Ilmu Kalam
Ilmu Kalam
Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi fi’lih, yaitu berkewajiban atau
terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk
melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan
kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam
filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination.
Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam
semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk
berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari
Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas
kehendak Allah.
1. Jabariyah murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini
beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa
ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan
baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki
daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin,
mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang
diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat”
bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan. Seperti halnya
“perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon berbuah, air
mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan menurunkan
hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Selain itu,
menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya dengan semua
perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
juga merupakan suatu paksaan. Kalau seseorang mencuri atau minum khamr misalnya,
maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena
qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri
dan meminum khamr bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya
untuk berbuat demikian.
2. Jabariyah moderat, yang dibawa oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjār. Dia
mengatakan bahwa Allah berkehendak artinya bahwa Dia tidak terpaksa atau dipaksa.
Allah adalah pencipta dari semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang
benar dan yang salah, tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-
perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb. Paham ini
juga dibawakan oleh Dhirār bin ‘Amru. Ketika dia mengatakan bahwa perbuatan-
perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia juga pada
hakikatnya memiliki bahagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan demikian,
menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku.
Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia
telah memiliki bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak
lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja
sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
Munculnya paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni
Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama
Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang
berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Pada
masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan
pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari
kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham
Jabariyah atau fatalisme.
Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-
pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh al-‘Uyūn
dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Syām, lalu mereka
mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian
mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata
berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut
sebelumnya.
Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin
Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān dari Khurāsān
mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang
terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah
dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah
karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwān. Sebagai sekretaris Syurayh
ibn al-Hārits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan
tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.
Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik
sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu
pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti
dinyatakan oleh Yāzid bin Mu’āwiyah waktu dia menerima kepala Sayidinā Husain bin ‘Abi
Thālib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali ‘Imrān(3) ayat
26.
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dengan mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh
Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yāzid bin Mu’āwiyah dari dinasti
Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yāzid dan serdadunya. Agar umat
yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu “takdir” Tuhan semata-mata.
Inilah ajaran Murji’ah yang sangat laku, di negeri yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal
ini ditentang oleh golongan Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan
penindasan oleh manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum
Tuhan. Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah suatu
kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
“Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya.”“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu.” “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”“Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”
Selain berbagai argumen teks, mereka juga menggunakan argumen-argumen rasio. Di antara
dalil-dalil ‘aqli yang digunakan paham jabariyah juga menggunakan argumen-argumen rasional
untuk mempertahankan pendapat yang dianutnya, di antara dalil-dalil ‘aqli yang mereka gunakan
ialah:
Jika dianggap manusia adalah pelaku yang mempunyai daya pilih apa yang disukai, tentulah
ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya, sedang Allah berfirman QS al-Mulk (67):
14
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan);
dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?
Maka kalau manusia menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentulah dia
mengetahui perincian dari perbuatan-perbuatannya itu; dia mengetahui apabila dia melangkah
apa yang akan terjadi dari langkahnya itu?, dan dia mengetahui mengapa kakinya bergerak? Dan
seterusnya. Akan tetapi manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau demikian, tidaklah
manusia dikatakan mukhtār dalam perbuatannya.
Segala perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada yang melaksanakannya bukan
kepada yang menciptakannya. Sesungguhnya Allah menciptakan warna dan Allah sendiri tidak
bersifat dengan warna-warna itu. Yang bersifat dengan warna ialah tempat warnanya itu.
Masalah taklif, pahala dan siksa tidaklah tunduk kepada aturan-aturan yang dengan aturan itu
kita analogikan kepada perbuatan-perbuatan kita. Aturan-aturan itu berada di atas pengertian kita
dan Allah tidak ditanyakan tentang perbuatan-Nya.
Berbagai argumen yang dapat diterima akal sehat saling bertentangan. Berbagai ayat yang pada
lahirnya saling bertentangan. Adalah tidak mengherankan kalau umat Islam mempertanyakan
bagaimana sebenarnya perbuatan manusia itu, meskipun para pioner masing-masing paham
Jabariyah yang pertama telah wafat. Di satu segi, manusia tampaknya memiliki hak memilih dan
dituntut pertanggung jawaban atas setiap perbuatannya, baik atau jelek. Sementara itu harus
diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa karena pencipta segala makhluk.
Dalam sejarah teologi Islam, paham Jabariyah, meskipun tidak identik dengan paham yang
dibawa oleh Jahm bin Shafwān atau dengan pahan yang dibawa al-Najjār dan Dirār, terdapat
dalam aliran al-Asy’ariyah.
KESIMPULAN
Munculnya paham Jabariyah tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya
yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang
bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi
baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama
Mu’tazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-
keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai
akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan
paham Jabariyah atau fatalisme.
Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-
pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Yang pertama kali diperkenalkan
oleh al-Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin
Shafwān dari Khurāsān mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian
menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang
mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga
identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin
Shafwān. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Hārits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan
Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.
PENGERTIAN QADARIAH
Qadariah sendiri muncul pada TH. 70 H / 689 M
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi
oleh tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan
dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada
qadar tuhan.
Namun sebutan tersebut telah melekai kaum sunni, yang percaya bahwa manusia
mempunyai kebebasan berkehandak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan
kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadis yang
menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur
pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang
penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini
memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu
mengambilnya.
Menurut al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad Amin,
bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya (baik), tetapi
dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang
tidak adanya qadar bagi Tuhan. Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak.
Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Gailan ibn Muslim) adalah penyebar
paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika
banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.
Ada dua motif timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis
disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana jauh
sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan
mereka. Kedua, faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah
dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah
yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin,
memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah
adalah orang Irak yang semuala beragama kristen kemudian beragama islam dan
balik lagi keagama kristen. Dari orang inila Ma’bad dan Ghailan mengambil faham
ini. Orang irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’i
Dari beberapa penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Mansuia mempunyai kewenangan
untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan
yang dilakukannya dan juga berhak pula
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Dar fikr, juz 2. al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-Muhith, Dikutip
dari CD maktabah al-Ma’arif al-Islamiyah edisi ke-II.
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2003.
Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam, Darul Ma`’rifah al-
Jami`’iyyah 1996.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Syifa`ul Alil fi Masa`ail Qadha wal al-Qadar wa al-Hikmah wa at-
Ta`lil diterjemahkan Abd Gaffar, Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, Pustaka
Azzam 2004.
Mahmud Abd al-Raziq, Mafhum al-Qadr wa al-Hurriyah inda Awa’il al-Shufiyah, Dikutip dari
CD al-Maktabah al-Syamilah Edisi kedua.
Imam Asy-Syihristani, al-Milal wa an-Nihal, diterjemahkan Aswadie Syukur LC, Bina Ilmu.
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta Universitas
Indonesia, 1986