Anda di halaman 1dari 66

SKRIPSI

PENDUGAAN POPULASI DAN STRUKTUR UMUR


TARSIUS FUSCUS PADA JALUR TRACKING
TINAMBUNG – BALLA BORONG DI SUAKA
MARGASATWA KO’MARA

Oleh:

ASHARI SUDIRMAN
M011 18 1315

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Ashari Sudirman
NIM : M011181315
Program Studi : Kehutanan
Jenjang : S1

Dengan ini menyatakan bahwa karya tulisan saya berjudul:

“Pendugaan Populasi dan Struktur Umur Tarsius fuscus. pada Jalur Tracking
Tinambung – Balla Borong di Suaka Margasatwa Ko’mara Sulawesi Selatan”

Adalah karya tulisan saya sendiri dan bukan merupakan pengambil alihan tulisan
orang lain, bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
atas perbuatan tersebut.

Makassar, 03 November 2023


Yang menyatakan

Ashari Sudirman

iii
ABSTRAK

Ashari Sudirman (M011 18 1 315). Pendugaan Populasi dan Struktur Umur


Tarsius fuscus. pada Jalur Tracking Tinambung – Balla Borong di Suaka
Margasatwa Ko’mara Sulawesi Selatan di bawah bimbingan Amran Achmad
dan Risma Illa Maulany.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendugaan populasi dan struktur umur
Tarsius fuscus pada jalur Tracking Tinambung – Balla Borong di Suaka
Margasatwa Ko’mara Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei –
Juni 2023 di Suaka Margasatwa Ko’mara Sulawesi Selatan. Pengambilan data
dilakukan dengan metode Transek Jalur (Line Transect) untuk menemukan data
pohon tidur Tarsius yang dilakukan selama 15 hari. Panjang jalur yang digunakan
1000 m dengan lebar 50 m. Jalur dibagi ke dalam sub plot 50 m x 50 m yang diamati
selama satu hari (sore dan pagi hari) pada setiap sub plot. Serta menggunakan
metode Concentrasi Count untuk mengumpulkan data tentang jumlah individu
Tarsius pada setiap pohon tidur yang telah terdeteksi. Metode ini dilakukan selama
18 hari untuk semua pohon tidur. Setiap pohon tidur diamati pada pagi hari (pukul
04.00-06.30) ketika Tarsius kembali ke pohon tidur, dan sore hari (pukul 17.00-
18.30) ketika Tarsius keluar dari pohon tidur, dengan pengulangan 3 kali (3 hari)
pada setiap pohon tidur. Perhitungan individu dilakukan dengan dua cara yaitu:
Indentifikasi memalui perjumpaan dengan individu langsung (Terlihat = T) dan
perjumpaan melalui suara (Suara = S). Variabel yang dikumpulkan adalah struktur
dan kepadatan populasi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan hasil bahwa pendugaan jumlah populasi Tarsius fuscus di Suaka
Margasatwa Ko’mara diperoleh 6 pohon tidur atau sarang yang memiliki jumlah
individu berbeda-beda pada setiap sarang. Jumlah individu yang ditemukan dalam
plot 1000 m X 50 m adalah 22 individu, dengan kepadatan 3,7 sehingga didapatkan
kerapatan 0,74 individu per hektar atau 74 individu jenis Tarsius per km2 . Hasil
penelitian juga menunjukkan terjadinya penurunan struktur umur Tarsius, namun
tidak berpotensi pada kepunahan populasi Tarsius. Bentuk wisata yang sesuai
dengan lokasi penelitian adalah Wisata Edukasi Tarsius fuscus dengan pola
pengelolaan yang kolaboratif dengan masyarakat sekitar habitatnya.
Kata Kunci: Tarsius fuscus, Suaka Margasatwa Ko’mara, Struktur Umur,
Populasi

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pendugaan Populasi dan Struktur Umur Tarsius fuscus. pada Jalur Tracking
Tinambung – Balla Borong di Suaka Margasatwa Ko’mara Sulawesi Selatan”
ini dapat diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi pada Program Sarjana (S1) Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas
Hasauddin.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis persembahkan kepada
Ayahanda Sudirman Madjide dan Ibunda tercinta Risnawati yang senantiasa
mendoakan, menemani, memberi perhatian, kasih sayang, nasihat, serta mendidik
dan membesarkan penulis. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada kakak dan
adik saya Nurhidayah dan Akbar Sudirman atas dukungannya selama ini.
Semoga di hari esok, penulis kelak menjadi anak yang membanggakan dan berguna
untuk keluarga tercinta.
Dengan melaksanakan seluruh kegiatan penelitian ini, penulis telah banyak
mendapatkan bimbingan, pelajaran, petunjuk serta uluran tangan dan bantuan yang
telah penulis peroleh dari berbagai pihak. Karenanya, pada kesempatan ini penulis
dengan tulus mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan baik materiil
maupun moril, kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc dan ibu Dr. Risma Illa Maulany,
S.Hut, M.NatResSt.. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak
mencurahkan tenaga, pikiran, waktu yang begitu berharga untuk memberi
bimbingan dan pengarahan dengan baik.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M. Sc dan bapak Chairil A., S.Hut,
M. Hut., sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan banyak
memberi masukan, kritikan serta arahan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
3. Ketua departemen bapak Dr. Ir. Syamsu Rijal, S. Hut., M. Hut., M. Si, IPU,
sekretaris departemen ibu Gusmiaty, S. P., M. P, dosen akademik bapak A.

v
Siady Hamzah, S. Hut., M.Si., serta seluruh dosen dan Staf Administrasi
Fakultas Kehutanan atas bantuannya
4. Keluarga besar Balai Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata
Sulawesi Selatan yang telah memberikan izin melakukan penelitian di Suaka
Margasatwa Ko’mara. Terima kasih atas waktu dan setiap ilmu yang diberikan
kepada penulis. Semoga bisa berjumpa kembali.
5. Support sistem saya Andi Khairana yang selalu ada untuk saya, selalu
mendukung, membantu, dan memberikan semangat selama penyusunan dan
penyelesaian skripsi ini.
6. Rekan – rekan Melisa Nurfadiyah, Muliadi, Ernawati, Fitri Handayani,
dan Ali Hasan Salman yang banyak membantu dalam penyusunan dan
penulisan skripsi ini.
7. Sobat Hijrah Squad (Adwan Na’iemurrahman, Agung Paduppai, Ernawati,
Wawan Setiawan, Ali Hasan Salman, Muliadi, Fitri Handayani, Ummi
Amriani, Faiz Mutahhar, Melisa Nurfadiyah, dan Firstanti Putri Ningtias) atas
hiburan, dukungan, bantuannya selama ini.
8. Sobat Kandang 18 (M. Arif Hidayat, Muliadi, Aznan Aznawi, Adwan
Na’iemurrahman, Agung Paduppai, Ali Hasan Salman, Anshar, Al Furqan
Ramadhan, Faiz, dan Fuad) telah membersemai dari awal perkuliahan sampai
sekarang.
9. Teman - teman Kontrakan Kuning atas bantuannya selama penyusunan
penelitian ini berjalan.
10. Teman – teman seperjuangan Ilham KML, Muhammad Asshidiq ,
Muhammad Reza, dan Muchlas yang memberi cerita dan bantuan.
11. Teman penelitian Suwardani serta Muh. Ikhsan, Ikhwanul Umra, Muh.
Fajri Nur Ihsan, Ibnu Ashari, Habibi Umar Tiro, Reinhard Friedrich,
Aco, Fikri, Fadhlu, Irvan Riswandi, dan teman – teman yang lain yang
telah membersamai dan menyempatkan waktu untuk membantu dalam
pengambilan data penelitian ini.
12. Semua pihak yang telah turut membantu dan bekerjasama setulusnya dalam
pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini.

vi
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan yang perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan dan khususnya kepada
penulis sendiri.
Makassar, 03 November 2023

Ashari Sudirman

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................. Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.

PERNYATAAN KEASLIAN .................. Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................x

DAFTAR TABEL................................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii

I. PENDAHULUAN.........................................................................................13

1.1 Latar Belakang .........................................................................................13

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................15

II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................17

2.1 Populasi ....................................................................................................17

2.2 Suaka Margasatwa ...................................................................................18

2.3 Eko-biologi Tarsius (Tarsius fuscus) .......................................................19

2.3.1. Morfologi .........................................................................................19

2.3.2. Habitat dan Penyebaran....................................................................21

2.3.3. Perilaku/Aktivitas.............................................................................23

2.3.4. Pakan ................................................................................................24

2.3.5. Peran Tarsius di dalam Ekosistem ...................................................25

2.4 Status Konservasi .....................................................................................27

III. METODE PENELITIAN .........................................................................30

3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................................30

3.2 Alat dan Bahan.........................................................................................30

viii
3.3 Metode Pengumpulan Data ......................................................................32

3.3.1 Variabel Penelitian ...........................................................................32

3.4 Analisis Data ............................................................................................34

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................36

4.1 Gambaran Umum Suaka Margasatwa Ko’mara ......................................36

4.2 Sejarah Kawasan ......................................................................................37

4.3 Potensi Keanekaragaman Hayati .............................................................37

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................39

5.1. Hasil .........................................................................................................39

5.1.1. Identifikasi dan Sebaran Pohon Tidur Tarsius (Tarsius fuscus) ......39

5.1.2. Struktur Populasi Tarsius fuscus pada Setiap Pohon Tidur .............41

5.1.3. Pendugaan Kepadatan Populasi Tarsius (Tarsius fuscus) ................43

5.2. Pembahasan..............................................................................................44

VI. PENUTUP ..................................................................................................49

6.1 Kesimpulan ..............................................................................................49

6.2 Saran ........................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................50

LAMPIRAN..........................................................................................................55

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Tarsius fuscus .................................................................................... 22


Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Suaka Margasatwa Ko’mara Sulawesi
Selatan).................................................................................................................. 31
Gambar 3. Ilustrasi Penempatan Line Transect Pada Jalur Tracking Antara
Kampung Tinambung Desa Bissoloro Di Kabupaten Gowa Dan Kampung Balla
Borong Desa Barugaya Di Kabupaten Takalar. .................................................... 34
Gambar 4. Sebaran Koordinat Pohon Tidur Tarsius fuscus ................................ 41
Gambar 5. Struktur Umur Tarsius (Tarsius fuscus) ............................................ 43

x
DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman


Tabel 1. Taksonomi Tarsius (IUCN 2023) ........................................................... 20
Tabel 2. Hasil Rata-Rata Perjumpaan Tarsius (Tarsius fuscus) di Suaka
Margasatwa Ko’mara selama 18 hari pengamatan (3 hari/pohon tidur) (S= Suara;
T= Terlihat). .......................................................................................................... 39
Tabel 3. Sebaran Koordinat Pohon Tidur ............................................................. 41
Tabel 4. Distribusi Populasi dan Jumlah Keluarga pada Setiap Pohon Tidur yang
Diamati Selama 18 hari (3 hari/pohon tidur) ........................................................ 42

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1. Dokumentasi Tarsius fuscus ........................................................... 56


Lampiran 2. Data Penelitian ................................................................................ 66

xii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan terluas di dunia dan


memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Putri, 2021). Kawasan hutan
merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, sedangkan hutan
merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No. 41/1999). Hutan
merupakan rumah rumah bagi 80% spesies flora dan fauna yang ada, Hutan hujan
tropis yang terbentang luas di indonesia merupakan habitat bagai berbagai jenis
satwa langka yang hampir punah. Salah satu pulau besar yang ada di Indonesia
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, endemik, dan unik yaitu Pulau
Sulawesi. Pulau ini memiliki jenis flora dan fauna yang unik dan bersifat endemik
karena tidak pernah menyatu secara utuh dengan benua yang mengapitnya yakni
Asia dan Australia (Sutrisna dkk, 2018). Menurut Hamidum dan Dewi (2013),
Pulau Sulawesi termasuk dalam wilayah peralihan antara flora dan fauna Asia dan
Australia yang dikenal dengan istilah Region Wallacea.
Region Wallacea memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk
berbagai jenis flora dan fauna. Hasil pendataan terakhir menunjukkan bahwa
tercatat sebanyak 230 jenis mamalia yang terdapat di Pulau Sulawesi seperti Anoa
(Bubalus depressicornis), Babirusa (Babyrousa celebensis), Kuskus (Ailurops
melanotis), Musang (Macrogalidia musschenbroekii), Monyet (Macaca), dan
Tarsius (Tarsius spp) (Maryanto, ddk. 2019). Sulawesi juga menjadi salah satu
habitat berbagai jenis burung langka seperti Burung Maleo (Macrocephalon
maleo), Kakaktua Jambul Kuning (Cacatua sulpurea), Julang Sulawesi (Rhyticeros
cassidix), dan Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus). Selain kaya akan
berbagai jenis satwa, Sulawesi juga memiliki keanekaragaman flora seperti Kayu
Hitam atau Eboni (Diospyros celebica) yang menjadi tumbuhan yang paling

13
dikenal karena memiliki kelas kekuatan, keawetan, serta corak dan warna kayu
terasnya yang khas (Mustari, 2020).
Fauna endemik yang dapat dijumpai di Pulau Sulawesi salah satunya adalah
Tarsius (Tarsius spp.) sampai saat ini tercatat sebanyak 14 jenis spesies Tarsius
yang termasuk dalam tiga genera: Cephalopachus di Kalimantan dan Sumatera,
Tarsius di Sulawesi dan Carlito di Filipina. 13 spesies di temukan di Indonesia, 12
spesies diantaranya terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya (Syahrullah
dkk, 2023). Ciri khas Tarsius dibandingkan dengan spesies mamalia lainnya adalah
memiliki mata yang besar, kepalanya dapat memutar 180 derajat sehingga dapat
melihat ke segala arah dengan sangat fleksibel, rambut berwarna cokelat dengan
daun telinga yang lebar. Kaki Tarsius terbilang panjang melebihi kedua tangannya
dengan berat badan berkisar antara 50-130 gram (Mustari, 2020). Salah satu spesies
Tarsius yang hanya ditemukan di Sulawesi Selatan adalah Tarsius fuscus.
Tarsius fuscus memiliki tubuh dengan ukuran 10-15 cm sama dengan ukuran
kepalan tangan manusia dewasa. Ekor lebih panjang dari ukuran tubuh yaitu antara
20-27 cm. Tubuhnya dilapisi rambut coklat keabu-abuan dengan bola mata yang
besar. Tarsius Fuscus terkenal karena ekornya yang berumbai (secara bertahap
melebar ke arah ujung). Seperti Tarsius timur lainnya, bagian bawahnya bersisik
dan ditutupi bulu gelap yang tersusun dalam tiga baris, serta terdapat bintik hitam
di kedua sisi moncong dan bercak putih di belakang setiap telinga. Ciri-ciri ini yang
membedakan Tarsius fuscus dengan Tarsiur Selayar (tersier) (GBIF, 2023).
Tarsius fuscus termasuk dalam kategori satwa prioritas dengan status
konservasi rentan dengan kecenderungan status populasi yang semakin menurun
(IUCN 2023). Tarsius fuscus merupakan satwa endemik dengan distribusi yang
sangat terbatas, yaitu hanya terdapat di Sulawesi Selatan. Tarsius fuscus termasuk
satwa yang terdaftar dalam Appendix II CITES, dan juga dilindungi oleh undang-
undang nasional berdasarkan UU nomor 7 tahun 1999. Ancaman utama penurunan
populasi Tarsius diakibatkan oleh perburuan dan degradasi habitat akibat
perladangan berpindah atau fragmentasi habitat akibat pembangunan dan
pembalakan kayu (Rizki dan Abiduna, 2020).
Masih banyak habitat Tarsius yang belum diketahui hingga saat ini. Bahkan
beberapa habitat yang telah diketahui belum memiliki data dan informasi yang jelas

14
khususnya mengenai populasi dari Tarsius termasuk di antaranya adalah populasi
yang ada di Suaka Margasatwa Ko’mara. Suaka Margasatwa Ko’mara yang berada
di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu habitat penting
bagi Tarsius fuscus yang ada di Sulawesi.
Suaka Margasatwa merupakan kawasan yang bertujuan untuk melestarikan
dan mengjaga habitat satwa yang ada dikawasan tersebut. Suaka Margasatwa
Ko’mara ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 991/KPTS-II/1999 dengan luas sebesar 2.490
ha. Secara geografis, kawasan ini terletak pada 05° 24’ 40” LS - 05° 27’ 36” LS
dan 119° 33’ 07” BT – 119° 39’ 48” BT. Kawasan ini termasuk kawasan konservasi
yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan memiliki keunikan jenis
satwa yang membutuhkan perlindungan/pembinaan bagi kelangsungan hidupnya
dengan tipe ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah. Suaka Margasatwa
Ko’mara merupakan \habitat berbagai satwa endemic Sulawesi seperti kera hitam
(Macaca maura), kucing hutan (Felis bengalensis) kuskus (Phalanger ursinus),
babi Hutan, rusa Timor, berbagai jenis Kelelawar serta berbagai jenis burung seperti
raja udang, rangkong sulawesi. Khusus untuk fauna, masih banyak yang belum
diketahui sebaran populasinya karena selama ini yang dilakukan hanya sebatas
pendugaan sementara (Groves dan Shekelle, 2010).
Sampai saat ini belum ada penelitian terkait ekologi, biologi, dan populasi
serta struktur umur Tarsius fuscus yang ada di kawasan tersebut, yang bertujuan
untuk melihat apakah populasi Tarsius fuscus di kawasan tersebut masih dalam
kondisi yang baik atau rentan untuk mengalami kepunahan. Oleh karena itu,
penelitian ini adalah sebagai bagian dari upaya untuk mengkaji terkait status
populasi dan struktur umur Tarsius fuscus yang kemudian dapat dijadikan dasar
dalam mendukung konservasi satwa ini termasuk dalam upaya pengelolaan
Kawasan Suaka Margasatwa Ko’mara ke depannya.
1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menduga populasi Tarsius fuscus di
Suaka Margasatwa Ko’mara pada jalur tracking antara Kampung Tinambung Desa

15
Bissoloro di Kabupaten Gowa dan Kampung Balla Borong Desa Barugaya di
Kabupaten Takalar.
Kegunaan dari penelitian ini adalah memberikan data dan informasi
tambahan bagi pengelola Suaka Margasatwa Ko’mara mengenai populasi Tarsius
yang kedepannya diharapkan dapat dijadikan acuan dalam konservasi Tarsius
termasuk pengembangan ekowisata berbasis satwa liar di kawasan tersebut.

16
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Populasi

Populasi merupakan sekumpulan organisme dengan jenis atau ciri khas sama
yang terdiri dari sekelompok individu, dimana terjadi saling tukar menukar
informasi atau materi genetis serta hidup di kawasan tertentu pada waktu tertentu.
Populasi memiliki ciri khas yang unik diantaranya kerapatan, natalis, mortalitas,
penyebaran umur potensi biotik, sebaran, dan bentuk pertumbuhan. Menurut
Sugiyono (2013) dalam Walukow dkk (2014), populasi merupakan wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas atau
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Populasi bukan hanya orang, tetapi objek dan benda-benda
alam lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek atau subjek
yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek
atau objek tersebut. Ukuran populasi suatu spesies sangat penting diketahui, selain
untuk mengetahui kekayaan/kelimpahannya di suatu kawasan (alam), ukuran
populasi merupakan data dasar untuk menilai kemungkinan kelangsungan atau
keterancaman keberadaannya di alam, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
manajemen satwa liar (Tobing, 2008).
Populasi adalah sekelompok organisme satu spesies yang mendiami suatu
tempat, memiliki ciri atau sifat khusus populasi/kelompok dan bukan ciri individu.
Ciri-ciri tersebut antara lain: kerapatan, natalis (angka kelahiran), mortalitas (angka
kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi, pertumbuhan dan
perkembangan (Faruq, 2019). Populasi dalam ekosistem dengan keanekaragaman
rendah dan sedang mengalami tekanan fisik cenderung bergantung kepada
komponen fisik misalnya cuaca, arus, pencemar, dan sebagainya. Sedangkan pada
ekosistem dengan keanekaragaman tinggi atau tidak mengalami tekanan fisik maka
populasinya cenderung dikendalikan secara biologik (Sumarto dan Koneri, 2016).
Pada semua ekosistem terdapat kecenderungan yang kuat di mana populasi akan
berkembang melalui seleksi alam dan menuju pengendalian diri. sebagainya.
Sedangkan pada ekosistem dengan keanekaragaman tinggi atau tidak mengalami

17
tekanan fisik maka populasinya cenderung dikendalikan secara biologik. Pada
semua ekosistem terdapat kecenderungan yang kuat di mana populasi akan
berkembang melalui seleksi alam dan menuju pengendalian diri (Maknun, 2017).
Faktor-faktor ekologik yang berupa faktor pembatas yang merugikan maupun
yang bukan faktor pembatas (faktor yang menguntungkan) atau faktor negatif
maupun faktor positif terhadap populasi dapat tergolong faktor: (Hixon dan
Johnson, 2009).
a. Density independent/density legislatif atau tidak bergantung kepada kepadatan
jika pengaruhnya atau efeknya tidak tergantung kepada besarnya populasi.
Contoh : faktor iklim, angin ribut, penurunan temperatur yang derastis, faktor
cahaya, dan sebagainya.
b. Density dependent atau bergantung kepadatan, yaitu faktor ekologi yang
pengaruh/efeknya terhadap populasi merupakan fungsi dari kepadatan/densitas
populasi. Pengaruh faktor density dependent seperti pengatur mesin karena
dapat merupakan alat utama untuk mencegah over population dan bertanggung
jawab atas pencapaian keadaan seimbang (steady state). Merupakan faktor
density dependent ialah faktor-faktor biotik, misalnya kompetisi, parasitisme,
pathogen, natalitas, moralitas, dan sebagainya.

2.2 Suaka Margasatwa

Suaka Margasatwa adalah hutan Suaka Alam yang ditetapkan sebagai suatu
tempat hidup margasatwa yang mempunyai nilai khas dan bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional
yang sesuai dengan maksud Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 tentang kehutanan menyatakan kawasan hutan Suaka Alam yaitu hutan
dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (Budiman dkk, 2017).
Pengelolaan suaka margasatwa berhubungan erat dengan pengelolaan
habitatnya. Menurut Yoakum dan Dasmann (1971) dalam Alikodra (2010) bahwa
pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis mengatur kombinasi faktor fisik
dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu kondisi yang optimal bagi

18
perkembangan populasi satwa liar yang dilindungi. Kegiatan pengelolaan habitat
untuk organisme darat antara lain dilakukan dengan cara mengatur: produktivitas
makanan, debit sumber-sumber air, sumber-sumber garam mineral, tempat-tempat
berlindung, mencegah terjadinya pencemaran, mencegah terjadinya erosi, dan
kerusakan yang disebabkan oleh faktor-faktor perusak lainnya serta mengendalikan
kebakaran hutan (Alikodra, 2010).
Sesuai dengan kepentingannya, teknik pengelolaan habitat dapat dibedakan
menjadi pengelolaan sumber makanan (pakan satwa liar), pengelolaan sumber-
sumber air dan pengelolaan tempat-tempat berlindung dan bersarang. Kegiatan
pengelolaan habitat ini dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
terhadap tingkat keberhasilannya. Beberapa prinsip pokok yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan habitat agar tidak bertentangan dengan tujuan konservasi adalah
pertimbangan ekologis, prinsip keterpaduan dan efektivitas kegiatan, dan secara
teknis dapat dikerjakan serta secara ekonomis dapat dilaksanakan (Hermansyah,
2011).
2.3 Eko-biologi Tarsius (Tarsius fuscus)

2.3.1. Morfologi

Tarsius merupakan primata terkecil di dunia, termasuk satwa nokturnal.


Tarsius adalah primata yang berada di wilayah Asia Tenggara. Para peneliti
menyebutnya sebagai “fosil hidup” karena merupakan hewan yang diketahui ada
sejak jutaan tahun yang lalu namun tidak mengalami banyak perubahan pada
peninggalan fosilnya. Secara umum, Tarsius adalah hewan pemakan serangga
(insektivora). Tarsius berburu dengan cara melompat dan menerkam mangsanya
(Putra, 2018).
Secara umum, morfologi Tarsius yang berada di daerah sulawesi yang telah
di identifikasi memiliki ciri khas yang berbeda dengan mamalia yang lain yaitu
memiliki mata yang sangat besar, sepintas tidak proporsional dengan ukuran
tubuhnya, daun telinga lebar dibandingkan dengan ukuran tubuh, kepalanya dapat
memutar 180 derajat sehingga dapat melihat ke belakang dan ke samping dengan
sangat fleksibel, rambut berwarna cokelat, lembut, kaki Tarsius panjang melebihi
panjang kedua tangannya dan bahkan lebih panjang dari total panjang badannya,

19
berat badan berkisar 50 – 130 g, umumnya sekitar 80 – 100 g, ekor Tarsius lebih
panjang daripada panjang kepala dan seluruh badannya. Ukuran panjang ekor
tersebut berbeda antara satu spesies dengan spesies lainnya, pada setengah panjang
sampai ujung ekor, ada yang ditumbuhi rambut tebal dan ada yang tidak memiliki
rambut tebal (Mustari, 2020).
Berdasarkan kecocokan morfologi dan sebaran diketahui spesies Tarsius
yang berada di daerah Sulawesi Selatan adalah Tarsius fuscus. Tarsius fuscus
merupakan salah satu spesies primata endemik Sulawesi. Penyebaran primata
nokturnal berukuran kecil ini diketahui hanya terbatas di semenanjung barat daya
P. Sulawesi, di bagian selatan dari Danau Tempe (Roos dkk., 2014). Tarsius fuscus
tergolong satwa insektivora-karnivora, sehingga di habitat alaminya, pakan utama
satwa ini berupa berbagai jenis serangga.
Tarsius fuscus memiliki ukuran kepala-badan 12,4-12,8 cm; ekor 24-26 cm;
berat 126-133 g (jantan) 113-124 g (betina); Tarsius fuscus dikenal dengan ekor
yang berumbai (secara bertahap melebar ke arah ujung). Seperti Tarsius timur
lainnya, di bagian bawahnya bersisik dan ditutupi bulu gelap yang tersusun dalam
tiga baris, pelege umumnya berwarna coklat kemerahan di bagian atas dan krem di
bagian bawah, serta terdapat bintik hitam di kedua sisi moncong dan bercak putih
di belakang telinga. Nama spesifik fuscus diberikan berdasarkan pada
perbandingan langsung dengan Tarsius selayar yang warnanya lebih coklat (GBIF,
2023).
Tabel 1. Taksonomi Tarsius (IUCN 2023)
Taksonomi Tarsius
Kingdom Animalia
Filum Chordata
Kelas Mammalia
Ordo Primata
Famili Tarsiidae
Genus Tarsius
Tarsius sangirensis, T. tumpara, T. niemitzi, T.
Spesies
dentatus Syn. T. dianae, T. pumilus, T. lariang,

20
T. pelengensis, T. wallacei. T. supriatnai, T.
spectrumgurskyae, T. fuscus, T. tarsier.

2.3.2. Habitat dan Penyebaran

Satwa liar menempati habitat sesuai dengan pola hidup yang diperlukan untuk
bertahan hidup. Habitat merupakan kawasan yang menyediakan komponen yang
mendukung kehidupan satwa liar yang dapat menjamin keperluan kelangsungan
hidupnya secara berkelanjutan baik itu makanan, tempat untuk istirahat, dan kawin
(berkembang biak). Habitat terbentuk dari hasil interaksi komponen biotik dan
abiotik (Alikodra, 1990).
Tempat tinggal Tarsius sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan
hidupnya. Kondisi fisik lingkungan sangat berpengaruh dimana Tarsius dapat kita
jumpai di pucuk-pucuk pohon dan bersembunyi di antara batang pohon yang lebih
tinggi pada saat intensitas hujan tinggi dikarenakan kondisi tanah yang basah,
sedangkan pada awal musim kemarau dan sering terjadi angin kencang memilih
membuat sarang di lubang lubang bawah tanah yang berada di bawah rumpun
bambu. Ada beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai pohon tidur
diantaranya Bambu, Beringin, Alang-Alang, Liana, dan Waru (Mustari dkk, 2013).
Penyebaran Tarsius di Indonesia dapat dikatakan melimpah. Hal ini
dibuktikan dengan adanya data yang menyatakan bahwa terdapat 14 spesies Tarsius
yang tergolong ke dalam 3 genus yaitu genus Tarsius, Cephalophacus, dan Carlito
yang ada didunia. Pada Pulau Sulawesi terdapat genus Tarsius dan terdiri dari 12
spesies Tarsius. Berikut adalah 12 spesies Tarsius yang terdapat di Sulawesi:
Krabuku Sangihe/Krabuku Higo (Tarsius sangirensis), Tarsius Siau/Krabuku
Tumpara (T. tumpara), Tarsius Niemitz/Krabuku Bunsing (T. niemitzi), Krabuku
Diana (T. dentatus Syn. T. dianae), Krabuku Kecil (T. pumilus), Tangkasi/Tarsius
Lariang (T. lariang), Krabuku Peleng/Lakasinding (T. pelengensis), Tarsius
Wallace (T. wallacei), Tarsius Supriatna/Krabuku Mimito (T. supriatnai), Tarsius
Gursky/Krabuku Tangkasi (T. spectrumgurskyae), Krabuku Balao Cengke (T.
fuscus), dan Krabuku Tangkasi (T. tarsier) (Mustari, 2020).
Sulawesi menjadi salah satu pulau di Indonesia yang memiliki
keanekaragaman yang tinggi. Sebagian besar spesies flora dan fauna yang berada

21
di Pulau Sulawesi sangat jarang untuk ditemukan pada pulau lain yang ada di
Indonesia. Salah satu fauna endemik yang ada di Pulau Sulawesi yaitu kelompok
primata. Hampir semua jenis primata yang ada di Sulawesi merupakan hewan
endemik. Salah satu primata yang menjadi endemik Sulawesi adalah Tarsius
spectrum. Primata ini dikenal dengan sebutan Tangkasi yang menjadi salah satu
primata endemik Pulau Sulawesi bagian utara dan tersebar di pulau-pulau
sekitarnya (Sandy dkk, 2019).

Gambar 1. Tarsius fuscus


Berdasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah kromosom, jenis Tarsius
yang terdapat di Semenanjung Barat Daya Sulawesi termasuk Tarsius fuscus. Satwa
ini biasanya ditemukan di tebing-tebing karst dan rumpun bambu. Keberadaan
Tarsius fuscus di lokasi tersebut diduga untuk menghindari perburuan yang
dilakukan penduduk setempat serta menghindari predator alami seperti ular sanca
(Python reticulatus), elang (Spizaetus lanceolatus), anjing, dan kucing hutan liar
yang banyak ditemukan disekitar kawasan ini. Meningkatnya aktivitas manusia di
sekitar dan di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN.

22
Babul) juga menjadi salah satu ancaman bagi Tarsius. Dalam upaya
mempertahankan keberadaannya di alam, pemilihan habitat dilakukan sehingga
Tarsius dapat bertahan hidup dan aman dari gangguan (Mustari dkk, 2015). ICUN
2023 juga merilis bahwa Tarsius fuscus ditemukan rentang geografis semenanjung
barat daya Sulawesi, spesies ini diasumsikan menempati wilayah jelajah yang sama
dengan Macaca maura.
2.3.3. Perilaku/Aktivitas

Sebagai makhluk hidup satwa liar tentunya mempunyai berbagai proses


fisiologi dan aktivitas yang berbeda-beda yang bertujuan sebagai penyesuaian diri
dengan lingkungan sekitar. Berbagai aktivitas satwa liar dilakukan sebagai bentuk
persaingan serta kerja sama dalam melindungi diri, memperoleh makanan, serta
untuk mendapatkan pasangan untuk berkembang biak guna mempertahankan
keberlangsungan hidupnya. Salah satu satwa liar dengan aktivitas unik yaitu
Tarsius. Tarsius dikenal juga sebagai primata dari genus Tarsius dan menjadi satu-
satunya famili yang bertahan dari ordo Trasiiformes. Dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Qiptiyah dkk (2012), menunjukkan bahwa Tarsius menghabiskan
sebagian besar hidupnya di bambu yang digunakan sebagai sarana aktivitas
berburu, sebagai tempat istirahat, dan sebagai tempat untuk tidur.
Selain menghabiskan waktu beraktivitas di bambu, Tarsius juga dijumpai
melakukan aktivitas di tanah dengan tujuan untuk mendapatkan air pada saat cuaca
yang panas ataupun pada saat berburu. Perilaku makan Tarsius pada suatu
pengamatan dilakukan dengan berburu mangsa berupa serangga seperti belalang
dan kupu-kupu, serta burung kecil. Tarsius memerlukan sekitar 1 sampai 14
menit/hari untuk memangsa belalang dengan cara memegang belalang dengan
menggunakan kaki depan secara bergantian. Namun berbeda dengan memangsa
belalang, Tarsius membutuhkan waktu yang lebih lama dalam memangsa burung,
dimana waktu yang diperlukan untuk memangsa seekor burung yaitu sekitar 30
menit. Aktivitas minum Tarsius dikelompokkan menjadi dua, yaitu dengan
menjilat-jilat dedaunan pada saat musim hujan dikarenakan adanya air yang
tertinggal pada dedaunan, kemudian dengan mencari genangan air yang ada pada
bawah tanah (Qiptiyah dkk, 2012).

23
Sebagai satwa liar, Tarsius juga melakukan aktivitas berpindah dari tempat
yang satu ke tempat yang lain dengan cara melompat dari pohon satu ke pohon yang
lain. Salah satu tujuan Tarsius berpindah tempat yaitu ketika Tarsius sudah merasa
tidak aman untuk tinggal pada tempat tinggal sebelumnya. Tarsius dikenal juga
sebagai hewan sosial, dimana dalam aktivitasnya banyak melakukan interaksi
antara sesama individu dalam satu kelompok. Pada saat berpindah tempat, aktivitas
sosial yang sering dilakukan Tarsius yaitu Tarsius jantan akan mengejar Tarsius
betina sebagai bentuk pendekatan untuk berkembang biak. Tarsius akan saling
berkejaran bahkan saling berkelahi di atas pepohonan. Dalam suatu pengamatan,
spesies Tarsius tidak akan kawin pada saat ditempatkan dalam kandang meskipun
telah memperlihatkan masa birahi dan perilaku seksualnya. Hal ini menunjukkan
bahwa Tarsius akan melakukan perkembangbiakan hanya pada habitat aslinya
(Manori dkk, 2014).
Tarsius lebih menyukai hutan primer dikarenakan ketersediaan pakan lebih
banyak dan jauh dari aktivitas manusia yang akan mengancam kelestarian dari
Tarsius. Tarsius dikenal sebagai hewan yang mampu bertahan hidup pada berbagai
habitat. Meskipun demikian, kualitas habitat menjadi hal yang penting bagi Tarsius
sebagai kelestarian hidupnya. Suara Tarsius akan lebih sering terdengar pada saat
musim kemarau dari pada musim penghujan, hal ini disebabkan pada saat musim
kemarau sumber makanan Tarsius lebih sedikit sehingga membuat waktu Tarsius
keluar mencari makan lebih lama (Mansyur, 2012 dalam Sandego dkk, 2014).
Untuk mengamati perilaku Tarsius dapat dilakukan sekitar pukul 17.30 WITA –
18.30 WITA dimana pada waktu tersebut hari sudah mulai gelap dan Tarsius akan
melakukan aktivitas mencari makan. Tarsius akan mengeluarkan suara cicitan kecil
yang disertai dengan pergerakan pada dahan-dahan pohon yang dilakukan Tarsius
sebagai penanda teritorial, dan aktivitas seperti ini akan dilakukan ketika akan
kemabali ke sarang (Sandego dkk, 2014).
2.3.4. Pakan

Pakan merupakan salah satu komponen terpenting yang berada dalam habitat
karena sangat berpengaruh dalam pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan
populasi satwa, bervariasinya jenis pakan yang berada pada habitat satwa dapat
menunjang kecukupan gizi, kesehatan, dan mencegah kebosanan terhadap pakan

24
yang tersedia. Dengan ini, dapat dipahami bahwa pakan dapat berpengaruh
terhadap pertumbuhan, memperbaiki dan mengganti bagian organ tubuh yang
rusak, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, serta untuk reproduksi
satwa. Areal pencaharian pakan Tasrsius ditemukan di areal kawasan di luar hutan
lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dengan sekunder, hutan
sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal perladangan atau pertanian
(Masy’ud, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Sinaga (2015), diidentifikasi bahwa pakan
Tarsius berupa jangkrik, belalang, kadal kecil, cicak, anak burung, kumbang,
tonggeret, laron, laba-laba kecil, ulat daun dan serangga-serangga lainnya. Napier
dan Napier 1967; Niemitz 1979; Mackinnon dan Mackinnon 1980; Supriatna dan
Wahono 2000; Wirdateti 2005; Wirdateti dan Dahrudin (2006).
Qiptiyah dkk, (2012) mencatat bahwa perilaku makan Tarsius fuscus di
kandang pengamatan didahului oleh aktivitas berburu mangsa. Adapun mangsa
berupa serangga, reptil, burung dan mamalia kecil. Namun demikian pernah juga
teramati bahwa Tarsius makan kadal yang masuk ke dalam sarang. Sedangkan
aktivitas minum Tarsius dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dengan cara
menjilat-jilat dedaunan dan minum langsung dari sumber air di dekat sarang.
Tarsius minum dengan cara menjilat-jilat dedaunan ketika musim hujan. Hal ini
karena masih ada air hujan yang tertinggal di dedaunan. Ketika musim kemarau,
dedaunan tidak terdapat air sehingga Tarsius harus turun ke tanah, ke tempat
penampungan air dengan cara menjilat langsung atau menggunakan kedua kaki
depan.
2.3.5. Peran Tarsius di dalam Ekosistem

Primata merupakan salah satu satwa yang menghuni kawasan hutan dengan
peranan yang penting pada kehidupan alam. Keberadaan primata pada suatu
kawasan berperan penting dalam pelestarian hutan tropis. Sekitar 195 jenis primata
yang ada, terdapat 40 jenis terdapat di Indonesia dengan 24 jenis diantaranya
menjadi satwa endemik yang hidup di Indonesia. Primata merupakan ordo primata
yang berarti “yang pertama” dan dikenal dengan dua kelompok yaitu Prosimii dan
Anthropoid. Kelompok Prosimii merupakan primata sebelum kera yang dianggap
sebagai kelompok yang lebih primitif jika dibandingkan dengan Anthropoid.

25
Sedangkan Anthropoid merupakan kelompok primata seperti monyet dan kera.
Prosimii terdiri dari beberapa subordo seperti Lemuriformes, Lorisiformes, dan
Tarsiiformes. Sedangkan untuk kelompok Anthropoid terbagi menjadi dua subordo
yaitu Platyrrhini dan Catarrhini. Subordo Prosimii memiliki keunikan tersediri
yaitu mereka beraktivitas pada malam hari atau dikenal dengan istilah hewan
nokturnal. Kelompok Prosimii memiliki ciri-ciri seperti mempunyai mata yang
besar dengan lensa yang dapat memantulkan cahaya di malam hari. Salah satu
spesies satwa yang merupakan kelompok Prosimii yaitu Tarsius (Al Maidah, 2020).
Tarsius memiliki peranan penting dalam menyeimbangkan ekosistem dengan
mengendalikan populasi serangga. Serangga menjadi salah satu sumber makanan
bagi Tarsius. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Bumbungan
dkk (2017) yang menyatakan bahwa serangga seperti jangkrik menjadi salah satu
makanan yang disukai Tarsius. Bahkan dalam suatu penelitian yang dilakukan
Lowing dkk (2013) menyatakan bahwa 90% makanan Tarisus merupakan serangga
(Al Maidah, 2020).
Keberadaan Tarsius selain sebagai bagian dari sistem ekologi, namun juga
memiliki peranan penting bagi masyarakat. Salah satu peranan Tarsius bagi
masyarakat yaitu sebagai hewan pengendali hama. Spesies Tarsius merupakan
hewan karnivora dan insektivora dengan pakan utamanya berupa serangga seperti
belalang, kepik, ngengat, jangkrik, dan kumbang. Sehingga keberadaan Tarsius
akan sangat membantu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dengan
cara mengurangi populasi serangga yang dianggap hama oleh masyarakat (Santoso,
2010).
Adapun beberapa manfaat Tarsius antara lain (Achmad, 2022):
1. Tarsius mendukung penyerbukan dan kelangsungan spesies tanaman asli
(fungsi ekologi).
2. Tarsius mempunyai manfaat estetika untuk kesenangan dan pengobatan.
Orang-orang yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka di luar
ruangan baik berburu, menonton binatang liar, atau berjalan-jalan atau
berkendara di habitat alami cenderung tidak menderita stres dan penyakit
lainnya yang terkait dengan stres (fungsi kesehatan/pengobatan).

26
3. Melindungi Tarsius berarti menjaga pinjaman warisan dari anak
cucu/generasi mendatang (fungsi etika).
4. Menjaga Tarsius berarti kemungkinan kita menjaga budaya tradisional.
Mungkin Tarsius ada kaitannya dengan praktik dan cara hidup penduduk asli.
Hal ini berarti bahwa kegagalan melestarikan satwa tersebut beserta
lingkungannya akan menyebabkan hilangnya warisan asli mereka (fungsi
perlindungan budaya).
5. Tarsius mendukung daya tarik wisata (fungsi wisata).
6. Melindungi Tarsius berarti menjaga jenis satwa yang terancam punah (fungsi
perlindungan/konservasi).
7. Melindungi Tarsius berarti menjaga stabilitas dan keseimbangan ekologi
(fungsi perlindungan/konservasi).
8. Melindungi Tarsius berarti ikut meningkatkan ketahanan pangan (fungsi
ekonomi).
9. Melindungi Tarsius dan tempat hidupnya berarti kita menjaga tempat belajar
yang penting bagi anak-anak, siswa, dan cendekiawan dari segala usia (fungsi
pendidikan).
10. Melindungi Tarsius berarti kita ikut menciptakan lapangan kerja (fungsi
ekonomi).
11. Melindungi Tarsius berarti menjaga kebanggan nasional dan kebanggan
orang Sulawesi.

2.4 Status Konservasi

Status konservasi digunakan untuk menunjukkan kemungkinan pada suatu


spesies yang masih ada dan masih tersisa hingga saat ini dan di masa yang akan
datang. Salah satu bentuk kategori dari status konservasi yaitu IUCN Red List.
Kategori ini digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of
Nature and Natural Resources) untuk melakukan klasifikasi pada berbagai spesies
makhluk hidup yang terancam punah. Berdasarkan dari adanya status konservasi
tersebut sehingga IUCN membentuk IUCN Red List yang merupakan daftar status
kelangkaan spesies. Kepunahan pada suatu satwa maupun tumbuhan dapat
disebakan oleh manusia dalam pengelolaan kawasan hutan yang berlebihan dalam

27
penggunaan sumberdaya alam. Tarsius memiliki beberapa spesies yang masuk ke
dalam status konservasi yang berbeda-beda. Berdasarkan pada IUCN Red List
Tarsius sangirensis (EN/endangered), T.tumpara (CR/Critical endagered),
T.niemitzi (EN/endagered), T. dentatus (VU/Vulnerable), T. pumilus
(EN/endagered), T. lariang (DD/Data Defecient), T. pelengensis (EN/endangered),
T. wallacei (VU/Vulnerable), T. supriatnai (VU/Vulnerable), T. spectrumgurskyae
(VU/Vulnerable), T. tarsier (VU/Vulnerable). Sedangkan jenis Tarsius yang
menjadi objek penelitian ini adalah T. fuscus yang memiliki status Vulnerable (VU)
atau dalam kategori rentan berdasarkan asesmen terakhir yang dilakukan tahun
2020 (IUCN 2023). Namun terdapat pula beberapa jenis Tarsius termasuk ke dalam
daftar Data Deficient yang berarti bahwa informasi yang ada terkait spesies Tarsius
masih kurang untuk menentukan apakah spesies tersebut memiliki resiko
kepunahan berdasarkan dari distribusi dan status populasinya (Santoso, 2010).
Tarsius merupakan salah satu dari spesies primata terkecil. Beberapa jenis Tarsius
adalah endemik dari Sulawesi namun status konservasinya terancam punah dan
dilindungi. Beberdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 1999, Tarsius ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi keberadaanya
(Qiptiyah dan Setiawan, 2012).
Berkurangnya luasan habitat serta menurunnya daya dukung habitat menjadi
salah satu penyebab Tarsius mengalami penurunan populasi dan rentan akan
kepunahan. Selain itu, salah satu faktor ekologi yang sangat berpengaruh dalam
menentukan kelestarian primata yaitu ketersediaan sumber pakan pada habitatnya.
Hal ini dikarenakan ketersediaan pakan memberikan pengaruh pada luas daerah
jelajah yang berhubungan dengan bagaimana perilaku suatu satwa beraktivitas
seperti mencari makan guna pertumbuhan dan perkembangbiakan. Meskipun
memiliki persebaran hidup atau habitat yang luas, pengaruh kualitas hidup juga
akan mempengaruhi dan berperan penting bagi kelestarian hidup satwa liar, salah
satunya yaitu Tarsius (Qiptiyah dan Setiawan, 2012).
Tarsius fuscus saat ini sangat rentan terhadap kepunahan, faktor kerusakan
habitat akan sangat mempengaruhi ketersediaan populasi Tarsius di alam
khususnya Tarsius yang ada di wilayah Sulawesi Selatan. Tarsius memiliki
keunikan fisik dan perilaku yang justru membuat satwa ini banyak dicari dan diburu

28
sehingga menjadi ancaman untuk keberlangsungan hidupnya di alam bebas. Salah
satu bentuk solusi dalam hal melestarikan keberdaan Tarsius yaitu dengan
melakukan kegiatan pengamatan satwa di alam liar untuk mengatahui apakah
keberadaan Tarsius sehingga dapat timbul kesadaran dalam menjaga dan
melestarikan keberadaannya di alam (Santoso, 2010).

29
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu mulai Mei hingga Juni 2023
di Kawasan Suaka Margasatwa Ko’mara. Suaka Margasatwa Ko’mara merupakan
salah satu kawasan yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Sulawesi Selatan. Secara administratif, lokasi penelitian berada di
Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan yang berjarak kurang lebih 42 km dari Kota
Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan atau dapat ditempuh selama 1 jam
30 menit dengan menggunakan kendaraan beroda empat maupun roda dua.
Penelitian berfokus pada jalur tracking antara Kampung Tinambung Desa Bissoloro
di Kabupaten Gowa dan Kampung Balla Borong Desa Barugaya di Kabupaten
Takalar. Peta lokasi dan jalur penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


1. Teropong binokuler infrared, untuk melihat atau memantau satwa dari jauh pada
malam hari.
2. Spotlight (menggunakan cahaya senter yang kuat).
3. GPS, untuk mengambil titik lokasi pohon tidur.
4. Kamera dengan lensa jauh (Telesens), untuk mendokumentasikan satwa dari
kejauhan.
5. Headlamp, sebagai penerangan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


1. Peta kerja dan patok jalur untuk penanda kegiatan monitoring.
2. Tally sheet digunakan untuk mencatat data lapangan
3. Plastik jilid, digunakan untuk memberi tanda pada pohon tidur
4. Spidol permanen, menulis tanda pohon tidur
5. Alat tulis menulis.

30
31
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Suaka Margasatwa Ko’ mara Sulawesi Selatan)
3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Variabel Penelitian

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah:


1. Identifikasi dan Sebaran pohon tidur (jenis, jumlah individu, letak dalam plot
dan titik koordinat pohon tidur);
2. Struktur dan Kepadatan Populasi Tarsius fuscus di lokasi penelitian (jumlah
individu per pohon tidur, jenis kelamin, jumlah individu berdasarkan tingkatan
umur dan luasan plot sampel).
3.3.2 Penentuan Titik Pengamatan

Penentuan titik pengamatan dimulai dengan mengumpulkan informasi terkait


keberadaan Tarsius fuscus di Suaka Margasatwa Ko’mara, informasi ini diperoleh
dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekowisata Sulawesi Selatan
(BKSDAE Sulsel). Informasi ini kemudian menjadi data awal saat melakukan
observasi lapangan. Selanjutnya dilakukan observasi lapangan untuk menvalidasi
informasi dari BKSDAE Sulsel.
3.3.3 Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung (direct observation),


menggunakan dua metode yakni metode transek jalur (Strip Transect) digunakan
untuk mencari pohon tidur Tarsius dan metode Concentration count untuk
menemukan jumlah individu di setiap pohon tidur.
1. Metode Transek Jalur (Line Transect). Metode ini digunakan untuk menemukan
data pohon tidur Tarsius yang dilakukan selama 15 hari. Panjang jalur yang
digunakan 1000 m dengan lebar 50 m. Jalur dibagi ke dalam sub plot 50 m x 50
m yang diamati selama satu hari (sore dan pagi hari) pada setiap sub plot.
Pengambilan data dilakukan pada sore menjelang malam hari pada pukul 17:00
– 18:30 dan subuh menjelang pagi hari pada pukul 04:00 – 06:30. Untuk
mengetahui pohon tidur Tarsius. Penentuan jam pengamatan berdasarkan pada
aktivitas Tarsius fuscus yaitu ketika keluar dari pohon tidur dan masuk ke pohon
tidur (Mulyana, 2005). Pada setiap sub plot peneliti mencari suara Tarsius yang

32
berasal dari sarang/pohon tidur. Suara yang terdengar akan ditelusuri asal
pohonnya lalu diberi tanda dan diambil titik koordinatnya.
2. Metode Concentrasi Count , metode ini dilakukan setelah metode Transek Jalur
(Line Transect). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang
jumlah individu Tarsius pada setiap pohon tidur yang telah terdeteksi (Qiptyah,
2012). Metode Concentration count dilakukan selama 18 hari untuk semua
pohon tidur. Setiap pohon tidur diamati pada pagi hari (pukul 04.00-06.30)
ketika Tarsius kembali ke pohon tidur, dan sore hari (pukul 17.00-18.30) ketika
Tarsius keluar dari pohon tidur, dengan pengulangan 3 kali (3 hari) pada setiap
pohon tidur. Diasumsikan jumlah individu Tarsius paling sedikit dalam satu
keluarga terdapat 2 individu (Marker, 2006) sedangkan jumlah individu terbesar
yang ditemui selama pengulangan pengamatan diasumsikan sebagai individu
yang mewakili kelompok. Perhitungan individu dilakukan dengan dua cara
yaitu: Indentifikasi memalui perjumpaan dengan individu langsung (Terlihat =
T) dan perjumpaan melalui suara (Suara = S). Variabel yang dikumpulkan
adalah struktur dan kepadatan populasi.

33
Gambar 3. Ilustrasi Penempatan Line Transect Pada Jalur Tracking Antara
Kampung Tinambung Desa Bissoloro Di Kabupaten Gowa Dan Kampung
Balla Borong Desa Barugaya Di Kabupaten Takalar.

3.4 Analisis Data

Berdasarkan jenis data yang telah dikumpulkan, maka analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendugaan populasi untuk metode concentration count dilakukan dengan
penghitungan langsung pada saat ditemukan primata tersebut. Jumlah individu
terbesar yang ditemui dari seluruh pengulangan pengamatan diasumsikan
sebagai jumlah individu yang mewakili satu kelompok. Apabila jumlah individu
terkecil yang ditemui diasumsikan bahwa individu yang lain tidak terlihat pada
saat pengamatan (Fachrul,2007). Populasi dari tiap kelompok dapat diketahui
dengan persamaan sebagai berikut (Mulyana, 2005):
Pj = (∑ Xi)/ n,
Dengan,
Pj = populasi pada lokasi pengamatan ke-j (individu),
Xi = jumlah individu yang dijumpai pada pengamatan ke-i (individu),

34
n = jumlah ulangan pengamatan.
2. Kerapatan populasi, dengan menghitung kepadatan populasi D= density melalui
perhitungan sebagai berikut: D = ∑ individu dari semua pohon tidur / Luas jalur
pengamatan (Ha) (Bismark, 2011).
3. Analisis deskriptif berdasarkan grafik struktur umur (dewasa, remaja, dan anak).
Penentuan struktur umur dilakukan dengan dua cara yaitu melalui perbandingan
ukuran tubuh dan perilaku. Ukuran tubuh remaja dan anakan cenderung
memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil daripada ukuran tubuh dewasa.
Pendugaan umur berdasarkan perilaku anak cenderung mengikut dengan
kelompok atau induk saat memulai aktivitasnya. Sedangkan remaja memiliki
perilaku soliter karena mulai mencari pasangan baru (Mustari, 2016).

35
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Suaka Margasatwa Ko’mara

Suaka Margasatwa Ko’mara ditunjuk menjadi kawasan konservasi


berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 147/KPTS-II/1987
tanggal 19 Mei 1987 Tentang Perubahan Status Hutan Lindung Komara seluas ±
8.000 ha yang terletak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan menjadi Taman
Buru Komara seluas ± 4.610 ha dan Suaka Margasatwa Komara seluas ± 3.390 ha.
Penataan batas fungsi dilaksanakan pada tahun 1997 – 1998 yang dilaksanakan
dalam dua tahap, terealisasi sepanjang 10,54588 km dan 16,204 km, dengan luas
temu gelang 2.972 ha. Selanjutnya Suaka Margasatwa Ko’mara ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 911/Kpts-II/1999 tanggal 14
Oktober 1999 seluas 2.972 ha (BBKSDA, 2019).
Secara geografis letak Suaka Margasatwa berada pada koordinat 05º19’55” -
05º23’59” Lintang Selatan (LS) dan 119º34’8.4” - 119º 38’48” Bujur Timur (BT)
dan secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Polombangkeng Utara,
Kabupaten Takalar dan di Kecamatan Bungaya, Kabupaten Gowa, Provinsi
Sulawesi Selatan. Adapun batas-batas kawasan Suaka Margasatwa Ko’mara adalah
sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Bissoloro, Kec. Bungaya Kab. Gowa
Sebelah Selatan : Hutan Produksi Kabupaten Takalar
Sebelah Timur : Desa Bissoloro, Kec. Bungaya Kab. Gowa
Sebelah Barat : Desa Barugaya, Kec. Polombangkeng Utara Kab.
Takalar
Suaka Margasatwa Ko’mara memiliki jalur wisata untuk aktivitas Tracking
yang biasanya dibuka untuk aktivitas balap motor. Jalur ini memotong sebagian
besar kawasan yang memiliki vegetasi yang berpotensi menjadi pohon tidur Tarsius
fuscus yaitu vegetasi rumpun bambu dan ficus yang berliana. Jalur ini
diproyeksikan akan menjadi jalur wisata alam yang ada di Suaka Margasatwa
Ko’mara.

36
4.2 Sejarah Kawasan

Sejarah terbentuknya kawasan Suaka Margasatwa Ko’mara dimulai pada


tahun 1961 dan 1963 dengan Penunjukan kelompok hutan Lauwa ± 800 ha dan
kelompok hutan Komara ± 15.624 ha sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai
hutan lindung (SK. Bupati KDH Tk II Takalar No. 5/H-T/1961 dan No. Pta 4/2/27
tanggal 3 Desember 1963). Selanjutnya pada tahun 1976 Surat Pendahuluan Ditjen
Kehutanan Dirjen PPA mengenai survei orientasi dari pada cadangan Suaka Alam
atau Hutan Wisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1981 dilakukan pengusulan penunjukan kelompok hutan Lauwa
dan Komara seluas ± 5.500 ha dan areal hutan di antara kelompok hutan Lauwa dan
Koara seluas ± 500 ha (tanah negara bebas) sebagai Suaka Margasatwa (Surat
Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian No. 2578/DJ/I/1981 tanggal 13 Juli 1981),
kemudian pada tahun 1982 Penunjukan status Hutan Lindung Komara seluas ±
8.000 ha (SK Menteri Pertanian No. 760/Kpts/UM/10/1982 tanggal 12 Oktober
1982), selanjutnya terjadi perubahan status hutan lindung Ko’mara pada tahun 1987
seluas ± 8.000 ha yang terletak di Kabupaten Takalar Sulsel menjadi Taman Buru
Ko’mara seluas ± 4.610 ha dan Suaka Margasatwa Ko’mara seluas ± 3.390 ha (SK
Menteri Kehutanan No. 147/KptsII/1987 tanggal 10 Mei 1987). Pada tahun 1999
dilakukan penetapan sebagai Suaka Margasatwa Ko’mara dan telah dilakukan tata
batas seluas ± 2.972 ha (SK Menteri Kehutanan No. 911/Kpts-II/1999 tanggal 14
Oktober 1999) (BBKSDA, 2019).
4.3 Potensi Keanekaragaman Hayati

Adapun potensi keanekaragaman hayati pada kawasan Suaka Margasatwa


Ko’mara menurut Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan (2019), ialah sebagai
berikut:
1. Flora
Kawasan Suaka Margasatwa Ko’mara merupakan bagian dari Kompleks
Hutan Bangkala yang mewakili tipe ekosistem Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah
yang didominasi vegetasi tingkat atas berupa Jati (Tectona grandis), Bitti (Vitex
cofassus), Kayu Hitam (Diospyros sp.), Enau (Arenga sp.), Mangga (Mangifera
indica), dan lain-lain. Vegetasi tingkat bawah seperti jenis-jenis semak belukar dan

37
rerumputan. Bila musim kemarau, semak belukar dan rerumputan mati-suri/kering.
Lahan hutan di tingkat vegetasi bawah terlihat kosong/padang tandus.
2. Fauna
Kawasan Suaka Margasatwa Ko’mara ini pun memiliki keanekaragaman
jenis fauna, untuk mamalia ada jenis Rusa Timor (Cervus timorensis) sebagai
spesies kunci Kawasan, Kera Hitam (Macaca maura), Babi Hutan (Sus celebensis).
Sedangkan jenis aves terdapat Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus),
Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis), Cekakak Sungai (Halcyon chloris), Gagak (Corvus
sp.), dan lain-lain. Pada kelompok reptilia dan insecta terdapat Phyton reticulatus,
Varanus salvator, Maboya sp., Troides spp., dan Odonata spp.
3. Tipe Ekosistem
Hutan hujan tropis dataran rendah termasuk dalam tipe ekosistem zona hutan
hujan bawah dengan vegetasi tingkat atas berupa jati (Tectona grandis), Bitti (Vitex
covassa), Ara (Ficus spp), Kemiri (Aleurites molluccana), Ketapang (Terminalia
cattapa). Vegetasi tingkat bawah di antaranya adalah jenis-jenis semak belukar dan
rerumputan (Imperata cylindrica). Bila musim kemarau, semak belukar dan
rerumputan mati suri. Lahan hutan di tingkat vegetasi bawah terlihat kosong/padang
tandus.
4. Proses Ekologis
Suaka Margasatwa Ko’mara memiliki luasan yang cukup untuk menunjang
pengelolaan yang efektif, menjaga dan mengawasi keberlangsungan hidup dari
flora, fauna dan ekosistemnya. Komponen ekologi terdiri dari faktor abiotik dan
biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya dan topografi semua
berjalan baik. Sedangkan faktor biotik terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan dan
mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi
makhluk hidup yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi
dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
jalur penelitian memiliki kondisi vegetasi yang didominasi ficus, liana dan
pohon bambu. Jalur ini dekat dengan sumber air berupa sungai kecil, selain itu
lokasi ini juga terdapat jalan setapak yang digunakan masyarakat sebagai jalur
offroad. Hal inilah yang kemudian menjadikan lokasi ini sebagai habitat yang
rentan menurunkan populasi Tarsius fuscus.

38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Identifikasi dan Sebaran Pohon Tidur Tarsius (Tarsius fuscus)

Berdasarkan metode Line Transect ditemukan sebanyak 6 pohon tidur di


sepanjang jalur Tracking Tinambung-Balla Borong, 5 pohon tidur ditemukan
berupa rumpun bambu (Bambussa sp.), dan 1 pohon tidur Ficus (Ficus sp.). Hasil
pengamatan Concentration Count yang dilakukan pada 6 pohon tidur dengan
jumlah ulangan 3 hari per pohon selama 18 hari, ditemukan sebanyak 22 individu
Tarsius (Tarsius fuscus). Tarsius paling banyak dijumpai secara langsung pada
waktu subuh di rumpun bambu, sedangkan perjumpaan melalui suara/tidak
langsung paling sering di jumpai pada sore hari di rumpun bambu. Adapun
perjumpaan dengan Tarsius dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Rata-Rata Perjumpaan Tarsius (Tarsius fuscus) di Suaka


Margasatwa Ko’mara selama 18 hari pengamatan (3 hari/pohon tidur) (S= Suara;
T= Terlihat).

1 2 3 Jumlah rata-
rata total Jumlah
No. Sarang Plot Sore Subuh Sore Subuh Sore Subuh individu Individu
S T S T S T S T S T S T S T
1 Bambu 8 0 0 3 3 0 1 4 3 2 0 4 4 4 4 4
2 Bambu 10 0 0 2 0 0 3 2 1 0 0 2 2 2 3 3
3 Bambu 11 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2
4 Bambu 12 3 0 5 1 0 0 6 6 0 0 7 6 7 6 7
5 Bambu 12 2 0 0 0 0 0 4 4 0 0 2 2 4 4 4
6 Ficus 14 2 0 0 2 0 0 2 1 0 0 2 2 2 2 2
Berdasarkan pada hasil perjumpaan Tarsius pohon tidur paling banyak
dijumpai di rumpun bambu dan hanya satu yang ditemui di Ficus. Pohon tidur
tersebar pada ketinggian 350-450 mdpl. Pohon tidur 1 (sub plot 8) ditemukan di
rumpun bambu dengan kondisi vegetasi yang rapat dan didominasi rumpun bambu
berduri dan berada di ketinggian 350 mdpl. Pada pohon tidur 1 dijumpai 4 individu
yang dijumpai secara langsung maupun tidak langsung (suara). Tarsius di pohon ini
hanya melalui satu jalur keluar masuk.

39
Pohon tidur 2 (sub plot 10) berada di dalam rumpun bambu yang berada di
ketinggian 400 mdpl. Pohon tidur ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan
sumber air (sungai). Vegetasi sekitar pohon tidur ini didominasi rumpun bambu
berduri dan Ficus yang dikelilingi vegetasi yang rapat serta banyak dijumpai liana.
Pada pohon tidur ini perjumpaan Tarsius lebih banyak dijumpai secara langsung 3
individu dibandingkan perjumpaan melalui suara 2 individu. Tarsius keluar masuk
melalui satu jalur.
Pohon tidur 3 (sub plot 11) terletak di ketinggian 400 mdpl dengan vegetasi
yang didominasi rumpun bambu dan tumbuhan yang berdiameter < 10 cm.
Vegetasi di area ini juga banyak di tumbuhi liana. Pohon tidur 3 Tarsius hanya
dijumpai melalui suara atau tidak langsung sebanyak 2 individu. Pohon tidur 4 (plot
12) berada di ketinggian 450 mdpl yang terdapat di dalam rumpun bambu berduri.
Areal pohon tidur ini didominasi vegetasi dengan diameter 10-15 cm dan banyak
dijumpai liana. Tarsius di pohon tidur ini dominan ditemui secara langsung yaitu
sebanyak 7 individu. Pohon tidur 4 merupakan pohon tidur yang memiliki jumlah
individu tertinggi diantara semua pohon tidur. Serta ditemukan bahwa Tarsius di
pohon tidur ini memiliki 3 jalur yang berbeda saat memasuki pohon tidur yaitu
melalui arah Timur, Barat dan Tenggara.
Pohon tidur 5 (sub plot 12) pohon tidur 5 ditemukan berdekatan dengan pohon
tidur 4 dimana di pohon tidur ini ditemukan 4 individu Tarsius berdasarkan pada
perjumpaan langsung ataupun tidak langsung. Tarsius di pohon tidur ini keluar
masuk saran melalui satu jalur. Pohon tidur 6 (sub plot 14) pohon tidur ini berada
di ketinggian 450 mdpl, pohon tidur ini berbeda dengan pohon tidur lainnya yang
berada di rumpun bambu, pohon tidur 6 berada di Ficus yang memiliki akar gantung
dengan vegetasi sekitarnya memiliki diameter < 10 cm. Pohon tidur ini di jumpai 2
individu Tarsius baik melalui perjumpaan langsung dan tidak langsung (suara)
dengan satu jalur keluar masuk Tarsius.

40
Adapun sebaran titik koordinat dari setiap pohon tidur dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Koordinat Pohon Tidur

No. Sarang Plot Titik Koordinat

1. Bambu 8 -5.373615, 119.618103

2. Bambu 10 -5.374451, 119.618117

3. Bambu 11 -5.374724, 119.618403

4. Bambu 12 -5.375452, 119.618369

5. Bambu 12 -5.375490, 119.618458

6. Ficus 14 -5.376506, 119.618039

Sebaran koordinat ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sebaran Koordinat Pohon Tidur Tarsius fuscus


5.1.2. Struktur Populasi Tarsius fuscus pada Setiap Pohon Tidur

Individu yang ditemukan selama penelitian diklasifikasikan ke dalam


kelompok umur di dalam populasi Tarsius dengan metode pendugaan populasi.
Hasil penelitian menemukan 6 pohon tidur yang di amati untuk melihat aktivitas

41
Tarsius pada saat akan meninggalkan dan memasuki pohon tidur. Individu yang
dijumpai dimasukkan ke dalam kelas umur dewasa, remaja dan anak. Umur
individu Tarsius diklasifikasikan berdasarkan pada ukuran tubuh dan perilaku dari
Tarsius tersebut. Individu terbanyak ditemukan pohon tidur IV yaitu 7 individu dan
ditemukan 3 individu remaja yang ditemukan masuk ke sarang secara terpisah.
Sedangkan individu terendah ditemukan di pohon tidur III dan VI. Adapun
distribusi populasi dan jumlah keluarga yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel.
4.
Tabel 4. Distribusi Populasi dan Jumlah Keluarga pada Setiap Pohon Tidur
yang Diamati Selama 18 hari (3 hari/pohon tidur)
Dewasa Jumlah Jumlah
No Sarang Keluarga Remaja Anak
Jantan Betina Keluarga Individu
1 Bambu I 1 1 0 2 1 4
2 Bambu II 1 1 0 1 1 3
3 Bambu III 1 1 0 0 1 2
4 Bambu IV 1 1 3 2 3 7
5 Bambu V 1 1 0 2 1 4
6 Picus VI 1 1 0 0 1 2
Jumlah 6 6 3 6 8 22

Individu-individu ini kemudian dikategorikan ke dalam beberapa struktur


umur dalam populasi Tarsius. Struktur umur dari hasil pengamatan di areal Hutan
Konservasi Ko’mara diperoleh data jantan, betina, dan anak yang dapat dilihat pada
Tabel 4. Hasil pengamatan ditemukan induk jantan dan induk betina 6 ekor
(berpasangan) sedangkan 3 remaja dan 7 anak. Populasi Tarsius pada kawasan ini
mengindikasikan bahwa ada penurunan struktur umur, karena struktur umur dewasa
lebih banyak dibandingkan dengan struktur umur remaja dan anak. Adapun struktur
umur Tarsius yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 3.

42
14

12
Jumlah Individu

10

0
Anak Remaja Dewasa

Kelas Umur

Gambar 5. Struktur Umur Tarsius (Tarsius fuscus)

5.1.3. Pendugaan Kepadatan Populasi Tarsius (Tarsius fuscus)

Pendugaan populasi Tarsius pada lokasi penelitian dilakukan dengan


perhitungan rumus Kepadatan dan Kerapatan populasi Tarsius. Populasi Tarsius di
sepanjang Transect (1000 x 50 m) dihitung beradasarkan pada jumlah individu
yang ditemukan di pohon tidur (sarang) dan dihitung dengan rumus berikut:

Kepadatan populasi Tarsius fuscus. dihitung berdasarkan rumus berikut:


∑ Xi
Pj = 𝑛
22
= 6
= 3,7

Kerapatan populasi (D)


∑ Individu dari semua pohon tidur
D= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑙𝑢𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
3,7
= 5

= 0,74 / ha
Berdasarkan pada hasil perjumpaan Tarsius yang selama pengamatan di
seluruh pohon tidur, maka dilakukan pendugaan populasi sepanjang jalur

43
pengamatan dengan menghitung kerapatan populasi Tarsius. Sepanjang jalur 1000
m dan lebar 50 m, dengan luas sampling = 5 ha, ditemukan 0,74 individu atau
sekitar + 1 individu per hektar atau 74 individu jenis Tarsius per km2.
5.2. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jalur Tracking Tinambung – Balla


Borong di Suaka Margasatwa Ko’mara ini ditemukan 6 pohon tidur yang terdiri
dari rumpun bambu berduri (Bambussa sp.) (5 individu) dan Ficus sp. (1 individu)
yang memiliki akar gantung. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa habitat
sekitar pohon tidur banyak ditemukan liana dan pohon lain yang memiliki akar
gantung yang saling mengikat sehingga dapat menjadi tempat berlindung Tarsius
dari segala macam gangguan seperti predator termasuk juga manusia. Tarsius
cenderung memilih pohon tidur dengan karakteristik umum yaitu, memiliki tingkat
cahaya yang rendah dan gelap, menyediakan tempat perlindungan dari angin dan
hujan, memiliki rongga-rongga dan beberapa pintu keluar untuk melindungi diri
dari ular dan predator lainnya (Mansyur dkk, 2016).
Lokasi penelitian ditemukan bahwa Tarsius memilih pohon tidur di bambu
dan Ficus. Hal ini juga dikemukakan sebelumnya oleh Mustari (2015) bahwa
Tarsius fuscus ditemukan tidur pada rumpun bambu dan Ficus sp. Ficus sp yang
berukuran besar dan memiliki jalinan akar yang membentuk rongga dan
terowongan gelap. Rumpun bambu (Bambussa sp) pada lokasi penelitian memiliki
karakteristik seperti memiliki batang tua dengan jumlah batang + 10 batang per
rumpun, serta memiliki batang rapat dan berduri (Qiptiyah, 2012). Habitat Tarsius
fuscus memiliki beragam spesies tumbuhan, namun tidak semua tumbuhan dipilih
sebagai pohon tidur. Vegetasi yang dipilih sebagai pohon tidur atau lokasi sarang
umumnya merupakan spesies tumbuhan yang mampu memberikan dan
menghadirkan rasa aman, suasana yang gelap dan menjadi areal bersembunyi yang
baik bagi Tarsius agar terhindar dari predator. Karakter pohon seperti inilah yang
disukai Tarsius sebagai pohon tidur (Putri dkk, 2019).
Pohon tidur yang ditemukan tersebar dalam 5 sub plot dengan jarak yang
beragam antar setiap pohon tidur. Jarak terdekat antara setiap pohon tidur sekitar
12 m (pohon 4 ke 5) sedangkan jarak terjauh 122 m (pohon 5 ke 6). Pohon tidur 2

44
dan 3 berada dekat dengan mata air atau sungai (35 m & 58 m) sedangkan pohon
tidur 1, 4, 5, dan 6 memiliki jarak yang cukup jauh dari mata air. Hal ini
menunjukkan bahwa Tarsius merupakan salah satu satwa yang tidak bergantung
pada mata air atau sungai dalam memenuhi kebutuhan minumnya. Mustari (2015)
menyatakan bahwa Tarsius selain memanfaatkan aliran air yang terdapat di sekitar
habitat mereka, Tarsius juga memanfaatkan air yang menetes dari dedaunan dan
genangan air yang terdapat di pohon-pohon yang berlubang.
Kondisi vegetasi di sekitar pohon tidur Tarsius fuscus sangat menentukan
tingkat populasinya. Tarsius merupakan satwa pemakan serangga sehingga tidak
memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber makanan namun kondisi vegetasi sangat
menentukan jenis dan jumlah serangga yang dapat ditemukan di suatu daerah
tertentu ( Octavianus, 2020). Dimana vegetasi yang beragam akan berperan dalam
menciptakan mikro-klimat untuk kehidupan serangga yang merupakan sumber
pakan utama Tarsius (Krisnatalya, 2020).
Tarsius yang ditemukan sebanyak 22 individu di 6 pohon tidur. Individu
terbanyak ditemukan di pohon tidur 4 dalam rumpun bambu (sub plot 12) sebanyak
7 individu hal ini dikarenakan rumpun bambu yang menjadi pohon tidur memiliki
ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan pohon tidur lainnya, sedangkan
jumlah individu terendah ditemukan di pohon tidur 3 dan 6 dalam rumpun bambu
dan Ficus (sub plot 11 & 14) sebanyak 2 individu, hal ini bisa diasumsikan bahwa
beberapa individu yang lain tidak terlihat saat pengamatan. Pohon tidur hanya di
temukan dalam sub plot 1 hingga sub plot 14, dimana sub plot 1-14 memiliki
kondisi vegetasi yang didominasi bambu, liana dan Ficus sp. yang berpotensi
menjadi pohon tidur Tarsius, sedangkan sub plot 15-20 didominasi vegetasi yang
berdiamter kecil dan tidak rapat sehingga tidak berpotensi menjadi pohon tidur
Tarsius fuscus. Jumlah individu Tarsius dalam satu kelompok ditentukan oleh
faktor ketersediaan pakan, wilayah jelajah, kompetisi antar kelompok, dan resiko
pemangsaan (Matta, 2016). Menurut Sinaga dkk, (2009) jumlah individu di setiap
kelompok bervariasi berkisar pada 2-8 individu pada satu pohon tidur atau sarang
yang ditemukan. Adapun komposisi individu dalam satu kelompok antara lain:
Jantan dewasa, beberapa betina dewasa, anak remaja dan bayi.

45
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 6 individu jantan dewasa dan 6 betina
dewasa, 3 individu remaja dan 7 anak. Menurut Mansyur dkk, (2016) Tarsius
merupakan primata yang hidup secara berkelompok dan tinggal bersama dalam
sebuah sarang yang berfungsi sebagai tempat istirahat atau tidur di siang hari. Pola
hidup Tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu
dewasa dan bersifat monogami serta tinggal bersama keturunannya dalam satu
teritorial (Bethony dkk, 2017).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tarsius fuscus dewasa lebih banyak
ditemukan dibandingkan dengan populasi remaja dan anak. Data lapangan ditemui
6 individu jantan dewasa dan 6 individu betina dewasa. Populasi Tarsius di kawasan
ini mengindikasikan bahwa ada penurunan struktur umur, karena struktur umur
dewasa lebih banyak dibandingkan dengan struktur umur remaja dan anak. Menurut
Supriatna dan Wahyono (2000) semakin mengerucutnya angka populasi pada
struktur umur yang lebih kecil menunjukkan piramida populasi yang mengecil.
Akan tetapi, hal ini tidak mengindikasikan bahwa populasi Tarsius akan menurun
pada tahun-tahun berikutnya. Karena 80% Tarsius adalah satwa monogami maka
setiap kelompok Tarsius terdiri dari sepasang jantan dan betina beserta anak-
anaknya (Supriatna dan Wahyono, 2000). Selain itu, jumlah anak yang dilahirkan
oleh Tarsius betina hanya satu pada setiap kelahiran dengan lama kebuntingan 6
bulan, sehingga Tarsius hanya dapat melahirkan satu anak dalam rentan satu tahun
(Napier dan Napier 1985). Jadi, kelompok Tarsius yang memiliki lebih banyak
individu dewasa dari pada anak adalah hal yang lazim pada Tarsius sehingga pada
kelompok muda perbandingan antara struktur umur dewasa dan anak adalah 2:1.
Perjumpaan dengan Tarsius fuscus pada kelas umur remaja hanya ditemukan
di pohon tidur 4 (plot 12) perjumpaan rendah pada kelas umur remaja disebabkan
kelas umur ini sudah memisahkan diri dari kelompoknya untuk memulai cari
pasangan, sehingga sulit untuk dijumpai. Faktor lain Tarsius fuscus pada kelas umur
remaja sulit ditemukan karena rentan terhadap pemaksaan predator ketika Tarsius
remaja melakukan pergerakan soliter tanpa kelompok, berbeda halnya dengan kelas
umur anak yang masih mendapat pengawasan induk sehingga tingkat pengawasan
dari serangan predator masih tinggi (Rosyid, 2019). Data penelitian menunjukkan
bahwa Tarsius fuscus lebih banyak di jumpai secara tidak langsung atau melalui

46
suara. Hal ini dikarenakan beberapa individu kadang tidak terlihat secara langsung
sebelum memasukki pohon tidur namun mengeluarkan suara sehingga
diidentifikasi sebagai satu individu.
Berdasarkan pada hasil analisis kepadatan populasi dan struktur umur Tarsius
fuscus ditemukan bahwa jalur penelitian memiliki kepadatan populasi sebanyak 3,7
individu/0,05 km2 atau 74 individu/km2. Kepadatan populasi Tarsius fuscus di
pengaruhi oleh struktur umur Tarsius yang dijumpai. Struktur umur yang dijumpai
menunjukkan bahwa Tarsius dewasa lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan
Tarsius remaja dan anak. Struktur umur yang menurun akan memiliki kerapatan
populasi yang kecil pada kelas umur muda dan remaja, perkembangan populasi ini
akan menurun jika keadaan lingkungan memburuk (Santosa dan Paturohman,
2009). Namun dalam temuan populasi dalam penelitian ini masih memiliki peluang
untuk terjadinya peningkatan populasi, hal ini ditandai dengan perjumpaan dengan
Tarsius fuscus dewasa yang ditemukan di satu pohon tidur yang diasumsikan
berpasangan. Hal ini tentunya memberikan kesempatan pada Tarsius untuk
bereproduksi dan berkembang biak. Kondisi ini menunjukkan bahwa habitat
Tarsius fuscus di lokasi penelitian memerlukan perhatian lebih dari pengelola
kawasan agar membantu proses pelestarian populasinya (Rosyid dkk, 2019).
Tarsius memiliki keunikan tersendiri yang menjadikannya sebagai satwa
yang banyak diminati. Sebagai satwa yang memiliki tubuh kecil dan bergerak di
malam hari (nocturnal) Tarsius diminati sebagai hewan yang eksotik. Namun
ketertarikan terhadap Tarsius sebagai hewan peliharaan serta degradasi habitat yang
semakin tinggi menjadikan Tarsius sebagai hewan yang semakin terancam
populasinya. Pengetahuan bahwa Tarsius adalah hewan yang semakin langka
sangatlah minim, masyarakat tidak mengetahui bahwa habitat yang mereka alihkan
sebagai lahan bangunan ataupun kebun merupakan habitat dari Tarsius.
Ketidaktahuan ini harusnya dapat diatasi dengan pola edukasi yang baik terhadap
masyarakat sekitar habitat Tarsius ataupun masyarakat luas yang tertarik pada
satwa ini. Melihat kondisi ini maka pola pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan
kondisi lokasi penelitian adalah Wisata Edukasi Tarsius fuscus.
Wisata Edukasi Tarsius fuscus ini dirancang dengan melakukan kegiatan
perjalanan pada malam hari (night safari), wisata ini dapat dilakukan pada saat

47
malam hari dan subuh hari. Malam hari menjadi waktu aktivitas Tarsius dan subuh
hari waktu Tarsius akan kembali kedalam pohon tidur. Berdasarkan pada data yang
ditemukan individu terbanyak ditemukan pada subuh hari saat Tarsius akan kembali
ke pohon tidur. Perjalanan Tarsius ini dilakukan dengan mengamati kegiatan-
kegiatan yang dilakukan Tarsius (Tarsius Wacthing). Karena Tarsius fuscus aktif
dimalam hari dan memiliki tubuh yang kecil maka diperlukan teknik pengamatan
satwa yang praktis di alam liar (Alikodra, 1986). Selain itu management
pengelolaan saat kawasan ini dijadikan sebagai wisata edukasi juga perlu
diperhatikan, agar tidak menjadi pengaruh buruk bagi aktivitas Tarsius. seperti
jumlah peserta night safari yang harusnya tidak terlalu banyak agar tidak
menimbulkan keributan yang akan mengganggu aktivitas Tarsius. selain itu
pengelola harusnya mengadakan SOP Night safari agar keingintahuan
pengungjung sejalan dengan keberlanjutan populasi Tarsius. Pengelolaan yang bisa
dilakukan adalah Co-management yaitu pengelolaan kolaboratif yang dilakukan
bersama dengan masyarakat sekitar kawasan habitat (Asrianny, 2006). Kegiatan
pengelolaan yang kolaboratif pada umumnya memberikan pendapatan total yang
lebih besar kepada masyarakat (Santoso, 2010).
Membuka wisata yang mengedukasi mengenai satwa bukanlah hal yang
mudah, diperlukan banyak pengkajian yang mendalam terkait habitat dan kondisi
populasi satwa tersebut, khususnya Tarsius fuscus. Oleh karena itu diperlukan
penelitian dan pengkajian yang mendalam terkait populasi Tarsius yang ada di
lokasi ini.

48
VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa


pendugaan jumlah populasi Tarsius fuscus di Suaka Margasatwa Ko’mara
diperoleh 6 pohon tidur atau sarang yang memiliki jumlah individu berbeda-beda
pada setiap sarang. Jumlah individu yang ditemukan dalam plot 1000 m X 50 m
adalah 22 individu, dengan kepadatan 3,7 sehingga didapatkan kerapatan 0,74
individu per hektar atau 74 individu jenis Tarsius per km2 . Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa pengamatan yang dilakukan pada subuh hari lebih baik
dibandingkan dengan pengamatan pada malam hari. Bentuk wisata yang sesuai
dengan lokasi penelitian adalah Wisata Edukasi Tarsius fuscus dengan pola
pengelolaan yang kolaboratif dengan masyarakat sekitar habitatnya.

6.2 Saran
Saran yang diberikan pada penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terkait aktivitas harian dan jumlah populasi Tarsius fuscus di Suaka
Margasatwa Ko’mara. Agar data mengenai Tarsius fuscus di lokasi penelitian yang
lebih lengkap sehingga dapat membantu rencana pengelolaan keberlanjutan
populasinya.

49
DAFTAR PUSTAKA

Agnes Ligia Pratisitia Walukow, Lisbeth Mananeke, dan Jantje Sepang. 2014.
Pengaruh Kualitas Produk, Harga, Promosi Dan Lokasi Terhadap Keputusan
Pembelian Konsumen Di Bentenan Center Sonder Minahasa. Jurnal EMBA
2(3):1737-1749.
Alikodra HS. 2002. Pengelolan Satwaliar. Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan. 2019. Laporan Pengumpulan Data Lapangan
Ekf SM. Ko’mara. Direktorat Jenderal KSDAE. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
Bismark, M., 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Keragaman Jenis Pada
Kawasan Konservasi. Bogor: Balitbang Kehutanan.
Budiman, Yoza, Dan Mardhiansyah. 2017. Aktor-Faktor Gangguan Pada Kawasan
Suaka Margasatwa Kerumutan Dan Alternatif Penyelesaian Berdasarkan
Persepsi Masyarakat. Departemen Kehutanan. Fakultas Agrikultur.
Universitas Riau. 4(1).
Dr. Saroyo S, dan dr. Roni K. 2016. Ekologi Hewan. CV, Patra Media Grafindo.
Bandung.
Faruq H. 2017. Struktur Populasi dan Aktivitas Harian Lutung Budeng
(Tracypithecus auratus) di Taman Wisata Alam Situgunung Sukabumi. 2017.
Pendidikan Biologi. Universitas Muhammadiyah. Jakarta Timur. 1(1):19-23.
Gursky, S. (1998). The conservation status of two Sulawesian tarsier species:
Tarsius spectrum and Tarsius dianae. Prim Conserv, 18, 88-91.
Hermansyah L.O. 2011. Kajian Potensi Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Buton
Utara Dan Keterkaitannya Dengan Masyarakat. Program Studi Kajian Ilmu
Lingkungan. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.
Hixon M.A, dan Johnson W.D. 2009. Density Dependence and Independence.
Universitas of Hawai.
Imran SL Tobing. 2008. Teknik Estimasi Ukuran Populasi Suatu Spesies Primata.
VIS VATALIS 1(1):43-52.

50
Krisnatalya, E., Mallombasang, S. N., & Duma, Y. (2020). Karakteristik Habitat
Dan Populasi Tarsius (Tarsius dentatus) Di Resort Ii Baturube Kawasan
Cagar Alam Morowali Kabupaten Morowali Utara. Mitra Sains, 8(1), 43-56.
Lowing, A.E., Rimbing, S.C., Rembet, G.D.G., dan Nangoy, M. 2013. Karakteristik
Sarang Tarsius (Tarsius spectrum) di Cagar Alam Tangkoko Bitung Sulawesi
Utara. Jurnal Zootek. 32 (5): 1-13.
Maknun D. 2017. Ekologi: Populasi, Komunitas, Ekosistem Mewujudkan Kampus
Hijau, Asri, Islami, dan Ilmiah. Nurjati Press. Cirebon.
Mansyur, F. I., Mustari, A. H., & Prasetyo, L. B. (2016). Karakteristik Habitat
Tarsius (Tarsius sp.) Berdasarkan Sarang Tidur di Hutan Lambusango Pulau
Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Media konservasi, 21(2), 135-142.
Mansyur, Fadhilah I., et al. 2016. Karakteristik Habitat Tarsius (Tarsius SP.)
Berdasarkan Sarang Tidur di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi
Sulawesi Tenggara. Media Konservasi, 21(2):135-142.
Maryatul Qiptiyah, Bayu Wisnu Broto, Dan Titiek Setyawati. 2012. Perilaku
Harian Tarsius Dalam Kandang Di Patunuang, Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (The Daily Behaviour Of Tarsius In Captivity In Patunuang
Bantimurung Bulusaraung National Park). Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea 1(2):74-86.
Maryatul Qiptiyah, dan Heru Setiawan. 2012. Kepadatan Populasi Dan
Karakteristik Habitat Tarsius (Tarsius Spectrum Pallas 1779) Di Kawasan
Patunuang, Taman Nasional Bantimurung-BULUSARAUNG, SULAWESI
SELATAN (Population Density And Habitat Characteristics Of Tarsier
(Tarsius Spectrum Pallas 1779) At Patunuang Area, Bantimurung-
Bulusaraung National Park, South Sulawesi). Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam 9(4):363-371.
Matta, F. P. D. Komunitas tarsius sangirensis di Pulau Sangihe Besar, Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara (Bachelor's thesis, Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Mustari, A.H. 2020. Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di
Sulawesi. Bogor: PT Penerbit IPB Press.

51
Mustari, A.H., Fadhilah, I.M. dan Dones, R. 2013. Karakteristik Habitat dan
Populasi Tarsius (Tarsius fuscus Fischer 1804) di Resort Balocci, Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Media Konservasi. 18
(1): 47-53.
Mustari, A.H., Mansyur, F.I. dan Rinaldi, D., 2013. Karakteristik Habitat dan
Populasi Tarsius (Tarsius fuscus Fischer 1804) di Resort Balocci, Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Media
Konservasi, 18(1).
Mustari, A.H., Nur, A.A., dan Agus, P.K.2015. Karakteristik Habitat Preferensial
Tarsius (Tarsius fuscus)di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.Media
Konservasi. 20 (1); 1-8.
Octavianus, R. (2020). Populasi dan Karakteristik Habitat Tarsius (Cephalopachus
bancanus borneanus) di Punggualas, Taman Nasional Sebangau. Jurnal
Jejaring Matematika dan Sains.
Putra, Y.P. 2018. Tinjauan Yuridis Pengelolaan Kawasan Konservasi Suaka
Margasatwa Ko’mara [skripsi]. Fakultas Syariah Dan Hukum, Uin Alauddin
Makassar. Gowa.
Putri, I., Saad, M., & Ansari, F. (2019). Keragaman Vegetasi Tebing Karst yang
Menjadi Habitat Tarsius Makassar (Tarsius fuscus Fischer, 1804) di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Bioma: Jurnal Biologi Makassar, 4(1),
88-98.
Putri, Zola A., et al. 2021. Pendugaan Keanekaragaman Mamalia Menggunakan
Camera Trap di Hutan Desa Senamat Ulu, Lanskap Bujang Raba, Jambi.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 18(1):1-12.
Qiptiyah, M., & Setiawan, H. (2012). Kepadatan Populasi dan Karakteristik Habitat
Tarsius (Tarsius spectrum Pallas 1779) di Kawasan Patunuang, Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam, 9(4), 363-371.
Qiptiyah, Maryatul, et al. 2012. Perilaku Harian Tarsius Dalam Kandang Di
Patunuang, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 1(2):74-86.

52
Rizki, M., & Abiduna, M. (2020). Populasi Dan Karakteristik Mikrohabitat Tarsius
(Tarsius Spectrumgurskyae) Di Twa Batuputih Sulawesi Utara. BIOMA:
JURNAL BIOLOGI MAKASSAR, 5(2), 131-143.
Rizki, Muhammad, and Maryati Abiduna. 2020. Populasi Dan Karakteristik
Mikrohabitat Tarsius (Tarsius Spectrumgurskyae) Di Twa Batuputih
Sulawesi Utara. Bioma, 5(2):131-143.
Rizki. M., Maryati, A. 2020. Populasi dan Karakteristik Mikro Habitat Tarsius
(Tarsius spectrumgurskyae) Di TWA Batu Putih Sulawesi Utara. BIOMA:
Jurnal Biologi Makassar, 5(2): 131-143.
Rosyid, A. (2019). Pendugaan parameter demografi dan preferensi habitat tangkasi
(Tarsius lariang) di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural
Resources and Environmental Management), 9(1), 144-151.
Rosyid, A. (2019). Pendugaan parameter demografi dan preferensi habitat tangkasi
(Tarsius lariang) di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural
Resources and Environmental Management), 9(1), 144-151.
Ruskhanidar, Ruskhanidar, et al. 2020. Analisis Populasi Kedih (Presbytis
Thomasi) Di Cagar Alam Pinus Jantho Aceh Besar Provinsi Aceh. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 17(2):207-220.
Ruslan renggong, Hukum Pidana Lingkungan, jakarta, Prenamedia Group, 2008,
hlm. 159.
Sandego, J.Y., Ningsih, S. and Ihsan, M., 2014. Karakteristik biofisik habitat
Tarsius (Tarsius pumilus) di Gunung Rorekatimbu kawasan Taman Nasional
Lore Lindu Sulawesi Tengah. Warta Rimba, 2(1):9-16.
Sandy, J.I., Saroyo, S. and Wahyudi, L., 2019. Densitas Tangkasi (Tarsius
Spectrum) Di Kawasan Hutan Kota Desa Kuwil Kabupaten Minahasa
Utara. Pharmacon, 8(3):740-747.
Santosa, Y., & Paturohman, G. G. (2009). Pendugaan model pertumbuhan dan
bentuk sebaran spasial populasi banteng (Bos sondaicus d'alton) di Taman
Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 14(3),
194-201.

53
Santoso, R. S. (2010). Studi Populasi Dan Perilaku Tarsius (Tarsius Spectrum) Dan
Pengembangannya Sebagai Obyek Atraksi Safari Malam Di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. Media Konservasi, 15(3).
Santoso, R.S., 2010. Studi Populasi Dan Perilaku Tarsius (Tarsius Spectrum) Dan
Pengembangannya Sebagai Obyek Atraksi Safari Malam Di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. Media Konservasi, 15(3):126-
130.
Shekelle, M., & Salim, A. 2008. Tarsius tarsier. The IUCN Red List of Threatened
Species 2008. In The IUCN Red List of Threatened Species.
Simatupang, A. R., Rasyad, A., & Siregar, S. H. 2020. Strategi Pengelolaan
Kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja Berdasarkan Perubahan Tutupan
Lahan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 14(2):103-113.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D). Edisi 8. Penerbit Alfabeta, Bandung.
Syahrullah, F. N., Maddus, U., Mustari, A. H., Gursky, S., & Indrawan, M. (2023).
Distribution and abundance of Peleng Tarsier (Tarsius pelengensis) in
Banggai Island group, Indonesia. Scientific Reports, 13(1), 11445.
Wirdateti. 2005. Pakan Alami dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) dan
Tarsius (Tarsius bancanus) Di Kawasan Hutan Pasir Panjang Kalimantan
Tengah. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Cibinong. 3(9):360-
370.

54
LAMPIRAN

55
Lampiran 1. Dokumentasi Tarsius fuscus

Pohon Tidur 1

56
Pohon Tidur 2

57
Pohon Tidur 3

58
Pohon Tidur 4

59
Pohon Tidur 5

60
Pohon Tidur 6

61
Tarsius Dewasa

62
Tarsius Dewasa

63
Tampak Belakang

64
Tempat Camp

65
Lampiran 2. Data Penelitian
Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3
Sarang Sore Subuh Sore Subuh Sore Subuh Jumlah
S T S T S T S T S T S T
Bambu 0 0 3 3 0 1 4 3 2 0 4 4 4
Bambu 0 0 2 0 0 3 2 1 0 0 2 2 3
Bambu 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Bambu 3 0 5 1 0 0 6 6 0 0 7 6 7
Bambu 2 0 0 0 0 0 4 4 0 0 2 2 4
Picus 2 0 0 2 0 0 2 1 0 0 2 2 2

Tabel hasil pengamatan

66

Anda mungkin juga menyukai