Anda di halaman 1dari 123

PENGGUNAAN KEKERASAN VERBAL BAHASA INDONESIA

TOKOH KALE TERHADAP TOKOH DINDA

DALAM FILM STORY OF KALE (WHEN SOMEONE’S IN LOVE)

KARYA ANGGA DWIMAS SASONGKO: PENDEKATAN PSIKOLINGUISTIK

OLEH

AGNES PARAMITHA GOSALI

F011181327

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian akhir guna memeroleh
gelar Sarjana Sastra di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO
“When given the choice between being right or being kind, choose kind.”
—R. J. Palacio

PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada papa, mama, saudara-saudara, teman-teman
saya, dan diri saya sendiri, serta seluruh korban kekerasan verbal yang masih
berjuang untuk memulihkan diri.
Terima kasih telah bertahan dan berusaha menjadi lebih baik terlepas dari
pengalaman buruk yang telah dilalui. Terima kasih pula karena kalian telah
menginspirasi saya untuk menulis skripsi ini.

ii
H AI,AMAN PSF;S] &tr]\,lAAI$
'tl
€.ili 81,, Ei}*.'str?3$ Fe A SAF; t? r3 f,
=ij
F AKLi I-T A.E" { T,E.f L] [EE*I&A1'',4

1!,id; itltlt ittt \cl:r.* -l Iiiii rll'rl lr.i:-ijli,t i..-;rulr 5i.:rg:.i ]'tj#ildrrr]l:l ri*:t*..,n

fuaik skrigrsi },a*g bel-iuilul: F*zgguxg,** Ke*w*smr F?r*r*I B&&#srr ,firrJr-:rrssier

T*k*h Kaleterhcderp Tskoh friruda *f Kele tWhen Somsl:ne's

ix Love) Xarya ,Angga ilwim*s Psik*{iwgars'** yar:r g

eliajukan r{;rlan: rang}ia rne*r*nuhi riiian akhir grrna mefter*iei:

gtlar Sarj**a il*:ru l*r-rdaya

1. Pr*t. Ilr. F{.

2"

3. Dr" I{.

'\-
4. Dr. Hj. Murrira
II

5. Fr*f" Ilr. i{" ft{uhag:nrari }ar-wis, hri.S. u-Q-l/


6. Tlrol. tr]i"" E:ij. Nurlrayati" tuLl{um. Pcmbim}ing II

IV
LEMBAR PERSETUJUAN

v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang berlanda tangarr di Lrawah ini:

Nama : z\gnes Paramitha Gosali

NIM : F011181327

Junrsan : Sastra trndonesia

Fakulras : Ilrnu Buday,g

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul "Penggunaan

Kekerasan Verbal Bahasa Indanesia oleh Tokoh Kale terhadap Tokoh Dinda

dalfim Ftlm Story af Kale (When Sorneone's in Love) Kurya Angga Dwimqs

Sasongko: Pendekatsn Psikolinguistiku benar-benar karya penulis sendiri.

Sepanjang pengetahuan penulis, tidak terdapat karya lain yang sama dengan judul

ini kecuali sebagai acuan atau kutipan yang telah dilakukan dengan mengikuti tata

penulisan karya ilmiah yang lazirn. Apabila di kemudian hari ditemukan karya

yang serupa, mirip, atau terbukti melakukan plagiarisme, penulis siap diberikan

sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Makassar,7 Juh2023

Yang menyatakan,
1\ ! !A\a ! \ al t1 \'r

WTil

1Afis1

AGNES PARAMITIIA GOSALI

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas segala

karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Penggunaan Kekerasan Verbal Bahasa Indonesia oleh Tokoh Kale terhadap

Tokoh Dinda dalam Film Story of Kale (When Someone’s in Love) Karya Angga

Dwimas Sasongko: Pendekatan Psikolinguistik” sebagai syarat untuk

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin.

Skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari bantuan,

dukungan, dan bimbingan berbagai pihak selama ini. Pada kesempatan ini, penulis

ingin berterima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

2. Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S., selaku dosen pembimbing skripsi

sekaligus pembimbing akademik atas segala bimbingan, arahan, saran, dan

yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik;

3. Prof. Dr. Hj. Nurhayati, M.Hum., selaku dosen pembimbing atas segala

bimbingan, arahan, saran, dan yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi

ini dapat diselesaikan dengan baik;

4. Dr. H. Ikhwan M. Said, M.Hum., selaku dosen penguji atas bimbingan,

arahan, kritik, dan saran yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini;

5. Dr. Hj. Munira Hasyim, S.S., M.Hum., selaku dosen penguji atas bimbingan,

arahan, kritik, dan saran yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini;

vii
viii

6. Prof. Dr. H. Lukman, M.S., selaku ketua panitia ujian atas saran dan masukan

yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini;

7. Ibu Rismayanti, S.S., M.Hum., selaku sekretaris ujian atas saran dan masukan

yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini;

8. Ibu Sumartina, S.E., atas segala bimbingan, arahan, dan bantuan dari awal

perkuliahan hingga selesai;

9. seluruh staf dan pengajar Departemen Sastra Indonesia dan Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin yang telah mendukung kelancaran kuliah

penulis selama ini;

10. kedua orang tua penulis, Haing Gosali dan Selvia Mokuna, yang selalu

memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan penghiburan selama empat

tahun masa kuliah dan selama penyusunan skripsi ini;

11. saudara-saudara penulis, Grecilia Padmadewi Gosali, Richard Sidharta

Gosali, Angelyn Virya Gosali, dan Clarissa Giriraksita Gosali, yang

memberikan hiburan selama proses pengerjaan skripsi ini;

12. hewan peliharaan anjing penulis, Cory Amerika Gosali, yang selalu

menemani dan menghibur penulis;

13. Clarissa Mulialim sebagai support system utama, guru terbaik, dan sahabat

yang selalu setia menemani;

14. Yuri Ono yang selalu menolong dan memberikan bantuan terlepas dari

perbedaan pengetahuan, latar belakang studi, dan regulasi universitas;

15. Sonia Editha Muhaji, Gabrielle Felicia Borel, Clarissa Mulialim, Yuri Ono,

Meike Sriwijaya, Maria Jessica Limoal, dan Cenivia Ciuandi sebagai anggota

grup Potato yang menyediakan hiburan, dukungan, serta doa selama proses
ix

pengerjaan skripsi ini. Terima kasih karena selalu ada untuk penulis di saat

susah maupun senang;

16. Nur Indah Sari Rusmayani dan Dwi Syavira Dianty, S.S. yang tidak hanya

memberikan dukungan moral, tetapi juga dukungan finansial;

17. Nabila Cahyani, Rachmatul Maghfiroti Sabila, Puti Nazdira Amanda, dan

Annisa Aulya Putri sebagai anggota grup Brig10 atas kata-kata motivasi dan

pengalaman traveling yang selalu menginspirasi penulis untuk menjadi dan

melakukan yang terbaik;

18. Deni Ferdiansa, S.S. atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan mulai

dari penyusunan proposal hingga penyusunan skripsi;

19. Resky Amalia, Nur Indah Sari Rusmayani, Nathasya Salsabilah T, Deni

Ferdiansa, dan Amriyadi Anwar sebagai rekan pengajar Bahasa Indonesia

yang menjadi tempat penulis berkonsultasi perihal materi dan teori

kebahasaan dalam skripsi ini;

20. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik yang tanpa sadar

maupun dengan sadar membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Kendati telah disusun secara maksimal, penulis sebagai manusia biasa

menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari pembaca sekalian untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga karya ilmiah ini dapat

memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi pembaca sekalian.

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................... i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PENERIMAAN .............................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
ABSTRAK ........................................................................................................... xii
ABSTRACT ......................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................ 12
1.3 Batasan Masalah ..................................................................................... 12
1.4 Rumusan Masalah ................................................................................... 12
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................................... 13
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................. 13
1.6.1 Manfaat Teoretis ............................................................................. 13
1.6.2 Manfaat Praktis ............................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 15
2.1 Landasan Teori........................................................................................ 15
2.1.1 Psikolinguistik ................................................................................. 15
2.1.2 Kekerasan Psikologis ...................................................................... 28
2.1.3 Kekerasan Verbal ............................................................................ 31
2.1.4 Bentuk-bentuk Bahasa .................................................................... 53
2.2 Hasil Penelitian Relevan ......................................................................... 67
2.3 Kerangka Pikir ........................................................................................ 70
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 72
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................................. 72
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 73
3.2.1 Tempat Penelitian............................................................................ 73

x
xi

3.2.2 Waktu Penelitian ............................................................................. 73


3.3 Sumber Data............................................................................................ 73
3.4 Populasi dan Sampel ............................................................................... 73
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................................. 74
3.6 Metode Analisis Data .............................................................................. 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 76
4.1 Jenis-jenis Kekerasan Verbal Kale dalam Film Story of Kale (When
Someone’s in Love) ................................................................................. 76
4.1.1 Kekerasan Verbal Mengkritik (Criticizing) .................................... 78
4.1.2 Kekerasan Verbal Menuduh (Accusing) ......................................... 84
4.1.3 Kekerasan Verbal Menyalahkan (Blaming) .................................... 88
4.1.4 Kekerasan Verbal Melabeli (Name-calling) ................................... 89
4.2 Bentuk Bahasa Kekerasan Verbal dalam Film Story of Kale (When
Someone’s in Love) ................................................................................. 91
4.2.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata .................................................. 92
4.2.2 Kekerasan Verbal Berbentuk Kalimat .......................................... 102
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 106
5.1 Simpulan ............................................................................................... 106
5.2 Saran ..................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 108
ABSTRAK

AGNES PARAMITHA GOSALI, Penggunaan Kekerasan Verbal Bahasa


Indonesia oleh Tokoh Kale terhadap Tokoh Dinda dalam Film Story of Kale
(When Someone’s in Love) Karya Angga Dwimas Sasongko: Pendekatan
Psikolinguistik (dibimbing oleh Muhammad Darwis dan Nurhayati).

Hubungan pacaran dapat berisi kekerasan, salah satunya adalah kekerasan


verbal. Kekerasan verbal dalam hubungan pacaran diadaptasi ke dalam karya
sastra, seperti novel, drama, dan film. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
jenis-jenis dan bentuk bahasa kekerasan verbal tokoh Kale dalam film Story of
Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko. Penelitian ini
berlandaskan pada teori psikolinguistik. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif yang menggunakan metode simak dan teknik catat dalam
melakukan pengumpulan data. Sampel diambil dengan teknik penyampelan total.
Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat jenis kekerasan verbal
tokoh Kale. Berdasarkan dominasinya, keempat jenis kekerasan verbal tersebut
secara berturut-turut ialah kekerasan verbal mengkritik, menuduh, menyalahkan,
dan melabeli. Keempat kekerasan verbal tersebut diekspresikan menggunakan
bentuk bahasa kata dan kalimat.

Kata kunci: psikolinguistik, kekerasan verbal, bentuk bahasa, film Story of Kale

xii
ABSTRACT

AGNES PARAMITHA GOSALI, The Use of Indonesian Verbal Abuse by


Kale's Character Against Dinda's Character in Story of Kale (When Someone's in
Love) Film by Angga Dwimas Sasongko: A Psycholinguistic Approach (guided by
Muhammad Darwis and Nurhayati).

Dating relationships can contain violence, one of which is verbal violence.


Verbal violence in dating relationships is adapted into literary works, such as
novels, dramas, and films. This study aims to identify the types and forms of
verbal violence in the character Kale in the film Story of Kale (When Someone's
in Love) by Angga Dwimas Sasongko. This research based on psycholinguistic
theory. This research is qualitative descriptive research using observation
methods and note-taking techniques in collecting data. The samples were selected
using total sampling. Data analyzed using descriptive analysis method.
The study results show four types of verbal abuse by Kale in the film Story
of Kale (When Someone's in Love) by Angga Dwimas Sasongko. According to the
dominance, the four types of verbal abuse successively are criticizing, accusing,
blaming, and labeling. Those verbal abuses were expressed in the form of words
and sentences.

Keywords: psycholinguistics, verbal abuse, language forms, Story of Kale movie

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang secara naluri memiliki kebutuhan

untuk berelasi. Kebutuhan ini secara alami ada dalam diri manusia bahkan

sebelum manusia lahir ke dunia. Secara naluri, manusia ingin memiliki hubungan

yang baik, sebuah hubungan mutualisme yang melengkapi dan menyokong satu

sama lain. Dukungan ini dibutuhkan dan menjadi alasan manusia dapat bertahan

hidup selama berabad-abad lamanya. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak

semua hubungan memiliki sifat yang baik atau positif. Ada pula hubungan yang

malah bersifat merusak, tidak mendukung, tetapi menjatuhkan.

Hubungan yang buruk bisa ditemukan di mana saja, baik itu dalam

hubungan pertemanan, orang tua, maupun pasangan pacaran/pernikahan. Ciri khas

hubungan ini ialah salah satu pihak dirugikan atau merasa dirugikan, sedangkan

pihak lain diuntungkan. Misalnya, dalam hubungan pertemanan A dan B, A selalu

mengkritik rambut B yang keriting atau sering kali memaksa B untuk mentraktir

dirinya. Apabila dilakukan tanpa maksud tertentu (tidak sengaja, tidak sadar, atau

bercanda) dan tidak sering, hubungan tersebut belum termasuk hubungan yang

buruk. Bisa saja itu hanyalah kekurangan atau kesalahan manusiawi, mengingat

memang tidak ada manusia yang sempurna. Namun, apabila perilaku tersebut

dilakukan secara terus menerus dengan maksud tertentu (untuk merugikan dan

menyakiti orang lain), hubungan tersebut dapat dikatakan sebagai hubungan

toksik atau hubungan abusive.

1
2

Hubungan abusive merupakan hubungan yang berisi kekerasan di dalamnya.

Hubungan abusive atau hubungan toksik (toxic relationship) merupakan istilah

yang digunakan untuk menyebut hubungan personal yang berisi kekerasan.

Macam-macam kekerasan yang biasa terdapat dalam hubungan abusive ialah

kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan

kekerasan ekonomi (Mayorita, 2021). Penelitian ini secara khusus akan

membahas kekerasan dalam hubungan personal pacaran.

Komnas Perempuan (2021) mengidentifikasi kekerasan-kekerasan yang

terjadi di ranah personal (seperti hubungan pacaran), di antaranya ialah kekerasan

psikis sebanyak 40% (1.079 kasus), kekerasan seksual 26% (689 kasus), fisik 22%

(576 kasus) dan ekonomi 12% (312 kasus). Angka-angka tersebut

memperlihatkan bahwa kekerasan psikis memiliki jumlah kasus yang secara

signifikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan bentuk kekerasan lain.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Pasal 5, kekerasan psikis adalah perbuatan

yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat

pada seseorang. Kekerasan psikis yang sulit dibuktikan menjadi alasan tingginya

jumlah kasus kekerasan psikis dalam hubungan personal (Setiawan, 2017).

Salah satu bentuk kekerasan psikis diwujudkan menggunakan bahasa.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang menjadi media utama manusia dalam

membangun suatu hubungan. Bahasa digunakan untuk mengekspresikan diri dan

perasaan, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, serta

sebagai alat untuk mengungkapkan pandangan dan sikap terhadap suatu hal
3

(Saputra, 2020). Akan tetapi, dalam hubungan yang berisi kekerasan, bahasa

tersebut digunakan untuk menyakiti, misalnya dengan menggunakan kata-kata

kasar, mengejek, mempermalukan, dan sebagainya (Daryanti & Marlina, 2021).

Kekerasan yang menggunakan bahasa disebut dengan kekerasan verbal.

Dalam penelitian ini dibahas hubungan pacaran yang dilandasi kekerasan

verbal dengan berfokus pada pelaku kekerasan verbal. Sejak tahun 2020 atau

sejak awal pandemi covid-19, berita mengenai hubungan pacaran yang dilandasi

oleh kekerasan verbal mulai banyak dibicarakan di media sosial. Sayangnya,

berita-berita mengenai kekerasan verbal dan sosialisasinya masih berfokus pada

korban, misalnya alasan korban sulit untuk keluar dari hubungan, alasan korban

mau bertahan dengan pelaku, dan bagaimana dampak kekerasan tersebut terhadap

korban. Pembahasan yang berfokus pada korban tersebut tidak menyediakan jalan

keluar atau langkah pencegahan bagi para korban atau pihak-pihak yang rentan

menjadi korban. Pembahasan tersebut juga tanpa sengaja menyamarkan pelaku

dan kejahatan yang dilakukannya.

Pembahasan kekerasan verbal yang berfokus pada pelaku dilakukan untuk

mengetahui alasan pelaku melakukan kekerasan tersebut. Mengetahui motif dan

isi pikiran pelaku memudahkan penentuan langkah pencegahan terjadinya

kekerasan verbal. Solusi yang tepat untuk suatu masalah didapat dari akar masalah

itu sendiri. Menemukan akar masalah kekerasan verbal dan melakukan

penanganan yang tepat dapat membantu mengurangi frekuensi terjadinya

kekerasan verbal.
4

Data ujaran kekerasan verbal akan diambil dari karya sastra film. Karya

sastra film diambil sebagai objek penelitian karena beberapa faktor: yang pertama,

data ujaran kekerasan verbal sulit untuk dikumpulkan secara langsung karena

kekerasan tersebut umumnya hanya terjadi di ruang privat. Pelaku cenderung

menjaga sikap dan kata ketika berada di hadapan orang banyak terutama orang

asing. Ujaran pelaku hanya bisa direkam oleh korban, tetapi tindakan tersebut,

terutama jika ketahuan, akan menempatkan korban dalam posisi bahaya. Kedua,

dibandingkan dengan jenis karya sastra lain seperti prosa dan puisi, karya sastra

film dinilai paling mendekati gambaran kehidupan nyata. Film menampilkan

ekspresi wajah, bahasa tubuh, nada dan intonasi, suasana, serta latar tempat dan

waktu terjadinya kekerasan verbal sama seperti yang bisa kita lihat di kehidupan

nyata.

Film yang diambil sebagai objek penelitian ini adalah film Story of Kale

(When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko yang ditayangkan

perdana tahun 2020 di Netflix. Film ini merupakan film berbahasa Indonesia

meskipun judulnya berbahasa Inggris. Judul film yang berbahasa Inggris berkaitan

dengan penggambaran kehidupan para tokoh yang kebarat-baratan, misalnya

dalam hal gaya berpacaran dan tanggapan para tokoh terhadap suatu hal. Para

tokoh pembantu digambarkan tidak mempermasalahkan perihal pria dan wanita

dalam satu ruangan yang sama dalam keadaan terkunci. Hal itu terlarang dalam

budaya Indonesia yang kental dengan nilai keagamaan. Dari sudut pandang

agama, hal tersebut dilarang karena dapat berujung pada dosa zina. Kedua tokoh

utama juga diceritakan tinggal di rumah yang sama padahal belum menikah. Hal
5

itu umum dilakukan di budaya barat, tetapi di Indonesia perbuatan tersebut

melanggar hukum negara.

Secara singkat, film Story of Kale (When Someone’s in Love) menceritakan

hubungan personal antara tokoh Kale dan tokoh Dinda yang berisi kekerasan.

Kisah cinta keduanya berawal dari Kale yang membantu Dinda mengakhiri

hubungan dengan mantannya, Argo, yang merupakan pelaku kekerasan domestik.

Awalnya hubungan keduanya berjalan dengan baik. Akan tetapi, seiring

berjalannya waktu, timbul banyak perdebatan di antara keduanya. Perdebatan-

perdebatan tersebut berisi kekerasan verbal yang semakin lama semakin intens

dan eksplisit. Di akhir cerita, Dinda akhirnya mengakhiri hubungan dengan Kale.

Film Story of Kale (When Someone’s in Love) dipilih karena isi ceritanya

yang berfokus pada kekerasan verbal antara tokoh Kale dan tokoh Dinda dalam

hubungan pacaran. Dengan mengadopsi gaya hidup budaya barat, film ini tidak

membahas agama, budaya, moral, nilai, dan norma masyarakat lokal dalam

hubungannya dengan kekerasan verbal yang terjadi dalam hubungan pacaran.

Misalnya, dalam film ini budaya patriarki atau penyalahgunaan ajaran agama

tidak dianggap sebagai penyebab kekerasan verbal.

Film Story of Kale (When Someone’s in Love) menjelaskan bahwa

kekerasan verbal yang dilakukan oleh tokoh Kale berkaitan dengan masa lalu dan

sejarah psikologis tokoh Kale, yakni pengalaman dan luka batin tokoh Kale

sewaktu kecil. Pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang sama yang

digunakan oleh budaya barat dalam menjelaskan fenomena kekerasan dalam suatu

hubungan (Kolk, 2014). Latar belakang tokoh Kale tersebut menunjukkan adanya
6

hubungan antara kondisi psikologis (trauma masa kecil) dan bahasa (kekerasan

verbal) yang digunakan. Karena adanya hubungan antara psikologi dan bahasa,

objek penelitian ini akan dikaji menggunakan perspektif psikolinguistik.

Psikolinguistik merupakan gabungan dari dua ilmu, yaitu ilmu psikologi dan

ilmu linguistik. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia,

sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Ilmu psikolinguistik

mempelajari hubungan antara bahasa, perilaku, dan akal budi manusia. Uraian

mengenai integrasi dua ilmu ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam kajian pustaka.

Analisis data menggunakan perspektif psikolinguistik dapat menjelaskan bentuk-

bentuk bahasa yang digunakan pelaku ketika melakukan kekerasan verbal, alasan

bentuk-bentuk bahasa tersebut digunakan, serta motif pelaku melakukan

kekerasan verbal. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, penelitian ini

akan mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan verbal yang dilakukan oleh tokoh

Kale (pelaku) serta menganalisis bentuk-bentuk bahasa yang menjadi penanda

kekerasan verbal.

Referensi utama mengenai kekerasan verbal dan jenis-jenisnya diambil dari

buku Patricia Evans (2006, 2010). Evans merupakan penulis buku yang telah

mengamati, meneliti, dan menulis beberapa buku tentang kekerasan verbal selama

lebih dari 20 tahun. Di dalam buku-buku tersebut, Evans menguraikan contoh-

contoh kekerasan verbal, karakteristik kekerasan verbal, alasan atau faktor

terjadinya kekerasan verbal, motif pelaku melakukan kekerasan verbal, bentuk-

bentuk bahasa yang menjadi penanda kekerasan verbal, dan dampak kekerasan
7

verbal terhadap korban. Bahasan mengenai hal tersebut akan dielaborasi lebih

lanjut di bagian kajian pustaka.

Evans (2010:75) membagi kekerasan verbal menjadi 15 jenis, yaitu

menahan, melawan, mengabaikan, gurauan yang menghina, memblok dan

mengalihkan, menuduh dan menyalahkan, menilai dan mengkritik, merendahkan,

merongrong, mengancam, melabeli, melupakan, memerintah, menyangkal, dan

marah yang mengandung kekerasan. Jenis-jenis kekerasan verbal tokoh Kale yang

ditemukan dalam film di antaranya adalah kekerasan verbal mengkritik, menuduh,

menyalahkan, dan melabeli. Keempat jenis kekerasan verbal tersebut

diekspresikan dalam bentuk bahasa, seperti kata (tidak, jangan, gila, anjing) atau

kalimat (kalimat interogatif, kalimat imperatif, atau kalimat yang diawali dengan

kamu yang (dalam bahasa Indonesia, kalimat yang diawali dengan dua kata

tersebut digunakan untuk menyalahkan, misalnya, “Bukan aku yang bodoh, kamu

yang tidak tahu menjelaskan!”)). Evans juga menyatakan bahwa pada hakikatnya

kekerasan verbal dilakukan oleh pelaku untuk mengontrol dan mengendalikan

perilaku dan tindakan pasangan.

Di bawah ini akan dijelaskan dua contoh kekerasan verbal yang dilakukan

tokoh Kale, yaitu kekerasan verbal mengkritik dan menyalahkan. Namun, secara

singkat akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai penggunaan istilah untuk

mereferensikan tokoh-tokoh film dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, tokoh

Kale sebagai pelaku kekerasan verbal akan disebut sebagai “pelaku” atau “Kale”,

sedangkan tokoh Dinda sebagai korban kekerasan verbal akan disebut sebagai
8

“pasangan” atau “Dinda”. Pemilihan istilah ini bertujuan agar seluruh pembahasan

berfokus pada pelaku.

Contoh kekerasan verbal Kale yang pertama adalah kekerasan verbal jenis

mengkritik. Kekerasan verbal mengkritik merupakan ujaran yang berisi penilaian

tentang pasangan. Jenis kekerasan verbal mengkritik dapat disampaikan dengan

kritis atau penuh simpatik (dalam bentuk nasihat). Pada contoh (1), kekerasan

verbal terjadi ketika Kale dan Dinda sedang berada di studio rekaman. Pada saat

itu, Dinda hendak pergi ke ulang tahun temannya, Nina. Kale keberatan dengan

keputusan tersebut karena Nina adalah adik Argo, mantan Dinda.

Contoh (1)

(26:25-26:30)
Kale : (1) Din, aku masih enggak yakin loh itu keputusan yang tepat loh
buat kamu. Ada Argo di sana. Dan lagian kita kan malam ini sudah
janji mau bikin proyek bareng, mau selesaiin lagu.
Dinda : Terus gimana?
Contoh (1) Aku masih enggak yakin loh itu keputusan yang tepat loh buat

kamu diujarkan oleh Kale untuk melarang Dinda pergi ke ulang tahun Nina.

Larangan tersebut disampaikan secara implisit melalui kritikan yang ditandai

dengan kata enggak (enggak yakin loh itu keputusan yang tepat). Kritikan tersebut

membuat Dinda ragu dan tidak percaya diri dengan keputusannya sehingga Dinda

mengikuti keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina. Hal itu

membuktikan bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara psikologis, yaitu

yang awalnya Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi tidak pergi ke ulang

tahun Nina. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat membatasi

kebebasan pasangan dengan cara mendominasi pengambilan keputusan.


9

Contoh kekerasan verbal Kale yang kedua adalah kekerasan verbal jenis

menyalahkan. Kekerasan verbal menyalahkan merupakan ujaran yang

menyalahkan pasangan atas perbuatan, sikap, atau kemalangan pelaku, dengan

tujuan agar seluruh tanggung jawab menjadi bagian pasangan. Hal itu dilakukan

pelaku agar pelaku menjadi pihak yang tak bersalah dalam hubungan. Pada contoh

(2), kekerasan verbal terjadi ketika Kale mendapat Dinda bertemu dengan Argo,

mantannya, di kamar hotel. Sebelum kutipan di bawah, Kale menuduh Dinda

berselingkuh, bahkan curiga Dinda melakukan hubungan seksual dengan Argo.

Padahal, Dinda telah menjawab dengan jujur dan menjelaskan baik-baik bahwa ia

dan Argo tidak melakukan apa-apa selain berpamitan.

Contoh (2)

(01:04:31-01:04:38)
Dinda : Kok kamu kek gini sih? Cemburuan, curigaan. Kayaknya hubungan
yang baik yang kamu omongin enggak kayak gitu deh.
Kale : (2) Kamu yang enggak bisa dipercaya!

Contoh (2) Kamu yang enggak bisa dipercaya diujarkan oleh Kale untuk

menyalahkan Dinda. Ujaran menyalahkan tersebut ditandai dengan frasa kamu

yang (kamu yang enggak bisa dipercaya). Ujaran menyalahkan tersebut

menjadikan Dinda pihak yang merusak hubungan keduanya, bukan Kale. Menurut

Kale, apa yang ia lakukan (cemburu dan curiga) merupakan akibat dari sifat Dinda

sendiri yang tidak bisa dipercaya. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena

bersifat merusak kepercayaan diri pasangan dengan cara membuat pasangan

merasa bertanggung jawab atas hal yang dilakukan oleh pelaku.

Bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam kedua contoh kekerasan

verbal Kale di atas ialah bentuk bahasa kata dan kalimat. Yang pertama bentuk
10

bahasa kata, yaitu kata enggak atau tidak. Kata tidak merupakan kekerasan verbal

yang berbentuk kata dasar dengan kelas kata adverbia. Dalam KBBI, kata tidak

memiliki makna “partikel untuk menyatakan pengingkaran, penolakan,

penyangkalan”. Pada contoh (1), Kale menggunakan kata enggak untuk

menunjukkan penolakan terhadap keputusan Dinda. Kata enggak atau tidak

menyatakan bahwa pasangan adalah pihak yang salah atau tidak benar.

Penggunaan kata tersebut menutup kemungkinan komunikasi dan diskusi yang

sehat. Kata enggak yang digunakan dalam komunikasi juga menunjukkan bahwa

pelaku tidak menghargai pendapat atau pernyataan pasangan. Kata enggak

termasuk penanda kekerasan verbal karena kata enggak digunakan untuk

mengontrol pasangan secara subtil, yakni dengan membuat pasangan kebingungan

dan kehilangan percaya diri.

Bentuk bahasa yang kedua adalah bentuk bahasa kalimat, yaitu kalimat

Kamu yang enggak bisa dipercaya!. Kalimat Kamu yang enggak bisa dipercaya!

merupakan kekerasan verbal yang berbentuk kalimat imperatif. Dalam bahasa

Indonesia, kalimat yang diawali dengan kamu yang diujarkan petutur untuk

membalikkan pernyataan, pendapat, atau kata-kata penutur kembali pada penutur.

Misalnya, ketika A berterima kasih pada B karena telah memberikannya

pekerjaan, B mengatakan, “Kamu yang berusaha sendiri, tidak pernah menyerah

mengasah diri”. Pada konteks yang negatif, kalimat dengan formula ini bertujuan

menyalahkan dan melempar tanggung jawab kepada pasangan. Pada contoh (2),

Kale menggunakan kalimat Kamu yang enggak bisa dipercaya! untuk

menyalahkan Dinda atas sikap dan sifat Kale yang negatif.


11

Berdasarkan kedua contoh di atas, dapat dilihat bagaimana kekerasan verbal

bentuk kata dan kalimat digunakan pelaku untuk mengontrol perilaku dan

tindakan pasangan. Pada contoh (1), pelaku mengkritik keputusan pasangan agar

pasangan mengikuti keinginannya untuk tinggal di studio. Di sisi lain, pada

contoh (2), pelaku menyalahkan pasangan agar pasangan tidak melihat pelaku

sebagai pihak yang salah (atau melakukan kesalahan). Kedua contoh ini

mengindikasikan pasangan selalu melakukan atau mengatakan hal yang salah.

Pada contoh (1), pasangan salah mengambil keputusan, sedangkan pada contoh

(2), pasangan salah memberikan pernyataan. Tindakan seperti ini apabila

dilakukan terus-menerus akan menurunkan rasa percaya diri pasangan dan

pasangan akan “kehilangan” hak suaranya secara sukarela. Di saat yang sama,

pelaku akan lebih mudah mengendalikan pasangan sesuai dengan keinginannya.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan verbal yang

dilakukan oleh Kale terhadap Dinda, serta bentuk-bentuk bahasa yang digunakan

dalam mengekspresikan kekerasan verbal tersebut. Melalui penelitian ini,

kesadaran masyarakat terhadap fenomena kekerasan verbal diharapkan

meningkat. Bahasan kekerasan verbal yang berfokus pada pelaku juga diharapkan

dapat memberikan wawasan mengenai cara penanganan dan pencegahan

kekerasan verbal yang tepat. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi

motivasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang hendak melakukan penelitian

serupa untuk mengembangkan penelitian ini lebih lanjut.


12

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian tentang objek penelitian pada latar belakang masalah,

ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut.

1. Terdapat hubungan personal (pacaran) yang berisi kekerasan.

2. Bentuk kekerasan dalam hubungan pacaran dalam film ialah kekerasan

verbal yang dilakukan oleh tokoh Kale.

3. Kekerasan verbal yang dilakukan oleh tokoh Kale dalam film

diekspresikan menggunakan unsur-unsur bahasa.

1.3 Batasan Masalah

Pembatasan ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian

diperlukan sebab tidak semua permasalahan yang terdapat dalam objek yang

diteliti dapat dijangkau. Batasan masalah juga memperjelas arah penelitian dan

memudahkan penjabaran uraian masalah yang akan dibahas. Berdasarkan

identifikasi masalah yang dipaparkan, masalah akan dibatasi pada:

1. Jenis-jenis kekerasan verbal dalam film yang dilakukan oleh tokoh Kale

terhadap tokoh Dinda.

2. Kekerasan verbal yang dilakukan oleh tokoh Kale dalam film

diekspresikan menggunakan bentuk-bentuk bahasa.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dalam film Story of Kale

(When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko, akan diangkat

rumusan masalah sebagai berikut.


13

1. Apa saja jenis-jenis kekerasan verbal tokoh Kale terhadap tokoh Dinda

yang diidentifikasi dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love)

karya Angga Dwimas Sasongko?

2. Bagaimana bentuk-bentuk bahasa kekerasan verbal dalam film Story of

Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang diangkat

ialah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan verbal yang dilakukan tokoh

Kale terhadap tokoh Dinda dalam film Story of Kale (When Someone’s

in Love) karya Angga Dwimas Sasongko.

2. Menjelaskan bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam

mengekspresikan kekerasan verbal.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis.

1.6.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis adalah manfaat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan

serta lembaga dan institusi pengetahuan. Adapun manfaat teoretis penelitian ini

ialah sebagai berikut.

1. Bagi ilmu psikolinguistik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

instrumen untuk melihat fenomena psikologi yang terwujud dalam


14

bentuk bahasa, dalam hal ini fenomena psikologi dalam kekerasan

verbal.

2. Bagi lembaga hukum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan

untuk mengidentifikasi kekerasan verbal.

3. Bagi institusi kebahasaan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

rujukan dalam melakukan penelitian sejenis.

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis adalah manfaat yang diperoleh oleh masyarakat yang dapat

diterapkan secara praktis. Adapun manfaat praktis penelitian ini ialah sebagai

berikut.

1. Melalui penelitian ini, masyarakat diharapkan memeroleh informasi

mengenai jenis-jenis dan bentuk bahasa kekerasan verbal.

2. Melalui penelitian ini, masyarakat diharapkan dapat mengantisipasi

terjadinya kekerasan dalam hubungan personal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Di bawah ini akan dipaparkan teori-teori yang dijadikan landasan dalam

penelitian ini.

2.1.1 Psikolinguistik

Bagian ini akan membahas ilmu psikologi dan ilmu linguistik secara

terpisah, kemudian bagaimana kedua ilmu tersebut berintegrasi dalam satu cabang

ilmu yang disebut ilmu psikolinguistik. Selanjutnya, akan dipaparkan objek

kajian, ruang lingkup, dan subdisiplin psikolinguistik.

2.1.1.1 Psikologi

Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche dan logos. Kata psyche

berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Jadi, secara etimologi, psikologi dapat

diartikan sebagai ilmu jiwa. Pengertian ini merupakan pengertian tradisional yang

dipakai ketika psikologi masih menjadi bagian dari ilmu filsafat (Suharti, 2021).

Seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman, kini psikologi diartikan sebagai

ilmu yang mempelajari perilaku manusia (Suharti, 2021).

Suharti (2021:2) menguraikan dua bentuk perilaku atau tingkah laku

manusia yang menjadi objek pengamatan ilmu psikologi, yaitu perilaku

psikomotor dan perilaku kognitif. Perilaku psikomotor meliputi perilaku-perilaku

yang kasat mata atau bersifat jasmaniah, seperti duduk, tersenyum, atau berbicara.

Di sisi lain, perilaku kognitif meliputi perilaku-perilaku yang terjadi di dalam

15
16

pikiran dan bersifat rohaniah, seperti berpikir, berkeyakinan, dan berperasaan

(Suharti, 2021).

Perubahan arti psikologi bukan berarti pengertian tradisional salah dan

pengertian modern benar. Pengertian psikologi dari pandangan modern hanyalah

melengkapi dan memperjelas pengertian tradisional. Jiwa bukanlah sesuatu yang

dapat dilihat dan diamati, tetapi kondisi jiwa atau psikis seseorang dapat diamati

melalui perilaku. Sederhananya, perilaku, baik psikomotor maupun kognitif,

merupakan cerminan dari kondisi jiwa manusia (Saifuddin, 2022). Misalnya

dalam hal berkeyakinan: seseorang yang sedang marah merasa semua kritik

menyerang dirinya, sedangkan seseorang yang sedang bahagia percaya bahwa

kritik-kritik tersebut bertujuan untuk menjadikan dirinya lebih baik. Atau dalam

hal berbicara: seseorang dengan kondisi jiwa yang sehat akan mengeluarkan kata-

kata atau bahasa yang lembut, sedangkan seseorang dengan kondisi jiwa sakit

akan berbahasa dengan kasar.

Dalam bukunya, Nevid (2018:3) merangkum kedua pengertian psikologi itu

menjadi "ilmu tentang perilaku dan proses mental”. Perilaku adalah segala hal

yang dilakukan oleh manusia, seperti memasak atau berbicara di telepon;

sedangkan proses mental merupakan pengalaman pribadi yang membentuk

keadaan batin manusia, seperti persepsi atau mimpi. Dapat dikatakan bahwa

perilaku dan proses mental yang dimaksud Nevid sama dengan perilaku

psikomotor dan perilaku kognitif menurut Suharti.

Sebagai ilmu pengetahuan, psikologi memiliki objek kajian yang terbagi

menjadi objek material dan objek formal. Objek material adalah hal konkret yang
17

dikaji atau subjek penelitian. Objek material dalam ilmu psikologi adalah

manusia. Di sisi lain, objek formal adalah perspektif yang digunakan untuk

mengkaji objek material. Objek formal dalam ilmu psikologi adalah perilaku atau

tingkah laku manusia (Nevid, 2018).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa psikologi merupakan

ilmu yang mempelajari kondisi jiwa, mental, atau psikis manusia yang tercermin

dalam bentuk perilaku atau tingkah laku. Perilaku manusia juga dipelajari dalam

ilmu-ilmu lain, sehingga psikologi berintegrasi dengan ilmu-ilmu tersebut dan

membentuk cabang-cabang ilmu psikologi baru, seperti psikologi sosial, psikologi

perkembangan (anak), psikologi komunikasi, psikologi klinik, dan psikologi

bahasa (Chaer, 2009).

2.1.1.2 Linguistik

Linguistik berasal dari bahasa Latin lingua yang berarti bahasa (Unsiah &

Yuliati, 2018). Artinya, linguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa atau

ilmu tentang bahasa manusia. Ferdinand de Saussure dalam bukunya Cours de

Linguistique Generale (Unsiah & Yuliati, 2018) menggagas tiga istilah untuk

menyebut bahasa, yaitu langage, langue, dan parole. Langage berarti bahasa

secara umum; langue berarti bahasa tertentu, seperti bahasa Jawa, bahasa Inggris

atau bahasa Indonesia; dan parole berarti logat atau ucapan.

Objek kajian linguistik ialah bahasa manusia pada umumnya (Unsiah &

Yuliati, 2018). Pada hakikatnya, bahasa merupakan lambang bunyi arbitrer yang

digunakan manusia untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri

(Iqbal, Azwardi, & Taib, 2017). Bahasa yang dikaji dapat berwujud lisan maupun
18

tulisan. Akan tetapi, tulisan dianggap sebagai bahasa sekunder karena manusia

bisa berbahasa (lisan) tanpa harus mengenal tulisan (Iqbal, Azwardi, & Taib,

2017).

Unsiah & Yuliati (2018:2) menguraikan macam-macam objek kajian

linguistik berdasarkan tiga indikator pembeda, yaitu berdasarkan jangkauan luas

studi bahasa, jangkauan waktu studi bahasa, dan jangkauan internal atau eksternal

studi bahasa. Berdasarkan jangkauan luas studi bahasa, objek kajian linguistik

dibagi menjadi linguistik umum dan linguistik khusus. Linguistik umum mengkaji

bahasa secara umum, sedangkan linguistik mengkaji bahasa tertentu, misalnya

hanya mengkaji bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Berdasarkan waktu studi bahasa, objek kajian linguistik dibagi menjadi

linguistik sinkronik dan linguistik diakronik. Linguistik sinkronik mengkaji

bahasa pada masa tertentu, misalnya bahasa Indonesia pada tahun 1945.

Sebaliknya, linguistik diakronik mengkaji bahasa dari masa ke masa, misalnya

perkembangan bahasa dari tahun 1945 sampai sekarang.

Berdasarkan jangkauan internal atau eksternal studi bahasa, objek kajian

linguistik dibagi menjadi linguistik mikro (mikrolinguistik) dan linguistik makro

(makrolinguistik). Mikrolinguistik mempelajari struktur bahasa, sedangkan

makrolinguistik mempelajari hubungan bahasa dengan faktor-faktor eksternal

(Lyons, dalam Iqbal, Azwardi, & Taib, 2017). Contoh cabang ilmu

mikrolinguistik adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Eriyanti,

Syarifuddin, Datoh, & Yuliana, 2019). Keempat cabang ilmu ini mempelajari

bahasa secara internal, seperti bunyi bahasa, pembentukan kata dan kalimat, serta
19

pemaknaan kata. Contoh cabang ilmu makrolinguistik ialah sosiolinguistik dan

psikolinguistik (Eriyanti, Syarifuddin, Datoh, & Yuliana, 2019). Sosiolinguistik

mengkaji penggunaan bahasa di masyarakat tertentu, sedangkan psikolinguistik

mengkaji hubungan antara penggunaan bahasa dan kondisi psikis manusia.

2.1.1.3 Psikolinguistik

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, baik ilmu psikologi maupun

linguistik memiliki cabang ilmu baru yang menghubungkan kedua ilmu tersebut

menjadi satu, yaitu psikologi bahasa atau psikolinguistik. Istilah psikologi bahasa

muncul lebih dulu dibandingkan psikolinguistik. Namun, istilah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah psikolinguistik. Alasannya ialah karena istilah

psikolinguistik lebih tepat dan spesifik menggambarkan objek kajian

psikolinguistik, yakni proses psikologis yang dialami ketika manusia berbahasa

(Suhartono dalam Suharti, 2021).

Psikolinguistik memiliki definisi-definisi yang berbeda, tetapi tetap

memiliki objek kajian yang sama. Dardjowidjojo (2003:7) menyatakan bahwa

psikolinguistik merupakan “ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang

dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa”. Pengertian ini diperoleh sebagai

simpulan atas definisi-definisi psikolinguistik yang dikemukakan para ahli

sebelumnya, yaitu Aitchison yang mendefinisikan psikolinguistik sebagai “studi

tentang bahasa dan minda”; Harley yang mengartikan psikolinguistik sebagai

“studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa; dan Clark dan

Clark yang menyatakan bahwa psikolinguistik berkaitan erat dengan tiga hal,

yaitu komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa (Dardjowidjojo, 2003).


20

Berdasarkan akar katanya, Antonius (2019:7) mendefinisikan

psikolinguistik sebagai ilmu bahasa yang berupaya menjelaskan bahasa dengan

menggunakan konsep ilmu psikologi. Secara umum, psikolinguistik mempelajari

tentang proses psikologis dan mental manusia yang menghasilkan tindakan

tertentu (Antonius, 2019). Lebih spesifik, Nurhayati menyatakan bahwa

psikolinguistik “mempelajari proses psikologis dan mental manusia yang

menghasilkan tindakan tertentu baik secara verbal maupun nonverbal (Nurhayati,

2023).

Antonius (2019:9) memaparkan beberapa definisi psikolinguistik menurut

para ahli yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Hartley melihat psikolinguistik sebagai ilmu yang “mempelajari

hubungan antara bahasa dan pikiran dalam proses berbahasa dan dalam

memeroleh bahasa.”

2. Insup Taylor mendefinisikan psikolinguistik sebagai ilmu yang

mempelajari perilaku berbahasa manusia; bagaimana bahasa dipelajari

dan digunakan untuk berkomunikasi.

3. Stern menganggap psikolinguistik sebagai ilmu yang mempelajari

proses enkode dan dekode pesan dalam berkomunikasi.

4. Lise Menn dan Nina F. Dronkers menyatakan bahwa psikolinguistik

adalah “ilmu yang berupaya menjelaskan cara manusia menerjemahkan

segala sesuatu ke dalam berbahasa ketika berbicara, menulis, dan

memahaminya.”
21

5. Eva M. Fernandez dan Helem Smith Cairns mengartikan psikolinguistik

sebagai “ilmu yang mempelajari proses dan pemerolehan bahasa.

6. H. Wind Cowles menyatakan bahwa psikolinguistik merupakan bidang

yang mempelajari cara manusia menghasilkan dan memahami bahasa.

7. Harley mendefinisikan psikolinguistik sebagai “ilmu yang mempelajari

aspek psikologis dan aspek neurologis yang memungkinkan manusia

memeroleh, menggunakan, memahami, dan menghasilkan bahasa.”

Dari beberapa pengertian psikolinguistik menurut para ahli tersebut,

Antonius (2019:10) menyimpulkan bahwa psikolinguistik merupakan ilmu yang

mempelajari cara atau perilaku manusia dalam berbahasa, seperti pemerolehan

bahasa, penggunaan bahasa, dan pemahaman bahasa, sebagai alat berpikir dan

berkomunikasi.

Pandangan Dardjowidjojo dan Antonius beserta para ahli yang telah

disebutkan sebelumnya pada dasarnya adalah sama. Simpulannya ialah

psikolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari proses mental (psikologi) yang

menjadi dasar perilaku berbahasa (linguistik) manusia. Proses mental atau aspek

psikologis tersebut berupa pemerolehan bahasa, perkembangan bahasa,

pemahaman atau memori bahasa, dan proses produksi bahasa (Antonius, 2019).

Dardjowidjojo (2003:7) mengungkapkannya dengan istilah yang berbeda, yaitu

(1) komprehensi (proses mental dalam memahami ujaran), (2) produksi (proses

mental sebelum membentuk ujaran), (3) aspek biologis dan neurologis yang

membuat manusia mampu berbahasa, dan (4) pemerolehan bahasa pada anak.

Itulah empat topik utama psikolinguistik.


22

2.1.1.4 Objek Kajian Psikolinguistik

Objek kajian psikolinguistik adalah bahasa. Namun, bahasa yang dikaji

bukanlah bahasa seperti pada morfologi, sintaksis, atau semantik. Psikolinguistik

mengkaji aspek lain dari bahasa. Apabila morfologi mengkaji aspek kata bahasa,

sintaksis mengkaji aspek kalimat bahasa, dan semantik mengkaji aspek makna

bahasa; psikolinguistik mengkaji aspek psikis dari bahasa. Aspek psikis tersebut

berupa proses-proses mental yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti

pemahaman bahasa, produksi bahasa, pemerolehan bahasa, dan aspek biologis dan

neurologis yang membuat manusia mampu berbahasa. Dengan kata lain,

psikolinguistik mengkaji bahasa sebagai suatu sistem perilaku, baik perilaku

personal maupun interpersonal (Antonius, 2019).

Perilaku personal bahasa merupakan aspek internalisasi bahasa yang

berhubungan dengan pemahaman dan memori (Antonius, 2019). Secara personal,

bahasa berfungsi sebagai alat berpikir. Aspek personal yang dikaji psikolinguistik

ialah bagaimana bahasa digunakan sebagai alat berpikir serta bagaimana proses

psikologis dan neurologis bahasa sehingga manusia dapat memeroleh, memahami,

memproduksi, dan mengekspresikan bahasa (Antonius, 2019). Aspek personal ini

bisa dikatakan sebagai perilaku kognitif dalam psikologi.

Perilaku interpersonal bahasa merupakan aspek eksternalisasi bahasa dari

yang internal yang dapat dilihat dalam bentuk produksi bahasa (Antonius, 2019).

Apabila secara personal bahasa digunakan untuk keperluan dan kebutuhan

manusia itu sendiri, secara interpersonal, bahasa digunakan untuk keperluan dan

kebutuhan antarmanusia, yaitu sebagai alat komunikasi antarmanusia. Aspek


23

interpersonal bahasa yang dikaji psikolinguistik ialah proses produksi (penutur)

dan pemahaman bahasa (petutur), yakni fungsi makna bahasa dalam membangun

relasi antarmanusia (Antonius, 2019).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa objek kajian

psikolinguistik adalah bahasa. Bahasa tersebut ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek

personal dan aspek interpersonal. Objek kajian penelitian ini adalah bahasa

Indonesia yang mengandung kekerasan verbal yang akan ditinjau dari aspek

interpersonal. Aspek interpersonal dipilih karena data bahasa yang ditemukan

digunakan sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, penelitian ini hanya berfokus

pada pelaku (penutur), yaitu alasan pelaku menggunakan bahasa kekerasan verbal

dalam berkomunikasi.

2.1.1.5 Ruang Lingkup dan Subdisiplin Psikolinguistik

Psikolinguistik memiliki lingkup kajian yang luas dan kompleks karena

merupakan perpaduan dari dua ilmu besar, yaitu psikologi dan linguistik. Suharti

(2021:10) telah merangkum tujuh lingkup kajian psikolinguistik, yaitu sebagai

berikut.

1. Kompetensi

Kompetensi merupakan kemampuan atau bakat dasar yang membuat

manusia dapat berbahasa. Psikolinguistik hendak mengungkap kemampuan

dasar ini yang memudahkan manusia menguasai bahasa yang sifatnya

kompleks dalam waktu singkat.


24

2. Akuisisi

Akuisisi merupakan pemerolehan bahasa. Psikolinguistik mengkaji

proses seorang anak memeroleh bahasa pertamanya.

3. Performansi

Performansi merupakan pola tingkah laku bahasa. Psikolinguistik

mengkaji penggunaan bahasa dalam situasi konkret, seperti kata-kata yang

digunakan dan kalimat-kalimat yang diujarkan

4. Asosiasi Verbal dan Pemerolehan Makna

Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan makna. Bahasa tidak

berfungsi dengan baik apabila pendengar tidak memahami makna bahasa

tersebut. Oleh karena itu, psikolinguistik hendak mengkaji proses

pemerolehan makna bahasa pada manusia.

5. Gangguan Bahasa

Gangguan bahasa seperti afasia dan gagap dapat mempengaruhi proses

komunikasi. Psikolinguistik mengkaji faktor-faktor penyebab dan cara

penyembuhan gangguan bahasa tersebut.

6. Persepsi Ujaran dan Kognisi

Psikolinguistik mengkaji proses penafsiran ujaran yang meliputi

pendengaran, penafsiran, dan pemahaman ujaran.

7. Pembelajaran Bahasa

Psikolinguistik mengkaji cara pembelajaran bahasa yang benar agar

bahasa dapat dikuasai dengan baik.


25

Ruang lingkup kajian psikolinguistik dan objek kajian psikolinguistik yang

telah diuraikan sebelumnya membentuk beberapa subdisiplin psikolinguistik

(Chaer, 2009). Subdisiplin-subdisiplin psikolinguistik ialah sebagai berikut.

1. Psikolinguistik Teoretis, psikolinguistik yang mengkaji proses-proses

mental berbahasa seperti rancangan fonetik, sintaksis, wacana, dan

intonasi.

2. Psikolinguistik Perkembangan, psikolinguistik yang mengkaji

pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama maupun kedua.

3. Psikolinguistik Sosial, psikolinguistik yang mengkaji aspek-aspek

sosial yang mempengaruhi suatu bahasa, seperti aspek budaya.

4. Psikolinguistik Pendidikan, psikolinguistik yang mengkaji peran bahasa

dalam pendidikan, seperti peran bahasa dalam pengajaran dan

kemahiran berbahasa.

5. Psikolinguistik Neurologi (Neuropsikolinguistik), psikolinguistik yang

mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa, dan otak (pikiran)

manusia.

6. Psikolinguistik Eksperimen, psikolinguistik yang melakukan

eksperimen tentang kegiatan berbahasa, seperti perilaku berbahasa satu

pihak dan akibatnya pada pihak lain.

7. Psikolinguistik Terapan, psikolinguistik yang menerapkan temuan-

temuan enam subdisiplin psikolinguistik ke dalam bidang-bidang

tertentu, seperti bidang linguistik, psikologi, pembelajaran bahasa,

komunikasi, dan sastra.


26

2.1.1.6 Hubungan Bahasa dengan Pikiran

Hubungan bahasa dengan pikiran merupakan bagian kajian psikolinguistik

neurologi atau neuropsikolinguistik (Kuswoyo, 2021). Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, neuropsikolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa

dan otak. Otak sendiri dapat diartikan sebagai pikiran atau perlengkapan berpikir

(Harianja dalam Kuswoyo, 2021). Artinya, pembahasan neuropsikolinguistik

mencakup hubungan antara bahasa dan pikiran; apakah bahasa mempengaruhi

pikiran atau pikiran mempengaruhi bahasa ataukah keduanya saling

mempengaruhi.

Chaer (2009:51) menguraikan tujuh teori yang membahas hubungan bahasa

dengan pikiran, di antaranya adalah teori Wilhelm Von Humboldt, teori Sapir-

Whorf, teori Jean Piaget, teori L. S. Vygotsky, teori Noam Chomsky, teori Eric

Lenneberg, dan teori Bruner.

1. Teori Wilhelm Von Humboldt

Humboldt berpendapat bahwa adanya ketergantungan pemikiran

manusia pada bahasa. Pemikiran seperti budaya dan pandangan hidup

ditentukan oleh bahasa itu sendiri. Seseorang yang ingin mempelajari

budaya atau ingin memiliki pandangan hidup yang baru harus mempelajari

bahasa baru terlebih dahulu.

2. Teori Sapir-Whorf

Sapir dan Whorf memiliki pandangan yang serupa dengan Humboldt.

Sapir berpendapat bahwa manusia hidup dalam “belas kasih” bahasa, bahwa

dunia seseorang dibentuk oleh bahasanya sendiri. Whorf menyatakan hal


27

yang sama, bahwa jalan pikiran seseorang ditentukan oleh bahasanya. Teori

Sapir-Whorf menyatakan bahwa tata bahasa bukanlah alat untuk

menyampaikan ide-ide, melainkan pembentuk ide-ide tersebut.

3. Teori Jean Piaget

Berbeda dengan Humboldt dan Sapir-Whorf, Piaget berpendapat bahwa

pikiranlah yang membentuk bahasa. Pernyataan ini didasarkan pada

kenyataan bahwa anak-anak dapat berpikir dan berperilaku jauh sebelum

mereka bisa berbahasa. Contohnya dalam menggolongkan benda-benda,

anak-anak mampu menggolongkan dengan benar tanpa mengetahui kata

atau nama dari benda itu. Hal itu menunjukkan bahwa perkembangan

kognitif sudah ada sebelum perkembangan bahasa.

4. Teori L. S. Vygotsky

Vygotsky berpendapat bahwa pikiran dan bahasa awalnya muncul dan

berkembang secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Pada mulanya,

anak-anak berpikir tanpa menggunakan bahasa dan mengeluarkan bunyi-

bunyi bahasa tanpa adanya pemikiran (makna). Seiring perkembangan anak

yang disertai dengan pembelajaran bahasa, kedua unsur yang terpisah itu

pada akhirnya bertemu, bekerja sama, dan saling mempengaruhi, sehingga

anak-anak mampu berkembang dari satu kata menjadi kalimat dan menjadi

wacana.

5. Teori Noam Chomsky

Chomsky berpendapat bahwa antara bahasa dan pikiran tidak

berhubungan. Pikiran tidak membentuk bahasa dan begitu sebaliknya.


28

Menurut Chomsky, otak manusia telah difasilitasi dengan perangkat

kebahasaan dari lahir. Hal itu tidak berhubungan dengan perilaku seperti

yang dikatakan oleh Piaget, dan tidak berhubungan pula dengan kecerdasan

atau intelektualitas seseorang.

6. Teori Eric Lenneberg

Mengenai hubungan bahasa dan pikiran, Lenneberg membedakan dua

kasus terkait kemunculan bahasa. Pada kasus pemerolehan bahasa,

Lenneberg berpendapat sama dengan Chomsky bahwa bahasa merupakan

perangkat alami yang tersedia dalam otak manusia. Akan tetapi, bahasa

perlu rangsangan atau upaya kognitif (pikiran) untuk perkembangan

selanjutnya. Kasus kedua tersebut serupa dengan konsep yang dikemukakan

Piaget.

7. Teori Bruner

Teori Brunner juga dikenal sebagai Teori Instrumentalisme. Teori ini

menyatakan bahwa pikiran dan bahasa saling membantu dan

mempengaruhi. Pikiran membentuk bahasa dan bahasa membantu

menyempurnakan pikiran tersebut. Dengan kata lain, bahasa membantu

manusia berpikir lebih sistematis. Bahasa dan pikiran ini kemudian menjadi

alat untuk berlangsungnya aksi.

(Chaer, 2009); (Kuswoyo, 2021); (Amri & Putri, 2021)

2.1.2 Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis adalah segala perbuatan yang merusak harga diri atau

rasa aman seseorang (Doherty & Berglund, 2008). Kekerasan ini biasanya terjadi
29

dalam hubungan yang tidak memiliki kesetaraan kuasa dan kontrol. Artinya, salah

satu pihak dalam hubungan tersebut (pelaku) bertindak lebih berkuasa dan

mengontrol terhadap pihak lain (korban). Kekerasan psikologis dan sikap

mengontrol ini dapat berujung pada kekerasan fisik (Doherty & Berglund, 2008).

Kekerasan psikologis dikenal dengan berbagai istilah, yaitu kekerasan

emosional, kekerasan verbal, kekerasan mental, agresi psikologis (Doherty &

Berglund, 2008), penganiayaan psikologis, dan penganiayaan emosional (Maiuro,

2001). Istilah yang lebih umum digunakan secara bergantian ialah kekerasan

psikologis (psikis) dan kekerasan emosional, sedangkan kekerasan verbal

biasanya dimasukkan sebagai salah satu bentuk kekerasan psikologis.

Kekerasan psikologis terwujud dalam dua bentuk, yaitu verbal dan

nonverbal. Kekerasan psikologis verbal merupakan kekerasan yang menggunakan

kata-kata dan umumnya disebut sebagai kekerasan verbal. Kekerasan psikologis

nonverbal merupakan kekerasan yang tergambar melalui gerakan atau bahasa

tubuh, seperti tatapan yang merendahkan, gerakan cabul, dan sikap atau perilaku

yang mengancam (Hunt, 2013). Kekerasan psikologis dapat terjadi dalam jenis

hubungan apa saja, misalnya dalam hubungan personal (berpacaran atau suami-

istri), hubungan orang dewasa dengan anak-anak (termasuk hubungan orang tua

dengan anak), hubungan antarteman sebaya (bullying), dan hubungan antara

atasan dan bawahan (Doherty & Berglund, 2008).

Maiuro (2001:xi) secara spesifik menjabarkan empat dimensi kekerasan

psikologis yang terjadi antara pasangan intim (hubungan personal). Keempat

dimensi kekerasan psikologis tersebut ialah sebagai berikut.


30

1. Merusak Citra/Harga Diri Pasangan

Kekerasan yang termasuk dimensi ini ialah (1) berteriak; (2) menyebut

pasangan dengan kata-kata kotor, atau memanggil pasangan dengan nada

yang memerintah atau menghina; (3) pelabelan negatif (atau secara

sarkastik), (4) merendahkan atau menghina penampilan dan perilaku

pasangan; (5) mempermalukan pasangan di depan teman dan keluarga; (6)

mengabaikan anak; (7) terlalu kritis atau kritik yang berlebihan; (8) bersifat

dan bersikap negatif; (9) mengejek atau menertawakan pasangan; (10) tidak

memvalidasi perasaan; (11) melimpahkan tanggung jawab pribadi pada

pasangan dengan cara menyalahkan; (12) hanya berfokus pada pasangan

daripada perilakunya sendiri.

2. Menahan Perhatian dan Dukungan Emosional secara Pasif-Agresif

Bentuk-bentuk kekerasan psikologis yang termasuk dalam dimensi ini

ialah: (1) mengabaikan pasangan sebagai bentuk hukuman, (2) merajuk, (3)

silent treatment atau mendiamkan pasangan tanpa alasan yang jelas, (4)

gerakan atau sikap enggan karena dengki, (5) tidak memedulikan pasangan,

(6) penelantaran secara emosional (emotional abandonment).

3. Perilaku Mengancam: Eksplisit atau Implisit

Perilaku yang termasuk dalam dimensi kekerasan psikologis ini ialah:

(1) ancaman untuk menyakiti, melukai, atau membunuh; (2) ancaman cerai

atau membawa pergi/lari anak-anak; (3) berbohong atau berselingkuh; (4)

melakukan hal-hal gegabah seperti menyetir ugal-ugalan.


31

4. Membatasi Kebebasan dan Privasi Pasangan

Perbuatan dan perilaku yang termasuk dalam dimensi ini ialah: (1)

mengisolasi pasangan dari teman dan keluarga; (2) menguntit atau

mengecek (memastikan) keberadaan pasangan; (3) membaca diari atau

catatan panggilan pasangan (invading privacy); (4) melarang pasangan

bekerja, bersekolah, atau melakukan hal yang pasangan ingin lakukan; (5)

mendominasi pengambilan keputusan dalam hubungan; (6) mengontrol

uang pasangan; (7) melarang pasangan pergi; (8) mencampuri hal-hal yang

pasangan lakukan terhadap teleponnya; (9) mengambil mobil atau merusak

mobil (agar pasangan tidak bisa pergi); (10) stereotip gender atau jenis

kelamin (misalnya perempuan kerjanya hanya di dapur); (11)

mengendalikan pasangan dengan alasan gender atau status pernikahan

(misalnya karena perempuan lebih lemah atau karena istri harus menurut

pada suami) yang menunjukkan rasa entitled (berhak) dan kepemilikan

pelaku terhadap pasangan.

2.1.3 Kekerasan Verbal

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekerasan verbal merupakan

salah satu bentuk dari kekerasan psikologis. Evans (2010:70) mendefinisikan

kekerasan verbal sebagai “words that attack or injure, that cause one to believe

the false, or that speak falsely of one (kata-kata yang menyerang atau melukai,

yang menyebabkan seseorang untuk percaya pada hal yang tidak benar; atau

berbicara salah tentang suatu hal). Misalnya, ketika A berbuat kesalahan dan B

mengatakan, “Dasar bodoh!” Kata bodoh yang digunakan B menyakiti perasaan A


32

udan membuat A percaya bahwa dirinya bodoh karena melakukan kesalahan.

Padahal, tingkat intelektual seseorang tidak diukur dari berapa banyak kesalahan

atau kebenaran yang dilakukan seseorang. Melakukan kesalahan tidak membuat

orang bodoh, sama seperti melakukan hal dengan benar tidak membuat orang

pintar. Evans (2010:70) juga menyatakan bahwa kekerasan verbal merupakan

kekerasan psikologis (“verbal abuse constitutes psychological violence”).

Lebih spesifik, Lestari (2016:17) menyatakan bahwa kekerasan verbal

adalah “semua bentuk tindakan ucapan yang memiliki sifat menghina,

membentak, memaki, dan menakuti dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak

pantas”. Kata bodoh pada ujaran B sebelumnya termasuk kekerasan verbal karena

memiliki sifat menghina, membentak, memaki, dan berisi kata yang tidak pantas.

Membentak atau berbicara dengan suara keras tanpa memedulikan sekitar

juga termasuk kekerasan verbal (You, 2021). Bentakan biasa diisi dengan makian,

kata-kata kasar, dan tuduhan yang membuat pasangan merasa sakit hati dan tidak

dapat berbuat apa-apa karena pelaku selalu merasa benar (dan harus dibenarkan)

dalam keadaan apa pun. Bentakan seperti ini juga tidak memberikan kesempatan

pada pasangan untuk berbicara, sehingga pelaku dapat semakin semena-mena

dalam berkata (You, 2021).

Terdapat beberapa tanda terjadinya kekerasan verbal dalam hubungan

pacaran. Tanda-tanda terjadinya kekerasan verbal akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Kontrol dan Isolasi

Suatu ujaran dikatakan sebagai kekerasan verbal apabila bertujuan

mengontrol atau mengisolasi pasangan, seperti:


33

a. melarang pasangan berhubungan/menemui teman dan keluarga;

b. melarang pasangan bekerja atau bersekolah;

c. mengontrol siapa saja yang berteman/berhubungan dengan

pasangan,

d. cemburu pada hubungan pasangan dengan orang lain (seperti

hubungan pertemanan);

e. memonitor pesan-pesan pasangan;

f. melacak telepon atau kendaraan pasangan;

g. memaksa pasangan memberikan kata sandi telepon, email, atau

akun media sosial;

h. mengontrol keuangan pasangan;

i. mengambil atau menyembunyikan kunci dan dompet pasangan;

j. mengontrol apa yang dimakan atau dikenakan pasangan; dan

k. melarang pasangan berobat ke dokter.

2. Mempermalukan, Mengancam, dan Mengintimidasi

Ujaran-ujaran yang mempermalukan, mengancam, dan mengintimidasi

bertujuan untuk membuat pasangan takut, misalnya:

a. meremehkan atau mempermalukan pasangan, terutama di depan

orang lain;

b. melabeli pasangan dengan panggilan-panggilan tidak senonoh atau

mengkritik pasangan secara terus-menerus;

c. mengancam untuk meninggalkan pasangan;

d. mengancam untuk membawa lari anak atau hewan peliharaan; dan


34

e. mengancam akan menyakiti anak.

3. Manipulasi Emosional

Ujaran-ujaran yang memanipulasi pasangan secara emosional bertujuan

menciptakan kekacauan dan keributan, seperti:

a. menuduh pasangan berselingkuh;

b. menyalahkan pasangan atas tindakan pelaku;

c. menyalahkan pasangan atas sikap atau perilaku pelaku yang

abusive;

d. menolak berbicara pada pasangan (silent treatment);

e. memperdebatkan segala hal; dan

f. mengatakan hal-hal yang kontradiksi dan membingungkan.

4. Gaslighting

Ujaran-ujaran gaslighting adalah ujaran-ujaran yang membuat pasangan

mempertanyakan kewarasan, penilaian, dan memorinya sendiri. Ujaran-

ujaran ini membuat pasangan meragukan dan tidak mempercayai diri

sendiri, misalnya:

a. bersikeras pasangan mengatakan atau melakukan sesuatu yang

tidak pasangan katakan atau lakukan;

b. menyangkal suatu peristiwa atau kejadian pernah terjadi;

c. mempertanyakan ingatan pasangan akan suatu hal;

d. berpura-pura tidak memahami pasangan atau menolak untuk

mendengarkan pasangan; dan


35

e. menyangkal atau mengingkari janji-janji atau pernyataan-

pernyataan sebelumnya.

(WebMD, 2020)

Kekerasan verbal dapat terjadi pada siapa saja dan dalam hubungan apa

saja, tetapi yang akan dibahas dalam penelitian ini hanyalah kekerasan verbal

dalam hubungan pacaran (hubungan personal). Kebanyakan sumber mengenai

kekerasan verbal dalam bahasa Indonesia dan oleh penulis Indonesia masih

berfokus pada kekerasan verbal pada anak, seperti kekerasan verbal dalam

hubungan orang tua-anak atau guru-anak. Masih sedikit sumber mengenai

kekerasan verbal dalam hubungan personal yang ditemukan. Sumber-sumber yang

ada membahas kekerasan dalam hubungan secara luas (kekerasan domestik,

termasuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan emosional, dan

kekerasan verbal). Oleh karena itu, penjelasan mengenai faktor terjadinya

kekerasan verbal, karakteristik kekerasan verbal, dan jenis-jenis kekerasan verbal

dalam hubungan pacaran akan dipatok dari buku Evans (2006, 2010). Lebih lanjut

mengenai faktor terjadinya, karakteristik, dan jenis-jenis kekerasan verbal akan

dijelaskan sebagai berikut.

2.1.3.1 Faktor Terjadinya Kekerasan Verbal

Pada dasarnya, kekerasan verbal mendefinisikan seseorang secara negatif.

Ujaran-ujaran yang mengatakan apa, siapa, dan bagaimana seseorang, atau apa

yang orang tersebut pikirkan, rasakan, dan inginkan merupakan ujaran yang

bersifat mendefinisikan dan termasuk kekerasan verbal. Ujaran “Kamu terlalu

sensitif”, “Kamu hanya mencari masalah”, “Kamu terlalu emosional” merupakan


36

contoh ujaran yang paling sering digunakan pelaku kekerasan verbal. Ujaran-

ujaran tersebut menyebabkan luka emosional dan kesedihan yang mendalam

(mental anguish) (Evans, The Verbally Abusive Man (Can He Change?), 2006).

Secara singkat, kekerasan verbal menyebabkan korban menderita secara psikis.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah mengapa kekerasan verbal bisa

terjadi? Apa yang membuat pelaku kekerasan verbal melakukan atau mengatakan

hal-hal yang menyakiti pasangannya? Menurut Evans (2006:14), kekerasan verbal

terjadi sebagai bentuk mekanisme koping (coping mechanism) pelaku terhadap

trauma masa lalunya.

Mekanisme koping adalah strategi individu dalam menyelesaikan masalah,

beradaptasi dalam perubahan, dan merespons situasi yang mengancam (Kelliat

dalam Fandri, 2013). Evans (2006:14) menjelaskan bahwa pelaku kekerasan

verbal memiliki sosok “Wanita Impian” dalam dirinya yang berfungsi sebagai

pelengkap dalam hidupnya. Wanita Impian ini lahir dari sebagian diri pelaku yang

tidak terintegrasi atau terpisah dari dirinya. Misalnya, apabila pelaku sejak kecil

dilarang menangis jika terluka, pelaku akan belajar untuk menutup diri dari

emosinya sendiri. Sisi emosional ini didefinisikan pelaku sebagai sisi feminin, sisi

yang tidak boleh pelaku miliki, dan sisi itulah yang membentuk Wanita Impian

(Evans, The Verbally Abusive Man (Can He Change?), 2006).

Wanita Impian pada dasarnya merupakan “setengah” dari pelaku; sisi

feminin, emosional pelaku. Karena Wanita Impian ini adalah setengah dirinya,

Wanita Impian tidak bisa memiliki pikiran sendiri. Yang dipikirkan dan dirasakan

oleh Wanita Impian harus selaras dengan yang dipikirkan dan dirasakan pelaku.
37

Wanita Impian harus menginginkan dan mengharapkan hal yang sama dengan

pelaku. Dengan kata lain, pasangan dan pelaku hanya memiliki satu otak, yaitu

otak pelaku. Ketika pasangan tidak berlaku seperti yang pelaku harapkan (yaitu

ketika pasangan berlaku sebagai dirinya sendiri bukan sebagai Wanita Impian),

pelaku akan merasa “diserang” dan kehilangan dirinya, sehingga berujung pada

kekerasan verbal. Kekerasan verbal dilakukan pelaku untuk mengontrol dan

membentuk pasangannya menjadi Wanita Impian yang ideal.

Wanita Impian ideal terbagi menjadi dua bentuk bergantung pada di usia

berapa pelaku mengalami trauma. Apabila pelaku mengalami trauma di usia

muda, Wanita Impian yang ideal baginya adalah seorang ibu, tepatnya seorang ibu

yang memenuhi semua keinginan dan kebutuhannya (Evans, The Verbally

Abusive Man (Can He Change?), 2006). Pelaku kekerasan verbal dengan Wanita

Impian seperti ini biasanya berujung pada kekerasan verbal yang implisit atau

samar (covert). Kekerasan verbal implisit umumnya tidak melibatkan kata-kata

kasar (atau jika ada, frekuensinya sedikit) atau kekerasan fisik karena bagi pelaku,

pasangan adalah ibunya yang masih harus ia hormati.

Apabila pelaku mengalami trauma di usia remaja (mendekati pubertas),

Wanita Impian yang ideal baginya adalah boneka Barbie, perempuan yang bisa

dikendalikan pelaku seenaknya selayaknya boneka Barbie (Evans, The Verbally

Abusive Man (Can He Change?), 2006). Pelaku kekerasan verbal dengan Wanita

Impian Barbie biasanya berujung pada kekerasan verbal yang eksplisit (overt).

Tipe kekerasan verbal ini biasanya melibatkan banyak kata-kata kasar seperti

anjing, pelacur, dan sebagainya, dan bisa berujung atau disertai kekerasan fisik.
38

Pelaku kekerasan verbal tidak konsisten atau tidak terpaku pada satu bentuk

kekerasan verbal saja, misalnya implisit atau eksplisit terus-menerus. Tipe Wanita

Impian ideal hanya menentukan bentuk kekerasan verbal yang dominan dilakukan

pelaku. Pelaku dengan Wanita Impian seorang Ibu dominan melakukan kekerasan

verbal implisit, tapi sewaktu-waktu bisa menjadi eksplisit bahkan sampai

melakukan kekerasan fisik. Di sisi lain, pelaku dengan Wanita Impian boneka

Barbie dominan melakukan kekerasan verbal eksplisit, tapi di beberapa waktu

tertentu bisa berbentuk implisit.

Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa kekerasan verbal terjadi

karena masalah psikis yang dialami pelaku. Pelaku kekerasan verbal merupakan

individu yang sakit secara psikis. Evans menyebutnya sebagai disabilitas

psikologis atau cacat psikis (Evans, The Verbally Abusive Man (Can He

Change?), 2006). Evans menggambarkan bahwa pelaku begitu “terputus” dari

realitas karena traumanya, sehingga secara ekstrem, pelaku seperti lumpuh secara

psikologis.

2.1.3.2 Karakteristik Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal memiliki karakteristiknya sendiri. Ujaran-ujaran

kekerasan verbal tidak selamanya berisi kata-kata kasar atau diujarkan dengan

nada tinggi atau suara keras; ada pula kekerasan verbal yang wujudnya seolah

tidak berbahaya, tetapi menimbulkan efek psikologis yang besar pada pasangan.

Oleh karena itu, kekerasan verbal tidak bisa hanya dinilai dari suara atau bentuk

kata-katanya, tetapi juga dari tujuan atau maksud ujarannya. Di bawah ini akan

dipaparkan karaktersitik-karakteristik ujaran yang mengandung kekerasan verbal


39

menurut Evans (Evans, The Verbally Abusive Relationship (Expanded Third

Edition), 2010).

1. Menyakiti (Verbal Abuse is Hurtful)

Kekerasan verbal bersifat menyakiti, terutama apabila disangkal. Hal itu

merupakan fenomena yang sering terjadi dalam hubungan pacaran.

Misalnya, ketika pelaku melontarkan komentar bercanda tentang berat

badan pasangan yang mulai bertambah. Ketika pasangan memprotes bahwa

komentar itu menyakiti perasaannya, bukannya meminta maaf, pelaku

malah berkata bahwa komentar itu hanya bercanda dan tidak seharusnya

pasangan tersinggung. Penyangkalan pelaku mengenai kekerasan verbal

yang dilakukannya membuat pasangan merasa bingung dan

mempertanyakan dirinya sendiri.

2. Menyerang (Verbal Abuse Attacks the Nature and Abilities of the

Partner)

Kekerasan verbal menyerang sifat alami dan kemampuan pasangan.

Misalnya, pelaku selalu mengkritik pasangan yang tidak banyak bicara

ketika berkumpul bersama-sama. Alasan diamnya pasangan bisa saja karena

pasangan memang pendiam atau pemalu, dan, pada hakikatnya, tidak ada

yang salah dengan sifat tersebut. Namun, kritikan pelaku itu akan membuat

pasangan merasa ada yang salah dengan dirinya dan tertekan apabila tidak

bisa memberikan banyak tanggapan dalam suatu perkumpulan. Hal ini juga

membuat pasangan merasa kurang percaya diri karena berpikir bahwa

orang-orang juga tidak menyukai sifatnya yang pendiam.


40

3. Eksplisit dan/atau Implisit (Verbal Abuse may be Overt (Angry

Outbursts and Name-Calling), or Covert (Very, Very Subtle, like

Brainwashing))

Kekerasan verbal dapat bersifat eksplisit (ledakan amarah, menghina

dengan nama-nama panggilan tidak senonoh) atau implisit (hampir tidak

terdeteksi, misalnya dengan cara cuci otak, manipulasi). Kekerasan verbal

eksplisit biasanya berbentuk menyalahkan atau menuduh, yang

mengakibatkan kebingungan pada pasangan, misalnya ketika pelaku

menuduh pasangan berselingkuh hanya karena pasangan berbicara akrab

dengan teman lawan jenisnya. Kekerasan verbal implisit merupakan agresi

tersembunyi yang lebih membingungkan daripada kekerasan verbal

eksplisit.

4. Disampaikan dengan Tulus dan Lemah Lembut (Verbally Abusive

Disparagement may be Voiced in an Extremely Sincere and Concerned

Way)

Penghinaan secara verbal dapat disampaikan dengan cara yang tulus

dan penuh perhatian. Misalnya, ketika pasangan menanyakan pendapat

pelaku tentang tempat studi pilihannya dan pelaku menjawab, “Sepertinya

agak susah bagi kamu untuk masuk ke sana karena kamu tidak bertalenta”

dengan penuh perhatian. Tentunya ini akan membingungkan pasangan,

sebab pasangan tahu bahwa ia sedang dihina, tetapi penyampaian pelaku

yang lemah lembut membuat pasangan merasa tidak memiliki hak atau

alasan untuk marah.


41

5. Manipulatif dan Mengontrol (Verbal Abuse is Manipulative and

Controlling)

Kekerasan verbal bersifat manipulatif dan mengontrol. Biasanya

pasangan yang menjadi korban kekerasan verbal tidak sadar bahwa dirinya

sedang dimanipulasi dan dikontrol, tetapi ia sadar bahwa hidupnya sudah

jauh berbeda dari sebelumnya, dan perubahan tersebut cenderung negatif.

Misalnya, seseorang yang dulu periang menjadi pendiam, yang dulunya

santai menjadi pemarah.

6. Berbahaya (Verbal Abuse is Insidious)

Kekerasan verbal berbahaya karena pelaku kekerasan verbal tidak acuh,

tidak hormat, dan tidak memvalidasi pasangan, yang menyebabkan

pasangan pada akhirnya kehilangan harga diri dan kepercayaan diri.

Pasangan secara sadar atau tidak sadar akan berusaha mengubah dirinya

sesuai dengan keinginan pelaku.

7. Tidak Dapat Diprediksi (Verbal Abuse is Unpredictible)

Kemunculan kekerasan verbal tidak dapat diprediksi. Misalnya

kekerasan verbal muncul pada konflik yang disebabkan oleh perselisihan

kecil, tetapi tidak muncul pada konflik besar. Lalu di beberapa kesempatan,

hal yang sebaliknya terjadi: kekerasan verbal muncul di konflik besar dan

tidak muncul di konflik kecil.


42

8. Menjadi Masalah Utama (Verbal Abuse is the Issue (the Problem) in the

Relationship)

Kekerasan verbal adalah masalah utama dalam hubungan pacaran.

Sebuah hubungan bisa diisi dengan banyak masalah, misalnya masalah

dalam mengatur keuangan atau masalah berapa banyak waktu yang

dihabiskan bersama. Biasanya, masalah-masalah ini akan mencapai sebuah

solusi yang disepakati bersama. Namun, pada hubungan yang berisi

kekerasan verbal, kekerasan verbal adalah masalah utamanya dan tidak

berujung pada sebuah solusi. Misalnya, masalah tentang berapa banyak

waktu yang tidak dihabiskan bersama. Bukannya berusaha mencari jalan

keluar atau solusi, pelaku kekerasan verbal biasanya malah fokus

menyalahkan pasangan; bahwa pasangan terlalu sibuk atau pasangan

berselingkuh. Hal ini akan berujung pada pasangan yang merasa bingung

karena tidak adanya solusi yang dicapai.

9. Berpesan Ganda (Verbal Abuse Expresses a Double Message)

Kekerasan verbal mengekspresikan atau menyampaikan pesan ganda.

Pesan ganda yang dimaksud bukanlah pesan dengan makna ganda,

melainkan dua pesan yang sifatnya bertolak belakang. Misalnya ketika

pelaku mendiamkan pasangan seharian, tetapi setiap ditanya apakah pelaku

sedang marah atau apakah ada sesuatu yang mengganjal pelaku selalu

menjawab bahwa ia tidak marah dan semuanya baik-baik saja. Contoh lain

ketika pelaku mengatakan bahwa ia menerima pasangan apa adanya tetapi

senantiasa mengkritik berat badan atau penampilan pasangan.


43

10. Intensitas, Frekuensi, dan Variasi yang Meningkat (Verbal Abuse

Usually Escalates, Increasing in intensity, frequency, and variety)

Kekerasan verbal cenderung meningkat dalam hal intensitas, frekuensi,

dan variasi. Kekerasan verbal yang awalnya disampaikan dengan topeng

“bercanda” lama-lama disampaikan langsung dalam bentuk kritikan pedas

yang menjatuhkan. Kekerasan verbal juga bisa berlanjut ke kekerasan fisik,

misalnya dengan menjitak, mendorong, atau mencubit.

2.1.3.3 Jenis-jenis Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan

karakteristik-karakteristik yang telah dipaparkan sebelumnya. Evans

mengklasifikasikannya menjadi 15 jenis kekerasan verbal (Evans, The Verbally

Abusive Relationship (Expanded Third Edition), 2010). Pengklasifikasian ini

dilakukan Evans untuk memudahkan pasangan mengidentifikasi kekerasan verbal

dan langkah yang tepat untuk mengatasinya. Jenis-jenis kekerasan verbal menurut

Evans akan dipaparkan sebagai berikut.

1. Menahan (Witholding)

Di dalam sebuah hubungan, komunikasi berperan penting dalam

menjalin intimasi. Kekerasan verbal menahan merupakan perbuatan

menahan atau mencegah terjalinnya intimasi yang dilakukan dengan cara

tidak berkomunikasi. Contoh jenis kekerasan verbal menahan dapat dilihat

sebagai berikut.

a. Tidak ada yang perlu dibicarakan.

b. Anda ingin saya mengatakan apa?


44

c. Apa yang Anda keluhkan? Saya menanggapi Anda, kok.

d. Bicara saja, saya mendengarkan. (sambil menonton TV)

e. Anda tidak akan tertarik.

f. Mengapa saya harus mengatakan apakah saya menyukainya atau

tidak jika pada akhirnya Anda akan melakukan apa yang Anda

inginkan?

2. Melawan (Countering)

Kekerasan verbal melawan merupakan perbuatan membantah atau

melawan perkataan pasangan yang dilakukan semata-mata agar pelaku

terlihat (dan merasa) lebih benar atau lebih dominan dari pasangan. Contoh

jenis kekerasan verbal melawan dapat dilihat sebagai berikut.

a. Anda salah.

b. Anda tidak dapat membuktikan bahwa saya salah.

c. Semua orang akan setuju dengan pendapat saya.

d. (mengatakan hal sebaliknya dari pasangan)

3. Mengabaikan (Discounting)

Kekerasan verbal mengabaikan merupakan perbuatan mengabaikan

pengalaman, perasaan, atau kenyataan pasangan. Contoh jenis kekerasan

verbal mengabaikan dapat dilihat sebagai berikut.

a. Anda terlalu sensitif.

b. Anda tidak tahu bercanda.

c. Anda membesar-besarkan masalah kecil.

d. Anda berpikir Anda tahu segalanya.


45

e. Anda sedang mencari masalah.

f. Anda memutarbalikkan fakta.

g. Anda tidak tahu apa yang Anda bicarakan.

4. Gurauan yang Menghina (Verbal Abuse Disguised as Jokes)

Kekerasan verbal bertopeng gurauan merupakan bentuk kekerasan

verbal yang paling sering muncul dalam hubungan pacaran. Bentuk

kekerasan verbal ini biasanya sudah muncul bahkan di awal hubungan.

Gurauan-gurauan yang berisi kekerasan verbal ini biasanya diikuti dengan

kekerasan verbal mengabaikan apabila mendapatkan respons negatif dari

pasangan. Contoh jenis kekerasan verbal gurauan yang menghina dapat

dilihat sebagai berikut.

a. Apa yang bisa diharapkan dari seorang wanita?

b. Memang begitu cara berpikir orang yang tidak punya otak.

5. Memblok dan Mengalihkan (Blocking and Diverting)

Kekerasan verbal memblok dan mengalihkan merupakan perbuatan

menghentikan dan mengalihkan topik pembicaraan tertentu yang tidak ingin

dibicarakan oleh pelaku. Memblok bisa berbentuk tuduhan atau komentar

atau pertanyaan yang tidak relevan, kemudian diikuti dengan mengalihkan

atau pengalihan topik. Tujuan utama kekerasan verbal memblok dan

mengalihkan ialah mencegah diskusi lebih lanjut, mengakhiri komunikasi,

atau menyembunyikan informasi.

Perbedaan kekerasan verbal memblok dengan kekerasan verbal

menahan ialah kekerasan verbal memblok digunakan ketika pelaku sedang


46

melakukan kesalahan, sedangkan kekerasan verbal menahan digunakan

ketika pasangan ingin menjalin intimasi dengan pelaku. Contoh jenis

kekerasan verbal memblok dapat dilihat sebagai berikut.

a. Anda hanya tidak mau dikalah!

b. Anda tahu apa yang saya katakan!

c. Anda harus selalu menjadi yang benar!

d. Tidak ada yang bertanya.

e. Dari mana Anda mendapatkan ide yang gila/bodoh/aneh seperti

itu?

Kekerasan verbal mengalihkan bertujuan mengalihkan pembicaraan

agar berfokus pada pasangan atau kesalahan pasangan. Contoh jenis

kekerasan verbal mengalihkan dapat dilihat sebagai berikut:

a. Mengapa Anda harus mencemaskan hal itu? Itu bahkan bukan

milikmu!

b. Saya sudah pernah menjelaskannya dan saya tidak akan

mengulanginya lagi!

c. Tidak usah bertanya selama Anda belum setara dengan saya!

d. Ini terlalu sulit untuk Anda pahami!

6. Menuduh dan Menyalahkan (Accusing and Blaming)

Kekerasan verbal menuduh merupakan ujaran yang menuduh pasangan

melakukan kesalahan atau berselingkuh, sedangkan kekerasan verbal

menyalahkan merupakan ujaran yang menyalahkan pasangan atas rasa

marah, kejengkelan, atau rasa tidak aman (insecure) yang dirasakan oleh
47

pelaku. Misalnya, ketika pasangan menolak kencan karena ingin istirahat di

rumah, pelaku akan menuduh pasangan berselingkuh sehingga pasangan

merasa bersalah dan akhirnya mengikuti keinginan pelaku.

Kekerasan verbal menuduh dan menyalahkan disatukan bagiannya

karena umumnya digunakan secara bersamaan. Pelaku biasanya

menggunakan tuduhan untuk menyalahkan pasangan. Contoh jenis

kekerasan verbal menuduh dapat dilihat sebagai berikut.

a. Anda selalu ingin menang.

b. Anda mencari masalah.

c. Anda menyerang/menuduh/menyalahkan saya.

d. Anda hanya bisa mengganggu.

e. Anda tahu apa maksud saya!

f. Apabila Anda (penolakan pasangan), Anda pasti (tuduhan).

7. Menilai dan Mengkritik (Judging and Criticizing)

Kekerasan verbal menilai dan mengkritik merupakan perbuatan

memberikan pendapat atau penilaian dengan cara yang kritis. Apabila

pasangan keberatan dengan kritikan pelaku, pelaku biasanya berkilah bahwa

ia hanya berusaha membantu. Bentuk kekerasan verbal menilai dan

mengkritik terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

a. Kritik yang menggunakan ‘you’ statements atau pernyataan-

pernyataan yang menaruh fokus pada pasangan

(1) Yang salah dari Anda adalah...

(2) Anda tidak pernah puas.


48

(3) Anda gila.

(4) Betapa bodohnya Anda.

b. Kritik yang dibuat tentang pasangan kepada orang lain

(5) Dia terlalu manja.

(6) Dia tidak pandai bicara.

(7) Dia tidak bisa mengambil keputusan, bahkan keputusan

sederhana sekalipun.

c. Cerita kritis tentang kesalahan pasangan atau cerita bualan tentang

pasangan yang membuat pasangan malu di depan orang lain;

(8) Setiap bepergian, dia pasti melupakan sesuatu.

(mengungkit kesalahan pasangan)

(9) Dia yang memohon-mohon agar aku mau (berpacaran)

dengannya. (bualan)

d. Kritik pada diksi tertentu yang digunakan pasangan yang

seharusnya tidak perlu;

(10) Pasangan : Kucing seperti apa yang kau sukai?

Pelaku : Bukan kucing, tapi anjing!

(11) Pasangan : Apakah acaranya sudah selesai?

Pelaku : Ini bukan acara, tapi pertandingan!

e. Kritik bertopeng nasihat;

(12) Lain kali Anda harus...

(13) Jika saya jadi Anda, saya tidak akan menerima tawaran

itu.
49

(14) Jika Anda melakukannya seperti ini (cara pelaku),

hasilnya akan lebih baik.

8. Merendahkan (Trivializing)

Kekerasan verbal merendahkan merupakan perbuatan merendahkan apa

pun yang dikatakan atau dilakukan pasangan. Kekerasan verbal

merendahkan dilakukan secara subtil sehingga sulit dideteksi. Misalnya

ketika pasangan bercerita bahwa ia berhasil menerapkan teknik tertentu

dalam lukisannya, dan pelaku malah merespons dengan, “Pasti enak rasanya

bisa bersantai di siang hari”. Komentar tersebut tidak mengapresiasi usaha

dan pekerjaan pasangan. Komentar tersebut juga berfokus pada sisi negatif

dari cerita pasangan. Hal itu membuat pasangan merasa dirinya yang salah

dalam menyampaikan pengalamannya sehingga pelaku gagal menangkap

maksud pernyataannya.

9. Merongrong (Undermining)

Kekerasan verbal merongrong merupakan perbuatan tidak mendukung

apa yang dilakukan pasangan, mengurangi (merusak) kemampuan pasangan

secara berangsur-angsur dan diam-diam. Contoh jenis kekerasan verbal

merongrong dapat dilihat sebagai berikut.

a. Siapa yang tanya?

b. Anda tidak akan mengerti.

c. Siapa yang peduli?

d. Anda ingin pamer ke siapa?

e. Anda tidak akan pernah berhasil.


50

f. Apa yang membuat Anda berpikir Anda pintar?

Contoh lain merongrong ialah memotong pembicaraan pasangan,

menentang apa yang dikatakan pasangan, meniadakan apa yang dialami

pasangan, seperti mengatakan bahwa pengalaman pribadi pasangan tidak

terjadi, dan menginterupsi pembicaraan pasangan dengan orang lain dengan

cara tertawa terbahak-bahak atau membuat keributan kecil di sekeliling

pasangan.

10. Mengancam (Threatening)

Kekerasan verbal mengancam merupakan perbuatan manipulasi dengan

cara mengancam pasangan menggunakan ketakutan terbesar pasangan.

Contoh jenis kekerasan verbal mengancam dapat dilihat sebagai berikut.

a. Ikuti kemauan saya atau kita putus.

b. Ikuti kemauan saya atau kita cerai.

c. Ikuti kemauan saya atau saya selingkuh.

d. Ikuti kemauan saya atau saya akan memukulmu.

e. Jika kau..., saya akan...

11. Melabeli (Name-calling)

Kekerasan verbal melabeli merupakan perbuatan memberikan nama

panggilan yang tidak senonoh, seperti lonte, gendut, bodoh, dan sebagainya;

atau penggunaan panggilan sayang seperti sayang, cinta, manis dengan nada

sarkastis.
51

12. Melupakan (Forgetting)

Kekerasan verbal melupakan merupakan perbuatan pura-pura lupa

tentang sebuah insiden atau interaksi tertentu yang memiliki dampak

signifikan pada pasangan, dan dilakukan secara konsisten. Kekerasan verbal

tersebut bertujuan menguntungkan pelaku. Misalnya melupakan janji,

kesepakatan, atau lupa bahwa topik tertentu yang sifatnya penting sudah

pernah dibicarakan. Contoh jenis kekerasan verbal melupakan dapat dilihat

sebagai berikut:

a. Saya tidak ingat pernah setuju dengan hal itu.

b. Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.

13. Memerintah (Ordering)

Kekerasan verbal memerintah merupakan perbuatan memerintah

pasangan yang menunjukkan adanya ketidaksetaraan antara pasangan dan

pelaku. Contoh jenis kekerasan verbal memerintah dapat dilihat sebagai

berikut.

a. Tutup pintu itu.

b. Anda tidak boleh memakai baju itu.

c. Tidak usah dibahas lebih lanjut.

d. Kemari dan bersihkan ini.

14. Menyangkal (Denial)

Kekerasan verbal menyangkal merupakan perbuatan menyangkal apa

(kekerasan verbal) yang terjadi pada pasangan. Pelaku menyangkal dengan

cara meniadakan apa yang terjadi pada pasangan dan biasanya diikuti
52

dengan kata-kata penghiburan seperti “Saya tidak akan melakukan hal

seperti itu pada Anda karena saya menyayangi Anda”. Contoh jenis

kekerasan verbal menyangkal dapat dilihat sebagai berikut.

a. Kita tidak pernah membicarakan hal tersebut.

b. Anda mengada-ngada.

c. Saya tidak pernah mengatakan hal itu.

d. Anda pasti sudah gila.

15. Marah yang Mengandung Kekerasan (Abusive Anger)

Kekerasan verbal marah yang mengandung kekerasan merupakan

perbuatan marah yang meledak-ledak pada pasangan, seperti membentak,

mengamuk, atau berteriak. Perbuatan marah ini terjadi tanpa bisa diprediksi

kapan dan mengapa, dan terjadi berkali-kali. Apabila pasangan menanyakan

alasan marah pelaku, pelaku akan mengatakan bahwa pasanganlah yang

membuatnya marah. Misalnya ketika pelaku menyebut pasangan ‘bodoh’,

alasannya ialah karena pasangan tidak bisa mengerti. Perbuatan

menyalahkan pasangan ini akan membuat pasangan sedih dan merasa bahwa

‘rusaknya’ hubungan merupakan kesalahannya.

Jenis-jenis kekerasan verbal yang ditemukan dalam film Story of Kale (When

Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko ada empat, yaitu mengkritik

(criticizing), menuduh (accusing), menyalahkan (blaming), dan melabeli (name-

calling).
53

2.1.4 Bentuk-bentuk Bahasa

Bentuk bahasa adalah rupa satuan gramatikal atau leksikal yang terdiri atas

fonem-fonem (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Satuan-

satuan gramatikal tersebut berupa unsur-unsur pembentuk bahasa, yakni unsur

segmental dan unsur suprasegmental (Syahrita, 2017). Unsur segmental bahasa

terdiri atas fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana, sedangkan

unsur suprasegmental bahasa berupa nada, tekanan, intonasi, dan jeda. Pada

penelitian ini, data bentuk bahasa kekerasan verbal yang diambil hanya unsur

segmental kata dan kalimat.

2.1.4.1 Kata

Kridalaksana (1982:76) mendefinisikan kata sebagai “morfem atau

kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang

dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas”. Morfem merupakan bagian terkecil

bahasa yang tidak dapat dibagi lagi (Verhaar dalam Darwis, 2012). Satu kata

dapat terdiri atas satu atau lebih morfem. Misalnya, kata tidur terdiri atas satu

morfem (tidak bisa dibagi lagi), sedangkan kata tiduran terdiri atas dua morfem,

tidur dan akhiran -an. Kata tidur disebut sebagai kata dasar, sedangkan kata

tiduran disebut sebagai kata turunan atau kata yang telah mengalami proses

morfologis.

Proses morfologis adalah proses pembentukan kata yang meliputi afiksasi,

reduplikasi, dan komposisi (Darwis, 2012). Afiksasi merupakan proses

penambahan afiks atau imbuhan (Darwis, 2012). Terdapat empat jenis afiks dalam

bahasa Indonesia, yaitu prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Afiks yang
54

ditambahkan di depan kata disebut prefiks, contohnya prefiks men- pada kata

menari, prefiks pe- pada kata pelari, dan prefiks ber- pada kata berair. Afiks yang

ditambahkan di tengah kata disebut infiks, misalnya infiks -er- pada kata gerigi

yang berasal dari kata gigi. Afiks yang ditambahkan di akhir kata disebut sufiks,

seperti sufiks -an pada kata tiduran, sufiks -i pada kata tulisi, dan sufiks -kan pada

kata bawakan. Afiks yang ditambahkan di depan dan akhir kata disebut konfiks,

misalnya konfiks ke-an pada kata ketakutan.

Reduplikasi merupakan proses pengulangan kata. Proses reduplikasi dalam

bahasa Indonesia secara garis besar terbagi menjadi dua (Darwis, 2012), yaitu

reduplikasi penuh dan reduplikasi parsial. Reduplikasi penuh ada yang utuh,

seperti bunga-bunga dan lari-lari; dan ada yang terbagi, seperti berbunga-bunga

dan berlari-larian. Reduplikasi parsial terbagi lagi menjadi dua, ada yang

mengubah vokal atau konsonan kata, seperti sayur-mayur dan ramah-tamah; dan

ada yang berupa singkatan, seperti pepohonan dan lelaki. Kata-kata seperti kupu-

kupu atau gara-gara, walaupun terlihat seperti perulangan, tidak termasuk kata

reduplikasi. Kedua kata tersebut masih merupakan kata dasar karena kata kupu

dan gara tidak memiliki makna, atau dengan kata lain kedua kata tersebut tidak

dapat dibagi lagi.

Komposisi atau kata majemuk adalah proses penggabungan dua kata atau

lebih yang membentuk makna baru yang berbeda dari makna unsur-unsur

pembentuknya (Darwis, 2012). Kata majemuk dapat berupa satu kata atau lebih.

Contoh kata majemuk yang berupa satu kata ialah kata matahari dan kacamata,

sedangkan kata majemuk yang lebih dari satu kata ialah meja hijau (pengadilan),
55

gulung tikar (bangkrut), dan cuci tangan (tidak ikut campur). Gabungan kata yang

tidak membentuk makna baru disebut dengan frasa. Contoh frasa ialah jual beli,

rumah baru, dan tidur siang. Ketiga makna frasa tersebut dapat ditelusuri dari

makna unsur-unsur pembentuknya.

Selain terbagi berdasarkan bentuk katanya, kata juga terbagi berdasarkan

kelas katanya. Secara garis besar, terdapat tujuh kelas kata dalam bahasa

Indonesia, yaitu kelas kata verba, adjektiva, adverbia, nomina, pronomina,

numeralia, dan kata tugas (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

1. Verba

Kata berkelas kata verba merupakan kata yang menyatakan keadaan,

proses, atau aktivitas (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kata verba juga lazim

dikenal dengan istilah kata kerja. Kata verba dapat dilekati oleh afiks meng-,

ber-, di-, -kan, dan -i (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), dan dalam frasa tidak

dapat didampingi oleh kata di, ke, dari, sangat, lebih, atau agak (Darwis,

2012). Contoh kata verba ialah duduk, mengejar, dibayar, lompat, dan

paham.

2. Adjektiva

Kata berkelas kata adjektiva memberi keterangan pada nomina atau

sesuatu yang dinyatakan oleh nomina (Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).


56

Keterangan tersebut berupa keterangan kualitas, seperti warna, ukuran, sifat,

bentuk, waktu, jarak, sikap batin, dan cerapan. Kata adjektiva ditandai

dengan afiks-afiks -er (honorer), -if (deskriptif), -is (morfologis) (Darwis,

2012); dapat didahului oleh pewatas sangat, lebih, paling, terlalu; dan dapat

diikuti oleh pewatas benar, betul, sekali (Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

Contoh kata adjektiva ialah merah, kecil, boros, cekung, lama, gemuk,

akrab, benci, dan manis.

3. Adverbia

Adverbia merupakan kata keterangan yang menjelaskan verba,

adjektiva, dan nomina (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kata berkelas kata

adverbia digunakan sebagai pewatas. Adverbia sebagai pewatas dibagi

menjadi pewatas verba, pewatas adjektiva, dan pewatas nomina. Pewatas

verba, yaitu kata baru pada frasa baru datang dan kata belum pada frasa

belum terkirim. Pewatas adjektiva, yaitu kata sangat pada frasa sangat

tinggi dan kata cukup pada frasa cukup banyak. Pewatas nomina, yaitu kata

hanya pada frasa hanya kamu (Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

4. Nomina

Kelas kata nomina lazim disebut sebagai kata benda. Kata berkelas kata

nomina merupakan kata-kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda,

konsep, pengertian, dan nama diri (Badan Pengembangan dan Pembinaan


57

Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kata nomina

tidak dapat didampingi oleh kata tidak, tetapi berpotensi didahului kata dari

(Darwis, 2012). Contoh kata nomina ialah anak, kemiskinan, kucing, meja,

Gramedia, Anto, waktu, dan air.

5. Pronomina

Kata berkelas kata pronomina merupakan kata yang berfungsi sebagai

pengganti nomina (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Terdapat tiga macam

pronomina dalam bahasa Indonesia, yaitu pronomina persona, pronomina

penunjuk, dan pronomina penanya (Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Pronomina

persona antara lain kata saya, dia, kami, mereka, beliau, -nya, -mu, -ku.

Pronomina penunjuk antara lain kata ini, itu, di sana, situ, begini, begitu.

Pronomina penanya, antara lain kata siapa, apa, bagaimana, mengapa,

berapa, di mana.

6. Numeralia

Kata numeralia atau kata bilangan merupakan kata yang menyatakan

jumlah atau banyaknya maujud (orang, binatang, barang). Secara garis

besar, kata numeralia dibagi menjadi dua, yaitu numeralia kardinal (pokok)

dan numeralia ordinal (tingkat). Numeralia kardinal menjawab pertanyaan

“Berapa?”, yaitu bilangan 1 sampai seterusnya, kata seluruh, banyak, kata

ketiga pada frasa ketiga pemain, bilangan pecahan, dan bilangan desimal.
58

Numeralia ordinal menjawab pertanyaan “Yang ke berapa?”, yaitu kata

pertama, kedua, dan ketiga pada frasa pemain ketiga.

7. Kata Tugas

Kata tugas merupakan kata yang menyatakan hubungan antarunsur

dalam frasa atau kalimat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kata tugas adalah kata-

kata yang hanya bermakna apabila dirangkaikan dengan kata-kata dari kelas

kata lain. Terdapat lima jenis kata tugas, yaitu preposisi, konjungsi,

interjeksi, artikula dan partikel. Preposisi atau kata depan, yaitu akan, dari,

di, ke, pada. Konjungsi atau kata penghubung, yaitu bahwa, tetapi, dan,

supaya. Interjeksi atau kata seru, yaitu aduh, ayo, astaga, hai, nah. Artikula,

yaitu sang, sri, si, para. Partikel, yaitu -kah, -lah, -tah, dan pun.

Lebih spesifik, Kridalaksana (dalam Susiati, 2020) membagi kelas kata

bahasa Indonesia ke dalam 13 kategori, yaitu kelas kata verba, adjektiva, nomina,

pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi,

konjungsi, fatis, dan interjeksi.

1. Verba

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata verba tidak dapat didampingi

oleh partikel tidak dan tidak dapat didampingi oleh partikel di, ke, dari,

sangat, lebih, atau agak. Contoh kelas kata verba ialah memahat,

meyakinkan, berjumlah, berperang, tertabrak, dan lain sebagainya.


59

2. Adjektiva

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata adjektiva dapat didampingi

oleh partikel tidak, lebih, sangat, agak; dapat mendampingi nomina;

memiliki ciri morfologis -er, -if, dan -i; dan dibentuk menjadi nomina

dengan konfiks ke-/-an. Contoh adjektiva ialah adil, tunggal, sakit,

terpaksa, alamiah, pemalas, dan lain sebagainya.

3. Nomina

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata nomina tidak dapat

didampingi oleh partikel tidak dan memiliki potensi untuk didahului oleh

partikel dari. Misalnya bidang (kuantita), Prof (profesi), kemarin

(penunjuk waktu), gram (ukuran), Mey (nama diri), kecap (benda), dan

lain sebagainya.

4. Pronomina

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata pronomina berfungsi

menggantikan nomina. Misalnya, nomina nama Agus digantikan oleh

pronomina dia. Contoh pronomina lain ialah aku, kamu, -nya, ku-, dan lain

sebagainya.

5. Numeralia

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata numeralia dapat

mendampingi nomina, dapat mendampingi numeralia lain, dan tidak dapat

didampingi oleh partikel tidak atau sangat. Misalnya, kata satu, seratus,

selikuer, ketiga, semua, dan sebagainya.


60

6. Adverbia

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata adjektiva berfungsi

mendampingi adjektiva, numeralia, atau proposisi dalam konstruksi

sintaksis. Contoh kelas kata adverbia ialah sudah, tidak, sekali, jangan,

bukan, justru, dan lain sebagainya.

7. Interogativa

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata interogativa digunakan

dalam kalimat interogatif dan berfungsi menggantikan sesuatu yang ingin

diketahui pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui pembicara.

Contoh kelas kata interogativa ialah apa, -kah, bagaimana, siapa, di mana,

dan lain sebagainya.

8. Demonstrativa

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata demonstrativa berfungsi

menunjuk atau mereferensi sesuatu. Contoh kelas kata demonstrativa ialah

itu, ini, sekian, begini, berikut, dan lain sebagainya.

9. Artikula

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata artikula berfungsi

mendampingi nomina dasar, pronominal, dan verba pasif. Contoh kelas kata

artikula ialah si, sang, sri, para, kaum, dan lain sebagainya.

10. Preposisi

Kata-kata yang termasuk dalam kelas kata preposisi terletak di depan

kelas kata lain. Misalnya, kata dari (dari rumah), di (di atas), ke (ke pasar),
61

demi (demi uang), tanpa (tanpa kehadirannya), buat (buat ibu), gara-gara

(gara-gara api), dan lain sebagainya.

11. Konjungsi

Kata-kata yang termasuk kelas kata konjungsi berfungsi meluaskan

satuan lain (kata, frasa, klausa) dalam konstruksi sintaksis. Misalnya, kata

karena, yaitu, selepas, demikian, lantaran, walaupun, dan lain sebagainya.

12. Fatis

Kata-kata yang termasuk kelas kata fatis berfungsi memulai,

mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan

lawan bicara. Kata-kata fatis banyak mengandung unsur-unsur daerah atau

dialek regional. Contohnya, kok, ayo, deh, kan, nah, sih, ya, dan lain

sebagainya.

13. Interjeksi

Kata-kata yang termasuk kelas kata interjeksi berfungsi

mengungkapkan perasaan pembicara dan memiliki hubungan dengan kata-

kata lain dalam ujaran. Contohnya, hai (seruan/panggilan), astaga

(heran/kagum), aduh (kesakitan), brengsek (kekecewaan), idih (kejijikan),

dan lain sebagainya.

2.1.4.2 Kalimat

Kalimat adalah satuan bahasa yang mengandung predikat dan

mengungkapkan sebuah pikiran (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kalimat dapat berdiri sendiri,

terdiri atas satu klausa atau lebih, dan memiliki intonasi akhir (Tarigan, 2021).
62

Intonasi akhir berupa tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!).

Berdasarkan klasifikasi sintaksisnya (Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017) atau berdasarkan

respons yang diharapkan (Tarigan, 2021), kalimat dibagi menjadi empat jenis,

yaitu kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif, dan kalimat

eksklamatif (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

1. Kalimat Deklaratif

Kalimat deklaratif atau kalimat berita merupakan kalimat yang berisi

pernyataan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kalimat deklaratif digunakan untuk

menyampaikan berita, pesan, dan peristiwa kepada orang lain. Kalimat

deklaratif tidak bermarkah khusus dan diakhiri dengan intonasi akhir tanda

titik (.). Contoh kalimat deklaratif ialah sebagai berikut.

a. Mereka pergi ke pasar pagi-pagi tiap hari Minggu.

b. Ibu memanggil ayah dari jauh.

c. Kemarin adik saya dipanggil guru karena bolos sekolah tiga hari.

2. Kalimat Imperatif

Kalimat imperatif merupakan kalimat yang berisi perintah, suruhan,

atau permintaan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Pada kalimat imperatif,

pelaku tindakan tidak selalu terungkap; terdapat penggunaan partikel-

partikel penegas, penghalus, ajakan, harapan, permohonan, atau larangan;


63

ditandai dengan intonasi akhir tanda seru (!); dan susunan fungsi

sintaksisnya inversi, yakni predikat mendahului subjek (Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, 2017). Kalimat imperatif bertujuan untuk memancing respons

tindakan (Tarigan, 2021).

Kalimat imperatif diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu dapat

berupa satu kata saja, berupa kalimat dengan subjek dan predikat verba, atau

ditandai dengan pemarkah khusus. Bentuk-bentuk kalimat imperatif ialah

sebagai berikut.

a. Hanya terdiri atas predikat verba dasar, adjektival, atau frasa

preposisional yang taktransitif, misalnya:

(1) Jalan! (verba dasar)

(2) Diam! (verba adjektival)

(3) Di rumah! (frasa preposisional taktransitif)

b. Kalimat imperatif lengkap yang berpredikat verbal, baik transitif

atau taktransitif, misalnya:

(1) Kamu kerjakan PR-mu sekarang!

(2) Anak-anak jemur baju sebelum belajar!

c. Kalimat yang dimarkahi dengan kata-kata yang menyatakan

harapan, suruhan, larangan, dan/atau permintaan, misalnya:

(1) Harap tetap tenang!

(2) Jangan berlarian di sini!

(3) Tolong bawakan buku itu!


64

(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, 2017)

Berdasarkan tujuannya, kalimat imperatif terbagi menjadi enam jenis

(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan, 2017), yaitu sebagai berikut.

a. Kalimat Imperatif Halus

Kalimat imperatif halus adalah kalimat imperatif yang

menggunakan kata-kata tertentu untuk menghaluskan isi perintah,

seperti kata tolong, silakan, sudilah, coba, dan kiranya. Kalimat

imperatif juga dapat diperhalus menggunakan sufiks -lah dan -kan.

(1) Tolong carikan baju yang dia minta.

(2) Silakan duduk terlebih dahulu.

(3) Sudilah Bapak menunggu sebentar lagi.

b. Kalimat Imperatif Permintaan

Kalimat imperatif permintaan adalah kalimat imperatif yang berisi

permintaan. Kalimat itu ditandai dengan kata minta atau mohon.

Panjang pendeknya kalimat imperatif permintaan menunjukkan tingkat

kehalusan atau kekasaran yang terkandung dalam kalimat tersebut.

Semakin pendek kalimat imperatif, semakin kasar makna perintah yang

dikandung.

(1) Mohon diterima dengan baik.

(2) Pergi!

(3) Pergilah sebelum ayahmu datang.


65

c. Kalimat Imperatif Ajakan dan Harapan

Kalimat imperatif ajakan ditandai dengan kata ayo, ayolah, mari,

marilah. Kalimat imperatif harapan biasanya didahului oleh kata harap

atau hendaknya.

(1) Ayo, kita kerjakan bersama-sama!

(2) Mari, kita makan.

(3) Harap dengarkan penyampaian saya.

d. Kalimat Imperatif Larangan

Kalimat imperatif larangan ditandai dengan kata jangan atau

janganlah. Larangan yang disertai sanksi biasanya menggunakan kata

dilarang.

(1) Jangan tidur sampai siang!

(2) Janganlah datang terlambat!

(3) Dilarang buang sampah sembarangan!

e. Kalimat Imperatif Peringatan

Kalimat imperatif peringatan bertujuan memperingati orang lain

untuk tidak melakukan sesuatu dan ditandai dengan kata awas dan hati-

hati.

(1) Awas lantai licin!

(2) Hati-hati di jalan!

f. Kalimat Imperatif Pembiaran

Berbanding terbalik dengan kalimat imperatif peringatan, kalimat

imperatif pembiaran bertujuan membiarkan sesuatu terjadi atau


66

berlangsung. Kalimat imperatif ini ditandai dengan kata biar(lah) atau

biarkan(lah).

(1) Biar dia makan sendiri!

(2) Biarkanlah mereka memetik rambutan itu!

3. Kalimat Interogatif

Kalimat interogatif merupakan kalimat yang berisi pertanyaan dan

digunakan untuk meminta jawaban atau informasi (Badan Pengembangan

dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

Kalimat interogatif memiliki markah khusus, yaitu kata-kata tanya seperti

apa, bagaimana, berapa, atau partikel -kah, tidak, dan bukan. Kalimat

interogatif diakhiri dengan intonasi akhir tanda tanya (?). Contoh kalimat

interogatif ialah sebagai berikut.

a. Apa kau mengenal tetangga yang baru saja pergi itu?

b. Bisakah dia duduk sebentar untuk berbicara?

c. Ibu sudah tahu tentang hal ini, bukan?

4. Kalimat Eksklamatif

Kalimat eksklamatif adalah kalimat yang berisi seruan dan ditandai

dengan kata-kata alangkah, betapa, dan bukan main (Badan Pengembangan

dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

Kalimat eksklamatif memiliki predikat adjektiva yang ditambah akhiran -

nya dan pola kalimat yang diinversi dari Subjek-Predikat menjadi Predikat-

Subjek (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian


67

Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Kalimat eksklamatif diakhiri dengan

intonasi akhir tanda seru (!). Contoh kalimat eksklamatif ialah sebagai

berikut.

a. Alangkah cepatnya rusa itu berlari!

b. Betapa cantiknya pemandangan di desa ini!

c. Bukan main dinginnya suhu di Inggris.

2.2 Hasil Penelitian Relevan

Penelitian tentang kekerasan verbal yang dikaji menggunakan pendekatan

psikolinguistik telah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang relevan

terhadap penelitian ini, yaitu: (1) Artikel jurnal Kekerasan Verbal di Televisi dan

Pengaruhnya pada Perkembangan Bahasa Anak oleh Azhar; (2) Skripsi

Penggunaan Kekerasan Verbal Bahasa Indonesia Siswa Lanjutan Atas di

Kabupaten Kolaka: Kajian Psikolinguistik oleh Rosnawati; dan (3) Artikel jurnal

Kekerasan Verbal Berupa Labeling oleh Mahasiswa di Universitas Jember: Suatu

Kajian Psikolinguistik pada Remaja oleh Muhamad.

Penelitian pertama berupa artikel jurnal oleh Azhar berjudul “Kekerasan

Verbal di Televisi dan Pengaruhnya pada Perkembangan Bahasa Anak”. Hasil

penelitiannya memaparkan macam-macam kekerasan verbal di televisi dan

pengaruhnya pada perkembangan bahasa anak. Kekerasan verbal yang ditemukan

dibagi berdasarkan penutur-petutur (laki-laki ke laki-laki, laki-laki ke perempuan,

dan sebagainya), satuan lingual (kata, frasa, kalimat), pembentukan kata (abreviasi

dan akronimisasi), jenis kalimat (kalimat positif, kalimat negatif, kalimat tanya,

kalimat imperatif), perubahan semantik (simile, eufemisme, disfemisme, asosiasi,


68

generalisasi, pelesetan), dan sifat kekerasan verbal (stigmatisasi, menghina,

emosi, ekspresi rayuan). Pengaruh kekerasan verbal terhadap perkembangan anak

dijelaskan melalui hubungan antara pemaparan bahasa dan optimalisasi LAD.

Pemaparan bahasa di usia 0-13 tahun dapat membantu LAD bekerja secara

optimal dalam penyempurnaan bahasa anak. Jika pemaparan bahasanya berupa

kekerasan verbal di televisi, anak akan mengembangkan bahasa-bahasa kasar pula

(Azhar, 2014).

Penelitian kedua berupa skripsi oleh Rosnawati berjudul “Penggunaan

Kekerasan Verbal Bahasa Indonesia Siswa Lanjutan Atas di Kabupaten Kolaka:

Kajian Psikolinguistik”. Penelitian kedua membahas kekerasan verbal yang

dilakukan siswa sekolah lanjutan atas di Kabupaten Kolaka dan faktor penyebab

terjadinya kekerasan verbal tersebut. Peneliti menghubungkan kekerasan verbal

yang dilakukan siswa dengan pengaruh didikan orang tua dan guru di sekolah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan verbal yang dilakukan oleh siswa

merupakan hasil meniru dari orang tua dan guru (Rosnawati, 2013).

Penelitian ketiga berupa artikel jurnal oleh Muhamad berjudul “Kekerasan

Verbal Berupa Labeling oleh Mahasiswa di Universitas Jember: Suatu Kajian

Psikolinguistik pada Remaja”. Penelitian ketiga membahas kekerasan verbal

khususnya kekerasan verbal jenis labeling yang dilakukan oleh mahasiswa di

Universitas Jember. Hasil penelitian memaparkan empat jenis kekerasan verbal

labeling yang dilakukan oleh mahasiswa di Universitas Jamber, yaitu pelabelan

negatif dengan cara menyerupakan dengan hewan, pelabelan negatif berupa

sebutan kotor terhadap seseorang, pelabelan negatif berupa menyamakan dengan


69

makhluk halus, dan pelabelan negatif berupa menghina fisik. Peneliti juga

menghubungkan kekerasan verbal yang dilakukan dengan kondisi emosi pelaku.

Terdapat tiga kondisi emosi utama yang memicu terjadinya kekerasan verbal,

yakni senang, jengkel, dan marah. Peneliti juga membahas dampak emosional

yang dialami korban kekerasan verbal (Muhamad, 2021).

Persamaan penelitian ini dengan ketiga penelitian terdahulu adalah sama-

sama meneliti tentang kekerasan verbal bahasa Indonesia menggunakan

pendekatan psikolinguistik. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian

terdahulu terletak pada fokus penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Azhar

mengklasifikasikan dan mendeskripsikan jenis-jenis kekerasan verbal pada acara

TV berdasarkan satuan penuturnya, satuan lingual, pembentukan kata, jenis

kalimat, perubahan semantik, dan sifat kekerasan verbal. Penelitian yang

dilakukan oleh Rosnawati mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan verbal yang

dilakukan siswa lanjutan atas di Kabupaten Kolaka beserta faktor penyebab siswa

melakukan kekerasan verbal. Penelitian yang dilakukan oleh Muhamad secara

khusus membahas kekerasan verbal jenis labeling yang dilakukan oleh mahasiswa

di Universitas Jamber.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus

pada klasifikasi dan analisis jenis-jenis kekerasan verbal yang terdapat dalam

film. Film yang dijadikan objek penelitian secara khusus menceritakan hubungan

pacaran dua tokoh utama yang di dalamnya terdapat kekerasan verbal. Kekerasan

verbal yang ditemukan diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis kekerasan verbal

Evans yang dibagi berdasarkan karakteristik kekerasan verbal.


70

2.3 Kerangka Pikir

Sebuah penelitian membutuhkan kerangka pikir untuk memperlihatkan

gambaran besar alur penelitian. Sumber data penelitian ini ialah film Story of Kale

(When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko yang ditayangkan di

Netflix pada tahun 2020. Data penelitian yang diperoleh dari film tersebut berupa

tuturan-tuturan tokoh Kale yang berisi ekspresi kekerasan verbal.

Tuturan-tuturan kekerasan verbal tokoh Kale dianalisis dengan

menggunakan pendekatan psikolinguistik. Dengan pendekatan psikolinguistik,

kekerasan verbal dipetakan menurut jenisnya dan bentuk bahasa yang digunakan.

Melalui analisis yang dilakukan, diperoleh keluaran penelitian jenis-jenis dan

bentuk bahasa kekerasan verbal tokoh Kale.


71

Film Story of Kale (When


Someone’'s in Love)

Tuturan-tuturan tokoh Kale yang


berisi ekspresi kekerasan verbal

Pendekatan Psikolinguistik

Jenis-jenis Bentuk-bentuk Bahasa


Kekerasan Verbal Kekerasan Verbal
1. Menahan 1. Kata
2. Melawan 2. Frasa
3. Mengabaikan 3. Klausa
4. Gurauan yang 4. Kalimat
menghina
5. Memblok dan
mengalihkan
6. Menuduh dan
menyalahkan
7. Menilai dan
mengkritik
8. Merendahkan
9. Merongrong
10. Mengancam
11. Melabeli
12. Melupakan
13. Memerintah
14. Menyangkal
15. Marah yang
Mengandung
Kekerasan

Jenis-jenis dan bentuk bahasa


kekerasan verbal tokoh Kale
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Menurut Sugiyono (2003:5), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang

berbentuk kata, skema, dan gambar. Penelitian kualitatif dilakukan melalui tiga

tahap, yakni pengamatan, reduksi, dan seleksi. Pertama-tama, objek penelitian

diamati atau diobservasi terlebih dahulu. Kemudian, informasi yang diperoleh dari

observasi direduksi agar fokus pada masalah tertentu. Terakhir, dilakukan seleksi

pada masalah yang dipilih.

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikolinguistik. Kekerasan verbal

merupakan fenomena psikologis yang diekspresikan dalam bentuk bahasa. Data-

data bahasa kekerasan verbal memperlihatkan hubungan antara kondisi psikologis

pelaku dan perilaku berbahasanya. Psikolinguistik dinilai tepat sebagai

pendekatan penelitian ini karena psikolinguistik mempelajari kondisi psikologis

manusia yang tercermin dalam perilaku berbahasa, dalam hal ini kondisi

psikologis yang tercermin dalam perilaku berbahasa pelaku kekerasan verbal.

Berhubungan dengan data-data bahasa, digunakan pendekatan linguistik struktural

untuk menganalisis bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam

mengekspresikan kekerasan verbal.

72
73

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di kediaman pribadi peneliti, yakni di Kota Makassar,

Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan di kediaman pribadi peneliti karena objek

penelitian adalah film yang bisa diunduh di laptop dan ditonton di rumah.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan, yaitu dari bulan Juli

2022 s.d. September 2022. Waktu penelitian dalam jangka waktu tiga bulan cukup

karena objek penelitian mudah diakses dan data-data yang tersedia terbatas.

3.3 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah film Story of Kale (When Someone’s in

Love) karya Angga Dwimas Sasongko yang diakses melalui aplikasi Netflix. Film

Story of Kale (When Someone’s in Love) mengandung ujaran-ujaran kekerasan

verbal yang diujarkan oleh tokoh Kale. Jadi, seluruh data dalam penelitian ini

akan diperoleh dari ujaran-ujaran kekerasan verbal tokoh Kale dalam film.

3.4 Populasi dan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

panyampelan total (total sampling). Pada penyampelan total, jumlah sampel sama

dengan jumlah populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ujaran tokoh

Kale terhadap tokoh Dinda yang mengandung kekerasan verbal. Teknik

penyampelan total diambil karena data berjumlah kurang dari 100. Data ujaran

kekerasan verbal yang dianalisis dalam penelitian ini sebanyak 20 buah.


74

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data pada penelitian kualitatif dapat dikumpulkan dengan empat cara, yaitu

melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi (gabungan)

(Sugiyono, 2003:225). Pengumpulan data dokumentasi merupakan pengumpulan

data dengan dokumen. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, dan karya seni.

Menurut Sugiyono (2003:240), yang termasuk dokumen karya seni ialah gambar,

patung, film, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini

menggunakan metode pengumpulan data dokumentasi yang diambil dari karya

seni berbentuk film (Story of Kale (When Someone’s in Love)).

Pengumpulan data secara garis besar dilakukan menggunakan metode simak

dan teknik catat, dengan peneliti sebagai instrumen penelitian. Secara terperinci,

teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti akan dijelaskan sebagai

berikut.

1. Mengamati secara langsung film Story of Kale (When Someone’s in

Love) di Netflix selama 1 jam 17 menit 55 detik.

2. Menyimak setiap ujaran Kale dalam setiap adegan film dan

memperhatikan bagaimana kekerasan verbal dalam hubungan pacaran

digambarkan dalam film tersebut.

3. Mencatat dialog yang berisi kekerasan verbal beserta stempel waktunya

(time stamp).

4. Mengategorikan ujaran-ujaran Kale berdasarkan jenis-jenis kekerasan

verbal Evans.
75

5. Sebagai proses pengecekan atas data-data ujaran yang dikumpulkan,

peneliti mengevaluasi dan menyeleksi data-data yang akan disajikan dan

dianalisis.

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis deskriptif. Sugiyono (2003:244) menjelaskan bahwa analisis data

merupakan proses mencari dan menyusun data hasil observasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesis atau menghubungkan data dengan teori, menyusun data ke

dalam pola, memilih mana data yang penting dan yang akan dipelajari (seleksi),

dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun

orang lain.

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dimulai dengan

mengumpulkan data menggunakan metode simak dan teknik catat. Selanjutnya,

data yang sudah dikumpulkan diorganisasikan ke dalam dua kategori, yaitu

kategori kekerasan verbal bahasa Indonesia dan bukan kekerasan verbal bahasa

Indonesia. Setelah itu, data-data yang termasuk dalam kategori kekerasan verbal

diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis kekerasan verbal. Data yang dimaksud

ialah tuturan-tuturan yang mengandung kekerasan verbal. Data-data yang sudah

diklasifikasi kemudian dianalisis bentuk-bentuk bahasa apa saja yang digunakan

dalam merealisasikan kekerasan verbal tersebut. Terakhir, dirumuskan simpulan

yang mencakup keseluruhan hasil penelitian.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-jenis Kekerasan Verbal Kale dalam Film Story of Kale (When

Someone’s in Love)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat total 20 ujaran yang

mengandung kekerasan verbal. Dari ke-20 data tersebut, ditemukan empat jenis

kekerasan verbal yang dilakukan oleh tokoh Kale terhadap tokoh Dinda dalam

film Story of Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko.

Keempat jenis kekerasan verbal tersebut ialah kekerasan verbal mengkritik

(criticizing), menuduh (accusing), menyalahkan (blaming), dan melabeli (name-

calling).

Film Story of Kale (When Someone’s in Love) tidak hanya memperlihatkan

bentuk dan jenis kekerasan verbal, tetapi juga menunjukkan proses peningkatan

intensitas kekerasan verbal mulai dari sebelum, awal, pertengahan, dan akhir

pacaran. Secara garis besar, terdapat empat adegan utama yang memperlihatkan

kekerasan verbal yang dilakukan oleh Kale. Berdasarkan urutan kejadian, keempat

adegan tersebut, yaitu (1) ketika Dinda memberikan perhatian pada anggota band-

nya, (2) ketika Dinda hendak pergi ke ulang tahun Nina, (3) ketika Dinda bertemu

dengan Argo di kamar hotel, dan (4) ketika Dinda hendak mengakhiri hubungan.

Pada adegan (1), kekerasan verbal yang dilakukan Kale bersifat implisit,

bahkan tidak disadari. Kekerasan verbal pada adegan ini berupa kritikan yang

walaupun tidak terlihat berbahaya, bertujuan untuk mengikis kepercayaan diri

Dinda. Pada adegan (2), kekerasan verbal yang dilakukan Kale masih implisit,

76
77

tetapi mulai bersifat koersif. Intensitas kekerasan verbal yang dilakukan Kale pada

adegan ini meningkat dan lebih berkesan memaksa. Kekerasan verbal berupa

kritikan yang memiliki tujuan yang sama dengan adegan (1), hanya saja kesannya

lebih menuntut. Pada adegan ini, Kale juga menggunakan kontak fisik untuk

menekan Dinda agar mengikuti kemauannya.

Pada adegan (3), kekerasan verbal yang dilakukan Kale bersifat eksplisit

bahkan hampir berujung pada kekerasan fisik. Kekerasan verbal Kale pada adegan

ini berupa tuduhan-tuduhan yang diujarkan dengan suara tinggi (membentak).

Kale juga melakukan kekerasan nonverbal, seperti membanting lampu kamar

hotel dan nyaris menampar Dinda. Pada adegan (4), kekerasan verbal Kale

bersifat implisit-eksplisit. Sebagian besar kekerasan verbal Kale pada adegan ini

berupa kritikan, tetapi terdapat pula bentakan dan kontak fisik yang koersif.

Jenis, intensitas, dan bentuk kekerasan verbal yang dilakukan Kale

dipengaruhi oleh konteks adegan. Dalam keempat adegan tersebut, Kale bertujuan

membuat Dinda mengikuti keinginannya, tetapi cara Kale “memaksa” Dinda

mengikuti keinginannya bergantung pada konteks adegan tersebut. Misalnya, pada

adegan (1), kekerasan verbal Kale nyaris tidak terdeteksi karena pada saat itu Kale

dan Dinda belum berpacaran. Di sisi lain, pada adegan (2), (3), dan (4), kekerasan

verbal Kale mulai eksplisit karena Kale dan Dinda sudah berstatus pacaran.

Kekerasan verbal dalam keempat adegan tersebut terjadi karena perilaku

dan tindakan Dinda tidak mencerminkan Wanita Impian ideal Kale. Di dalam

film, dijelaskan bahwa Kale ditinggalkan ibunya sewaktu kecil dan ayahnya yang

sakit hati menjadi tidak peduli padanya. Dapat disimpulkan bahwa Wanita Impian
78

Kale adalah sosok seorang ibu. Hal itu menjelaskan alasan Kale masih

membiarkan Dinda bekerja, berkarya, berpakaian apa adanya, dan lain

sebagainya. Kale hanya tidak terima apabila Dinda memiliki pendapat yang

berbeda dengan dirinya. Di sisi lain, Dinda juga memiliki pengalaman serupa. Ibu

Dinda merupakan korban kekerasan domestik ayahnya. Itulah yang menjadi

alasan mengapa Dinda bertahan berpacaran dengan Kale terlepas dari kekerasan

verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh Kale. Di bawah ini akan diuraikan lebih

lanjut mengenai jenis-jenis kekerasan verbal yang dilakukan oleh Kale.

4.1.1 Kekerasan Verbal Mengkritik (Criticizing)

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love), ditemukan 10 tuturan

tokoh Kale yang termasuk dalam kekerasan verbal mengkritik. Kesepuluh tuturan

kekerasan verbal tersebut terjadi dalam tiga konteks, yaitu ketika Dinda ingin

pergi ke ulang tahun Nina, ketika Dinda ingin mengakhiri hubungan, dan ketika

Dinda perhatian dengan anggota band-nya.

Contoh 1

Dialog di bawah ini terjadi ketika Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina.

Pada saat itu, Dinda dan Kale sedang berada di studio rekaman untuk merekam

lagu ciptaan keduanya. Ketika Kale sibuk memainkan lagunya, Dinda berkata

bahwa ia berharap mereka tidak terlalu lama di studio karena Dinda hendak pergi

ke ulang tahun Nina. Nina merupakan adik Argo, mantan Dinda, tetapi sekaligus

sahabat baik Dinda sejak kecil. Di bawah ini merupakan tuturan yang menyatakan

pertidaksetujuan Kale akan pernyataan Dinda.


79

(21:53-22:02)
Kale : Ya aku paham sih kamu pengen jadi temen yang baik, tapi kalo
dengan ke sana kamu bisa ketemu dia (Argo) lagi kan… (1) Aku
enggak yakin itu keputusan yang tepat deh buat kamu.
Dinda : Ya kalo emang ada dia (Argo) di sana aku bisa kok ngehindar,
tinggal enggak usah diladenin aja.

Contoh (1) Aku enggak yakin itu keputusan yang tepat deh buat kamu

diujarkan oleh Kale untuk melarang Dinda pergi ke ulang tahun Nina. Larangan

tersebut disampaikan secara implisit melalui kritikan yang ditandai dengan kata

enggak (enggak yakin itu keputusan yang tepat). Kritikan tersebut membuat

Dinda ragu dan tidak percaya diri dengan keputusannya sehingga Dinda

mengikuti keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina. Hal itu

membuktikan bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara psikologis, yaitu

yang awalnya Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi tidak pergi ke ulang

tahun Nina. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat membatasi

kebebasan pasangan dengan cara mendominasi pengambilan keputusan.

Contoh 2

Dialog berikut masih terjadi dalam konteks Dinda ingin pergi ke ulang

tahun Nina. Karena Nina adalah adik Argo, mantan Dinda, Kale keberatan dengan

keputusan tersebut. Karena Kale mempermasalahkan kehadiran Argo di ulang

tahun Nina, Dinda memberikan solusi yang dapat dilihat pada dialog di bawah ini.

Akan tetapi, Kale meragukan solusi yang diberikan oleh Dinda.

(22:03-22:10)
Dinda : Ya kalo emang ada dia (Argo) di sana aku bisa kok ngehindar,
tinggal enggak usah diladenin aja.
Kale : (2) Yakin bisa?
80

Contoh (2) Yakin bisa? diujarkan oleh Kale yang meragukan keputusan

Dinda yang ingin pergi ke ulang tahun Nina. Keraguan tersebut disampaikan

melalui kritikan yang ditandai dengan pertanyaan retoris Yakin bisa?. Kritikan

tersebut membuat Dinda ragu dan tidak percaya diri dengan keputusannya

sehingga Dinda mengikuti keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina.

Hal itu membuktikan bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara

psikologis, yaitu yang awalnya Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi

tidak pergi ke ulang tahun Nina. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena

bersifat merusak kepercayaan diri pasangan melalui kritikan yang dinyatakan

dalam bentuk pertanyaan retoris.

Contoh 3

Dialog di bawah ini masih terjadi dalam konteks Dinda hendak pergi ke

ulang tahun Nina. Pada bagian ini, Kale memaksa Dinda untuk memilih antara

dirinya dan Nina sambil mencengkeram kedua lengan Dinda. Paksaan itu

membuat Dinda teringat akan mantannya, Argo, pelaku kekerasan domestik

ketika masih berpacaran dengan Dinda dulu.

(26:54-27:02)
Dinda : Kok kamu kayak Argo sih sekarang?
Kale : (3) Aku enggak kayak Argo, Din, aku cuma bantuin kamu nentuin
pilihan aja. Kamu tinggal milih.
Contoh (3) Aku enggak kayak Argo, Din, aku cuma bantuin kamu nentuin

pilihan aja diujarkan oleh Kale untuk melarang Dinda pergi ke ulang tahun Nina.

Larangan tersebut disampaikan secara implisit melalui kritikan yang ditandai

dengan kata enggak (enggak kayak Argo). Kritikan tersebut membuat Dinda

meragukan penilaiannya terhadap niat Kale. Keraguan tersebut membuat Dinda


81

menjadi tidak percaya diri dengan keputusannya sehingga Dinda mengikuti

keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina. Hal itu membuktikan

bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara psikologis, yaitu yang awalnya

Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi tidak pergi ke ulang tahun Nina.

Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat membatasi kebebasan

pasangan dengan cara mendominasi pengambilan keputusan.

Ketiga kutipan berikut terjadi dalam konteks Dinda hendak mengakhiri

hubungan dengan Kale. Kale merasa keberatan dengan keputusan Dinda karena ia

merasa hubungan mereka selama ini baik-baik saja dan tidak ada masalah. Di

beberapa adegan sebelumnya, Dinda telah menjelaskan bahwa ia ingin mengakhiri

hubungan karena sudah lama merasa tidak nyaman bersama Kale.

Contoh 4

(13:31-13:38)
Kale : (4) Kamu enggak bisa tiba-tiba bilang putus kek gini.
Dinda : Ini enggak tiba-tiba.

Contoh 5

(14:29-14:35)
Kale : Ini hubungan dua orang bukan cuma kamu doang. Jadi kalo ada
apa-apa ngomong dong! (5) Kamu jangan bikin keputusan sendiri!
Dinda : Aku tahu ini hubungan dua orang, Le! Tapi aku kapan punya
keputusan aku sendiri kalo yang dibelain harus hubungan ini terus?

Contoh 6

(17:45-17:49)
Kale : (6) Jangan ambil keputusan sendiri, jangan emosional!
Dinda : Aku enggak emosional, aku juga mikir!

Contoh (4), (5), dan (6) diujarkan oleh Kale untuk melarang Dinda pergi ke

ulang tahun Nina. Larangan tersebut disampaikan secara eksplisit melalui kritikan

yang ditandai dengan kata enggak bisa dan jangan. Kritikan tersebut membuat
82

Dinda ragu dan tidak percaya diri dengan keputusannya sehingga Dinda

mengikuti keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina. Hal itu

membuktikan bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara psikologis, yaitu

yang awalnya Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi tidak pergi ke ulang

tahun Nina. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat membatasi

kebebasan pasangan dengan cara mendominasi pengambilan keputusan.

Kedua kutipan di bawah ini terjadi dalam konteks yang sama, yakni ketika

Dinda ingin mengakhiri hubungan dengan Kale. Pada saat itu, Dinda bersikeras

untuk mengakhiri hubungan dan menjelaskan bahwa keinginannya itu sudah lama

ia pikirkan. Akan tetapi, Kale tetap keberatan dan berusaha mengajak Dinda

berbicara dengan tenang bahkan sampai mengungkit kejadian masa lalu.

Contoh 7

(16:15-16:17)
Kale : (7) Kamu cuma lagi emosi aja kok.

Contoh 8

(16:30-16:45)
Kale : Kamu dulu juga enggak mau kita bikin proyek bareng, kamu bilang
itu mauku doang. (8) Tapi kebukti, kan, pada saat itu kamu emosi
doang? Jadi enggak mikir jernih?

Contoh (7) dan (8) diujarkan oleh Kale yang meragukan keputusan Dinda

untuk mengakhiri hubungan. Keraguan tersebut disampaikan melalui kritikan

yang ditandai dengan kata emosi. Kritikan tersebut bertujuan membuat Dinda ragu

dan tidak percaya diri dengan keputusannya. Kritikan ini termasuk kekerasan

verbal karena bersifat merusak citra pasangan dengan cara tidak memvalidasi

perasaan dan keputusan Dinda. Akan tetapi, Dinda bersikeras untuk mengakhiri
83

hubungan dan pada akhirnya tetap meninggalkan Kale. Pada konteks ini, kritikan

Kale tidak berhasil memengaruhi Dinda secara psikologis.

Contoh 9

Dialog di bawah ini masih terjadi dalam konteks Dinda ingin mengakhiri

hubungan dengan Kale. Kale keberatan dengan keputusan tersebut dan berkali-

kali mengatakan bahwa Dinda hanya terbawa emosi semata. Perkataan Kale

tersebut dibantah Dinda beberapa kali bahwa ia tidak emosi dan bahwa ia sudah

memikirkan keputusannya dengan matang.

(16:54-17:30)
Kale : Kita bisa punya mini album. Kamu bisa ngembangin bakat kamu
yang enggak pernah kamu bayangin itu. Enggak puas dengan jadi
manajer aja. (9) Semua yang kita alamin, kita lewatin, itu karena
kita pikir baik-baik. Kita bikin keputusannya sama-sama, Din. Aku
dan kamu.
Dinda : Le, udah dong, kamu enggak bisa terus dorong aku balik ke titik
itu.

Contoh (9) Semua yang kita alamin, kita lewatin, itu karena kita pikir baik-

baik diujarkan oleh Kale yang meragukan keputusan Dinda untuk mengakhiri

hubungan. Keraguan tersebut disampaikan melalui kritikan yang ditandai dengan

klausa kita pikir baik-baik yang mengindikasikan bahwa keputusan yang diambil

Dinda tidak dipikir baik-baik. Kritikan tersebut bertujuan membuat Dinda ragu

dan tidak percaya diri dengan keputusannya. Kritikan ini termasuk kekerasan

verbal karena bersifat merusak citra pasangan dengan cara tidak memvalidasi

perasaan dan keputusan Dinda. Akan tetapi, Dinda bersikeras untuk mengakhiri

hubungan dan pada akhirnya tetap meninggalkan Kale. Pada konteks ini, kritikan

Kale tidak berhasil memengaruhi Dinda secara psikologis.


84

Contoh 10

Dialog di bawah ini terjadi dalam konteks Dinda perhatian pada anggota

band-nya, seperti mendengarkan curahan hati mereka dan menghafal yang mana

saja burger favorit setiap anggotanya. Pada saat itu, Kale merasa cemburu karena

merasa kurang spesial. Ia ingin semua perhatian Dinda hanya tertuju padanya.

Dialog di bawah ini terjadi setelah Dinda mempertanyakan Kale yang diam

dengan raut wajah tidak senang.

(42:22-42:47)
Kale : Ya lagi mikir aja apa aku harusnya enggak usah ngambil tawaran
kamu untuk jadi additional player-nya Arah.
Dinda : Kok gitu?
Kale : Ya biar enggak usah ngeliat kamu perhatian sama orang lain.
Dinda : Kan aku manajer mereka, wajar enggak sih kalo aku perhatian
sama mereka?
Kale : (10) Apa iya semua manajer kayak kamu?

Contoh (10) Apa iya semua manajer kayak kamu? diujarkan oleh Kale yang

meragukan cara Dinda dalam berlaku sebagai manajer yang baik. Keraguan

tersebut disampaikan melalui kritikan yang ditandai dengan pertanyaan retoris

Apa iya semua manajer kayak kamu?. Kritikan tersebut bertujuan membuat Dinda

ragu dan tidak percaya diri dengan dirinya. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal

karena bersifat merusak citra pasangan melalui ejekan yang dinyatakan dalam

bentuk pertanyaan retoris. Walaupun Dinda tersinggung, ia tetap mempertahankan

pendapatnya dan mengabaikan kritikan Kale. Pada konteks ini, kritikan Kale tidak

berhasil memengaruhi Dinda secara psikologis.

4.1.2 Kekerasan Verbal Menuduh (Accusing)

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love), ditemukan enam

tuturan tokoh Kale yang termasuk dalam kekerasan verbal menuduh. Keenam
85

tuturan kekerasan verbal tersebut terjadi dalam konteks yang sama, yaitu ketika

Kale mendapati Dinda bertemu dengan Argo di kamar hotel.

Contoh 11

Kale bertemu dengan Argo di depan lift di lantai kamar hotel Dinda. Pada

saat itu, Kale langsung panik dan berjalan cepat menuju kamar Dinda untuk

bertanya alasan Argo menemui Dinda di hotel. Dinda langsung menjawab bahwa

Argo hendak menikah dan hanya datang untuk berpamitan. Argo berpamitan

karena memang dulu dirinya dan Dinda hampir menikah. Tindakan Argo ini

merupakan tanda perdamaian antara dirinya dan Dinda. Akan tetapi, Kale tidak

menerima alasan tersebut dan kembali mempertanyakan alasan Dinda sambil

mengecek selimut dan seprei ranjang hotel.

(01:04:14-01:04:28)
Kale : Tadi gimana emang? Ngapain aja?
Dinda : Ngapain aja? Aku kan udah bilang dia cuma pamit doang. Emang
menurut kamu aku ngapain?
Kale : (11) Enggak percaya.
Dinda : Enggak percaya? Terus menurut kamu aku ngapain? Emang aku
serendah itu di mata kamu?!

Contoh (11) Enggak percaya diujarkan oleh Kale untuk menuduh Dinda

berselingkuh. Tuduhan tersebut ditandai dengan kata enggak (enggak percaya).

Tuduhan tersebut timbul karena Kale yakin bahwa Dinda memang berselingkuh.

Tuduhan itu membuat Dinda tersinggung dan marah. Hal itu membuktikan bahwa

perkataan Kale memengaruhi Dinda secara psikologis, yaitu yang awalnya Dinda

tidak marah menjadi marah. Tuduhan ini termasuk kekerasan verbal karena

bersifat merusak harga diri pasangan dengan cara memandang rendah pasangan.
86

Ketiga tuturan berikut terjadi setelah Kale mengungkit kejadian-kejadian

masa lalu. Kale mengatakan bahwa Dinda tidak bisa dipercaya dan mengungkit

beberapa kejadian ketika Dinda tidak meminta izin saat pergi ke suatu tempat.

Dinda membela diri dengan mengatakan bahwa Kale sendiri yang mengatakan

bahwa Dinda tidak perlu melapor jika hendak pergi ke mana-mana. Setelah

mendengar balasan Dinda, Kale sempat diam sebelum akhirnya melontarkan

tuturan pada contoh (12). Contoh (13) dan (14) diujarkan berurutan setelah contoh

(12).

Contoh 12

(01:05:11-01:05:12)
Kale : (12) Kamu masih enggak bisa lupain Argo, kan?

Contoh 13

(01:05:18-01:05:27)
Kale : (13) Aku cuma pengganti Argo, kan? Ya kan?
Dinda : Le, stop. Aku udah bilang sama kamu berkali-kali aku udah
enggak ada apa-apa sama Argo!
Contoh 14

(01:06:00-01:06:06)
Kale : (14) Kamu masih cinta kan sama Argo? Jujur!
Dinda : Le, aku di sini sama siapa? Sama kamu atau sama Argo?

Contoh (12), (13), (14) diujarkan oleh Kale untuk menuduh Dinda masih

memiliki perasaan terhadap Argo, mantannya. Tuduhan tersebut ditandai dengan

kata kan. Tuduhan tersebut timbul karena Kale yakin bahwa Dinda memang

masih memiliki perasaan pada Argo. Tuduhan itu membuat Dinda bingung dan

frustrasi karena jawaban-jawaban yang ia berikan tidak membuat Kale berhenti

menuduhnya. Hal itu membuktikan bahwa tuduhan Kale memengaruhi Dinda


87

secara psikologis. Tuduhan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat merusak

harga diri pasangan dengan cara tidak mempercayai dan menghargai pernyataan

pasangan.

Kedua kutipan di bawah ini masih terjadi dalam konteks yang sama. Pada

bagian ini, Kale telah diliputi rasa marah dan cemburu. Ia tidak lagi

mendengarkan jawaban dan klarifikasi Dinda dan menyuruh Dinda untuk segera

jujur. Rasa marahnya juga membuat dirinya hampir memukul Dinda.

Contoh 15

(01:06:00-01:06:06)
Kale : Kamu masih cinta kan sama Argo? (15) Jujur!
Dinda : Le, aku di sini sama siapa? Sama kamu atau sama Argo?

Contoh 16

(01:06:06-01:06:10)
Kale: Susah banget sih buat jujur! (16) Jujur!

Contoh (15) dan (16) diujarkan oleh Kale untuk menuduh Dinda masih

memiliki perasaan terhadap Argo, mantannya. Tuduhan tersebut ditandai dengan

kata jujur. Tuduhan tersebut timbul karena Kale yakin bahwa Dinda memang

masih memiliki perasaan pada Argo. Tuduhan itu membuat Dinda bingung dan

frustrasi karena jawaban-jawaban yang ia berikan tidak membuat Kale berhenti

menuduhnya. Hal itu membuktikan bahwa tuduhan Kale memengaruhi Dinda

secara psikologis. Tuduhan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat merusak

harga diri pasangan dengan cara tidak mempercayai dan menghargai pernyataan

pasangan.
88

4.1.3 Kekerasan Verbal Menyalahkan (Blaming)

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love), ditemukan dua tuturan

yang termasuk dalam kekerasan verbal menyalahkan. Kedua tuturan kekerasan

verbal tersebut terjadi dalam konteks yang sama, yaitu ketika Dinda ingin pergi ke

ulang tahun Nina.

Pada saat itu, Kale dan Dinda sedang berada di studio rekaman untuk

mengerjakan mini album yang berisi lagu ciptaan keduanya. Setelah beberapa

saat, Dinda memastikan bahwa mereka tidak terlalu lama di studio karena ia ingin

pergi ke ulang tahun Nina. Kale keberatan dengan keinginan Dinda dan mengeluh

bahwa mengajak Dinda ke studio berdua saja itu sangat sulit. Dinda lalu

membalas bahwa itu semua hanyalah keinginan Kale, bahwa Kale-lah yang ingin

menjalankan proyek tersebut. Kale tidak menerima pernyataan Dinda dan

mengujarkan contoh (17). Contoh (18) diujarkan sesaat setelah contoh (17).

Contoh 17

(23:30-22:35)
Kale : (17) Aku tuh ninggalin Mark and The Company tuh buat kamu,
buat proyek ini.

Contoh (17) Aku tuh ninggalin Mark and The Company tuh buat kamu, buat

proyek ini diujarkan oleh Kale untuk melarang Dinda pergi ke ulang tahun Nina.

Larangan tersebut disampaikan secara implisit melalui ujaran menyalahkan yang

ditandai dengan kata buat (buat kamu, buat proyek ini). Ujaran menyalahkan

tersebut membuat Dinda merasa bersalah dengan keputusannya sehingga Dinda

mengikuti keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina. Hal itu

membuktikan bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara psikologis, yaitu


89

yang awalnya Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi tidak pergi ke ulang

tahun Nina. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat merusak

kepercayaan diri pasangan dengan cara membuat pasangan merasa bertanggung

jawab atas hal yang dilakukan oleh pelaku.

Contoh 18

(23:37-23:47)
Kale : (18) Aku dimusuhin anak-anak tuh gara-gara kamu, gara-gara
proyek ini. Terus mereka sekarang udah jadi opening act-nya Padi,
(sedangkan) kita di sini masih ribut soal hal kek gitu.
Dinda : Ya, bukan salahku dong?

Contoh (18) Aku tuh ninggalin Mark and The Company tuh buat kamu, buat

proyek ini diujarkan oleh Kale untuk melarang Dinda pergi ke ulang tahun Nina.

Larangan tersebut disampaikan secara implisit melalui ujaran menyalahkan yang

ditandai dengan kata gara-gara (gara-gara kamu, gara-gara proyek ini). Ujaran

menyalahkan tersebut membuat Dinda merasa bersalah dengan keputusannya

sehingga Dinda mengikuti keinginan Kale untuk tidak pergi ke ulang tahun Nina.

Hal itu membuktikan bahwa perkataan Kale memengaruhi Dinda secara

psikologis, yaitu yang awalnya Dinda ingin pergi ke ulang tahun Nina menjadi

tidak pergi ke ulang tahun Nina. Kritikan ini termasuk kekerasan verbal karena

bersifat merusak kepercayaan diri pasangan dengan cara membuat pasangan

merasa bertanggung jawab atas hal yang dilakukan pelaku.

4.1.4 Kekerasan Verbal Melabeli (Name-calling)

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love), ditemukan dua tuturan

yang termasuk dalam kekerasan verbal melabeli. Kedua tuturan kekerasan verbal
90

tersebut terjadi dalam dua konteks, yaitu ketika Dinda ingin mengakhiri hubungan

dan ketika Kale mendapati Dinda bertemu dengan Argo di kamar hotel.

Contoh 19

Dialog berikut ini terjadi dalam konteks Dinda hendak mengakhiri

hubungan dengan Kale. Sebelum dialog di bawah ini, Kale sudah beberapa kali

membujuk Dinda untuk tidak mengakhiri hubungan, tetapi Dinda tetap kukuh

ingin berpisah dengan Kale. Karena Kale terus-menerus mengatakan bahwa Dinda

hanya emosi, Dinda akhirnya jujur bahwa selama enam bulan terakhir ia

berselingkuh di belakang Kale.

(17:53-18:15)
Dinda : Enam bulan terakhir aku punya hubungan lain, aku selingkuh dari
kamu. Dan aku ngelakuin ini semua dengan sadar.
Kale : (19) Gila lu. Hancur, hancur, gila lu.

Contoh (19) Gila lu diujarkan oleh Kale untuk melabeli Dinda secara

negatif. Label negatif tersebut ditandai dengan kata gila. Pelabelan tersebut

menyatakan penilaian Kale terhadap Dinda, bahwa Dinda sudah tidak waras (sakit

jiwa) karena berselingkuh di belakangnya. Pelabelan ini termasuk kekerasan

verbal karena bersifat merusak citra pasangan dengan cara menghina pasangan

dengan kata yang bermakna negatif. Dinda hanya diam mendengar perkataan label

negatif tersebut. Pada konteks ini, pelabelan negatif Kale tidak berhasil

memengaruhi Dinda secara psikologis.

Contoh 20

Dialog selanjutnya terjadi dalam konteks Kale mendapati Dinda bertemu

dengan Argo di kamar hotel. Sebelum dialog di bawah ini, Dinda sempat

mempertanyakan sikap Kale yang sering cemburu dan curiga pada dirinya. Kale
91

menanggapi hal tersebut dengan menyalahkan Dinda, bahwa Dinda-lah yang tidak

bisa dipercaya sehingga ia terus-menerus merasa curiga pada Dinda. Kale lalu

mengungkit kejadian di masa lalu untuk membuktikan bahwa Dinda tidak bisa

dipercaya.

(01:04:41-01:04:56)
Kale : Dua minggu lalu kamu jalan sama Nina enggak bilang sama aku.
Argo datang dari lift, malam ini… (20) Anjing! Mau kamu apa
sih?!
Dinda : Aku enggak harus laporan terus kan tiap ngapa-ngapain? Kamu kok
yang ngomong sama aku.

Contoh (20) Anjing! diujarkan oleh Kale untuk melabeli Dinda secara

negatif. Label negatif tersebut ditandai dengan kata anjing. Pelabelan tersebut

menyatakan penilaian Kale terhadap Dinda, bahwa tindakan Dinda menyerupai

atau sama dengan hewan. Pelabelan ini termasuk kekerasan verbal karena bersifat

merusak citra pasangan dengan cara menghina pasangan dengan kata yang

berkonotasi negatif. Dinda melawan perkataan Kale, tetapi tidak merespons label

negatif yang diberikan Kale padanya. Pada konteks ini, pelabelan negatif Kale

tidak berhasil memengaruhi Dinda secara psikologis.

4.2 Bentuk Bahasa Kekerasan Verbal dalam Film Story of Kale (When

Someone’s in Love)

Tuturan-tuturan kekerasan verbal yang telah dijelaskan sebelumnya

diekspresikan menggunakan bentuk-bentuk bahasa tertentu. Dengan kata lain,

terdapat bentuk atau pola bahasa tertentu yang menjadi penanda terjadinya

kekerasan verbal. Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love) karya

Angga Dwimas Sasongko, ditemukan dua bentuk bahasa yang digunakan dalam

mengekspresikan kekerasan verbal, yaitu bentuk bahasa kata dan kalimat.


92

Kata-kata dan pola kalimat yang akan dijelaskan hanya dikategorikan

sebagai bahasa kekerasan verbal berdasarkan konteks digunakannya bahasa

tersebut. Di luar konteks, bentuk-bentuk bahasa tersebut pada hakikatnya

bukanlah kekerasan verbal. Bentuk-bentuk bahasa tersebut akan diuraikan lebih

lanjut sebagai berikut.

4.2.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata

Bentuk bahasa kata merupakan bentuk bahasa kekerasan verbal yang paling

dominan ditemukan dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love) karya

Angga Dwimas Sasongko. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat lima

kategori kata yang digunakan dalam mengekspresikan kekerasan verbal, yakni

kategori kata adverbia (enggak, jangan), kategori kata fatis kan, kategori kata

adjektiva (emosi, emosional), kategori kata preposisi (buat/gara-gara), dan

kategori kata interjeksi (anjing, gila).

1. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Kata Adverbia

Kekerasan verbal yang diekspresikan menggunakan kategori kata

adverbia terdiri atas dua kata, yaitu kata enggak dan kata jangan. Kata

enggak merupakan bahasa cakapan (tidak formal) dari kata tidak. Dalam

KBBI, kata tidak memiliki makna ‘partikel untuk menyatakan pengingkaran,

penolakan, penyangkalan’. Di sisi lain, kata jangan memiliki makna ‘kata

yang menyatakan melarang, berarti tidak boleh; hendaknya tidak usah’.

Kata melarang memiliki makna ‘memerintahkan supaya tidak melakukan

sesuatu; tidak memperbolehkan berbuat sesuatu’. Kata enggak dan kata


93

jangan merupakan ekspresi kekerasan verbal yang berbentuk morfem dasar

dengan kelas kata adverbia.

Penggunaan kata enggak yang termasuk dalam kekerasan verbal

ditentukan berdasarkan konteks digunakannya kata tersebut. Apabila kata

enggak digunakan untuk menolak izin/permohonan, penentuan benar atau

salah, atau dalam debat, kata tersebut bukanlah penanda kekerasan verbal.

Akan tetapi, apabila kata enggak digunakan untuk menolak atau

menyalahkan pendapat, keinginan, dan persepsi pasangan, kata tersebut

menjadi penanda kekerasan verbal. Dalam film Story of Kale (When

Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko, Kale menggunakan

kata enggak untuk menolak dan menyangkal keputusan dan pendapat Dinda.

Contoh data ujaran Kale yang menggunakan kata enggak ialah sebagai

berikut.

(1) Aku enggak yakin itu keputusan yang tepat deh buat kamu.

(2) Aku enggak kayak Argo, Din, aku cuma bantuin kamu nentuin

pilihan aja.

(3) Kamu enggak bisa tiba-tiba bilang putus kayak gini.

(4) Enggak percaya.

Pada contoh (1), Kale menggunakan kata enggak untuk menolak

keputusan Dinda untuk pergi ke ulang tahun Nina. Penolakan ini

mengindikasikan bahwa Dinda mengambil keputusan yang salah. Kata

enggak yang diikuti dengan kata yakin menjadi frasa enggak yakin juga
94

menunjukkan keraguan Kale terhadap kemampuan pengambilan keputusan

Dinda.

Pada contoh (2), Kale menggunakan kata enggak untuk menyangkal

persepsi Dinda tentang dirinya. Ketika itu, Kale mencengkeram kedua

lengan Dinda dan memaksa Dinda memilih antara dirinya dan Nina.

Perbuatan itu membuat Dinda teringat mantannya, Argo, yang merupakan

pelaku kekerasan domestik. Kata enggak yang diikuti kata kayak menjadi

frasa enggak kayak atau tidak seperti mengoreksi pendapat Dinda dan

secara tidak langsung mengindikasikan bahwa persepsi atau pendapat Dinda

salah.

Pada contoh (3), Kale menggunakan kata enggak untuk menolak

keputusan Dinda mengakhiri hubungan. Kata enggak yang diikuti kata bisa

menjadi frasa enggak bisa menyatakan pelarangan atau pembatasan, dan

mengindikasikan bahwa Dinda tidak memiliki pilihan atau kebebasan untuk

membuat keputusan sendiri.

Pada contoh (4), Kale menggunakan kata enggak untuk menolak

pernyataan Dinda. Ketika itu, Kale mendapati Dinda bertemu dengan Argo

di kamar hotel. Kale kemudian mempertanyakan alasan mereka bertemu dan

apa yang mereka lakukan, tetapi ketika Dinda menjawab dengan jujur Kale

menolak pernyataan itu. Kata enggak yang diikuti kata percaya menjadi

frasa enggak percaya menyatakan bahwa pernyataan Dinda adalah bohong

dan secara tidak langsung menuduh Dinda berbohong.


95

Kata enggak atau tidak menyatakan bahwa pasangan adalah pihak

yang salah atau tidak benar. Penggunaan kata tersebut menutup

kemungkinan komunikasi dan diskusi yang sehat. Kata enggak yang

digunakan dalam komunikasi juga menunjukkan bahwa pelaku tidak

menghargai pendapat atau pernyataan pasangan. Kata enggak termasuk

penanda kekerasan verbal karena kata enggak digunakan untuk mengontrol

pasangan secara subtil, yakni dengan membuat pasangan kebingungan dan

kehilangan percaya diri.

Penggunaan kata jangan yang termasuk dalam kekerasan verbal

ditentukan berdasarkan konteks digunakannya kata tersebut. Kata jangan

merupakan penanda kekerasan verbal apabila digunakan untuk mengontrol

pasangan. Di luar maksud tersebut, kata jangan bukanlah kekerasan verbal

karena kata tersebut bisa bertujuan baik, misalnya melarang pasangan

melakukan sesuatu demi kebaikan pasangan. Larangan yang bertujuan

mengontrol pasangan tidak berhubungan atau tidak dilakukan demi

kebaikan pasangan, tetapi demi kepentingan pelaku sendiri. Dalam film

Story of Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko,

Kale menggunakan kata jangan untuk membatasi keputusan Dinda. Contoh

data ujaran Kale yang menggunakan kata jangan ialah sebagai berikut.

(1) Kamu jangan bikin keputusan sendiri!

(2) Jangan ambil keputusan sendiri, jangan emosional!

Kedua contoh ujaran tersebut diucapkan Kale ketika Dinda hendak

mengakhiri hubungan. Pada kedua contoh tersebut, Kale menggunakan kata


96

jangan untuk mengontrol Dinda. Kale melarang Dinda untuk mengakhiri

hubungan demi kepentingannya sendiri, bukan demi kebaikan atau

kepentingan Dinda. Dengan melarang Dinda, Kale berusaha mewujudkan

keinginannya agar hubungan tidak berakhir.

2. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Kata Fatis

Kekerasan verbal yang diekspresikan menggunakan kategori kata fatis

adalah kata kan. Kata kan merupakan kependekan dari kata bukan. Dalam

KBBI, kata bukan memiliki makna ‘kata tanya untuk mengukuhkan isi atau

maksud suatu pernyataan yang digunakan sesudah pernyataan itu’. Kata kan

merupakan kekerasan verbal yang berbentuk singkatan dengan kelas kata

fatis yang bertujuan untuk menekankan pembuktian atau bantahan.

Penggunaan kata kan yang termasuk dalam kekerasan verbal

ditentukan berdasarkan konteks digunakannya kata tersebut. Kata kan

digunakan dalam pertanyaan yang bertujuan memastikan suatu hal.

Pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban sebagai bentuk konfirmasi. Di

sisi lain, kata kan juga digunakan dalam pertanyaan yang bersifat menuduh,

yaitu pada pertanyaan retoris. Pertanyaan retoris merupakan pertanyaan

yang tidak memerlukan jawaban, sehingga pada pertanyaan ini kata kan

berfungsi sebagai penanda tuduhan. Dalam film Story of Kale (When

Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko, Kale menggunakan

kata kan untuk menuduh. Contoh data ujaran Kale yang menggunakan kata

kan ialah sebagai berikut.


97

(1) Kamu masih ga bisa lupain Argo, kan?

(2) Aku cuma pengganti Argo, kan? Ya kan?

(3) Kamu masih cinta kan sama Argo?

Ketiga contoh ujaran tersebut diucapkan Kale secara beruntun tanpa

memberikan kesempatan untuk Dinda menjawab, atau dengan kata lain,

Kale tidak membutuhkan jawaban atau konfirmasi Dinda mengenai

kebenaran pernyataannya. Kata kan pada ketiga contoh di atas digunakan

dalam pertanyaan retoris, sehingga tujuan Kale memang untuk menuduh

bukan bertanya. Apabila kata kan tidak digunakan, ketiga ujaran itu

hanyalah pertanyaan, bukan tuduhan.

3. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Kata Adjektiva

Kekerasan verbal yang diekspresikan menggunakan kategori kata

adjektiva terdiri atas dua kata, yaitu kata emosi dan kata emosional. Dalam

KBBI, kata emosi memiliki makna ‘marah’ yang digunakan dalam konteks

informal (cakapan). Kata emosional memiliki makna ‘dengan emosi;

beremosi; penuh emosi’. Kata emosi merupakan kekerasan verbal yang

berbentuk morfem dasar dengan kelas kata adjektiva, sedangkan kata

emosional merupakan kekerasan verbal yang berbentuk morfem turunan

(emosi + sufiks -al) dengan kelas kata adjektiva. Kata emosi dan emosional

digabungkan bagiannya karena memiliki maksud dan tujuan yang sama

dalam penggunaannya.

Kata emosi/emosional memiliki konotasi makna yang buruk. Dalam

hal pengambilan keputusan, penggunaan kata tersebut memiliki arti bahwa


98

keputusan yang diambil merupakan keputusan yang tiba-tiba dan belum

dipikir panjang dengan logika. Kedua kata tersebut juga merupakan bentuk

manipulasi yang membuat pasangan mempertanyakan dirinya sendiri.

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas

Sasongko, Kale menggunakan kata emosi/emosional untuk memanipulasi

Dinda dalam mengambil keputusan. Contoh data ujaran Kale yang

menggunakan kata emosi/emosional ialah sebagai berikut.

(1) Kamu cuma lagi emosi aja kok.

(2) Kamu dulu juga ga mau kita bikin proyek bareng, kamu bilang itu

mauku doang. Tapi kebukti, kan, pada saat itu kamu emosi

doang?

(3) Jangan ambil keputusan sendiri, jangan emosional!

Ketiga contoh ujaran tersebut diucapkan Kale ketika Dinda hendak

mengakhiri hubungan. Pada ketiga contoh tersebut, Kale menggunakan kata

emosi/emosional untuk memanipulasi Dinda, sehingga Dinda

mempertanyakan keputusan, penilaian, dan dirinya sendiri. Apabila Dinda

tidak mempercayai dirinya sendiri, ia akan lebih mudah mengikuti

keinginan Kale. Kale menggunakan kata emosi/emosional dengan tujuan

mengontrol keputusan Dinda secara subtil melalui manipulasi.

4. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Kata Preposisi

Kekerasan verbal yang diekspresikan menggunakan kategori kata

preposisi terdiri atas dua kata, yaitu kata buat dan kata gara-gara. Dalam

KBBI, kata buat memiliki makna ‘bagi; untuk’. Kata untuk merupakan
99

konjungsi yang menyatakan ‘sebab atau alasan’. Kata gara-gara memiliki

makna ‘sebab; lantaran (sesuatu yang menjadi penyebab)’. Kata buat dan

gara-gara merupakan kekerasan verbal yang berbentuk morfem dasar

dengan kelas kata preposisi. Kata buat dan gara-gara digabungkan

bagiannya karena memiliki maksud dan tujuan yang sama dalam

penggunaannya.

Penggunaan kata buat/gara-gara yang termasuk dalam kekerasan

verbal ditentukan berdasarkan konteks digunakannya kata tersebut. Kedua

kata ini merupakan kekerasan verbal apabila digunakan dalam pernyataan

yang bersifat menyalahkan atau melempar tanggung jawab kepada

pasangan, terutama apabila tanggung jawab atau hal yang disalahkan

tersebut merupakan keputusan atau keinginan pelaku sendiri. Apabila hanya

digunakan untuk menyampaikan informasi, kata buat/gara-gara tidak

termasuk kekerasan verbal. Dalam film Story of Kale (When Someone’s in

Love) karya Angga Dwimas Sasongko, Kale menggunakan kata buat/gara-

gara untuk menyalahkan Dinda atas keputusan pelaku sendiri. Contoh data

ujaran Kale yang menggunakan kata buat/gara-gara ialah sebagai berikut.

(1) Aku tuh ninggalin Mark and The Company tuh buat kamu, buat

proyek ini.

(2) Aku dimusuhin anak-anak tuh gara-gara kamu, gara-gara proyek

ini.

Kedua contoh ujaran tersebut diucapkan Kale ketika Dinda hendak

pergi ke ulang tahun Nina. Pada kedua contoh tersebut, Kale menggunakan
100

kata buat/gara-gara untuk menyalahkan Dinda atas keputusan yang dibuat

Kale sendiri. Pada contoh (1), Kale menggunakan kata buat untuk

menyalahkan Dinda atas keputusannya sendiri, sedangkan pada contoh (2),

Kale menggunakan kata gara-gara untuk menyalahkan Dinda atas

kemalangan (dimusuhi) yang ia alami.

5. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Kata Interjeksi

Kata interjeksi bertujuan mengungkapkan perasaan pembicara.

Kekerasan verbal yang diekspresikan menggunakan kategori kata interjeksi

terdiri atas dua kata, yaitu kata gila dan kata anjing. Kedua kata tersebut

digunakan pembicara untuk mengungkapkan rasa kecewa atau sesal. Kata

gila dan kata anjing merupakan kekerasan verbal yang berbentuk morfem

dasar dengan kelas kata interjeksi. Kata gila dan anjing digabungkan

bagiannya karena memiliki maksud dan tujuan yang sama dalam

penggunaannya.

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love) karya Angga

Dwimas Sasongko, Kale menggunakan kata-kata interjeksi saat sedang

marah. Contoh data ujaran Kale yang menggunakan kata-kata umpatan ialah

sebagai berikut.

(1) Gila lu. Hancur, hancur, gila lu.

(2) Dua minggu lalu kamu jalan sama Nina enggak bilang sama aku.

Argo datang dari lift, malam ini… Anjing!

Pada contoh (1), Kale menggunakan kata umpatan gila karena marah

mengetahui Dinda selama in berselingkuh. Dalam KBBI, kata gila bermakna


101

“gangguan jiwa; sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa

(sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal)”. Kata gila termasuk kata

umpatan karena berisi hinaan, yakni menyamakan Dinda dengan orang yang

tidak waras.

Pada contoh (2), Kale menggunakan kata umpatan anjing karena

marah Dinda bertemu dengan Argo di kamar hotel. Dalam KBBI, kata

anjing bermakna “mamalia yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah,

berburu, dan sebagainya”. Kata anjing termasuk kata umpatan karena

merupakan kata yang kasar, kotor, dan tidak sopan. Dengan menggunakan

kata anjing, Kale menyamakan Dinda dengan seekor hewan.

Kata gila dan anjing merupakan kata-kata interjeksi yang menjadi

penanda kekerasan verbal. Kekerasan verbal menggunakan kata-kata

tersebut menyebabkan rasa takut dan rendah diri pada pasangan. Karena

merupakan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata tersebut juga

menyebabkan pasangan merasa tidak dihargai. Pelaku menggunakan

kekerasan verbal kata-kata interjeksi untuk mengintimidasi pasangan.

Berdasarkan analisis yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa kata enggak, jangan, kan, emosi, emosional, buat, gara-gara, anjing, dan

gila merupakan penanda terjadinya kekerasan verbal karena, dalam konteks film,

penggunaan kata-kata tersebut bertujuan menyakiti dan memanipulasi pasangan

secara mental untuk mengikuti keinginan pelaku. Kata-kata tersebut tidak menjadi

penanda kekerasan verbal apabila digunakan dalam konteks lain yang tidak

bertujuan menyakiti atau memanipulasi.


102

4.2.2 Kekerasan Verbal Berbentuk Kalimat

Kekerasan verbal berbentuk kalimat tidak sebanyak kekerasan verbal

berbentuk kata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat dua bentuk

kalimat yang digunakan dalam mengekspresikan kekerasan verbal, yaitu kalimat

interogatif berisi pertanyaan retoris dan kalimat imperatif.

1. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Pertanyaan retoris

Pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang tidak membutuhkan

jawaban dan digunakan sebagai penegasan (Keraf, 2007). Pertanyaan retoris

merupakan pertanyaan yang maknanya berbalikan dengan isi pernyataan.

Dalam film Story of Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas

Sasongko, Kale menggunakan pertanyaan-pertanyaan retoris untuk

meremehkan Dinda. Contoh data ujaran Kale yang menggunakan

pertanyaan retoris ialah sebagai berikut.

(1) Yakin bisa?

(2) Apa iya semua manajer kayak kamu?

Pada contoh (1), Dinda hendak pergi ke ulang tahun Nina, tetapi Kale

keberatan karena Nina adalah adik Argo, jadi pastilah Argo akan hadir di

acara tersebut. Dinda kemudian memberikan solusi bahwa apabila ia

bertemu dengan Argo, ia bisa menghindarinya sehingga Kale tidak perlu

khawatir. Kale menggunakan pertanyaan retoris untuk meremehkan

kemampuan Dinda. Kalimat interogatif Yakin bisa? bermakna berbalik

dengan isi pernyataan tersebut. Makna pertanyaan retoris Yakin bisa? adalah

tidak bisa. Secara tidak langsung, Kale menyatakan bahwa Dinda tidak bisa
103

menghindari Argo. Pertanyaan retoris Yakin bisa? merupakan kekerasan

verbal yang berbentuk kalimat interogatif.

Pada contoh (2), Dinda memberi perhatian pada anggota band-nya,

seperti mendengarkan curahan hati anggota band-nya dan menghafal jenis

burger yang disukai anggota band-nya, termasuk Kale. Kale kemudian

memprotes sikap Dinda tersebut. Kale menggunakan pertanyaan retoris

untuk meremehkan cara Dinda berlaku sebagai manajer. Kalimat interogatif

Apa iya semua manajer kayak kamu? bermakna berbalik dengan isi

pernyataan tersebut. Makna pertanyaan retoris Apa iya semua manajer

kayak kamu? adalah tidak semua manajer seperti Dinda. Secara tidak

langsung, Kale menyatakan bahwa Dinda tidak seharusnya bersikap

demikian karena itu bukanlah hal yang biasa dilakukan manajer. Pertanyaan

retoris Apa iya semua manajer kayak kamu? merupakan kekerasan verbal

yang berbentuk kalimat interogatif.

Pertanyaan retoris menyebabkan pasangan meragukan kemampuan

dirinya sendiri. Pertanyaan retoris juga mempermalukan pasangan karena

menunjukkan bahwa pasangan mungkin bertindak tidak normal atau tidak

semestinya (seperti pada contoh (2)). Pelaku menggunakan kekerasan verbal

berupa pertanyaan retoris untuk mengontrol pasangan secara subtil, yakni

membuat pasangan meragukan kemampuan dan dirinya sendiri.

2. Ekspresi Kekerasan Verbal dengan Kalimat Imperatif

Kalimat imperatif digunakan untuk memerintah, menyuruh, meminta,

mengajak, melarang (perintah negatif), dan membiarkan. Dalam film Story


104

of Kale (When Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko, Kale

menggunakan kalimat imperatif untuk meminta Dinda jujur. Contoh data

ujaran Kale yang menggunakan kalimat imperatif ialah sebagai berikut

(1) Kamu masih cinta kan sama Argo? Jujur!

(2) Susah banget sih buat jujur! Jujur!

Kedua contoh kalimat imperatif tersebut merupakan bentuk kalimat

imperatif yang hanya terdiri atas verba adjektival jujur. Kedua kalimat

tersebut menyatakan permintaan. Pendeknya kalimat imperatif Jujur!

menunjukkan bahwa kalimat imperatif Kale bersifat kasar dan tidak sopan.

Kalimat imperatif Jujur! merupakan kekerasan verbal yang berbentuk

kalimat imperatif verba adjektival.

Penggunaan kalimat imperatif verba adjektival Jujur! secara khusus

menyatakan tuduhan pelaku terhadap pasangan, yakni pelaku menuduh

pasangan berbohong. Tuduhan yang disampaikan dalam bentuk kalimat

imperatif juga bersifat mengintimidasi. Dengan menggunakan kalimat

imperatif verba adjektival Jujur!, pelaku melakukan kekerasan emosional

terhadap pasangan, yakni berupa tuduhan sekaligus intimidasi.

Berdasarkan analisis yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa kalimat interogatif berupa pertanyaan retoris (Yakin bisa, Apa iya semua

manajer kayak kamu?) dan kalimat imperatif (Jujur!) merupakan kekerasan verbal

karena, dalam konteks film, penggunaan kalimat-kalimat tersebut bertujuan

menyakiti dan memanipulasi pasangan secara mental untuk mengikuti keinginan


105

pelaku. Kalimat-kalimat tersebut bukan merupakan kekerasan verbal apabila

digunakan dalam konteks lain yang tidak bertujuan menyakiti atau memanipulasi.
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa simpulan

yang akan dipaparkan sebagai berikut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa

ditemukan beberapa jenis kekerasan verbal dalam film Story of Kale (When

Someone’s in Love) karya Angga Dwimas Sasongko dan seluruh kekerasan verbal

diekspresikan menggunakan unsur-unsur bahasa. Secara khusus, simpulan

penelitian ini ialah sebagai berikut.

1. Ditemukan empat jenis kekerasan verbal yang dilakukan oleh tokoh

Kale terhadap tokoh Dinda, yaitu kekerasan verbal (1) mengkritik

(criticizing), (2) menuduh (accusing), (3) menyalahkan (blaming), dan

(4) melabeli (name-calling). Kekerasan-kekerasan verbal tersebut

dilakukan dengan tujuan Dinda mau menuruti keinginan Kale, yaitu

Dinda tidak pergi ke ulang tahun Nina, Dinda tidak mengakhiri

hubungan, dan Dinda tidak perhatian pada anggota bandnya. Namun,

tidak semua keinginan Kale dituruti oleh Dinda karena Dinda kukuh

pada keinginannya sehingga Dinda melawan atau hanya diam

mendengar perkataan Kale. Selain itu, kekerasan verbal juga dilakukan

oleh Kale semata-mata untuk menyakiti Dinda yang menyebabkan

Dinda merasa frustrasi dan takut pada Kale.

2. Kekerasan verbal tokoh Kale mengambil bentuk kata dan kalimat.

Terdapat lima kategori kata yang digunakan dalam mengekspresikan

106
107

kekerasan verbal, yakni kategori kata adverbia (enggak, jangan),

kategori kata fatis kan, kategori kata adjektiva (emosi, emosional),

kategori kata preposisi (buat/gara-gara), dan kategori kata interjeksi

(anjing, gila). Di sisi lain, terdapat dua bentuk kalimat yang digunakan

dalam mengekspresikan kekerasan verbal, yaitu kalimat interogatif

berupa pertanyaan retoris dan kalimat imperatif. Kata-kata dan kalimat-

kalimat tersebut menjadi penanda terjadinya kekerasan verbal karena

bertujuan menyakiti atau memanipulasi (mengendalikan pasangan tanpa

pasangan sadari) pasangan untuk mengikuti keinginan pelaku.

5.2 Saran

Adapun saran yang diberikan penulis bagi peneliti yang tertarik untuk

meneliti tentang kekerasan verbal dalam film ialah peneliti selanjutnya diharapkan

untuk mengkaji lebih banyak sumber maupun referensi yang terkait dengan

kekerasan verbal dari segi psikolinguistik agar hasil penelitian yang diperoleh

lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA

Amri, Y. K., & Putri, D. M. (2021). Psikolinguistik; Pengaruh Budaya pada


Perilaku Berbahasa. Medan: Umsu Press.
Antonius, P. (2019). Psikolinguistik: Memahami Aspek Mental dan Neurologis
Berbahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Azhar, I. N. (2014). "Kekerasan Verbal di Televisi dan Pengaruhnya pada
Perkembangan Bahasa Anak". Seminar Nasional Bahasa dan Sastra
(SENABASTRA), 168-176.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016, Oktober 28). KBBI.
Diambil kembali dari KBBI Daring: https://kbbi.kemdikbud.go.id
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2017). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Keempat.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Chaer, A. (2009). Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, S. (2003). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darwis, M. (2012). Morfologi Bahasa Indonesia: Bidang Verba. Makassar: CV
Menara Intan.
Daryanti, E., & Marlina, L. (2021). Kesehatan Perempuan dan Perencanaan
Keluarga. Tasikmalaya: Langgam Pustaka.
Doherty, D., & Berglund, D. (2008). Psychological Abuse - A Discussion Paper.
Ontario: Public Health Agency of Canada. Diambil kembali dari
canada.ca: https://www.canada.ca/content/dam/phac-aspc/migration/phac-
aspc/sfv-avf/sources/fv/fv-psych-abus/assets/pdf/fv-psych-abus-eng.pdf
Eriyanti, R. W., Syarifuddin, K. T., Datoh, K., & Yuliana, E. (2019). Linguistik
Umum. Jawa Timur: Penerbit Uwais Inspirasi Indonesia.
Evans, P. (2006). The Verbally Abusive Man (Can He Change?). USA: Adams
Media.
. (2010). The Verbally Abusive Relationship (Expanded Third Edition).
USA: Adams Media.
Fandri, O. (2013). Mekanisme Koping dalam Mengatasi Stres pada Mahasiswa
Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan RI Tingkat Satu Meulaboh
(Skripsi). Meulaboh-Aceh Barat: Universitas Teuku Umar.

108
109

Hunt, J. (2013). Verbal & Emotional Abuse: Victory Over Verbal and Emotional
Abuse. California: Aspire Press.
Iqbal, M., Azwardi, & Taib, R. (2017). Linguistik Umum. Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press.
Keraf, G. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kolk, B. A. (2014). The Body Keeps the Score (Brain, Mind, and Body in the
Healing of Trauma). United States: Penguin Publishing Group.
Komnas Perempuan. (2021, Maret 5). "Perempuan dalam Himpitan Pandemi:
Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan
Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19". Catahu 2021: Catatan
Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020.
Kridalaksana, H. (1982). Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Kuswoyo, H. (2021). "Neuropsikolinguistik". Dalam W. D. Khusnah, S. Ningsih,
J. Shiddiq, N. Saputra, H. Kuswoyo, N. M. Jalal, . . . J. H. Purba, Kajian
Psikolinguistik (hal. 88-101). Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Laksamana, S. (Produser), & Sasongko, A. D. (Sutradara). (2020). Story of Kale
(When Someone's in Love) [Gambar Hidup]. Indonesia.
Lestari, T. (2016). Verbal Abuse: Dampak Buruk dan Solusi Penanganannya
pada Anak. Yogyakarta: Psikosain.
Maiuro, R. (2001). "Preface: Sticks and Stones May Break My Bones, But Names
Will Also Hurt Me: Psychological Abuse in Domestically Violent
Relationships". Dalam C. Ahrens, I. Arias, L. Bennet, A. Blickenstaff, D.
W. Campbell, J. Campbell, . . . R. M. Tolman, K. D. O'Leary, & R. D.
Maiuro (Penyunt.), Psychological Abuse in Violent Domestic Relations
(hal. ix-xx). United States: Springer Publishing Company.
Mayorita, D. (2021). Toxic Relationsh*t: Bagaimana Sindrom Gadis Baik
Menjebakmu dalam Hubungan Tidak Baik. Yogyakarta: Buku Mojok
Group.
Muhamad, R. N. (2021). "Kekerasan Verbal Berupa Labeling oleh Mahasiswa di
Universitas Jember: Suatu Kajian Psikolinguistik". Jurnal Ilmiah Bahasa
dan Sastra, 301-321.
Nevid, J. S. (2018). Psikologi: Konsepsi dan Aplikasi. (M. Chozim, Penerj.)
Bandung: Penerbit Nusa Media.
Nurhayati. (2023). Penggunaan Bahasa di Media Sosial: Kajian Psikolinguistik.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
110

Rosnawati. (2013). Penggunaan Kekerasan Verbal Bahasa Indonesia Siswa


Sekolah Lanjutan Atas di Kabupaten Kolaka: Kajian Psikolinguistik
(Skripsi). Makassar: Universitas Hasanuddin.
Saifuddin, A. (2022). Psikologi Umum Dasar. Jakarta: Kencana.
Saputra, R. R. (2020). Bahasa Indonesia. Banjarmasin: Deepublish.
Setiawan, D. (2017). Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Psikis dalam Ruang
Lingkup Rumah Tangga (Skripsi). Makassar: Universitas Hasanuddin.
Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Suharti, S. (2021). "Konsep Dasar Linguistik". Dalam W. D. Khusnah, S. Ningsih,
J. Shiddiq, N. Saputra, H. Kuswoyo, N. M. Jalal, . . . J. H. Purba, Kajian
Psikolinguistik (hal. 1-15). Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Susiati, S. (2020, 5 28). Materi: Morfologi Bahasa Indonesia. Diambil dari
Research Gate: 10.13140/RG.2.2.27987.20001
Syahrita, A. C. (2017). Kemampuan Memahami Struktur Gramatikal Kalimat
Bahasa Indonesia Siswa Kelas Vila MTs Aisyah Sungguminasa Kab.
Gowa (Skripsi). Makassar: Universitas Muhammadyah.
Tarigan, H. G. (2021). Prinsip-prinsip Dasar Sintaksis. Bandung: Penerbit
ANGKASA.
Unsiah, F., & Yuliati, R. (2018). Pengantar Ilmu Linguistik. Malang: Universitas
Brawijaya Press (UB Press).
WebMD. (2020). Mental Health: Signs of Verbal Abuse (Emotional and Verbal
Abuse). Diambil kembali dari WebMD: https://www.webmd.com/mental-
health/signs-verbal-abuse
You, Y. (2021). Dominasi Patriarki dan Kekerasan atas Perempuan Hubula Suku
Dani. Bandung: Nusamedia.

Anda mungkin juga menyukai