Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mochamd Isa Nuralamsyah

Kelas : Formal C
Npm : 163507107

Resume Buku Madilog (Materialisme, Dialektika,


dan Logika) Tan Malaka oleh
Mochamad Isa Nuralamsyah

Pendahuluan (Dari Saya)


Buku Tan Malaka yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika,
Dan Logika) Merupakan buku yang sangat luar biasa (meskipun saya belum
selesai membacanya) dimana ketika ia berfikir bahwa indonesia adalah bangsa
yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) namun lemah dalam segi Sumber
Daya Manusia (SDM) sehingga disini Tan Malaka berfikir, tak bisa di
bayangkan seperti apa nanti nya jika Sumber Daya Alam yang begitu melimpah
ruah dapat dikelola dengan baik oleh bangsa Indonesia. Tan Malaka dianggap
sebagai musuh karena ideologi nya yang kiri, tan malaka berfikir bahwa ketika
masyarakat kelas bawah sudah memiliki daya juang yang tinggi, maka
Indonesia akan maju dengan pesat dan bisa menjadi negara adidaya pada masa
yang akan datang. 20 Tahun bukan waktu yang singkat bagi pengasingan Tan
Malaka, sulitnya bertahan hidup dalam pengasingan membuat Tan Malaka
Harus bisa beradaptasi dengan cepat, terlebih jika di negara yang ia kunjungi
memang tidak menerima ideologi kiri. Tan Malaka yang masih teguh dengan
pendiriannya bahwa masyarakat kelas bawah adalah organ terpenting
dalamberjalan nya setiap negara, jika tak ada petani dan buruh negara takkan
berjalan dengan baik, begitulah pikir Tan Malaka.

SEJARAH MADILOG
Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini
saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943,
mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun
ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8
bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720
jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.
Buku yang lain ialah Gabungan Aslinya sudah pula setengah di tulis.
Tetapi terpaksa ditunda. Sebab yang pertama karena kehabisan uang. Kedua
sebab sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa
dan menggeledah rumah lebih tepat lagi “pondok’’ tempat saya tinggal.
Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di
tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari
mata polisi. Terpeliharalah pula kedua kitab itu dan pengarangnya sendiri
seterusnya dari mata dan tongkat kempei Jepang.
Lantaran hawa kediaman saya itu sudah agak panas dan bahaya
kelaparan sudah mengintip, maka terpaksalah saya memberhentikan pekerjaan
saya meneruskan menulis Gabungan Aslia. Saya bertualang di daerah Banten
mencari nafkah sambil memperlindungkan diri pula.
Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Disinilah saya
mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa, (maklumlah orang
tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua
romusha dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan,
kesehatan, pulang-pergi dan sakit matinya romusha ribuan orang, dengan
perantaraan kantor urusan prajurit pekerja.
Sebagai ketua Badan Pembantu Pembelaan (BPP) dan Badan Pembantu
Prajurit Pekerja (BP3), saya akhirnya sampai dipilih menjadi wakil daerah
Banten ke kongres Angkatan Muda yang dijanjikan di Jakarta, tetapi tak jadi itu
(bulan Juni 1945). Disinilah saya berjumpa dengan pemuda seperti Sukarni,
Chairul Saleh, dll. yang sekarang mengambil bagian dalam pergerakan
Persatuan Perjuangan. Juga dengan pemuda lainnya umpamanya seorang
jurnalis yang amat dikenal di sekitar Bayah ketika itu, tak lebih dan tak kurang
dari Bang Bejat, alias Anwar Tjokroaminoto dan saudaranya. Resan minyak ke
minyak, resan air ke air, kata pepatah.
Demikianlah pengarang ini yang pada masa Jepang itu memperkenalkan
dirinya dengan nama ILJAS HUSSEIN, dengan jalan memutar sampai juga ke
golongan yang dicari yang mulai mengambil bagian besar dalam pergerakan
kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, ialah golongan
pemuda. Pekerjaan revolusioner di samping pemuda itu sampai sekarang terus
berlaku, yakni Persatuan Perjuangan yang sudah mulai menulis sejarah. Atas
permintaan pemuda pulalah Madilog sekarang akan disebarkan di antara
mereka yang rasanya sanggup menerimanya.
Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat
Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya.
Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan
romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan
proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di
Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka
palsu………………bahkan hampir saja Madilog hilang.
Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan
dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat
minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan
keras buat memahamkannya.

TAN MALAKA

Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.

Anda mungkin juga menyukai