaan tanah.
Perubahan iklim yang tenjadi menyebabkan beberapa dampak seperti: (a)
seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih
rendah dibanding wilayah subtropis; (b) wilayah selatan Indonesia mengalami
penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah
hujan. Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang
musim hujan. Di wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek
akan menyulitkan upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia
varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi.
Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian
banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko
kekekeringan. Sebaliknya, di wilayah Indonesia bagian utara,meningkatnya hujan pada
musim hujan akan meningkatkan peluang indeks penanaman, namun kondisi lahan
tidak sebaik di Jawa. Tren perubahan ini tentunya sangat berkaitan dengan sektor
pertanian.

Anda mungkin juga menyukai