Anda di halaman 1dari 176

TESIS

PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN


MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR

THE USE OF LAND FOR SETTLEMENT AREA


ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY

Disusun dan diajukan oleh:

FATMASARI
P3600210023

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

i
HALAMAN JUDUL

PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN


MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR

THE USE OF LAND FOR SETTLEMENT AREA


ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY

TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Disusun dan diajukan oleh :

FATMASARI
P3600210023

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

ii
LEMBAR PENGESAHAN

PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN


MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR

Diajukan dan disusun oleh:

FATMASARI
P3600210023

MENGETAHUI

KOMISI PENASIHAT

Ketua Anggota

Prof.Dr.Syamsul Bachri, S.H.,M.S. Dr.Sri Susyanti Nur, S.H.,M.H.


NIP. 19540420 198103 1 003 NIP. 19641123 199002 2 001

MENGETAHUI:
KETUA PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

Dr. Nurfaidah Said, S.H.,M.H.,M.Si.


NIP. 19600621 198601 2 001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : FATMASARI

Nomor Pokok : P3600210023

Program : Magister (Strata 2)

Program studi : Magister Kenotariatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul


”Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan Permukiman Menurut Rencana
Tata Ruang Kota Makassar” adalah benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran
orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 10 Mei 2013

Yang menyatakan,

FATMASARI

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahir Wabarakatuh,

Alhamdulillah. Rasa syukur yang dalam penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa, Pencipta Ilmu dan

Pengetahuan, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Teriring

shalawat dan salam senantiasa penulis lantunkan kepada Nabi

Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis

ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada

Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin

Makassar.

Dalam melakukan penullisan tesis ini, penulis mendapat banyak

bantuan dari berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk

itu penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan penghargaan

yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Tesis ini penulis persembahkan khusus kepada ibunda tercintaa

Hj. Mastam, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan

serta cinta dalam kehidupan penulis. Juga penulis persembahkan

untuk ayahanda tercinta, H. Abdul Muin, BA, yang selalu memberikan

v
semangat, mendoakan, memberikan bantuan moril dan materil hingga

selesainya penulisan ini;

2. Suami tercinta Muh. Najib, S.E., Anak-anak penulis, Muh. Hendy

Amirul Alifka, Muh. Rafli Indrajiv,v, Reyza Aurelia Triana, Elzi

Indriana Ramadhani, yang selalu menjadi semangat bagi penulis

dalam penyelesaian tesis ini;

3. Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S., selaku Ketua Komisi Penasihat

dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., selaku Anggota Komisi

Penasihat, yang telah membimbing dan memberikan waktunya kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H., Prof. Dr. M. Yunus Wahid, S.H.,

M.H., Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H., selaku Anggota Komisi Penguji,

atas saran, kritik dan waktu yang telah diberikan kepada penulis;

5. Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO., selaku Rektor Universitas

Hasanuddin, beserta staf;

6. Prof. Aswanto, S.H., M.H., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, beserta Pembantu Dekan I, Prof. Dr. Ir. Abrar

Saleng, S.H., M.H., Pembantu Dekan II. Dr. Anshori, S.H., M.H.,

Pembantu Dekan III, Romi Librayanto, S.H., M.H;

7. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan, dan Kahar Lahae, S.H., M.H., selaku Sekretaris

vi
Program Studi Magister Kenotariatan, beserta staf, Ibu Eppy dan

Pak Aksa, atas segala bantuan selama menempuh pendidikan di

Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan;

8. Seluruh staf pengajar Program Magister Kenotariatan yang telah

mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat

kepada penulis;

9. Prof. Dr. Hasbir, S.H., M.H. dan Ibu Lisa Valda, S.H., MKn, yang

senantiasa memberikan motivasi dan bantuan baik moril dan materil

kepada penulis;

10. Bapak Drs. Masri Tiro, MSc, Kepala Bidang Fisik dan Sarana

BAPPEDA, Kota Makassar, Ir. Darwis Herman, Kepala sub Bidang

Perhubungan Tata Ruang dan Lingkungan BAPPEDA Kota Makassar,

Ir. Muh. Ichsan Said, beserta seluruh Staf BAPPEDA yang telah banyak

memberikan data pada saat penelitian.

11. Bapak Apriady, SH, MH, Kepala Bagian Hukum dan HAM Sekretariat

Kota Makassar, Bapak Umar, SH, Kepala sub Bagian Hukum dan HAM

Pemerintah Kota Makassar, Asma Suharti, SH, beserta staf yang telah

membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis

ini.

12. Bapak Ir. Ahmad Husain, MSi, Kepala Bidang Tata Ruang, Dinas Tata

Ruang dan Bangunan Kota Makassar, beserta staf yang telah

vii
membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis

ini.

13. Bapak Ir. Supardi, Kepala Seksi Rencana Mikro dan Detail pada Dinas

Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, Ir. Donni, beserta staf

yang telah membantu memberikan data sehubungan dengan

penyelesaian tesis ini.

14. Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Kepala Seksi penertiban pada Dinas

Tata Ruang dan Bangunan, Emir, SH, beserta staf yang telah

membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis

ini.

15. Bapak Muhammad Yusuf Taba, SE, Pengembang/Developer

Perumahan Barombong Griya Galesong, beserta staf yang telah

membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian tesis

ini.

16. Bapak Syaiful Mangimbangi, Pengembang/developer beserta staf yang

telah membantu memberikan data sehubungan dengan penyelesaian

tesis ini.

17. Bunda A. Kadariah, S.H., MKn, Israiny, SH, Dewi Wulandari, S.H.,

MKn, Ibu Rasyida, S.H., MKn, Ibu Yati, S.H., Ibu Julianti Paputungan,

S.H., MKn, Audrey, S.H., MKn, Erin Daryansyah, S.H., MKn,, serta

teman-teman penulis, lainnya di Magister Kenotariatan UNHAS 2010,

viii
yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian

tesis ini. Terima kasih telah menjadi bagian dalam hidup penulis

sampai kapanpun. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar,30 Maret 2012

Penulis,

FATMASARI

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................................ iii

KATA PENGANTAR.............................................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................. v

ABSTRACT ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 11
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 11
E. Orisinalitas Penelitian .......................................................... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 14


A. Prinsip Negara Hukum ........................................................ 14
B. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah ..................................... 17
C. Hak Menguasai Negara Atas Tanah.................................... 20
D. Hak Perseorangan Atas Tanah. .......................................... 24
E. Pemanfaatan /Penatagunaan Tanah. .................................. 27
1. Pengertian Tanah….. ..................................................... 27
2. Pengertian Penatagunaan Tanah .................................. 28
3. Prinsip dan Dasar Hukum Penatagunaan Tanah ........... 33
4. Pengertian Ruang .......................................................... 38
5. Pengertian Tata Ruang .................................................. 40
6. Rencana Tata Ruang ..................................................... 42
7. Pengertian Kawasan ...................................................... 45
F. Pengertian Kesadaran Hukum……………………………... .. 46
G. Pengertian Perizinan……………………………... ................. 48

x
H. Sanksi Administratif dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006 .... 52
I. Landasan Teori. ................................................................... 68
1. Teori Kewenangan….. .................................................. 68
2. Teori Kepastian Hukum ................................................ 73
3. Teori Perencanaan ...................................................... 75
4. Teori Koordinasi ............................................................. 79
J. Kerangka Pikir ...................................................................... 83
K. Definisi Operasional. ........................................................... 84

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 86


A. Tipe Penelitian ..................................................................... 86
B. Lokasi Penelitian. ................................................................ 86
C. Populasi dan Sampel........................................................... 86
D. Jenis dan Sumber Data. ...................................................... 87
E. Teknik Pengumupulan Data ................................................ 88
F. Analisis Data ....................................................................... 88

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 89


A. Pemanfaatan Kawasan Permukiman Dalam Pengaturan ....
Tata Ruang Kota Makassar ................................................. 89
1. Perizinan ......................................................................... 115
2. Koordinasi Kelembagaan ................................................ 132
3. Pengawasan .................................................................... 138
4. Peran Serta Masyarakat .................................................. 141
B. Penerapan Sanksi Terhadap Pemanfaatan Kawasan .........
Permukiman Yang Tidak Sesuai Dengan Rencana Tata….
Ruang Wilayah Kota Makassar Masyarakat ........................ 147

BAB V PENUTUP................................................................................. 158


A. Kesimpulan ........................................................................... 158
B. Saran .................................................................................... 158

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 160

xi
DAFTAR TABEL

Hal

Tabel1: Pendapat Narasumber dan Responden Tentang

Pemanfaatan Kawasan Permukiman dalam Pengaturan

RTRW Kota Makassar..................................................... 101

Tabel2: Data Permohonan Yang Memperoleh Rekomendasi

Mendirikan Bangunan untuk Permukiman, Ruko dan

Rukan Tahun 2010- 2012.................................................. 121


Tabel 3: Target dan Realisasi Retribusi Izin Mendirikan……..

Bangunan……………………………………………………… 124

Tabel 4: Rekomendasi Izin Prinsip untuk Perumahan………….

di Kota Makassar Tahun 2010-2012…………………….. 128

Tabel 5: Jenis dan Jumlah Pelanggaran RTRW di Kota……….


Makassar………………………………………………..……… 150
Tabel 6: Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mengurus
Izin Mendirikan Bangunan (n=48)…………………………. 151
Tabel 7: Pengetahuan Masyarakat tentang Garis Sempadan…..
Bangunan (GSB)…..………………………………………… 153

xii
ABSTRAK

FATMASARI, Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan Permukiman


Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (dibimbing oleh
Syamsul Bachri dan Sri Susyanti Nur).
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pemanfaatan tanah untuk
kawasan permukiman, dan bagaimana pengaturannya dalam tata ruang
Kota Makassar serta untuk mengetahui dan memahami penerapan sanksi
terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan
pengaturan tata ruang Kota Makassar.
Tipe penelitian yang digunakan adalah sosio-yuridis. Sampel
penelitian ditetapkan secara Purposive Sampling. Data yang diteliti meliputi
data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
narasumber dan responden, data sekunder merupakan data yang dapat
mendukung keterangan-keterangan atau menunjang kelengkapan data
primer yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier. Data tersebut dianalisis secara
deskriptif kualitatif
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah untuk
kawasan permukiman di Kota Makassar belum sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Makassar, hal ini dikarenakan belum
disahkannya RDTR yang akan mengatur secara rinci atau detail 13
kawasan di Kota Makassar, sehingga DTRB dalam memberikan IMB dan
izin prinsip tidak berdasarkan suatu pedoman yang jelas atau rinci, faktor
lain adalah lemahnya koordinasi kelembagaan antar aparat Pemerintah
Kota, lemahnya pengawasan yang mengakibatkan tidak terjaringnya
semua pelanggaran pemanfaatan tata ruang serta kurangnya pemahaman
dan peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan tata ruang Kota
Makassar. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman
yang tidak sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar hanya
sebatas sanksi administratif belum pernah ditindak lanjuti dengan
penerapan sanksi perdata dan sanksi pidana.

Kata kunci : Tata Ruang, Kawasan Permukiman

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan penduduk di suatu negara menuntut pemerintahnya

untuk mampu menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hidup bagi

rakyatnya. Kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

tersebut, terutama negara yang menganut paham Welfare State1,

sebagaimana halnya Indonesia. Negara dituntut untuk berperan lebih jauh

dan melakukan campur tangan terhadap aspek-aspek pemenuhan

kebutuhan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

rakyatnya. Dengan adanya kewajiban tersebut, maka pemerintah dapat

mengatur dan mengelolah penggunaan dan pemanfaatan sumber daya

alam baik darat, laut maupun udara yang tersedia, dengan selalu

memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang

1
Welfare State (Negara Kesejahteraan) selain mengharuskan setiap tindakan
negara berdasarkan hukum, negara juga diberikan tugas dan tanggung jawab untuk
mensejahterakan masyarakat. Ciri dari negara kesejahteraan adalah:
 Mengutamakan terjaminnya hak-hak sosial ekonomi rakyat.
 Hak milik tidak bersifat mutlak.
 Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan akan tetapi turut serta dalam
usaha-usaha sosial dan ekonomi.
 Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan
membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara.
 Peranan hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi
semakin luasnya peranan negara. (Dikutip dari Ridwan HR, Hukum Administrasi
Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2011, hal 14).

1
berbeda-beda, sehingga akan tercapai suatu tujuan negara yaitu

mensejahterakan masyarakatnya.2

Negara Indonesia sebagai negara hukum yang berkedaulatan

rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia 19453 selanjutnya disebut UUD NRI 1945, menjamin

kesejahteraan rakyat meliputi aspek yang sangat luas terdiri dari aspek

sosial, politik, ekonomi dan budaya yang sangat dibutuhkan bagi

kehidupan masyarakat.4

Keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha

memacu pertumbuhan yang mendukung pemerataan serta peningkatan

pertumbuhan ekonomi, diupayakan sejalan dengan kemampuan alam

bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta kebutuhan masyarakat yang

semakin beraneka ragam sehingga dengan adanya kondisi tersebut

memerlukan adanya campur tangan dari pihak pemerintah, oleh karena

dalam pemanfaatan sumber daya alam menyangkut hajat hidup orang

banyak.5

Pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya mempunyai

kewenangan-kewenangan dalam mengelolah sumber daya alam sebesar-

2
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, 2008, hal 19.
3
UUD NRI 1945 telah mengalami empat kali amandemen, namun Pasal 33 ayat 3
tidak mengalami perubahan. Berdasarkan amandemen keempat UUD NRI 1945, Pasal 33
ditambah menjadi lima ayat.
4 Padmo Wahjono dalam Winahyu Erwiningsih, Hak Pengelolaan Atas Tanah,

Total Media, Yogyakarta, 2011, hal 23.


5 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 20.

2
besarnya untuk kemaslahatan rakyat, yang antara lain adalah hak

menguasai negara atas tanah. Hak menguasai negara merupakan

instrumen (bersifat instrumental), yang tujuannya adalah dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian negara

mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, termasuk ruang angkasa. Oleh karena itu,

pelaksanaan kekuasaan hak negara tersebut secara tidak langsung

merupakan instrumen kontrol terhadap mekanisme dan prosedur

penyelenggaraan hak dan kewenangan tersebut.6

Hak menguasai negara merupakan penjabaran dari Pasal 33

ayat (3) amandemen keempat UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Kata-kata dikuasai oleh negara inilah yang melahirkan konsep hak

menguasai negara atas sumber daya alam di Indonesia7, yang dijabarkan

dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria8 selanjutnya disingkat UUPA.

6 Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Hak atas Tanah Bidang Agribisnis, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010, hal 13.
7
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010,
hal 100.
8
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

3
Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

oleh negara yang dilaksanakan pemerintah sangat penting, mengingat

pesatnya pembangunan ternyata dihadapkan pada masalah-masalah yang

berkaitan dengan pemanfaatan tanah. Masalah-masalah yang krusial

tersebut adalah terbatasnya tanah yang tersedia dengan berbagai fungsi

peruntukannya, pemanfaatan dan pengelolaan tanah serta pola tata ruang

yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh,

penggunaan tanah yang sering terjadi penyimpangan dari peruntukannya,

persaingan mendapatkan lokasi atau tanah yang telah didukung atau yang

berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan sebagai akibat

pertumbuhan dan perkembangan kota serta masih rendahnya kesadaran

hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga

negara.

Kewenangan negara untuk mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan

ruang angkasa mengandung arti bahwa negara dalam hal ini pemerintah

memiliki kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai

persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan

serta untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang akhirnya

pemerintah menyusun Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang

4
Penataan Ruang,9 namun seiring dengan adanya perubahan terhadap

paradigma Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Daerah diberi

kewenangan untuk mengelolah daerahnya sendiri (Otonomi Daerah)10

berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah11, maka ketentuan mengenai penataan ruang

mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikannya ketentuan

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang12 selanjutnya disingkat UUPR.

Tujuan dari penetapan kebijakan pemerintah terkait penataan

ruang yaitu dalam Pasal 3 UUPR bahwa penyelenggaraan penataan ruang

bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,

produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan

Ketahanan Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dengan


lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan

9
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493.
10
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai penyerahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan
pemerintahan dan perencanaan pembangunan. Dengan adanya konsep otonomi daerah
maka Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup luas dalam menentukan
arahan kebijakan, khususnya mengenai rencana pembangunan. (Dikutip dari Juniarso
Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 86).
11
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.
12
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725.

5
c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Berdasarkan Pasal 14 UUPA, Pemerintah Daerah diberi

wewenang mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan serta

pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan

tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang

penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan,

pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, yang didasarkan pada

pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan

pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah

provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut

merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif.

Sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan dan dengan

tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata

dengan baik, dapat mendorong kearah terciptanya ketidakseimbangan

pembangunan antar wilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan

ruang.

6
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) huruf b UUPR meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

Pemanfaatan tanah untuk mewujudkan penataan ruang wilayah

perkotaan yang optimal sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat

seyogyanya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2006-2016

selanjutnya disingkat RTRW Kota Makassar, Pasal 9 mengatur bahwa

Kawasan Pengembangan Terpadu Kota Makassar, terdiri atas:

1. Kawasan Pusat Kota, yang berada pada bagian tengah Barat


dan Selatan Kota mencakup wilayah Kecamatan Wajo, Bontoala,
Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah dan Tamalate;
2. Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada bagian
tengah pusat dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan
Manggala, Panakkukang, Rappocini dan Tamalate;
3. Kawasan Pelabuhan Terpadu yang berada pada bagian tengah
Barat dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Ujung
Tanah dan Wajo;
4. Kawasan Bandara Terpadu, yang berada pada bagian tengah
Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Biringkanaya dan
Tamalanrea;
5. Kawasan Maritim terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota,
mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea;

7
6. Kawasan Industri Terpadu, yang berada pada bagian tengah
Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea dan
Biringkanaya;
7. Kawasan Pergudangan Terpadu, yang berada pada bagian
Utara Kota mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea,
Biringkanaya dan Tallo;
8. Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada pada bagian
tengah Timur Kota mencakup wilayah Kecamatan Panakkukang,
Tamalanrea dan Tallo;
9. Kawasan Penelitian Terpadu yang berada pada bagian tengah
Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tallo;
10. Kawasan Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan
Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate;
11. Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada bagian Selatan
Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate;
12. Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada
bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan
Tamalate;
13. Kawasan Bisnis Global Terpadu, yang berada pada bagian
tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Mariso.

Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di

atas pada dasarnya merupakan sebuah alat pengendalian bagi

Pemerintah Kota Makassar dalam mengatur tata ruang Kota Makassar

dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi pengaturan zonasi tersebut pada

pelaksanaannya tidak sesuai dengan realisasi pelaksanaan pembangunan

misalnya pada saat ini di setiap kawasan yang merupakan jalan protokol

telah dipenuhi dengan pembangunan Ruko (rumah toko). Oleh karena itu

pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan dalam RTRW

Kota Makassar pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan sesuai

dengan yang diharapkan.

8
Salah satu pengaturan yang sangat penting adalah pengaturan

tentang kawasan permukiman terpadu. Kawasan permukiman terpadu

adalah kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi pemusatan dan

pengembangan permukiman atau tempat tinggal/hunian beserta prasarana

dan sarana lingkungannya yang terstruktur secara terpadu.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan

peningkatan kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang

terkait. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang

terkait tersebut tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan.

Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong terjadinya

pergeseran fungsi atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi atau alih fungsi

lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau

kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman.

Kebutuhan permukiman yang merupakan kebutuhan pokok dari

masyarakat merupakan masalah yang sulit dikendalikan oleh Pemerintah

Kota karena terjadi persoalan-persoalan diantaranya adalah efek atau

dampak dari alih fungsi lahan. Efek atau dampak dari alih fungsi lahan atau

pergeseran fungsi kawasan ini adalah terjadinya banjir, kebakaran, dan

kemacetan, sedangkan efek atau dampak dari tidak terpenuhinya

kebutuhan perumahan adalah rentan terjadi penurunan kesehatan

masyarakat serta mudah terjadi konflik.

9
Pada harian Fajar terbitan Jumat, tanggal 4 Januari 2013

mengungkapkan telah terjadi banjir pada beberapa kelurahan di Kota

Makassar yang merupakan kawasan permukiman. Banjir yang terparah

adalah di Kelurahan Batua yang menyebabkan para warga terpaksa

mengungsi oleh karena ketinggian air telah mencapai 1,5 meter. Salah

satu penyebabnya adalah banyaknya drainase yang tertutup oleh

bangunan permukiman baru13 serta terjadinya alih fungsi dari ruang

terbuka hijau yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih

fungsi menjadi kawasan perumahan. Hal ini menunjukkan bahwa RTRW

Kota Makassar sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan dinamika

masyarakat pada saat ini.

Berdasarkan uraian di atas maka issue penelitian yang penulis

angkat adalah bahwa RTRW Kota Makassar belum sesuai dengan UUPR

dan kurangnya sinergitas kewenangan antara aparat Pemerintah Kota

Makassar dalam pemanfaatan kawasan permukiman terhadap rencana

tata ruang Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut

rencana tata ruang wilayah Kota Makassar?

13
Koran “ Fajar”, Jumat Tanggal 4 Januari 2013.

10
2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan

permukiman yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang wilayah

Kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami, serta menjelaskan tentang

pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut rencana tata

ruang wilayah Kota Makassar.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang penerapan sanksi terhadap

pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan rencana

tata ruang wilayah Kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

untuk kepentingan teoretis maupun untuk kepentingan praktis.

1. Manfaat Secara Teoretis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap peningkatan dan

pengembangan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum

Tata Ruang pada khususnya terkait dengan pemanfaatan tanah

kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah Kota

Makassar.

11
2. Manfaat Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi Pemerintah Kota Makassar terhadap pemanfaatan

kawasan permukiman dalam tata ruang Kota Makassar yang lebih baik

khususnya bagi pengambil kebijakan terhadap pemanfaatan tanah

kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah Kota

Makassar.

E. Orisinalitas Penelitian

Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau

penelitian tentang ”Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan Permukiman

Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar”, belum pernah ada

yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang

meneliti yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu:

Tesis Robert Kurniawan Ruslak Hammar (2001), Program Pasca

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dengan judul “Penataan

Ruang Kota dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Hak-Hak Rakyat

atas Tanah di Kota Manokwari”. Tesis ini membahas tentang rendahnya

partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota dan kurangnya

sosialisasi rencana tata ruang serta tidak transparannya pelaksanaan

musyawarah dalam pengadaan tanah yang berarti hak-hak rakyat atas

tanah di Kota Manokwari kurang terlindungi. Sementara tesis penulis lebih

12
menitikberatkan pada pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman

berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dan RTRW Kota

Makassar, serta penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan

permukiman yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang wilayah Kota

Makassar.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara

Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum maka segala

kekuasaan yang ada dalam negara harus berlandaskan dan tunduk pada

hukum yang berlaku. Oleh karena itu segala kewenangan dan tindakan

alat-alat perlengkapan negara semata-mata berdasarkan hukum atau

dengan kata lain diatur oleh hukum.14

Pengertian lain dari negara hukum adalah bahwasanya kekuasaan

negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap tindak, tingkah

laku dan perbuatan baik yang dilakukan oleh para penguasa atau aparatur

negara maupun dilakukan oleh warga negara harus berdasarkan atas

hukum, termasuk dalam hal ini pemenuhan hak-hak setiap warga negara

yang sama di depan hukum dengan didasari prinsip kepastian hukum.

Negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi dapat juga

disebut sebagai negara hukum demokratis karena di dalamnya

mengakomodir prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.

J.B.J.M. ten Berge15 menyatakan prinsip-prinsip negara hukum adalah:

14
Abdul Azis Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011, hal 8.
15
Ridwan HR, Op. Cit, hal 198.

14
1. Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh
pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang
yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara
umum harus memberikan jaminan terhadap warga negaranya
dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, kolusi dan
berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan
wewenang oleh organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya
pada undang-undang tertulis.
2. Perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Pemerintah terikat pada hukum.
4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan
hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum itu
dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah
masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum.
Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum
melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik
secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum
tidak dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya
dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu, dalam setiap
negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang
merdeka.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.16 menyatakan terdapat 11 prinsip

pokok negara demokrasi atas hukum dalam perspektif yang bersifat

horizontal dan vertikal, yaitu:

1. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan


bersama;
2. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau
pluralitas;
3. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan
bersama;
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan
mekanisme aturan yang ditaati bersama;
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia;

16
http//hukum.kompasiana.com/2012/12/17/penjabaran di akses tanggal 09 april
2013 jam 11.25.

15
6. Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan
pembatasan kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian
sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara
vertikal maupun horizontal;
7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak
(independent and impartial) dengan kewibawaan putusan yang
tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;
8. Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin
keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau
kebijakan pemerintah (pejabat administrasi negara);
9. Adanya mekanisme “Judicial review” oleh lembaga peradilan
terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan
oleh lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif;
10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur jaminan-jaminan peiaksanaan prinsip-prinsip tersebut;
11. Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law
dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. Dibuatnya
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
jaminan-jaminan peiaksanaan prinsip-prinsip tersebut;

Berdasarkan pandangan para ahli hukum di atas terhadap prinsip

negara hukum maka negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan

atas hukum harus mendasarkan pelaksanaan pengaturan atas bumi, air

dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,

berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu UUD NRI

1945, UUPA, dan UUPR sebagai dasar hukum bagi organ pemerintah

dalam melaksanakan pengaturan, pemanfaatan, pengelolaan dan

pengendalian tata ruang.

Pasal 14 UUPA menetapkan agar Pemerintah dan Pemerintah

Daerah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan

16
dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, untuk:

1. Kepentingan yang bersifat politis


Termasuk kepentingan yang bersifat politis, misalnya
perkantoran Pemerintah atau Pemerintah Daerah, pertahanan
dan keamanan.
2. Kepentingan yang bersifat ekonomis
Termasuk kepentingan yang bersifat ekonomis, misalnya tanah
untuk pengembangan pertanian, perikanan, peternakan,
perkebunan, industri, pertokoan, perdagangan, kehutanan,
pertambangan.
3. Kepentingan yang bersifat sosial dan keagamaan
Termasuk kepentingan yang bersifat sosial dan keagamaan,
yaitu tanah untuk keperluan perumahan, peribadatan, makam,
kesehatan, pendidikan, rekreasi.17

B. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah

Hak bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik,

artinya semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang bersatu

sebagai bangsa Indonesia. Selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya

seluruh tanah yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan antara

bangsa Indonesia dan tanah bersifat abadi, artinya hubungan antara

bangsa Indonesia dan tanah akan berlangsung tiada terputus untuk

selamanya. Sifat abadi artinya selama rakyat Indonesia masih bersatu

sebagai bangsa Indonesia dan selama tanah bersama tersebut masih ada

17
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012,
hal 242.

17
pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan

yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Hak

bangsa Indonesia atas tanah merupakan induk bagi hak-hak penguasaan

yang lain atas tanah, mengandung pengertian bahwa semua hak

penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak bangsa Indonesia

atas tanah dan bahwa keberadaan hak penguasaan apapun, hak yang

bersangkutan tidak meniadakan eksistensi hak bangsa Indonesia atas

tanah.18 Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur,

yaitu sebagai berikut:

1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti

hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat

Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Pernyataan ini

menunjukkan sifat komunalistik dari konsepsi Hukum Tanah Nasional.

2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan

memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama

tersebut.

Unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur

tangan kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang

termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat

Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa

Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada

18
Ibid, hal 78.

18
tingkatan tertinggi diserahkan kepada Negara Republik Indonesia sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat.19

Boedi Harsono dalam Urip Santoso menyatakan, pernyataan

tanah yang dikuasai oleh bangsa Indonesia sebagai tanah bersama

tersebut menunjukkan adanya hubungan hukum di bidang Hukum Perdata.

Biarpun hubungan hukum tersebut hubungan perdata bukan berarti bahwa

hak bangsa Indonesia adalah hak kepemilikan pribadi yang tidak

memungkinkan adanya hak milik individual. Hak bangsa Indonesia dalam

Hukum Tanah Nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan

penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan hak milik oleh warga

negara secara individual.20

Bagian-bagian atau bidang-bidang tanah hak bersama tersebut

dapat diberikan kepada orang atau badan hukum untuk dikuasai dalam

bentuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai.

Pemberian hak tersebut terkait dengan subjek pemegang haknya.

Dalam hal ini menurut undang-undang kewarganegaraan yang dimaksud

dengan orang-orang yang termasuk Warga Negara Indonesia atau rakyat

Indonesia yang disebut Warga Negara Indonesia (WNI). Setiap Warga

19
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di
Bidang Pertanahan, Rajawali Pres, Jakarta, 2009, hal 21.
20
Urip santoso, Loc. Cit, hal 78.

19
Negara Indonesia tidak dibedakan menurut asal keturunannya (asli atau

keturunan asing) maupun tidak dibedakan jenis kelaminnya.

Ketentuan ini menjadikan setiap Warga Negara Indonesia yang

merupakan bagian dari bangsa Indonesia mempunyai hak yang sama

untuk memperoleh bidang-bidang tanah sesuai dengan kebutuhannya.

Bidang tanah tersebut dapat dimiliki dalam bentuk hak milik sebagai hak

atas tanah yang tertinggi maupun dengan hak-hak atas tanah lainnya,

sesuai dengan keperluan subjek pemegang haknya.21

C. Hak Menguasai Negara Atas Tanah

Hak menguasai negara atas tanah bersumber pada hak bangsa

Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan

pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum

publik. Tugas mengelolah seluruh tanah bersama tidak mungkin

dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka dalam

penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan

pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada

negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Pasal 2

ayat (1) UUPA.22

21
Ibid, hal 79.
22
Ibid, hal 80.

20
Hak menguasai negara atas tanah memberikan wewenang

kepada negara untuk:23

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah:

a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan

dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan (Pasal 14 UUPA

jo. UUPR)

b. Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk memelihara

tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah

kerusakannya (Pasal 15 UUPA).

c. Mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah pertanian untuk

mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif

dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10 UUPA).

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah:

a. Menentukan hak-hak atas tanah yang bisa diberikan kepada Warga

Negara Indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain atau kepada badan hukum. Demikian juga hak

atas tanah yang dapat diberikan kepada Warga Negara Asing

(Pasal 16 UUPA).

23
Sri Susyanti Nur, Bank Tanah “Alternatif Penyelesaian Masalah
PenyediaanTanah untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan”, AS Publishing, Makassar,
2010, hal 35.

21
b. Menetapkan dan mengatur mengenai pembatasan jumlah bidang

dan luas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang

atau badan hukum (Pasal 7 jo. Pasal 17 UUPA).

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Termasuk dalam wewenang ini adalah:

a. Mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia (Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah).

b. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah.

c. Mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik yang

bersifat Perdata maupun Tata Usaha Negara, dengan

mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Sri Susyanti Nur menyatakan atas dasar hak menguasai tersebut,

luas kekuasaan negara atas tanah meliputi:24

1. Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak tertentu oleh

perorangan. Kekuasaan negara atas tanah itu bersifat tidak langsung,

artinya negara tidak bisa secara langsung menggunakan tanah ini

apabila negara memerlukan;

2. Tanah-tanah yang belum dipunyai oleh orang perorangan, kekuasaan

negara bersifat langsung, juga negara dapat memberikan kepada

24
Ibid, hal 36.

22
perorangan atau badan hukum menurut keperluannya seperti hak milik,

hak guna usaha, hak guna bangunan dan lainnya.

Objek hak menguasai negara sebagaimana yang ditentukan

dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bumi, air dan ruang angkasa termasuk

kekayaan alam yang ada di dalamnya. Objek hak menguasai negara

terhadap bumi adalah selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di

bawahnya serta yang berada di bawah air. Sebagaimana Pasal 1 ayat (4)

UUPA, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi termasuk pula

tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Tentang hal ini,

Parlindungan25 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bumi, selain

di atas bumi, yaitu hak-hak atas tanah seperti yang tercantum dalam Pasal

16 UUPA, juga yang ditanam di bumi, yaitu hak-hak atas hutan (Hak

Pengusahaan Hutan–HPH) maupun yang terdapat ditubuh bumi yang

dikenal dengan kuasa pertambangan, yaitu izin usaha pertambangan atas

bahan-bahan galian dari bumi Indonesia.

Menurut Oloan Sitorus dan Nomadyawati dalam Urip Santoso26,

bahwa kewenangan negara dalam bidang pertanahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA di atas merupakan pelimpahan

tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan

25
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 25.
26
Urip santoso, Loc. Cit, hal 80.

23
tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. Tegasnya, hak

menguasai negara adalah pelimpahan kewenangan publik dari hak

bangsa. Konsekuensinya kewenangan tersebut hanya bersifat publik

semata.

Tujuan hak menguasai negara atas tanah dalam Pasal 2 ayat (3)

UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam

arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan

Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah adalah menjadi

wewenang Pemerintah Pusat namun dapat pula dikuasakan atau

dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra (Pemerintah Daerah) dan

masyarakat-masyarakat Hukum Adat Pasal 2 ayat (4) UUPA, pelimpahan

wewenang tersebut bersifat Medebewind artinya hanya sepanjang

membantu Pemerintah Pusat dan tidak bersifat otonom. Yang artinya

sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Pasal 2 ayat (4)

UUPA).27

D. Hak Perseorangan Atas Tanah

Hak menguasai negara atas tanah memungkinkan Warga Negara

Indonesia sebagai pihak yang mempunyai hak bersama atas tanah

27
Winahyu Erwiningsih, Op. Cit, hal 9.

24
tersebut untuk menguasai dan menggunakan sebagian dari tanah bersama

tersebut secara individual, dengan hak-hak yang bersifat pribadi.

Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti

bahwa tanah yang bersangkutan dapat dikuasai secara perorangan. Tidak

ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “Atas

dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 2 UUPA ditentukan hak-hak atas permukaan bumi yang disebut

tanah yang dapat diberikan baik secara perorangan maupun bersama-

sama serta hak atas tanah yang dapat diberikan kepada badan hukum.

Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi

wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang

secara bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti

menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari tanah

tertentu. Hak-hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, Wakaf

tanah Hak Milik, Hak Tanggungan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun.

Tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA adalah permukaan

bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang

berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.28

28
Aminuddin Salle dkk, Bahan Ajar Hukum Agraria, AS Publishing, Makassar,
2010, hal 102.

25
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada

pemegang haknya untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil

manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan”

mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk

kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan perkataan “mengambil

manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan

untuk kepentingan bukan untuk mendirikan bangunan, misalnya untuk

kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.

Dasar hukum pemberian hak atas tanah kepada perseorangan

atau badan hukum diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar

hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-

badan hukum.”29

Hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, Pasal 53

UUPA, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 199630 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Hak atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah,

29
Urip Santoso, Op. Cit., hal 84.
30
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643.

26
Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi

Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah

Pertanian.

E. Pemanfaatan/Penatagunaan Tanah

1. Pengertian Tanah

Pengertian tanah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Pengertian tanah

dapat pula diartikan sebagai keadaan bumi di suatu tempat, permukaan

bumi yang diberi batas, permukaan bumi yang terbatas yang ditempati

suatu bangsa atau menjadi wilayah suatu negara. Istilah tanah dikaitkan

juga dengan istilah lahan. Lahan sendiri memiliki pengertian sebagai

sebuah tanah terbuka atau tanah garapan.

Pengertian tanah dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA yaitu: “Atas

dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-

orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-

badan hukum”.

Tanah dalam Pasal tersebut di atas adalah permukaan bumi.

Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh

setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu hak-hak yang timbul di

27
atas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya

bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya diatur berdasarkan

peraturan perundang-undangan yaitu UUPA.

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan

kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak

atas tanah hanya diperbolehkan menggunakannya, itupun dalam batas-

batas seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan kata-

kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang

ini (yaitu: UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.31

2. Pengertian Penatagunaan Tanah

Sudikno Mertokusumo dalam Urip Santoso32 menggunakan istilah

tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata guna dikaitkan dengan objek

Hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tata guna

tanah/ land use planning kurang tepat.

Penatagunaan tanah adalah istilah yang digunakan untuk

menyebut cabang kebijakan sosial yang menggunakan berbagai ilmu untuk

mengatur dan meregulasi pemakaian tanah agar dapat berjalan efisien dan

etis.

31
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hal 18.
32
Urip Santoso, Op. Cit,hal 245.

28
Perencanaan atau penatagunaan tanah merupakan pendekatan

keilmuan, estetika dan pengaturan penggunaan lahan, sumber daya,

fasilitas dan pelayanan untuk menjamin efisiensi fisik, ekonomi dan sosial

serta kesehatan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan.

Hasni menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna

tanah merupakan bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal

15 UUPA yang juga dijiwai oleh undang-undang lain yang mengurus

penggunaan tanah. Pasal 33 UUPR menggunakan istilah penatagunaan

tanah.33

Istilah tata guna tanah ( land use planning ) atau pengelolaan tata

guna tanah atau penatagunaan tanah bila dikaitkan dengan ruang lingkup

agraria dalam UUPA sebenarnya kurang tepat. Hal ini disebabkan bahwa

menurut Pasal 1 ayat (2) UUPA, ruang lingkup agraria meliputi bumi, air,

ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang

lingkup bumi meliputi permukaan bumi juga disebut tanah (Pasal 4 ayat (1)

UUPA), tubuh bumi dan ruang yang berada di bawah permukaan air.34

Kegiatan tata guna tanah atau pengelolaan tata guna tanah atau

penatagunaan tanah dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 14 ayat (1)

UUPA adalah persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan atas

bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di

33
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks
UUPA, UUPR dan UUPLH, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal 45.
34
Urip Santoso, Loc. Cit, hal 245.

29
dalamnya. Kegiatan ini bersifat publik yang merupakan kebijakan yang

ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Tanah (land) sebagai bagian dari bumi merupakan salah satu

objek Hukum Agraria Nasional. Dengan berpedoman pada objek Hukum

Agraria dan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA, maka istilah yang tepat

untuk digunakan adalah Tata Guna Agraria atau Agrarian Use Planning.

Agrarian Use Planning terdiri atas Land Use Planning (Tata Guna Tanah)

dan Water Use Planning (Tata Guna Air), Air Use Planning (Tata Guna

Udara). Jelaslah bahwa menurut UUPA, tata guna tanah merupakan

bagian kecil dari tata guna agraria. Namun di dalam praktek istilah tata

guna tanah lebih umum digunakan dan lebih dikenal dari pada tata guna

agraria. Selain itu, bagian terbesar dari kajian Hukum Agraria Nasional

adalah mengenai tanah.35

Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan

penataan tanah secara maksimal, oleh karena tata guna tanah selain

mengatur mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang

angkasa juga terhadap persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan

ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab pemeliharaan tanah,

termasuk di dalamnya menjaga kesuburan tanah. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 15 UUPA, yaitu: “Memelihara tanah, termasuk menambah

kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap


35
Ibid, hal 245.

30
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum

dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah”.36

Ketentuan Pasal 15 UUPA di atas, secara hukum setiap orang

atau badan hukum atau instansi pemerintah dan swasta yang memiliki

tanah mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mencegah kerusakan

tanah. Sejalan dengan ketentuan yang mengatur mengenai penatagunaan

tanah di atas, maka ke depan diperlukan dasar-dasar penatagunaan tanah

agar tidak menimbulkan konflik kepentingan di dalamnya.37

R. Soeprapto38 dalam Urip Santoso menyatakan bahwa tata guna

tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, peruntukan, penggunaan dan

persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga diperoleh

manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Sudikno Mertokusumo39 menyatakan bahwa tata guna tanah

adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan

penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan

pembangunan nasional. Dalam tata guna tanah terdapat rangkaian

kegiatan penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, sedangkan

36
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 261.
37
Ibid, hal 262.
38
Ibid, hal 246.
39
Ibid, hal 246.

31
tujuan tata guna tanah adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Tata guna tanah diatur dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UUPR

jo PP No. 15 Tahun 2010 yaitu Penyelenggaraan Penataan Ruang sama

dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi penguasaan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi

pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan

pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan

masyarakat secara adil.40

Muchsin dan Imam Koeswahyono41 menyatakan bahwa ada

empat unsur esensial dalam penatagunaan tanah, yaitu:

1. Adanya serangkaian kegiatan/aktifitas, yaitu pengumpulan data

lapangan tentang penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik,

pembuatan rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan dan

keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi dengan

instansi lain;

2. Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip

lestari, optimal, serasi dan seimbang;

3. Adanya tujuan yang hendak dicapai yaitu sejalan dengan tujuan

pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

40
Supriadi, Loc. Cit, hal 261.
41
Urip Santoso, Op. Cit, hal 247.

32
4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan

memperhatikan Daftar Skala Prioritas (DSP).

3. Prinsip dan Dasar Penatagunaan Tanah

Nad Darga Talkurputra dalam Urip Santoso menyatakan bahwa

ada sepuluh dasar penatagunaan tanah, yang di dalamnya memuat

pengaturan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah, yaitu:42

a. Kewenangan Negara

Kewenangan penatagunaan tanah oleh negara bersumber kepada hak

menguasai negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Kewenangan tersebut digunakan agar tanah dimanfaatkan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka menciptakan

masyarakat adil dan makmur. Hak menguasai dari negara yang

dimaksud adalah kewenangan untuk mengatur semua tanah, yang

telah dan atau belum dikuasai dan/atau dimiliki oleh orang-orang dan

badan hukum termasuk instansi pemerintah.

b. Batas-batas hak dari pemegang hak atas tanah

Menurut Pasal 4 UUPA, hak atas tanah memberi wewenang kepada

pemegang haknya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan,

demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,

sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

42
Ibid, hal 248.

33
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan

peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Bersumber dari hak atas tanah tersebut, pemegang hak atas tanah

akan menggunakan tanah sesuai dengan keperluannya. Kekuasaan

negara mengenai tanah yang sudah dipunyai oleh orang-orang dan

badan-badan hukum dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu,

artinya sampai seberapa jauh negara memberikan wewenang kepada

pemegang hak untuk menggunakan tanahnya, sampai di situlah batas

kekuasaan negara.

c. Fungsi sosial hak atas tanah

Penatagunaan tanah pada hakikatnya merupakan salah satu upaya

pemerintah dalam rangka mewujudkan fungsi sosial hak atas tanah

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 UUPA. Penggunaan tanah

harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari hak atas tanah,

sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi yang

memilikinya maupun bagi masyarakat dan negara.

d. Perlindungan ekonomi lemah

Pemegang hak atas tanah berbeda-beda keadaan sosial ekonominya,

sehingga kemampuan dalam memenuhi kewajiban dalam rangka

penatagunaan tanah berbeda-beda pula. Dalam rangka penatagunaan

tanah perlu dipertimbangkan perlindungan terhadap ekonomi lemah.

34
e. Penatagunaan tanah tidak dapat dilepaskan dengan pengaturan dan

penguasaan dan pemilikan tanah.

Pada kenyataannya hampir seluruh bidang tanah dalam wilayah

Negara Republik Indonesia telah dikuasai atau dimiliki oleh orang-orang

atau badan hukum dalam berbagai bentuk hubungan hukum

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun

ketentuan-ketentuan Hukum Adat atau Hak Ulayat.

Dengan demikian, penatagunaan tanah, baik di atas tanah yang telah

ada pemiliknya maupun yang belum ada, tidak dapat dilepaskan dari

pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah.

f. Penatagunaan tanah sebagai komponen pembangunan nasional.

Ketersediaan tanah sangat menentukan keberhasilan pembangunan.

Pembangunan tanpa tersedianya tanah kiranya tidak mungkin karena

tanah diperlukan sabagai sumber daya sekaligus sebagai tempat

menyelenggarakan pembangunan. Sebaliknya, tanah tidak akan

memberikan kemakmuran tanpa pembangunan sebab yang

memberikan kemakmuran adalah kegiatan manusia di atasnya melalui

pembangunan. Oleh karena itu, penatagunaan tanah terkait langsung

dengan sistem penyelengaraan pembangunan nasional.

Prosedur dan tahapan penyelengaraannya sejalan dan terkait dengan

prosedur dan tahapan waktu penyelengaraan pembangunan

35
merupakan upaya mengakomodasikan kebutuhan tanah bagi kegiatan

pembangunan yang diprioritaskan.

g. Penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan

Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beraneka ragam perlu

dikembangkan penatagunaan tanah yang serasi dengan tata guna air,

tata guna udara, tata guna sumber daya alam lainnya dalam suatu

kesatuan tata ruang yang dinamis.

Sebagai subsistem penataan ruang, maka penatagunaan tanah harus

mampu mewujudkan rencana tata ruang wilayah sepanjang

menyangkut tanah.

Penatagunaan tanah dimaksud haruslah memuat pedoman-pedoman

penggunaan tanah yang berisi ketentuan-ketentuan, kriteria maupun

petunjuk teknis di dalam menggunakan tanah guna mewujudkan azas-

azas penataan ruang.

h. Penatagunaan tanah merupakan kegiatan yang bersifat koordinatif.

Penatagunaan tanah harus dapat mengakomodasikan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya mengenai

pemanfaatan ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup,

sepanjang menyangkut pengaturan dan penyelenggaraan persediaan,

peruntukan dan penggunaan tanah serta pemeliharaannya.

36
Karena sifat tanah berdimensi banyak dan menyangkut berbagai pihak

dengan berbagai kepentingan yang dilandasi dengan berbagai

peraturan perundang-undangan, namun sepanjang pelaksanaannya

menyangkut penatagunaan tanah, maka harus diakomodasikan melalui

koordinasi antar-departemen dan lembaga yang terkait, baik di pusat

maupun di daerah.

i. Penatagunaan tanah sebagai suatu sistem yang dinamis

Penatagunaan tanah harus mampu menampung kegiatan

pembangunan yang bersifat dinamis di atas tanah dengan berbagai

aspek baik dari segi keterbatasan maupun dimensinya. Untuk itu, dalam

rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan-

kegiatan yang meliputi perumusan kebijaksanaan, pelaksanaan dan

pengendaliannya, yang satu sama lain saling terkait secara fungsional

membentuk suatu sistem yang dinamis, maka dalam pelaksanaannya

secara sistematis disiapkan dan disusun perangkat-perangkat teknis

berupa data tata guna tanah yang selalu dalam keadaan mutakhir, yang

bersama data pendukung lainnya dalam suatu sistem pengelolaan yang

terpadu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi khususnya

dalam hal sistem manajemen informasi geografi.

j. Penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat

37
Dalam penjelasan Pasal 2 UUPA dikemukakan bahwa: “…… soal

agraria (pertanahan) menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan

tugas pemerintah pusat (Pasal 33 UUD NRI 1945). Dengan demikian,

pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari

negara atas tanah itu merupakan Medebewind. Segala sesuatunya

akan diselengarakan menurut keperluannya dengan demikian tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.

4. Pengertian Ruang

Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUPR

adalah:

“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya”.

Selanjutnya di dalam penjelasan umum dari UUPR dinyatakan

bahwa: “Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara

termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain

hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada

dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal

tersebut dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,

nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara

dan Ketahanan Nasional, undang-undang ini mengamanatkan perlunya

dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam

38
dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan

penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat

memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak

negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah

penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap

proses perencanaan tata ruang wilayah.

D.A. Tisnaamidjaja, sebagaimana yang dikutip oleh Juniarso

Ridwan dan Achmad Sodik menyatakan yang dimaksud dengan pengertian

ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis yang

merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan

kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak.” 43

Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan

kehidupan manusia, juga sebagai sumber daya alam yang merupakan

salah satu karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.

Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu aset yang

harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara

terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan

faktor-faktor lain seperti ekonomi, sosial, budaya, hankam serta kelestarian

lingkungan untuk mendorong terciptanya pembangunan nasional yang

serasi dan seimbang.44

43
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 23.
44
Ibid, hal 23 .

39
Ruang sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 1 UUPR, terbagi

dalam beberapa kategori, yang di antaranya adalah:45

a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah


permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi
darat dari garis laut terendah.
b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi garis laut terendah termasuk
dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, dimana negara
Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang Udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan
dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada
bumi, dimana negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.

5. Pengertian Tata Ruang

Pengertian tata ruang dikemukakan oleh Rahardjo Adisasmita

adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan

maupun tidak direncanakan. Tata ruang perlu direncanakan dengan

maksud agar lebih mudah menampung kelanjutan perkembangan kawasan

yang bersangkutan.46

Pasal 1 angka 2 UUPR menjelaskan yang dimaksud dengan tata

ruang adalah “wujud struktural ruang dan pola ruang”.

Wujud struktural ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk

rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara

hierarkis berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedang yang dimaksud

dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran permukiman,

45
Ibid, hal 23.
46
Rahardjo Adisasmita, Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang, Graha
Ilmu,Yogyakarta, 2012, hal 64.

40
tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah perkotaan

dan pedesaan, dimana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang

direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata

ruang yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan

lain-lain.

Tata ruang sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang disusun

secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional disebut Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata

Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

(RTRWK).

Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan

sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung

kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki

hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan

ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi

lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu Pasal 1

angka 5 yang dimaksud dengan penataan ruang adalah “suatu sistem

proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang”.

41
6. Rencana Tata Ruang

Perencanaan atau planning merupakan suatu proses, sedangkan

hasilnya berupa “rencana” (plan), dapat dipandang sebagai suatu bagian

dari setiap kegiatan yang lebih sekedar reflex yang berdasarkan perasaan

semata. Tetapi yang penting perencanaan merupakan suatu komponen

yang penting dalam setiap keputusan sosial, setiap unit keluarga,

kelompok, masyarakat, maupun pemerintah terlibat dalam perencanaan

pada saat membuat keputusan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk

mengubah sesuatu dalam dirinya atau lingkungannya.47

Rencana tata ruang perkotaan sangat kompleks, sehingga perlu

lebih diperhatikan dan direncanakan dengan baik. Kawasan/zona di

wilayah perkotaan dibagi dalam beberapa zona berdasarkan Peraturan

Daerah. Tata ruang di wilayah perkotaan yang tidak sesuai dari rencana

tata ruang yang telah ditetapkan menyebabkan terjadinya kesemrawutan

kawasan yang mengakibatkan berkembangnya kawasan kumuh yang

berdampak kepada gangguan terhadap sistem transportasi, sulitnya

mengatasi dampak lingkungan yang berimplikasi kepada kesehatan,

sulitnya mengatasi kebakaran bila terjadi kebakaran serta terjadi banjir.

Pada negara hukum dewasa ini, suatu rencana tidak dapat

dihilangkan dari segi hukum administrasi. Rencana dapat dijumpai pada

berbagai bidang kegiatan pemerintahan, misalnya dalam pengaturan tata

47
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 24.

42
ruang, rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan

dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan

tertentu yang tertib (teratur). Rencana yang demikian itu dapat

dihubungkan dengan stelsel perizinan (misalnya suatu perizinan

pembangunan akan ditolak oleh karena tidak sesuai dengan rencana

peruntukannya).

Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga

dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah sebuah spesies dari genus

kebijaksanaan. Masalah perencanaan berkaitan erat dengan perihal

pengambilan keputusan serta pelaksanaannya. Perencanaan dapat

dikatakan pula sebagai pemecahan masalah secara saling terkait serta

berpedoman kepada masa depan.48

Saul M Katz, mengemukakan alasan atau dasar dari diadakannya

suatu perencanaan adalah:49

a. Dengan adanya suatu perencanaan diharapkan terdapat suatu


pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan
kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian suatu
perkiraan.
b. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu perkiraan
terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui.
Perkiraan tidak hanya dilakukan mengenai potensi-potensi dan
prospek-prospek perkembangan, tetapi juga mengenai
hambatan-hambatan dan risiko-risiko yang mungkin dihadapi,
dengan perencanaan mengusahakan agar ketidakpastian dapat
dibatasi sesedikit mungkin.

48
Loc.Cit, hal 25.
49 Ibid, hal 25.

43
c. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai
alternatif tentang cara atau kesempatan untuk memilih kombinasi
terbaik.
d. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas.
Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran
maupun kegiatan usahanya.
e. Dengan adanya rencana, maka akan ada alat pengukur atau
standar untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi.

Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk

menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam

memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien

dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya suatu perencanaan tata ruang

adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan

fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan

sumber daya manusia, sehingga tercapai hasil pembangunan yang optimal

dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan

hidup secara berkelanjutan.50 Tujuan penyusunan rencana tata ruang

adalah:51

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan


lingkungan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan
nasional;
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan
lindung dan kawasan budi daya;
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas;
4. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia;
5. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
buatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;

50
Ibid, hal 26.
51
Rahardjo Adisasmita, Op. Cit, hal 256.

44
6. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
7. Mewujudkan keseimbangan, kesejahteraan dan keamanan.
Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan

suatu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya.

Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi, memerlukan suatu

peraturan perundang-undangan yang serasi pula di antara peraturan pada

tingkat tinggi sampai pada peraturan pada tingkat bawah sehingga terjadi

suatu koordinasi dalam penataan ruang.

7. Pengertian Kawasan

Kawasan berdasarkan UUPR adalah wilayah dengan fungsi utama

lindung atau budi daya, sedangkan dalam Perda No. 6 Tahun 2006

memberikan definisi kawasan sebagai “ruang yang merupakan kesatuan

geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan

sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri

tertentu (spesifik/khusus)”. Kawasan merupakan daerah yang secara

geografis dapat sangat luas ataupun terbatas, misalnya kawasan hutan

dan kawasan permukiman/perumahan yang terbatas.

Kawasan permukiman adalah sebidang tanah/lahan yang

diperuntukkan bagi pengembangan permukiman dapat pula diartikan

sebagai daerah tertentu yang didominasi lingkungan hunian dengan fungsi

utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana, prasarana

45
daerah dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan

kerja guna mendukung penghidupan, perikehidupan sebagai fungsi

kawasan sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna.52 Kawasan

perumahan adalah kawasan dengan fungsi utama sebagai tempat

tinggal/hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.53

F. Pengertian Kesadaran Hukum

Scholten54 mengemukakan bahwa kesadaran hukum adalah

kesadaran yang ada pada diri setiap manusia tentang apa hukum itu atau

bagaimana seharusnya hukum itu, suatu keadaan yang berasal dari

kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan bukan

hukum (onrecht), antara yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya

tidak dilakukan. Dengan demikian kesadaran hukum berarti kesadaran

tentang apa yang seharusnya kita lakukan atau perbuat atau yang

seharusnya tidak kita lakukan atau diperbuat terutama terhadap orang lain

atau dapat pula berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-

masing.

Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata

berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-

undang saja, akan tetapi juga terhadap hukum yang tidak tertulis. Bahkan

52
Ibid, hal 61.
53
Ibid, hal 61.
54
Achmad Sanusi, Kesadaran Hukum Masyarakat, Majalah Hukum no. 5 tahun
ke 4 1977.

46
kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian

atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Jika suatu peristiwa terjadi secara

terulang dengan teratur, maka akan timbul pandangan atau anggapan

bahwa memang demikianlah seharusnya, hal ini akan menimbulkan

pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal

itu merupakan kewajiban hukum.

Soerjono Soekanto55 menyatakan pada hakekatnya kesadaran

hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang

hidup dalam masyarakat tentang hukum. Pandangan-pandangan yang

hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan

produk pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi

berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi,

politik dan sebagainya.

Pelanggaran akan peraturan perundang-undangan banyak terjadi

karena penyalahgunaan hak atau wewenang. Menggunakan hak secara

berlebihan adalah merupakan penyalagunaan hak. Komersialisasi jabatan

adalah juga merupakan penyalahgunaan hak. Penyalahgunaan hak

banyak dilakukan oleh golongan tertentu atau pejabat-pejabat yang merasa

dapat berbuat dan dimungkinkan dapat berbuat karena kedudukan atau

jabatannya.

55
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, Penerbit UGM Yogyakarta, 1978, hal 102.

47
Pelaksanaan hukum (law enforcement) yang tidak tegas adalah

merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pelanggaran-

pelanggaran hukum tersebut. Dengan makin banyaknya pelanggaran

hukum makin berkurangnya toleransi dan sikap berhati-hati di dalam

masyarakat, penyalagunaan hak dan sebagainya dapatlah dikatakan

bahwa kesadaran hukum yang menurun, akan mengakibatkan merosotnya

kewibawaan pemerintah. Menurunnya kesadaran hukum dalam hal ini

berarti orang cenderung akan melakukan pelanggaran hukum, sedangkan

makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi ketaatan

hukumnya.56

Kurang tegasnya para petugas penegak hukum terutama polisi,

jaksa dan hakim dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum

pada umumnya merupakan peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran

atau kejahatan-kejahatan. Tidak adanya atau kurangnya pengawasan pada

petugas penegak hukum merupakan faktor menurunnya kesadaran hukum

masyarakat.

G. Pengertian Perizinan

Pemanfaatan kawasan permukiman terkait erat dengan perizinan,

oleh karena pembangunan permukiman atau perumahan tidak dapat

dilaksanakan apabila tidak memperoleh izin dari pejabat yang berwenang.

56
Sudikno Mertokusumo “Kampanye Penegakan Hukum antara Fakultas Hukum
UGM dengan Kejaksaan Agung RI” 1978.

48
Adapun pemberian izin ini terkait erat dengan pemanfaatan kawasan

permukiman agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu sangat penting untuk mengemukakan pengertian izin

dalam pembahasan ini. Para ahli mengemukakan pendapatnya masing-

masing tentang pengertian izin. Pengertian izin yang dikemukakan para

ahli hukum berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana izin

tersebut dilihat.

Sjachran Basah dalam Ridwan HR menyatakan bahwa Izin adalah

perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan

peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur

sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.57

Asep Warlan Yusuf58 menyatakan izin adalah suatu instrument

pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana

hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat.

Bagir Manan mengemukakan bahwa izin dalam arti luas adalah

suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-

undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan

tertentu yang secara umum dilarang.59

57
Ridwan HR, Loc. Cit, hal 198.
58
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 106.
59
Ridwan HR, Op. Cit, hal 199.

49
Ateng Syafrudin dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik

menyatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan.

Hal yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas permohonan izin

memerlukan perumusan limitatif. Selanjutnya beliau membedakan

perizinan menjadi empat macam yaitu:60

1. Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal dilarang


menjadi boleh, dan penolakan atas permohonan izin
memerlukan perumusan yang limitatif.
2. Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang
sebenarnya secara formal tidak diizinkan. Dengan demikian
dispensasi merupakan hal yang khusus.
3. Lisensi adalah izin yang memberikan hak untuk
menyelenggarakan suatu perusahaan.
4. Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan
besar berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya
menjadi tugas pemerintah, namun oleh pemerintah diberikan hak
penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat
pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk
kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan
hak dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.

Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah, yang dalam

keadaan tertentu menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, izin pada prinsipnya memuat larangan, persetujuan

yang merupakan dasar pengecualian. Pengecualian tersebut harus

diberikan oleh undang-undang, untuk menunjukkan legalitas sebagai suatu

ciri negara hukum yang demokratis.61

60
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Loc. Cit hal 106.
61
Ibid, hal 107.

50
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa izin

adalah merupakan suatu perangkat Hukum Administrasi yang digunakan

oleh pemerintah untuk mengendalikan warganya. Adanya kegiatan

perizinan yang dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat

maupun Pemerintah Daerah pada intinya adalah untuk menciptakan

kondisi aman dan tertib yaitu agar sesuai dengan peruntukan,

pemanfaatan dan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka

pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan 62. Izin

tersebut diberikan oleh pejabat negara dengan demikian, dilihat dari

penetapannya, izin merupakan instrumen pengendalian dan alat

pemerintah untuk mencapai apa yang menjadi sasarannya. 63 Pada

kenyataannya izin terkadang dimanfaatkan untuk memberikan kontribusi

positif bagi kegiatan perekonomian, terutama sebagai pendapatan daerah

dan investasi. Izin yang diberikan oleh pemerintah memiliki maksud untuk

menciptakan kondisi yang aman dan tertib agar setiap kegiatan sesuai

dengan peruntukannya. Perizinan bagi pemerintah seringkali dijadikan

sebagai alat bagi sektor pendapatan asli daerah, izin dijadikan sebagai

pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah merupakan hal

yang penting dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Tanpa

62
Ibid, hal 108.
63
Loc.Cit, hal 107.

51
pendapatan yang memadai, otonomi daerah tidak dapat terwujud. Tujuan

dari perizinan adalah:64

1. Keinginan untuk mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-


aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).
2. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).
3. Keinginan untuk melindungi objek-objek tertentu (izin terbang,
izin membongkar pada monumen-monumen).
4. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di
daerah padat penduduk).
5. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-
aktivitas (izin dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat
tertentu).

H. Sanksi Hukum dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006

Pasal 91 Perda No.6 Tahun 2006 mengatur tentang sanksi yang

menyatakan bahwa:

“ Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan


Daerah ini dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif;
2. Sanksi Perdata;
3. Sanksi Pidana;

Ad 1. Sanksi Administratif

Secara umum terdapat beberapa macam sanksi yang dikenal

dalam Hukum Administrasi. Keragaman bidang urusan pemerintahan serta

luasnya ruang lingkup yang diatur, mengakibatkan macam dan jenis sanksi

dalam rangka penegakan peraturan menjadi beragam. Pada umumnya

macam-macam dan jenis sanksi dicantumkan dan ditentukan secara tegas

64
Loc. Cit, hal 108.

52
dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu.

Adapun macam-macam sanksi dalam Hukum Administrasi Negara adalah:

a. Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang)

Bestuursdwang atau paksaan pemerintah diuraikan oleh Philipus

M. Hadjon sebagai tindakan-tindakan yang nyata (feitelijke handeling) dari

penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah

hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya

ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-

undang.65

Hal yang sama dikemukakan oleh Ridwan HR bahwa paksaan

pemerintahan adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah

atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan,

menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah

dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-

kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.66

Paksaan pemerintahan ini dapat dilaksanakan dengan melakukan

tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma

Hukum Administrasi Negara, karena kewajiban yang muncul dari norma itu

tidak dijalankan atau sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran

65
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajahmada University Press, Yogyakarta, 2008, hal 246.
66
Ridwan HR, Op. Cit, hal 306.

53
norma hukum yang dilakukan warga negara. Paksaan pemerintahan dilihat

sebagai bentuk eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa

perantaraan hakim dan biaya yang berkenaan dengan pelaksanaan

paksaan pemerintahan ini secara langsung dapat dibebankan kepada

pihak pelanggar, contoh pelaksanaan paksaan pemerintahan yaitu pada

pelanggaran yang bersifat substansial misalnya seseorang membangun

rumah di kawasan industri ataupun seorang pengusaha membangun

industri di kawasan permukiman, yang berarti mendirikan bangunan tidak

sesuai dengan tata ruang atau rencana peruntukan yang telah ditetapkan

oleh Pemerintah Kota. Hal ini termasuk pelanggaran yang bersifat

substansial, dan pemerintah dapat langsung menerapkan

bestuursdwang.67

b. Penarikan Kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang


Menguntungkan
Penarikan kembali KTUN yang menguntungkan ini dilakukan

dengan mengeluarkan suatu keputusan baru yang isinya menarik kembali

dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi keputusan yang terdahulu.

Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan berarti meniadakan

hak-hak yang terdapat dalam keputusan itu oleh organ pemerintahan.

Sanksi ini termasuk sanksi berlaku ke belakang, yaitu sanksi yang

mengembalikan pada situasi sebelum keputusan itu dibuat. Dengan kata

67
Ibid, hal 307.

54
lain hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul setelah terbitnya

keputusan tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum

terbitnya keputusan itu, dan sanksi ini dilakukan sebagai reaksi terhadap

tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sanksi penarikan kembali

KTUN yang menguntungkan diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran

terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan

tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-

undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.68

Keputusan (ketetapan) yang menguntungkan dapat ditarik kembali

sebagai sanksi, jika:69

1. Pihak yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-


pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-
undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi atau pembayaran;
2. Pihak yang berkepentingan pada waktu mengajukan
permohonan untuk mendapat izin, subsidi atau pembayaran
telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak
lengkap, sehingga apabila data itu diberikan secara benar atau
lengkap maka keputusan yang diberikan akan berlainan
(misalnya terjadi penolakan terhadap permohonan yang
dimintakan izin).

c. Pengenaan Uang Paksa (dwangsom)

Uang paksa sebagai “hukuman atau denda” jumlahnya

berdasarkan syarat dalam perjanjian yang harus dibayar karena tidak

menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai dengan

68
Ibid, hal 311.
69
Philipus M. Hadjon dkk, Op.Cit, hal 258.

55
waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian,

kerusakan dan pembayaran bunga.70

Pembuat undang-undang memberi alternatif kepada badan yang

berwenang melakukan bestuursdwang untuk mengenakan uang paksa

pada yang berkepentingan sebagai pengganti bestuursdwang, uang akan

hilang untuk tiap kali suatu pelanggaran diulangi atau untuk tiap hari ia

(sesudah waktu yang ditetapkan) masih berlanjut.71

Pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang

atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang

ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan

pemerintahan.72

Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan

nyata, yang berarti sebagai sanksi “Subsidiare” dan dianggap sebagai

sanksi “reparatoir”73 . Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan

dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitannya

dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan seperti izin,

biasanya pemohon izin disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika

terjadi pelanggaran atau pelanggar (pemegang izin) tidak segera

mengakhirinya, maka uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Uang

70
Ridwan HR, Op. Cit, hal 315.
71
Philipus M. Hadjon dkk, Loc. Cit, hal 258.
72
Ridwan HR, Op. Cit, hal 316.
73
Sifat sanksi reparatoir adalah sanksi yang bertujuan untuk memulihkan pada
keadaan semula (Dikutip dari Ridwan HR, Loc. Cit, hal 315).

56
jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuursdwang

sulit dilakukan.74

d. Pengenaan Denda Administratif

Denda administratif (bestuurslijke boetes) adalah sanksi yang

dikenakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang

ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda

administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Organ administrasi dapat

memberikan hukuman tanpa perantaraan hakim, walaupun demikan tidak

berarti bahwa pemerintah dapat menerapkannya secara sewenang-

wenang melainkan harus tetap memperhatikan asas-asas Hukum

Administrasi Negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.75

Sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran

tata ruang secara rinci diatur dalam Pasal 63 UUPR yang terdiri dari:

a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Penutupan lokasi;
e. Pencabutan izin;
f. Pembatalan izin;
g. Pembongkaran bangunan;
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. Denda administratif.

Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 63 UUPR di atas

telah mengakomodir jenis-jenis sanksi administratif yang ditentukan dalam

74
Ridwan HR, Loc. Cit, hal 316.
75
Ibid, hal 17.

57
lingkup hukum publik yaitu Hukum Administrasi Negara akan tetapi pejabat

publik sebagai pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi dalam

menerapkan sanksi administratif tersebut di atas harus memperhatikan dan

berpedoman pada azas-azas umum pemerintahan yang baik agar tidak

terjadi kekeliruan dalam pengenaan sanksi administratif yang akan

dijatuhkan.

Ad 2. Sanksi Perdata

Sanksi perdata secara yuridis formal diatur dalam Pasal 1365,

1366 dan 1367 Burgelijk Wetbook (selanjutnya disebut BW). Pasal 1365

BW menyatakan;

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

Pasal ini mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melanggar

hukum untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan akibat

perbuatan melangar hukum yang dilakukannya.

Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti kerugian

kepada pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan

apabila orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut

58
adalah orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak ada

alasan pemaaf).76 Pasal 1366 BW menyatakan;

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Pasal ini menjelaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan

melanggar hukum tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang

ditimbulkan akibat perbuatan yang dilakukannya secara aktif, tetapi juga

bertanggung jawab atas kerugian akibat kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pasal 1367 BW menyatakan;

“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian


yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya”

Tanggung jawab yang diatur dalam Pasal ini adalah tanggung

jawab atas kesalahan orang lain yang ada di bawah tanggung jawabnya.

Pasal ini dapat dikatakan menganut tanggung jawab risiko, atau tanggung

jawab tanpa kesalahan, walaupun tanggung jawab risiko tersebut dibatasi

hanya jika yang melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian

tersebut adalah orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.77

76
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456, Rajawali Pers, Jakarta: hal 96.
77
Ibid. hal 98.

59
Dalam Perda No. 6 Tahun 2006 hanya menyebutkan Sanksi

Perdata akan tetapi tidak menetapkan secara spesifik bilamana seseorang

dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata. Perda tersebut di atas

hanya mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana bagi mereka yang

melakukan pelanggaran terhadap Perda No. 6 Tahun 2006.

Setiap Pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang

menimbulkan kerugian materil, UUPR memungkinkan untuk dapatnya

diadakan penuntutan secara perdata, hal ini diatur dalam Pasal 75 UUPR

yang menyatakan:

(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal
72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak
pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.

Sedangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 Pasal

91 menyatakan:

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan


Daerah ini dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif;
2. Sanksi Perdata;
3. Sanksi Pidana.
Meskipun diatur dalam Pasal 91 di atas namun sanksi perdata

dalam Pasal ini tidak diperinci secara jelas bilamana seseorang dapat

dituntut secara perdata terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Berbeda

dengan UUPR yang mengatur secara tegas tentang sanksi perdata ini.

60
Sanksi perdata dijatuhkan kepada pelanggaran terhadap rencana tata

ruang dalam hal ada korban yang dirugikan terhadap pelanggaran

tersebut, sehingga pihak yang menderita kerugian secara langsung dapat

menuntut pertanggungjawaban perdata berupa ganti rugi secara materil

kepada pelanggar. Dimana penuntutan secara perdata dapat diajukan

terhadap pelanggaran rencana tata ruang yaitu kepada orang-perorang

maupun kepada korporasi atau badan hukum dan juga dapat ditujukan

kepada pejabat pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin yang tidak

sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Akan tetapi

tuntutan ganti kerugian secara materil baru dapat dilakukan oleh pihak

yang dirugikan manakala telah ada putusan hakim yang inkra (berkekuatan

hukum yang tetap) terhadap suatu perbuatan pidana yang berhubungan

dengan rencana tata ruang.

Pasal 69 UUPR menetapkan setiap tindak pidana yang dapat

diadakan penuntutan secara perdata yaitu berdasarkan ayat (1)

pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang oleh karena

perbuatannya itu mengakibatkan perubahan fungsi ruang misalnya

terjadinya pergeseran fungsi ruang dari ruang terbuka hijau menjadi

kawasan permukiman sehingga menimbulkan banjir dan ayat (2)

mengakibatkan kerugian terhadap harta benda dan kerusakan barang

dan/atau ayat (3) akibat perbuatannya mengakibatkan kematian orang.

61
Demikian pula dalam Pasal 70 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat

(4), dimana tuntutan ganti kerugian secara perdata dapat dilakukan

terhadap setiap orang yang memanfaatkan izin pemanfaatan ruang tidak

sesuai dengan peruntukannya sehingga mengakibatkan perubahan fungsi

ruang yang menyebabkan kerugian terhadap harta benda dan barang atau

mengakibatkan meninggalnya seseorang.

Penuntutan secara perdata dapat pula diajukan berdasarkan Pasal

71 yaitu terhadap perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan yang

ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yaitu apabila

seseorang yang melaksanakan pembangunan sebuah rumah tidak sesuai

dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) misalnya pada kawasan bandara terpadu yang tidak

memperbolehkan bangunan di sekitar bandara melebihi dua tingkat

sehingga apabila tetap dilakukan dapat mengakibatkan kecelakaan

penerbangan yang menyebabkan kematian orang atau jika seorang

pengusaha membangun hotel di kawasan pelabuhan yang mana hotel

tersebut letaknya dapat mengganggu olah gerak kapal sehingga

mengakibatkan terjadinya kecelakaan kapal yang menimbulkan korban

jiwa.

Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian secara materil tidak

hanya dilakukan oleh orang perorang akan tetapi dilakukan pula oleh

62
pejabat pemerintah dalam hal ini seorang pejabat dalam melaksanakan

jabatannya memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan

zonasi atau kawasan yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan

kerugian materil terhadap orang.

Berdasarkan Pasal 74 UUPR menyatakan apabila suatu

perbuatan yang menimbulkan kerugian secara materil dilakukan oleh

korporasi atau badan hukum maka terhadap pengurusnya dapat dituntut

untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan.

Menurut pendapat penulis UUPR memberikan pula perlindungan

terhadap korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari adanya

pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dilakukan oleh orang

perorang, badan hukum maupun kepada pejabat yang berwenang

menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Akan tetapi

penuntutan terhadap kerugian materil yang disebabkan oleh terjadinya

pelanggaran terhadap rencana tata ruang tersebut harus terlebih dahulu

diawali dengan penuntutan pidana. Sehingga apabila terbukti kesalahan

pelanggar dalam hal ini telah ada putusan hakim terhadap tindak pidana

yang dilakukan. Maka hal tersebut merupakan dasar bagi korban untuk

mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti kerugian secara

materil.

63
Ad 3. Sanksi Pidana

Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut terciptanya

suasana tertib, termasuk tertib hukum. Pembangunan negara merupakan

bagian mendasar dari pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, hal tersebut

tidak terlepas dari upaya pemberian pelayanan pada masyarakat dan para

warga. Untuk mewujudkan suasana tertib tersebut, berbagai program dan

kebijaksanaan pembangunan negara perlu didukung dan ditegakkan oleh

seperangkat peraturan perundang-undangan yang memuat aturan dan

pola perilaku tertentu, berupa larangan-larangan, kewajiban-kewajiban dan

anjuran-anjuran. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum

manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan

menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara).78

Salah satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui

pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar mengingat sanksi

pidana membawa akibat hukum yang terkait dengan kemerdekaan pribadi

(pidana penjara dan kurungan) dari pelanggar yang bersangkutan. Oleh

karena itu hampir dalam berbagai ketentuan perundang-undangan

termasuk di bidang pemerintahan dan pembangunan negara selalu disertai

dengan pemberlakuan sanksi pidana. Sanksi pidana diatur dalam undang-

undang yang merupakan produk legislatif maupun pada peraturan

78
Philipus M. Hadjon dkk, Op. Cit, hal 262.

64
perundang-undangan yang lebih rendah termasuk Peraturan

Daerah (Perda).79

Ketentuan pidana penataan ruang diatur dalam Pasal 92 Perda

No. 6 tahun 2006 yaitu:

(1) Pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana


kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan atau
tidak merampas barang tertentu untuk Daerah, kecuali jika ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dapat
dikenakan biaya paksaan penegakan hukum seluruhnya atau sebagian;
(3) Walikota menetapkan pelaksanaan dan besarnya biaya paksaan
penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini.
Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) selaku

petugas penyidik menurut ketentuan Pasal 6 ayat 1 b Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sangat memungkinkan efektivitas

pemberlakuan dan penegakan sanksi pidana dari peraturan perundang-

undangan tertentu, seperti halnya kaidah-kaidah hukum berkenaan dengan

lingkungan hidup, kawasan hutan, industri, perdagangan, perlindungan hak

cipta/hak merek dan masalah-masalah penataan ruang. Namun dalam

kenyataan, masih terdapat adanya kaidah-kaidah hukum tertentu, seperti

halnya peraturan-peratuan daerah yang belum diketahui secara meluas

oleh masyarakat, sedangkan peraturan-peraturan tersebut diberlakukan

pada mereka serta masih ada hakim-hakim Pengadilan Negeri yang tidak

mengetahui pemberlakuan suatu Peraturan Daerah (yang di dalamnya

79
Ibid, hal 262.

65
memuat sanksi pidana) di wilayah hukum pengadilan tempatnya

bertugas.80

Sanksi Pidana tidak dapat dikenakan kepada pihak pelanggar

dengan cara penggunaan bestuursdwang. Penegakan sanksi pidana

dilaksanakan dengan berdasar pada hukum acara pidana dan pengenaan

sanksinya dinyatakan dengan suatu putusan hakim pada Pengadilan

Negeri setempat. Pemberlakuan sanksi pidana pada dasarnya turut

berperan pada efektivitas penegakan dan pentaatan kaidah-kaidah Hukum

Administrasi, termasuk pada pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.81

Perbedaan antara sanksi administratif dan sanksi pidana dapat

dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administratif

ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana

ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman sesuai

dengan Pasal 10 KUHPidana82. Sanksi administratif dimaksudkan agar

perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Perbedaan antara sanksi pidana

dan sanksi administratif adalah dari segi penegakan hukumnya. Sanksi

administratif diterapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tanpa harus

melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat

80
Ibid, hal 263.
81
Ibid, hal 264.
82
Pasal 10 KUHPidana terdiri atas: a. Pidana pokok (pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan) b. Pidana tambahan (pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim).

66
dijatuhkan oleh hakim pada Pengadilan Negeri setempat setelah melalui

proses peradilan.

Salah satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui

pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar mengingat sanksi

pidana membawa akibat hukum yang terkait dengan kemerdekaan pribadi

(pidana penjara dan kurungan) dari pelanggar yang bersangkutan. Oleh

karena itu hampir semua ketentuan perundang-undangan termasuk di

bidang pemerintahan dan pembangunan negara selalu disertai dengan

pemberlakuan sanksi pidana. Sanksi pidana diatur dalam undang-undang

yang merupakan produk legislatif maupun pada peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah termasuk Peraturan Daerah (Perda).83

Pengaturan tentang sanksi pidana sangat tegas mengatur tentang

sanksi yang dapat dijatuhkan kepada orang perorang maupun pelanggaran

yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum. Sebagaimana yang

diatur dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006.

Sanksi pidana dapat pula dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah

(Pasal 73 UUPR) yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai

dengan rencana tata ruang. Pejabat Pemerintahan yang berwenang

memberikan izin pemanfaatan ruang adalah Walikota Makassar yang

bertanda tangan pada Izin Mendirikan Bangunan dan Kepala Dinas Tata

83
Philipus M. Hadjon, Loc. Cit hal 262.

67
Ruang dan Bangunan yang menandatangani Izin Lokasi (Izin Prinsip).

Dengan demikian Walikota Makassar dan Kepala DTRB yang dimaksud

dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006 sebagai pejabat yang

berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang. Apabila izin yang

diterbitkan oleh dua pejabat pemerintahan di atas tidak sesuai dengan

rencana tata ruang maka dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya

setelah terlebih dahulu diadakan penuntutan pidana terhadap pejabat

tersebut.

Pada dasarnya pengenaan ketiga sanksi baik sanksi administratif.

sanksi perdata dan sanksi pidana ini tidak hanya dikenakan bagi orang

perorangan dan korporasi atau badan hukum yang melakukan pelanggaran

terhadap Perda No 6 Tahun 2006 ini akan tetapi harus pula dikenakan

terhadap pejabat yang memberikan izin pembangunan kawasan

permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah

ditetapkan.

I. Landasan Teori

1. Teori Kewenangan

Berdasarkan literatur Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, dan Ilmu

Hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.

Kekuasaan sering disamakan dengan kewenangan, dan kekuasaan sering

dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya.

68
Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu

pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the

ruled).84

Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber

disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang

berdasarkan suatu sistem hukum, ini dipahami sebagai suatu kaidah-

kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang

diperkuat oleh negara.85

Wewenang dalam hukum publik berkaitan dengan kekuasaan.86

Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena

kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah

kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu

negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping

unsur-unsur lainnya, yaitu hukum, kewenangan (wewenang),

keadilan, kejujuran, kebijakbestarian dan kebajikan.87

84
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 1998, hal 35-36.
85
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal 27.
86
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun, hal 1.
87
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas
Islam Indonesia, 1998), hal 37-38.

69
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar

negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara

dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja

melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan.

Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau

sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau

kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan

keinginan dan tujuan dari negara.88

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau

organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan

(een ambten complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah

pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan

konstruksi subyek-kewajiban.89 Dengan demikian kekuasaan mempunyai

dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan

hanya beraspek hukum semata yang bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah

wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan

dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut

Phillipus M. Hadjon,90 jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah

88
Miriam Budiardjo, Loc. Cit, hal 35.
89
Rusadi Kantaprawira, Op. Cit, hal 39.
90
Phillipus M. Hadjon, Op. Cit, hal 20.

70
kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak

pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep

hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum

Indonesia istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan

dalam konsep hukum publik.

Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian

kewenangan dan wewenang.91 Kita harus membedakan antara

kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kewenangan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-

undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Pada kewenangan terdapat

wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan

lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak

hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi

meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan

wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan.

Pengertian wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-

91
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas
Parahyangan, 2000), hal 22.

71
akibat hukum.92 Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana

tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan (authority) memiliki

pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan

merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang,

sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya

barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-

undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut

dalam kewenangan itu.

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang

sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan

didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa

sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)

pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan

organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh

hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa

kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. 93

92
Indroharto, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 65.
93
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi
dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006, hal 219.

72
2. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum bersumber dari aliran positivistis yang

dipelopori oleh Hans Kelsen yang menyatakan hukum adalah suatu

perintah yang memaksa terhadap tingkah laku manusia, dan hukum adalah

kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.

Pandangan Kelsen tentang hukum, sangat mencerminkan ciri

positivisnya. Kelsen melihat hukum positif sebagai satu-satunya hukum.

Dan hukum harus benar-benar dipisahkan dari segala pengaruh anasir-

anasir non hukum, seperti moral, politis, ekonomis, sosiologis dan

sebagainya.94 Aliran positivistis beranggapan bahwa hukum sebagai

sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan

yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini sekedar

menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini meskipun

aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak

memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal ini

tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat terwujud. 95

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum

menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas

bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justitia

et repeat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh).

94
Achmad Ali “Menguak Tabir Hukum”, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung,
2002, hal 29.
95
Ibid, hal 83.

73
Kepastian hukum akan memberikan perlindungan hukum kepada

yustisiabel atau pencari keadilan dari tindakan sewenang-wenang pihak

lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban masyarakat.96

Sudikno Mertokusumo menyatakan masyarakat juga

berkepentingan agar dalam pelaksanaan atau penegakan hukum itu,

memperhatikan nilai-nilai keadilan. Akan tetapi, harus diingat bahwa hukum

itu tidak identik dengan keadilan, karena hukum bersifat umum, mengikat

setiap orang dan bersifat menyamaratakan atau tidak membeda-bedakan

keadaan status ataupun perbuatan yang dilakukan manusia. Bagi hukum,

setiap kejahatan yang dilakukan akan dijatuhkan pidana/hukuman yang

sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam undang-undang,

sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan keadilan

masyarakat.97

Pandangan Hans Kelsen di atas menurut pendapat penulis bahwa

hukum itu bukan hanya berupa kumpulan aturan-aturan yang bersifat

tertulis (undang-undang) dan berlaku di suatu negara akan tetapi terdapat

pula aturan-aturan hukum yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu

negara misalnya Hukum Adat. Adapun mengenai teori kepastian hukum

yang dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat ini tidak lagi cocok untuk

96
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
SinarGrafika, hal 131.
97
Ibid, hal 1.

74
diterapkan oleh karena Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum harus

harus dipisahkan dari anasir-anasir non hukum dalam arti hukum harus

berdiri sendiri dan tidak boleh dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum.

Meskipun hukum harus ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa

hukum yang terjadi akan tetapi penerapan hukum harus memperhatikan

nilai-nilai yang ada pada saat ini dan tidak hanya sekedar bertujuan untuk

memperoleh kepastian hukum saja akan tetapi lebih dari itu bahwa

penerapan hukum di Indonesia harus diusahakan untuk mencapai 3 (tiga)

tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dari

ketiga tujuan hukum ini maka untuk melihat manakah yang diutamakan di

antara ketiganya (kepastian hukum, kemanfaatan ataupun keadilan) maka

harus dilihat perkasus yang terjadi.

3. Teori Perencanaan

Perencanaan pada dasarnya merupakan cara, teknik atau metode

untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara tepat, terarah dan efisien

dengan sumber daya yang tersedia. Adapun perencanaan yang

dikemukakan oleh Wedgewood-Oppenheim sebagaimana dikutip oleh

Lawton dan Rose dalam Riyadi dan Deddy Supriadi Bratakusumah 98

menyatakan bahwa perencanaan dapat dilihat sebagai suatu proses

dimana tujuan-tujuan, bukti faktual dan asumsi-asumsi diterjemahkan

98
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, Perencanaan dan Pembangunan
Daerah, Pustaka Karya, Jakarta, 2005, hal 5.

75
sebagai suatu proses argumen logis ke dalam penerapan kebijaksanaan

yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan.

Ginanjar Kartasasmita menyatakan perencanaan sebagai fungsi

manajemen adalah proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan

untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.99

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa dalam perencanaan pada umumnya terkandung beberapa hal

pokok yang dapat dikatakan sebagai unsur-unsur dalam perencanaan yang

meliputi:

1. Adanya asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta. Ini berarti bahwa

perencanaan hendaknya disusun berdasarkan pada asumsi-asumsi

yang didukung dengan fakta-fakta atau dengan bukti-bukti yang ada.

Hal ini menjadi penting karena hasil perencanaan merupakan dasar

bagi pelaksanaan suatu kegiatan atau aktifitas;

2. Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan

kegiatan yang akan dilakukan. Dalam penyusunan rencana perlu

memperhatikan berbagai alternatif/pilihan sesuai dengan kegiatan yang

akan dilaksanakan;

99
Ginanjar Kartasasmita, Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran
dan Prakteknya di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1997, hal 57.

76
3. Adanya tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini perencanaan

merupakan suatu alat/sarana untuk mencapai tujuan melalui

pelaksanaan kegiatan;

4. Bersifat memprediksi sebagai langkah untuk mengantisipasi

kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan

perencanaan;

5. Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus

dilaksanakan.

Perencanaan dapat diterjemahkan sebagai suatu alat atau cara

untuk mencapai tujuan yang lebih baik secara lebih efisien dan lebih baik.

Berbeda dengan kegiatan spontan yang tidak direncanakan secara

matang, kegiatan pembangunan yang direncanakan di atas kertas dapat

diharapkan akan memberikan hasil yang benar-benar maksimal.

Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa perencanaan

adalah teknik atau metode, proses identifikasi masalah sejak dini

berdasarkan asumsi-asumsi, fakta-fakta yang ada dalam rangka membuat

pilihan-pilihan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang

dikehendaki. Dengan adanya perencanaan, faktor-faktor yang diperkirakan

akan menjadi penghambat bagi keberhasilan pelaksanaan program atau

kegiatan pembangunan niscaya dapat diatasi sedini mungkin. Dalam

proses perencanaan program, selain dilakukan identifikasi dan langkah-

77
langkah persiapan pelaksanaan program tahap berikutnya dan perlunya

dilakukan pemantauan (monitoring) dan evaluasi program. Sebaik apapun

sebuah rencana yang dirumuskan dalam program pembangunan yang

akan dilaksanakan biasanya akan tetap tidak terhindarkan kemungkinan

terjadinya penyimpangan, bahkan kegagalan. Kondisi masyarakat yang

bervariatif, kualitas sumber daya manusia, birokrasi yang kurang merata,

kendala politis dan sebagainya adalah faktor-faktor yang tidak mustahil

mempengaruhi efektifitas pelaksanaan program pembangunan di

lapangan.

Teori perencanaan yang merupakan landasan berpikir dalam

merencanakan tata ruang kota dan wilayah antara lain:

1. Comprehensif Planning adalah suatu jenis perencanaan yang

menyeluruh, semua aspek dianggap penting sehingga sangat sulit

menentukan siapa stakeholdernya. Perencanaan jenis ini ingin

memuaskan semua pihak sehingga sifat pengelola pembangunan disini

bukan sebagai pemimpin tetapi lebih sebagai fasilitator. Akibatnya

sering tujuannya tidak tercapai atau sulit membuat indikator pengukuran

kinerja pencapaian tujuan.

2. Strategis Planning atau Perencanaan strategis yang dikemukakan oleh

Einsiendel merupakan bagian yang lebih kecil dari perencanaan

komprehensif yang memiliki stakeholder yang jelas dan terbatas.

78
Pada sisi yang lain kaufman dan Jacob menerangkan bahwa

perencanaan strategis menyokong partisipasi yang lebih luas dan lebih

bervariasi dalam proses perencanaan, lebih menekankan pengkajian

kekuatan dan kelemahan dalam konteks internal dan menekankan pada

pemahaman masyarakat dalam konteks eksternal (peluang dan ancaman).

Perencanaan strategis dianggap metode yang ampuh untuk

mengantisipasi perubahan lingkungan yang cepat. Metode ini merupakan

metode alternatif dari metode yang lebih konvensional dalam perencanaan

jangka panjang atau perencanaan yang sangat menekankan pencapaian

tujuan.

4. Teori Koordinasi

Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang

berbeda, agar kegiatan bagian-bagian tersebut selesai tepat pada

waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan

usahanya secara maksimal, dan memperoleh hasil secara keseluruhan.

Koordinasi terhadap sejumlah bagian-bagian yang besar pada setiap

usaha yang luas daripada organisasi demikian pentingnya sehingga

beberapa kalangan menempatkannya dalam pusat analisis.

Koordinasi yang efektif adalah suatu keharusan untuk mencapai

administrasi/manajemen yang baik dan merupakan tanggungjawab yang

langsung dari pimpinan. Koordinasi dan kepemimpinan tidak dapat

79
dipisahkan satu sama lain oleh karena itu satu sama lain saling

mempengaruhi. Kepemimpinan yang efektif akan menjamin koordinasi

yang baik sebab pemimpin berperan sebagai Koordinator. Menurut G.R.

Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk

menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan

pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan

harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L.

Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan

memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing

dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang

semestinya di antara para anggota itu sendiri.100

Menurut Mc. Farland,101 koordinasi adalah suatu proses dimana

pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara

bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan

bersama.

Handoko102 mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai

proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-

satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu

organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut

Handoko kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan

100
Hasibuan, Op Cit, hal 59.
101
Hadyadiningrat, Op Cit, hal 77.
102
Handoko, Op Cit, hal 90.

80
komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan

bermacam-macam satuan pelaksanaannya. Hal ini juga ditegaskan oleh

Handayaningrat 103 bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal

yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga menyatakan

bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) tidak dapat dipisahkan

satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.

Koordinasi Pemerintahan merupakan kegiatan-kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan harus ditujukan ke arah tujuan yang hendak dicapai yaitu

yang telah ditetapkan baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah.

Untuk mencapai sasaran dan tujuan harus ada pengendalian sebagai alat

untuk menjamin berlangsungnya kegiatan. Pengendalian yang dimaksud

adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian kerja dengan rencana,

program, perintah-perintah, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang telah

ditetapkan termasuk tindakan-tindakan korektif terhadap ketidakmampuan

atau penyimpangan. Proses pengendalian menghasilkan data-data dan

fakta-fakta baru yang terjadi dalam pelaksanaan, hal ini bermanfaat bagi

pimpinan perencanaan dan pelaksanaan. Apa yang telah direncanakan,

diprogramkan tidak selalu cocok dengan kenyataan operasionalnya dalam

rangka inilah pengendalian berguna bagi perencanaan selanjutnya.

Selama pekerjaan berjalan, pengendalian digunakan sebagai penjaga dan

103
Ibid, hal 50.

81
pengaman. Pengendalian berguna bagi keperluan koreksi pelaksanaan

operasional, sehingga tujuannya tidak menyimpang dari rencana.

Berdasarkan lingkupnya, koordinasi dibagi dalam koordinasi intern

yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit dalam suatu organisasi dan

koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari bagian organisasi

atau antar organisasi sedangkan berdasarkan arahnya, terbagi dalam:

1. Koordinasi Horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit

yang mempunyai tingkat hierarkis yang sama dalam suatu organisasi

antar pejabat dari organisasi-organisasi yang sederajat atau organisasi

yang setingkat.

2. Koordinasi Vertikal yaitu koordinasi antara pejabat-pejabat dan unit-unit

tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat atasnya secara

langsung, serta cabang-cabang suatu organisasi oleh organisasi

induknya.

3. Koordinasi Diagonal yaitu koordinasi antar pejabat atau unit yang

berbeda fungsi dan berbeda tingkat hierarkinya.

4. Koordinasi Fungsional adalah koordinasi antar pejabat, antar unit atau

antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena

koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

82
J. Kerangka Pikir

Pemanfaatan Tanah Untuk Kawasan


Permukiman Menurut Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Makassar

Pemanfaatan3.Kawasan Penerapan Sanksi


Permukiman Administratif
4.
- Peringatan Tertulis
- Perizinan
5.
- Koordinasi Kelembagaan - Pembongkaran Bangunan
- 6.
Pengawasan - Pencabutan Izin
- Peran Serta Masyarakat

Terwujudnya Pemanfaatan
Kawasan PermukimanTerpadu
Menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar

83
K. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep

yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-

pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:

1. Kawasan Permukiman adalah kawasan yang ditetapkan oleh

Pemerintah Kota Makassar untuk permukiman.

2. Koordinasi Kelembagaan adalah kerjasama antara instansi

Pemerintahan dalam melaksanakan pengaturan tata ruang Kota

Makassar.

3. Pengawasan adalah upaya pengawasan oleh Pemerintah Kota

Makassar dalam hal ini pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam

pelaksanaan Perda No 6 Tahun 2006.

4. Perizinan adalah izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Makassar

untuk mendirikan bangunan sesuai dengan peruntukannya.

5. Peran Serta Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara aktif

dalam setiap program pemerintah yang menyangkut penataan ruang di

Kota Makassar

6. Sanksi Administratif adalah sanksi yang diberikan oleh aparat Dinas

Tata Ruang dan Bangunan terhadap setiap pelanggaran pemanfaatan

tata ruang di Kota Makassar.

84
7. Peringatan Tertulis adalah tindakan yang diambil oleh pihak Dinas Tata

Ruang dan Bangunan terhadap pelanggaran tata ruang di Kota

Makassar.

8. Pembongkaran Bangunan adalah sanksi administratif yang dilaksanakan

oleh pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan apabila peringatan tertulis

yang diberikan kepada pelanggar tidak dihiraukan.

85
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian sosio-yuridis,

selain mengkaji hukum secara teoretis dan normatif, juga akan mengkaji

hukum dalam pelaksanaannya. Kesesuaian antara hukum dalam perspektif

normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan sebuah tuntutan

realitas untuk mengefektifkan hukum dalam kehidupan.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, karena Kota

Makassar cukup representatif untuk penelitian ini, dengan pertimbangan

bahwa di Kota Makassar pada saat ini pembangunan kawasan

permukiman atau perumahan dan ruko sangat pesat.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan aparat

Pemerintah Kota Makassar Bagian Hukum, aparat Dinas Tata Ruang Kota

Makassar (DTRB), aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(BAPPEDA), Pengembang (Developer) dan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM)/Walhi, serta masyarakat Kota Makassar:

86
Sampel dalam penelitian ini ditetapkan secara Purposive Sampling

yaitu sampel yang secara sengaja dipilih dengan menggunakan kriteria-

kriteria yang penulis tetapkan yaitu:

1. Aparat Pemerintah Kota Makassar Bidang Hukum 3 orang

2. Aparat Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar 3 orang

3. Aparat Bappeda 3 orang

4. Kepala Kantor Kecamatan 3 orang

5. Pengembang (Developer) 4 orang

6. LSM/Walhi 2 orang

7. Masyarakat 30 orang

Jumlah 48 orang

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk

menunjang hasil penelitian ini.

1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

narasumber dan responden dengan menggunakan teknik wawancara

terhadap sampel yang dipilih.

2. Data Sekunder adalah merupakan data yang diperoleh melalui hasil

penelaahan studi kepustakaan, dokumen-dokumen, peraturan

perundang-undangan, karya-karya ilmiah yang ditulis para pakar

hukum, makalah-makalah dalam seminar, lokakarya, serta tulisan-

tulisan lepas yang dimuat dalam situs internet yang mengkaji dan

87
membahas materi yang terkait dengan obyek dan masalah dalam

penelitian ini.

3. Data tertier, berupa petunjuk maupun penjelasan terhadap istilah yang

dimaksud dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

dalam bentuk kamus hukum dan kamus umum lainnya.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

a. Wawancara dengan mendatangi nara sumber dan responden, dan

melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan

terstruktur.

b. Dokumentasi dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan

penelitian ini.

F. Analisis Data

Data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dengan

menggunakan landasan teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau

data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu

menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.

88
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pemanfaatan Kawasan Permukiman dalam Pengaturan Tata Ruang


Kota Makassar

Pembangunan kota merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional yang dilaksanakan secara sinergis, efektif dan berkelanjutan.

Dalam kebijaksanaan nasional, pembangunan kota ditekankan pada upaya

mengoptimalkan target pembangunan sektoral yang diintegrasikan dalam

satu pembangunan terpadu.

Untuk menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan kota

serta dalam mendukung usaha peningkatan keserasian dan keselarasan

pembangunan kota dengan pembangunan nasional secara bertahap dan

berkesinambungan, maka diperlukan suatu arahan dan pedoman

pelaksanaan pembangunan kota.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pemanfaatan kawasan

permukiman maka terlebih dahulu penulis akan menganalisis dalam

konteks teori perencanaan.

Perencanaan kawasan permukiman di Kota Makassar pada

dasarnya merupakan cara, teknik atau metode untuk mencapai tujuan yang

diinginkan secara tepat, terarah dan efisien yang bermuara pada tujuan

89
akhir yang ditetapkan yaitu terwujudnya keharmonisan lingkungan alam

dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan

sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan

sumber daya manusia serta terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan

pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan

ruang.

Teori perencanaan yang dikemukakan oleh George R. Terry

dalam Riyadi dan Deddy Supriadi Bratakusumah104 menyatakan bahwa

perencanaan adalah upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta

dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang

akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-

kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Berdasarkan teori perencanaan yang dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa perencanaan tata ruang kota adalah merupakan alat

atau cara untuk mencapai tujuan pembangunan kota yang lebih baik

secara lebih efisien yang dituangkan dalam suatu rencana tata ruang, oleh

karena kegiatan pembangunan yang direncanakan dapat memberikan hasil

yang benar-benar maksimal. Perencanaan dalam pengembangan kota

atau wilayah sangat diperlukan oleh karena:

1. Ada pedoman (pengarahan) bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang

ditujukan pada pencapaian tujuan pembangunan;

104
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, Op. Cit, hal 7.

90
2. Sebagai perkiraan (forecasting) terhadap hal-hal yang akan terjadi

dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui, baik perkiraan mengenai

potensi atau prospek perkembangan, juga perkiraan mengenai

hambatan dan resiko yang mungkin dihadapi;

3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai

alternatif tentang cara yang terbaik dalam pelaksanaan kegiatan

pembangunan atau kombinasi cara yang terbaik;

4. Dengan perencanaan yang baik dapat dilakukan penyusunan skala

prioritas serta pemilihan urutan dari segi pentingnya suatu tujuan,

sasaran maupun kegiatannya;

5. Perencanaan dapat digunakan sebagai alat pengukur untuk

mengadakan pengawasan atau evaluasi.

Faktor-faktor yang diperkirakan akan menjadi penghambat bagi

keberhasilan pelaksanaan program atau kegiatan pembangunan akan

dapat diatasi sedini mungkin dengan adanya suatu perencanaan. Dalam

proses perencanaan program, selain dilakukan identifikasi dan langkah-

langkah persiapan pelaksanaan program tahap berikutnya adalah perlunya

dilakukan pemantauan (monitoring) serta evaluasi program.

Arahan dan pedoman pembangunan ditujukan agar pelaksanaan

pembangunan dapat berjalan secara serasi dan seimbang sesuai dengan

yang direncanakan. Penyusunan rencana tata ruang Kota Makassar juga

91
dimaksudkan sebagai satu cara untuk mensinergikan kembali semua

arahan-arahan perencanaan kota ke dalam satu sinergitas baru yang

disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2006-2016.

Secara garis besar apresiasi perencanaan Kota Makassar dalam

wujud rencana tata ruangnya tetap akan menjadikan rujukan perencanaan

di atasnya seperti Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi Tahun Anggaran

2002, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan

1999-2004, dan Rencana Tata Ruang Metropolitan Mamminasata sebagai

referensi dalam penyusunan rencana tata ruangnya, dimana inti dari

perencanaan-perencanaan tersebut akan menjadi ide awal bagi

perencanaan tata ruang Kota Makassar.

Perencanaan tata ruang Kota Makassar secara filosofi akan

dikembangkan menurut dasar perencanaan tata ruang yang sebenarnya

dengan konsentrasi perencanaannya akan mengacu pada pencapaian visi

Kota Makassar yaitu bagaimana menjadikan Kota Makassar tumbuh dan

berkembang sebagai “Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa”.

Rencana pemanfaatan kawasan permukiman dalam tata ruang

Kota Makassar, arahan pengembangannya dikelompokkan dalam kategori

pengembangan kawasan permukiman yang berkepadatan tinggi, sedang

dan rendah. Pengembangan kawasan permukiman dalam 13 Kawasan

Terpadu Kota Makassar sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Akan

92
tetapi dibutuhkan ketentuan-ketentuan secara rinci atau detail yang

mengatur pola dan bentuk permukiman tersebut. Pola dan bentuk tersebut

diantaranya menjadikan visi, misi dan strategi masing-masing kawasan

terpadu sebagai tolak ukur.

Kawasan terpadu adalah kawasan yang memiliki fungsi lebih dari

satu, terdiri atas fungsi utama dan fungsi penunjang. Masing-masing

fungsi dari beberapa fungsi tersebut saling terkait dan bersinergi serta

saling mempengaruhi dan mendukung fungsi utama sebagai suatu sistem.

Kawasan terpadu diperlukan dalam rangka penyusunan rencana

tata ruang untuk kepentingan dan peran strategis yang ingin diambil Kota

Makassar ke depan dalam lingkungan persaingan global. Kedudukan dan

model perencanaan terpadu menjadi satu solusi yang diharapkan benar-

benar bisa mengakomodir semua kebutuhan ruang kota berkembang

sesuai dengan karakteristik fisik anatominya dan filosofi atmosfer ruang-

ruang kotanya.

Kawasan permukiman terpadu adalah kawasan yang diarahkan

dan diperuntukkan bagi pemusatan dan pengembangan permukiman atau

tempat tinggal/hunian beserta prasarana dan sarana lingkungan yang

terstruktur secara terpadu. Pengembangan kawasan permukiman, secara

bertahap diharapkan dapat melengkapi infrastruktur kawasannya dengan

sarana dan prasarana lingkungan, yang jenis dan jumlahnya disesuaikan

93
dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan standar fasilitas

umum dan fasilitas sosial yang berfungsi sebagai penunjang terselenggara

dan berkembangnya kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat

meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga/ kesenian/

rekreasi, pelayanan pemerintah, bina sosial, perbelanjaan/niaga,

transportasi dan lain-lain.

Secara umum strategi pengembangan kawasan permukiman

dalam 13 kawasan terpadu dilakukan dengan mengembangkan cara-cara

progresi melalui program revitalisasi, peremajaan lingkungan secara

terbatas dan terukur dan atau membangun baru dari kawasan yang

direncanakan sebagai kawasan permukiman serta mengembangkan

sarana dan prasarana kawasan secara seimbang sesuai kebutuhan

masyarakat setempat. Adapun strategi pengembangan kawasan

permukiman terpadu meliputi:

1) Mendorong pembangunan kluster permukiman dengan standar yang

baik dan baku dan memberikan kemudahan kepada setiap developer

yang mampu mewujudkan dan memelihara kawasannya dengan

keasrian yang tinggi dan estetik dalam kegiatan melaksanakan

kelanjutan pembangunan kawasannya;

94
2) Mendukung pembangunan kawasan sentra primer Timur Baru pada

kawasan Panakkukang Mas sebagai daerah pusat bisnis ”Central

Business District” (CBD) di kawasan permukiman;

3) Mengembangkan dan menata sistem drainase kawasan permukiman

terpadu serta menetapkan/mengawasi derajat ketinggian terhadap

kawasan-kawasan permukiman tersebut agar bebas banjir dan bebas

genangan;

4) Mendorong pertumbuhan kawasan permukiman kepadatan sedang

sampai tinggi dalam upaya efisiensi pemanfaatan ruang;

5) Merencanakan, menata dan mengendalikan kawasan–kawasan sektor

informal yang tersebar di Kawasan Permukiman Terpadu menjadi

kawasan-kawasan sektor informal yang prospektif dan berdaya tarik

tinggi pada lokasi-lokasi yang mendukung terwujudnya kota yang

nyaman dan teratur;

6) Mendorong pembangunan kawasan Pasar Induk Kota dalam skala

regional sebagai prasarana penting yang melayani kebutuhan pokok

masyarakat kota dan sekitarnya.

Pengembangan kawasan permukiman dijabarkan dalam 13

Kawasan Terpadu dengan persentase luas ruang untuk permukiman atau

perumahan sebagai berikut105 :

105
Data berdasarkan RTRW Kota Makassar (Perda Nomor 6 Tahun 2006).

95
1. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Pusat Kota ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 631,19 Ha, atau 25 % dari luas kawasan.
2. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Permukiman Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 1.151,80 Ha, atau 40 % dari luas kawasan.
3. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Pelabuhan Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 87.55 Ha, atau 10 % dari luas kawasan.
4. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Bandara Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 154,59 Ha, atau 12 % dari luas kawasan.
5. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Maritim Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 53,01 Ha, atau 15 % dari luas kawasan.
6. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Industri Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 106,30 Ha, atau 11 % dari luas kawasan.
7. Rencana pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Pergudangan Terpadu ditargetkan menempati
wilayah perencanaan seluas 392,60 Ha, atau 8 % dari luas
kawasan.
8. Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman pada
Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu ditargetkan menempati
wilayah perencanaan seluas 1.085,16 Ha atau 34 % dari luas
kawasan.
9. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada
Kawasan Penelitian Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 29,33 Ha, atau 5 % dari luas kawasan.
10. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada
Kawasan Budaya Terpadu ditargetkan menempati wilayah
perencanaan seluas 51,00 Ha, atau 9 % dari luas kawasan.
11. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada
Kawasan Olahraga Terpadu ditargetkan menempati wilayah

96
perencanaan seluas 187,92 Ha, atau seluas 20 % dari luas
kawasan.
12. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada
Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu ditargetkan
menempati wilayah perencanaan seluas 134,81 Ha atau seluas
20 % dari luas kawasan.

13. Rencana pengembangan kawasan permukiman pada


Kawasan Bisnis Global Terpadu ditargetkan menempati
wilayah perencanaan seluas 95,52 Ha atau seluas 15 % dari
luas kawasan.

Kawasan permukiman terpadu di Kota Makassar, pada dasarnya

mempunyai fungsi utama sebagai fungsi permukiman dan fungsi

penunjang yang merupakan sarana dan prasarana bagi warga masyarakat

di kawasan permukiman misalnya fungsi perdagangan, fungsi perkantoran,

fungsi jasa, fungsi pendidikan dan lain-lain. Demikian pula di kawasan non

permukiman tetap mempunyai fungsi permukiman akan tetapi fungsi

permukiman di kawasan non permukiman adalah sebagai fungsi

penunjang. Meskipun telah ditetapkan bahwa dalam setiap kawasan

terpadu mempunyai fungsi permukiman baik sebagai fungsi utama maupun

sebagai fungsi penunjang. RTRW Kota Makassar adalah merupakan

master plan atau rencana induk yang tidak menetapkan secara rinci lokasi

permukiman yang ada pada tiap kawasan terpadu olehnya itu RTRW Kota

Makassar masih memerlukan pengaturan yang lebih rinci atau detail yang

menguraikan lebih lanjut keberadaan kawasan permukiman pada 13

kawasan atau zonasi ini. Sebagai contoh di kawasan bandara terpadu,

97
fungsi utamanya adalah kawasan bandara terpadu. Pada radius tertentu

dari kawasan bandara terpadu, pihak otoritas bandara memberikan

masukan kepada pihak Pemerintah Kota Makassar untuk membatasi

pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk permukiman, demikian

pula untuk bangunan yang berlantai 2 (dua) atau lebih oleh karena dapat

mengganggu kepentingan penerbangan khususnya mengenai keselamatan

penumpang pesawat, demikian pula dengan pengaruh kebisingan yang

dapat mengganggu masyarakat yang menempati permukiman di sekitar

kawasan bandara terpadu. Melihat kondisi yang kami paparkan di atas

maka kebutuhan akan adanya RDTR dan RTRK ini sangat penting sebagai

penetapan lebih lanjut tentang lokasi yang pasti terhadap fungsi utama dan

fungsi-fungsi penunjang pada kawasan bandara terpadu sehingga fungsi

bandara terpadu pada kawasan ini tetap jelas dan dapat dipertahankan

sebagai fungsi utama. Pada kawasan bandara terpadu fungsi permukiman

yang merupakan fungsi penunjang ditetapkan hanya seluas 12 % dari luas

keseluruhan kawasan bandara terpadu.

Demikian pula pada kawasan industri terpadu sebagai fungsi

utamanya adalah fungsi industri. Pada kawasan ini banyak didirikan pabrik

oleh karena itu di kawasan industri khususnya di sekitar pabrik dilarang

mendirikan rumah atau permukiman, sehingga perlu penetapan lebih lanjut

dalam RDTR dan RTRK tentang pengaturan fungsi permukiman pada

98
kawasan ini khususnya mengenai lokasi yang aman dan tepat untuk

membangun permukiman pada kawasan ini agar masyarakat tidak

terganggu oleh aktifitas pabrik misalnya terhadap kebisingan pabrik, limbah

pabrik, dan asap pabrik yang dapat menyebabkan polusi serta

mengganggu pernafasan.

Pada kawasan pendidikan tinggi ditetapkan fungsi utamanya

adalah fungsi pendidikan dari seluruh luas kawasan ini ditetapkan pula

34 % dari luas kawasan sebagai kawasan permukiman yang berfungsi

sebagai tempat tinggal bagi dosen pengajar. Sedangkan tempat tinggal

untuk mahasiswa dalam bentuk pondokan dengan demikian di kawasan ini

IMB untuk pondokan banyak diberikan rekomendasi oleh pihak DTRB.

Adapun fungsi-fungsi penunjang lain adalah fungsi perdagangan, jasa dan

perkantoran yang menunjang fungsi pendidikan di kawasan ini. Dengan

demikian meskipun di kawasan ini didirikan mall, akan tetapi mall tersebut

harus diupayakan untuk menunjang fungsi pendidikan pada kawasan ini,

berbeda dengan mall di kawasan lain.

Pada kawasan permukiman ditargetkan fungsi utama pada

kawasan ini menempati wilayah perencanaan seluas 1.151,80 Ha, atau

40 % dari luas kawasan. Untuk mengetahui wilayah mana dari kawasan ini

yang merupakan fungsi utama sebagai fungsi permukiman dan wilayah

mana dalam kawasan ini sebagai wilayah yang merupakan fungsi

99
penunjang, perlu dituangkan lebih lanjut dalam RDTR dan RTRK. Adapun

uraian arahan pengembangan kawasan permukiman adalah sebagai

berikut:

1. Mempertahankan lingkungan permukiman yang teratur dan tersebar

dalam kelompok-kelompok perumahan berkompleks dalam kawasan

ini;

2. Mengembangkan kawasan permukiman baru terutama di wilayah

bagian Timur Kota;

3. Mendorong pengembangan kawasan permukiman KDB rendah beserta

fasilitasnya di daerah pengembangan permukiman Panakkukang Mas;

4. Mempertahankan fungsi perumahan pada kawasan mantap;

5. Melengkapi fasilitas umum di kawasan permukiman;

6. Membatasi perubahan fungsi kawasan permukiman yang sudah ada

dan sekaligus melestarikan lingkungannya.

Terhadap implementasi pemanfaatan kawasan permukiman,

penulis mewawancarai sejumlah narasumber dan responden untuk

mengetahui sejauhmana pendapat mereka terhadap penataan ruang

kawasan permukiman terkait dengan RTRW Kota Makassar. Adapun

tanggapan mereka terlihat dalam tabel 1.

100
Tabel 1: Pendapat Narasumber dan Responden tentang Pemanfaatan
Kawasan Permukiman dalam Pengaturan RTRW Kota
Makassar (n=48)

Responden
Kategori Pemerintah LSM / Jumlah
No Masyarakat Developer
Jawaban Kota Walhi
F P F P F P F P
12,50%
1 Sangat Sesuai - - 5 10,42 - - 1 2,08
14,59%
2 Sesuai 2 4,17 3 6,25 - - 2 4,17
35.42%
3 Cukup Sesuai 12 25,00 3 6,25 - - 1 2,08
37,05%
4 Tidak Sesuai 15 31,25 1 2,08 2 4,17 - -
2,08 %
5 Tidak Tahu 1 2,08 - - - - - -
100
62,50 25,00 4,17 8,33
48
Jumlah 30 12 2 4
Sumber: Data Primer yang diolah 2013

Pada tabel 1 terdiri dari responden dan narasumber. Responden

adalah masyarakat yang berjumlah 30 (tigapuluh) orang dan developer

sebanyak 4 (empat) orang sedangkan narasumber adalah pihak

Pemerintah Kota sebanyak 12 (duabelas) orang dan LSM/WALHI

sebanyak 2 (dua) orang. Adapun tanggapan masyarakat tentang

kesesuaian antara pemanfaatan kawasan permukiman dengan rencana

tata ruang Kota Makassar, yang menyatakan bahwa pemanfaatan

kawasan permukiman sangat sesuai dengan RTRW Kota Makassar tidak

101
ada sedangkan yang menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan

permukiman sesuai dengan RTRW Kota Makassar hanya 2 (dua) orang

atau hanya 4,17 %, yang menyatakan cukup sesuai berjumlah 12 (dua

belas) orang atau 25,00 %, yang menyatakan tidak sesuai sebanyak 15

(lima belas) orang atau 31, 25 % sedangkan 1 (satu) orang atau 2.08 %

menyatakan tidak tahu. Responden dari pihak developer, 1 (satu) orang

yang menyatakan bahwa pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman

sangat sesuai, 2 (dua) orang menyatakan sesuai sedangkan 1 (satu)

orang menyatakan cukup sesuai. Adapun narasumber dari Pemerintah

Kota, 5 orang atau 10,42 % yang menyatakan sangat sesuai yaitu

narasumber yang berasal dari DTRB, 3 (tiga) orang atau 6,25 % yang

menyatakan sesuai sedangkan yang menyatakan cukup sesuai juga

berjumlah 3 (tiga) orang dan yang menyatakan tidak sesuai 1 (satu) orang

atau 2,08 %. Adapun narasumber dari pihak LSM/Walhi menyatakan

bahwa pemaanfaatan kawasan permukiman tidak sesuai dengan

pengaturan RTRW Kota Makassar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Makassar menyatakan bahwa

pada saat ini pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman terjadi

deviasi atau simpangan di atas 40 % dari kondisi Das Sein dan Das Sollen.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya deviasi atau simpangan yaitu:

102
Ad 1. Regulasi

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar sebagai

sebuah regulasi dapat dikatakan sebagai alat untuk mengubah

masyarakat. Sesuai dengan konsep Roscou Pound yang menyatakan

bahwa fungsi hukum adalah sebagai a Tool of social Engineering. Roscou

Pound memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya diinginkan

dan apa yang tidak diinginkan terhadap penggunaan hukum sebagai alat

rekayasa sosial. Mochtar Koesoemaatmadja106 mengemukakan bahwa

hukum haruslah menjadi sarana atau alat untuk melaksanakan

pembangunan, artinya hukum haruslah mendorong proses modernisasi,

atau dengan kata lain hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang bermuara pada tujuan

negara yaitu mensejahterakan segenap warga masyarakat. Konsep yang

dikemukakan oleh Roscou Pound dan Mochtar Koesoemaatmadja tentang

hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat ini terkait erat dengan

keberadaan RTRW Kota Makassar yang pada dasarnya merupakan upaya

Pemerintah Kota Makassar menggunakan hukum sebagai alat untuk

mengendalikan pemanfaatan ruang Kota Makassar dan penggunaan

sumber daya alam serta sumber daya buatan secara lestari dan

berkelanjutan. RTRW Kota Makassar adalah merupakan landasan atau

106
Mochtar Koesoemaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hal 104

103
dasar hukum bagi Pemerintah Kota Makassar dalam perencanaan,

pemanfaatan dan upaya pengendalian pemanfaatan tata ruang, atau

dengan kata lain Pemerintah Kota Makassar telah meletakkan dasar

yuridis dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan di Kota

Makassar. Dimana RTRW Kota Makassar digunakan untuk membangun

kehidupan masyarakat yang lebih baik, lebih tertata, terarah dan lebih

teratur.

UUPR merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang

pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-undang tersebut

diharapkan selain sebagai konsep dasar dalam melaksanakan

perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

acuan atau rujukan bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah dalam penataan dan pelestarian lingkungan hidup.

Perda Nomor 6 Tahun 2006 atau RTRW Kota Makassar yang

disahkan dan berlaku pada tahun 2006, diharapkan dapat menjadi sarana

atau alat untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik

khususnya dari segi penataan ruang Kota Makassar, akan tetapi RTRW

Kota Makassar ini, dasar penyusunannya masih menggunakan Undang-

undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Seiring dengan

adanya perubahan terhadap paradigma Pemerintahan Daerah, dimana

Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri

104
(Otonomi Daerah) melalui ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan

ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikannya

ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan Undang-undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya disingkat

UUPR.

Dengan berlakunya UUPR yang baru ini maka Pemerintah Pusat

menganjurkan kepada Pemerintah Kota Makassar untuk merevisi RTRW

Kota Makassar agar sesuai dengan UUPR yang baru sebagaimana

dinyatakan oleh Supardi107 bahwa:

Pada saat ini RTRW Kota Makassar telah mengalami revisi.


Sebelum ada anjuran dari Pemerintah Pusat untuk merevisi RTRW
Kota Makassar pihaknya telah lebih dulu membuat rancangan
RTRW untuk menyesuaikan dengan UUPR yang baru. Akan tetapi
pada saat ini pengaturan tentang penataan ruang Kota Makassar
tetap merujuk dan mengacu pada Perda No. 6 Tahun 2006 dimana
pemerintah pusat memberikan batas waktu (dead line) pada
Pemerintah Kota Makassar bahwa RTRW yang baru harus sudah
disahkan atau berlaku pada tahun 2012. Akan tetapi hingga saat ini
rancangan Perda yang baru tersebut belum disahkan oleh DPRD
Kota Makassar. Hal inilah yang menjadi kendala bagi DTRB untuk
mengatur Tata Ruang Kota Makassar. Dengan lambatnya DPRD
Kota Makassar mensahkan revisi RTRW tersebut sehingga
keinginan BAPPEDA bersama DTRB untuk membuat Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi tertunda. RDTR ini mengatur
secara detail tata ruang di 13 (tigabelas) kawasan atau zona yang
telah ditetapkan. Dimana RDTR ini harus pula berbentuk Perda.
Setelah RDTR ini selesai dibuat maka berdasarkan RDTR ini akan
dibuat lagi regulasi perkawasan atau Rencana Tata Ruang Kawasan

107
Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Supardi Kepala Seksi Rencana Mikro dan
Detail Pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar Pada tanggal 27 Februari
2013.

105
(RTRK/Zoning Regulation) sehingga nantinya tidak ada lagi
kawasan yang tidak terencana dan terarah dengan baik.

Meskipun pemanfaatan kawasan permukiman tetap mengacu dan

merujuk pada RTRW Kota Makassar akan tetapi dalam pelaksanaan

pengaturan kawasan atau zonasi masih memerlukan RDTR atau Rencana

Rinci Tata Ruang yang mengatur secara detail atau terperinci setiap zona

atau kawasan. RTRW Kota Makassar adalah merupakan master plan atau

rencana induk yang pada dasarnya hanya mengatur secara makro atau

secara umum tentang pembagian 13 kawasan atau zonasi, misalnya pada

kawasan permukiman terpadu telah ditetapkan bahwa kawasan

permukiman terpadu meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan

Rappocini, Tamalate, Panakkukang dan Manggala. Akan tetapi belum ada

penentuan secara spesifik atau detail dalam suatu wilayah Kecamatan

yang merupakan kawasan permukiman dan wilayah mana yang termasuk

fungsi penunjang mengingat suatu kecamatan sangat luas wilayahnya.

Tidak detailnya RTRW ini menyebabkan pihak Dinas Tata Ruang dan

Bangunan (DTRB) yang menjadikan RTRW Kota Makassar dalam hal ini

pembagian 13 kawasan sebagai pedoman dalam memberikan

rekomendasi IMB dan Izin Prinsip terkesan hanya memperkirakan atau

meraba dan tidak berdasarkan suatu pedoman yang pasti dan terarah.

Dengan demikian sangat penting untuk segera membuat Rencana Detail

Tata Ruang Kota Makassar dan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK)

106
atau yang biasa disebut Zoning Regulation yang merinci dan mengatur

secara jelas dan tegas tentang pembagian fungsi-fungsi dalam kawasan

baik sebagai fungsi utama maupun fungsi penunjang.

RDTR dan zoning regulation ini akan mengatur secara jelas atau

detail tata ruang per ruas jalan. Dengan demikian secara rinci dapat

diketahui bahwa di suatu jalan mempunyai fungsi utama atau fungsi

penunjang. Sehingga dalam mendirikan bangunan dapat diketahui secara

jelas bahwa pada suatu wilayah yang mempunyai fungsi utama sebagai

fungsi permukiman maka yang dapat didirikan di ruas jalan tersebut hanya

bangunan untuk permukiman atau rumah dan bukan bangunan yang

mempunyai fungsi lain selain dari permukiman, demikian pula jika di

sebuah ruas jalan hanya mempunyai fungsi penunjang, maka harus dilihat

secara detail apa fungsi penunjangnya yang ditetapkan di ruas jalan

tersebut, apakah fungsi perkantoran atau berfungsi penunjang sebagai

sarana pendidikan atau sekolah. Oleh karena pada kenyataannya di 13

kawasan atau zonasi ini pihak DTRB selalu menginterpretasikan adanya

fungsi perdagangan pada setiap kawasan sebagai pembenaran untuk

memberikan rekomendasi IMB terhadap ruko dan rukan sehingga

berakibat pertumbuhan ruko dan rukan di Kota Makassar semakin

dominan.

107
Pihak DTRB berdalih bahwa kendala yang dihadapi adalah

ketiadaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dimana RDTR baru dapat

dibuat apabila revisi RTRW Kota Makassar telah disahkan akan tetapi

RTRW Kota Makassar tetap menjadi rujukan dan acuan dalam

pemanfaatan kawasan permukiman, sepanjang tidak bertentangan dengan

UUPR dan belum disahkannya RTRW Kota Makassar yang baru. Setelah

RTRW Kota Makassar disahkan maka barulah dapat dibuat RDTR dan

Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) atau Zoning Regulation. Yang

mana pembuatan RDTR ini harus pula melalui proses yang panjang oleh

karena RDTR ini harus berbentuk Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUPR yang menyatakan bahwa

“Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)

huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah Kabupaten”, untuk dapat

diberlakukan dan menjadi dasar hukum terhadap pengaturan tata ruang

Kota Makassar secara rinci atau detail.

Proses pembuatan RDTR sebagai Perda ini mengalami proses

yang panjang, yaitu rancangan RDTR yang telah dibuat oleh tim ahli

bersama dengan pihak BAPPEDA, kemudian diajukan ke Badan

Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang dipimpin oleh Sekda

dan harus memperoleh persetujuan dan ditandatangani oleh Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan, setelah itu kemudian diajukan ke Badan

108
Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang harus memperoleh persetujuan

dan ditandatangani oleh Menteri Pekerjaan Umum kemudian barulah

diajukan ke DPRD Kota Makassar untuk disahkan.

Terkait dengan sampai sejauhmana Revisi RTRW Kota Makassar

Darwis Herman108 menyatakan bahwa:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Makassar


bersama dengan DTRB telah membuat revisi terhadap Perda
Nomor 6 Tahun 2006, untuk disesuaikan dengan UUPR dan pada
saat ini tengah diproses di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Makassar.
Pada saat ini telah dilaksanakan Rapat Pansus terhadap Ranperda
ini di DPRD. Barulah Setelah terbit RTRW yang baru BAPPEDA
bekerjasama dengan DTRB akan membuat Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) yang harus juga melalui proses yang panjang oleh
karena RDTR ini harus juga berbentuk Perda untuk dapat menjadi
dasar hukum terhadap pengaturan 13 kawasan ini. Adapun faktor
yang menghambat RTRW Kota Makassar untuk disahkan di DPRD
Kota Makassar adalah persentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang
secara persentase masih kurang dari yang seharusnya. Dimana
RTH Kota Makassar baru berjumlah 12 % dari keseluruhan luas
wilayah Kota Makassar. Hal inilah yang menghambat RTRW Kota
Makassar untuk secepatnya disahkan, sedangkan untuk
pembebasan lahan yang akan diperuntukkan sebagai RTH
memerlukan dana yang besar, meskipun diakui bahwa Pemerintah
Kota telah memperoleh kucuran dana sebesar Rp 800.000.000
untuk pembebasan lahan RTH. Namun demikian RTRW Kota
Makassar tetap berlaku dan menjadi rujukan bagi Pemerintah Kota
Makassar dalam mengatur tata ruang Kota Makassar, sepanjang
tidak bertentangan dengan UUPR.

108
Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Darwis Herman, sebagai Kepala sub
Bidang Perhubungan Tata Ruang dan Lingkungan BAPPEDA Kota Makassar pada
tanggal 26 Februari 2013.

109
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas dapat

ditarik kesimpulan bahwa Revisi RTRW Kota Makassar pada saat ini

tengah menanti ketok palu di DPRD Kota Makassar, akan tetapi ranperda

ini terkendala oleh persentase jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota

Makassar yang pada saat ini baru berjumlah 12 % dari keseluruhan luas

Kota Makassar, sedangkan luas RTH yang ditetapkan dalam Pasal 29 ayat

(2) UUPR menyatakan bahwa ”Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah

kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota”,

sedangkan pada ayat (3) menyatakan bahwa ”Proporsi ruang terbuka hijau

publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas

kota”. Hal inilah yang menyebabkan DPRD Kota Makassar sampai saat ini

belum mensahkan Ranperda tersebut.

RTRW Kota Makassar dapat pula ditinjau kembali atau

disempurnakan dalam waktu kurang dari 10 tahun. Dalam hal strategi

pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah perencanaan perlu dikaji

ulang. Peninjauan kembali, atau penyempurnaan yang diperlukan dapat

dilakukan minimal 5 tahun sekali. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa mekanisme revisi tata ruang wilayah dapat dilakukan sesuai dengan

kebutuhan, terutama bila hasil pemantauan pemanfaatan ruang

menunjukkan perubahan dan perkembangan yang cukup signifikan.

110
Kebutuhan akan revisi RTRW Kota Makassar ditentukan oleh

beberapa faktor penentu. Salah satunya adalah perubahan kebijaksanaan

pembangunan baik yang berasal dari Pemerintah Daerah, maupun dari

Pemerintah Pusat, adalah merupakan salah satu faktor penentu yang

cukup tinggi. Hal inilah yang saat ini terjadi dimana UU No. 24 Tahun 1992

dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UU No 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang. Sehingga RTRW Kota Makassar yang baru

disahkan mengalami proses revisi untuk disesuaikan dengan UUPR yang

baru. Oleh karena perubahan kebijaksanaan pembangunan yang tidak

terakomodasi dalam rencana yang sudah ada menuntut adanya

penyesuaian terhadap isi rencana, terutama bila kebijaksanaan tersebut

menuntut adanya alokasi khusus dalam penataan ruangnya.

Faktor penentu lainnya untuk dapatnya RTRW Kota Makassar

dapat dievaluasi dan direvisi yaitu adanya perubahan penggunaan lahan

yang tidak sesuai dengan rencana penggunaan lahan. Hal ini terjadi

karena berlakunya mekanisme pasar di wilayah yang bersangkutan.

Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk merupakan dua

fenomena yang paling umum terjadi di setiap wilayah. Perkembangan

kedua elemen ini pada gilirannya menuntut kebutuhan akan adanya alokasi

pemanfaatan lahan baru yang menunjang aktivitas masyarakat. Lemahnya

kontrol dan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang pada akhirnya

111
mengakibatkan masalah baru, yakni berkembangnya penggunaan lahan

yang tidak sesuai dengan rencana yang ada.

Ad 2. Pergeseran Fungsi Kawasan

Terkait dengan pergeseran fungsi kawasan Umar109 menyatakan

bahwa:

Meskipun telah ada RTRW Kota Makassar yang menjadi rujukan


atau acuan, akan tetapi telah terjadi perubahan fungsi ruang yang
tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar. Hal ini adalah sebagai
akibat aksebilitas masyarakat yang begitu cepat. Sebagai contoh
dapat dilihat di Jalan Lamadukelleng yang dulunya adalah
merupakan kawasan permukiman pada saat ini faktanya sudah lain,
kebanyakan berubah menjadi rumah makan dengan demikian telah
terjadi perubahan peruntukan. Meskipun telah ada regulasi yang
mengatur tentang pembagian kawasan/zonasi yang menetapkan
tentang fungsi-fungsi bangunan atau peruntukan bangunan, akan
tetapi pada saat ini sedang terjadi trend pembangunan ruko oleh
karena gaya hidup masyarakat yang berpandangan bahwa dengan
memiliki ruko maka status sosial akan meningkat di samping itu
masyarakat berpendapat bahwa ruko mempunyai fungsi fleksibilitas
yaitu selain sebagai tempat untuk berdagang dapat pula
dipergunakan sebagai tempat tinggal. Hal ini memberikan kesan
bahwa pada saat ini fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan
lebih dominan dibandingkan dengan fungsi utama dari setiap
kawasan. Sehingga keinginan Pemerintah Kota Makassar untuk
mengendalikan kegiatan perdagangan dan jasa yang melebihi
kebutuhan pada suatu kawasan tidak terlaksana.

Pada 13 kawasan atau zonasi yang telah ditetapkan muncul

fenomena lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan

daripada fungsi utama di setiap kawasan. Lebih dominannya fungsi

penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada fungsi utama di setiap

109
Hasil wawancara dengan Bapak Umar, SH, Kepala sub Bidang Hukum dan
HAM Pemerintah Kota Makassar pada tanggal 28 Feb 2013

112
kawasan menurut pendapat penulis oleh karena aparat Pemerintah Kota

Makassar tidak mengkaji secara teknis dan sosial tingkat kebutuhan

masyarakat terhadap sarana perdagangan di setiap kawasan. Kajian teknis

dan sosial pada tiap kawasan ini penting oleh karena di dalamnya terdapat

analisis-analisis tentang tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah yang

dikaitkan dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap fungsi-fungsi

perdagangan sehingga dengan adanya kajian teknis dan sosial ini menjadi

pedoman bagi pihak DTRB dalam memberikan rekomendasi penerbitan

IMB. Bahwa pada suatu ruas jalan tidak boleh lagi ada pembangunan ruko

ataupun rukan oleh karena telah melebihi dari kapasitas yang ada di setiap

ruas jalan, sebagai contoh dapat dilihat pada sebuah perumahan dimana

seorang developer membangun rumah sebanyak 45 unit, kemudian

membangun ruko sebanyak 20 unit di depannya, hal inilah yang

memerlukan kajian teknis dan sosial oleh karena dirasakan tidak seimbang

antara tingkat kebutuhan masyarakat yang akan menghuni 45 unit rumah

dalam sebuah perumahan dengan ruko yang berjumlah 20 unit. Oleh

karena itu dibutuhkan analisis terhadap fungsi perdagangan dan jasa agar

seimbang dengan kebutuhan masyarakat, dan agar Dinas Tata Ruang dan

Bangunan tidak memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tanpa

memperhitungkan kajian-kajian teknis dan sosial tersebut.

113
Munculnya fungsi perdagangan pada hampir seluruh bagian kota,

menjadikan tidak sedikit ruang kosong dalam kota telah diinvasi dengan

peruntukan lain di luar dari fungsi sebenarnya. Seperti jalur hijau yang

banyak dialihfungsikan menjadi tempat bermukim dan atau menjadi tempat

usaha, sehingga tidak hanya kesan kumuh yang dominan menjadi citra

kawasan tetapi juga dampak lingkungan seperti polusi dan banjir sudah

menjadi beban yang harus diterima oleh warga masyarakat Kota Makassar

pada saat ini.

Secara umum pemanfaatan lahan di wilayah Kota Makassar saat

ini tertuju pada kegiatan permukiman yang bercampur dengan

perdagangan. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama, seiring dengan

peran Kota Makassar yang sejak dahulu telah menjadi kota perdagangan.

Banyak faktor yang mempengaruhi pola sebaran guna lahan di Kota

Makassar salah satunya adalah gaya aktifitas dan tingkat kepentingan

masyarakat. Dimana masyarakat pada saat ini lebih banyak bekerja pada

sektor jasa ataupun perdagangan, maka alokasi guna lahan untuk sektor

lainnya juga semakin berkurang dan akhirnya berimplementasi pada

kegiatan konversi lahan untuk kegiatan di luar zonasi yang telah

ditentukan.

114
Berdasarkan hasil penelitian, maka indikator-indikator yang

menyebabkan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman belum

sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar adalah:

1. Perizinan

Penggunaan lahan hingga saat ini telah mencapai 99,2 %

terhadap luas wilayah administratif Kota Makassar yaitu 17.577 Ha atau

175,77 km dengan batas wilayah sebelah utara Kabupaten Maros,

sebelah timur Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sebelah selatan

Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar dan sebelah barat selat

Makassar.

Pemanfaatan kawasan permukiman terkait erat dengan proses

perizinan. Dasar hukum izin pemanfaatan ruang adalah Pasal 35 UUPR

yang menyatakan bahwa “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan

melalui penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,

serta pengenaan sanksi”.

Secara umum izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai

konfirmasi persetujuan atas pemanfaatan ruang sebagai bagian dari

mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam kaitan ini maka

mekanisme perizinan pemanfaatan ruang perlu didayagunakan agar

secara dini dapat digunakan sebagai perangkat pengendalian yang dapat

diandalkan. Dengan demikian maka setiap pemanfaatan ruang harus

115
mendapat izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Menurut penulis dalam kaitannya dengan teori kewenangan maka

izin tidak lain adalah kewenangan pemerintah dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya dalam bidang pengaturan tata ruang, dimana dari

fungsi inilah diterbitkan instrument yuridis untuk menghadapi peristiwa

individual dan konkret dalam bentuk keputusan salah satunya adalah izin.

Pembuatan dan penerbitan izin merupakan tindakan hukum

pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, harus ada wewenang yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UUPR dan

RTRW Kota Makassar. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum menjadi

tidak sah. Oleh karena itu dalam membuat dan menerbitkan izin haruslah

berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut

maka keputusan pemberian izin tersebut menjadi tidak sah.

Perizinan yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang

adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lokasi (Izin Prinsip).

RTRW Kota Makassar dapat dijadikan acuan atau tolak ukur dalam

penerbitan perizinan pemanfaatan ruang. Untuk mendayagunakan

mekanisme perizinan ini maka setiap kegiatan yang dimohonkan izin

lokasinya perlu memperoleh konfirmasi kesesuaiannya dengan RTRW

116
Kota Makassar. Sehingga jenis kegiatan yang berlokasi pada kawasan

atau suatu lahan dapat sesuai atau tidak menyimpang dari cakupan

kegiatan dalam fungsi yang ditetapkan oleh RTRW Kota Makassar.

Upaya pendayagunaan mekanisme perizinan pemanfaatan ruang

ini perlu dikaitkan dengan pengembangan kebijaksanaan atau perangkat

insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang yaitu sebagai berikut:

- Kebijakan insentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk memacu

kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang. Kebijaksanaan

ini perlu dilaksanakan melalui penetapan kebijaksanaan baik di bidang

ekonomi (untuk menarik investasi) maupun pembangunan fisik

prasarana/pelayanan umum yang memacu pemanfaatan ruang sesuai

dengan yang diinginkan dalam RTRW Kota Makassar.

- Kebijakan disinsentif pemanfaatan ruang yang bertujuan untuk

membatasi pertumbuhan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan

dengan RTRW Kota Makassar. Kebijaksanaan ini dilaksanakan melalui

penolakan pemberian perizinan pemanfaatan ruang serta pembatasan

pengadaan sarana dan prasarana.

Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai salah satu unsur

pelaksana Pemerintah Kota Makassar yang mempunyai tugas pokok

merumuskan, membina dan mengendalikan kebijakan di bidang

perencanaan tata ruang, pengendalian kawasan, penataan dan penertiban

117
bangunan berupaya melakukan pencermatan terhadap intensitas

penggunaan lahan yang lebih didominasi dengan pemanfaatan lahan yang

berkaitan dengan kegiatan perkotaan (permukiman, jasa, perdagangan,

industri, infrastruktur dan lain-lain). Adapun Izin yang terkait dengan

pemanfaatan ruang yaitu:

Ad 1. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diatur dalam Peraturan Daerah

Kota Makassar Nomor 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan.110 Pada

dasarnya IMB tidak hanya diperuntukkan untuk pembangunan rumah

tinggal dan perumahan akan tetapi semua bangunan yang akan didirikan di

Kota Makassar harus terlebih dahulu memperoleh IMB. Adapun bangunan-

bangunan yang harus dimohonkan IMB yaitu Gudang, Tower, Gedung

Olah Raga (GOR), Rusunawa, Pagar, Pondokan, Sekolah, Hotel, Mesjid,

Gereja, Panti, SPBU, Show Room, Gedung, Studio, Restoran, Wisma,

Bengkel, Ruko, Rukan, Kantor dan lain-lain.

Bangunan adalah wujud fisik hasil pelaksanaan pekerjaan

konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau

seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air yang

berfungsi sebagai tempat manusia melakukan aktifitas kegiatan baik

hunian, tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan

sosial, budaya maupun kegiatan khusus yang diawali dari suatu

110
Lembaran Daerah Kota Makassar Nomor 29 Seri C Nomor 9

118
perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi dan kegiatan pemanfaatan

lahan.

Izin Mendirikan Bangunan adalah merupakan syarat yang harus

dipenuhi oleh masyarakat apabila akan mendirikan bangunan. Subyek Izin

Mendirikan Bangunan adalah setiap orang atau badan hukum yang ingin

mendirikan bangunan, sedangkan yang menjadi obyek Izin Mendirikan

Bangunan adalah setiap bangunan yang didirikan untuk keperluan tertentu.

Pada dasarnya kegiatan mendirikan bangunan menyangkut

pelaksanaan pekerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut:111

a. Mendirikan bangunan baru, baik sebagian ataupun seluruhnya;

b. Merombak bangunan asal atau lama baik sebahagian maupun

seluruhnya atau dengan kata lain merenovasi;

c. Menambah bangunan asal atau lama;

d. Memasang pagar dengan tinggi lebih dari 1,20 meter dengan

menggunakan bahan bangunan;

e. Menambah pelataran parkir, sarana olahraga, rekreasi, pembuatan

jalan dan sebagainya;

f. Menambah pondasi mesin misalnya mendirikan tower dan lain-lain

sejenisnya;

g. Menambah dinding penahan tanah tempat mencuci kendaraan dan lain-

lain yang sejenisnya;

111
Juniarso Ridwan dan Achmad sodik Op. Cit 118.

119
h. Melakukan galian untuk pemasangan pipa/kabel/saluran air/listrik/ tiang

telepon.

Izin Mendirikan Bangunan harus memperoleh rekomendasi Dinas

Tata Ruang dan Bangunan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh pemohon adalah:

1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk pemohon;

2. Foto copy bukti kepemilikan/penguasaan tanah;

3. Foto copy lunas PBB tahun berjalan;

4. Surat pernyataan tidak keberatan tetangga;

5. Surat pernyataan pemohon bahwa lokasi/ tanah tidak dalam sengketa

dan diketahui Kepala Kelurahan dan Kecamatan;

6. Gambar rencana bangunan dan perhitungan konstruksi 5 (lima)

rangkap dengan melampirkan surat izin perencana bangunan;

7. Pas Photo ukuran 3x4 sebanyak 2 (dua) lembar.

Perkembangan pembangunan untuk permukiman, Ruko (rumah

toko) dan Rukan (rumah kantor), dapat dilihat berdasarkan jumlah

permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diberikan rekomendasi

oleh Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar pada tabel 2.

120
Tabel 2: Data Permohonan yang Memperoleh Rekomendasi Izin
Mendirikan Bangunan untuk Permukiman, Ruko dan Rukan
Tahun 2010- 2012.

No KECA 2010 2011 2012


MATAN
Rmh Ru Ru Rmh Ru Ru Rmh Ru Ru
Ko kan Ko kan ko kan

1 Mariso 55 18 4 65 16 6 82 35 3
2 Mamajang 64 29 14 88 41 16 96 37 8
3 Tamalate 1350 110 7 1377 115 7 1080 174 9
4 Rappocini 458 105 6 604 135 24 595 80 31
5 Makassar 102 46 5 178 61 2 96 48 11
6 U.Pandang 29 52 9 37 46 2 51 37 11
7 Wajo 66 37 8 47 55 4 43 147 5
8 Bontoala 81 75 8 52 46 2 51 54 1
9 U. Tanah 29 14 1 19 8 0 19 2 0
10 Tallo 179 32 0 125 38 3 214 33 1
11 P.kukang 590 137 10 446 114 69 351 97 23
12 Manggala 841 23 9 943 156 3 1102 68 0
13 B.kanaya 705 386 20 1442 540 14 901 249 6
14 T.lanrea 1141 24 12 532 33 5 339 28 2

JUMLAH 5424 1088 113 5955 1404 157 5020 1089 111
Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013

Berdasarkan data tabel 2 tampak bahwa pertumbuhan ekonomi

masyarakat Kota Makassar dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan atau kemajuan hal ini terbukti dengan banyaknya permohonan

IMB yang masuk ke kantor DTRB. Adapun permohonan IMB untuk

121
permukiman di kawasan permukiman terpadu banyak diberikan

rekomendasi meskipun terjadi penurunan permohonan IMB untuk

permukiman yang cukup signifikan antara tahun 2011 dan tahun 2012.

Sedangkan permohonan IMB untuk pembangunan ruko dan rukan,

berdasarkan tabel 2 terlihat sedang menjadi trend dan fenomena.

Berdasarkan data tabel 2 maka terlihat bahwa pembangunan

permukiman tidak seimbang dengan pembangunan ruko dan rukan, hal ini

dapat dilihat dimana pembangunan permukiman pada tahun 2010

berjumlah 5424 unit sedangkan pembangunan ruko dan rukan berjumlah

1201 unit, dengan demikian apabila dirata-ratakan maka untuk setiap 4

unit rumah, dibangun 1 unit ruko atau rukan. Berdasarkan data inilah maka

penulis menarik kesimpulan bahwa perizinan menjadi salah satu faktor

yang menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi kawasan yaitu fungsi

perdagangan lebih dominan dibandingkan dengan fungsi utama pada

setiap kawasan. Kecenderungan lebih banyaknya didirikan ruko dan rukan

di Kota Makassar disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Pengusaha melihat bahwa bisnis ruko dan rukan adalah bisnis yang

sangat menguntungkan, ini terbukti dari minat masyarakat untuk

berinvestasi dan menggunakan ruko sebagai tempat tinggal atau

hunian sekaligus tempat untuk melakukan usaha.

122
2. Masyarakat sendiri yang memberikan peluang dalam arti bahwa apabila

di suatu ruas jalan telah dibangun ruko maka secara tidak langsung

nilai jual tanah di sekitarnya mengalami peningkatan. Hal inilah yang

membuat pemilik tanah di sepanjang jalan tersebut tergiur untuk

menjual tanahnya kepada pengusaha ruko atau developer dengan

harga yang tinggi kemudian membeli rumah di pinggiran kota dan

menggunakan sebagian sisa hasil penjualan tanah mereka sebagai

modal untuk usaha.

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah merupakan sumber

Pendapatan Asli Daerah, berdasarkan Pasal 141 Undang-undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang

menyatakan bahwa 5 (lima) izin yang dapat dipungut retribusinya oleh

Kabupaten/Kota yaitu:

1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;

2. Retribusi Izin tempat penjualan minuman beralkohol;

3. Retribusi Izin Gangguan (izin usaha);

4. Retribusi Izin Trayek;

5. Retribusi Izin Usaha Perikanan

Ahmad Husain112 menyatakan bahwa peningkatan permohonan

untuk memperoleh rekomendasi IMB yang masuk ke Dinas Tata Ruang

112
Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Ahmad Husain, MSi, Kepala Bidang Tata
Ruang, DinasTata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, tanggal 1 Maret 2013

123
dan Bangunan (DTRB) merupakan target dan skala prioritas bagi

Pemerintah Kota Makassar oleh karena IMB adalah merupakan sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Khususnya penerimaan retribusi daerah

dari retribusi IMB dari tahun ke tahun semakin mengalami peningkatan.

Penerimaan retribusi dari sektor ini dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan seperti yang tergambar pada tabel 3.

Tabel 3: Target dan Realisasi Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

No TAHUN TARGET REALISASI

1 2008 13.600.000.000 13.884.934.860

2 2009 14.000.000.000 14.876.442.697

3 2010 15.000.000.000 15.027.495.736

4 2011 15.600.000.000 15.996.850.220

5 2012 16.000.000.000 16.148.917.390


Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013

Pada tabel 3 ditetapkan target sumber Pendapatan Asli

Daerah yang berasal dari retribusi IMB yang ditetapkan oleh Pemerintah

Kota Makassar dari tahun ke tahun terus meningkat demikian pula

terhadap realisasinya atau pencapaian targetnya dari tahun ke tahun terus

meningkat. Dinas Tata Ruang dan Bangunan yang diserahi tugas oleh

Pemerintah Kota Makassar untuk merealisasikan target PAD yang berasal

dari retribusi IMB. Dimana dari tahun ke tahun Pemerintah Kota Makassar

124
menetapkan target PAD yang terus meningkat dan merupakan skala

prioritas dari sektor ini (IMB).

Menurut pendapat penulis Dinas Tata Ruang dan Bangunan

sebagai salah satu unsur dari Pemerintah Kota yang diserahi tugas pokok

untuk membantu Walikota Makassar dalam merumuskan, membina dan

mengendalikan kebijaksanaan di bidang perencanaan tata ruang,

pengendalian kawasan, penataan dan penertiban bangunan, seharusnya

tidak dibebani target untuk meralisasikan sumber PAD, oleh karena jika

Dinas Tata Ruang dan Bangunan dibebani target PAD maka tugas Dinas

Tata Ruang dan Bangunan sebagai pelaksana, pengawas dan pengendali

pemanfaatan tata ruang dalam melaksanakan tugasnya yaitu memberikan

rekomendasi terhadap permohonan IMB hanya untuk mengejar target PAD

dan tidak berdasarkan RTRW Kota Makassar yang telah ditetapkan atau

dengan kata lain DTRB akan mempergunakan IMB sebagai alat untuk

mencapai target. Dengan demikian tugas DTRB tidak akan terlaksana

dengan baik oleh karena dengan adanya target yang dibebankan kepada

DTRB ini, maka semua permohonan IMB yang masuk akan diberikan

rekomendasi, atau dengan kata lain DTRB semata-mata hanya mengejar

target PAD yang pada gilirannya akan mengakibatkan kesemrawutan

terhadap penataan ruang kota dan RTRW yang telah disusun, sehingga

pencapaian RTRW Kota Makassar tidak akan optimal.

125
Ad 2. Izin Lokasi (Izin Prinsip)

Izin Lokasi (Izin Prinsip) ini diberikan pada bangunan-bangunan

yang menggunakan lahan cukup besar seperti Hotel, Mall, SPBU,

Perumahan dan lain-lain. Izin lokasi ini dimohonkan ke DTRB sebelum

mengurus IMB. Muhammad Yusuf Taba113 Menyatakan bahwa:

“ Untuk mendirikan perumahan syarat yang harus dipenuhi adalah


Izin Prinsip yang mutlak dimiliki bagi seorang developer yang
menggunakan lahan 5000 M2 atau lebih. Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk memperoleh Izin Prinsip ini adalah:
1. Proposal yang memuat maksud dan tujuan permohonan surat
keterangan pemanfaatan ruang;
2. Foto Copy bukti keanggotaan REI;
3. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan NPWP pemohon;
4. Foto copy surat bukti kepemilikan/penguasaan tanah;
5. Foto copy lunas PBB tahun berjalan;
6. Surat pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah yang
tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan didirikan
perumahan;
7. Surat pernyataan pemohon bahwa lokasi/tanah tidak dalam
keadaan sengketa dan diketahui oleh Kepala Kelurahan dan
Kecamatan setempat;
8. Membuat Dokumen AMDAL yang telah mendapat pengesahan
dari Pemerintah Kota Makassar;
9. Gambar rencana Site Plan dan perhitungan konstruksi atau
Rencana Anggaran Biaya (RAB), dengan melampirkan surat izin
perencanaan bangunan;
10. Foto Copy Akta Pendirian Perusahaan yang sudah disahkan
oleh Menteri Kehakiman.
Jika syarat-syarat dipenuhi oleh pengembang atau developer

maka mekanisme izin lokasi adalah:

a. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota;

113
Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Yusuf Taba, sebagai
pengembang atau developer pada tanggal 19 Februari 2013.

126
b. Melampirkan persyaratan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan

di atas dengan tembusan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional,

Ketua BAPPEDA, Asisten Tata Praja dan Kepala DTRB Kota Makassar.

c. Penelitian/pengkajian kelengkapan data pemohon;

d. Pengamatan/peninjauan oleh tim dan instansi terkait;

e. Rapat pembahasan tim yang dihadiri oleh seluruh anggota Tim dan

pemohon guna menyesuaikan dengan tata ruang dan menjelaskan

maksud dan tujuan yang disesuaikan dengan aspek pertimbangan

teknis, sosial dan legalitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

f. Apabila persyaratan telah sesuai dengan maksud poin di atas, maka

permohonan tersebut dapat dikabulkan untuk mendapatkan izin lokasi

yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Walikota, setelah berita

acara ditandatangani oleh tim di bawah koordinator dan dilampiri nota

Dinas Aspek Tata Kota dari instansi yang berwenang;

g. Unit kerja memproses izin lokasi dan membuat ketetapan retribusi;

h. Pemohon melaksanakan kewajiban pembayaran retribusi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di loket pembayaran;

i. Pemohon mengambil izin lokasi atau izin yang telah selesai di loket

penyerahan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Jumlah pengembang yang memperoleh Izin Prinsip dari tahun

2010 sampai dengan 2012 dapat dilihat dari tabel 4.

127
Tabel 4: Rekomendasi Izin Prinsip untuk Perumahan di Kota
Makassar Tahun 2010-2012.

Tahun
No Kecamatan
2010 2011 2012
1 Mariso 1 1 0
2 Mamajang 0 0 1
3 Tamalate 25 9 12
4 Rappocini 12 3 4
5 Makassar 0 1 2
6 Ujung Pandang 0 0 1
7 Wajo 1 0 0
8 Bontoala 0 0 0
9 Ujung Tanah 0 0 0
10 Tallo 1 3 1
11 Panakkukang 2 1 1
12 Manggala 14 14 20
13 Biringkanaya 15 20 20
14 Tamalanrea 4 8 8
Jumlah 75 59 71
Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013.

Pada tabel 4 dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan yang

memiliki fungsi utama sebagai kawasan permukiman banyak diberikan

rekomendasi izin prinsip yaitu di Kecamatan Manggala, Tamalate, dan

Rappocini sedangkan di Kecamatan Panakkukang yang juga mempunyai

fungsi utama sebagai kawasan permukiman, rekomendasi yang diberikan

128
hanya sedikit hal ini dapat disebabkan oleh karena di Kecamatan

Panakkukang lahan kosong yang agak luas yang dapat dibangun

perumahan semakin sedikit dan kebanyakan telah dibangun ruko dan

rukan. Adapun Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya meskipun pada

kawasan ini fungsi utamanya bukan sebagai kawasan permukiman akan

tetapi tetap diberikan izin prinsip pada Kecamatan Tamalanrea maupun

Biringkanaya oleh karena pada Kecamatan ini mempunyai fungsi

penunjang sebagai kawasan permukiman serta masih terdapat banyak

lahan kosong yang memungkinkan untuk perumahan hal inilah yang

menyebabkan Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya banyak dilirik

oleh pihak pengembang untuk mendirikan perumahan. Sedangkan di

Kecamatan Bontoala, Ujung Tanah dan Wajo dari tahun 2010 dan 2012

tidak ada rekomendasi izin prinsip yang diterbitkan hal ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bahwa di Kecamatan Bontoala,

Ujung Tanah dan Wajo bukan merupakan kawasan permukiman sebagai

fungsi utamanya melainkan hanya mempunyai fungsi penunjang sebagai

fungsi permukiman dan juga dapat disebabkan oleh karena sejak semula

pada Kecamatan ini telah ada rumah dan perumahan pada Kecamatan ini

sebelum RTRW (Perda Nomor 6 Tahun 2006) disahkan. Faktor lain yang

dapat dikemukakan adalah pada Kecamatan Bontoala, Ujung Tanah dan

Wajo tidak ada lagi lahan yang agak luas untuk didirikan perumahan,

129
sehingga permohonan yang masuk ke DTRB tidak ada atau tidak

diberikan.

Setelah memperoleh Izin Prinsip selanjutnya pengembang/

developer mengurus IMB perunit rumah yang akan dibangun atas nama

pengembang dengan syarat-syarat sama dengan persyaratan IMB

perseorangan oleh karena Izin Prinsip hanya bersifat Advice Planning dan

bukan merupakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sehingga pengembang

tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan pembangunan sebelum

memiliki IMB.

Menurut pendapat penulis peran Pemerintah Kota Makassar

terhadap pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman belum optimal

oleh karena Pemerintah Kota Makassar hanya berperan sebagai

perencana dan pihak yang menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan

permukiman. Pemerintah Kota Makasssar tidak berperan sebagai pihak

yang menyediakan lokasi atau lahan untuk perumahan. Dalam hal lokasi

atau lahan Pemerintah Kota memberikan kebebasan kepada pihak swasta

dalam hal ini developer untuk mencari lokasi atau lahan untuk membangun

permukiman.

Selain syarat-syarat pembangunan perumahan yang dikemukakan

di atas, ditambahkan oleh Supardi114 bahwa:

114
Hasil waawancara dengan bapak Supardi , Op. cit.

130
“Pihak pengembang (developer) harus memperhatikan penggunaan
lahan dimana lahan terbangun pada perumahan ditetapkan 60 %
dan 40 % adalah ruang terbuka untuk fasilitas umum dan fasilitas
sosial. Fasum dan fasos ini berupa jalan, taman atau lapangan yang
difungsikan sebagai sarana olah raga oleh warga di perumahan
tersebut dan sarana peribadatan (mesjid). Akan tetapi terkadang
developer tidak melaksanakan himbauan ini demi mengejar
keuntungan yang lebih banyak. Pada mulanya untuk menarik minat
masyarakat, developer terkadang membuat taman di depan
perumahan. Akan tetapi setelah perumahannya habis terjual, maka
taman tersebut diubah menjadi ruko dan kemudian menjual ruko
tersebut dengan harga yang tinggi sehingga di perumahan tersebut
tidak lagi mempunyai fasum dan fasos bagi warga yang tinggal di
perumahan.

Mengenai fasum dan fasos yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota

Makassar seluas 40 % dari luas lahan banyak dikeluhkan oleh developer

berdasarkan wawancara kami dengan seorang developer yaitu Syaiful

Mangimbangi115 yang menyatakan bahwa:

Penetapan Pemerintah Kota Makassar terhadap fasum dan fasos


seluas 40 % dari luas lahan perumahan sangat berat untuk
dilaksanakan oleh karena untuk membangun perumahan dibutuhkan
dana yang cukup besar yang dipergunakan untuk pembebasan
lahan (membeli tanah) dimana harga tanah di Kota Makassar sudah
sangat tinggi, pembayaran pajak, kemudian biaya-biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengurus dokumen AMDAL, izin-izin dari DTRB
serta untuk membayar bunga dari kredit konstruksi yang dikucurkan
oleh pihak bank kepada pihak pengembang. Sehingga developer
harus memanfaatkan lahan semaksimal mungkin agar modal yang
ditanamkan dapat kembali.

Menurut pendapat penulis terkait dengan fasum dan fasos maka

harus ada regulasi setingkat Perda tentang fasum dan fasos yang

memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat yang tinggal

115
Hasil wawancara dengan Bapak Syaiful Mangimbangi sebagai developer pada
tanggal 20 Februari 2013

131
di perumahan sehingga pengembang tidak lagi membangun perumahan

tanpa dilengkapi dengan fasum dan fasos. Oleh karena pihak pengembang

terkadang hanya menjanjikan fasum dan fasos pada brosur yang diberikan

kepada calon pembeli rumah untuk menarik minat pembeli, akan tetapi

tidak merealisasikan demi untuk mengejar keuntungan yang lebih banyak.

Dengan adanya regulasi setingkat Perda ini akan memberikan

perlindungan hukum bagi warga yang tinggal di perumahan tersebut dan

menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Kota Makassar untuk memastikan

adanya fasum dan fasos yang dijanjikan oleh pihak pengembang atau

developer. Dimana dalam Perda tersebut pengembang diwajibkan untuk

menyisihkan 30 % sampai 40 % untuk lokasi fasum dan fasos berupa

mesjid, ruang terbuka hijau serta fasilitas olah raga lainnya.

2. Koordinasi Kelembagaan

Koordinasi dalam pelaksanaan sebuah rencana pada dasarnya

merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting.

Koordinasi adalah suatu proses rangkaian kegiatan yang menghubungkan,

bertujuan untuk menyerasikan setiap langkah dan kegiatan dalam

berorganisasi agar tercapai gerak yang cepat untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan.116 Selain sebagai suatu proses, koordinasi

dapat juga diartikan sebagai suatu pengaturan yang tertib dari kumpulan

atau gabungan usaha untuk menciptakan kesatuan tindakan. Koordinasi

116
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op. Cit, hal 96.

132
dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan pengaturan yang aktif,

bukan pengaturan dalam arti pasif berupa membuat aturan mengenai

segala gerak dan kegiatan serta hubungan kerja antara beberapa pejabat

pemerintah.

Kelancaran pelaksanaan pembangunan di Kota Makassar harus

berjalan sesuai dengan konsep dan arahan rencana yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu fungsi dan peran lembaga Badan Koordinasi Penataan

Ruang Daerah (BKPRD) perlu ditingkatkan. Peran dan fungsi lembaga ini

secara yuridis telah diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.

Secara garis besar fungsi koordinasi yang berjalan dilakukan secara

berjenjang dimulai dari BKPR Nasional hingga pembentukan BKPR

Daerah.

Dilihat dari nilai eksistensinya, BKPR Daerah sangat dibutuhkan

dalam menjaga agar komitmen pembangunan dapat berjalan sesuai

dengan komitmen perencanaan yang dibuat. Dilain pihak lembaga ini juga

sangat dibutuhkan dalam memberikan kepastian berusaha dan

berinvestasi bagi para investor di Kota Makassar. Di samping tugas lainnya

yang berfungsi menjaga agar pelaksanaan RTRW Kota Makassar dapat

berjalan baik dan tidak dilanggar oleh masyarakat.

133
Secara struktural BKPRD Kota Makassar terdiri dari gabungan

beberapa instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional Kota

Makassar, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Keindahan, Dinas Tanaman

Pangan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian dan

Perdagangan, Kantor Telekomunikasi, PLN dan PDAM Kota Makassar,

yang tingkat koordinasinya berada di bawah Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Makassar.

Berdasarkan wawancara dengan narasumber Masri Tiro117,

menyatakan bahwa:

“ Memperhatikan kekuatan, kelemahan, tantangan serta peluang


yang dimiliki lembaga BKPRD dalam menjalankan tugas dan
fungsinya maka pihak BAPPEDA mengusulkan dibentuknya
lembaga-lembaga baru yang dimaksudkan sebagai lembaga yang
dapat memberikan energi baru bagi pelaksanaan pengendalian
ruang di Kota Makassar.”

Salah satu alasan yang mendasari mengapa lembaga baru

dibutuhkan adalah juga karena dasar pertimbangan kinerja BKPRD selama

ini belum banyak menyentuh pada titik persoalan yang sebenarnya di

lapangan, sementara arus perubahan yang terjadi cukup cepat

membutuhkan penanganan yang tepat dan tuntas. Keberadaan lembaga

baru tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan bersinergis

dengan lembaga BKPRD yang ke depan tentunya diharapkan dapat lebih

117
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Masri Tiro, MSc, Kepala Bidang Fisik dan
Sarana BAPPEDA Kota Makassar.

134
menyentuh kepada substansial kontrol permasalahan ditingkat

operasionalnya. Di samping perannya turut menjaga agar komitmen

pembangunan bisa sejalan dengan komitmen perencanaan sebagaimana

yang diatur dalam ketentuan perencanaan dalam dokumen RTRW Kota

Makassar.

Koordinasi antar lembaga dalam rangka penataan ruang di Kota

Makassar menurut pendapat penulis masih lemah, khususnya antara

DTRB dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hal ini dapat dilihat

pada sistem pemberian izin yang tidak berkesesuaian antara IMB yang

direkomendasikan oleh DTRB untuk mendirikan rukan atau rumah kantor

sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan Surat Izin

Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) untuk

perdagangan atau izin rumah bernyanyi, demikian pula jika DTRB

memberikan IMB untuk membangun rumah, sedangkan Dinas

Perindustrian dan Perdagangan memberikan SIUP dan SITU untuk

membuka usaha perbengkelan. Ketidaksinkronan perizinan yang

dikeluarkan antara DTRB dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan

mencerminkan kurangnya koordinasi kelembagaan dalam pemberian izin.

Hal ini disebabkan oleh karena SIUP dan SITU adalah juga merupakan

sumber Pendapatan Asli Daerah, sehingga pihak Dinas Perindustrian dan

Perdagangan juga dibebani target untuk merealisasikan target PAD yang

135
berakibat bahwa semua permohonan SIUP dan SITU pasti akan diberikan

izin. Sehingga rukan dan rumah yang dibangun berubah fungsi dan tidak

sesuai dengan peruntukannya.

Berdasarkan teori koordinasi yang dikemukakan oleh George R.

Terry118 menyatakan bahwa pada dasarnya koordinasi dalam rangka

pelaksanaan suatu rencana, pada dasarnya merupakan salah satu aspek

dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi disini adalah suatu

proses atau rangkaian kegiatan yang menghubungkan dan bertujuan untuk

menyelaraskan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai

gerak yang tepat dalam mencapai sasaran dan tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan.

Selain sebagai suatu proses, koordinasi itu dapat juga diartikan

sebagai suatu pengaturan yang tertib dari kumpulan/gabungan usaha

untuk menciptakan kesatuan tindakan. Maka koordinasi pemerintahan

merupakan pengaturan yang aktif, bukan pengaturan yang pasif berupa

membuat pengaturan terhadap setiap kegiatan dan hubungan kerja antara

beberapa pejabat pemerintah serta lembaga-lembaga pemerintahan yang

mempunyai tugas, kewajiban dan wewenang yang saling berhubungan

satu sama lain, dimana pengaturan bertujuan untuk mencegah terjadinya

kesimpang siuran dan ketidaksinkronan contohnya dalam hal ini adalah

pemberian izin. Penilaian terhadap ketidaksinkronan dalam hal pemberian

118
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, Op. Cit hal 25.

136
izin dapat dilihat disini oleh karena IMB ditandatangani oleh Walikota

Makassar sedangkan SIUP dan SITU ditandatangani atas nama Walikota

Makassar dengan demikian ada dua izin yang dikeluarkan oleh satu

pejabat pemerintah yang berwenang memberikan izin dalam hal ini

Walikota Makassar yang bertentangan atau tidak sinkron satu sama lain.

Menurut pendapat penulis hal ini dapat dihindari dengan membuat

suatu program atau komputerisasi secara online tentang pelayanan

perizinan, dimana izin-izin yang telah diberikan dapat didata pada sistem

komputerisasi tersebut sehingga setiap izin yang telah dikeluarkan oleh

DTRB dapat ditampilkan dalam program ini sehingga permohonan SIUP

dan SITU yang dibuat tidak bertentangan dengan IMB yang dikeluarkan

oleh DTRB. Sehingga tidak terjadi ketidaksinkronan perizinan. Oleh karena

penyelenggaraan pemerintahan terutama di daerah, koordinasi bukan

hanya bekerjasama, melainkan juga integrasi dan sinkronisasi setiap

tindakan yang mengandung keharusan penyelarasan kegiatan di samping

penyesuaian perencanaan, dan keharusan adanya komunikasi yang teratur

antara sesama pejabat/petugas yang bersangkutan dengan memahami

dan mengindahkan ketentuan hukum yang berlaku sebagai suatu

peraturan pelaksanaan.

137
3. Pengawasan

Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk menjaga kesesuaian

pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam RTRW

Kota Makassar. Kegiatan pengawasan yang ditetapkan dalam RTRW Kota

Makassar adalah pembentukan tim pengawas yang bertugas untuk

melaporkan, memantau dan mengevaluasi kesesuaian antara pelaksanaan

pemanfaatan tata ruang dengan RTRW Kota Makassar.

Pada dasarnya ketiga proses pengawasan yang dikemukakan di

atas yaitu proses pelaporan, pemantauan dan evaluasi pemanfaatan ruang

akan dilaksanakan oleh suatu tim ini baru akan dibentuk setelah RTRW

Kota Makassar disahkan dan dinyatakan berlaku. Akan tetapi tim

pengawas yang bertugas sebagai tim pelaporan, pemantauan dan evaluasi

tersebut hingga saat ini belum terbentuk seiring dengan proses revisi

RTRW Kota Makassar. Dengan demikian tim pengawas yang

melaksanakan pengawasan terhadap tata ruang Kota Makassar adalah

aparat Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam hal ini bagian penertiban

dan pengawasan yang hanya khusus melaksanakan pengawasan terhadap

tata bangunan yang akan didirikan di Kota Makassar. Sebagaimana

dinyatakan oleh Yusuf Lukman119 bahwa:

Dalam hal pengawasan pihak DTRB hanya melaksanakan


pengawasan terhadap bangunan yang akan didirikan di Kota
Makassar. Dalam hal ini pengawasan dilakukan oleh Bidang

119
Hasil wawancara dengan Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Op.Cit.

138
Penertiban dan pengusutan yaitu seksi penertiban dan pengawasan.
Dimana sampai saat ini aparat DTRB dengan sumber daya manusia
yang terbatas sangat kewalahan dalam melaksanakan pengawasan
atau dengan kata lain aparat yang melakukan pengawasan masih
sangat kurang dan tidak sesuai dengan kapasitas luas ruang lingkup
tugas masing-masing. Tim pengawas yang mengawasi pendirian
bangunan terdiri dari 2 (dua ) orang pengawas yang bertugas untuk
mengawasi 1 (satu) kecamatan sehingga hal ini dirasakan sangat
kurang. Oleh karena itu yang menjadi kendala DTRB dalam
melaksanakan tugas pengawasan terhadap tata bangunan adalah
kekurangan SDM. Adapun tugas pengawasan yang dilaksanakan
adalah terkait dengan IMB yang menjadi syarat utama dalam
mendirikan bangunan. Dengan demikian setiap bangunan yang
akan didirikan harus memiliki IMB. Jika sebuah bangunan telah
memiliki IMB maka yang menjadi tugas bagi pengawas adalah untuk
mengetahui apakah pembangunan yang dilaksanakan telah sesuai
atau tidak dengan IMB dan untuk mengetahui terjadi atau tidaknya
pelanggaran terhadap Garis Sempadan Bangunan (GSB). Apabila
syarat-syarat tidak dipenuhi maka pihak DTRB akan memberikan
sanksi administratif.

Tugas aparat Dinas Tata Ruang dan Bangunan pada setiap

kecamatan adalah:

1. Melaksanakan tugas pengawasan dan penertiban bangunan,

memeriksa bangunan-bangunan yang didirikan yang tidak didasari

dengan IMB dan bangunan-bangunan yang didirikan yang tidak sesuai

dengan IMB dalam wilayah Kota Makassar.

2. Memberikan teguran baik secara lisan maupun secara tertulis kepada

pemilik/pelaksana bangunan yang mendirikan bangunan tidak didasari

dengan IMB, serta bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan IMB.

139
3. Menghentikan pelaksanaan bangunan kepada pemilik/pelaksana

bangunan yang mendirikan bangunan tidak didasari dengan IMB dan

pelanggaran terhadap GSP dan GSB.

4. Melaporkan hasil tugas/kegiatan dimaksud di atas kepada Kepala

DTRB Kota Makassar.

5. Melaksanakan tugas kedinasan lainnya yang diberikan/diperintahkan

oleh pimpinan.

Menurut pendapat penulis pengawasan yang dilaksanakan oleh

DTRB pada saat ini masih lemah. Salah satu faktor yang menyebabkan

adalah kurangnya jumlah aparat DTRB yang melakukan pengawasan di

setiap kecamatan yang hanya berjumlah 2 (dua) orang untuk mengawasi 1

(satu) kecamatan yang cukup luas. Sehingga berdasarkan data sekunder

dan pengamatan penulis masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan

oleh masyarakat khususnya pelanggaran mengenai ketiadaan IMB

terhadap renovasi yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam suatu

permukiman. Demikian pula pelanggaran terhadap GSB berdasarkan

penelitian yang penulis laksanakan maka di setiap kawasan permukiman

terjadi pelanggaran GSB yang dilakukan, dimana renovasi rumah

dilaksanakan oleh masyarakat dengan tidak mengindahkan GSB tersebut.

Dengan demikian kurangnya aparat DTRB yang melaksanakan

pengawasan mengakibatkan tidak terjaringnya setiap pelanggaran

140
terhadap pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar. Oleh karena itu tidak

menutup kemungkinan adanya wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat

DTRB dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas di Kota

Makassar. Lingkup tugas aparat DTRB ini dalam melakukan pengawasan

hanyalah sebagai pengawas terhadap bangunan yang akan didirikan

apakah telah memiliki IMB atau pelaksanaan pembangunan telah sesuai

dengan IMB atau tidak, atau apakah dalam pembangunan itu melanggar

Garis Sempadan Bangunan (GSB) atau tidak. Sementara itu tim pengawas

yang bertugas untuk mengawasi pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW

Kota Makassar yang sesuai dengan pembagian 13 kawasan atau zonasi

belum terbentuk oleh karena RTRW Kota Makassar yang baru belum

disahkan.

4. Peran Serta Masyarakat

Berdasarkan kamus Tata Ruang (Ditjen Cipta Karya Departemen

Pekerjaan Umum bekerja sama dengan IAP, edisi pertama, 1998:79)

Peran Serta Masyarakat diartikan sebagai kegiatan orang seorang,

kelompok atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan

sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam

penyelenggaraan penataan ruang atas kehendak dan keinginannya sendiri.

Pada umumnya masyarakat mempunyai kehendak atau keinginan

untuk turut berperan serta dalam penyelenggaraan penataan ruang oleh

141
karena masyarakat mempunyai kepentingan terhadap penyelenggaran

penataan ruang, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hasni120 bahwa ada

3 (tiga) kelompok yang berkepentingan dalam penataan ruang yaitu:

1. Kelompok pertama, yaitu kelompok dominan atas kegiatan ekonomi

dan pencari untung. Kelompok ini terdiri atas developer, Pemerintah

Daerah (yang berkepentingan dengan retribusi perizinan), tuan tanah,

organisasi keuangan (bank, asuransi, yayasan dana pensiun) dan

spekulan tanah;

2. Kelompok kedua, yaitu peserta kelembagaan, terdiri atas serikat

pekerja, organisasi dan yayasan sosial nirlaba, kelompok agama, LSM,

organisasi sosial dan ormas;

3. Kelompok ketiga, yaitu masyarakat secara luas, yang berhubung tidak

mungkin melibatkan semuanya dalam suatu proses.

Pada umumnya masyarakat akan bermotivasi untuk berperan

dalam pembangunan apabila mereka melihat peluang terhadap apa yang

mereka lakukan tidak hanya menguntungkan pemerintah dan masyarakat

kota belaka, namun secara ekonomis juga memberikan keuntungan bagi

usahanya. Mereka akan tertarik untuk berperan serta apabila mereka

mengetahui adanya peluang dan kemudahan yang diberikan pemerintah

120
Hasni, Op. Cit, hal 106.

142
dalam pengurusan proses perizinan dan sejauh mana hak masyarakat

dijamin secara hukum.121

Menurut penulis peran serta masyarakat untuk turut aktif

berpartisipasi dalam melaksanakan pemanfaatan tata ruang Kota

Makassar dapat berbentuk:

1. Mengadakan pengawasan dan melaporkan kepada aparat Pemerintah

Kota Makassar dalam hal ini kepada BAPPEDA atau Dinas Tata Ruang

dan Bangunan atau ke BKPRD dalam hal terjadi pelanggaran terhadap

RTRW Kota Makassar. Peran serta masyarakat untuk turut mengawasi

pelaksanaan pembangunan proyek-proyek baik proyek pemerintah

maupun proyek swasta pada saat ini sangat penting oleh karena

berdasarkan pengamatan penulis bahwa pelaksanaan pembangunan

proyek khususnya proyek swasta cenderung tidak mempertimbangkan

kelestarian alam, contohnya adalah reklamasi pantai besar-besaran

yang diadakan oleh pihak swasta pada saat ini sudah sangat

mengkhawatirkan banyak pihak khususnya di kawasan pelabuhan

terpadu yang berakibat pada pendangkalan laut sehingga dapat

menyebabkan kesulitan kapal-kapal penumpang yang merapat ke

pelabuhan yang pada akhirnya dapat berakibat keselamatan

penumpang kapal. Demikian pula terhadap kelestarian alam Kota

Makassar. Disinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan demikian

121
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op. Cit, hal 98.

143
pula peran LSM/WALHI dalam mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota

dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar.

2. Mengurus izin-izin pemanfaatan ruang apabila akan mendirikan

bangunan yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin pemanfaatan

ruang bagi developer;

3. Membayar Pajak dan Retribusi terhadap pelayanan yang diterima;

4. Ikut serta dalam sosialisasi RTRW, agar kepentingan-kepentingan

masyarakat dapat terakomodasi dalam RTRW yang akan dibuat, oleh

karena aspirasi maupun gagasan yang berasal dari masyarakat sangat

bermanfaat agar masyarakat benar-benar tahu apa yang menjadi

prioritas atau kebutuhan utama dalam suatu kegiatan pembangunan;

5. Menyisihkan ruang terbuka hijau yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai

taman dan sebagai daerah resapan air minimal 20 % pada permukiman

atau rumah masing-masing, terhadap permukiman yang berkepadatan

tinggi dan maksimal 40 % pada permukiman yang berkepadatan ruang

rendah. Oleh karena sebuah rumah atau tempat tinggal idealnya

persentase antara bangunan dan ruang terbuka hijau adalah 60 %

bangunan dan 40 % sebagai ruang terbuka hijau atau taman serta

berfungsi pula sebagai resapan air. Akan tetapi tingkat kesadaran

masyarakat pada saat ini masih rendah, terkadang pembangunan

sebuah rumah sudah tidak sesuai lagi dengan persyaratan yang

144
ditentukan dalam IMB, dimana setiap rumah harus memiliki sumur

peresapan yang berfungsi untuk mencegah banjir.

Masri Tiro122 menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam

proses perancangan RTRW sejak awal telah dilibatkan yaitu pada tahap

sosialisasi rancangan RTRW Kota Makassar, pihak pemerintah telah

mengundang seluruh (stakeholders)123 yang terdiri dari seluruh elemen

masyarakat, tim ahli, LSM/Walhi, pihak otoritas bandara dan pelabuhan,

pihak swasta, pihak Perguruan Tinggi dan lain-lain.

Dalam rangka memacu motivasi masyakat agar berperan serta

dalam pembangunan, maka Pemerintah Kota Makassar hendaknya dapat

menciptakan kondisi yang dapat menumbuhkan motivasi masyarakat agar

secara sukarela berperan serta dalam pembangunan kota, melalui sikap

dan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

a. Menyediakan informasi tentang kegiatan-kegiatan pembangunan kota

yang dapat dilaksanakan melalui kemitraan antara pemerintah dan

masyarakat;

122
Berdasarkan hasil wawancara dengan Masri Tiro, Op.Cit.
123
Pengertian stakeholders mengarah kepada konsep kepemilikan (ownership),
tetapi dengan perluasan kepada mereka yang terpengaruh oleh suatu tindakan/usaha
sehingga dianggap mempunyai hak untuk dikonsultasi, menyatakan pendapatnya, dan
secara umum supaya kepeduliannya diperlakukan secara sungguh-sungguh.

145
b. Menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan penduduk kota untuk

membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut

demi kepentingan bersama;

c. Menanamkan rasa percaya di kalangan masyarakat bahwa kontribusi

mereka pada akhirnya akan memberikan dampak positif terhadap

masyakat dan usahanya;

d. Memberikan bimbingan serta bantuan yang diperlukan oleh masyarakat

untuk dapat berperan serta;

e. Menyediakan perangkat peraturan yang diperlukan untuk menjamin

terjadinya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemerintah

dan masyarakat;

f. Pemerintah kota perlu terbuka mengenai kebijakan yang ditempuh,

kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah kota, dan alasan

mengapa kegiatan tersebut dilakukan, terutama dalam mempersiapkan

tata ruang kota;

g. Pemerintah kota dapat berkomunikasi dengan masyarakat guna

memberikan kesempatan yang luas kepada mereka untuk

mengembangkan bentuk-bentuk peran serta mereka;

h. Pemerintah kota sebaiknya menetapkan bentuk-bentuk kerjasama serta

peraturan-peraturan lainnya yang diperlukan dalam rangka menjamin

146
terjadinya kerjasama yang serasi, seimbang, serta selaras antara

pemerintah kota dengan masyarakat;

i. Pemerintah kota perlu meningkatkan kemampuan teknis maupun

manajerial para aparatnya, meningkatkan kejujuran dan kedisiplinan

melalui pengawasan melekat (waskat) dalam rangka menumbuhkan

kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

B. Penerapan Sanksi Administratif Terhadap Pemanfaatan Kawasan


Permukiman Yang Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar

Dasar hukum Sanksi administratif diatur dalam Pasal 63 UUPR

yang menyatakan bahwa sanksi administratif dapat berupa:

a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Penutupan lokasi;
e. Pencabutan izin;
f. Pembatalan izin;
g. Pembongkaran bangunan;
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. Denda administratif.

Sedangkan pada Perda Nomor 6 Tahun 2006 Pasal 91

menyatakan bahwa:

“ Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Perda ini dapat


dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif;
2. Sanksi Perdata;
3. Sanksi Pidana.

147
Pada dasarnya RTRW Kota Makassar hanya menyebutkan jenis-

jenis sanksi akan tetapi tidak mengatur secara terperinci jenis sanksi

administratif yang dijatuhkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap

regulasi pengaturan tata ruang tersebut di atas. Yusuf Lukman124

menyatakan bahwa:

Pada dasarnya sanksi administratif diberikan apabila terjadi


pelanggaran terhadap bangunan yang didirikan baik terhadap
orang-perorang yang membangun rumah, ruko/rukan dan lain-lain
bangunan dapat pula dilakukan oleh korporasi atau badan hukum,
maupun terhadap pengembang atau developer dalam hal bangunan
yang didirikan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur lebih lanjut
dalam Perda Kota Makassar Nomor 15 Tahun 2004 tentang Tata
Bangunan yang mana sanksi diberikan bersifat penertiban dimana
penertiban pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai usaha untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan
dapat terwujud. Tindakan penertiban pemanfaatan ruang dilakukan
oleh DTRB melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua
pelanggaran/penyimpangan dalam pemanfaatan ruang yang
dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
RTRW Kota Makassar.
Selanjutnya ditambahkan oleh beliau bahwa penertiban yang
dilakukan bersifat pembinaan oleh karena jika terjadi pelanggaran
pertama-tama diberikan Surat Teguran I (pertama), surat teguran ini
bersifat pembinaan. Kepada pelanggar diberikan waktu 2x24 jam
untuk datang menghadap ke DTRB untuk diberikan pengarahan
terhadap bangunan yang didirikan, jika teguran pertama ini tidak
diindahkan maka selanjutnya diberikan Surat Teguran II (kedua),
kepada pelanggar diberikan lagi jangka waktu 2x24 jam jika surat
teguran kedua ini tidak diindahkan oleh pelanggar maka diberikan
Surat Teguran III (ketiga) berupa ultimatum untuk membongkar
sendiri bangunannya, apabila pihak pelanggar tidak melaksanakan
apa yang diperintahkan, maka Kepala Dinas Tata Ruang dan
Bangunan Kota Makassar akan menerbitkan surat perintah
pembongkaran bangunan. Apabila telah terbit surat perintah

124
Hasil wawancara dengan Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Kepala Seksi
penertiban pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan Pada tanggal 22 Februari 2013.

148
pembongkaran maka aparat DTRB akan turun untuk mengadakan
pembongkaran terhadap bangunan tersebut.

Bentuk-bentuk pelanggaran terkait dengan RTRW di Kota

Makassar adalah:

1. Mendirikan bangunan tanpa didasari dengan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB);

2. Mendirikan bangunan tidak sesuai dengan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB);

3. Mendirikan bangunan dengan melanggar Garis Sempadan Bangunan

(GSB);

4. Terjadi gabungan pelanggaran yaitu tidak memiliki IMB dan melanggar

Garis Sempadan Bangunan;

5. Pelanggaran berdasarkan keberatan dari tetangga.

Pelanggaran terhadap RTRW yang terjadi di Kota Makassar setiap

tahun mengalami peningkatan hal ini tercermin dari tabel 5.

149
Tabel 5 : Jenis dan Jumlah Pelanggaran RTRW di Kota Makassar

Tahun

No JENIS PELANGGARAN 2010 2011 2012

1 Tidak memiliki IMB 173 234 245

2 Pembangunan tidak 107 121 139


sesuai IMB
3 Melanggar GSB 54 70 46

4 Gabungan Pelanggaran 114 108 120

5 Pelanggaran berdasarkan 16 22 13
laporan tetangga
Jumlah 464 555 663

Sumber : Diolah dari Data Sekunder Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2013.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pelanggaran yang paling

banyak terjadi adalah pembangunan dengan tidak didasari dengan IMB, di

mana pelanggaran ini dari tahun ke tahun semakin meningkat, demikian

pula pelanggaran jenis kedua yaitu pembangunan yang tidak sesuai

dengan IMB, contoh dari pelanggaran ini misalnya seseorang yang ingin

mendirikan bangunan mengajukan permohonan untuk mendirikan sebuah

rumah, akan tetapi ternyata yang dibangun adalah pondokan atau bengkel,

sedangkan pelanggaran jenis ketiga adalah pelanggaran terhadap GSB

terlihat terjadi penurunan, adapun pada gabungan pelanggaran contohnya

mendirikan bangunan tanpa didasari dengan IMB serta melanggar GSB

150
juga terjadi peningkatan, sedangkan pelanggaran berdasarkan keberatan

tetangga pada tahun 2012 terlihat mengalami penurunan.

Menurut pendapat penulis terjadinya pelanggaran-pelanggaran

terhadap pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu:

1. Tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah;

2. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat DTRB Kota

Makassar;

3. Pengurusan IMB yang rumit dan lama.

Hal ini tercermin dari wawancara penulis dengan 30 (tigapuluh)

orang responden di Kota Makassar. Berikut adalah hasil data primer yang

telah diolah dalam tabel 6.

Tabel 6: Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mengurus Izin


Mendirikan Bangunan (n = 30)

No Kategori Jawaban F %

1 Mengurus IMB sebelum mendirikan 9 18,75


bangunan
2 Mengurus IMB setelah mendirikan 8 16,67
bangunan
3 Tidak mengurus IMB 13 27.08

Jumlah 30 62,50

Sumber : Data Primer yang diolah 2013.

151
Berdasarkan jawaban responden yaitu masyarakat maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat dalam

mengurus IMB masih rendah oleh karena dari 30 (tiga puluh) jumlah

responden hanya 9 (Sembilan) orang atau 18,75 % menjawab bahwa

sebelum mendirikan bangunan terlebih dahulu mengurus IMB ke Kantor

DTRB, sedangkan 8 (delapan) orang atau 16,67 % menjawab mengurus

IMB setelah mendirikan bangunan oleh karena telah mendapat teguran

dari aparat DTRB, jawaban dari 8 (delapan) responden di atas juga

mencerminkan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah

dalam hal mengurus IMB dan 13 orang atau 27,08 % menyatakan tidak

mengurus IMB, dua diantaranya menjawab tidak mengurus IMB karena

hanya mendirikan pagar, sedangkan 5 (lima) orang menjawab karena

keterbatasan ekonomi dan akan mengurus IMB apabila telah memperoleh

dana dan 6 (enam) orang menjawab tidak mengurus IMB karena

pengurusan yang berbelit dan memakan waktu yang lama.

Menurut pendapat penulis untuk menarik minat masyarakat dalam

melaksanakan kewajibannya khususnya terkait dengan IMB maka syarat-

syarat pengurusan IMB perlu disederhanakan agar masyarakat tidak

merasa dibebani dengan banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi dalam pengurusan IMB. Adapun biaya-biaya yang timbul dalam

pengurusan ini diharapkan tidak terlalu membebani masyarakat. Sehingga

152
masyarakat tidak terbebani dengan biaya-biaya IMB yang sangat mahal.

Demikian pula terhadap aparat DTRB dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat yang akan mengurus IMB seyogyanya memberikan

pelayanan yang terbaik dan tidak bersikap acuh, sehingga masyarakat

tidak merasa bahwa pengurusan IMB itu pengurusannya berbelit-belit,

mahal dan dengan pelayanan yang buruk.

Pelanggaran terhadap Garis Sempadan Bangunan (GSB) dapat

pula terjadi oleh karena tingkat pengetahuan masyarakat, pengetahuan

masyarakat yang penulis maksud disini adalah pengetahuan masyarakat

tentang Garis Sempadan Bangunan. Dimana pelanggaran terhadap GSB

ini dapat disebabkan oleh karena ketidaktahuan masyarakat tentang GSB

yang tercermin dari tabel 7.

Tabel 7: Pengetahuan Masyarakat tentang Garis Sempadan


Bangunan (n=30)

No KATEGORI JAWABAN F %

1 Memahami 7 14,58

2 Kurang memahami 14 29,17

3 Tidak memahami 9 18,75

Jumlah 30 62,50

Sumber: Data Primer yang diolah, 2013

153
Dari tabel 7 dapat disimpulkan bahwa pada umumnya responden

tidak mengetahui tentang GSB, hal ini tercermin dari jawaban 30 (tiga

puluh) responden menjawab pertanyaan yang penulis ajukan hanya 7

orang atau 14,58 % yang memahami tentang apa yang dimaksud dengan

GSB sebagaimana jawaban mereka bahwa GSB adalah batas yang

diperbolehkan untuk mendirikan bangunan yang diukur dari Garis

Sempadan Pagar (GSP), 14 orang atau 29,16 % kurang memahami

sedangkan 9 orang atau 18,75 % menjawab tidak tahu. Hal ini diakui oleh

Yusuf Lukman125 yang menyatakan bahwa:

Terjadinya pelanggaran Garis Sempadan Bangunan oleh karena


kurangnya pengetahuan masyarakat tentang GSB, sehingga pada
waktu mendirikan bangunan tidak menyadari bahwa mereka telah
melakukan pelanggaran, akan tetapi ketika diberikan teguran
sampai teguran ketiga tidak juga membongkar bangunannya oleh
karena pelanggar menyayangkan bila harus membongkar sebagian
bangunan yang telah melanggar GSB.
Selanjutnya dijelaskan oleh beliau bahwa Garis Sempadan
Bangunan adalah jarak yang diperbolehkan mendirikan bangunan
dihitung dari AS jalan.

Pengaturan GSB dimaksudkan untuk menciptakan keteraturan

bangunan. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan rencana GSB

adalah:

125
Hasil wawancara dengan Bapak Yusuf Lukman, BE, SH, Op. Cit.

154
1. Keterkaitan dengan pengembangan kawasan perencanaan secara

terarah dan terencana, yang berkaitan pula dengan sistem pergerakan

baik dalam skala makro maupun mikro;

2. Memberikan daerah bebas pandang bagi pemakai jalan;

3. Jaringan jalan yang terkait dengan besarnya serta fungsi jalan tersebut

yang akan berpengaruh dengan bangunan yang ada di sepanjang jalan;

4. Memberikan jarak tertentu terhadap batas pandang manusia yang

memakai jalan.

Ketidaktahuan masyarakat tentang GSB ini mengakibatkan

terjadinya pelanggaran yang sudah tentu di luar dari kesengajaan bagi si

pelanggar, disinilah yang merupakan tugas dari aparat DTRB untuk

menjelaskan kepada setiap pemohon IMB agar tidak terjadi pelanggaran.

Bukan saja kepada pemohon yang tidak mengetahui, tetapi kepada setiap

pemohon rekomendasi IMB, untuk menghindari terjadinya pelanggaran.

Sanksi administratif langsung diberikan kepada pelanggar tanpa

melalui proses peradilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf

Lukman126 bahwa:

Pelanggaran terhadap Perda Nomor 6 Tahun 2006 selama ini


terhadap pelanggar belum pernah diajukan Ke Pengadilan Negeri
untuk dilakukan penuntutan pidana. Sehingga sampai saat ini
terhadap pelanggaran yang terjadi belum pernah dijatuhi sanksi
pidana baik pidana penjara maupun pidana denda. Pihak DTRB
sebagai sebuah lembaga yang bertugas untuk mengawal Perda

126
Hasil wawancara dengan Yusuf Lukman, BE, SH, Op. Cit.

155
Nomor 6 Tahun 2006 hanya menjatuhkan sanksi administratif
secara langsung kepada pelanggar yang terbukti melakukan
pelanggaran terhadap Perda Nomor 6 Tahun 2006 dan tidak perlu
lagi membawa pelanggaran tersebut ke Pengadilan Negeri untuk
diadakan penuntutan pidana oleh karena telah dilaksanakan
tindakan pembongkaran terhadap pelanggaran tersebut.

Menurut pendapat penulis bahwa sanksi administratif yang

diberikan kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran telah sesuai

dengan tata cara dan prosedur pengenaan sanksi berdasarkan Pasal 63

UUPR. Dimana DTRB dalam menjatuhkan sanksi melalui beberapa tahap

dan bersifat pembinaan serta berdasarkan prosedur yang ditetapkan

dengan terlebih dahulu mengirimkan surat teguran pertama yang

merupakan peringatan tertulis sesuai dengan Pasal 63 UUPR bagi

pelanggar. Dengan adanya teguran pertama ini pelanggar diberikan waktu

2x24 jam atau 2 hari dengan demikian apabila pelanggaran yang dilakukan

berupa pembangunan tanpa berdasarkan IMB, maka pihak pelanggar tetap

mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kelengkapan berkas yang

menjadi syarat-syarat untuk mengurus IMB. Apabila pihak pelanggar

segera melakukan pengurusan IMB maka pihak DTRB tidak akan turun ke

lokasi bangunan untuk mengadakan pembongkaran bangunan tersebut.

Akan tetapi jika pelanggaran yang dilakukan berupa pelanggaran terhadap

GSB maka pihak DTRB memberikan kesempatan kepada pihak pelanggar

untuk membongkar sendiri bangunannya, apabila pelanggar tidak

melaksanakan teguran yang diberikan maka pihak DTRB yang akan turun

156
mengadakan pembongkaran atas bangunan tersebut, dalam hal ini DTRB

yang mengadakan pembongkaran, melaksanakan paksaan pemerintah

dengan melakukan tindakan-tindakan nyata dari penguasa guna

mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum

administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya

ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang

atau peraturan yang berlaku, dalam hal ini Perda Nomor 15 Tahun 2004

tentang Tata Bangunan, yang mana paksaan pemerintah ini adalah bentuk

eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa perantaraan hakim

dan biaya yang timbul berkenaan dengan pelaksanaan paksaan

pemerintah ini secara langsung dapat dibebankan kepada pihak pelanggar.

BAB V

157
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemanfaatan Kawasan Permukiman Terpadu di Kota Makassar belum

sejalan dengan RTRW Kota Makassar, hal ini disebabkan oleh karena

Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi IMB

tidak berdasarkan RDTR dan RTRK sehingga terjadi pergeseran fungsi

kawasan dimana pada saat ini fungsi penunjang yaitu fungsi

perdagangan pada kawasan permukiman terpadu lebih dominan

daripada fungsi utamanya, faktor lain yang menyebabkan adalah

lemahnya koordinasi kelembagaan, lemahnya pengawasan demikian

pula halnya dengan kurangnya peran serta masyarakat.

2. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang

tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar hanya dijatuhi sanksi

administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang perorang

ataupun yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi. Pihak

DTRB dan tidak membawa pelanggaran tersebut ke Pengadilan Negeri

untuk diadakan penuntutan secara Pidana maupun Perdata.

B. Saran

1. Revisi RTRW Kota Makassar yang baru perlu segera disahkan oleh

DPRD Kota Makassar untuk dapat dibuat RDTR dan RTRK (Zoning

158
Regulation) sebagai dasar hukum pengaturan tata ruang Kota

Makassar yang lebih detail atau terinci.

2. Untuk menjamin efektifitas Peraturan Daerah perlu diefektifkan sanksi

pidana dengan demikian keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

sangat diperlukan sebagai sebuah lembaga yang menilai suatu izin

pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan.

159
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks:

A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam


Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian. Alumni: Bandung.


Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Citra Aditya Bakt, Bandung.
Ahmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna
Pasal 1233 sampai 1456, Rajawali Pers, Jakarta.
Aminuddin Salle, (dkk), 2010, Bahan Ajar Hukum Agraria, AS Publishing,
Makassar.
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pres, Jakarta.
Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia
Edisi IV, Bandung.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Alumni, Bandung.
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya,
Djambatan, Jakarta.
Darwin Ginting, 2010, Hukum Kepemilikan Hak atas Tanah Bidang
agribisnis , Ghalia Indonesia, Bogor.
Farida Patittingi, 2008, Ringkasan Disertasi Penguasaan Tanah Pulau-
Pulau Kecil (eksistensi dan Prospek Pengaturannya di
Indonesia), Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Makassar.

160
Fauzie Yusuf Hasibuan, 2009, Peranan Lembaga Anjak Piutang Dalam
Ekonomi Indonesia, Jakarta.
Ginanjar Kartasasmita, 1997, Administrasi Pembangunan: Perkembangan
Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia, LP3 ES, Jakarta.
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam
Konteks UUPA, UUPR dan UUPLH, Rajawali Pers, Jakarta.
Indroharto, 1998, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan. Perikatan yang Lahir dari Undang-
undang. Citra Aditya Bhakti : Bandung.
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik , 2008, Hukum Tata Ruang dalam
konsep kebijakan otonomi daerah, Nuansa, Bandung.
Ninik Wauf, Kajian Teori Perlindungan hukum, 18 November 2011.
Padmo Wahjono dalam Winahyu Erwiningsih, 2011, Hak Pengelolaan
Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta.
Philipus M. Hadjon, 1990, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas
Airlangga, Surabaya.
Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Rahardjo Adisasmita, 2010, Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang,
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2009. Perencanaan dan
Pembangunan Daerah, Pustaka Karya, Jakarta.
Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

161
Sri Susyanti Nur, 2010, Bank Tanah “Alternatif Penyelesaian Masalah
Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota
Berkelanjutan” AS Publishing, Makassar.
Suhanan Yoshus, 2010, Hak atas Tanah Timbul Dalam Sistem Hukum
Pertanahan di Indonesia, Restu Agung, Jakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka,
Jakarta.
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana,
Jakarta.
Winahyu Erwiningsih, 2011, Hak Pengelolaan Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta.
A. Sumber Hukum:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Repuiblik Indonesia Nomor
2043.

2. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725.

3. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015.

162
163

Anda mungkin juga menyukai