Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENGAMBILAN NOMOR REGISTRASI ANGGOTA EKSPEDISI

BUDAYA

MENGIDENTIFIKASI UPAYA PELESTARIAN RUMAH ADAT TONGKONAN


KARUAYA DESA TUMBANG DATU, KEC. SANGALLA UTARA,
KAB. TANA TORAJA

Diajukan dalam rangka pengambilan Nomor Registrasi Anggota (NRA)

Oleh :

1. MUH. NUR ADZAN (ANGKATAN XXXIV)


2. TRI AYU ARISTA (ANGKATAN XXXIV)
3. WAHDANIA (ANGKATAN XXXIV)
4. SITTI MARYAM (ANGKATAN XXXIV)

MAHASISWA PENCINTA LINGKUNGAN HIDUP SELARAS


SINTALARAS
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

JENIS KEGIATAN : EKSPEDISI BUDAYA


JUDUL PENELITIAN : MENGIDENTIFIKASI UPAYA
PELESTARIAN
RUMAH ADAT TONGKONAN KARUAYA
DESA TUMBANG DATU, KEC. SANGALLA
UTARA, KAB. TANA TORAJA
NAMA PESERTA : MUH. NUR ADZAN
TRI AYU ARISTA
WAHDANIA
SITTI MARYAM

Laporan pengambilan Nomor Registrasi Anggota (NRA)


Mahasiswa Pencinta Lingkungan Hidup Selaras (SINTALARAS)
Universitas Negeri Makassar, telah diperiksa dan memenuhi syarat
untuk dipresentasikan dalam ujian pengambilan Nomor Registrasi
Anggota (NRA).

Makassar, 12 Maret 2023

Pembimbing, Ketua Tim,

ABDUL KARIM ACHMAD, S.Pd. MUH. NUR ADZAN


NRA.14/STL-XXVI/SP.478 ANGGOTA MUDA

Mengetahui,
Dewan Eksekutif SINTALARAS
Universitas Negeri Makassar
Periode 2022 - 2023
Ketua,

KHAERUL JASMAR
NRA. 22/STL-XXXIII/KP.538

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menerangkan bahwa:

JENIS KEGIATAN : EKSPEDISI BUDAYA


JUDUL PENELITIAN : MENGIDENTIFIKASI UPAYA
PELESTARIAN
RUMAH ADAT TONGKONAN KARUAYA
DESA TUMBANG DATU, KEC. SANGALLA
UTARA, KAB. TANA TORAJA
NAMA PESERTA : MUH. NUR ADZAN
TRI AYU ARISTA
WAHDANIA
SITTI MARYAM

Laporan yang disusun oleh peserta tersebut diatas, telah kami


periksa dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
anggota penuh SINTALARAS UNM.

Makassar, Maret 2023

Pembimbing : Abdul Karim Achmad, S.Pd. ( )


Penanggap 1 : Ridfan Rifadly Abadi, S.E., M.M. ( )
Penanggap 2 : Muh.Arif ( )

Mengetahui,
Dewan Eksekutif SINTALARAS
Universitas Negeri Makassar
Periode 2022 - 2023
Ketua,

KHAERUL JASMAR
NRA.22/STL-XXXIII/KP.538

iii
KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA

PENCINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA ALAM BESERTA ISINYA


ADALAH CIPTAAN TUHAN YANG MAHA ESA.

PENCINTA ALAM INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI MASYARAKAT


INDONESIA SADAR AKAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP TUHAN,
BANGSA DAN TANAH AIR.

PENCINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA SEGENAP PENCINTA


ALAM ADALAH SAUDARA SEBAGAI MAKHLUK YANG MENCINTAI
ALAM SEBAGAI ANUGERAH TUHAN YANG MAHA ESA.

Sesuai dengan hakekat di atas, kami dengan kesadaran Menyatakan:


1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam
sesuai dengan kebutuhannya
3. Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat
sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya
5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pencinta alam
sesuai dengan asas pencinta alam
6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan
pengabdian terhadap tuhan, bangsa dan tanah air
7. Selesai

Disahkan dan diakui seluruh pencinta alam Se-Indonesia beserta


GLADIAN pencinta alam Se-Indonesia di Pulau Kahyangan dan Tana
Toraja pada tanggal 31 Januari tahun 1974.

iv
Oleh: Lang Gassa

MARS SINTALARAS

Sin…sin…sin SINTALARAS

Mahasiswa Pencinta Lingkungan Hidup Selaras

Universitas Negeri Makassar

Sahabat Alam Lestari

Sin…sin…sin SINTALARAS

Gerakmu Selalu Maju dan Selaras

Selalu Berbakti Tak Kenal Lelah Membangun Lingkungan Hidup

Majulah…majulah…majulah SINTALARAS

Abadilah cita-citamu

Majulah…majulah Mahasiswa Pejuang

Jaya…jaya...jaya

(2x)

v
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Salam Lestari!!!
Alhamdulillah merupakan ungkapan syukur peserta pengambilan Nomor
Registrasi Anggota kami panjatkan kepada yang maha pemurah,
pengasih, penyayang ALLAH SWT. yang atas kemurahan dan kasih
sayang kami dapat menyelesaikan penelitian dalam rangka pengambilan
Nomor Registrasi Anggota ini. Selama pelaksanaan pengambilan nomor
di lapangan maupun dalam penyusunan hasil ini tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala
hormat kelapangan dan kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu dan
membimbing kami dalam menyelesaikan laporan hasil ini.
Oleh karena itu, kami dari tim KEIGUNTARA ekspedisi budaya haturkan
terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Makassar Ayahanda Prof. Dr. H Husain
Syam M. TP.
2. Ketua Dewan Eksekutif SINTALARAS UNM periode 2022 - 2023
beserta jajarannya.
3. Kakanda Abdul Karim Achmad, S.Pd, selaku pembimbing yang telah
bersedia dan sabar meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan kami dalam menyelesaikan pengambilan Nomor
Registrasi Anggota (NRA) ini.
4. Kakanda M. Guntur, sebagai pendamping yang setia mendampingi,
dan membimbing kami sampai selesai.
5. Kakanda Abdul Haris S.Pd., selalu membimbing selama kegiatan baik
sebelum turun lapangan sampai selesainya kegiatan proses
pengambilan Nomor Registrasi Anggota (NRA) ini.
6. Kakanda senior yang sempat meluangkan waktunya membimbing,
dan memberi pengarahan kepada kami.
7. Segenap keluarga kami yang senantiasa memberi izin, motivasi, dan
semangat kepada kami.
8. Segenap keluarga besar SINTALARAS UNM tanpa terkecuali.
9. Kakanda Amri, Kakanda Eddie, Keluarga Kak Abdul Haris, Keluarga
Kak Awi, Keluarga Kak Dian, Kak Fausal, Kak Ratna, Kak Ginjal, Kak
Uyut, dan Kak Ciwang, yang dalam proses telah membantu dan
mendukung kami.
10. Saudara – Saudari Angkatan XXXIV, yang selalu memberi dukungan
disetiap proses kami.

vi
11. Keluarga Ketua MAHAKRIPA UKIT, Kepala Lembang Tumbang Datu,
Masyarakat Lembang Tumbang Datu, serta Masyarakat Kawasan
Wisata Rumah Adat Tongkonan Karuaya yang telah berpartisipasi
dalam kegiatan penelitian ini.
Wassalamuaalaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Tetap Lestari!!!

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................iii
KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA..............................................iv
MARS SINTALARAS....................................................................................v
KATA PENGANTAR....................................................................................vi
DAFTAR ISI...............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................x
DAFTAR TABEL..........................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................5
C. Tujuan Penelitian............................................................................5
D. Manfaat Penelitian..........................................................................6
BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................7
A. Kebudayaan....................................................................................7
B. Rumah Adat....................................................................................9
C. Pelestarian Lingkungan................................................................11
BAB III GAMBARAN PELAKSANAAN.......................................................14
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan.................................................14
B. Rekapitulasi Anggaran..................................................................14
C. Hal yang Diamati...........................................................................15
D. Teknik Pengumpulan Data...........................................................15
E. Persiapan dan Perlengkapan Tim....................................................16
BAB IV URAIAN UMUM.............................................................................17
A. Letak Geografis.............................................................................17
B. Kondisi Demografi.........................................................................19
C. Kondisi Biogeografi.......................................................................19

viii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................21
A. Hasil..............................................................................................21
B. Pembahasan.................................................................................22
BAB VI PENUTUP.....................................................................................29
A. Kesimpulan...................................................................................29
B. Saran.............................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30
LAMPIRAN

- Rekomendasi NRA
- Rekomendasi Pembimbing
- Rekomendasi Pendamping
- Rekomendasi DES
- Rekomendasi Kampus UNM
- Rekomendasi Pemerintah
- Refleksi Perjalanan
- Agenda Perjalanan
- Hasil Wawancara
- Data Penduduk
- Peta Lokasi Penelitian
- Dokumentasi Kegiatan

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Bagian-Bagian Rumah Adat.................................................24


Gambar 5.2 Bagian Samping Rumah Adat...............................................25
Gambar 5.3 Lumbung Padi......................................................................25
Gambar 5.4 Ukiran Rumah Adat Tongkonan Karuaya..............................25
Gambar 5.5 Alat Ukir Rumah Adat Tongkonan Karuaya...........................27

x
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rincian Pengeluaran Kegiatan..................................................14


Tabel 3.2 Daftar rincian persiapan dan perlengkapan tim.........................16
Tabel 4.1 Flora dan Fauna Desa Tumbang Datu........................................19
Tabel 5.1 Data Sampel Penelitian................................................................21

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hidup, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan ruang,
baik ruang dalam bentuk fisik, seperti rumah dan kebutuhan non fisik
seperti dalam menjalin hubungan sosial, sehingga dari hal ini
berkembang penciptaan ruang-ruang baru baik secara fisik maupun
non fisik. Menurut Koentjaraningrat (1984) wujud dari ruang yang
diciptakan sebagai benda budaya, berkaitan dengan sistem budaya
dan sistem sosialnya. Jadi, perwujudan suatu ruang selain memenuhi
kebutuhan psikis juga mencerminkan sistem budaya dan sistem sosial
dari masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut, Koentjaraningrat
(1984) mengatakan bahwa setiap bentuk dari wujud benda budaya
mencerminkan cara pandang, pikiran, kepercayaan dan sistem sosial
masyarakatnya karena itu selalu mengalami perubahan. Demikian
halnya, rumah-rumah tinggal dari jaman dahulu sampai saat ini,
perwujudannya mengikuti perubahan sistem sosial dan sistem
budayanya. Hidup di dalam rumah merupakan bagian terpenting dari
kehidupan manusia. Bentuk rumah merupakan hasil saling
mempengaruhi antara faktor kondisi sosial, budaya, dan lingkungan
alam yang sangat kompleks.
Terdapat kaitan yang erat atau hubungan timbal balik antara
manusia dan kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan dan
kebudayaan akan terus hidup bila ada masyarakat sebagai
pendukung. Manusia sebagai pendukung kebudayaan akan
meneruskan kebudayaan kepada generasi penerusnya (garis vertikal)
maupun kepada orang lain disekitarnya (garis horisontal), (Soekmono,
1973: 10). Antropologi budaya tidak meneliti apa yang harus diperbuat
manusia, namun meneliti kenyataan yang telah diperbuat manusia,
bagaimana manusia bereaksi atas keadaan-keadaan yang berlainan

1
sifatnya dalam lingkungan dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Antropologi budaya mengumpulkan data-data melalui etnografi.
Antropologi budaya merupakan pengetahuan empiris dengan
mengambil data-data dari hasil penelitian (J. Van Baal, 1987: 5).
Hal ini tercermin pula pada kebudayaan di Toraja. Toraja dikaitkan
dengan etnik yang secara administratif menjadi penduduk asli yang
bermukim di Kab. Tana Toraja dan Toraja-Utara Provinsi Sulawesi
Selatan. Topografi daerah ini berbukit-bukit dengan luas wilayah lebih
dari 3000 km persegi berbatasan dengan beberapa Kabupaten yang
penduduk aslinya dihuni oleh orang Bugis yakni Kab. Luwu, Mamuju,
Enrekang, Pinrang, dan Polewali - Mandar. Menurut Sandra (1998: 1),
istilah “Toraja” sesungguhnya merupakan istilah meremehkan yang
digunakan oleh orang Bugis dan Makassar yang mendiami dataran
rendah semenanjung barat - selatan Sulawesi terhadap orang yang
bermukim di daerah pegunungan di sekitarnya. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh Saleh Husain (2001: 122), bahwa orang
Bugis-lah yang menamakan etnik ini dengan sebutan Toraja dari kata
to Rajang atau To Riaja yang bermakna orang dari sebelah barat atau
utara. Selain bermakna sebagai nama etnik, istilah Toraja juga
dikaitkan pula dengan artefak budaya yang dihasilkan oleh orang
Toraja seperti seni bangunan Toraja (rumah adat, lumbung padi) atau
seni rupa Toraja (patung, ukir, tenun). Rumah Tongkonan Toraja
hampir sama dengan Rumah Adat Batak memiliki orientasi bangunan
pada alam dan lanskap sekitarnya. Arsitektur Rumah Adat Tongkonan
memiliki sosok yang indah di lanskap alam Toraja dan memiliki
kualitas estetika yang tinggi.
Bentuk atap dengan bubungan yang melengkung dramatis telah
dikembangkan sebagai suatu nilai lebih dan mengangkat jiwa manusia
kepada yang lebih luhur. Rumah Adat di Toraja jauh lebih terjaga
kelestariannya dari pada rumah-rumah Adat Batak Jangga Dolok,
Tapanuli Utara. Hal ini patut diapresiasi dan dijaga terus. Bahan

2
bangunan utama Rumah Tongkonan adalah bambu, yang juga sangat
rentan terhadap bahaya kebakaran. Sebagai akibat sulit dan mahalnya
perawatan bangunan ini, kebanyakan rumah - rumah adat tersebut
sudah menggunakan seng sebagai bahan penutup atapnya, yang juga
lebih tahan terhadap bahaya kebakaran. Ukuran, besar dan bahan
bangunannya juga ditentukan oleh tingkatan kedudukan pemilik rumah
di masyarakat. Di seberang deretan Tongkonan Toraja biasanya ada
deretan lumbung padi disebut `alang´, yang mempunyai model yang
sama, tetapi ukuran lebih kecil. Kabupaten Toraja Utara sangat
terkenal dengan obyek - obyek pariwisata yang sangat unik, antara
lain Rumah Adat Tongkonan, Kuburan Leluhur di Gunung, Adat
istiadat penguburannya, Negeri di Atas Awan, dan lain-lain.
Kemahsyurannya telah terdengar jauh puluhan tahun yang lalu, tetapi
kehebatan tersebut tetap tidak bisa mengalahkan ketenaran Pariwisata
di Bali dan Danau Toba sampai saat ini, sehingga dalam menentukan
arah pariwisata, Destinasi turis di Indonesia, daerah Toraja tidak
dimasukkan. Hal ini cukup memprihatinkan dan perlu perhatian serius
dari pemerintah daerah. Sehingga untuk mempertahankan dan
mengembangkan daya tarik wisata rumah adat, perlunya melakukan
penelitian untuk manganalisa dan mengidentifikasi karakteristik Rumah
Adat Tongkonan Toraja.
Transformasi bentuk dalam arsitektur terutama sekali merupakan
hasil dari proses sosial budaya. Termasuk didalamnya adalah
perubahan-perubahan yang paling berguna terhadap lingkungan fisik.
“Perubahan bentuk terjadi salah satunya karena penetrasi” (Krier,
2001:46). Sedangkan menurut Sachari (2005), “transformasi dalam
budaya dapat dirangkum menjadi sebuah proses yang panjang yang
didahului oleh terjadinya inkulturasi dan akulturasi, proses dialog dan
sintesis budaya, serta diikuti oleh berbagai pergeseran dan
perkembangan nilai - nilai untuk menjadi suatu sosok budaya baru”
(Krier,2001:36). Membangun Rumah pada umumnya sama saja pada

3
semua suku bangsa dimanapun berada yang pada dasarnya
berurusan dengan jawaban atas permintaan kebutuhan manusia yang
membedakan adalah unsur citra dimana kualitas estetika benar -
benar muncul dari proses perancangannya. Budaya Toraja sarat
dengan simbol. Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian
yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman
bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain,
menggunakan symbol - simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada
tanpa simbol - simbol. Menurut Komisi Liturgi dan Musik Gerejawi
(KLM) Gereja Toraja dalam materi “Simbol Adat Budaya Toraja dan
pemaknaannya dalam peribadahan Gereja Toraja” Simbol bagaikan
darah dalam tubuh.
Pelestarian budaya Toraja selama ini cenderung terfokus pada
aspek pelestarian fisik semata. Hal itu tercermin dalam bentuk
kegiatan pelestarian yang didominasi perbaikan fisik pada bangunan
Tongkonan di Toraja. Budaya Toraja sebagaimana pendapat para ahli,
terefleksikan dalam budaya Tongkonan, dimana Tongkonan pada
hakekatnya bukan semata bangunan Rumah Adat tetapi merupakan
konsep budaya Toraja itu sendiri. Budaya Tongkonan adalah ruh dari
budaya Toraja yang merefleksikan hubungan harmonis antara
manusia dengan alam, salah satunya diwujudkan dalam bentuk
menjadikan hutan sebagai elemen dalam budaya Tongkonan. Oleh
karena itu, pelestarian budaya Toraja pada dasarnya dapat
disinergikan dengan upaya pelestarian hutan. Dengan demikian upaya
nyata dalam menata hutan di Toraja dapat menjamin keberlangsungan
budaya Toraja.
Dari deskripsi diatas, menjadi daya tarik kami selaku peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai Rumah Adat Tongkonan khususnya
Rumah Adat Tongkonan Karuaya tersebut. Maka dari itu diangkatlah
judul “MENGIDENTIFIKASI UPAYA PELESTARIAN RUMAH ADAT
TONGKONAN KARUAYA DESA TUMBANG DATU, KEC.

4
SANGALLA UTARA, KAB. TANA TORAJA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diuraikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana masyarakat setempat memaknai bangunan Rumah
Adat Tongkonan Karuaya Desa Tumbang Datu, Kec. Sanggala
Utara. Kab. Tana Toraja?
2. Bagaimana Upaya Pelestarian Rumah Adat Tongkonan Karuaya
Desa Tumbang Datu, Kec. Sanggala Utara. Kab. Tana Toraja?
3. Apa saja upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan dalam
penggunaan material bangunan Rumah Adat Tongkonan Toraja,
Desa Tumbang Datu. Kec. Sanggala Utara. Kab. Tana Toraja?
4. Apa saja nilai-nilai kearifan lokal yang masih dipertahankan
masyarakat setempat dalam membangun Rumah Adat Tongkonan
Karuaya Desa Tumbang Datu, Kec. Sanggala Utara. Kab. Tana
Toraja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini:
1. Tujuan Umum
a. Untuk memenuhi hak persyaratan menjadi anggota penuh
SINTALARAS UNM
b. Untuk mengaplikasian materi kepencintaalaman dan lingkungan
hidup selama menjadi anggota SINTALARAS UNM
c. Untuk mengenal kebudayaan dan kearifan lokal yang berada di
lokasi penelitian
d. Untuk mengemban Tri Dharma perguruan tinggi
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat setempat memaknai
bangunan Rumah Adat Tongkonan Karuaya Desa Tumbang Datu,
Kec. Sanggala Utara. Kab. Tana Toraja

5
b. Untuk mengetahui Bagaimana Upaya Pelestarian Rumah Adat
Tongkonan Karuaya Desa Tumbang Datu, Kec. Sanggala Utara.
Kab. Tana Toraja
c. Untuk mengetahui Apa saja upaya pelestarian lingkungan yang
dilakukan dalam penggunaan material bangunan Rumah Adat
Tongkonan Toraja, Desa Tumbang Datu. Kec. Sanggala Utara.
Kab. Tana Toraja
d. Untuk mengetahui apa saja nilai - nilai kearifan lokal yang masih
dipertahankan masyarakat setempat dalam membangun Rumah
Adat Tongkonan Karuaya Desa Tumbang Datu, Kec. Sanggala
Utara. Kab. Tana Toraja
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini sebagai penambahan ilmu bagi
peneliti dan pembaca mengenai upaya pelestarian Rumah Adat
Tongkonan Karuaya, Desa Tumbang Datu, Kec. Sangalla Utara. Kab.
Tana Toraja.
2. Manfaat Praktis
Memberikan referensi baru bagi Anggota SINTALARAS UNM
dalam melakukan kegiatan Ekspedisi Budaya, dan juga menjadi
penambahan wawasan mengenai upaya pelesatarian Rumah Adat
Tongkonan, khususnya Rumah Adat Tongkonan Karuaya, Desa
Tumbang Datum, Kec. Sangalla Utara. Kab. Tana Toraja.

6
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kebudayaan
Manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari kebudayaan, apakah
masyarakat itu tergolong masyarakat yang masih bersifat primitif atau pun
masyarakat modern, karena kebudayaan itu merupakan sarana manusia
dalam rangka memenuhi berbagai macam kehidupannya. Bahkan Roucek
dan Warren mengemukakan bahwa kebudayaan bukan saja merupakan
seni dalam hidup, tetapi juga benda-benda yang terdapat di sekeliling
menusia yang dibuat oleh manusia.
Secara sederhana kata kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu
cara hidup (ways of life), yang meliputi cara berpikir, cara berencana, cara
bertindak, disamping segala karya nyata yang dianggap berguna, benar,
dan dapat dipenuhi oleh anggota masyarakat dalam kesempatan bersama
jika dilihat dari asal katanya, kata “kebudayaan” berasal dari kata
budhayyah (bahasa sanksekerta) yang merupakan bentuk jamak dari
‘buddhi’, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal -
hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Ada sarjana lain yang
mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-
daya, yang berarti daya dari budi, karena itu mereka membedakan
“budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari
budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah
hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Adapun istilah culture yang merupakan
bahasa asing, sama artinya dengan kebudayaan yang berasal dari kata
latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah
atau bertani. Sehingga culture dipahami sebagai segala daya dan
kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Perkataan culture di Indonesia diterjemahkan dengan kebudayaan
yang menitikberatkan kepada hasil hidup bersama di masyarakat. Tidak
ada kebudayaan yang diciptakan oleh seorang manusia saja, atau hasil

7
cipta seorang manusia saja. Mungkin penemuan - penemuan yang berarti
diciptakan oleh pemikiran seseorang, tetapi penemuan itu akhirnya akan
berkembang dan digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan dalam
masyarakat itu, dan ide penemuan itu pun dihasilkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat tertentu.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta
manusia berupa buah pikiran, gagasan, norma, ide, aktivitas manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan sebagaimana
diterangkan di atas, dimiliki oleh setiap masyarakat. Perbedaannya
terletak pada kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna dari
pada kebudayaan masyarakat yang lain, di dalam perkembangannya
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di dalam hubungan di atas,
maka biasanya diberikan nama “peradaban” (civilization) kepada
kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang
sudah lebih tinggi. Selain itu, peradaban digunakan untuk menyebut
unsur-unsur kebudayaan yang maju dan indah (kesenian, ilmu
pengetahuan, sopan santun pergaulan, organisasi kenegaraan, dan
sebagainya). Peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu
kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, sistem ilmu pengetahuan,
seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan, serta masyarakat kota
yang maju dan kompleks.
Isi utama kebudayaan adalah segala macam ide dan gagasan
manusia yang banyak timbul dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada
masyarakat itu. Isi utama kebudayaan itu adalah:
1. Sistem pengetahuan; merupakan sistem perencanaan untuk
menyimpulkan gagasan dari hasil pengamatan alat indra
2. Nilai; merupakan kumpulan dari semua sikap dan perasaan yang
selalu diperlihatkan melalui perilaku manusia tentang baik buruk, benar
salah, baik terhadap objek material maupun non material.
3. Pandangan hidup; suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan
atau individu tertentu dalam masyarakat.

8
4. Religi atau Agama; semua gagasan yang berkaitan dengan kenyataan
yang tidak dapat ditentukan secara empiri. Inti pokok religi adalah
penyerahan manusia kepada Tuhan dalam keyakinan bahwa manusia
tergantung pada Tuhan dan Tuhan merupakan sumber keselamatan
sejati bagi manusia.
5. Persepsi; pandangan seseorang yang bersifat individu terhadap
sesuatu masalah yang berkaitan dengan keadaan yang terjadi di
masyarakat.
6. Etos; watak khas yang terpancar dari suatu kebudayaan yang disebut
dengan etos kebudayaan. Etos kebudayaan menjadi pandangan hidup
dari suatu golongan hidup masyarakat tertentu yang membedakannya
dari masyarakat lainnya.

B. Rumah Adat
Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus,
digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah
Adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi
dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan Rumah Adat di
Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam
perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah
peradaban.
Rumah - Rumah Adat di indonesia memiliki bentuk dan arsitektur
masing - masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah Adat
pada umumnya dihiasi ukiran - ukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat
yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua
adat setempat menggunakan kayu - kayu pilihan dan pengerjaannya
dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya, banyak
rumah - rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja
dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.
Rumah adat juga memiliki beberapa fungsi lain, yang akan dijelaskan
berikut ini beserta beberapa contoh rumah adat.

9
Fungsi Rumah Adat
1. Sebagai Identitas Suku Bangsa
Rumah Adat bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga menjadi
identitas atau ciri khas suatu bangsa. Dalam proses pembangunan
sebuah Rumah Adat akan ada beberapa unsur budaya yang
dilibatkan. Unsur budaya tersebut adalah kebiasaan yang berlaku dan
akan dituangkan dalam desain Rumah Adat yang dibuat.
2. Filosofi Budaya yang Berlaku
Rumah Adat yang ada di berbagai daerah juga memiliki filosofi
budaya yang berbeda - beda. Filosofi ini biasanya berupa pemikiran
mengenai manusia, alam, dan juga Tuhan yang diyakini. Lalu ada juga
filosofi yang menggambarkan hal - hal sakral yang ada di wilayah
tersebut.
3. Tempat Tinggal
Layaknya rumah pada umumnya, Rumah Adat tentu juga
digunakan sebagai tempat tinggal. Sehingga Rumah Adat akan diisi
dengan ruangan - ruangan untuk keperluan kehidupan.
4. Tempat Acara Adat
Fungsi lain dari Rumah Adat adalah sebagai tempat acara adat
dilakukan atau menjadi tempat musyawarah. Dalam beberapa wilayah
ada Rumah Adat yang cukup besar dan selalu menjadi tempat
dilakukannya upacara adat yang akan dihadiri banyak orang.
5. Rekam Jejak Budaya Masa Lalu
Kini Rumah Adat juga memiliki fungsi sebagai rekam jejak budaya
di masa lalu. Dari sebuah Rumah Adat, kita bisa melihat sikap
masyarakat pada zaman dulu hingga nilai-nilai yang dianut.
Perbedaan budaya di setiap daerah menjadikan Rumah Adat di
masing-masing daerah memiliki ciri khas yang berbeda-beda pula.
Keberagaman budaya ini menjadi kekuatan bangsa Indonesia yang tidak
dimiliki oleh negara lain. Keberagaman tersebut membuat macam-macam
Rumah Adat memiliki bentuk yang berbeda.

10
C. Pelestarian Lingkungan
Lingkungan merupakan tempat makhluk hidup tinggal, mencari
kebutuhan hidupnya, serta membentuk karakter termasuk manusia yang
memilki peranan lebih kompleks dan riil dalam pelestarian lingkungan.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup menegaskan bahwa lingkungan hidup
merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
alam itu sendiri. Undang-undang tersebut, mengisyaratkan posisi manusia
yang strategis dan menjadi sangat penting dalam keberlangsungan
kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Dengan kata lain, tingkah laku
manusia sebagai kunci perubahan mampu mempengaruhi lingkungan
alam.
Etika lingkungan erat kaitannya dengan cara kita bersikap dan
bertindak terhadap lingkungan sekitar. Etika lingkungan sebagai refleksi
tentang apa yang harus dilakukan terkait dengan isu lingkungan hidup,
termasuk pilihan moral dalam memenuhi kebutuhan hidup yang memberi
dampak pada lingkungan. Menurut Keraf (2002), etika lingkungan
dipahami sebagai refleksi kritis atas norma - norma dan nilai - nilai moral
dalam komunitas manusia atau dalam kelompok masyarakat yang
berbudaya sama dan memiliki ekologis yang sama pula, serta merupakan
petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan
terwujudnya moral untuk mengendalikan alam agar tetap berada pada
batas aman dan lestari. Etika lingkungan juga berbicara tentang relasi
antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antar manusia dan antara
manusia dengan makhluk lain atau dengan alam secara keseluruhan.
Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun
serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam
harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan
keseimbangan itu. Sumber daya alam adalah untuk semua, makhluk
hidup, bukan hanya untuk manusia. Oleh karena itu, manusia perlu

11
mengadakan usaha - usaha untuk melestarikan lingkungan agar tetap
serasi dan seimbang.
Pada dasarnya, kegiatan pelestarian merupakan suatu proses budaya
yang banyak dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun sebagai
anggota komunitas tertentu. Upaya pelestarian muncul karena dorongan
manusia untuk mempertahankan milik atau unsur budaya yang dianggap
masih memiliki nilai tertentu dalam kehidupan (Darvill, 1995). Karena itu,
pada hakekatnya pelestarian adalah upaya agar suatu karya budaya (baik
itu berupa gagasan, tindakan atau perilaku, maupun budaya bendawi)
agar berada dalam sistem budaya yang masih berlaku.
Seringkali, karya budaya yang hendak dilestarikan pernah terbuang
atau di tinggalkan, tetapi kemudian ditemukan kembali. Selanjutnya,
karena nilai - nilai karya budaya itu dianggap penting maka karya budaya
itu dimasukkan kembali dalam sistem budaya yang berlaku saat ini.
Proses pelestarian karya budaya yang pernah hilang atau hampir hilang
untuk dimanfaatkan kembali oleh masyarakat dalam konteks budaya saat
ini seringkali disebut sebagai revitalisasi. Misalnya, candi atau benteng
yang sudah ditinggalkan, kemudian digali kembali sebagai benda
peninggalan sejarah yang mempunyai nilai penting untuk membangkitkan
semangat dan kebanggaan masyarakat masa kini, atau juga sebagai
tujuan wisata. Dengan demikian, pelestarian harus bersifat dinamis dan
memberi peluang pada perubahan secara terkendali.
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat
resiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula
rusak karenanya. Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat
merupakan tanggung jawab yang menuntut peran serta setiap anggota
masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan.
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar
dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia

12
dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern
seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan
manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan
generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia
membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia,
antara lain:
1. Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara)
sebagai dampak adanya kawasan industri.
2. Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem
pembuangan air dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai
dan dampak pengrusakan hutan
3. Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya
hutan.

Beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak


langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara
lain:
1. Penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan).
2. Perburuan liar.
3. Merusak hutan bakau.
4. Penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman.
5. Pembuangan sampah di sembarang tempat.
6. Bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS).
7. Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas.

13
BAB III
GAMBARAN PELAKSANAAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


1. Waktu Kegiatan
Kegiatan dalam rangka pengambilan Nomor Registrasi Anggota ini
dilaksanaan pada 14 Januari 2022 - 20 Januari 2023.
2. Tempat Pelaksanaan
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Desa Tumbang Datu
Kec.Sanggala Utara, Kab.Tana Toraja. Kecamatan Sangalla Utara.
Koordinat Geografis berada pada 03°04’0”LS dan 119°55’1” BT.

B. Rekapitulasi Anggaran
1. Pemasukan
Adapun pemasukan dan dari Anggota Muda Rp.650.000 × 4 =
Rp.2.600.000
2. Pengeluaran
Tabel 3.1 Rincian Pengeluaran Kegiatan

N Uraian Jumlah Harga Satuan


o

1. Sekretariat SINTALARAS 6 orang Rp 50.000,- Rp 300.000,-


UNM ke Kab Tana Toraja

2. Konsumsi / Ransum 6 orang Rp 420.000,- Rp 420.000,-

3. Peta lokasi kegiatan 3 buah Rp 10.000,- Rp 30.000,-

4. Perlengkapan 6 orang Rp 150.000,- Rp 150.000,-

5. Dari Desa Tumbang Datu 6 orang Rp 50.000,- Rp 300.000,-


Kab. Tana Toraja ke
Makassar

Jumlah Rp 1.200.000,-

14
Data diolah 2023
C. Hal yang Diamati
1. Kearifan lokal Rumah Adat Tongkonan Karuaya
2. Upaya pelestarian lingkungan bahan material Rumah Adat Tongkonan
Karuaya

D. Teknik Pengumpulan Data


1. Observasi (Pengamatan)
Metode observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian
manusia dengan menggunakan panca indera mata dan dibantu
dengan panca indera lainya. Kunci keberhasilan observasi sebagai
teknik pengumpulan data sangat banyak ditentukan pengamat sendiri,
sebab pengamat melihat, mendengar, mencium, atau mendengarkan
suatu objek penelitian dan kemudian ia menyimpulkan dari apa yang ia
amati itu. Pengamat adalah kunci keberhasilan dan ketepatan hasil
penelitian (yusuf, 2014).
2. Wawancara
Teknis pelaksanaan wawancara dapat dilakukan secara sistematis
atau tidak sistematis. Yang dimaksud secara sistematis adalah
wawancara dilakukan dengan terlebih dahulu peneliti menyusun
instrument pedoman wawancara. Disebut tidak sistematis, maka
peneliti melakukan wawancara secara langsung tanpa terlebuh dahulu
menyusun instrumen pedoman wawancara.
3. Dokumentasi
Teknik atau studi dokumentasi adalah cara pengumpulan data
melalui peninggalan arsip - arsip dan termasuk juga buku - buku
tentang pendapat, teori, dalil - dalil atau hukum - hukum dan lain - lain
berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian kualitatif
taknik pengumpulan data yang utama karena pembuktian hipotesisnya

15
yang diajukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori, atau
hukum - hukum, baik mendukung maupun menolak hipotesis tersebut.

E. Persiapan dan Perlengkapan Tim


Tabel 3.2 Daftar rincian persiapan dan perlengkapan tim

PERSIAPAN
1. Administrasi
2. Fisik
3. Informasi dan Referensi Terkait
PERLENGKAPAN
Perlengkapan Tim Jumlah Perlengkapan Pribadi Jumlah
Ransum - Carrier 2
P3K - Coverbag 2
Kamera digital 1 buah Pakaian Lapangan 4
Alat navigasi 1 set Kaos Kaki 2
Parang/pisau 2 buah Raincoat 4

Lapangan
Alat Tulis 1 set
Obat Pribadi -
Data diolah 2023

16
BAB IV
URAIAN UMUM

A. Letak Geografis
Secara geografis Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale
secara geografis terletak di bagian Utara Provinsi Sulawesi Selatan yaitu
antara 2° - 3° Lintang Selatan dan 119° - 120° Bujur Timur, dengan luas
wilayah tercatat 2.054,30 km².
Dengan batas-batas, yaitu :
1. Sebelah utara adalah Kabupaten Toraja Utara dan Propinsi Sulawesi
Barat
2. Sebelah Selatan adalah Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
3. Sebelah Timur adalah Kabupaten Luwu
4. Sebelah Barat adalah Propinsi Sulawesi Barat
Secara administratif, Kabupaten Tana Toraja meliputi 19 Kecamatan,
112 lembang dan 47 kelurahan dengan jumlah penduduk pada tahun
2022 sebanyak 221.081 jiwa. Sebagian besar penduduk Kabupaten Tana
Toraja beragama Kristen. Perkembangan pembangunan di bidang
spiritual di daerah ini dapat dilihat dari besarnya sarana peribadatan
masing - masing agama.
Ibukota Kabupaten Tana Toraja terletak sekitar 329 km arah Utara
Kota Makassar Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yang melalui
Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kota Pare-pare, Kabupaten
Barru, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Tana Toraja adalah
ikon budaya dan pariwisata di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
satu daya tarik industri pariwisata Indonesia, hal ini merupakan potensi
bagi pengembangan berbagai kegiatan produksi dan ekonomi di
Kabupaten Tana Toraja.
Kondisi topografi Kabupaten Tana Toraja merupakan dataran tinggi
yang dikelilingi oleh pegunungan dengan keadaan lerengnya curam yakni
rata-rata kemiringannya diatas 25 %. Kabupaten Tana Toraja terdiri dari

17
pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah dan sungai dengan
ketinggian yang berkisar antara < 300 m - > 2.500 m di atas permukaan
laut. Bagian terendah Kabupaten Tana Toraja berada di Kecamatan
Bonggakaradeng, sedangkan bagian tertinggi berada di Kecamatan
Bittuang.
Keadaan hidrologi di Kabupaten Tana Toraja dapat diamati dengan
adanya air tanah yang bersumber dari air hujan yang sebagian mengalir di
permukaan (run off) dan sebagian lagi meresap ke bumi dan sampai ke
tempat - tempat yang dangkal, serta sebagian lagi mencapai tempat -
tempat yang dalam, dimana sering dikategorikan sebagai air tanah.
Secara spesifik objek penelitian tempat yaitu:
Desa tumbang datu Kecamatan Sangalla Utara, salah satu
destinasi wisata Toraja yang populer dikunjungi oleh wisatawan adalah
Tumbang Datu Bebo, Toraja. Tempat wisata ini merupakan salah satu
perkampungan adat yang letaknya di Kecamatan Sangalla Utara. Banyak
tempat wisata yang menjadi satu rangkaian wisata di area perkampungan
adat tersebut. Disana banyak bangunan Rumah Adat Tongkonan, tempat
untuk upacara adat, pemakaman purba masyarakat Toraja, kuburan bayi
pada pohon, ada mata air, benteng pertahanan jaman purba serta
beberapa tempat menarik lainnya yang berhubungan dengan masyarakat
Toraja jaman dahulu.
Dengan adanya peninggalan budaya serta adat yang unik dari jaman
purba tersebut, membuat destinasi wisata yang satu ini menjadi semakin
menarik untuk dikunjungi. Sebab banyak destinasi wisata di dalamnya
yang masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Toraja hingga saat ini.
Bahkan tradisi atau adat masyarakat jaman dahulu masih dipegang teguh
oleh masyarakat sekitar.
Bahkan tidak jauh dari kawasan wisata tersebut, pengunjung akan
menemukan puncak bukit. Dimana terdapat pohon cendana di puncak
bukit tersebut dan dijadikan sebagai penanda untuk memperingati
perjanjian antar suku yaitu Basse Kasalle.

18
Pada tahun 1683 terjadi pertempuran di Tana Toraja disebabkan
oleh suku lain. Pada pertempuran itu ada salah satu pemimpin Toraja dari
wilayah tertentu bernama Tumbang Datu dari balik dimana akhirnya
dimenangkan oleh para pemimpin Tana Toraja. Tongkonan Karuaya
adalah salah satu kampung adat yang terletak di Kecamatan Sangalla
Utara ±7 km ke arah timur dari Kota Makale. Masyarakatnya masih
memegang teguh keyakinan dan kebiasaan nenek moyang. Tidak jauh
dari lokasi terdapat satu pohon cendana sebagai peringatan terhadap
perjanjian antar suku bernama Basse Kasalle. Pada tahun 1683 terjadi
sebuah peperangan besar di Tana Toraja oleh suku lain.

B. Kondisi Demografi
Berdasarkan data yang di peroleh kelurahan atau Desa Tumbang
Datu jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 400 kepala keluarga, total
jumlah penduduk terdiri dari 1.421 jiwa yang terdiri dari 708 orang laki-laki
dan 713 orang perempuan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Toraja. Mayoritas masyarakat tumbang datu bermata pencaharian bertani
dan berternak babi tapi ada juga yang bekerja sebagai wiraswasta, PNS
dan juga wirausaha. Mayoritas penduduk Tumbang Datu beragama
kristen.

C. Kondisi Biogeografi
Lembang Tumbang Datu
a. Biotik
Biotik, adalah satuan makhluk hidup yang berupa tumbuhan,
hewan, manusia baik yang mikro maupun makro beserta
prosesnya. Adapun biotik yang terdapat di lokasi penelitian antara
lain yaitu:
Tabel 4.1 Flora dan Fauna Desa Tumbang Datu

No Flora Fauna

1 Bambu Babi

19
2 Nangka Kerbau
3 Kelapa Ayam
4 Pepaya Anjing
5 Ubi Burung
6 Pohon cendana Itik
7 Pohon Langsat Kucing
8 Pohon Pisang
9 Jambu
10 Pohon uru
Data diolah 2023
b. Abiotik
1) Tanah
Kategori tanah yang terdapat pada area karst formasi Toraja,
terdiri atas bahan induk endapan liat atau marine dengan jenis
tanah berupa: Alluvial kelabu yang sebagian besar terdapat
pada daerah lembah dan tanah berbukit. Brown forest,
mediteran, dan podsolit merah kuning terdapat pada daerah
yang bergelombang dan pegunungan.
2) Batuan
Jenis bebatuan yang ada di Kabupaten Toraja umumnya jenis
basalt dan batuan kapur dengan ketinggian 1.300 - 1.600 meter.
3) Cuaca
Tumbag datu mempunyai daerah yang beriklim tropis basah,
temperatur suhu rata-rata berkisar antara 15° c - 28° c dengan
kelembaban udara antara 82 - 86 %, curah hujan rata-rata 1500
mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/tahun.

20
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Hasil penelitian ini telah dilakukan sesuai prosedur Teknik
pengambilan data yang ditentukan, analisis data dilakukan secara
kualitatif yang mana jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif.
Populasi Penelitian ini ialah Masyarakat Karuaya dan sampel penelitian
yakni para Steakholder serta beberapa masyarakat Karuaya. Kegiatan
observasi dilakukan pada hari Senin 16 Januari 2023.
Tabel 5.1 Data Sampel Penelitian
NO. NAMA USIA PEKERJAAN
1 Pak Palayukan 45 Tahun Staff Lembang Tumbang Datu
2 Pak Fadli 34 Tahun Pengukir
3 Pak Keli 47 Tahun Petani
Pak Yohanes
4 49 Tahun Kepala Lembang Tumbang Datu
Marampa’
Pak Antonio
5 70 Tahun Pensiun PNS
Skomba
Data diolah 2023

Data penelitian berupa Teks Wawancara dan Dokumentasi untuk


keterlaksanaan proses penelitian, dan data yang diperoleh dari observasi
berupa kegiatan masyarakat setempat dan Rumah Adat Tongkonan
Karuaya yang diidentifikasi.
1. Dari data yang didapat pada saat dilapangan, peneliti melihat
bagaimana Diversitas pemahaman masyarakat Karuaya mengenai
Mitologi tentang Toraja khususnya Tumbang Datu. Beberapa dari
Masyarakat Karuaya masih meraba - raba dalam merepresentasikan
asal - usul serta keseharian mereka yang berhubungan dengan adat
istiadatnya sendiri. Kegiatan adat yang dilakukan oleh masyarakat

21
dilakukan hanya karena pendahulunya juga melakukan hal tersebut,
karena menurut peneliti minimnya edukasi yang ada sejak dini dimulai
dari sejarah keberadaan daerah Tumbang Datu, sampai adat istiadat
yang ditinggalkan para pendahulu.
2. Kearifan Lokal masyarakat Karuaya, beberapa masih terjaga
sebagaimana yang didapatkan peneliti. Tongkonan yang menjadi
ikonik dari masyarakat Toraja khususnya Karuaya masih ada sampai
sekarang, dari fungsinya untuk tempat beristirahat rumpun keluarga,
juga sebagai tempat kegiatan musyawarah dalam proses upacara -
upacara adat dalam silsilah keluarga pada satu Tongkonan. Walaupun
telah terjadi beberapa perubahan dikarenakan modernisasi, tidak
menjadikan nilai - nilai historis yang ditinggalkan leluhur/nenek
moyang masyarakat toraja hilang. Begitupun dengan kegiatan Aluk
Tudolo, Rambu Solo, dan lain-lain.
3. Bahan pokok yang didapatkan dalam mengelolah Rumah Adat
Tongkonan maupun kegiatan - kegiatan adat yang lain, pastilah
menggunakan bahan dari alam. Dalam pembangunan Rumah Adat
Tongkonan, masyarakat menggunakan bahan kayu dari pohon
Cendana, Nangka, Uru serta Bambu Petung. Hanya saja Pohon Uru
dan Bambu Petung, tak lagi mudah didapatkan didaerah Tumbang
Datu. Dikarenakan masyarakat tidak membudidayakan Pohon Uru
begitupun dengan bambunya, menurut narasumber KL (55 Tahun)
Pohon Uru memiliki jangka waktu cukup lama dalam pertumbuhan
juga tidak didapati wilayah yang dapat untuk ditanami pohon Uru.
Maka dari itu, masyarakat biasanya mengekspor dari luar daerah
Toraja.

B. Pembahasan
1. Makna Bangunan Rumah Adat Karuaya
Tongkonan Karuaya merupakan salah satu objek yang sangat
menarik karena memiliki ciri khas tersendiri dari seni pembuatan rumah

22
dan nilai historis sejarah masa lalu. Dikatakan Tongkonan Karuaya,
hanya karna Tongkonan tersebut berada di kampung Karuaya. Masing -
masing Tongkonan tersebut memiliki Namanya tersendiri, Khususnya di
objek yayasan wisata Tongkonan Karuaya terdapat 3 Tongkonan.
Tongkonan pertama Bernama Tongkonan Ne’Dada, yang kedua
Bernama Samangrara, dan yang ketiga Bernama Ne’Bokko. Rumah Adat
ini berpindah - pindah dan awal mula tempatnya berada didataran tinggi,
hanya karena dulu masih mengalami zaman penjajahan, maka Rumah
Adat Tongkonan Karuaya berpindah - pindah.
Rumah Adat Tongkonan Karuaya dibangun dengan menggunakan
kayu dari pohon cendana, pohon nangka, dan pohon uru. Menurut
masyarakat setempat, pohon cendana, nangka, maupun uru memiliki
kualitas kayu yang baik dan bertahan lama. Dalam proses pembuatan
Rumah Adat Karuaya, menggunakan bahan pokok pohon cendana,
pohon nangka, pohon uru, dan bambu. Untuk pohon cendana digunakan
pada bagian tengah Rumah Adat Tongkonan atau yang dikenal
A’riri’Posi, dan merupakan bagian penting yang wajib ada apabila
melakukan Aluk Todolo. Aluk Todolo merupakan Kepercayaan
masyarakat Toraja pada zaman nenek moyangnya dan beberapa
masyarakatnya masih menerapkan kepercayaan tersebut. Pohon Nangka
digunakan untuk dinding rumah Tongkonan, pohon uru digunakan pada
bagian tiang rumah atau Sullu Banua. Pohon uru kini minim didapatkan di
Toraja, Karena pohon uru tidak di budidayakan, hanya tumbuh liar dan
sudah terbilang langka. Alternatif yang diambil masyarakat Tumbang
Datu, dengan mengganti pohon tersebut dengan pohon cendana.
Selain dari tiga jenis pohon diatas, ada juga bambu yang
kegunaannya sebagai atap untuk Tongkonan atau Rattiang Banua.
Bambu yang dibelah menjadi dua dan disusun saling tumpang tindih
sehingga menjadi atap pada Tongkonan yang tersusun berbentuk
lengkungan. Atap Tongkonan Karuaya bentuk abstraksi dari atapnya,
tidak condong melengkung seperti rumah adat - rumah adat sekarang.

23
Hanya karna perkembangan zaman dan keestetikan Rumah Adat itu
sendiri maka tampilan dari atapnya berubah.
Selain dari bagian - bagian tubuh Rumah Adat Tongkonan, ada pula
corak ukir yang menjadi lambang/simbol yang memiliki makna bagi
masyarakat toraja. Masyarakat toraja mengenalnya Passura’, disetiap
ukiran memiliki penempatannya yang tetap. Warnanyapun telah memiliki
warna tetap, warna hitam (arang), warna kuning (tanah kuning) yang
melambangkan sinar matahari, warna merah (tanah merah) yang
melambangkan darah manusia, kematian atau kegelapan, warna putih
yang melambangkan tulang manusia. Alat ukir yang digunakakan ialah,
bambu dan pahatan. Dalam mewarnai masyarakat hanya menggunakan
bambu yang tipis, tidak dengan kuas.
Proses membangun Rumah Adat Tongkonan ini, sama sekali tidak
menggunakan bahan pokok paku. Hanya kayu yang menjadi penyangga,
dari sisi ke sisi.

a) Bagian-Bagian Rumah Adat Tongkonan Karuaya

Gambar 5.1 Bagian-Bagian Rumah Adat

24
Gambar 5. 2 Bagian Samping Rumah Adat

Gambar 5. 3 Lumbung Padi

b) Ukiran Rumah Adat Tongkonan Karuaya

Gambar 5.4 Ukiran Rumah Adat Tongkonan Karuaya

25
2. Upaya Pelestarian Rumah Adat Tongkonan Karuaya
Pada saat peneliti mencari tahu upaya-upaya apa saja yang dilakukan
masyarakat Karuya dalam menjaga Rumah Adat Tongkonan, peneliti tidak
menemukan pelestarian Rumah Adat Tongkonan tersebut. Terakhir
Rumah adat Tongkonan Karuaya mengalami pemugaran pada tahun
2006, bagian-bagian yang mengalami perbaikan ialah bagian papa’ atau
atap dari rumah adat tongkonan tersebut, dikarenakan atap dari Rumah
adat Tongkonan sudah mulai lapuk/rapuh. Dalam perbaikan Rumah
adatnya dikembalikan kepada masing - masing pemilik tongkonan.
Menurut narasumber yang peneliti wawancarai, yang sering mengalami
perbaikan ialah bagian atap. Dikarenakan atap dari rumah adat tongkonan
ini masih menggunakan bambu, tidak seperti rumah adat tongkonan lain
yang telah menggunakan atap dari seng.
3. Upaya Pelestarian Material Bangunan Rumah Adat Tongkonan
Karuaya
Masyarakat Karuaya, dalam membangun Rumah Adat Tongkonan
menggunakan bahan dari pohon cendana, uru, nangka, serta bambu
untuk atap dari Rumah adat Tongkonan. Adapun dalam ukirannya atau
Passura menggunakan pewarna alami dari tanah merah/tanah liat dan
juga cat. Dalam pembangunannya rumah adat tongkonan tidak
menggunakan paku, karena menurut narasumber tanpa paku rumah adat
Tongkonan akan kokoh karena kualitas kayunya. Hanya saja, pohon dari
kayu tersebut tumbuh liar dan tidak dibudidayakan begitupun dengan
bambunya. Adapun alat yang digunakan dalam mengukir, merupakan alat
yang hanya di jumpai di Toraja. Beberapa alat yang digunakan murni dari
alam. Hanya saja, tidak ada bentuk budidaya dari bahan tersebut, seperti
yang dijelaskan diatas.

26
(Palu) (Batu Hitam)

(Passura) (Papa’awo)

4. Nilai - Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Karuaya

Menurut Phongpit dan Nantasuwan kearifan lokal sebagai


pengetahuan yang berdasarkan pengalaman masyarakat turun - temurun
antargenerasi. Pengetahuan ini menjadi aturan bagi kegiatan sehari - hari
masyarakat ketika berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat
lain dan lingkungan sekitar. Masyarakat Karuaya masih menjaga
kebiasaan - kebiasaan atau tradisi yang dilakukan oleh nenek moyangnya.
Hal itu masih dipertahankan masyarakat Karuaya, hanya saja yang
menjadi permasalahan ialah minimnya pemahaman masyarakat tentang
perilaku yang dilakukan setiap harinya yang sifatnya mengenai kearifan
lokal dan diturunkan oleh nenek moyang mereka. Ada beberapa kearifan

27
lokal yang masih terjaga baik dan masih dilakukan oleh masyarakat
Karuaya, dan itu adalah :
1) To Parenge, atau yang umum dikenal sebagai kepala adat. Yang
mana “To” artinya Orang dan “Parenge” ialah Pemangku adat.
Masyarakat Karuaya masih menganggap bahwa To Parenge memiliki
hak dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan adat
mereka. Seperti yang dikatakan KL (55 Tahun), mengatakan
bahwasanya To Parenge merupakan tokoh utama dalam sebuah
Tongkonan. Dalam upacara - upacara adat To Parenge sangat
berperan penting dalam kegiatan tersebut. Yang mana sifatnya
sebagai, penengah apabila terjadi konflik mengenai adat istiadat di
wilayah Tongkonan yang di naunginya.
2) Tongkonan, merupakan tempat bagi para keluarga duduk, bertemu,
dan bermusyawarah untuk membahas masalah - masalah penting
misalnya tentang upacara adat. Tongkonan masih dijumpai di wilayah
Karuaya, beserta dengan lumbungnya. Yang masih terjaga prosesi
pembuatan sampai berdirinya Tongkonan. Masih dilakukan tradisi -
tradisi yang sebelumnya telah ditinggalkan oleh nenek moyang
pendahulunya. Tongkonan meninggalkan nilai - nilai luhur, contohnya
mulai dari proses sebelum pembangunan sampai dengan akhir proses
pembangunan.
3) Aluk Tudolo, merupakan kepercayaan masyarakat toraja sebelum
masuknya ragam agama. Hal ini masih dilakukan masyarakat
Karuaya, yang masih memegang kepercayaan Aluk Tudolo.
4) Rambu Solo, Upacara kematian yang dilakukan masyarakat toraja
yang masih dijumpai sampai sekarang khususnya di Karuaya.
Pemahaman masyarakat setempat, Rambu Solo diberikan untuk
Puang Matoa Dalam rangka peralihan status sesorang dari kehidupan
dunia ke alam mistis.

28
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam penelitian ini, kesimpulan yang dapat diambil dari peneliti ialah
sebagai berikut:
1. Nilai - Nilai budaya masyarakat Karuaya, masih sama dengan
masyarakat toraja pada umumnya. Seperti upacara - upacara adat
istiadat, pembangunan Rumah adat, dan lain - lain.
2. Beragam pemahaman beberapa masyakarat mengenai sejarah
historis Tumbang Datu. Pengaruh modernisasi, pola gaya hidup dan
pola pikir masyarakat setempat mengalami perubahan.
3. Sumber daya Manusia kurang dalam memahami pengetahuan
tradisional. Peneliti melihat, kurangnya pemberian secara mandiri ke
generasi - generasi pelanjutnya. Seperti yang dikatakan narasumber
Pak Keli, mereka hanya tau historis daerahnya dari pendahulu -
pendahulu dan juga keinginan diri sendiri dalam mencari tahu.
4. Tidak terdapat wilayah pembudidayaan bahan pokok bangunan
Rumah Adat Tongkonan di daerah Tumbang datu. Hanya didapatkan
didaerah Sillanan, itupun pohon disana masih terbatas. Jika
masyarakat tidak mendapatkan jenis pohon tersebut, maka
masyarakat mengeksplor didaerah Luwu.

B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini
maka dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya dilakukan edukasi sejak dini, agar generasi penerus dapat
menjaga budaya adat istiadat yang ditinggal oleh para
pendahulunya/nenek moyang.
2. Sebaiknya terdapat wilayah tertentu untuk pembudidayaan bahan
pokok bangunan Rumah Adat Tongkonan, Seperti Pohon Cendana,
Nangka, Uru, Serta Bambu.

29
DAFTAR PUSTAKA

Alfiah. (2006, Januari -Juni). Perubahan bentuk rumah Adat Tongkonan


tana toraja berdasarkan pendapat teori lasesau. Jurnal
Teknosains, pp. 183 - 196.
Bintang Nabilunnuha, M. (2021). Prinsip Keberlanjutan dan Ketahanan
Lingkungan pada Rumah Tongkonan Toraja. Jurnal Lingkungan
Binaan Indonesia, 28 - 37.
http://budayaadatdaerah.blogspot.com/2014/11/pengertian-rumah-
adat.html, diakses pada tanggal 28 Desember 2022.
http://gema-budaya.blogspot.com/2012/02/mengenal-tongkonan-sebagai-
rumah- adat.html, diakses pada tanggal 25 November 2022.
https://jurnal.unikastpaulus.ac.id/index.php/jpkm/article/view/139, diakses
pada tanggal 28 Desember 2022.
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2014/04/0/mengenal-tongkonan-
sebagai- rumah-adat-toraja/, diakses pada tanggal 25 November
2022.
https://bobo.grid.id/read/083508748/keberagaman-budaya-mengenal-
pengertian-rumah-adat-fungsi-dan-contoh?page=all, diakses pada
tanggal 28 Dessember 2022.
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja, diakses pada tanggal 25
November 2022.
https://www.bola.com/ragam/read/4519121/macam-macam-rumah-adat-
yang-ada-di-indonesia-lengkap-sesuai-daerah-asalnya, diakses
pada tanggal 28 Desember 2022
https://www.pinhome.id/blog/keunikan-rumah-adat-tongkonan-dan-asal-
daerahnya/, diakses pada tanggal 25 November 2022.
https://www.romadecade.org/rumah-adat-tongkonan/#!, diakses pada
tanggal 25 November 2022.
Sanda Lebang Pakan, M. (2018, Juli - Desember). Rumah Adat
"Tongkonan" Orang Toraja Kabupaten Tana Toraja Provinsi

30
Sulawesi Selatan. HOLISTIK, pp. 1 - 16.
torindo. (2014, Maret 1). Kebudayaan Toraja Modal Bangsa, Milik Dunia.
Stainslaus Sandarupa, pp. 1 - 8.

31

Anda mungkin juga menyukai