Isra Miraj Ditinjau Dari Ilmu Fisika
Isra Miraj Ditinjau Dari Ilmu Fisika
ISRA RASULULLAH?
Salah satu mukjizat Nabi Muhammad, adalah diperjalankannya beliau oleh Allah
melalui peristiwa Isra’ Mi’raj.
Banyak yang coba mengungkapkan peristiwa tersebut secara ilmiah, salah satunya
melalui Teori Fisika paling mutahir, yang dikemukakan oleh Dr. Stephen Hawking.
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan
kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang
dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi menjadi
cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril
yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai
kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya
(Mustofa, 2006:28).
Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah
mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran
perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj
agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah
menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu,
maka badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak
beraturan lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap
keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.
Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda
kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah
yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan pemandangan yang
tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama ketika melintasi dimensidimensi
langit yang lebih tinggi pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan
keagungan Allah ini terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang
mukmin bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan
diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya
Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi
kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin
memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini
adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah
fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Penjelasan Teori Eisntein (E= m.c2) Relativitas, adalah teori yang saat ini menjadi
pusat ilmu pengetahuan. Teori ini terdiri atas Relativitas Khusus dan Umum. Dua
teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda. Relativitas Khusus diterima dalam
beberapa tahun setelah Albert Einstein mengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah
derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang
membingungkan banyak ilmuwan. Teori ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-
bidang utama riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika
kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika
yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.
Relativitas Umum berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang,
galaksi, dan ruang angkasa yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima,
karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis. Einstein
menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam
semesta. Teori ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel
raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.
Relativitas khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan
cahaya, maka akan terjadi hal-hal ganjil sebagai berikut:
1. Waktu melambat:
Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom
berkecepatan tinggi yang disebut muon. Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam
yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat keliling dunia di atas pesawat
terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan
dengan jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.
2. Objek mengecil.
Objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan
sesuai arah geraknya. Kalau roket antariksa bisa bergerak dengan separoh
kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di
landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.
3. Massa objek bertambah.
Ini artinya objek akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan
eksperimen partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi seperti elektron. Dari
ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya
E = mc².
Mungkinkah manusia bisa bergerak secepat cahaya? Seiring bertambahnya massa
orang tersebut, maka gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih
cepat lagi juga terus bertambah. Pada hampir kecepatan cahaya, massa akan begitu
besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan
sangat besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar
tercapai.
Dalam A Brief History of Time-nya, fisikawan Stephen Hawking dengan merendah
mengatakan seluruh model jagat raya kontemporer yang dibangun oleh para
fisikawan/astrofisikawan masa kini (termasuk dirinya, Roger Penrose, Bekenstein,
Carl Sagan dll) berdasarkan pada asumsi bahwa Relativitas Umum dan Mekanika
Kuantum itu benar. Dari statemen ini memang terbuka peluang bahwa mungkin saja
baik Relativitas Umum ataupun Mekanika Kuantum itu “tidak benar”.
Namun jika kita merujuk pada fakta-fakta yang ada di jagat raya ini, kita fokuskan ke
Relativitas Umum, ada sangat banyak fenomena yang menunjukkan kesahihan teori
ini. Tak perlu jauh-jauh melangkah ke lubang hitam alias black hole, fenomena itu
merentang mulai dari yang paling sederhana seperti langit malam yang tetap gelap
padahal kita tahu ada milyaran bintang yang selalu bersinar di sana (paradoks
Olber), presesi perihelion Merkurius (dimana titik perihelion planet ini selalu bergeser
dalam tiap revolusinya, yang secara akumulatif mencapai 43 detik busur per abad),
pembengkokan lintasan cahaya dan gelombang radar di dekat Matahari seperti
ditunjukkan dalam Gerhana Matahari maupun pemuluran waktu tunda gema radar
dari oposisi Venus, hingga melimpahnya foton gelombang mikro bersuhu amat
rendah (2,725 K) yang tersebar homogen di segenap penjuru jagat raya tanpa terkait
dengan kumpulan galaksi maupun bintang-bintang, foton yang kita kenal sebagai
cosmic microwave background radiation.
Dengan bekal kesahihan Relativitas Umum ini (dan juga kesahihan Mekanika
Kuantum) kita sekarang bisa memperkirakan dengan ketelitian tinggi bagaimana
dinamika jagat raya kita sejak ‘bayi’ hingga sekarang.
Relativitas Umum menunjukkan bahwa jagat raya kita ini terdiri dari empat dimensi,
dengan tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu (dalam sumbu imajiner) yang
saling mempengaruhi sehingga membentuk entitas baru yang disebut ruang-waktu
(spacetime), dimana disini tak ada lagi waktu mutlak karena waktu sepenuhnya
bergantung kepada ruang, dan sifat ruang-waktu sepenuhnya bergantung kepada
distribusi massa yang ada didalamnya. Sehingga sifat ruangwaktu di Bumi misalnya,
jelas berbeda dengan ruang-waktu di Matahari ataupun bintang maharaksasa merah
Antares tetangga kita, apalagi dengan bintang neutron dalam inti Crab Nebulae.
Hawking menggambarkan ruang-waktu dalam jagat raya kita sebagai melengkung
mirip gelembung balon, dengan permukaan balon sebagai ruang-waktu dan disinilah
tempat kedudukan galaksi dan bintang-bintang. Seberapa besar dimensi jagat raya?
Besarnya ~1025 meter (13,7 milyar tahun cahaya). Dalam tiap meter kubik jagat
raya terdapat 400 juta foton namun ‘hanya’ ada 0,4 nukleon (nukleon = proton +
neutron, penyusun atom-atom termasuk yang menyusun tubuh manusia).
Cahaya, demikian pula foton pada spektrum elektromagnetik lainnya, hanya bisa
bergerak pada permukaan gelembung ini meski tetap saja bisa menemukan jarak
terpendek untuk menempuh titik-titik yang terpisah jauh (ini lebih mudah dipahami
jika kita mempelajari trigonometri segitiga bola).
Namun, Subhanallah, struktur yang luar biasa besarnya ini tidaklah statis. Ia terus
mengembang, dan jika diproyeksikan jauh ke masa silam (tepatnya ke 13,7 milyar
tahun silam), kita mengetahui saat itu jagat raya hanyalah berbentuk titik berdimensi
~10-35 meter dengan densitas 1096 kg/m3 dan bersuhu 1032 K. Inilah titik
singularitas dentuman besar (alias big bang), awal lahirnya sang waktu. Apa isinya?
Campuran quark dan lepton, partikel-partikel elementer penyusun nukleon, yang
secara kasar bisa disebut “plasma” atau “asap” (bandingkan dengan Q.S. Fushshilat
: 11). Dari titik awal ini jagat raya dengan cepat mengembang hingga pada 1 detik
pertama saja dimensinya telah 10 tahun cahaya dan quark-quark didalamnya telah
mulai membentuk nukleon. Dalam 3 – 20 menit pasca big bang, nukleon-nukleon
mulai bereaksi membentuk Detron (inti Deuterium), Helium dan sebagainya
sehingga komposisi jagat raya terdiri dari 75 % Hidrogen dan 24 % Helium, yang
masih bertahan hingga kini. Namun dibutuhkan waktu 300.000 tahun pasca big bang
hingga jagat raya ini benar-benar dingin sehingga proton bisa bergabung dengan
elektron membentuk atom Hidrogen, demikian pula detron bergabung dengan
elektron membentuk atom Deuterium dan sebagainya, tanpa terpecahkan kembali
oleh foton (note : menariknya, coba bandingkan angka 300.000 tahun ini dengan
Q.S. al-Ma’aarij : 4 dan Q.S. as-Sajdah : 4 secara bersama-sama).
Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj Ayat Isra’ Mi’raj yang sering kita dengar adalah :
َ س أ ِ ِه ْد َب ِع ب ً ْﻼ
َ ِي ل َﻦ َ ب ي س ِ ى الﱠذ َ ْر
ُ ْىﺼْﻗَ ْ ي دِجْ َس ْم ال ِ ام ََرحْ ى ِ ﻣ ان َح َ ا ِ ﻷ ال َِل إ ِجْ َس ْﻣال ِ ا د
ْ
َﺼبْ الَ ﻣ هَي ُِر ِن ل ْﻦِ ات ُ ح الﱠذ َنكَ ار َ ب ُ ه َْلﻮ َ ِ يَآ◌ِ نَا ُ نﱠه ِ إ َ ﻮُ ه ُ يع ِ السﱠم ُ ير
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya847 agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
1. Subhana = diartikan Maha Suci. Tetapi yg pas bisa kita pakai arti Maha
Penggerak atau Maha Dinamis. Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya
berenang. Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang dinamis.
Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah bergerak, berrotasi dan ber-
revolusi. Salah tiga dari materi alam semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan.
Rembulan atau Bulan ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi. Bumi ber-rotasi dan
ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi kepada pusat
Bimasakti. Dan begitu seterusnya… Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena
pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.
2. Asra= memperjalankan. Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata saraa =
berjalan. Di sini jelas bahwa Alloh Yang Maha Dinamis yang menentukan gerak dan
diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni Rasulullah SAW. Jadi
peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Alloh SWT.
Berapa jauhnya perjalanan?Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :Mekkah –
Palestina, sekitar 1.200 km. Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam
surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:
tahap 1: Gelombang ke PartikelAyat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan perihal
transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni transfer dimensi cahaya
kepada dimensi suara.
tahap 2: Partikel ke GeombangSelanjutnya ayat ke 12 – 17 surat An-Najm, adalah
menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi
suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika. Dimensi waktu telah
terlampuai. Jangkauan Rasululloh SAW seperti dikupas Pak Agus Musthofa dalam
buku2nya, pandangan Rasululloh mampu mencakup semua dimensi di bawah layer
malaikat.
Kalau Mi’raj, maka secara masnusiawi Rasul SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar
Bumi sekitar 12.700 km;Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas
dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.
Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari Galaksi kita yang panjangnya;
Selengkapnya Tour de universe ada di [ Cosmic Distance Scales ]
3. ‘Abdihi = hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya. Di sini
jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau
sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Alloh SWT dalam melakukan
perjalannya. Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasululloh SAW tidak berjalan sendiri, tetapi
di’bantu’ Alloh dalam melakukan perjalanan itu.
4. Lailan = Malam hari. Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang
sangat erat dengan konsep waktu. Mengapa harus malam.? Malam memiliki
keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan
mata yang tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah
perjalanan Rasul SAW yang tidak mampu dijejaki ujung finalnya. Alam semesta nan
luas …
5. Masjidil Haram-Masjidil Aqsha = Dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi
yang dipilih Alloh dengan titik koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan
tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan terakhir. Dan inilah tanda-
tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir. Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik
keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang
juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an.
Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi
kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapislapis
sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan
cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau
samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang
berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-
lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak
ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu menyatakan
hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau
‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam
Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
“Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang
menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah
MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya….”
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
“Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi
tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….”
Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda
langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke
tujuh dalam kisah isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran,
mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di
langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya.
Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin
masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang
sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh
lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan
berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke
empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok,
klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1,
ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui.
Jadilah, isra’ mi’raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar
planet dalam satu malam. Na’udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian
langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena
fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam
kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan
keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan
mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi
Muhammad SAW.
Makna pentingnya Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan
hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit
sekali (QS. AlIsra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj
benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah
rencana Allah
menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah
salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian
perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah
utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun
miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan
oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya,
atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas
kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah
mengingatkan:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)
Epilog Begitu dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam
untuk seluruh umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan
di atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah perjalanan
ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’
dalam kebingungan.
Siapa pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah
Maha Guru tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada dalam dimensi yang
terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant pernah
berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan
sudah membuktikan jika nalar teoritis sama sekali tak mampu menangkap
kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan ada,
juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak
membatasi ekspansi sains, menyisakan ruang bagi iman.
Banyak tafsiran yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun,
perlu menjadi catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan
tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu
‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya. Ia
membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan
panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan
kita semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu
singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang
Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah.
Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta.
Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil
berlari” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya
dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material
menuju hal yang immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju
tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan
hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan
Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya
semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali
kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu
dengan upaya menempuh tahap demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’
menembus penyatuan dengan Yang Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut
ekstasis.
Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah
berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS.Al
dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat manusia,
menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang spesial.
Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi
dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan dalam pengamalan
yang ikhlas.
Perjalanan yang ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini
berada dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah
hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku
dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku
telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar;
Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi
tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang
dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan
permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya” (HR.
Bukhari).
Maharani Wulandari
1 Maret 2022
Terdapat satu kisah yang sangat inspiratif dan maha hebat pada abad ke-7 sekitar
1400 tahun silam, peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Nabi
Muhammad tak hanya menembus ruang angkasa disekitar bumi, bahkan
mengarungi alam semesta hingga diruang yang tak terbatas. Pertanyaannya,
bagaimana menjelaskannya dengan logis? Dan bagaimana fisika kuantum dapat
membantunya?
Kisah Isra termaktub di dalam al-qur’an dalam pada surah al-isra ayat 1, yang
berbunyi sebagai berikut:
ُ صى ْال َﻣس ِْج ِد ِإ َلى ْال َح َر ِام ْال َﻣس ِْج ِد ﻣِ نَ لَي ًْﻼ ِبعَ ْب ِد ِه أَس َْرى الﱠذِي
َس ْب َحان َ ار ْكنَا الﱠذِي ْاﻷ َ ْﻗ
َ َالسﱠﻣِ ي ُع ه َُو ِإنﱠهُ آيَا ِتنَا ﻣِ ْن ِلنُ ِريَهُ َح ْولَهُ ب
ير
ُ صِ ( ْال َب1)
“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada
malam hari dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kita berkahi sekelilingnya
agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”
Sementara kisah mi’raj termaktub dalam surah an-Najm ayat 13-18, yang berbunyi
sebagai berikut:
( أ ُ ْخ َرى ن َْزلَةً َرآهُ َو َلقَ ْد13) ( ْال ُﻣ ْنتَ َهى ِسد َْرةِ ِع ْن َد14) ( ْال َﻣأْ َوى َجنﱠةُ ِع ْن َدهَا15) سد َْرةَ َي ْغشَى إِ ْذ َ زَ ا
ّ ِ ( يَ ْغشَى َﻣا ال16) غ َﻣا