Anda di halaman 1dari 18

TEORI FISIKA HAWKING, MENGUNGKAP PERJALANAN

ISRA RASULULLAH?

Salah satu mukjizat Nabi Muhammad, adalah diperjalankannya beliau oleh Allah
melalui peristiwa Isra’ Mi’raj.
Banyak yang coba mengungkapkan peristiwa tersebut secara ilmiah, salah satunya
melalui Teori Fisika paling mutahir, yang dikemukakan oleh Dr. Stephen Hawking.

Teori Lubang Cacing


Raksasa di dunia ilmu fisika yang pertama adalah Isaac Newton (1642-
1727) dengan bukunya : Philosophia Naturalis Principia Mathematica, menerangkan
tentang konsep Gaya dalam Hukum Gravitasi dan Hukum Gerak.
Kemudian dilanjutkan oleh Albert Einstein (1879-1955) dengan Teori
Relativitasnya yang terbagi atas Relativitas Khusus (1905) dan Relativitas Umum
(1907).
Dan yang terakhir adalah Stephen William Hawking, CH, CBE, FRS (lahir di
Oxford, Britania Raya, 8 Januari 1942), beliau dikenal sebagai ahli fisika teoritis.
Dr. Stephen Hawking dikenal akan sumbangannya di bidang fisika kuantum,
terutama sekali karena teori-teorinya mengenai tiori kosmologi, gravitasi kuantum,
lubang hitam, dan tulisan-tulisan popnya di mana ia membicarakan teori-teori dan
kosmologinya secara umum.
Tulisan-tulisannya ini termasuk novel ilmiah ringan A Brief History of Time, yang
tercantum dalam daftar bestseller di Sunday Times London selama 237 minggu
berturut-turut, suatu periode terpanjang dalam sejarah.
Berdasarkan teori Roger Penrose :
“Bintang yang telah kehabisan bahan bakarnya akan runtuh akibat gravitasinya
sendiri dan menjadi sebuah titik kecil dengan rapatan dan kelengkungan ruang
waktu yang tak terhingga, sehingga menjadi sebuah singularitas di pusat lubang
hitam (black hole).”

Dengan cara membalik prosesnya, maka diperoleh teori berikut :


Lebih dari 15 milyar tahun yang lalu, penciptaan alam semesta dimulai dari
sebuah singularitas dengan rapatan dan kelengkungan ruang waktu yang tak
terhingga, meledak dan mengembang. Peristiwa ini disebut Dentuman Besar (Big
Bang), dan sampai sekarang alam semesta ini masih terus mengembang hingga
mencapai radius maksimum sebelum akhirnya mengalami Keruntuhan
Besar (kiamat) menuju singularitas yang kacau dan tak teratur.
Dalam kondisi singularitas awal jagat raya Teori Relativitas, karena rapatan dan
kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga akan menghasilan besaran yang tidak
dapat diramalkan.
Menurut Hawking bila kita tidak bisa menggunakan teori relativitas pada awal
penciptaan “jagat raya”, padahal tahap-tahap pengembangan jagat raya dimulai
dari situ, maka teori relativitas itu juga tidak bisa dipakai pada semua tahapnya. Di
sini kita harus menggunakan mekanika kuantum. Penggunaan mekanika
kuantum pada alam semesta akan menghasilkan alam semesta “tanpa pangkal
ujung” karena adanya waktu maya dan ruang kuantum.
Pada kondisi waktu nyata (waktu manusia) waktu hanya bisa berjalan maju dengan
laju tetap, menuju nanti, besok, seminggu, sebulan, setahun lagi dan seterusnya,
tidak bisa melompat ke masa lalu atau masa depan. Menurut Hawking, pada
kondisi waktu maya (waktu Tuhan) melalui “lubang cacing (wormhole)” kita bisa
pergi ke waktu manapun dalam riwayat bumi, bisa pergi ke masa lalu dan ke masa
depan.
Hal ini bermakna, masa depan dan kiamat (dalam waktu
maya) menurut Hawking “telah ada dan sudah selesai” sejak diciptakannya alam
semesta. Selain itu melalui “lubang cacing” (dengan kekuasaan Allah Swt) kita bisa
pergi ke manapun di seluruh alam semesta dengan seketika.
Jadi dalam pandangan Hawking takdir itu tidak bisa diubah, sudah jadi sejak
diciptakannya. Dalam bahasa ilmu kalam :
“Tinta takdir yang jumlahnya lebih banyak daripada seluruh air yang ada di tujuh
samudera di bumi telah habis dituliskan di Luh Mahfudz pada awal penciptaan,
tidak tersisa lagi (tinta) untuk menuliskan perubahannya barang setetes.”
Menurut Dr. H.M. Nasim Fauzi, sesuai dengan teori Stephen Hawking, manusia
dengan waktu nyatanya tidak bisa menjangkau masa depan (dan masa silam).
Tetapi bila manusia dengan kekuasaan Allah, bisa memasuki waktu maya (waktu
Allah) maka manusia melalui “lubang cacing” bisa pergi ke masa depan yaitu masa
kiamat dan sesudahnya, bisa melihat masa kebangkitan, neraka dan shiroth serta
bisa melihat surga kemudian kembali ke masa kini, seperti yang terjadi pada Nabi
Muhammad, sewaktu menjalani isro’ dan mi’roj (Sumber : Gagasan dan
Pemikiran, Dr. Nasim Fauzi).
Sebagaimana firman Allah :
Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidrotil Muntaha. Di dekatnya ada syurga
tempat tinggal…
(QS. An Najm /53:13-15)

Nampaknya dalam mengungkap Perjalanan Isra, Teori Hawking dengan “Lubang


Cacing”-nya, sama logisnya dengan Teori Menerobos Garis Tengah Jagat Raya
(sumber : (Perhitungan Matematis) Kecepatan BURAQ), namun meskipun begitu,
teori Hawking, tidak semuanya bisa kita terima dengan mentah-mentah…
Se-andainya benar, Rasulullah diperjalankan Allah melalui “lubang cacing (worm
hole)” semesta, seperti yang di-utarakan oleh Dr. H.M. Nasim Fauzi, harus di-ingat
bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan lintas alam, yakni menuju ke tempat
yang kelak dipersiapkan bagi umat manusia, di masa mendatang (surga).
Rasulullah dari masa ketika itu (saat pergi), berangkat menuju surga, dan pada
akhirnya kembali ke masa ketika itu (saat pulang). Dan dengan mengambil
teladan peristiwa Isra, kita bisa ambil kesimpulan :
1. Manusia dengan kekuasaan Allah, dapat melakukan perjalanan lintas alam,
untuk kemudian kembali kepada waktu normal.
2. Manusia yang melakukan perjalanan ke masa depan, namun masih pada ruang
dimensi alam yang sama, tidak akan kembali kepada masa silam (sebagaimana
terjadi pada Para Pemuda Kahfi).
3. Manusia sekarang, ada kemungkinan dikunjungi makhluk masa silam, tetapi
mustahil bisa dikunjungi oleh makhluk masa depan.
Hal ini semakin mempertegas, semua kejadian dimasa depan, hanya dipengaruhi
oleh kejadian di masa sebelumnya…
WaLLahu a’lamu bisshawab…
ISRA’ MI’RAJ ANTARA TINJAUAN FISIKA DAN
TAFSIR
Catatan : Zaid Baikuni

Prolog Ilmuwan terkemuka Sinka mengatakan: siapa pun yang melayangkan


pendangannya ke arah langit pasti akan memejamkan kedua matanya dengan
penuh kekaguman dan katakjuban. Sebab ia melihat jutaan bintang yang bersinar
terang, mengamati pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih memandangi
rasirasinya. Masing-masing bintang, planet, nebul, dan satelit adalah dunia yang
berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta segala yang ada
diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
Bayangkan, jika kita sedang menengadah ke langit di malam hari, kita melihat sinar
bulan yang begitu indah. Nah, sinar bulan yang kita lihat itu membutuhkan waktu
untuk menempuh jarak dari bulan ke bumi sekira 350.000 kilometer. Karena
kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per detik, maka cahaya bulan itu
membutuhkan waktu lebih dari satu detik untuk sampai ke bumi. Artinya, ketika kita
melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita lihat itu bukanlah bulan pada saat yang
sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu selama satu detik untuk mencapai bumi.
Paling tidak, bulan yang kita lihat saat ini adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga terjadi ketika kita melihat matahari. Karena jarak Matahari – Bumi yang
demikian jauhnya sekitar 150 juta kilometer, maka kecepatan cahaya membutuhkan
waktu 8 menit untuk sampai ke bumi. Artinya, jika waktu itu kita melihat matahari,
maka matahari yang kita lihat itu sebenarnya bukalah matahari pada saat itu,
melainkan matahari 8 menit yang lalu (Mustofa, 2006:71).
Kenaehan dan keterkaguman kita akan semakin bertambah, manakala kita
menyaksikan benda-benda langit yang lain, bintang umpamanya. Malah ada bintang
yang berjarak sangat jauh dari bumi hingga memakan waktu 8 tahun cahaya dari
bumi. Maka jika kita melihat bintang itu, sebenarnya kita sedang menyaksikan
bintang yang usianya 8 tahun lalu. Mengagumkan.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit atau sputnik,
yaitu kendaraan ruang angkasa yang diluncurkan menuju bulan dan planetnya di
dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu merupakan hasil
kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan alat terpenting dalam mencapai
kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan teknologi.
Lalu, pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita juga mendengar suatu
peristiwa maha hebat dari tanah Arab. Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari
satelit ataupun sputik dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra
Mi’raj Nabi Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di
sekitar bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem planet,
menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan Bintang Bima Sakti,
meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang yang
dibatasi oleh ruang yang tak terbatas.
Kemudian sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang
dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang
tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat
yang mencemooh; kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan
isu bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu.
Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak
masuk akal. Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok
ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan keRasulan Muhammad. Perjalanan
yang kontroversial ini pun bagi mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa
beliau benar-benar utusan Allah.
Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak yakin,
raguragu, atau yakin? Alternatif dari jawaban itu adalah bahwa kita harus yakin
dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus meyakinkan kaum
peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan rasional. Sebab, bisa
dibuktikan secara empiris dalam ilmu pengetahuan modern
Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan
keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya (QS.Ar
Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai (Mudhary, 1996:21),
memberi tafsiran bahwa arah kata sulthan atau kekuasanannya ialah ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan otak lahir dan ilmu pengetahuan yang
dihasilkan otak batin. Otak lahir disebut juga indera badani atau jasmani, sedangkan
otak batin disebut indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus interior dan
eksterior.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam al Quran dan alam raya
dipadukan melalui mukjizat Al Quran dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan
keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar. Bahkan Abbas
Mahmud Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi penjelasan makna mukjizat
ilmiah dalam al Quran dan Hadits secara lebih mendalam yakni terdapat dua macam
mukjizat yang harus dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan mukjizat yang
memang tidak perlu dicari.
Sayangnya pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir tidak kita
temukan pada mereka yang pemikirannya hanya berhenti pada batas penafsiran
ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan tersebut kadang
menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah (yang berarti bahwa Al
Quran dan Hadits telah terlebih dahulu memberitahukan kita tentang fakta atau
fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan penafsiran Al Quran
secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makan baru ayat Quran atau Hadits
sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains menjadi perangkat untuk
menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya ilmu bahasa dan asal usul fikih
yang juga menjadi perangkat untuk menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu
keagamaan. Nah.
Dengan demikian, perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena mukjizat Allah
tersebut mampu dikaji secara ilmiah. Pembuktian-pembuktian sains modern telah
menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai
Tuhannya dengan menembus batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu
bisa ditafsir ulang dengan sains kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
َ ‫س أ ِ ِه ْد َب ِع‬
َ ‫ْي ل َﻦِ ﻼ ان َحْ بُ ي س ِ ى الﱠذ َ ْر‬
َ ‫ﻷ دِجْ َس ْم ال ِ ام ََرحْ ى ال ِ ﻣ ب‬
َ ‫س ْم ا‬ َ ‫ا الﱠذ َ ْنكَ ِ ﻗ ال‬
َ ْ‫ىﺼْ ي ِل إ ِ دِج‬
ِ‫ ِ( ِن ات َ آي نﱠه ا ِ إ َ ﻮُ ه ُ يع ِ السﱠم ُ يرَ ﻣ ار َ ب َ ُ ْلﻮَح ه ُ هَي ُِر ِن ل ْﻦ‬١ ‫ﺼبْ )ال‬ َ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar
Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi
Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh
pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci
yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus batasbatas
langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk
menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Catatan pertama, terdapat pada akata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking spesialnya kejadian
ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan Subhanallah. Barangkali inilah
salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan
ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab (1992:338), peristiwa
ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan
mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas
ruang dan waktu.
Catatan kedua, adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti
bahwa perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan kehendak
Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan
sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya
perjalanan ini, jangankan manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa
diperjalankan oleh Allah.
Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk
membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah.
Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang berbadan
cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi
dimensi-dimensi yang tak kasat mata.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat
pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan
sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab
disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa
yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke
mana-mana.
Sedangkan menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan
perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan zat pembawa yang lebih halus dari jiwa
atau rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad: jasmani
dan rohani, maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri
dan mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang
sangat halus itu bernama Jibril.
Selain Jibril, perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang
didesain Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan
cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan selama
perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti kilat. Maka, ketika
menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan cahaya
sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).
Jika seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan
perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik, maka jarak
anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak
1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah
makhluk hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling
tinggi yang telah dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah
mendapat legalitas berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang Standar
Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada dalam
vakum sebesar 299.792.458 meter per detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per
detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh gelombang
spektrum dan mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad,
2006:168).
Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya
sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki kecepatan yang bisa melebihi
kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu harus tidak memiliki
massa sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu
kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang bobotnya
hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi itu.
Sedangkan manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat
kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik
bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi
hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya, 2004:250).
Jika dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari
molekulmolekul. Baik yang sederhana maupun molekul yang kompleks. Mulai dari
H2O, sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan jika
dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut
atom. Dan atom ini pun tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton,
neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena manusia memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan
setingkat kecepatan cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G)
saja, sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang
pilot yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal
naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya akan
mengalami tekanan alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya
percepatan yang ia lakukan.
Jika pilot bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G),
maka badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot
pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan manuver
bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa
‘nyuut’ di otak akan semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam
sebuah sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang
kesadaran’. Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih
bisa-bisa mengalami balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki
struktur sama dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra
Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu menembus lapisan
langit dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan
diMi’raj-kan dengan jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.
Salah satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah teori
Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi.
Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka kedua
partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama
(Mustofa, 2006:20).
Hal ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama
(2006:20), bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau
elektron dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel
tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi
masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan
partikel proton.
Sebaliknya, jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu
dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi
dua buah pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi
memang bisa berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai
reaksi Annihilasi.
Nah, proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan
Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur zam-
zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah proses operasi hati Muhammad dengan
air zam-zam.
Kenapa operasi hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah
pangkal dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah
pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh
aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga
segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan, resonansi dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan
buluh perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena
hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus. Getarannya
menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi. Semakin lembut hati
seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan
menghasilkan gelombang radio. Dan jika frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat
14, maka akan menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah agaknya yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di
dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem energi menjadi
badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa melalui kawalan
Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya berjumpa
dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa tidak
semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj.
Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah mencapai
tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan
kamil.
Catatan keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan
pada malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan
Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan
sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari
radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan badan Nabi
Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan nabi yang
sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan cahaya itu
bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan perjalanan bersama
Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka Allah telah menghindarkan
Nabi dari interferensi gelombang yang bakal membahayakan badannya. Suasana
malam memberikan kondisi yang baik buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai gambaran sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka
gelombang yang kita tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab
gelombang radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang saling
bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya,
sebab waktu malam hari adalah waktu yang paling kondusif untuk perjalanan super
spesial demi kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha, dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari mesjid ke mesjid,
sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif. Disanalah orang-orang
berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan merapat kepada Tuhannya.
Masing-masing mesjid tersebut ibarat tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.

Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan
kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang
dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi menjadi
cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril
yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai
kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya
(Mustofa, 2006:28).
Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah
mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran
perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj
agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah
menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu,
maka badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak
beraturan lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap
keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.
Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda
kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah
yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan pemandangan yang
tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama ketika melintasi dimensidimensi
langit yang lebih tinggi pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan
keagungan Allah ini terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang
mukmin bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan
diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya
Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi
kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin
memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini
adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah
fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).

Penjelasan Teori Eisntein (E= m.c2) Relativitas, adalah teori yang saat ini menjadi
pusat ilmu pengetahuan. Teori ini terdiri atas Relativitas Khusus dan Umum. Dua
teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda. Relativitas Khusus diterima dalam
beberapa tahun setelah Albert Einstein mengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah
derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang
membingungkan banyak ilmuwan. Teori ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-
bidang utama riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika
kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika
yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.
Relativitas Umum berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang,
galaksi, dan ruang angkasa yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima,
karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis. Einstein
menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam
semesta. Teori ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel
raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.
Relativitas khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan
cahaya, maka akan terjadi hal-hal ganjil sebagai berikut:

1. Waktu melambat:
Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom
berkecepatan tinggi yang disebut muon. Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam
yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat keliling dunia di atas pesawat
terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan
dengan jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.

2. Objek mengecil.
Objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan
sesuai arah geraknya. Kalau roket antariksa bisa bergerak dengan separoh
kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di
landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.
3. Massa objek bertambah.
Ini artinya objek akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan
eksperimen partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi seperti elektron. Dari
ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya
E = mc².
Mungkinkah manusia bisa bergerak secepat cahaya? Seiring bertambahnya massa
orang tersebut, maka gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih
cepat lagi juga terus bertambah. Pada hampir kecepatan cahaya, massa akan begitu
besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan
sangat besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar
tercapai.
Dalam A Brief History of Time-nya, fisikawan Stephen Hawking dengan merendah
mengatakan seluruh model jagat raya kontemporer yang dibangun oleh para
fisikawan/astrofisikawan masa kini (termasuk dirinya, Roger Penrose, Bekenstein,
Carl Sagan dll) berdasarkan pada asumsi bahwa Relativitas Umum dan Mekanika
Kuantum itu benar. Dari statemen ini memang terbuka peluang bahwa mungkin saja
baik Relativitas Umum ataupun Mekanika Kuantum itu “tidak benar”.
Namun jika kita merujuk pada fakta-fakta yang ada di jagat raya ini, kita fokuskan ke
Relativitas Umum, ada sangat banyak fenomena yang menunjukkan kesahihan teori
ini. Tak perlu jauh-jauh melangkah ke lubang hitam alias black hole, fenomena itu
merentang mulai dari yang paling sederhana seperti langit malam yang tetap gelap
padahal kita tahu ada milyaran bintang yang selalu bersinar di sana (paradoks
Olber), presesi perihelion Merkurius (dimana titik perihelion planet ini selalu bergeser
dalam tiap revolusinya, yang secara akumulatif mencapai 43 detik busur per abad),
pembengkokan lintasan cahaya dan gelombang radar di dekat Matahari seperti
ditunjukkan dalam Gerhana Matahari maupun pemuluran waktu tunda gema radar
dari oposisi Venus, hingga melimpahnya foton gelombang mikro bersuhu amat
rendah (2,725 K) yang tersebar homogen di segenap penjuru jagat raya tanpa terkait
dengan kumpulan galaksi maupun bintang-bintang, foton yang kita kenal sebagai
cosmic microwave background radiation.
Dengan bekal kesahihan Relativitas Umum ini (dan juga kesahihan Mekanika
Kuantum) kita sekarang bisa memperkirakan dengan ketelitian tinggi bagaimana
dinamika jagat raya kita sejak ‘bayi’ hingga sekarang.
Relativitas Umum menunjukkan bahwa jagat raya kita ini terdiri dari empat dimensi,
dengan tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu (dalam sumbu imajiner) yang
saling mempengaruhi sehingga membentuk entitas baru yang disebut ruang-waktu
(spacetime), dimana disini tak ada lagi waktu mutlak karena waktu sepenuhnya
bergantung kepada ruang, dan sifat ruang-waktu sepenuhnya bergantung kepada
distribusi massa yang ada didalamnya. Sehingga sifat ruangwaktu di Bumi misalnya,
jelas berbeda dengan ruang-waktu di Matahari ataupun bintang maharaksasa merah
Antares tetangga kita, apalagi dengan bintang neutron dalam inti Crab Nebulae.
Hawking menggambarkan ruang-waktu dalam jagat raya kita sebagai melengkung
mirip gelembung balon, dengan permukaan balon sebagai ruang-waktu dan disinilah
tempat kedudukan galaksi dan bintang-bintang. Seberapa besar dimensi jagat raya?
Besarnya ~1025 meter (13,7 milyar tahun cahaya). Dalam tiap meter kubik jagat
raya terdapat 400 juta foton namun ‘hanya’ ada 0,4 nukleon (nukleon = proton +
neutron, penyusun atom-atom termasuk yang menyusun tubuh manusia).
Cahaya, demikian pula foton pada spektrum elektromagnetik lainnya, hanya bisa
bergerak pada permukaan gelembung ini meski tetap saja bisa menemukan jarak
terpendek untuk menempuh titik-titik yang terpisah jauh (ini lebih mudah dipahami
jika kita mempelajari trigonometri segitiga bola).
Namun, Subhanallah, struktur yang luar biasa besarnya ini tidaklah statis. Ia terus
mengembang, dan jika diproyeksikan jauh ke masa silam (tepatnya ke 13,7 milyar
tahun silam), kita mengetahui saat itu jagat raya hanyalah berbentuk titik berdimensi
~10-35 meter dengan densitas 1096 kg/m3 dan bersuhu 1032 K. Inilah titik
singularitas dentuman besar (alias big bang), awal lahirnya sang waktu. Apa isinya?
Campuran quark dan lepton, partikel-partikel elementer penyusun nukleon, yang
secara kasar bisa disebut “plasma” atau “asap” (bandingkan dengan Q.S. Fushshilat
: 11). Dari titik awal ini jagat raya dengan cepat mengembang hingga pada 1 detik
pertama saja dimensinya telah 10 tahun cahaya dan quark-quark didalamnya telah
mulai membentuk nukleon. Dalam 3 – 20 menit pasca big bang, nukleon-nukleon
mulai bereaksi membentuk Detron (inti Deuterium), Helium dan sebagainya
sehingga komposisi jagat raya terdiri dari 75 % Hidrogen dan 24 % Helium, yang
masih bertahan hingga kini. Namun dibutuhkan waktu 300.000 tahun pasca big bang
hingga jagat raya ini benar-benar dingin sehingga proton bisa bergabung dengan
elektron membentuk atom Hidrogen, demikian pula detron bergabung dengan
elektron membentuk atom Deuterium dan sebagainya, tanpa terpecahkan kembali
oleh foton (note : menariknya, coba bandingkan angka 300.000 tahun ini dengan
Q.S. al-Ma’aarij : 4 dan Q.S. as-Sajdah : 4 secara bersama-sama).

Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj Ayat Isra’ Mi’raj yang sering kita dengar adalah :
َ ‫س أ ِ ِه ْد َب ِع ب ً ْﻼ‬
َ ِ‫ي ل َﻦ‬ َ ‫ب ي س ِ ى الﱠذ َ ْر‬
ُ ْ‫ىﺼْﻗَ ْ ي دِجْ َس ْم ال ِ ام ََرحْ ى ِ ﻣ ان َح‬ َ ‫ا ِ ﻷ ال َِل إ ِجْ َس ْﻣال ِ ا د‬
ْ
َ‫ﺼبْ الَ ﻣ هَي ُِر ِن ل ْﻦِ ات ُ ح الﱠذ َنكَ ار َ ب ُ ه َْلﻮ‬ َ ِ ‫يَآ◌ِ نَا ُ نﱠه ِ إ َ ﻮُ ه ُ يع ِ السﱠم ُ ير‬
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya847 agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
1. Subhana = diartikan Maha Suci. Tetapi yg pas bisa kita pakai arti Maha
Penggerak atau Maha Dinamis. Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya
berenang. Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang dinamis.
Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah bergerak, berrotasi dan ber-
revolusi. Salah tiga dari materi alam semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan.
Rembulan atau Bulan ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi. Bumi ber-rotasi dan
ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi kepada pusat
Bimasakti. Dan begitu seterusnya… Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena
pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.
2. Asra= memperjalankan. Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata saraa =
berjalan. Di sini jelas bahwa Alloh Yang Maha Dinamis yang menentukan gerak dan
diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni Rasulullah SAW. Jadi
peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Alloh SWT.
Berapa jauhnya perjalanan?Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :Mekkah –
Palestina, sekitar 1.200 km. Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam
surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:
tahap 1: Gelombang ke PartikelAyat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan perihal
transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni transfer dimensi cahaya
kepada dimensi suara.
tahap 2: Partikel ke GeombangSelanjutnya ayat ke 12 – 17 surat An-Najm, adalah
menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi
suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika. Dimensi waktu telah
terlampuai. Jangkauan Rasululloh SAW seperti dikupas Pak Agus Musthofa dalam
buku2nya, pandangan Rasululloh mampu mencakup semua dimensi di bawah layer
malaikat.
Kalau Mi’raj, maka secara masnusiawi Rasul SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar
Bumi sekitar 12.700 km;Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas
dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.
Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari Galaksi kita yang panjangnya;
Selengkapnya Tour de universe ada di [ Cosmic Distance Scales ]
3. ‘Abdihi = hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya. Di sini
jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau
sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Alloh SWT dalam melakukan
perjalannya. Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasululloh SAW tidak berjalan sendiri, tetapi
di’bantu’ Alloh dalam melakukan perjalanan itu.
4. Lailan = Malam hari. Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang
sangat erat dengan konsep waktu. Mengapa harus malam.? Malam memiliki
keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan
mata yang tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah
perjalanan Rasul SAW yang tidak mampu dijejaki ujung finalnya. Alam semesta nan
luas …
5. Masjidil Haram-Masjidil Aqsha = Dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi
yang dipilih Alloh dengan titik koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan
tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan terakhir. Dan inilah tanda-
tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir. Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik
keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang
juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an.
Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi
kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapislapis
sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan
cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau
samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang
berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-
lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak
ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu menyatakan
hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau
‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam
Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
“Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang
menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah
MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya….”
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
“Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi
tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….”
Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda
langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke
tujuh dalam kisah isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran,
mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di
langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya.
Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin
masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang
sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh
lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan
berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke
empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok,
klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1,
ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui.
Jadilah, isra’ mi’raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar
planet dalam satu malam. Na’udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian
langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena
fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam
kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan
keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan
mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi
Muhammad SAW.
Makna pentingnya Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan
hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit
sekali (QS. AlIsra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj
benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah
rencana Allah
menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah
salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian
perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah
utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun
miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan
oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya,
atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas
kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah
mengingatkan:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)
Epilog Begitu dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam
untuk seluruh umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan
di atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah perjalanan
ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’
dalam kebingungan.
Siapa pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah
Maha Guru tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada dalam dimensi yang
terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant pernah
berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan
sudah membuktikan jika nalar teoritis sama sekali tak mampu menangkap
kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan ada,
juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak
membatasi ekspansi sains, menyisakan ruang bagi iman.
Banyak tafsiran yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun,
perlu menjadi catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan
tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu
‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya. Ia
membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan
panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan
kita semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu
singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang
Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah.
Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta.
Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil
berlari” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya
dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material
menuju hal yang immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju
tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan
hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan
Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya
semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali
kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu
dengan upaya menempuh tahap demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’
menembus penyatuan dengan Yang Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut
ekstasis.
Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah
berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS.Al
dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat manusia,
menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang spesial.
Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi
dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan dalam pengamalan
yang ikhlas.
Perjalanan yang ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini
berada dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah
hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku
dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku
telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar;
Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi
tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang
dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan
permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya” (HR.
Bukhari).

Daftar Pustaka Al Quran dan terjemahnya.


Agus Mustofa, 2006, Terpesona di Sidratul Muntaha, Surabaya, Padma., 2008,
Pusaran Energi Kabah, Surabaya, Padma.
Agus Purwanto, 2008, Ayat-ayat Semesta, Bandung, Mizan Media Utama.
Ahmad Fuad Pasya, 2004, Dimensi Sains Al Quran, Solo, Tiga Serangkai.
Bahaudin Mudhary, 1996, Setetes Rahasia Alam Tuhan, Surabaya, Pustaka
Metafisika.
Fritjrof Capra, 2000, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra.
Jalaluddin Rakhmat, 2008, The Road to Allah, Bandung, Mizan Media Utama.
1. Quraish Shihab, 1993, Membumikan Al Quran, Bandung, Mizan. Syekh Yusuf al-
Hajj Ahmad, 2006, Al Quran Kitab Sains dan Media, Jakarta, Grafindo.
MENYOAL KEMBALI KEJANGGALAN LOGIKA PERISTIWA
ISRA MI’RAJ DAN PENJELASANNYA DALAM FISIKA
KUANTUM

Maharani Wulandari
1 Maret 2022

Harakah.id – Isra Mi’raj adalah peristiwa yang mungkin masih menyimpan


misteri. Tapi siapa sangka kalau fisika kuantum dapat memberikan penjelasan
logis bagaimana peristiwa tersebut terjadi.

Terdapat satu kisah yang sangat inspiratif dan maha hebat pada abad ke-7 sekitar
1400 tahun silam, peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Nabi
Muhammad tak hanya menembus ruang angkasa disekitar bumi, bahkan
mengarungi alam semesta hingga diruang yang tak terbatas. Pertanyaannya,
bagaimana menjelaskannya dengan logis? Dan bagaimana fisika kuantum dapat
membantunya?
Kisah Isra termaktub di dalam al-qur’an dalam pada surah al-isra ayat 1, yang
berbunyi sebagai berikut:

ُ ‫صى ْال َﻣس ِْج ِد ِإ َلى ْال َح َر ِام ْال َﻣس ِْج ِد ﻣِ نَ لَي ًْﻼ ِبعَ ْب ِد ِه أَس َْرى الﱠذِي‬
َ‫س ْب َحان‬ َ ‫ار ْكنَا الﱠذِي ْاﻷ َ ْﻗ‬
َ َ‫السﱠﻣِ ي ُع ه َُو ِإنﱠهُ آيَا ِتنَا ﻣِ ْن ِلنُ ِريَهُ َح ْولَهُ ب‬

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫( ْال َب‬1)
“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada
malam hari dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kita berkahi sekelilingnya
agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”
Sementara kisah mi’raj termaktub dalam surah an-Najm ayat 13-18, yang berbunyi
sebagai berikut:

‫( أ ُ ْخ َرى ن َْزلَةً َرآهُ َو َلقَ ْد‬13) ‫( ْال ُﻣ ْنتَ َهى ِسد َْرةِ ِع ْن َد‬14) ‫( ْال َﻣأْ َوى َجنﱠةُ ِع ْن َدهَا‬15) ‫سد َْرةَ َي ْغشَى إِ ْذ‬ َ ‫زَ ا‬
ّ ِ ‫( يَ ْغشَى َﻣا ال‬16) ‫غ َﻣا‬

َ ‫طغَى َو َﻣا ا ْل َب‬


‫ص ُر‬ ِ ‫( ا ْل ُكب َْرى َر ِّب ِه آ َيا‬18)
َ (17) ‫ت ﻣِ ْن َرأَى لَقَ ْد‬
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada
waktu yang lain, (yaitu) di Sidrotulmuntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal,
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidrotulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu
dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda
(kebesaran) Tuhannya yang paling besar.”
Peristiwa Isra Mi’raj tentu saja mengundang banyak pertanyaan dari berbagai
kalangan, baik dari kalangan agamawan, kalangan ilmuwan hingga masyarakat
awam. Baik itu yang muslim maupun non-muslim. Tersebab perjalanan yang dialami
Rasulullah menempuh jarak yang sangat jauh, dalam kurun waktu yang cukup
singkat yakni hanya separuh malam.
Perjalanan isra dan mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah, dalam konteks ilmu
pengetahuan disebut sebagai perjalanan antar dimensi. Artinya malaikat jibril
mengajak rasulullah keluar dari dimensi ruang dan waktu menuju dimensi yang lebih
tinggi. Keluar dari dimensi ruang dan waktu maksudnya ialah tidak lagi terikat oleh
jarak dan waktu yang terbatas dalam pola pikir manusia.
Lalu sekiranya kendaran apa yang digunakan sehingga waktu tempuhnya cukup
singkat?
Rasulullah SAW dan malaikat jibril melaksanakan perjalanan tersebut dengan
kendaraan yang bernama buraq. Bahasa arab mengartikan buraq sebagai kilat,
yakni substansi cahaya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad,
menyebutkan bahwa jika buraq melangkahkan kaki, tampak sejauh mata
memandang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa buraq mempunyai kemampuan
untuk bergerak yang mendekati atau bahkan sama dengan kecepatan cahaya, yaitu
berkisar 300.000km/detik. Kemudian dari sini timbul pertanyaan baru, yakni: apakah
tubuh Rasulullah SAW mampu menghadapi kecepatan itu?
Agus Mustofa di dalam bukunya yang berjudul Terpesona di Sidratul
Muntaha menjawab dengan memberikan skenario rekonstruksi dengan
menggunakan Teori Annihilasi. Teori tersebut dikenal dalam fisika kuantum, teori ini
menyatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi. Sehingga apabila materi
dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut
akan lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gamma.
Agar Rasulullah SAW dapat mengikuti kecepatan malaikat jibril dan buraq, maka
badan wadah rasulullah diubah oleh Allah menjadi badan cahaya. Hal tersebut
terjadi ketika dilakukannya pembedahan oleh malaikat jibril dengan
nmenyucikan qalbu nya rasulullah dengan air zam-zam. Hal tersebut bermaksud
untuk mengimbangkan agar kualitas badan rasulullah sama dengan malaikat jibril
dan juga buraq. Mengingat bahwa malaikat jibril dan juga buraq adalah makhluk
berbadan cahaya. Setelah ketiganya memiliki kualitas badan yang sama, maka Allah
memperjalankan ketiganya menuju masjidil aqsa dengan kecepatan
300.000km/detik. Sehingga jarak antara mekah dengan palestina yang berkisar
1200 km dapat ditempuh dalam waktu hanya 0,005 detik.
Dalam fisika kuantum dikenal suatu teori bahwa apabila seseorang melakukan
perjalanan dengan kecepatan menyamai atau bahkan melebihi kecepatan cahaya,
maka secara teoritis ia akan masuk ke dalam dimensi ruang waktu yang lain. Sebab
kecepatan superluminal tersebut, batasan dimensi ruang dan waktu terlampaui atau
bisa dikatakan dimensi ruang waktu saling melipat (space time folding), sehingga
beliau akan melihat dimensi-dimensi waktu lampau bahkan mungkin waktu yang
akan datang. Hal itulah yang menyebabkan Rasulullah dapat melihat penampakan-
penampakan ketika perjalanan isra mi’raj yang menyamai kecepatan cahaya itu. Pun
demikian, Rasulullah melakukannya dengan kesadaran penuh. Adanya relativitas
waktu antara dunia manusia dengan dunia malaikat, menyebabkan Rasulullah
merasakan sepenuhnya perjalanan tersebut.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, maka hikmah yang dapat diambil ialah
bahwa peristiwa yang luar biasa seperti isra mi’raj hanya terjadi tersebab kehendak
dan kekuasaan Allah SWT, kisah ini pun merupakan informasi gaib yang wajib untuk
diyakini, dan juga peristiwa ini untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah
SWT.

Anda mungkin juga menyukai