Anda di halaman 1dari 103

INTERSA CONSULTING

17 2022MAR

K A M I S
09.00-11.30 WIB

Pengetahuan Wajib bagi Praktisi


Kredit Agar Tidak “Salah Langkah”

Libertus S. Pane, S.H., C.P.A.


Materi presentasi ini dilindungi Hak Cipta berdasarkan Undang-
undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dilarang
memperbanyak atau menyebarluaskan materi ini tanpa izin tertulis
dari Libertus S. Pane.
Bahan pelatihan ini bukan suatu rekomendasi hukum dalam
pengambilan keputusan, melainkan sebagai referensi dan

DISCLAIMER pengetahuan hukum dalam rangka menguatkan kekritisan/


ketajaman melihat atau menganalisis suatu persoalan kredit yang
memerlukan pendekatan hukum. Pengguna materi ini disarankan
untuk melakukan kajian lebih lanjut secara spesifik sesuai jenis
permasalahan, atau meminta bantuan dari ahli yang profesional
yang dipercaya oleh pengguna.

Apabila terdapat penebalan huruf, tanda miring, perbedaan warna,


atau garis bawah pada kutipan perundang-undangan, hal tersebut
merupakan penanda dari fasilitator dengan maksud menekankan
perhatian.
Referensi hukum yang dipakai dalam workshop ini:
1. Undang-undang Nomor 8 tahun 2003 tentang Advokat (disingkat dengan “UU Advokat”)
2. Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah (disingkat dengan “UUHT”).
3. Undang-undang Nomor 4 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (disingkat dengan
“UUJF”).
4. Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 (diubah dengan UU No. 9 tahun 2011) tentang
Sistem Resi Gudang (disingkat dengan “UURG”.
5. Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (disingkat dengan “UUKPKPU”).
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang (“PMK No. 213/2020”)
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.06/2019 tentang Balai Lelang (“PMK No.
113/2019”).
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-VIII/2010 (disingkat dengan “Putusan MK
No. 70/2010”).
9. Kode Etik Advokat berdasarkan Kongres Advokat Indonesia 1 tahun 2008 tentang Kode
Etik Advokat Indonesia (disingkat dengan “KEAI”).
PEMBAHASAN 1.1.

Memahami profesi advokat


Perannya dalam Sistem Penegakan Hukum
Advokat
Orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini.

[Pasal 1.1. UU Advokat]

Istilah pasca pengudangan UU No. 18/2003:


Baku: Advokat. Tidak baku: Konsultan hukum, kuasa
hukum, pengacara, penasihat hukum. Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menggunakan istilah “Penasihat Hukum”
“Advokat, penasihat hukum, pengacara
praktik dan konsultan hukum yang
telah diangkat pada saat Undang-
undang ini mulai berlaku, dinyatakan
sebagai Advokat sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini”

[Pasal 32 ayat (1) UU Advokat]


“Profesi Advokat adalah profesi yang mulia “Yang dimaksud dengan Advokat
dan terhormat (officium nobile), dan berstatus sebagai penegak hukum
karenanya dalam menjalankan profesi adalah Advokat sebagai salah satu
selaku penegak hukum di pengadilan perangkat dalam proses peradilan
sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang yang mempunyai kedudukan setara
dalam melaksanakan profesinya berada di dengan penegak hukum lainnya
bawah perlindungan hukum, undang- dalam menegakkan hukum dan
undang dan Kode Etik ini” keadilan”

[Pasal 8 huruf a KEAI] [Penjelasan pasal 5 ayat (1) UU Advokat]


Lingkup Jasa Hukum Advokasi
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat
berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien

[Pasal 1.2. UU Advokat]


Di luar Pengadilan, Advokat dapat menjadi kuasa
hukum dalam menjalankan urusan hukum apa
saja, selama tidak ada larangan dari perundang-
undangan (larangan eksplisit dan implisit),
larangan dalam bentuk lain.
Contoh larangan “bentuk lain”:

“Pengadu dan yang teradu harus hadir secara


pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada
orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing
dapat didampingi oleh penasehat”

[Pasal 13 ayat (7) huruf A KEAI]

Keharusan hadir ini berlaku untuk seseorang yang bertindak sebagai pengadu
(advokat, klien, masyarakat, dll) kepada Dewan Kehormatan Advokat yang
mengadukan seorang Advokat. Baik pengadu (Advokat atau bukan Advokat)
dan teradu (seorang Advokat) wajib hadir sendiri dalam sidang kode etik.
JANGKAUAN PERAN ADVOKAT DALAM GUGATAN BIASA (PERDATA/SYARIAH/TUN)

PRA GUGATAN TINGKAT PERTAMA BANDING KASASI/PK EKSEKUSI

AREA KETERLIBATAN ADVOKAT*

HAKIM PN/PA/TUN KETUA PN/PA/TUN


HAKIM P. TINGGI JAKSA
HAKIM M. AGUNG
HAKIM

*Berdasarkan frasa “baik di dalam maupun di luar


pengadilan” dalam pasal 1.1. UU Advokat
JANGKAUAN PERAN ADVOKAT DALAM PERKARA KEPAILITAN

PRA PENGAJUAN TINGKAT PERTAMA* TINGKAT BANDING* TINGKAT KASASI* EKSEKUSI/PEMBERESAN

AREA KETERLIBATAN ADVOKAT*

KURATOR**
JAKSA
HAKIM P.NIAGA HAKIM M. AGUNG
HAKIM

Catatan:
*Dalam kepailitan, putusan hakim pailit langsung kasasi *Berdasarkan frasa “baik di dalam
(vide pasal 11 UUKPKPU). maupun di luar pengadilan” dalam pasal
**Dalam kepailitan terdapat profesi lain yang terlibat, 1.1. UU Advokat
yaitu kurator. Kurator tetap ditentukan dalam putusan
pailit di Pengadilan Niaga (pasal 15 ayat 1 UUKPKPU).
JANGKAUAN PERAN ADVOKAT DALAM GUGATAN SEDERHANA

PRA GUGATAN TINGKAT PERTAMA (1) TINGKAT PERTAMA (2)/ EKSEKUSI


KEBERATAN

AREA KETERLIBATAN ADVOKAT*

HAKIM TUNGGAL PN/PA KETUA PN/PA


HAKIM MAJELIS PN/PAJAKSA

*Berdasarkan frasa “baik di dalam


maupun di luar pengadilan” dalam pasal
1.1. UU Advokat
PEMBAHASAN 1.2.

Klasifikasi jasa Advokat


berdasarkan sifat dan
jangkauan (skala) wewenang
Lingkup Jasa Hukum Advokasi
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat
berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien

[Pasal 1.2. UU Advokat]

Istilah “mewakili” dan “mendampingi” merupakan


elemen pokok dalam memahami isu hukum utama
dalam training ini.
Klien Lawan/
Lawan/
Advokat Pihak lain Advokat Pihak Lain

MENDAMPINGI/MEWAKILI MEWAKILI/MENDAMPINGI

CATATAN:
1. Meskipun kuasa berskala penuh (mewakili), dalam keadaan tertentu, klien sah-sah saja tetap dapat terlibat.
Misalnya ikut dalam rapat atau perundingan.
2. Meskipun kuasa berskala parsial, dalam keadaan tertentu, Advokat dapat saja maju sendiri. Misalnya dalam
Gugatan sederhana, Advokat pendamping dapat saja sendiri mengurus dokumen, namun saat sidang harus
bersama dengan prinsipal.
3. Poinnya: pada akhirnya yang paling menentukan adalah ada tidaknya pembatasan dalam perundang-undangan
atau suatu ketentuan yang berlaku terhadap pihak tersebut.
Mewakili: Mendampingi:
1.Prinsipal (penggugat/tergugat/ 1. Prinsipal (penggugat/ tergugat/
pemohon/termohon, pelawan/ terlawan, pemohon/termohon, pelawan/
pelapor/terlapor) tidak wajib hadir. terlawan, pelapor/terlapor) tetap
Advokat dapat mewakili prinsipal secara hadir/ikut untuk membela
penuh. kepentingannya.
2.Ada 2 faktor yang memungkinkan 2. Ada 3 faktor yang memungkinkan
Advokat berwenang mewakili: (a) Advokat berwenang mendampingi: (a)
penunjukan sebagai kuasa penuh dan penunjukan sebagai pendamping dan
dibolehkan undang-undang (opsional), dibolehkan undang-undang (opsional),
(b) dipaksa oleh undang-undang (b) dipaksa oleh undang-undang
(mandatory) harus diwakili advokat. (mandatory), dan (c) karena Advokat
dilarang sebagai kuasa penuh.
Isilah kolom kanan dengan pilihan “mewakili” atau
“mendampingi”
TINDAKAN HUKUM STATUS ADVOKAT

Gugatan sederhana Mendampingi -opsional


Gugatan biasa Mewakili -opsional

Mengajukan Kepailitan Mewakili - wajib

Membela terdakwa Mendampingi -ada wajib ada opsional

Mengajukan lelang Mendampingi -opsional


JASA ADVOKAT

JANGKAUAN PENGGUNAAN

DIWAJIBKAN SUATU DILARANG SUATU


PENUH/MEWAKILI PARSIAL/MENDAMPINGI OPSIONAL/PILIHAN
KETENTUAN KETENTUAN

DALAM TINGKAT TEKNIS, TERJADI VARIASI LAYANAN ADVOKAT BERDASARKAN


KATEGORI SKALA/JANGKAUAN DAN PENGGUNAAN
5 varian peran Advokat dalam pemberian jasa
hukum:
1. Penuh dan diwajibkan perundang-undangan
(mandatory).
2. Penuh dan tidak diwajibkan perundang-undangan
(optional).
3. Parsial dan diwajibkan perundang-undangan
(mandatory).
4. Parsial dan tidak diwajibkan perundang-undangan
(optional).
5. Parsial karena dilarang (restricted) perundang-
undangan.
Varian 1: Penuh dan diwajibkan perundang-undangan
(mandatory):

>>> mengajukan permohonan kepailitan (mewakili kreditur


atau debitur)

Diwajibkan undang-undang dan mewakili klien secara


penuh. Referensi hukum: pasal 7 ayat (1) UUKPKPU
Kutipan Ketentuan:
Pasal 7 ayat (1) UUKPKPU:
“Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58,
Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212
harus diajukan oleh seorang advokat”
Pasal 6 ayat (1) UUKPKPU:
“Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan”
Pasal 68 ayat (1) UUKPKPU:
“Terhadap semua penetapan Hakim Pengawas, dalam waktu 5
(lima) hari setelah penetapan tersebut dibuat, dapat diajukan
permohonan banding ke Pengadilan”
Varian 2: Penuh dan tidak diwajibkan perundang-undangan
(optional)

>>> Gugatan/perlawanan biasa (Perdata, TUN).


>>> Lelang eksekusi non parate executie (fiat Pengadilan).
>>> Mewakili kreditor dalam rapat kreditor perkara
kepailitan/PKPU.

Tidak diwajibkan undang-undang namun dapat mewakili


klien secara penuh. Referensi hukum: pasal 118 ayat (1)
HIR jo 123 HIR, pasal 87 ayat (1) UUKPKPU, pasal 1792 jo
1338 KUH Perdata.
Kutipan Ketentuan:
Pasal 118 ayat (1) HIR
“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan
pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan
yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut
pasal 123, dan seterusnya…”
Pasal 123 ayat (1) HIR:
“Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau
diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu
dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi
kuasa itu sendiri hadir..dan seterusnya…”
Pasal 87 ayat (1) UUKPKPU:
“Kecuali ditentukan dalam Undang-Undang ini, segala putusan rapat
Kreditor ditetapkan berdasarkan suara setuju sebesar lebih dari 1/2
(satu perdua) jumlah suara yang dikeluarkan oleh Kreditor dan/atau
kuasa Kreditor yang hadir pada rapat yang bersangkutan”

Penjelasan pasal 87 ayat (1):


“Yang dimaksud dengan "kuasa" dalam ayat ini tidak harus
advokat”
Varian 3: Parsial dan diwajibkan perundang-undangan
(mandatory)

>>> Membela terdakwa dengan ancaman hukuman mati atau


pidana penjara 15 tahun (tetap masuk kategori parsial
karena terdakwa tetap hadir dalam persidangan).

Diwajibkan undang-undang dan sebatas melakukan


pendampingan. Referensi hukum: pasal 56 KUHAP
Kutipan Ketentuan:
Pasal 56 ayat (1) KUHAP:
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka; (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk
bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan
bantuannya dengan cuma-cuma”
Varian 4: Parsial dan tidak diwajibkan perundang-undangan (optional)

>>> Terlibat dalam gugatan sederhana.


>>> Terlibat dalam gugatan biasa, namun hanya untuk urusan
tertentu (misalnya mengurus dokumen dan drafting).
>>> Terlibat dalam lelang parate executie, namun terbatas pra
lelang.
>>> Sebagai pembela dalam perkara pidana (mendampingi pelapor
atau terlapor) atau mendampingi saksi.

Tidak diwajibkan undang-undang dan sebatas melakukan


pendampingan atau melakukan urusan tertentu. Referensi
hukum: pasal 4 ayat (4) Perma No. 4/2019, putusan
Mahkamah Konstitusi No. 70/2010, pasal 112 KUHAP
Kutipan Ketentuan:

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2015


sebagaimana telah diubah dengan Perma No. 4 tahun 2019:
Pasal 4 ayat (4):
“Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung
setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi kuasa
hukum”
Pertimbangan 3.18 Putusan MK No. 70/2010:
“Menimbang bahwa sesungguhnya masih terdapat peluang
Pemohon untuk menjadi kuasa hukum para pihak berkaitan
dengan implementasi UU 4/1996, misalnya melakukan tugas
mengurus administrasi dan pekerjaan lain sebagai petugas dari
kreditor pemegang hak tanggungan pertama….”
Catatan:
Yang dimaksud dengan “pemohon” dalam pertimbangan hakim MK ini adalah
advokat pemohon judicial review perkara No. 70/2010. Secara tidak langsung, MK
menegaskan bahwa advokat dapat menjadi kuasa parsial dalam lelang parate
executie, namun hanya dalam urusan administratif.
Pasal 112 ayat (2) KUHAP:
“(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika
ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah
kepada petugas untuk membawa kepadanya”
Varian 5: Dibatasi (restricted) oleh perundang-undangan

>>> Pembatasan (dapat juga disebut larangan) sebagai kuasa


penuh dalam mengajukan gugatan sederhana.
>>> Pembatasan/larangan sebagai kuasa penuh dalam lelang
parate executie.

Ketentuan mewajibkan prinsipal ikut hadir sehingga


Advokat demi hukum menjadi mendamping. Referensi
hukum: pasal 4 ayat (4) Perma No. 4/2019, putusan
Mahkamah Konstitusi No. 70/2010 (akan dibahas dalam
bagian tersendiri)
Kutipan Ketentuan:
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2015
sebagaimana telah diubah dengan Perma No. 4 tahun 2019:
Pasal 4 ayat (4):
“Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung
setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi kuasa
hukum”

Catatan:
Meskipun tidak ada kata melarang, secara a contrario dapat dimaknai bahwa kata
“disampingi kuasa hukum” menyiratkan bahwa kuasa hukum dilarang menjadi kuasa
penuh.
PEMBAHASAN BAGIAN 2.1.

Pembatasan peran advokat dalam lelang


parate executie berdasarkan UU Jaminan
Khusus dan implikasinya pada somasi
PARATE EXECUTIE
Pengertian Umum:
Pelaksanaan lelang jaminan khusus tanpa fiat
(penetapan) Ketua Pengadilan dan langsung
diajukan oleh kreditur pemegang hak jaminan ke
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) yang berwenang (setempat).

[Referensi: Buku “Kamus Istilah Hukum” karangan Prof. Drs.C.S.T. Kansil, S.H., dan
Christine S.T. Kansil, S.H., M.H.-Penerbit Pustaka Sinar Harapan 2000, Buku
“Kamus Hukum” karangan Dr. Sudarsono, S.H., M.Si-Penerbit Rineka Cipta 2002),
buku Parate Eksekusi Fidusia: Polemik Kepastian Hukum dan Bisnis “ karangan
Prof.Dr. Johannes Ibrahim Kosasih, S.H.,M.Hum.,dkk, Penerbit Mandar Maju,
Februari 2021.
TIGA UNDANG-UNDANG JAMINAN YANG
MENGATUR PARATE EXECUTIE:
1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang
Berkaitan dengan Tanah atau disingkat dengan “UUHT”.
2. Undang-undang Nomor 4 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia atau disingkat “UUJF”.
3. Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 (diubah dengan
UU No. 9 tahun 2011) tentang Sistem Resi Gudang atau
disingkat dengan “UURG”.
Ketiga UU ini secara bersama-sama disebut
“UU Jaminan Khusus”
Pasal 6 UUHT: Pasal 15 ayat (3) UUJF: Pasal 16 (1) UURG:
“Apabila debitor cidera janji, “Apabila debitor cidera “Apabila pemberi Hak
pemegang Hak Tanggungan janji, Penerima Fidusia Jaminan cedera janji,
pertama mempunyai hak mempunyai hak untuk penerima Hak Jaminan
untuk menjual obyek Hak menjual Benda yang mempunyai hak untuk
Tanggungan atas kekuasaan menjadi objek Jaminan menjual objek jaminan
sendiri melalui pelelangan Fidusia atas atas kekuasaan sendiri
umum serta mengambil kekuasaannya sendiri” melalui lelang umum atau
pelunasan piutangnya dari penjualan langsung”
hasil penjualan tersebut”
CATATAN ATAS REDAKSI KETIGA UNDANG-UNDANG
1. Pasal-pasal dalam UU Jaminan Khusus tidak secara
eksplisit memuat kata “pembatasan/larangan” namun
secara indikatif memuat substansi pembatasan/larangan
bagi advokat menjadi kuasa penuh mengajukan
permohonan lelang parate executie.
2. Adanya pembatasan KPKNL sebagai kuasa penuh pada
hakikatnya didasarkan pada pemaknaan Direktorat
Jendral Kekayaan Negara (DJKN) (yang membawahi
KPKNL) atas frasa “kekuasaan sendiri” yang tercantum
pada ketiga UU tersebut.
3. KPKNL semakin “percaya diri” menolak peran Advokat
sebagai kuasa penuh memohon lelang parate executie
pasca Putusan MK No. 70/2010 karena sangat sejalan
dengan pemaknaan DJKN/KPKNL.
4. Pemaknaan “atas kekuasaan sendiri” “merembet” pada
pemberian surat peringatan yang dimaknai satu kesatuan
dengan atau bagian tidak terpisahkan dari proses hukum
parate executie. Dalam PMK No. 213/2020, terdapat
pengaitan surat peringatan dengan pasal parate executie
sebagaimana tercantum pada Lampiran 2 (7): “Format
Risalah Lelang” yang berbunyi sebagai berikut:
7 ---- Pihak kreditor telah memberikan surat Klausula khusus
peringatan kepada debitor untuk Lelang Eksekusi
menyelesaikan kewajibannya, namun Pasal 6 UUHT,
debitor tetap tidak menyelesaikan Lelang Eksekusi
kewajibannya maka dilanjutkan dengan Jaminan Fidusia,
Lelang terhadap barang tersebut diatas.-- dan Lelang Eksekusi
Gadai.
5. Dengan demikian, isu hukum kedudukan Advokat dalam
lelang parate executie terdapat dalam dua hal yang oleh
KPKNL dianggap berhubungan dan menjadi satu kesatuan:
penolakan surat somasi Advokat, sekaligus penolakan
kehadiran Advokat sebagai kuasa penuh pemohon lelang.
Pertanyaan mendasar….
Apakah dengan demikian, peran Advokat tidak diperlukan lagi dalam
pemberian surat peringatan dan lelang parate executie?

1. Menggunakan jasa advokat dalam menerbitkan surat


peringatan kepada debitur serta melibatkan Advokat
dalam proses parate executie merupakan “hak hukum”
kreditur yang dijamin undang-undang.
2. Terlibat dalam penerbitan surat peringatan kepada debitur
berdasarkan pemberian kuasa dari kreditur merupakan
hak hukum dan kewajiban hukum Advokat sebagai
penerima kuasa dan dilindungi undang-undang.
3. Terlibat dalam proses parate executie berdasarkan
pemberian kuasa dari kreditur merupakan juga
merupakan hak hukum dan kewajiban hukum Advokat
sebagai penerima kuasa dan dilindungi undang-undang.
Jika Advokat memiliki hak hukum, apa permasalahan pokok
terkait surat peringatan terbitan Advokat ini di KPKNL?

1.Pada dasarnya tidak ada persoalan terkait penggunaan


jasa advokat dalam penerbitan surat peringatan kepada
debitur SEPANJANG SURAT TERSEBUT TIDAK
DILAMPIRKAN DALAM LIST PERMOHONAN LELANG
PARATE EXECUTIE (perhatikan list syarat lelang berikut)
LIST DOKUMEN KREDIT BERJAMINAN HAK TANGGUNGAN
Dokumen BARU Dokumen BARU
Dokumen AWAL/
PROSES LELANG PASCA LELANG
PRA LELANG

1. Perjanjian Kredit dan adendum 1. Pemilaian (internal atau KJPP) 1. Penetapan lelang (KPKNL)
(jika ada) 2. Surat permohonan lelang. 2. Permintaan Surat Keterangan
2. Sertifikat jaminan 3. Surat pernyataan kreditur SKPT (KPKNL)
3. SKMHT (jika ada) 4. Surat rincian utang. 3. SKPT (KPKNL, Notaris/PPAT dan
4. APHT 5. Surat keterangan harga limit BPN)
5. Sertifikat HT lelang. 4. Surat Pemberitahuan Lelang
6. Surat pernyataan nilai limit. 5. Resi pengiriman Surat
6. Surat Peringatan-1 7. Surat informasi rekening Pemberitahuan Lelang (jika tidak
7. Surat Peringatan-2 penampungan hasil lelang. diterima langsung nasabah dan
8. Surat Peringatan-3 8. Surat penunjukan pejabat penjamin/apabila sertifikat milik
9. Resi pengiriman surat peringatan penjual. pihak ketiga)
(jika tidak diterima langsung oleh 9. Akte de comand dan kuasa 6. Iklan lelang-1
debitur) pembelian (jika bank bertindak 7. Iklan lelang-2
sebagai pembeli) 8. Risalah Lelang
9. Bukti-bukti Pembayaran Pajak
dan Bea Lelang.
2. Pada dasarnya tidak ada persoalan terkait penggunaan
jasa advokat dalam proses parate executie SEPANJANG
KOP SURAT-SURAT PERMOHONAN EKSEKUSI
MENGGUNAKAN KOP KREDITUR/BANK DAN PEJABAT
PENJUAL ADALAH PEJABAT ATAU WAKIL
KREDITUR/BANK, BUKAN ADVOKAT ITU SENDIRI.
3. Dengan demikian, yang terjadi adalah PEMBATASAN
KETERLIBATAN, yang dari sudut pandang/pemaknaan
DJKN/KPKNL memiliki pondasi perundang-undangan,
dan kemudian diperkuat dengan putusan MK No.
70/2020.
3. Pembatasan peran dimaksud memiliki kemiripan atau
kesamaan status dengan kedudukan Balai Lelang Swasta
dalam parate executie, yaitu sebatas melakukan kegiatan
pra lelang dan fungsi administratif sebagaimana diatur
dalam PMK No. 113/2019 Jo PMK No. 213/2020.
“Dalam kegiatan usaha pelaksanaan lelang,
Balai Lelang selaku kuasa pemilik barang
dapat bertindak sebagai pemohon lelang
atau Penjual hanya untuk jenis Lelang
Noneksekusi Sukarela…”
[Sebagian kutipan pasal 10 ayat ( 1) PMK No. 113/2019]
“Lelang non eksekusi sukarela adalah lelang
untuk melaksanakan penjualan barang milik
swasta, perorangan atau badan
hukum/badan usaha yang dilelang secara
sukarela”

[Pasal 1 angka 7 PMK No. 213/2020]


Lelang Eksekusi adalah Lelang untuk
melaksanakan putusan atau penetapan
pengadilan, dokumen-dokumen lain yang
dipersamakan dengan itu, dan/ atau
melaksanakan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan

[Pasal 1 angka 5 PMK No. 213/2020]


“Balai Lelang dapat melakukan kegiatan
usaha selain kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yaitu jasa
pralelang dan jasa pascalelang untuk semua
jenis lelang”
[Pasal 11 ayat ( 1) PMK No. 113/2019]

Balai Lelang dalam pasal ini dapat dipersamakan dengan


Advokat meskipun tidak diatur secara eksplisit karena Balai
Lelang tidak dalam posisi mewakili kreditur secara penuh.
Bank tetap bertindak sebagai pemohon dan penjual.
Apa saja lingkup jasa pra lelang?
1. Meneliti kelengkapan dokumen persyaratan 7. Menyiapkan/ menyediakan sarana
lelang dan dokumen barang yang akan dan prasarana dalam kegiatan
dilelang; aanwijzing dan/ atau pelaksanaan
2. Meneliti legalitas formal subjek dan objek lelang;
lelang; 8. Memasarkan barang dengan cara
3. Menerima, mengumpulkan, memilah, efektif, menarik, dan terarah, baik
memberikan label, dan menyimpan barang dengan pengumuman, brosur,
yang akan dilelang; katalog maupun cara pemasaran
4. Menguji kualitas dan menaksir / menilai harga lainnya;
barang sesuai ketentuan; 9. Menyediakan jasa lainnya sesuai
5. meningkatkan kualitas barang yang akan izin yang diberikan dan tidak
dilelang; bertentangan dengan peraturan
6. Mengurus asuransi barang yang akan dilelang; perundangundangan.
Apakah Advokat “cocok” atau
“relevan” dilibatkan dalam kegiatan
pra lelang yang mengacu pada PMK
No. 113/2019 dan PMK No.
213/2020?
Tergantung pada kebutuhan
pengguna/kreditur.
PEMBAHASAN BAGIAN 2.2.

Tinjauan khusus terhadap Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-
VIII/2010 (Putusan MK No.70/2010)
DISCLAIMER
Materi selain yang dikutip
langsung dari Putusan MK No.
70/2010 merupakan rumusan
Fasilitator sendiri. Peserta
disarankan membaca putusan
MK untuk mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap.
1. Tahun 2009, seorang Advokat mengajukan
gugatan di PTUN Jakarta. Advokat tersebut
keberatan dengan penolakan posisinya
sebagai kuasa bank mengajukan lelang parate
executie di KPKNL Bandar Lampung. KPKNL
Latar belakang judial berpendapat bahwa lelang berdasarkan pasal
review 6 UU HT harus diajukan oleh kreditur sendiri.
2. Tahun 2010, Advokat tersebut kemudian
mengajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi. Alasan pokok: penolakan tersebut
bertentangan dengan hak konstitusional
pemohon sebagai Advokat (dan juga Advokat
lain), serta bertentangan dengan pasal 1.1.
UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
1. Kata “kekuasaan sendiri” dimaksudkan untuk
membedakannya dengan hipotik. Dalam
ketentuan hipotik sebelumnya, penjual dengan
“kekuasaan sendiri” tersebut merupakan
“janji” dan harus dikonstatir secara tegas-tegas
Pokok pemikiran pada perjanjian pokoknya, sedangkan dalam
pemohon UU 4/1996 hal tersebut tidak usah
diperjanjikan lagi karena telah mengikat
bersumberkan Undang-Undang tersebut.
2. Pasal 15 ayat (1) huruf b bukan mengatur
tentang eksekusi hak tanggungan, akan tetapi
mengatur tentang kuasa pembebanan hak
tanggungan oleh seorang Debitor kepada
krediturnya dimana kekuasaan tersebut tidak
dapat disubstitusikan kepada pihak lainnya.
3. Pembatasan wewenang Advokat dalam
parate executie bertentangan dengan hak
hukum pemohon selaku Advokat yang
Pokok pemikiran dijamin dalam UUD 1945, khususnya
pemohon pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 D ayat (1),
serta pasal 1 ayat (1) UU UU Advokat
Pasal 27 ayat (2) Pasal 28D ayat (1) UUD Pasal 1 ayat (1) UU
UUD 1945: 1945: 18/2003 (UU Advokat):
“Tiap-tiap warga “Setiap orang berhak “Advokat adalah orang
negara berhak atas atas pengakuan, yang berprofesi memberi
pekerjaan dan jaminan, perlindungan, jasa hukum, baik di
penghidupan yang dan kepastian hukum dalam maupun di luar
layak bagi yang adil serta pengadilan yang
kemanusiaan” perlakuan yang sama di memenuhi persyaratan
hadapan hukum” berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini”
1. Pasal 6 UU HT: “Apabila Debitor cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
Pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut”
2. Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996: “Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan
Norma yang diuji Akta Notaris atau Akta PPAT dan memenuhi persyaratan
sebagai berikut: a. tidak memuat kuasa untuk melakukan
perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak
Tanggungan ; b. tidak memuat kuasa substitusi; c.
mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan,
jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya,
nama dan identitas Debitor apabila Debitor bukan
pemberi Hak Tanggungan”
1. Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 juncto
Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 adalah
inkonstitusional sepanjang dimaknai sebagai
suatu larangan dalam suatu pengajuan parate
Tuntutan (petitum) executie hak tanggungan yang dilakukan oleh
seorang kuasa bahkan oleh seorang advokat.
pemohon
2. Menyatakan karenanya bahwa ketentuan Pasal
6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996
sepanjang dimaknai sebagai suatu larangan
dalam suatu pengajuan parate executie hak
tanggungan yang dilakukan oleh seorang kuasa
bahkan oleh seorang Advokat pun tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan
Amar Putusan menolak
Mahkamah Konsitusi permohonan
Pemohon untuk
seluruhnya”
Pertimbangan
Putusan MK No.
70/2010
Pertimbangan angka 3.13.
“Hak pemegang Hak Tanggungan pertama bersifat relatif
(relatief recht), artinya berlaku hanya untuk seseorang
tertentu atau lebih yang dapat melaksanakannya (Een
relatief recht–ook wel persoonlijk recht genoemd—is een
recht dat slechts in relatie tot een of meer bepaalde
personen kan worden uitgeoefend). Hak tersebut
Kutipan menciptakan tuntutan kepada orang lain untuk
Pertimbangan MK melakukan sesuatu, memberikan sesuatu, dan/atau tidak
melakukan sesuatu. Dalam hal ini khusus diberikan
kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
mengajukan permintaan agar Kantor Lelang melakukan
penjualan objek Hak Tanggungan milik debitor melalui
pelelangan umum. Secara a contrario parate executie
yang dilakukan oleh seorang kuasa (termasuk advokat)
bertentangan dengan Pasal 6 UU 4/1996”
• Pasal 6 UU HT tidak memuat redaksi
“dilarang” atau “melarang”, namun
dapat dimaknai bahwa pasal
tersebut memiliki substasi larangan
Catatan Fasilitator secara implist.
atas pertimbangan • Kutipan pertimbangan MK: “parate
ini executie yang dilakukan oleh seorang
kuasa (termasuk advokat)
bertentangan dengan Pasal 6 UU
4/1996” semakin menguatkan sudut
pandang KPKNL dan yang
sepandangan.
Pertimbangan Angka 3.15: “Menimbang bahwa
ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf
b UU 4/1996 mengandung hak relatif, jadi
bersifat khusus (lex specialis), sedangkan Pasal
Kutipan 1 angka 2 UU 18/2003 bersifat umum (lex
Pertimbangan MK generalis). Oleh sebab itu, sesuai dengan asas
lex specialis derogat legi generali, maka Pasal 6
juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 (lex
specialis) mengesampingkan ketentuan Pasal 1
angka 2 UU 18/2003 yang bersifat umum (legi
generali)”
1. MK mengkualifikasikan UU HT
sebagai pengkhususan atau
pengecualian asas umum dari UU
Advokat. Dengan demikian, khusus
Catatan Fasilitator
dalam melakukan parate executie,
atas pertimbangan
kreditur bertindak untuk dan atas
ini
nama diri sendiri, bukan kewenangan
yang dapat dikuasakan secara penuh.
2. Asas lex specialis derogat lex generali
merupakan asas hukum yang penting
dan sudah lazim berlaku dalam
praktik.
3. Meskipun tidak ada kata larangan
dalam pertimbangan ini, namun dapat
dimaknai bahwa dengan pertimbangan
ini, secara implisit, Advokat dilarang atau
Catatan Fasilitator
tidak diperkenankan menjadi kuasa
atas pertimbangan
penuh mengajukan permohonan lelang
ini
eksekusi ke KPKNL.
Intisari Pendapat Pemerintah:
1.Pasal 6 UU UUHT merupakan hukum publik yang bersifat
wajib (mandatory) untuk dijalankan sendiri oleh pihak yang
menerima kewenangan (i.c. kreditur).
2.Pasal 6 UUHT tidak secara jelas/nyata menyebut
pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat
untuk menjual objek Hak Tanggungan.
3.Pasal 6 UU 4/1996 merupakan peraturan materiil sekaligus
formil (hukum acara) dan dalam konteks menjalankan tidak
menyebutkan adanya pemberian kuasa kepada pihak lain
termasuk advokat.
4. Tanda tangan eksekutor diperlukan dalam Risalah Lelang (RL).
Eksekutor adalah kreditur bukan pihak lain seperti advokat.
5. Pelimpahan kewenangan kepada pihak lain termasuk kepada
advokat menandatangani RL telah melebihi kewenangan yang
diberikan atas dasar janji-janji sesuai Pasal 11 ayat (2) huruf e,
yang berbunyi “Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri
objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”.
6. Dari sisi ekonomi, pemberian kuasa kepada advokat akan
menambah biaya karena pada akhirnya akan dibebankan
kepada debitur dan juga bertentangan dengan sifat parate
executie sebagai instrument penyederhanaan proses.
7. Pasal 6 UU HT tidak merugikan Advokat karena pasal 20 ayat
(1) huruf b UU HT memberikan kemungkinan kepada Advokat
memberikan jasa bantuan hukum melalui lelang eksekusi
pengadilan. Dalam lelang eksekusi, eksekutor adalah
Pengadilan sehingga Advokat dapat bertindak sebagai kuasa
hukum pemohon (kreditur).
8. Jika MK mengabulkan, HT akan kehilangan makna dan esensi
parate executie dan menyempitkan pemaknaan pada
kepentingan profesi Advokat semata. Padahal, advokat masih
dapat berperan dalam eksekusi lelang Pengadilan (lihat butir 7
di atas). UUHT juga akan kehilangan esensi kemudahan dan
efektivitas yang sangat dibutuhkan oleh kalangan usaha.
9. Pengujian MK tidak tepat, melainkan pengujian tata
usaha negara. Pemohon telah melakukan gugatan ke
PTUN (Putusan PTUN Jakarta Nomor
35/G/2009/PTUN-JKT, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta Nomor 213/B/2009/PTTUN.JKT dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 212
K/TUN/2010). Ketiga putusan menolak gugatan
pemohon.
10.Hendaknya penolakan KPKNL Lampung berlaku
secara nasional.
Apa kata ahli? Intisari Pendapat Ahli:
Prof. Dr. Mariam Darus, S.H., FCBArb.
1.Pitlo, dalam bukunya Het Zakenrechts naar Het Nederlands Burgerlijk
Wetboek, penerbit Tjeenk Willink, 1954, halaman 447, menerangkan
“Pemegang hipotik sesungguhnya bertindak atas namanya sendiri
melaksanakan haknya sendiri. Penjualan oleh pemegang hipotik itu
adalah suatu bentuk dari penjualan executorial.
2.Dari penjelasan Pitlo, dilakukan penafsiran analogi bahwa hak untuk
melakukan parate executie hanya dapat dilaksanakan oleh
pemegang hak tanggungan pertama. Eksistensi dari hak tersebut
diciptakan oleh Undang-Undang, dan tidak lahir dari perjanjian. Jika
ditafsirkan sebagai kuasa, maka harus merujuk kepada perjanjian
kuasa yang tercantum dalam KUH Perdata mulai Pasal 1792.
3. Penggunaan konstruksi perjanjian dalam parate executie
menyebabkan ketidakpastian hukum karena kuasa dapat
diputuskan sewaktu-waktu. Jika penjualan sudah terjadi dan
banyak anggota masyarakat yang berkeberatan, maka akan
muncul gugatan.
4. Apa yang ditentukan Undang-Undang wajib dipatuhi karena
Undang-Undang mengatur hubungan antara pemerintah
dengan warga negara yang mengandung asas kepastian
hukum.
Apa kata ahli? Intisari Pendapat Ahli:
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H.

1.Kewenangan dalam pasal 6 UU 4/1996 merupakan kewenangan


berciri relatif yang hanya berlaku untuk seorang tertentu.
2.Pasal 6 UU 4/1996 secara hukum hanya berlaku bagi pemegang
hak tanggungan pertama secara pribadi, dan tidak dapat
dikuasakan, termasuk kepada advokat. Pengajuan parate executie
oleh kuasa hukum (advokat) bertentangan dengan Pasal 6 UU HT.
3.Pasal 20 ayat (4) UUHT perlu diperhatikan: “Setiap janji untuk
melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara
bertentangan dengan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal
demi hukum”.
4.Apabila terdapat konflik norma, harus dikembalikan kepada asas
lex specialis derogat lex generalis, artinya UU 4/1996 lebih
diutamakan (lex specialis) karena secara khusus hak untuk
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya
berlaku bagi pemegang Hak Tanggungan Pertama secara pribadi;
sedangkan UU 8/2003 Pasal 1 ayat (2) merupakan lex generalis.
Dengan demikian, UU 4/1996 atau parate executie tidak
menafikan UU Advokat.
5.Advokat masih dapat menjadi kuasa sebagaimana tercantum
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) jo Pasal 14 ayat
(2) UU 4/1996, karena eksekusinya melalui pengadilan yang
menurut hukum acara perdata (catatan Fasilitator: idem dengan
pandangan pemerintah).
KESIMPULAN

(1) DJKN/KPKNL, Mahkamah Konstitusi,


Pemerintah, dan Ahli (yang dihadirkan dalam
sidang) memiliki kesamaan
pandangan/pemaknaan terhadap frasa
“kekuasaan sendiri” dalam pasal 6 UUHT.
(2) Advokat menjadi tidak berwewenang
bertindak sebagai kuasa bank/kreditur penuh
untuk melaksanakan proses parate executie dan
tetap harus melibatkan kreditur sebagai
pemohon dan penjual.
(3) Tidak ada pertentangan antara UU Advokat
dengan UU HT sepanjang mengenai
kewenangan Advokat, karena pasal 6 UUHT
pada hakikatnya merupakan lex specialis
terhadap kewenangan umum (lex generalis)
seorang Advokat.
(4) Pemaknaan “kekuasaan sendiri” berpengaruh
pada status hukum surat peringatan/somasi yang
diterbitkan oleh Advokat, yang juga tidak diakui
sebagai syarat permohonan lelang karena surat
peringatan yangn akan dijadikan sebagai syarat
lelang adalah surat yang diterbitkan oleh kreditur
sendiri.
(5) Advokat tetap dapat berperan dalam proses
hukum parate executie, sepanjang melakukan
kegiatan pra lelang dan pasca lelang, sebagaimana
yang umum dijalankan oleh Balai Lelang Swasta lex
specialis terhadap kewenangan umum (lex generalis)
seorang Advokat. Advokat juga tetap dapat
menerbitkan surat peringatan/somasi, sepanjang tidak
dijadikan lampiran permohonan lelang parate
executie.
PEMBAHASAN BAGIAN 3.1.

Hukum materil surat peringatan yang


memenuhi “standar” KPKNL
“Somasi atau Surat Peringatan?”
1. Merujuk ketentuan pelaksanaan lelang (PMK No. 213/2020), kreditur langsung
sebaiknya menggunakan istilah “Surat Peringatan” sebagai istilah resmi/baku.

Kutipan PMK No. 213/2020


2. Advokat dapat (lazim) menggunakan keduanya: somasi atau surat
peringatan (kadang menggunakan istilah “teguran”) dengan pemaknaan
yang (umumnya) dianggap sama
Mengapa menggunakan acuan KPKNL?

INGAT FILOSOFI
BERDOKUMENTASI

“Use your own


hands to prepare legal
documents,
but see them through
another’s eyes”.

“Kita yang berperan menyiapkan dokumen, namun orang


lainlah yang paling kritis membacanya”.
Sadari fakta, bahwa instansi eksternal (KPKNL,
Pengadilan, BPN) memiliki posisi tawar
menawar yang lebih kuat dari kreditur dalam
menentukan kualifikasi dokumen.

Ciri dasar sikap KPKNL dalam berdokumentasi


(pengalaman Fasilitator): SANGAT TELITI
(“BERMATA ELANG”), SANGAT HATI-HATI
(“INSTITUTIONAL PROTECTIVE”), DAN
FORMALISTIK (LEGALISTIC)

dan POWERFULL
JANGAN ABAIKAN!!
Asas “SAYB-SHYB”

S-atu A-ngka Y-ang B-ernilai


S-atu H-uruf Y-ang B-erharga

Upayakan “zero mistake” dalam semua dokumen


permohonan lelang, termasuk surat peringatan
SUBSTANSI UTAMA SURAT PERINGATAN (SP) UNTUK LELANG LANGSUNG

KOP SURAT KEPALA SURAT ISI SURAT

• Wajib menggunakan kop • Wajib ditujukan kepada debitur. • Khusus SP terakhir yang akan
kreditur sendiri (vide • Jika debitur sudah meninggal, SP dipakai sebagai bukti lelang,
penjelasan dalam bagian ditujukan kepada debitur, garing (/) wajib memuat frasa penting,
kedua). ahli waris (AW)* yaitu (1) deklarasi
• Jika mengirim SP • Wajib ditujukan ke alamat yang wanprestasi/ingkar janji/cidera
menggunakan jasa advokat, “dipilih” dalam PK, bukan alamat janji, (2) menagih secara
pastikan yang dilampirkan AW. sekaligus dan tunai, (3) spesifik
adalah SP ber-kop bank menyebut tindakan hukum
* Disarankan ditanyakan/dikonfirmasikan
kepada KPKNL setempat
KOP SURAT BANK

Nomor : [Penomoran Surat Bank] [Kota dan tanggal Surat]

Kepada Yth:
[Nama Debitur]/Ahli Waris
Jl. [Alamat lengkap sesuai pilihan
domisili dalam perjanjian kredit/adendum]

Perihal : Surat Peringatan Ketiga

Dengan hormat,
Menunjuk Surat Peringatan kami Nomor: [Nomor dan Tanggal SP-2]
perihal Surat Peringatan Kedua, dengan ini kami sampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Bahwa kami telah berkali-kali memperingatkan Saudara agar
menyelesaikan kewajiban Saudara kepada [nama Bank], baik secara
lisan maupun tertulis. Namun ternyata sampai saat ini, tidak ada
penyelesaian nyata dari Saudara. Karena itu, kami menganggap
Saudara telah beritikad buruk kepada [nama Bank].

2. Bahwa untuk terakhir kalinya, kami masih memberikan kesempatan


kepada Saudara untuk menyelesaikan seluruh kewajiban dimaksud
secara sekaligus dan tunai, selambat-lambatnya tanggal [Batas
Tanggal Penyelesaian]. Jumlah kewajiban Saudara kepada [nama
bank], per posisi tanggal [tanggal perhitungan] adalah sebesar Rp
[dalam angka] ([dalam huruf], dengan rincian sebagai berikut:
No Kewajiban Jumlah
1 Sisa Pokok
2 Tunggakan Bunga
3 Tunggakan Denda
4 Kewajiban Lainnya
Total
Jumlah tersebut akan terus bertambah sampai Saudara menyelesaikan kewajiban Saudara kepada
[nama Bank].
3. Mengingat pentingnya hal tersebut di atas, mohon agar segera melakukan
penyelesaian selambat-lambatnya pada tanggal tersebut dalam angka 2 (dua).
Jika ternyata Saudara tidak melakukan penyelesaian pada tanggal yang
ditetapkan, maka kami menyatakan Saudara telah ingkar janji atau wanprestasi
terhadap [nama bank], dan selanjutnya [nama bank] akan melaksanakan
wewenangnya melakukan proses hukum terhadap kredit Saudara, antara lain
namun tidak terbatas pada upaya hukum gugatan melalui Pengadilan atau
mendaftarkan lelang ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Catatan:
1. Kata wanprestasi bersinonim dengan “lalai/cidera
janji/ingkar janji”. Kata ini penting termuat dalam
surat peringatan merujuk pada pasal parate executie
dalam 3 UU Jaminan Khusus dan KUH Perdata dan
PMK No. 213/2020.
2. Seseorang atau suatu subjek hukum dinyatakan
“wanprestasi” karena tidak memenuhi suatu prestasi.
3. Yang berhak atas “prestasi” berhak menyatakan pihak
“pemberi prestasi” telah “wanprestasi” melalui
mekanisme deklarasi melalui surat (pasal 1238 KUH
Perdata).
Jenis Prestasi
“Perikatan ditujukan untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu”

[Pasal 1238 KUH Perdata]

“Barangsiapa meminjam suatu barang wajib


mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan
yang sama dan pada waktu yang diperjanjikan”

[Pasal 1763 KUH Perdata]


Pernyataan Wanprestasi/Lalai/Cidera
Janji/Ingkar Janji

Debitur dinyatakan Ialai dengan surat


perintah, atau dengan akta sejenis itu,
atau berdasarkan kekuatan dari perikatan
sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap
Ialai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.

[Pasal 1238 KUH Perdata]


4. Selanjutnya, segala biaya yang muncul akibat upaya lelang atau likuidasi
agunan dimaksud, antara lain tetapi tidak terbatas biaya pengacara, biaya
balai lelang dan administrasi lelang, serta biaya-biaya lainnya yang muncul
sehubungan dengan penyelesaian kewajiban Saudara, akan menjadi
beban Saudara. Perlu juga kami ingatkan, apabila jaminan tidak
mencukupi, Bank akan melakukan upaya hukum lanjutan terhadap harta
kekayaan Saudara lainnya.

Demikian Peringatan Ketiga ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian serius
Saudara.

Hormat kami,
[Nama Bank]
Catatan Fasilitator:
1. Contoh surat peringatan ketiga yang dijadikan hanya salah
satu acuan dengan memerhatikan praktik umum di KPKNL.
2. Jika sekiranya terdapat permasalahan dalam substansi surat
(cacat), maka implikasinya adalah pengulangan pengiriman
surat somasi (implikasi waktu).
3. Kreditur tetap memerhatikan kebiasan KPKNL setempat.
PEMBAHASAN BAGIAN 3.2.

Hukum formil surat peringatan:


Bagaimana cara menyampaikan surat
peringatan sesuai “standar” KPKNL
1. Somasi memiliki dua fungsi, yaitu fungsi komunikasi dan
fungsi hukum.
2. Fungsi komunikasi artinya kreditur mengharapkan debitur
menerima, membaca, memahami, dan kemudian
merespon surat tersebut.
3. Fungsi hukum artinya surat tersebut memiliki klasifikasi
sebagai alat bukti. Dalam fungsi hukum, tidak lagi penting
apakah debitur menerima, membaca, memahami, atau
merespon.
4. Dalam fungsi hukum, pengiriman surat menyurat wajib
ditujukan pada pilihan domisili, sedangkan alamat lain
hanya sebagai pendukung (terutama dari sisi komunikasi).
5. Penting diperhatikan, selalu ada kemungkinan debitur
berganti domisili, baik dengan alasan itikad baik maupun
itikad buruk. Kreditur perlu memerhatikan proses
pergantian domisili yang sah menurut hukum.
6. Standar surat somasi di KPKNL dari sisi proses pengiriman
adalah diterima langsung oleh debitur yang dibuktikan
dengan tanda terima dari debitur dengan tanda tangan
yang sesuai dengan tanda tangan dalam PK.
7. Jika tanda tangan dalam tanda terima terlalu mencolok
berbeda dengan tanda tangan debitur dalam PK, besar
kemungkinan pegawai KPKNL akan mempertanyakan
tanda terima tersebut.
8. Alternatif lain pengganti tanda terima adalah bukti resi
pengiriman surat. Disarankan resi pengiriman surat
menggunakan pos Negara (tidak wajib, namun terkadang
ada saran subjektif petugas KPKNL).
Libertus S.Pane

082112760176

berryspane17@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai