Anda di halaman 1dari 55

Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan

Komnas HAM 01
Kasus Talangsari, Jama’ah Islamiyah dan Komnas HAM 01

Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus Warsidi)

Mungkin sebagian orang masih belum bisa meyakini bahwa radikalisme yang disandingkan dengan
doktrin agama benar-benar faktual dan menjadi salah satu cara sekelompok orang di dalam mencapai
cita-citanya. Misalnya, tentang keberadaan Al-Jama’ah Al-Islamiyah atau biasa disingkat JI. Terhadap
keberadaan JI ini, tidak hanya orang awam yang menyangsikan eksistensinya, tetapi juga orang
terhormat yang duduk di lembaga legislatif. Bahkan, Menkopolkam saat itu (2002) menyangkal
keberadaan JI di Indonesia. Menurut Menkopolkam, organisasi JI keberadaannya hanya di Malaysia dan
di Singapura; namun demikian tidak tertutup kemungkinan ada beberapa orang Indonesia yang terlibat di
dalam JI.

[Demikian redaksional pembukaan penuh fitnah dari Blog Riyanto, selanjutnya akan kami kritisi
satu-persatu untuk membuka tabir sebenarnya] Seolah-olah Komnas HAM dan juga Kontras memang
sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan
radikalisme.

Fakta keberadaan JI sebenarnya sudah mulai terkuak sejak sebelum 2002, setidaknya melalui tulisan
Djohan Effendi pada harian Kompas edisi 7 November 2002. Melalui tulisannya berjudul Jamaah
Islamiyah dan Abdullah Sungkar, Djohan Efendi mengatakan bahwa Abdullah Sungkar dengan tegas
pernah menyatakan keberadaan Jamaah Islamiyah, melalui sebuah wawancara dengan majalah Nidaul
Islam edisi 17 yang terbit sektar Februari-Maret 1997.

Pada kesempatan itu, Abdullah Sungkar menceritakan tentang keberadaan gerakan Jamaah Islamiyah
sebagai organisasi yang bercita-cita membangun Daulah Islamiyah (Pemerintahan Islam), dan JI memiliki
perbedaan yang jelas dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Menurut Abdullah
Sungkar, bila parpol dan ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah,
maka JI bersikap nonkooperatif.

Kami kritisi, ini tentu tudingan sepihak dan fitnah dari Riyanto.

Menurut Abdullah Sungkar, bila parpol dan ormas Islam yang ada
di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah, maka JI
bersikap nonkooperatif. Tentu ini sebagai fitnah dari Riyanto

Abdullah Sungkar

Menurut Abdullah Sungkar, JI bukanlah gerakan yang sama sekali baru, karena embrio JI adalah
gerakan DI/TII yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus
1949. NII diproklamasikan selain untuk menentang pemerintahan kafir Belanda juga untuk menentang

1
rezim sekuler Republik Indonesia. Menurut klaim Abdullah Sungkar, JI merupakan gerakan yang
berusaha mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah melalui jalan jihad,
sebagai kelanjutkan gerakan DI/TII. Upaya itu ditempuh dengan membangun tiga kekuatan, yaitu
kekuatan aqidah, kekuatan persaudaraan dan kekuatan milisi. JI juga menerapkan strategi yang sama
dengan DI/TII dalam mencapai cita-citanya, yaitu Iman, Hijrah dan Jihad.

Kian hari, fakta keberadaan JI kian terkuak lebih meyakinkan, antara lain melalui pengakuan mantan
anggota JI sendiri. Pada bulan Juli 2005, munafikin Nasir Abas meluncurkan buku berjudul Membongkar
Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI yang diterbitkan oleh Penerbit Grafindo Khazanah
Ilmu, Jakarta. Nasir Abas adalah mantan petinggi JI dengan jabatan terakhir sebagai Amir Mantiqi III
(meliputi Sabah, Serawak, Brunei, Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina Selatan).

Melalui pengakuan Nasir Abas, fakta tentang keberadaan JI seharusnya tak lagi bisa dibantah. Tidak
hanya itu, pengakuan itu menunjukkan fakta lain kepada masyarakat luas bahwa radikalisme yang
disandingkan dengan doktrin agama bukanlah tuduhan tanpa bukti. Dan fakta lain yang juga turut
terungkap melalui pengakuan Nasir Abas, adalah bahwa cita-cita mendirikan negara Islam sebagaimana
dipromotori oleh Kartosoewirjo tetap hidup di dalam benak sebagian orang.

Nasir Abas

Yang juga turut terungkap melalui pengakuan Nasir Abas adalah kekeliruan memahami dan memaknai
jihad khususnya sebagaimana dipaparkan oleh Imam Samudera yang sebelumnya telah lebih dulu
meluncurkan sebuah buku berjudul Aku Melawan Teroris yang diterbitkan oleh Jazeera, Solo, Jawa
Tengah, pada September 2004.

Padahal sejatinya Nasir Abas terkena racun deradikalisasi alias terbuai materi.

Melalui bukunya, Nasir Abas antara lain menceritakan bahwa ia di tahun 1985 awal, berkenalan dengan
sejumlah orang Indonesia, antara lain ustdaz Abdul Halim dan ustadz Abdus Somad. Barulah setelah tiga
belas tahun berselang, yaitu di tahun 1998, Nasir Abas mengetahui nama sesungguhnya kedua ustadz
tadi. Ustadz Abdul Halim tak lain adalah nama alias dari Abdullah Sungkar. Sedangkan ustadz Abdus
Somad adalah nama alias dari Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya merupakan tokoh Darul Islam (DI) atau NII
yang hengkang ke Malaysia pada tahun 1985.

Mustapha alias Abu Tolut alias Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda

Di tahun 1993, menurut pengakuan Nasir Abas, Abdullah Sungkar memisahkan diri dari NII faksi Ajengan
Masduki. Maka sejak saat itulah (Januari 1993) Abdullah Sungkar menjadi imam Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Di tahun 1999, Abdullah Sungkar meninggal dunia di Bogor. Maka, pimpinan JI berada di tangan Abu
Bakar Ba’asyir yang selama ini menjadi orang kedua. Salah satu kewenangan amir JI adalah melantik
Ketua Mantiqi sebagaimana diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah).
Nasir Abas dilantik oleh Abu Bakar Ba’asyir pada April 2001 sebagai Ketua Mantiqi III menggantikan
Mustapha alias Abu Tolut alias Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda. Dari sini, sudah bisa disimpulkan
bahwa Abu Bakar Ba’asyir saat itu sudah menduduki kursi imam JI pasca meninggalnya Abdullah
Sungkar.

2
Mustapha alias Abu Tolut alias Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda

Abu Bakar Ba’asyir sendiri pada awalnya tidak menutup-nutupi keterlibatannya di dalam JI. Terbukti,
pada majalah Sabili No. 6 Th. VIII bertanggal 6 September 2000, yang sudah beredar menjelang atau
bersamaan waktunya dengan pelaksanaan Kongres Mujahidin pertama. Secara khusus di halaman 45
tertera Biodata Abu Bakar Ba’asyir, yang pada kolom organisasi tertulis beberapa hal seperti:

Biodata Abu Bakar Ba asyir

- Salah seorang pendiri Pondok Pesantren Ngruki (Solo)

- PII (1959-1963)

- GPII anak cabang Mojoagung (1960)

- LDMI (1965)

- Jama’ah Islamiyah

Ketika itu Abu Bakar Ba’sayir memang belum resmi menjadi Amir Mujahidin (MMI). Sampai akhirnya hasil
Kongres Mujahidin pertama mengukuhkannya sebagai Amir Mujahidin.

Barulah ketika Amerika Serikat mencanangkan war againts terorism pasca tragedi WTC 11 September
2001, dan nama Abu Bakar Ba’asyir disebut-sebut sebagai imam spiritual JI, dan JI diduga kuat
mendalangi serangkaian kasus bom di Indonesia, maka Ba’asyir pun mulai menyangkal keterlibatannya
di dalam JI.

Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah imam JI.

Artinya Di pengadilan semua sudah batal di sisi hukum dan fitnah tidak lagi bisa dikenakan pada
Ustadz Abu Bakar Baasyir.

Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar


Ba’asyir adalah imam JI.

FARIHIN

Bukan hanya Nasir Abas yang menguak keberadaan JI tetapi juga Farihin, yang mengaku sebagai
mantan aktivis JI dan pernah merakit bom di Cilacap, Jawa Tengah, namun belum sempat digunakan.
Kemunculan Farihin sebagai mantan aktivis JI dapat dilihat melalui TVONE edisi 21 Juli 2009 pada
acara Apakabar Indonesia yang tayang sekitar jam 21.00 wib.

Abu Rusydan

Sebelumnya, salah satu petinggi JI asal Kudus yaitu Abu Rusydan ini juga sudah mulai membuka diri.
Antara lain bisa dilihat pada majalah Risalah Mujahidin edisi 24 (Dzulhijjah 1429H/Nov-Des 2008). Dalam

3
buku Nasir Abas Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI sosok Abu Rusydan
mempunyai berbagai nama alias seperti Hamzah dan Ustadz Thoriqudin.

Jauh sebelum itu, menurut pemberitaan Kompas edisi Selasa 13 Januari 2004, Thoriquddin alias Abu
Rusydan alias Hamzah mengakui bahwa di dalam pertemuan Megamendung (Puncak, Jawa Barat) yang
dilaksanakan sekitar April-Mei 2002 disepakati bahwa ia menjadi pelaksana harian tugas Amir JI,
menggantikan Abu Bakar Ba’asyir yang kala itu sibuk bergiat di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Pasca kasus peledakan di Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton 17 Juli 2009 lalu, Abu Rusydan jadi
lebih sering tampil di depan publik, antara lain di TVONE dan di detikcom edisi Kamis 30 Juli 2009. Di
detikcom ia ditanya soal pengkaderan yang dilakukan Noordin M. Top. Detikcom menyebut Abu Rusydan
sebagai mantan petinggi Jamaah Islamiyah (JI).

Di majalah Sabili No. 2 Th. XVII yang sudah beredar di Jakarta sejak 31 Juli 2009, khususnya di halaman
16-21 Abu Rusydan ditampilkan dalam sebuah wawancara khusus. Dengan jelas Sabili menuliskan
identitas Abu Rusydan sebagai Tokoh Jamaah Islamiyah. Salah satu materi pertanyaan Sabili kepada
Abu Rusydan adalah “Jadi apa jabatan Anda sekarang?” Pertanyaan itu dijawab dengan untaian kalimat
yang menegaskan bahwa JI itu faktual dan Abu Rusydan masih tokoh JI: “Yang penting bagi saya,
konsumsi media beda dengan konsumsi kepolisian. Kalau Polisi sudah tahu. Tapi, yang jelas saya bukan
mantan. Karena JI itu bukan sesuatu yang buruk sehingga harus saya tinggalkan.”

JAT : Jamaah Ansharut Tauhid

Sabili juga menanyakan keada Abu Rusydan hubungan JI dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)
pimpinan Abu Bakar Baasyir yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Amir Majelis Mujahidin.
Menurut Abu Rusydan, pemikiran dasar JI dan JAT tidak ada perbedaan, sama-sama mengambil dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah. “Adapun ekspresi dan aksi itu adalah ruang-ruang pilihan. Itu berdasarkan
pengalaman. Kalau sudah masuk gerakan itu soal kepercayaan.” Demikian penjelasan Abu Rusydan
kepada Sabili.

Berdasarkan data-data di atas, jelaslah bahwa keberadaan JI adalah nyata, bukan sebuah wacana
belaka. Sebagai organisasi bawah tanah atau tandzim sirri, tentunya JI tidak punya alamat lengkap
dengan nomor RT dan RW segala. Hanya orang bodoh yang meminta pembuktian keberadaan JI melalui
kelengkapan domisili sebagaimana layaknya sebuah organisasi berbadan hukum.

Hubungan Talangsari dengan JI

Lalu, apa hubungan antara kasus Talangsari (Lampung) dengan JI (Jamaah Islamiyah)? Keduanya
punya titik persinggungan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.

Sebagaimana disebutkan di atas, Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak
1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI).

Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini
dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan
pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.

4
NURHIDAYAT

Semasa masih berada di Indonesia, saat masih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina
gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh.

Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini.
Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain
menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan
Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.

Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan,
yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok
Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat
sebagai Ketua Mantiqi II.

MUSHONIF

Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan
Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali,
Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).

Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari,


sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu.

Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam
peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk
mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah.

Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-
Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang
diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat,
dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat
aksi kekerasan.

WAHIDIN AR, Ia Hilang Ditelan Bumi

Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan
aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam
Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi
semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus
Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses
hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.

Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah


mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan
sebagainya, karena buron hingga kini.

5
Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai
aktivis dari Jakarta.

Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari
bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan
anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia
sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.

Abdul Haris alias Haris Amir Falah

Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian
gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari
kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari.

Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin
oleh empat orang.

Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran).

Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan)

Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah).

Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).

Abdul Haris alias Haris Amir Falah

Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir
Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali,
Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI
dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-
sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.

Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke
Lampung, menghasilkan gerakan Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus
Tanjung Priok 1984).

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan perlawanan disandingkan
dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang
tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui
sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.

Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di
tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu
(1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau
bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu
yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan
Ritz Carlton pada 17 Juli 2009. Benarkah?

6
Counter Issue! Komnas HAM Menstigma Islam?

Sejak kasus pengajian Talangsari Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu dasawarsa kemudian tidak
pernah muncul ke permukaan.

Artinya, penumpasan gerakan radikal Talangsari yang dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau
mereka yang pernah menjadi anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar– ternyata cukup efektif
mengamankan wilayah Indonesia dari aksi serupa setidaknya untuk masa sekitar satu dasawarsa ke
depan.

Faktanya, Komnas HAM & Kontras Terus Melestarikan Citra Buruk Kepada Islam

Menjaga keutuhan NKRI lebih penting dibandingkan dengan segalanya, termasuk adanya kemungkinan
kesalahan teknis di dalam penanganan gerakan radikal dalam bentuk apapun juga. Hal inilah yang
seharusnya dipahami oleh para pegiat HAM. Jangan hanya mencari-cari kesalahan teknis dari upaya
konstruktif mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman perbuatan radikal, dengan alasan HAM.

Kami para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus terang mengakui,
bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah
perlawanan terhadap negara kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu
yang waktu itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai lembaran masa
lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan menyakitkan.

Para pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa kasus Talangsari tak perlu diungkit meski
dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang
yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana
menyikapi hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang
penuh kegetiran.

Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana


menyikapi hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya
diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.

Kontras, Agen Spin Doctor?

Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra
buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.

Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja


ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa
Islam selalu dekat dengan radikalisme.

Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang
radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini.

Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari
umat Islam yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada

7
sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga
yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami
tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.

Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru
memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga
yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-
hidupkan kasus masa lalu

Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada
umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta
orang).

Namun karena ulah yang segelintir ini umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda
(stigma) ini yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?

Namun, Komnas HAM Membela Pelaku Makar?

Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya dan mantan Wakil Ketua
DPR RI yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Komunikasi Punawirawan TNI/Polri pernah
mengatakan, kepentingan politis di balik upaya pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM
lebih kental dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat Merdeka, 6 Maret 2008).

Tidak hanya Saiful Sulun, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Fadillah, yang juga pernah menjadi
bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar pernah mengatakan, “…kami merasa direndahkan, jika
kasus Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM.” Pernyataan itu disampaikan Fadillah saat
diwawancarai harian Rakyat Merdeka 16 Juli 2007.

Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini pejuang. Kasus Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi
perang antara aparat pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan hukum Islam
dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami berkeyakinan, mati adalah syahid, kalau ditawan
adalah ujian. Tidak ada kata-kata pelanggaran. Mana ada aktivis DI yang teriak-teriak minta pengusutan
pelanggaran HAM termasuk minta kompensasi, tidak ada karena memang itulah prinsip utamanya kita
berjuang.”

FADHILLAH

Upaya Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, menurut
Fadillah itu merupakan kebijakan yang tidak perlu. Karena, menurut Fadillah, “…saya dan teman-teman
sudah tentram, nggak mau diributkan. Komnas HAM nggak perlu repot-repot memulihkan nama baik
saya, karena saya sendiri bisa menyelesaikannya. Saya juga heran, bukankah Komnas HAM sudah
menutup kasus ini karena tidak ditemukan ada pelanggaran HAM.

Kenapa sekarang dibuka lagi? Kita nggak mau kasus Talangsari


dijadikan komoditas politik. Kalau ini yang terjadi, saya khawatir,

8
Komnas HAM yang merupakan lembaga terhormat akan menjadi
kurang berbobot.”

Penilaian Fadillah terhadap Komnas HAM nampaknya memang beralasan, karena dalam prakteknya
Komnas HAM telah menjadikan korban dan saksi gadungan sebagai narasumber penyelidikannya.
Sebagaimana dikatakan Sudarsono, mantan pelaku kasus Talangsari, saksi-saksi yang dimintai
keterangan Komnas HAM itu ngawur dan direkayasa. Sebab, orang-orang yang dimintai keterangan
banyak yang tidak pernah terlibat dan (tidak) mengetahui kejadian sebenarnya. Mereka, menurut
Sudarsono, adalah anak-anak mantan pejuang Talangsari dan anak-anak petani yang tidak mengerti
sejarah perjuangan NII sama sekali.

Upaya Komnas HAM kala itu (2007) untuk mengungkap kembali kasus Talangsari dinilai Fadilah dan
Sudarsono sebagai langkah yang mengherankan, mengingat di tahun 2000, BN Marbun SH yang kala itu
dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas HAM pernah melayangkan
sepucuk surat kepada Fauzi Isman. Surat bertanggal 26 April 2000 itu justru meminta agar Fauzi kembali
berkoordinasi dengan teman-temannya yang pernah sama-sama menempuh jalur islah untuk kasus
Talangsari.

Surat BN Marbun kepada Fauzi Isman selaku aktivis Koramil (Korban Kekerasan Militer) yang saat itu
beralamat di jalan Cipinang Cempedak IV No. 5 Jakarta, merupakan balasan atas pengaduan Fauzi
Isman pada 20 Maret 2000 tentang kasus Talangsari. Pengaduan Fauzi Isman itu kemudian mendapat
perlawanan dari Sudarsono yang bersama-sama Fauzi pernah mencanangkan Gerakan Islah Nasional.

Ketika sebagian pelaku kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, Fauzi Isman telah lebih
dulu menggulirkan dan menggerakkan konsep islah. Bahkan dari ishlah yang digulirkannya itu, Fauzi
banyak memperoleh keuntungan materi. Setelah cukup banyak menggerogoti Hendropriyono, dorongan
sifat tamaknya mulai menonjol. Maka, ia berbalik arah melawan konsep islah yang pernah ia gulirkan
sendiri bersama Sudarsono dan Nur Hidayat.

Koramil berdiri tahun 1998, dengan Nur Hidayat sebagai koordinatornya, sebelum akhirnya Koramil
dikomandoi Fauzi. Salah satu kegiatan Koramil adalah menemui Komnas HAM untuk mengungkap kasus
Talangsari.

Mereka inilah yang mendorong-dorong Komnas HAM mengusut kasus Talangsari. Padahal sebelumnya
mereka juga yang menggulirkan konsep ishlah ketika pelaku kasus Talangsari masih mendekam di
Nusakambangan. Bila Komnas HAM dan juga Kontras mau mengusut kasus Talangsari berdasarkan
pengaduan para petualang politik yang mengatasnamakan agama, betapa tidak profesionalnya Komnas
HAM, betapa tidak profesionalnya Kontras. Betapa tidak berbobotnya Komnas HAM, betapa tidak
berbobotnya Kontras.

Sebab, Komnas HAM dan Kontras didorong-dorong mengungkap kasus Talangsari, yang dimotori oleh
oknum tadi sebagai penyebabnya. Kemudian ketika aparat menghabisi gerakan radikal Talangsari,
oknum tadi tidak ikut berdarah-darah di Talangsari, tetapi tetap berada d Jakarta. Ketika pelaku
Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, oknum tadi justru merangkai gerakan islah. Ketika sifat
tamaknya tidak dapat tersalurkan dengan baik, maka mereka pun kembali meminta kasus Talangsari
diungkap. Betapa bodohnya Komnas HAM dan Kontras mau mengikuti oknum berjiwa labil yang hanya
menuruti hawa nafsunya sendiri, namun mengatasnamakan agama tertentu.

9
Kasus Talangsari adalah serpihan gerakan Darul Islam (DI/TII). Kalau kasus Talangsari (1989) yang
tergolong makar dapat diungkap kembali atas nama HAM, maka pemberantasan gerakan DI/TII di masa
lampau (1960-an) pun dapat diungkap kembali atas nama HAM. Begitu juga dengan kasus makar
lainnya, dapat diungkap lagi atas nama HAM. Apakah ini yang diinginkan Komnas HAM? Padahal, makar
adalah gerakan melawan negara.

Sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara, Komnas HAM
seharusnya berpihak kepada kepentingan negara, bukan kepada sekelompok orang yang jelas-jelas
menurut pengakuannya sendiri telah bermaksud melawan negara.

10
Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah
Talangsari

Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah


Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, dari sejumlah nama
yang terlibat kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus Talangsari, beberapa di
antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang bingung. Mereka antara lain Azwar Kaili dan
Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman. Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso dan
Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-
dan-komnas-ham-04/)

Azwar Kaili
Keterkaitan Azwar Kaili dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ia merupakan
simpatisan anggota jama’ah pengajian yang diselengggarakan oleh Abdullah alias Dulah dan Pak
Sediono. Abdullah alias Dulah merupakan anak buah Warsidi, dan mantan aktivis Gerakan Usroh
Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak hanya Azwar Kaili yang aktif mengikuti pengajian-pengajian yang
diselenggarakan Abdullah, juga Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga anak kandungnya masing-masing
bernama Iwan, Haris, dan Ujang.

Kedua, melalui sosok Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7 Februari 1989). Azwar
mengeksploitasi almarhum Warsito untuk ‘memeras’ Hendropriyono. Almarhum Warsito diposisikan
sebagai korban. Padahal, meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai
calon Mujahid. Akibat binaan Abdullah, Warsito dan beberapa teman sebayanya menjadi sosok yang
militan. Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota
jama’ah sekurangnya sejak tahun 1988.

Keberangkatan Warsito ke Cihideung bukan sekedar mau nyantri, tetapi memang untuk mati syahid,
dalam sebuah peperangan yang sudah direncanakan oleh komunitas Warsidi dan sejumlah muhajirin dari
Jawa. Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama Zulkarnaen dan Zulfikar (anak
Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak Zamzuri), pamitan kepada orangtua masing-masing untuk
berjihad ke Talangsari.

Menurut ingatan Zulfikar, sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, Warsito menyampaikan
sebuah pesan kepada adiknya agar merawat ayam-ayam peliharaan miliknya. Pesan itu –yang kemudian
menjadi pesan terakhir Warsito, berbunyi: “… seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…”
Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang sudah siap mati syahid, karena kepergiannya ke Talangsari
semata-mata untuk berperang dalam rangka jihad.

Namun, oleh Azwar Kaili, kematian Warsito dimanfaatkan untuk menarik keuntungan materiel. Pada
program Buser Petang di SCTV yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-File yang
tayang 22 September 2003, Azwar Kaili mengaku-ngaku sebagai korban kasus Talangsari. Padahal ia
bukan korban. Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan, tapi bukan karena terlibat kasus
Talangsari. Melainkan, untuk kasus semacam praktek ilegal sebagai mantri.

11
Kasus Azwar itu bersamaan dengan kasus penangkapan jama’ah Warsidi. Ketika itu, hampir seluruh
anggota pengajian yang diselenggarakan Abdullah dan Pak Sediono ditangkap dan ditahan, namun
dilepaskan kembali setelah dipastikan tidak ada keterkaitan dengan kasus Talangsari. Kepada Abdul
Syukur (penulis buku Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989), Azwar mengaku ia ditahan
selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan
pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri.

Berkenaan dengan Warsito, Azwar Kaili mengatakan bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah
untuk nyantri, dengan berbekal uang seribu rupiah dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak
Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).

Azwar Kali juga mengatakan, rumah dan sejumlah harta bendanya yang dikumpulkannya sejak masih
bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Peristiwa pembakaran itu terjadi ketika ia
sedang memenuhi panggilan Danramil. Pernyataan tersebut, setahu kami tidak benar. Karena, meski
terjadi penangkapan dan penahanan atas diri Azwar Kaili, namun tidak ada pembakaran dan
perampokan terhadap harta bendanya.

Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV

Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV kala itu, karena ia merasa dikecewakan oleh Hendropriyono.
Sekitar September 2002, Azwar Kaili menyampaikan maksudnya kepada Sukardi (salah seorang pelaku
kasus Talangsari) untuk bertemu dengan Hendropriyono, dengan maksud untuk mendapatkan
kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan dengan kasus Talangsari.

Permintaan itu tidak dapat terwujud, karena saat itu Hendropriyono sedang bertugas ke luar negeri.
Maka, Azwar Kaili pun memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu bulan tidak bisa
dipertemukan dengan Hendropriyono maka ia akan mengajukan tuntutan. Lalu muncullah testimoni
dustanya di SCTV.

Dua anak Azwar Kaili yang dulu ikut pengajian Abdullah, Haris dan Ujang, belakangan hari tersandung
tindak kriminal. Keduanya ditangkap aparat kepolisian karena menjadi penadah sepeda motor curian
di Lampung.

Meski cuma menempuh pendidikan sampai kelas tiga SMP, Azwar Kaili pada masa itu dikenal sebagai
tenaga kesehatan (mantri swasta) yang merangkap sebagai penjual obat. Keterampilan sebagai mantri
kesehatan termasuk suntik-menyuntik dan pengobatan, diperolehnya melalui seorang mantri kesehatan
yang di desa Sidorejo.

Nasib baik rupanya berpihak kepada Azwar Kaili, sehingga kiprahnya sebagai mantri kesehatan kian
berkembang. Apalagi Azwar beristrikan seorag bidan, sehingga mendongkrak tingkat kepercayaan
masyarakat sekitar terhadap kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan. Lebih jauh, Azwar dan istrinya
mendirikan klinik kesehatan dan bersalin. Kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan semakin diterima
masyarakat karena ia tidak pasang tarif resmi, tetapi disesuaikan dengan kemampuan pasien.

Sebenarnya masyarakat sudah mulai tahu bahwa praktek Azwar Kaili sebagai mantri kesehatan
tergolong ilegal. Namun karena selama ini tidak terjadi masalah, dan tidak ada patokan tarif, maka
terjadilah proses pembiaran yang berlangsung lama. Apalagi Azwar bertutur kata lembut dan termasuk
orang lama di Sidorejo.

12
Namun demikian, sejumlah mantri kesehatan di kawasan itu merasa bertanggung jawab terhadap etika
profesi dan keselamatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan, karena Azwar Kaili bukan mantri
kesehatan yang berlisensi. Akhirnya, didorong oleh rasa tanggung jawab itu sejumlah tenaga kesehatan
di sana melaporkan kiprah Azwar ke Kecamatan.

Akhirnya, Azwar Kaili diperiksa pihak Kecamatan, kemudian dipersilakan pulang, setelah pemeriksaan
dianggap cukup. Ketika Azwar pulang, pecah kasus Sidorejo yang merupakan bagian dari kasus
Talangsari (7 Februari 1989). Menurut keterangan dari Zamzuri, ketika itu istri Azwar ikut aktif menangani
korban luka yang tergeletak di depan rumah Zamzuri. Oleh para mantri kesehatan yang sebelumnya
sudah tidak berkenan dengan kiprah Azwar Kaili, maka peristiwa itu dijadikan alasan untuk melaporkan
keterlibatan Azwar di dalam kasus Sidorejo. Maka, Azwar pun akhirnya ikut dibawa ke kantor Korem
Garuda Hitam.

Setiba di kantor Korem Azwar Kaili mendapati sejumlah orang yang selama ini dikenalnya, seperti
Sugeng Yulianto (salah seorang jama’ah Warsidi) sedang diperiksa pihak aparat. Selain Sugeng, Azwar
Kalili juga mendapati Zamzuri sedang diperiksa aparat. Berdasarkan keterangan dari Zamzuri bahwa
Azwar tidak tahu menahu dan tidak terlibat kasus Sidorejo dan Talangsari, maka pihak aparat Korem pun
membebaskannya.

Menurut Zamzuri kala itu, Azwar Kaili sama sekali tidak terlibat peristiwa Sidorejo dan Talangsari. Ketika
peristiwa itu terjadi, Azwar Kaili sedang menjalani pemeriksaan di kantor kecamatan sehubungan dengan
pengaduan Dahlan (mantri kesehatan setempat), yang melaporkan praktek ilegal yang dilakukan Azwar
Kaili. Rumah Azwar Kaili juga tidak terbakar atau dibakar, tetapi dijarah dan dirusak massa yang marah
pasca terbunuhnya Lurah Arifin Santoso dan Kapospol Serma Sudargo di rumah Zamzuri yang
berdekatan dengan rumah Azwar Kaili.

Di era reformasi, ketika kebebasan berekepsresi terbuka lebar, maka sejumlah LSM seperti Kontras dan
Komite Smalam, memanfaatkan kondisi ini untuk mencari-cari celah berkiprah dengan cara mengungkap
kasus masa lalu seperti kasus Talangsari. Media massa ikut meramaikan kiprah Kontras dan Smalam.
Azwar berada dalam putaran arus kebebasan berekspresi ini. Maka, Azwar Kaili pun mendatangi Kontras
dan SMALAM seraya membawa pernyataan bahwa dia adalah salah satu korban kasus Talangsari.

Gayung pun bersambut. Kontras dan Komite Smalam menjadikan Azwar sebagai dasar berpijak
mengajukan tuntutan. Azwar ditampilkan seolah-olah merupakan korban kasus Talangsari yang telah
mengalami penyiksaan luar biasa. Kontras dan Komite Smalam telah menjadikan korban palsu sebagai
dasar berpijak. Dasar berpijak yang rapuh, yang hanya membuat Kontras dan Komite Smalam terperosok
ke kubangan penuh dusta dan sandiwara.

Padahal, sebagaimana keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum Arifin Santoso (Lurah Sidorejo)
yang gugur dalam kasus Sidorejo, Azwar Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi korban peristiwa Sidorejo.
Ketika kasus Sidorejo terjadi, Azwar Kaili tidak ada di rumah maupun di lokasi kejadian. Meski demikian
Azwar beberapa kali menerima uang ‘duka’ dari Hendropriyono karena seorang anak angkatnya, Warsito,
konon tewas di Talangsari.

Jayus alias Dayat bin Karmo


Dalam kasus Talangsari, Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan diposisikan sebagai orang kedua
setelah Warsidi. Berkat kedermawanan Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki lahan seluas satu

13
setengah hektare. Tanah itu dihibahkan Jayus kepada Warsidi dengan tujuan jelas, membangun
komunitas Islami di Cihideung.

Semula, dukuh Cihideung hanya dihuni oleh keluarga Warsidi dan keluarga Jayus, serta beberapa
kerabat dekat mereka. Cihideung yang semula sepi kemudian berubah menjadi pedukuhan yang ramai,
setelah dihuni para muhajirin dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) yang sengaja hijrah ke cihideung
dengan membawa anggota keluarga masing-masing.

Ketika itu, jilbab masih terlihat aneh di mata orang kebanyakan. Sedangkan muslimah yang datang dari
Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) itu termasuk yang aktif mengenakan busana muslimah dengan gamis
lebar dan kerudung lebar. Masyarakat sekitar tidak hanya memandangnya dengan rasa aneh, tetapi juga
memendam kecurigaan. Sejumput kecurigaan yang ada di dalam benak masyarakat kian membesar
ketika Warsidi sebagai pimpinan komunitas sama sekali tidak melaporkan kedatangan para muhajirin dan
keluarganya itu kepada aparat desa terdekat. Akhirnya, dilandasi kecurigaan yang kian membuncah,
masyarakat sekitar pun melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat desa.

Kian hari masyarakat sekitar kian curiga. Bahkan beredar isu negatif tentang sepak-terjang komunitas
Warsidi. Dalam rangka merespon isu negatif itu, maka Jayus bersama sejumlah jama’ah Warsidi lainnya
mendatangi rumah Sukidi Haryono (Kepala Dusun Talangsari III). Jayus dan kawan-kawan mendatangi
Sukidi dengan berbekal senjata berupa parang, seraya mengancam Sukidi agar tidak bertindak yang
dapat merugikan jama’ah Warsidi, misalnya melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak
aparat keamanan.

Menurut kesaksian Sukidi, beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus (awal Februari 1989)
silam, sejumlah anggota jama’ah Warsidi menebar ancaman akan membunuh dirinya yang dianggap
telah membocorkan semua kegiatan jama’ah Warsidi kepada pemerintah. Mereka, antara lain Jayus,
Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang kala itu baru berusia 16 tahun).

Setelah peristiwa itu, menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri warganya, bahwa ia akan dibunuh
oleh Jama’ah Warsidi. Isu itu sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi dan keluarganya
mengungsi ke rumah Kades Amir Puspamega. Situasi kian memanas, karena jama’ah Warsidi melarang
warga melakukan rodan dan menyalakan senter. Warga pun resah. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-
hal yang tidak dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan dan Kopda Abdurahman melakukan ronda
malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal tanggal 5 Februari 1989 malam).

Saat ronda, mereka memergoki lima orang tak dikenal sedang berjaga-jaga di pos masing-masing sambil
membawa senjata berupa pedang dan panah. Mengetahui itu mereka lalu meringkus kelima orang
tersebut, yang ternyata anggota Jama’ah Warsidi. Kelimanya kemudian dibawa ke Koramil Way Jepara.

Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan negara
Islam, dengan menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan. Dihibahkannya tanah seluas
satu setengah hektare merupakan bukti kongkrit keseriusan Jayus dalam hal ini.

Pada tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Komite
Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang diakunya
sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus
Talangsari. Padahal, sebelumnya, pada tahun 2000, pada forum ishlah nasional yang berlangsung di
Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari
sebagai koordinator umum Gerakan Islah Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan

14
dan alasan yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari untuk
menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus Talangsari; disamping untuk menjalin
perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku dan aparat beserta keluarganya masing-masing.

Jayus sejak saat itu nampaknya sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif
komersial. Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat.
Dulu, Hendropriyonopernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah
miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega. Permintaan itu
dipenuhi, dan Jayus sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun.

Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan,
ia hanya menjalani masa penahanan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah
almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan
menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha melarikan diri ke Jakarta
melalui Bakauheni. Berkat informasi dari Jayus, banyak jama’ah Warsidi yang berhasil ditangkap aparat.
Karena telah berjasa, maka aparat Korem memperlakukan Jayus sebagai tahanan sangat istimewa
dibandingkan dengan perlakuan aparat terhadap jama’ah Warsidi lainnya.

Karena menjalani hukuman paling ringan, maka Jayus sudah menghirup udara bebas ketika sebagian
besar jama’ah Warsidi yang tertangkap masih meringkuk di dalam tahanan. Para napol kasus Talangsari
serendah-rendahnya divonis 10 tahun, sebagian lainnya bahkan divonis seumur hidup.

Karena bebas lebih dulu, Jayus mempunyai peluang untuk mengeksploitasi narapidana kasus Talangsari
yang masih mendekam di tahanan. Jayus menjual nama-nama korban dan narapidana kasus Talangsari
ke berbagai organisasi atau kepada perseorangan yang menaruh simpati. Dengan dalih mengumpulkan
dana untuk membantu para jama’ah Warsidi yang masih berada di dalam penjara. Jayus meraih
keuntungan dari kasus Talangsari.

Begitu juga ketika sebagian narapidana kasus Talangsari masih berada di tahanan, Jayus termasuk yang
merintis islah dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah itu. Bahkan Jayus
sempat diberi kepercayaan untuk mengkoordinir gerakan islah bagi para jama’ah Warsidi di Talangsari
Lampung. Padahal, jama’ah yang dimaksud itu sebenarnya anggota keluarga dan kerabat Jayus sendiri
yang belum tentu terlibat dalam kasus Talangsari. Ketika menghadap LBH, yang dibawa Jayus juga
anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, yang diakui sebagai korban kasus Talangsari. Sebagai mantan
pelaku kriminal, naluri kriminal Jayus rupanya tetap hidup, meski ia bertahun-tahun menjadi jama’ah
Warsidi.

Terbukti, di kemudian hari ia berbalik arah melawan konsep islah yang ia rintis. Jayus nampak seperti
orang bingung. Faktanya, hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh
keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di
Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang
setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena punya motif komersial.

Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang
sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut
dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus
untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah
mengkhianati keluarga korban dan anggota keluarganya sendiri.

15
Meski Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Namun ia mampu membujuk
sejumlah orang untuk mengaku sebagai mantan anggota Jamaah, untuk dibawa menghadap LBH
Lampung. Padahal, orang-orang yang dibawanya itu, tak lain merupakan anggota keluarga Jayus sendiri,
yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya,
Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.

Mengapa Jayus mencla-mencle? Motifnya jelas urusan fulus. Ketika proses islah berada dalam proses
awal, Jayus telah mengajukan permintaan sejumlah uang kepada Hendropriyono, untuk dibagi-bagikan
kepada (katanya) korban Talangsari. Dana yang diminta Jayus sebesar sepuluh juta rupiah per orang,
dengan alasan dana itu akan digunakan sebagai modal usaha para korban dan keluarga korban
Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar belakng Jayus, menolak permohon
dana sebesar itu, karena beraroma pemerasan.

Rupanya Jayus kecewa karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun mengkhianati kesepakatan islah
yang sudah disepakati sebelumnya. Di luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta selalu
menghalanginya bertemu dengan Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan oleh Kontras dan
Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan mengungkap kembali kasus Talangsari.

Untuk meyakinkan Kontras, Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk bergabung
bersamanya mengajukan tuntutan ke Kantor Komnas HAM. Agar warga Talangsari tertarik, Jayus
mengumbar janji akan memberikan sejumlah uang kepada mereka yang bersedia ikut ke Jakarta. Tipu-
muslihat Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari sudah enggan dan tak sudi mengenang masa lalu
yang getir. Akibatnya, Jayus hanya berhasil membawa lima warga asli Talangsari untuk dibawa menuju
Jakarta.

Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk
ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban Talangsari. Tipu-daya
licik Jayus itu ternyata membuat marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun melayangkan sepucuk
surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah Nasional). Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa
warga bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas HAM di Jakarta.

Jayus tidak sekedar membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa Suroso yang domisilinya
berdekatan dengan tempat kejadian. Kelebihan Suroso, ia pandai bicara dan lebih cerdas dibanding para
korban Talangsari palsu lainnya. Bila Suroso bisa diperalat Jayus, Sukidi tidak demikian. Melalui Joko,
Jayus berusaha membujuk Sukidi (mantan Kadus Talangsari III) menjadi fasilitator pertemuan antara
Jayus dan Hendropriyono, namun tidak berhasil.

Sayang, Pak Sukidi tidak sudi karena menilai Jayus hanya memperalat dirinya dan kasus Talangsari bagi
kepentingan Jayus pribadi. (Keterangan langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus Talangsari).

Pada tahun 2002, sekitar bulan September, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Sukardi, berkunjung
ke Lampung, antara lain bersilarturahmi ke kediaman Azwar Kaili di Sidorejo. Tak berapa lama, datang
pula Jayus dan Suroso. Karena menganggap Sukardi orangnya pak Hendro, Jayus langsung menebar
ancaman, bahwa pak Azwar akan diajaknya ke kantor Komite Smalam dan kantor LBH Lampung untuk
melaporkan penemuan barunya berkaitan dengan kasus Talangsari. Ternyata, itu hanya sebuah gertak
sambal. Sebab intinya, Jayus dan Azwar Kaili minta dipertemukan dengan Hendropriyono. Apabila
pertemuan itu bisa terjadi, maka mereka akan menghentikan segala tuntutan terhadap kasus Lampung,
mencabut pula tuntutan Kontras dan Komite Smalam. Sebaliknya, bila dalam waktu satu bulan tidak ada
konfirmasi positif, maka mereka akan terus melakukan tuntutan terhadap kasus Lampung bersama

16
Kontras dan Komite Smalam. Rupanya, bukan hanya Purwoko dan Suroso yang berhasil diperalat Jayus,
juga Kontras dan Komite Smalam.

Pada kesempatan itu, Sukardi juga berusaha bertemu dengan sejumlah orang yang ditenteng-tenteng
Jayus menghadap LBH, dan diakui sebagai korban kasus Talangsari. Mereka adalah Gono, Sutris, Cipto,
Paimun, Budi Santoso, Mardi, Surip dan Kasman. Ternyata, tidak satu pun dari mereka yang dikenal
Sukardi. Mereka memang bersedia dilibatkan dalam “proyek” yang direkayasa Jayus, untuk
mendapatkan sesuatu sesuai dengan janji yang pernah diumbar Jayus.

Begitulah kenyataannya. Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal, dulu ia bercita-cita mendirikan
negara Islam, mendirikan Islamic Village di Cihideung.

Sugeng Yulianto
Sugeng Yulianto merupakan salah satu anggota pasukan khusus yang terlibat di dalam episode
pembajakan bus “Wasis” dalam rangkaian kasus Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana seumur
hidup. Lulusan STM ini, dalam drama pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai sopir, dan merupakan
salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang ditugaskan oleh imamnya untuk
membuat kekacauan di Bandar Lampung, sebagai upaya mengalihkan perhatian petugas.

Pria kelahiran Solo tahun 1959 ini, merupakan anggota Jama’ah Warsidi khususnya di cabang Sidorejo
pimpinan Pak Sediono. Ia menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi didorong oleh kesadarannya sendiri.

Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang No. 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989, dijatuhi pidana penjara
selama seumur hidup. Namun berkat dorongan kawan-kawan dan perjuangan Hendropriyono yang kala
itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH, maka Presiden Habibie memberikan grasi kepada
napol kasus Talangsari melalui Kepres Nomor: 101/0 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1999.

Perjuangan Hendropriyono membebaskan napol kasus Talangsari bisa dilihat melalui surat no. R-
028/Mentras/08/1998 tanggal 21 Agustus 1998. Isinya, Menteri Transmigrasi dan PPH memohonkan
percepatan pembebasan Napol Korban Peristiwa Lampung kepada Presiden Republik Indonesia.

Selain melalui surat, Hendropriyono juga melobi langsung Jaksa Agung RI, yang waktu itu jabat oleh
Mayjen AM. Ghalib, Menteri Kehakiman Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua MA, Sarwata.
Hasilnya, Jaksa Agung RI melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23 September 1998 turut
menyarankan kepada Presiden untuk menyetujui permohonan Menteri Transmigrasi dan PPH perihal
amnesti. Napol peristiwa Lampung atas nama Fauzi dkk.

Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung, melalui suratnya No: R-311/ M.
Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober 1998 berkirim surat kepada Menko Polkam, Menteri Kehakiman,
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang petunjuk Presiden agar usul
pemberian rehabilitasi kepada eks Napol peristiwa lampung atas nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.

Ketika kasus Talangsari terjadi (Februari 1989), usia Sugeng Yulianto sudah memasuki angka 30. Ia
bukan anak-anak lagi. Sehingga, keterlibatannya menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi merupakan
keputusan yang dapat dipertanggung jawabkannya.

17
Alasan yang mendasari Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di Sidorejo, karena tertarik oleh
bujukan Soleh, kawannya, yang mengatakan bahwa di Lampung selain mudah mencari nafkah, juga
dapat menjalankan ajaran Islam dengan lebih baik. Namun di dalam persidangan, Sugeng Yulianto
pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan orang-orang yang melakukan huru-hara di
Tanjungkarang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi. Bila tidak mau, dirinya akan dibunuh.

Tardi Nurdiansyah
Meski usianya masih belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989), namun Tardi merupakan salah satu
jama’ah Warsidi yang tergolong militan. Ia juga ikut ke dalam rombongan yang melakukan ancaman dan
teror kepada Sukidi Haryono (Kadus Talangsari III). Tardi Nurdiansyah yang lahir di Karanganyar (Jawa
Tengah) dan pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini,
merupakan salah satu dari sebelas orang yang ditugaskan Warsidi membebaskan kawan-kawan mereka
yang ditangkap aparat Koramil.

Sejak masih di Jakarta, Tardi sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh pelaku kasus Talangsari. Bahkan
sosok Warsidi sudah dikenalnya dengan baik sebelum pecah kasus Talangsari. Keakrabannya dengan
Warsidi membuat Tardi memutuskan untuk hijrah ke Lampung. Apalagi, di Cihideng ada kakaknya yang
sudah lebih dulu berdiam di sana. Di Cihideng Tardi merasakan suasana yang sama dengan Ponpes
Ngruki tempat ia menempuh pendidikan. Berbekal pendidikan di ponpes Ngruki, Tardi pun mengamalkan
ilmunya, mengajar mengaji bagi orang-orang di sekitar itu.

Dalam pandangan Tardi, kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi, adalah gerakan untuk
membangun masyarakat dengan suasana Islam, dan tidak ada maksud untuk melakukan
pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas Warsidi dan pengajiannya adalah untuk menapat ridho Allah
(mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam, meski pengetahuan agama Warsidi belum
sehebat ulama di Solo yang pernah dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya yang eksklusif
mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Tardi juga berpendapat, kasus Talangsari bukan sesuatu yang direncanakan, tetapi hanya insiden atau
musibah saja, sebagai akibat dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi dengan aparat desa
(pemerintah) dan warga sekitar. Menurut pengakuan Tardi, pada saat kejadian, dia sedang berada di
Rajabasalama dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung untuk menemui kakaknya. Namun ketika
sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Padahal sebenarnya, ia anggota
pasukan khusus yang mengemban tugas membebaskan lima Jama’ah Warsidi yang ditahan aparat.
Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas dipecah tiga. Tardi satu kelompok dengan Fadilah, berada di
kelompok kedua.

Sebagaimana Sugeng Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri


Tanjungkarang Nomor 1027 Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana penjara
selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara bebas di masa Presiden Habibie, bersama sejumlah
napol kasus Talangsari lainnya.

Pengakuan Tardi yang cenderung apologis itu ada kalanya dijadikan dasar bertindak bagi LSM tertentu
untuk memposisikan kasus Talangsari sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Sikap Tardi bisa
dimaklumi, karena ketika kasus Talangsari terjadi, ia masih berusia belasan, namun harus menerima
vonis 17 tahun, di Nusakambangan pula.

18
Yang tidak bisa dimengerti adalah sikap Jayus alias Dayat bin Karmo, yang menjadi orang kedua setelah
Warsidi di komunitas Cihideung. Ia menerima vonis yang ringan, meski pernah terlibat mengancam
aparat dusun. Bahkan ketika sebagian besar jama’ah Warsidi dalam gundah gulana di dalam pelarian,
Jayus justru sudah menjadi bagian dari aparat yang ketika itu gencar menangkapi jama’ah Warsidi. Tentu
aneh jika di masa-masa tenang, dan mereka yang terlibat kasus Talangsari berusaha kuat melupakan
masa lalunya yang getir, Jayus justru berusaha mengungkit kasus itu kembali, hanya semata-mata untuk
mendapatkan keutungan materiel.

Bahkan, lebih jauh, Jayus memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk memenuhi hajat kriminalnya. Ia
memperalat Suroso, tetangganya, dan Purwoko, kemenakannya.

Suroso dan Purwoko


Suroso sebenarnya sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun Sidorejo. Ketika kasus Talangsari
terjadi, usia Suroso baru sebelas tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu menahu soal kasus Talangsari.
Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Kebetulan, kediaman orangtua Suroso tidak jauh dari tempat
kejadian. Meski berdekatan dengan lokasi kejadian, Suroso dan orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah
Warsidi, dan tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas Jama’ah Warsidi. Namun demikian, orangtua
Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan Warsidi yang menjadi tetangganya.

Karena bertetangga dengan Warsidi, maka pada saat terjadinya kasus Talangsari, rumah orangtua
Suroso dirusak dan dijarah oleh penduduk sekitar, akibat salah sangka. Warga sekitar menduga,
keluarga orangtua Suroso merupakan salah satu provokator terjadinya kasus Talangsari.

Terjadinya perusakan sekaligus penjarahan terhadap rumah orangtua Suroso, karena sepengetahuan
warga, keluarga Suroso dikenal sebagai mantan anggota parpol terlarang (PKI). Warga juga menilai,
kedekatan keluarga orangtua Suroso dengan Warsidi membuat mereka memposisikan keluarga orangtua
Suroso sebagai musuh bersama. Apalagi, ketika itu, emosi warga belum sepenuhnya terlampiaskan,
sehingga pelampiasan disalurkan kepada keluarga orangtua Suroso.

Nama dan sosok Suroso yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan kasus Talangsari, tiba-tiba
menyeruak begitu saja berkat peran Jayus yang melibatkannya dalam sebuah aksi bersama Komite
Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Dalam momen ini, Suroso yang
pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru bicara oleh Jayus. Suroso mau diperalat Jayus karena
diiming-imingi imbalan (materi).

Selain Suroso, yang juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya sendiri. Ayah Purwoko
bernama Supardi, merupakan salah satu korban tewas pada kasus Talangsari (Februari 1989). Kepada
Radar Solo beberapa tahun lalu, ia pernah mengakui bahwa dirinya masih berusia 11 tahun ketika kasus
itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan salah seorang yang memposisikan dirinya sebagai korban
(dan keluarga korban) yang menyepakati proses islah yang digagas Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia
ikut islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya. Belakangan, Jayus pula yang menenteng-
nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin persekongkolan dengan Komite Smalam dan Kontras
untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.

Pada tanggal 6 Februari 1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah Marsudi, Purwoko sedang
berada di lokasi Cihideung. Namun pasca tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa orangtuanya

19
ngungsi ke rumah Jayus, pamannya. Rumah Jayus berdekatan dengan pondok. Sementara itu, ayah
Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan yang sudah direncanakan.

Ketika aparat Korem Garuda Hitam menyerbu Cihideng (7 Februari 1989), Purwoko sedang bersiap-siap
untuk shalat Subuh. Ketika itu, Purwoko mendengar bunyi rentetan tembakan senapan tentara
berkumandang dari arah selatan Dusun Talangsari. Warga berhamburan ke luar rumah untuk melihat
apa yang terjadi. Keinhinan serupa juga ada di dalam hati Purwoko, namun sang ibu (Saudah), menyuruh
Purwoko dan kedua adiknya untuk bersembunyi di kolong tempat tidur.

Saat itu, di rumah Jayus, ada sekitar 13 wanita dan anak-anak (termasuk Purwoko) yang bersembunyi.
Tak berapa lama, Purwoko mendengar suara Muhamad Ali alias Alex yang berteriak memanggil mereka
yang sembunyi agar keluar, karena rumah akan dibakar tentara. Dalam hitungan menit, Purwoko dan
keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah itu, Purwoko dan keluarga digiring ke halaman sebuah
rumah yang berjarak 100 meter arah timur pondok. Di tempat itu, telah berkumpul puluhan wanita, anak-
anak, serta orang tua.

Karena Jayus merupakan orang penting, maka ia dicari-cari tentara. Ketika itu, tentara menduga Jayus
sudah mati tertembak. Padahal, Jayus bersembunyi di suatu tempat. Karena Purwoko dianggap dapat
mengenali sosok Jayus, tentara pun membawa Purwoko untuk mengenali sejumlah jasad korban. Namun
jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko justru menemukan jasad Supardi, ayah kandungnya.

Tak berapa lama kemudian, karena (jasad) Jayus tidak ditemukan, Purwoko dan keluarga dibawa ke
Markas Komando Resor Militer (Korem) 043 Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia bertemu Jayus,
pamannya, yang ternyata masih hidup. Selang sehari kemudian, Purwoko, adik-adiknya, dan ibunya
dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim Piatu Lempasing Padang Cermai. Di tempat itu, ia
kembali bertemu dengan teman-teman dan tetangganya yang sebelumnya ikut digiring ke Makorem
Garuda Hitam.

Pada awal 1990, ibunya membawa mereka kembali ke Solo. Di sana, Purwoko dipercaya merawat rumah
kos milik seorang temannya di bilangan Sriwedari, Solo. Sejak 1997, Purwoko ke Jakarta untuk
menyelesaikan sekolah. Informasi terakhir, Purwoko sempat bekerja di toko besi di daerah Cemani,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Kalau Jayus benar-benar mati tertembak peluru tentara pada peristiwa Talangsari waktu itu, sudah pasti
Purwoko tidak akan memainkan peran yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus Talangsari dan
tampil di media massa untuk mengajukan tuntutan. Padahal, dulu, Jayus pula yang membawa-bawanya
untuk ikut proses islah.

Fauzi Isman dan Islah


Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, ISLAH
sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham mengapa islah
menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam sendiri. Belakangan, barulah ia tahu,
kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu sendiri, tetapi tokoh di balik proses
islah itu.

Sebagaimana diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan napol
kasus Talangsari) dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada peranan Drs. AMF dan Drs.

20
AYW yang sama sekali tidak terkait kasus Talangsari. Kedua tokoh ini di mata umat Islam, terutama
kalangan pergerakan Islam, dianggap bermasalah. Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius
sekaligus diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya. Apalagi, dari pihak pelaku kasus
Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara Fauzi Isman. Sosok ini terbukti juga
bermasalah.

Pada mulanya, gagasan islah sama sekali belum muncul. Hendropriyono dalam kapasitasnya sebagai
tokoh nasional yang kebetulan menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH ketika itu, berinisiatif
menjalin tali silaturahmi dengan para napol kasus Talangsari, korban, dan keluarganya. Drs. AMF diminta
bantuannya sebagai mediator. Belakangan, Drs. AMF mengajak serta Drs. AYW yang sebelum pecah
kongsi merupakan teman baik.

Undangan silaturahmi dari Hendropriyono yang dibawa oleh Drs. AMF kemudian disampaikan kepada
Fauzi Isman. Maka, terjadilah pertemuan (silaturahmi), antara Hendropriyono dengan sejumlah pelaku
kasus Talangsari seperti Fauzi Isman, Sudarsono, Sukardi, Maulana Abd Latif, dan sebagainya.
Pertemuan (silaturahmi) yang berlangsung sekitar awal Mei 1998 itu, berlangsung di kantor Departemen
Transmigrasi dan PPH. Pada kesempatan ini, Drs. AMF sebagai mediator turut hadir.

Ketika itu, Fauzi Isman memposisikan diri sebagai jurubicara. Salah satu usulannya adalah meminta
bantuan Hendropriyono untuk mengusahakan agar napol kasus Talangsari dibebaskan. Ketika itu, usulan
Fauzi Isman disambut baik oleh Hendropriyono. Namun demi memenuhi rasa keadilan, maka
Hendropriyono kala itu juga berinisiatif untuk mempertemukan antara pelaku kasus Talangsari, korban
kasus Talangsari dan keluarganya di satu pihak dengan para keluarga korban dari pihak aparat. Dari
sinilah muncul gagasan islah yang dicetuskan oleh Fauzi Isman.

Bahkan ketika itu, Drs. AMF selaku mediator juga mengusulkan agar pada pertemuan berikutnya
diundang juga KH Gani Maskur dari Bima (NTB). Usul tersebut disetujui, dan Drs. AMF dipercaya
mengatur kedatangan KH Gani Maskur dan lain-lainnya. Maka, pada bulan Juni 1998, terjadilah
pertemuan antara pelaku Talangsari, korban dan keluarganya baik dari pihak aparat maupun dari pihak
sipil.

Sukardi, yang sudah ikut silaturahmi sejak Mei 1998, belakangan berseberangan, dan bahkan bergabung
dengan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Hal itu bisa terjadi, karena antara Sukardi
dengan Fauzi Isman terjadi perbedaan pendapat. Barulah pada tahun 2002, Sukardi menyadari
kekeliruannya, dan kembali berislah secara pribadi dengan Hendropriyono, seraya meninggalkan
Kontras.

Hendropriyono sebenarnya menaruh kepercayaan yang begitu tinggi terhadap Fauzi Isman, untuk
mengurusi aspek kesejahteraan para jamaah Warsidi. Sayangnya kepercayaan itu disalahgunakan oleh
Fauzi. Ia menfaatkan itu untuk kepentingan pribadinya. Antara lain, Fauzi merekayasa sebuah proposal
yang ditujukannya kepada Hendropriyono, untuk mendapat kucuran dana mendirikan sebuah
perusahaan yang direncanakannya. Proposal itu dipenuhi Hendropriyono. Dana tiga ratus juta rupiah pun
mengalir ke kantong Fauzi Isman. Dana sebanyak itu bisa mengucur, berkat jaminan sertifikat rumah
Hendropriyono.

Namun, setelah dana mengucur dan perusahaan telah berdiri, ternyata Fauzi sama sekali tidak
memperhatikan nasib para jama’ah Warsidi. Beberapa orang jama’ah yang bekerja di perairan laut
Banten pada sebuah perahu pencari ikan tidak menerima gaji sebagaimana kesepakatan sebelumnya.

21
Arifin bin Karyam, yang bekerja di perahu ikan, tidak digaji selama tiga bulan oleh Fauzi, sementara itu
Fauzi Isman sulit sekali ditemui. Akhirnya Arifin bin Karyam meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke
Brebes, Jawa Tengah meski tidak membawa gaji yang menjadi haknya.

Bisnis Fauzi Isman di perairan laut Banten yang mempekerjakan beberapa orang jama’ah Warsidi
(termasuk Arifin bin Karyam), mengalami kerugian karena manajemen buruk dan Fauzi ingkar janji. Fauzi
juga dinilai tidak memiliki itikad baik untuk meningkatkan kesejahteraan jama’ah Warsidi seperti
diamanahkan Hendropriyono. Karena tidak mendapat keuntungan dari perusahaan yang didirikannya itu,
Fauzi Isman pun berkelit. Bahkan ia lari dari tanggung-jawab. Lebih jauh dari itu, Fauzi mengkhianati
gerakan islah yang dicetuskannya sendiri. Fauzi kemudian meminta dukungan Kontras dalam melakukan
serangan terhadap Hendropriyono, dengan alasan mengungkap kasus Talangsari yang dikatakannya
sebagai pelanggaran HAM.

Sebelumnya, Fauzi bersama Nur Hidayat mendirikan Koramil (Korban Kekerasan Militer). Lembaga ini
dibentuk lewat sebuah jumpa pers di Kantor LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) di Jakarta.
[hudzaifah/wikipedia/dbs/voa-islam.com]

22
Melawan Lupa (3): 'License To Kill' Muslim Talangsari Lampung
1989
Saat itu, tepatnya tahun 1989 diluar negeri sana tengah rilis film terbaru agen intelijen asal Inggris, James
Bond. Film James Bond dengan judul "License To Kill" tengah hangat diperbincangkan. Entah suatu
kebetulan atau tidak pada tema dengan kejadian yang menimpa umat Islam di Indonesia pada tahun
yang sama.

Nampaknya tidak, karena film James Bond 'License To Kill" dirilis pada saat musim panas 'summer' di
pertengahan tahun di negeri-negeri barat sedangkan musibah kemanusiaan dan tragedi berdarah
Talangsari terjadi di awal tahun 1989 justru lebih dulu terjadi, yaitu tepatnya pada bulan Februari 1989.

Lalu apa hubungannya?

Peristiwa Talangsari mengingatkan kita pada salah satu pelanggaran berat atas Hak asasi manusia
(gross violation of human rights).

Kekerasan militer yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah merupakan bentuk tindakan eksesif
yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Suharto. Hal ini bisa dilihat
pada proses penanganan yang dilakukan pemerintah yang cenderung membenarkan berbagai cara yang
digunakan dari mulai penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengadilan, dan puncaknya adalah adanya
serangan militer yang dilakukan pada perkampungan tersebut.

Peristiwa yang terjadi di Lampung Tengah tersebut terjadi akibat kecurigaan pemerintah orba Rezim
Soeharto dan LB Moerdani terhadap pengajian Islam. Kemudian pemerintah mengambil jalan kekerasan
sebagai alternatif penyelesaian atas permasalahan tersebut.

Tak lain serial Melawan Lupa (1)(2) dan yang ketiga (3) dan (4) ini mencoba memberikan gambaran
secara komprehensif dan kekejian tragedi berdarah baik dari mantan pelaku (1), saksi palsu (2) dan
kronologis (3) hingga sang aktor (4) yang telah melakukan pembunuhan keji kepada umat Islam yang
dapat dimaknai sebagai bentuk melestarikan "License To Kill" pergerakan dakwah Islam di Indonesia.

Berikut Kronologis Talangsari, 1989 :

~Januari Minggu kedua tahun 1989~


Saat itu terjadi perpindahan sejumlah warga dari kota Solo, Boyolali, Sukoharjo, Jakarta dan beberapa
tempat di Jawa Barat ke Dusun Cihideung, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten
Lampung Tengah.

~Rabu, 12 Januari 1989~


Lewat surat bernomor 25/LP/EBL/I/1989, Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega, setelah
mendapat informasi dari Kepala Dusun (Kadus) Talangsari, Sukidi dan kaum melaporkan kegiatan
jama’ah Talangsari yang disebutnya sebagai pengajian yang dipimpin Jayus dan Warsidi tanpa ada
laporan ke pamong setempat ke Camat Way Jepara, Drs. Zulkifli Maliki. Surat ditembuskan ke Danramil
dan Kapolsek Way Jepara.

Hari itu juga Camat Way Jepara membalas surat Kades Rajabasa Lama lewat surat
bernomor 451.48/078/09/331.1/1989 yang memerintahkan 3 hal, yaitu

23
1. Kades agar menghadap Camat hari ini juga dengan membawa 4 orang yang namanya tercantum
dibawah ini.

2. Orang-orang tersebut adalah: Jayus, Warsidi, Mansur (warga setempat) dan Sukidi (Kadus Talangsari
III).

3. Kades harus menghentikan dan melarang adanya kegiatan pengajian tersebut. Apalagi mendatangkan
orang-orang dari luar daerah yang tidak diketahui/sepengetahuan pemerintah.

4.Surat yang akhirnya diantar oleh Sukidi tersebut juga ditembuskan kepada Danramil dan Kapolres Way
Jepara.

~Jum'at, 20 Januari 1989~


Warsidi mengirim surat balasan yang isinya menjelaskan 3 hal:

1. Tidak bisa hadir dengan alasan kesibukan memberi materi pengajian di beberapa tempat.

2. Memegang hadits yang berbunyi “Sebaik-baiknya umaro ialah yang mendatangi ulama dan seburuk-
suruknya ulama yang mendatangi umaro.”

3. Mempersilahkan camat untuk datang mengecek langsung ke Cihideung agar lebih jelas.

~Sabtu, 21 Januari 1989~


Warsidi menjelaskan orang-orang yang datang ke Talang Sari kepada Camat, Kades Rajabasa Lama,
Kadus Talangsari beserta staf pamong praja seluruhnya sekitar 7 orang yang pada saat itu datang
meninjau lokasi transmigrasi di Talang Sari.

Pertemuan yang berakhir dengan baik dan memenuhi keinginan yang dimaksud oleh kedua belah pihak,
membicarakan konfirmasi camat soal surat balasan Warsidi dan ditutup dengan undangan camat kepada
warsidi.

~Minggu, 22 Januari 1989~


Tengah malam, Sukidi, Serma Dahlan AR dan beberapa orang aparat keamanan mendatangi
perkampungan, Sukidi dan Serka Dahlan yang bersenjata api masuk ke Musholla al Muhajirin tanpa
membuka sepatu laras dan Serma Dahlan AR mencaci maki, mengumpat dengan perkataan “ajaran
jama’ah itu bathil, menentang pemerintah, perkampungannya akan dihancurkan” bahkan mengacungkan
senjata api dan menantang para jama’ah.

Sekitar 10-an orang jama’ah yang antara lain terdiri dari Arifin, Sono, Marno, Diono, Usman berusaha
menahan diri untuk tidak terpancing. Setengah jam kemudian melihat tidak ada respon dari jama’ah,
kedua aparat tersebut pergi meninggalkan musholla.

~Kamis, 26 Januari 1989~


Kepala Desa Labuhan Ratu I melayangkan surat bernomor 700.41/LI/I/89 Camat Zulkifli soal Usman,

24
anggota jama’ah Warsidi yang dianggap meresahkan pondok pesantren Al-Islam.

~Jum’at, 27 Januari 1989~


Camat Zulkifli mengirim surat bernomor 220/165/12/1989 kepada Danramil 41121 Way Jepara, Kapten
Sutiman untuk meneliti Usman, Jayus dan Anwar yang dalam surat tersebut menurut mereka ketiga
orang tersebut mengadakan kegiatan mengatasnamakan agama tanpa sepengetahuan pemerintah.

Dalam surat yang ditembuskan ke Kapolsek dan Kepala KUA Way Jepara, Kades Labuhan Ratu I dan
Rajabasa Lama

~Sabtu, 28 Januari 1989~


Kapten Sutiman memerintahkan Kades Labuhan Ratu I, Kades Lanuhan Ratu Induk dan Kades Rajabasa
Lama lewat surat bernomor B/313/I/1989 agar menghadapkan ketiga orang jama’ah tersebut pada hari
Senen, 30 Januari 1989 atau selambat-lambatnya 1 Februari 1989.

Surat yang ditembuskan kepada Dandim 0411 Metro, oloto pimpinan kecamatan Way Jepara dan Kepala
KUA Way Jepara meminta Sukidi untuk menyerahkan daftar nama-nama jema’ah yang pernah dicatatnya
bersama Bagian Tata Usaha Koramil 41121 Way Jepara.

~Minggu, 29 Januari 1989~


Jama’ah memperoleh informasi mengenai keputusan Muspika untuk menyerbu perkampungan jama’ah di
Cihideung dari Imam Bakri, Roja’I suami ibu lurah Sakeh, salah seorang lurah yang mengikuti pertemuan
tersebut. Informasi itu juga diterima jama’ah lainnya yaitu: Joko dan Dayat lewat salah seorang anggota
Koramil 41121 Way Jepara yang mengingatkan bahwa dalam minggu-minggu ini perkampungan akan
diserbu.

Tak lama kemudian Jayus, salah seorang jama’ah menyaksikan Kepala desa Cihideung dan masyarakat
yang berada disekitar perkampungan mengungsi karena tidak merasa melanggar peraturan, jama’ah
tetap tinggal di Cihideung untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan, jama’ah melaksanakan
ronda malam.

~Rabu, 1 Februari 1989~


Kades Rajabasa Lama mengirim surat dengan nomor 40/LP/RBL/1989 kepada Danramil 41121 Way
Jepara, Kapt. Sutiman yang meminta untuk membubarkan pondok pesantren jama’ah dengan alasan
pengajian gelap dan para anggota jama’ah telah menanti kedatangan aparat untuk memeriksa mereka
dengan mempersiapkan bom Molotov. Surat tersebut ditembuskan kepada Kapolsek dan Camat Way
Jepara.

Mendapat surat tersebut Kapt. Sutiman langsung menyurati Dandim 0411 Metro dengan nomor surat
B/317/II/1989 yang isinya antara lain melaporkan informasi-informasi yang diterima, meminta petunjuk
untuk mengambil tindakan dalam waktu dekat dan menyarankan agar menangkapi ke semua jema’ah
pada waktu malam hari.

Surat tersebut ditembuskan kepada Muspika Way Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang,
Kakansospol TK II Lampung Tengah dan Kakandepag TK II Lampung Tengah.

25
~Kamis, 2 Februari 1989~
Camat Zulkifli menyampaikan informasi lewat surat bernomor 220/207/12/1989 kepada Bupati KDH TK II
dan Kakansospol Lampung Tengah yang melaporkan seluruh perkembangan yang mereka dapatkan dan
aksi kordinasi dengan Muspika Way Jepara untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.

Pada saat yang sama di pondok Cihideung sekitar Pk 12.00 siang, anak lelaki tak dikenal dengan dengan
ciri fisik sangat kekar singgah di pondok. Orang tersebut mengaku habis melihat ladangnya di sekitar
Gunung Balak lengkap dengan golok dan pakaian petani yang biasa dikenakan anak lelaki.

Selama di perkampungan orang tersebut sempat makan dirumah Jayus, sholat dzuhur berjama’ah,
mendengarkan ceramah di mushola Mujahidin dan bolak-balik ke rumah Jayus-Mushola. Jama’ah
menyambut baik tanpa rasa curiga.

~Minggu, 5 Februari 1989~


Sekitar pukul 23.45 – petugas yang terdiri dari Serma Dahlan AR (Ba Tuud Koramil 41121 Way Jepara),
Kopda Abdurrahman, Ahmad Baherman (Pamong Desa), Sukidi (Kadus Talangsari III), Poniran (Ketua
RW Talangsari III), Supar (Ketua RT Talangsari III) dibantu masyarakat yaitu, Kempul, Sogi dan 2 orang
lainnya menyergap salah satu pos ronda jama’ah.

7 orang jama’ah yaitu: Sardan bin Sakip (15 th), Saroko bin Basir (16 th), Parman bin Bejo (19 th),
Mujiono bin Sodik (16 th), Sidik bin Jafar (16 tahun), Joko dan Usman ditangkap, Joko terluka parah
dihantam popor senjata. Tapi kemudian Joko dan Usman berhasil meloloskan diri.

Malam itu juga, Warsidi dan sekitar 20-an jama’ah berkumpul dan mengirim 11 orang jama’ah: Fadilah,
Heriyanto, Tardi, Riyanto, Munjeni, Sugeng, Muchlis, Beni, Sodikin, Muadi dan Abadi Abdullah untuk
membebaskan kelima orang jama’ah yang ditangkap.

~Senin, 6 Februari 1989~


Pukul 08.30 – Serma Dahlan AR menyerahkan ke lima orang tersebut ke Kodim 0411 Metro. Kemudian
Kasdim Mayor Oloan Sinaga mengirim berita ke Muspika dan melapor ke Danrem 043 Gatam tentang
rencana penyergapan lanjutan ke Cihideung.

Pukul 09.30 – Kasdim bersama 9 anggotanya antara lain Sertu Yatin, Sertu Maskhaironi, Koptu Muslim,
Koptu Sumarsono, Koptu Taslim Basir, Koptu Subiyanto dan Pratu Kastanto (pengemudi jeep), Pratu
Idrus dan Pratu Gede Sri Anta, tiba di Rajabasa Lama.

Muspika menyampaikan situasi dan keadaan di lokasi Talangsari III, Kasdim oloto petunjuk dan
pengarahan kepada rombongan sebelum berangkat ke lokasi.

Sekitar Pukul 11.00 – Rombongan bersama Muspika, Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari III
dengan menggunakan 2 buah kendaraan jenis jip dan 5 buah sepeda motor Danramil Way jepara Kapten
Sutiman, beserta 2 regu pasukannya, menyerbu Cihideung.

Tanpa didahului dialog dan memberikan peringatan terlebih dahulu, mereka menembaki perkampungan

26
pada saat jama’ah baru tiba dari sawah dan oloto. Penyerbuan diawali dengan tembakan 1 kali dari
rombongan aparat. Kemudian disambut pekik takbir oleh jama’ah.

Pekik takbir itu dibalas dengan tembakan beruntun oleh aparat. Melihat serbuan molotov, masyarakat
yang masih berpakaian dan memegang alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, golok dan lain-lain
berusaha mempertahankan diri.

Dalam penyerbuan yang berlangsung sekitar setengah jam. Kapten Sutiman tewas, sertu Yatin cedera,
Mayor Sinaga dan pasukannya kabur, Jip dan 4 sepeda motor ditinggal dilokasi.

Dipihak jama’ah, dua orang cedera berat. Ja’far tertembak dan jama’ah dari Jawa Barat cedera dibacok
Sutiman yang membawa senjata api dan senjata tajam sekaligus.

Pukul 12.30 – Rombongan Sinaga sampai di Puskesmas untuk menyerahkan Sertu Yatin lalu
melaporkan kejadian tersebut ke Korem 043 Gatam dan Polres Lampung Tengah.

Pukul 14.00 – Fadilah mewakili kelompok 11 melaporkan kegagalan upaya pembebasan 5 orang yang
disergap karena kesiangan.

Fadilah kemudian diperintahkan Warsidi ke Zamzuri di Sidorejo untuk mengabarkan:

berita serbuan Danramil dan terbunuhnya Kapt. Sutiman;

Instruksi untuk membuat aksi yang dapat mengalihkan perhatian aparat agar mereka dapat mengungsi
dan menyelamatkan diri dari kemungkinan adanya rencana penyerbuah lanjutan.

Pukul 15.00 – Wakapolres Lampung Tengah bersama anggotanya tiba di Rajabasa Lama.

Pukul 17.00 – Kasrem 043 Gatam, Letkol Purbani bersama anggotanya tiba di Rajabasa Lama dan
memimpin pengintaian. Pada saat yang sama, Fadila tiba di Sidorejo.

Pukul 18.00 – Bupati Lampung Tengah Pudjono Pranyoto bersama rombongan tiba di Rajabasa Lama.

Pukul 18.30 – Danrem 043 Gatam, Kolonel Hendropriyono beserta pasukan tiba di Rajabasa Lama.

Pukul 20.30 – 11 orang jama’ah mencarter Bus Wasis untuk digunakan sebagai transportasi ke Metro.
Didalam bus tersebut jama’ah menemukan Pratu budi Waluyo. Setelah terjadi dialog, Pratu Budi
mengaku berasal dari Way Jepara. Karena dianggap termasuk orang yang menculik 5 orang jama’ah
anggota TNI itu dibunuh.

Mayatnya dibuang didaerah Wergen antara Panjang dan Sidorejo. Jema’ah juga mencederai supir dan
kenek bus tersebut.

Pukul 24.00 – Riyanto melemparkan bom molotov ke kantor redaksi Lampung Pos yang memberitakan
kasus secara tidak berimbang dan cenderung mendeskreditkan korban. Aksi tersebut juga memang di
niatkan untuk mengalihkan perhatian aparat.

27
~Selasa, 7 Februari 1989~
Pukul 24.00 -- Terdengar 2 kali suara tembakan dari arah Timur. Sugeng (jama’ah Jakarta) membalas
sekali tembakan dengan pistol yang ditinggal tewas Kapt. Soetiman.

Pukul 03.00 -- Salim seorang jama’ah yang melakukan ronda di pos sebelah selatan memergoki 2 orang
tentara yang ingin mendekat ke lokasi jama’ah. Karena dipergoki kedua orang tentara tersebut melarikan
diri.

Pukul 05.30 -- Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan
infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu
perkampungan Cihideung dengan posisi tapal kuda. Dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) &
timur (Kebon Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat yang ditumbuhi pohon singkong dan jagung
dibiarkan terbuka.

Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar


(napalm), granat dan dua buah helikopter yang membentengi arah
barat.

Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat dan dua buah helikopter
yang membentengi arah barat. Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan
keluar bagi jama'ah untuk meyelamatkan diri, jama'ah hanya bisa membentengi diri dengan membekali
senjata seadanya. Tanpa ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai.

Pukul 07.00 -- Karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan yang dipimpin mantan menteri
Transmigrasi Hendropriono ini berhasil menguasai perkampungan jama'ah dan memburu jama'ah.

Dalam perburuan itu, aparat memaksa Ahmad (10 th) anak angkat Imam Bakri sebagai penunjuk tempat-
tempat persembunyian dan orang yang disuruh masuk kedalam rumah-rumah yang dihuni oleh ratusan
jema’ah yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak.

Setelah menggunakan Ahmad, aparat berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-
anak dari pondok Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat sekitar
80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.

Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah


melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini
hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.

Setelah dikumpulkan ke-20-an ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki
aparat “Ini istri-istri PKI”. Didepan jama’ah seorang tentara mengatakan “perempuan dan anak-anak ini
juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.

Pukul 07.30 -- Tentara mulai membakar pondok-pondok yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak
rumah panggung, dengan memaksa Ahmad menyiramkan bensin dan membakarnya.

28
Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu
Saudah, pondok pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang terdiri dari bayi,
anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya yang masih hamil, remaja dan orang tua dibakar disertai dengan
tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.

Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut


diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok
pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100
orang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya
yang masih hamil, mayat Pak Warsidi dan Imam Bakri ditemukan
setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.

Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10 th) dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi
dan Imam Bakri diantara mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri
ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.

Pukul 09.30 -- Setelah ditemukan, kedua mayat tersebut kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah
dengan posisi kepala melewati tempat mayat tersebut diterlentangkan (mendengak-leher terbuka-). Tak
berapa lama, seorang tentara kemudian menggorok leher kedua mayat tersebut.

Pukul 13.00 -- Kedua puluhan ibu dan anak-anak tadi kemudian berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa
ke Kodim 0411 Metro .

Pukul 16.00 -- Hendropriyono mengintrogasi ibu-ibu tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan: Ikut


pengajian apa? Apa yang diajarkan? Gurunya siapa? Dan menerangkan bahwa jama’ah Warsidi batil
karena menentang Pancasila dan mengamalkan ajaran PKI.

Pukul 17.00 -- Jama’ah kemudian dimasukan ke dalam penjara.

Sementara di Sidorejo pada pagi harinya atas informasi, Sabrawi, supir bis Wasis, aparat bersama warga
mengepung rumah Zamjuri. Bersama Zamzuri ada 8 orang jema’ah yaitu: Munjeni, Salman Suripto, Soni,
Diono, Roni, Fahrudin, Isnan dan Mursalin Karena dituduh perampok oleh aparat, terjadilah bentrok
dengan Polsek Sidorejo. Serma Sudargo (Polsek Sidorejo), Arifin Santoso (Kepala Desa Sidorejo)
tewas.

Dipihak jama'ah, Diono, Soni dan Mursalin tewas, sedangkan Roni terluka tembak.

~Kamis, 9 Februari 1989~


Pukul 08.40 -- Jama'ah yang marah mendengar kebiadaban dan penahanan jama’ah di Kodim 0411
Metro tersebut menyerbu Kodim dan Yonif 143.
Dalam penyerbuan itu, 6 orang jama'ah tewas. Sedangkan dipihak aparat pratu Supardi, Kopda
Waryono, Kopda Bambang Irawan luka-luka terkena sabetan golok. Satu sepeda motor terbakar dan
kaca depan mobil kijang pick up pecah.

29
Dua minggu kemudian Tahanan ibu-ibu di Kodim dipindahkan ke Korem 043 Gatam. Di Korem,
Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil
berkata “tarik saja, itu hanya kedok”.

Di Korem, Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk


melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil berkata “tarik
saja, itu hanya kedok”.

Penangkapan sisa-sisa anggota jama'ah oleh aparat dibantu masyarakat oleh operasi yang disebut oleh
Try Sutrisno Penumpasan hingga ke akar-akarnya.

Penangkapan para aktivis islam di Jakarta, Bandung, solo, Boyolali, Mataram, Bima & Dompu melalui
operasi intelejen yang sistematis, sehingga banyak diantaranya sama sekali tidak mengetahui kejadian
tersebut.

Berdasarkan data Korban hasil verifikasi investigasi Kontras 2005, yakni :

1. Korban Penculikan : 5 orang

2. Korban Pembunuhan di luar proses hukum : 27 orang

3. Korban Penghilangan Paksa : 78 orang

4. Korban Penangkapan Sewenang-wenang : 23 orang

5. Korban Peradilan yang Tidak Jujur : 25 orang

6. Korban Pengusiran (Ibu dan Anak) : 24 orang.

Biadab, pengajian dan dakwah Islam diberangus oleh tindakan pembunuhan massal.

Tindakan keji pada sekelompok warga sipil tak bersenjata diberangus dengan tindakan ala perang militer
yang sadis.

Tindakan ini bukan semata-mata pengajian yang difitnah ada unsur JI sebagaimana tudingan Riyanto
disini Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01. Tulisan ini menjadi
fakta untuk membantah tulisan Riyanto bahwa ada kekerasan dalam doktrin agama.

Rakyat sipil, ibu-ibu, anak-anak dan warga tak berdosa dilumat ketamakan dan kekejaman aktor
intelektualnya. Dengan dalih apapun, kekerasan pada anak-anak dan kaum lemah tak berdosa tak bisa
dibenarkan.

Faktanya ada 'license to kill' dan menghantarkan komandannya


ke tampuk kekuasaan pada saat mendatang.

30
Sudah lebih dari 25 tahun kasus Talangsari berlalu. Bahkan tahun 2008 silam satu per satu pihak yang
terkait kasus itu diperiksa Komnas HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam Sudomo diperiksa
Komnas HAM.

Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang
bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.

"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya,
bukan hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi
sebagai Menkopolkam," ujar Sudomo.

Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan
Supriadi di Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).

Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi
pada tahun 1989.

Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada
anggota yang dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi
dan mengetahui latar belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini.

Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah
yang menjadi kesulitan.

Sudomo menjelaskan, peristiwa Talangsari saat itu tidak ada kaitannya dengan politik. Jika akan dibawa
ke pengadilan, yang bertanggung jawab dan yang terlibat akan diketahui.

"Peristiwa itu diketahui setelah ada kejadian dan ada laporan, tapi saya waktu itu minta agar
Menhankam/Panglima ABRI seharusnya dipisah. Tetapi saat itu dijabat 1 orang untuk menyelesaikan
persoalan itu," jelasnya.

"Mengenai perintah tembak di tempat bagaimana Pak?" tanya wartawan. "Saya tidak tahu karena yang
bertanggung jawab di lapangan itu Danrem yakni Pak Hendro. Pak Hendro seharusnya datang hari ini
untuk memberikan keterangan. Tetapi saya tidak tahu," tandasnya.

Peristiwa Talangsari Lampung terjadi pada 6-7 Februari pada 1989. Saat itu terjadi serangan yang
dilakukan Korem Garuda Hitam 043 Lampung terhadap sebuah kelompok pengajian di Way Jepara,
Talangsari Lampung.

Kelompok tersebut dituduh sebagai kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan sebaliknya
dianggap anti Pancasila. Bahkan distigma dengan Islam sesat. Akibat dari serangan tersebut banyak
korban berjatuhan. Padahal hanya permainan sang aktor kristen anti Islam LB Moerdani melalui anak
muridnya Hendropriono.

31
Sang Aktor Kebencian LB Moerdani, Hingga Hendropriono. Barisan Anti Islam meski pada
sebuah sajadah

Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan
perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang,
18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.

Perilaku sadis tak hanya ditampakkan anak didiknya Hendropriono, benci yang teramat dalam juga
ditunjukkan seniornya LB Moerdani. Banyak buku sejarah yang sudah membahas hal ini, dan salah
satunya cerita dari Kopassus di masa kepanglimaan Benny.

Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya "Apa
ini?", jawab sang perwira, "Sajadah untuk shalat, Komandan." Benny membentak "TNI tidak mengenal
ini." Benny juga sering mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan
perwira yang mau sholat Jumat.

Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya,
misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering menghadiri pengajian
diperlakukan diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang perwira dianggap
fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya suram.

Silakan perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos penting pada masa
Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto;
Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang
Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman Mantiri;
Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan bahwa
perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam atau Islam abangan (yang
tidak dianggap "fanatik" atau berada dalam golongan "islam santri" menurut versi Benny).
Sudah belasan tahun kasus Talangsari berlalu. Kini satu per satu pihak yang terkait kasus itu diperiksa Komnas
HAM. Selama 2,5 jam, mantan Menkopolkam Sudomo diperiksa Komnas HAM.

Dalam pemeriksaan itu, Sudomo mengaku tidak mengetahui pasti yang terjadi di lapangan. Saat itu yang
bertanggung jawab di lapangan adalah Komandan Korem yang dijabat Hendropriyono.

"Yang mengetahui itu Koramil, Korem, Kodam, KSAD, dan Panglima. Itu urutan pertanggungjawabannya, bukan
hanya di sini (pusat) tapi di sana (daerah). Yang pertama tahu Korem. Saya sifatnya berkoordinasi sebagai
Menkopolkam," ujar Sudomo.

Hal itu dia sampaikan usai diperiksa oleh dua orang komisioner Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo dan Supriadi di
Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2008).

Sudomo mengatakan, dia dimintai keterangan untuk menjelaskan peristiwa kasus Talangsari yang terjadi pada tahun
1989. Saat itu ada sebuah pondok pesantren yang menempati hutan lindung di wilayah Talangsari, Lampung.
"Korem saat itu dijabat Hendropriyono. Dia yang mengecek ke sana. Saat itu warga menolak dan ada anggota yang
dibacok. Jadi ada miss understanding dengan warga karena kita ingin melakukan sosialiasi dan mengetahui latar
belakang, lantas ada peristiwa itu (pembataian)," ujar mantan KSAL ini.

Menurut Sudomo, kasus Talangsari dibuka kembali mungkin karena ada tuntutan dari korban atau untuk mencari
data. Saat peristiwa itu terjadi tidak langsung dibentuk tim investigasi untuk melakukan tindakan. Hal itulah yang
menjadi kesulitan. - See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/06/08/30822/am-hendropriono-
dalang-pembunuhan-tragedi-munir-talangsari-lampung/#sthash.vbUusU8c.yvIEbSht.dpuf

32
Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan
yang tidak terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang akan kita
bongkar di bawah ini menjadi rajutan ke kekerasan Tanjung Priok 1984 & Talangsari 1989 dengan aktor
intelektual yang sama.

Kedekatan CSIS dan Sofjan Wanandi sudah terbangun puluhan tahun, ia yang mengumpulkan massa
menyerbu kantor PDI dan selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda
bawahan Benny Moerdani, dan tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid
Benny Moerdani berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf
Wanandi dari CSIS dalam Memoirnya, A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.

Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di sisi Jokowi maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP;
Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros
JK mendukung Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.

Tidak heran kelompok status quo dari kalangan perwira Benny Moerdani membenci Prabowo karena
yang menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia itu dengan membentuk ICMI.

Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?

Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan
komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di
Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".

Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS
yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi,
mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater
Beek).

Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk


melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat
analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua,
"Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"

Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan
kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?

Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu
(menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).

Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny
Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide
Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut
Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.

Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat
bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni
1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:

33
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan
dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."

(Salim Said, halaman 320)

1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny
Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar,
binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).

2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan
sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih
sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe
intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala
besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang
dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).

Siapa dia? Ada dengan LB Moerdani, Try Sutrisno, Wiranto hingga AM Hendropriono? Bersambung ke
Melawan Lupa (4) : disini

Susilo Bambang Yudhoyono Adalah Penerus LB Moerdani

Jangan remehkan lawan anda karena lawan akan mudah menyerang anda kembali. Begitulah bunyi kata
bijak tentang perlunya mawas diri dan mengetahui lawan anda.

Demikian halnya dengan Presiden SBY, ia tidak selemah yang anda kira. Jika Anda adalah salah satu
dari sekian banyak rakyat Indonesia yang meremehkan SBY dengan segala stigma yang dilekatkan
kepadanya di media-media nasional yang terkait dengan karakter dan kinerjanya selama menjadi
presiden, misalnya “Jenderal kok peragu”, atau “Jenderal belakang meja”, atau “SBY lamban seperti
kerbau” atau “Jenderal yang hobi curhat”, dan lain sebagainya.

Dari sisi karakter atau sifat, tampaknya SBY termasuk dalam orang-orang yang bersifat plegmatif yang
dari luar selalu terkesan peragu, pendiam, lamban dan perlu didorong. Akan tetapi karakter pragmatif
yang terlalu sering ditekan dapat membalas dengan lebih keras sekali dia membulatkan tekad bahwa dia
telah cukup bersabar dengan para penganggu. Jadi secara teoritis orang plegmatis hanya tampak lemah
di luar tetapi sebenarnya mereka berkarakter kuat.

Selain itu, kita juga melupakan bahwa SBY memang bukan jenderal yang ahli pertempuran lapangan
sehingga tidak heran secara wibawa dia kalah dan tampak tidak setegas dari purnawirawan jenderal lain,
katakanlah Prabowo, namun demikian jenjang karir SBY sebagai intelejen ABRI (sekarang TNI) justru
dapat membuatnya jauh lebih misterius dibandingkan purnawirawan jenderal lain.

Secara historis, SBY adalah pelaku reformasi bangsa namun kita memang bangsa yang terlalu lelah dan
pelupa pada banyaknya agen spin doctor yang membuat kita lupa dengan kejahatan penguasa negara
beserta mafianya.

34
Faktanya pada akhir 2013 tahun ini rakyat memang benar-benar lupa jasa SBY sebagai lokomotif utama
reformasi yang di akibatkan dengan kasus-kasu yang belakangan mencuat, dari Century, Hambalang,
SKK Migas bahkan penyadapan Ibu Ani SBY.

Ingat, SBY itu intelijen militer yang berperan dalam membangun musuh bersama rakyat dalam
melengserkan Suharto.

Kembali ke peran SBY, berkat operasi intelijen yang dilakukannyalah maka “para pseudo reformis” dapat
menjatuhkan Pak Harto yang saat itu dikawal dua jenderal paling kuat, Wiranto sebagai mantan ajudan
dan Prabowo yang masih menantunya, termasuk dengan penyebaran press release tanpa izin Wiranto
bahwa ABRI sudah tidak mendukung Soeharto. Jadi “Bapak Reformasi” yang sebenarnya adalah SBY
dan bukan Amien Rais atau yang lain.

Saat itu dengan hanya bergerak di belakang layar, SBY bukan saja mampu mendorong
jalannya reformasi, akan tetapi juga mengambil kesempatan dari rivalitas antara Wiranto
dan Prabowo untuk kemudian memetik hasilnya sehingga sanggup menjadi presiden
Indonesia sebanyak dua periode dan membangun Dinasti Cikeas.

Dari sisi apapun jelas operasi senyap yang dilakukan intelejen lebih efektif dan efisien daripada operasi
terbuka. Terbukti mayoritas lawan politik SBY hari ini mulai dibungkam melalui serangkaian operasi
intelejen senyap yang mana tanpa mereka duga tiba-tiba mereka ditangkap oleh KPK atau aparat lain.

Bisa di bilang sejauh ini SBY adalah satu-satunya pewaris dinasti intelijen militer Indonesia yang pernah
terkenal dan menjadi momok bagi sebagian rakyat Indonesia mulai dari Zulfikli Lubis, Ali Moertopo,
sampai Benny Moerdani.

dinasti intelijen militer Indonesia yang pernah terkenal dan menjadi momok
bagi sebagian rakyat Indonesia mulai dari Zulfikli Lubis, Ali Moertopo, sampai
Benny Moerdani.

Karena itu rakyat agar tetap Waspada!

SBY, demi mengejar kekuasaan pribadi dengan menggadaikan SDA negara untuk kekuasaan dan
menikam 3 Presiden sebelumnya, yakni Suharto, Gus Dur dan Megawati.

Karena SBY adalah generasi baru dinasti intelijen militer Indonesia pasca matinya LB. Moerdani.

35
Melawan Lupa (4): 'License To Kill' ABRI Merah & LB Moerdani Cs
Sepak terjang jenderal jagal dari kalangan ABRI merah yang dipimpin kristen dan dimotori oleh LB
Moerdani yang anak didik Ali Moertopo sepanjang 30 tahun terakhir di Indonesia tak bisa dilupakan
begitu saja.

Rentetan kekejian, pembunuhan massal pada ratusan jiwa syuhada Indonesia wajib dituntut hingga ke
akar-akarnya. Tak puas menjadi jenderal jagal, LB Moerdani membentuk murid-murid dari kalangan islam
yang tidak taat alias abangan untuk melestarikan kedigdayaannya. Muridnya adalah Try Sutrisno, LB
Moerdani, Agum Gumelar, Hendropriono hingga Wiranto dan bahkan Presiden SBY.
Jendral Leonardus Benny Moerdani adalah orang kuat di lingkungan ABRI pada awal dekade 80-an. Salah
satu "legenda" dalam sejarah ABRI ini lulusan Candradimuka tahun 1950. Tampilnya ia ke permukaan
merupakan simbol peralihan tongkat estafet dari generasi 45 ke generasi penerus.

Awal karirnya, ia berjuang sebagai prajurit komando. Bersama Letkol Untung Syamsuri (kelak dikenal
sebagai pemimpin G30S/PKI), Benny Moerdani menorehkan prestasi membanggakan saat perjuangan
merebut Irian Barat. Lantaran prestasinya itu sempat ditawari Presiden Soekarno untuk masuk Resimen
Tjakrabhirawa. Tetapi ia menolak, sesuatu yang langka terjadi pada saat itu, karena kebanyakan
tentara menganggap melayani Presiden Soekarno adalah suatu kebanggaan.

Hampir seluruh karir militernya dihabiskan untuk mengurus soal-soal intelijen. Setelah berselisih
pendapat dengan Letjen Ahmad Yani, LB Moerdani harus meninggalkan korps baret merah
kebanggaannya (baca LB Moerdani dan Baret Merah). Ia pun memulai karir sebagai perwira intelijen.
"Medan perang" nya mula-mula adalah Malaysia, kemudian dipindah tugaskan ke Seoul, Korea selatan.

Setelah Peristiwa Malari 1974, ia dipanggil ke Jakarta oleh Ali Moertopo untuk menangani masalah-
masalah intelijen Hankam. Brigjen LB Moerdani adalah generasi intelijen berikutnya yang dipercaya
Soeharto setelah Ali Moertopo dan Yoga Soegomo. Jendral Moerdani bersama-sama Ali Moertopo
terlibat dalam CSIS (Center for Strategic and International Studies) (lembaga studi yang banyak
membantu Soeharto dalam merumuskan kebijakan-kebijakan Orde Baru. Peran CSIS kelak tersaingi ICMI
yang diketuai BJ Habibie dan peran serta ABRI Hijau seperti Prabowo). Sampai tahun 1998, nama
Jendral LB Moerdani masih dikait-kaitkan dengan agenda pihak oposisi untuk menggantikan kekuasaan
Soeharto.

Salah satunya tragedi pembataian yang di arsiteki LB Moerdani adalah


1) Pembantaian kaum muslim indonesia di Tanjung Priok 1984
2) Pembantaian Jamaah Warsidi di Talangsari Lampung 1989
3) Skenario Kejatuhan Suharto 1998

dan lainnya.

Setelah membahas Melawan Lupa (3): 'License To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989 saatnya kita
beranjak ke peristiwa tak kalah sadis 5 tahun sebelum tragedi Talangsari

Tragedi ABRI Merah Bantai Umat Islam di Tanjung Priok

36
Kronologis:

12 September 1984, tengah malam.


Tanjungpriok bersimbah darah, ratusan umat Islam tersungkur ke tanah, tertembus timah panas yang
menyalak dari senjata otomatis ratusan tentara.

Mereka yang masih hidup dan tidak sempat berlari, ditendang, diinjak-injak, dan dihajar denagn popor
senjata hingga tewas.

Drama pembantaian keji itu berlanjut dengan datangnya senjumlah truk tentara. Tubuh-tubuh tanpa
nyawa itu terlempar begitu saja ke atas truk, seperti buruh melempar karung beras.

Ditumpuk seperti ikan pindang. Menyusul kemudian sejumlah ambulans dan mobil pemadam kebakaran.
Kendaraan terakhir membersihkan sepanjang jalan itu dari simbahan darah.

Maka keesokkan harinya, nyaris tak dijumpai lagi jejak kebiadaban itu.? (dari buku Tanjungpriok
Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?, kumpulan fakta dan data, Gema Insani Press)

Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh
oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.

Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh
masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.

Ini petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang
tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul ?Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat
Islam Indonesia?.

~Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984~


Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa?adah di gang
IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok
mushala dengan air got (comberan).

Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung
Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa?adah
menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan
penyelesaian kepada jamaah kaum muslimin.

Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984


Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa?adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil
yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari
jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta
penengahan ketua RW, diterima.

Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak
ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu.

37
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan
penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa?adah.

~Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984~


Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah
yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah.

Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah
orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara
penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

~Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984~


Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang
sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa?adah, terus berlangsung juga.
Penceramahnya tidak ada, termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan memang tidak pernah
mau naik mimbar.

Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian
mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata
antara lain, ?Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.

Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-
oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko.

Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.? Selanjutnya, Amir Biki berkata, ?Kita
tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan
golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).? Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi
dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI
berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.

Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, ?Mundur-mundur!? Teriakan
?mundur-mundur? itu disambut oleh jamaah dengan pekik, ?Allahu Akbar! Allahu Akbar!? Saat itu militer
mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah
pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu
bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.?

selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan
sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.

Malahan ada anggota militer yang berteriak, ?Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!?
Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak

38
lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi
yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-
senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir
jalan.

Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya,
melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir
dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.

Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang
sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang
belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui
oleh mobil truk tersebut.

Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah
umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang
bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja.

Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang
tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian
datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan
membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-
kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan
perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di
antaranya Amir Biki.

Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh
militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan
perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir
Biki.

Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong
dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan
jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.

Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan
mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah

39
pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.

Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang
beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot
Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya
saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara
Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk
dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak


boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani
benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya,

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila
Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk
mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa
pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.

Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel
Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.

Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984,
menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat
datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

Tokoh-tokoh itu selayaknya diperiksa dalam kasus Priok.

1. LB Moerdani menjabat Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib,

2. Try Sutrisno menjabat Pandam V Jaya/Panglaksus Jaya, dan

3. AR Butarbutar menjabat Dandim Jakarta Utara.

Menurut beberapa saksi, saat itu aparat keamanan terlihat membiarkan situasi menjadi tak terkendali.

Lihat saja pernyataan Soeharto dalam bukunya, Seoharto: Pikiran, Ucapan dan
Tindakan saya. Disitu ditulis,

?Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang


menempatkan diri sebagai pemimpin.?

40
Benarkan ucapan Soeharto itu mengisyaratkan bahwa tragedi itu sudah direncanakan sebelumnya?

9 Maret 1999:

Komnas HAM mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani Marzuki Darusman dan Clementino dos
Reis Amaral. Isinya, hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari tim yang dibentuk Komnas HAM
untuk kasus Priok

Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim ini.

Pertama, mempelajari semua penerbitan umum serta dokumen lainnya.

Kedua, melakukan pertemuan dengan keluarga korban, saksi korban, dan saksi lainnya.

Ketiga, melakukan kunjungan ke berbagai tempat yang diduga menjadi tempat penguburan korban
peristiwa Priok.

Keempat, mengundang pejabat aparat keamanan pada waktu itu, antara lain mantan Pangdam Jaya dan
mantan Dandim Jakarta Utara, untuk memperoleh data guna dicocokkan dengan data yang diperoleh
dari masyarakat.

Dari hasil temuan itu, Komnas HAM berkesimpulan:

Dalam tragedi Priok telah terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran atas hak hidup (right to life) dan
hak mendapatkan informasi (right information).

Kemudian, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat


mengenai peristiwa Priok. Sementara para pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAMnya agar
diadili.

18 November - 7 Desember 1998 : Try Sutrisno

Berdasarkan pernyatan itu, maka 18 November 1998, Komnas HAM mengirimkan surat pemanggilan ke
Try Sutrisno. Tetapi, tampaknya Try lebih suka berkorespondensi.

Buktinya, 7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat ke Komnas HAM. Isi suratnya, menolak
memberikan klarifikasi.

Buktinya, 7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat ke Komnas HAM. Isi
suratnya, menolak memberikan klarifikasi.

Dalam surat itu, Try berkilah, kasus Priok telah ditandatangi secara institusional oleh ABRI, bukan
ditangani oleh orang per orang. Baru dijawab oleh Try seperti itu, Komnas HAM saat itu mati kutu.

41
400 Orang Tewas Dalam Pembantaian Tanjung Priok

Menurut data temuan KPKP, sekitar 400 orang orang tewas, 40 orang cacat seumur hidup, 65 orang
ditahan sewenang-wenang, dan 16 orang dinyatakan hilang.

Jumlah korban tewas itu kita ambil dari kesaksian. Pada setiap truk itu ada sekitar 40-50 orang. Kalau
dihitung sepuluh truk, berarti jumlahnya ada sekitar 400 orang.

Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?

Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan
komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di
Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".

Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS
yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi,
mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater
Beek).

Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis


namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika
berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"

Berikut murid-murid LB Moerdani "Sang Jenderal Jagal"

1) Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung atau bodyguard Megawati yang disuruh Benny
Moerdani);

2) ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa
27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani);

3) Luhut Panjaitan;

4) Sutiyoso;

5) Wiranto?

6) AM Hendropriono,

7) Try Sutrisno?

8) Menantu Try Sutrisno, Ryamizad Ryacudu

9) Susilo Bambang Yudhoyono

Sang Jenderal Jagal ini mereka semua berkumpul dalam koalisi ABRI Merah di PDIP. Tidak percaya
gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam
santri yang dihancurkan Prabowo?

Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu
(menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).

42
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat
bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni
1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:

"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan
dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."

Ali Moertopo & Muridnya LB Moerdani :

Sebagai think thank di balik pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan
politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah
menjabat Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala
(1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan
modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus
(Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Pada
1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah
dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai,
Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis
nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun
1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul ?Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi
Modernisasi Pembangunan 25 Tahun? yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi
Pembangunan Jangka Panjang (PJP).

Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924, itu tak terdengar mempunyai
hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai
kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung
Karno.

1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny
Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar,
binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).

2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan
sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih
sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe
intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala
besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang
dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).
[RioCbaretaz/jabir/voa-islam.com]

43
Melawan Lupa (7): Jasa 'ABRI Hijau' Ditenggelamkan 'ABRI
Merah' & LB Moerdani
INTRO: Peperangan antara haq dan bathil akan senantiasa eksis hingga hari kiamat. Demikian pula tarik menarik asing,

aseng dan ABRI Merah di Indonesia. Konspirasi mereka merusak jasa dan dedikasi umat Islam di Indonesia hingga kabur

makna dan lupa pada jasa besar ABRI Hijau dan pejuang (mujahid) yang berkiprah untuk Indonesia seperti Kahar Muzakar

dan Kartosuwiryo hingga ustadz Abu Bakar Baasyir. Proses peradilan mereka berbau kepentingan asing dan menafikan

jasa besar umat, sedangkan keburukan ABRI merah sangat sulit di bawa ke peradilan dunia...

Sahabat Voa Islam,

Sebelum ada TNI, sejak pra kemerdekaan hingga kemerdekaan, komponen-komponen pejuang terbagi
dalam beberapa kelompok, yaitu Hisbullah, Peta (Pembela Tanah Air) dan Laskar-laskar.

Milisi Hisbullah merupakan campuran berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat
Islam, dan NU.

Sedangkan milisi Peta (Pembela Tanah Air) mayoritasnya berasal dari Muhammadiyah, dimana Jenderal
Besar Sudirman merupakan salah satu tokohnya. Yang dimaksud dengan laskar-laskar, terdiri dari
berbagai laskar seperti laskar minyak, laskar listrik, laskar pesindu, laskar pemuda sosialis dan laskar
Kristen.

Umat Islam dan TNI

Laskar pemuda sosialis dan laskar kristen adalah minoritas. Sedangkan laskar minyak, listrik dan
sejenisnya berasal dari komunitas sejenis bajing loncat yang insyaf dan membentuk kekuatan rakyat dan
bergabung dengan Laskar mayoritas Hisbullah.

Pada 1946 terbentuk TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) yang berasal dari ketiga komponen tersebut,
dan Hisbullah merupakan unsur yang paling banyak (mayoritas).

Pada 1947, TKR menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), di bawah pimpinan Panglima Besar Sudirman
yang berasal dari Peta. Sebagai wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang mantan tentara KNIL (tentara
Belanda) yang beragama Kristen.

Sejak saat itulah terjadi ketidak-adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas di tubuh (embrio) TNI.
Kelak, para pejuang sejati dari Hisbullah dan peta (terutama Hisbullah) digusur oleh mantan tentara
KNIL. Selain Urip Sumohardjo (mantan KNIL beragama Kristen), mantan KNIL lainnya adalah Gatot
Soebroto (Budha), Soeharto (Kejawen), dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler yang keberislamannya
tumbuh setelah digusur Soeharto).

Tentara KNIL adalah tentara Belanda yang memerangi tentara rakyat Indonesia yang ketika itu sedang
berusaha menggapai kemerdekaan. Tentara KNIL adalah pengkhianat bangsa. Namun ketika Indonesia
merdeka, merekalah yang merebut banyak posisi di tubuh institusi tentara (TNI). Sedangkan pejuang
sejati terutama yang tergabung dalam Hisbullah disingkirkan begitu saja.

Terbukti kemudian, ketika para pengkhianat itu memimpin bangsa (seperti Soeharto), kehidupan kita
menjadi penuh musibah. Soekarno juga seorang pengkhianat, ketika rakyat bersusah payah mengusir

44
penjajah, ia justru membuat perjanjian damai dengan Belanda. Sedangkan anak angkat Gatot Soebroto
yang bernama Bob Hasan, termasuk salah seorang tokoh pemegang HPH yang menggunduli hutan kita.

Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo

Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk
menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang
berpusat di Banjarmasin. Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali.

Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan penjajah
Belanda.

Pada tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi rakyat
Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau
mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.

Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang
sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta.

Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia
adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati
pada 1962.

Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak
kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.

“Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN,
dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai
pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari
wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan
merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan
penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak
dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…”
(Lihat Buku “FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam”, 1998, hal. xviii).

Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: “Kesaksian almarhum ayah
saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika
Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…”

Pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo” (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus
AN menuliskan sebagai berikut:

“…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari
1948, maka pasukan Siliwangi harus ‘hijrah’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat
dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia. Waktu itu Jenderal
Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan
Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu….”

45
“…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: ‘Apakah siasat ini tidak
merugikan kita?’ Pak Dirman menjawab, ‘Saya telah menempatkan orang kita disana’, seperti apa yang
diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.

“…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam
negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul ‘Himbauan’, yang ditulis beliau
pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat
restu dari
Panglima Besar Sudirman…”

“…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum
pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan
diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.

Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang
dapat menduga bahwa yang dimaksud ‘orang kita’ atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah
Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan,
tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau
sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan
untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji.
Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan
dosa…?”

Terbentuknya Kodam-kodam

Tahun 1950, TRI mereorganisasi membentuk divisi-divisi dalam bentuk TT (Tentara Teritorium yang
merupakan embrio Kodam. Ini merupakan awal daripada AD (Angkatan Darat) dan PKI (Partai Komunis
Indonesia) berkuasa menguasai TRI melalui kodam-kodam (divisi-divisi).

Kala itu provinsi di Ind masih terdiri dari


1. Kalimantan, dengan ibukota Banjarmasin
2. Sulawesi,dengan ibukota Makassar
3. Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang
4. Sumatera Tengah, dengan ibukota Padang
5. Aceh, dengan ibukota Banda Aceh
6. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), dengan ibukota Singaraja.

Pada Desember 1950 terjadi pengakuan kedaulatan RI. Dua bulan kemudian Jen. Sudirman meninggal,
kepemimpinannya dilanjutkan oleh Urip mantan tentara KNIL beragama Kristen. Sementara itu, Panglima
Divisi Sulawesi, Kahar Muzakar yang ditugaskan ke Yogya utk menghimpun kekuatan rakyat di tahun
1946, jabatannya sebagai Panglima Divisi Sulawesi diisi oleh Gatot Subroto mantan KNIL beragama
Budha yang anti Hisbullah.

Terjadi konflik antara Kahar dengan Gatot Subroto, sehingga diciptakan situasi yang merugikan/merusak
citra Kahar (putra daerah), akibatnya Kahar melawan ketidakdilan dan ketidak benaran yang
dihembuskan Gatot Subroto.

Tahun 59/60 Kahar dinyatakan terbunuh dalam pertempuran, tetapi jenazahnya tidak ditemukan. M.
Jusuf pernah dikirim melawan Kahar, mengalami kekalahan namun bisa selamat kembali ke Jakarta.

46
Tidak semua divisi mengalami pergolakan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar menjadi Panglima KRJT
(Kesatoean Rakjat Jang Tertindas). Institusi ini di bawah Panglima Divisi kalimantan yang panglimanya
adalah Hasan Basri. Sedangkan Divisi Jawa Timur panglimanya adalah Jen. Sudirman (sebelum
meninggal dunia).

Ketidak-adilan di dalam tubuh TRI semakin terasa ketika orang-orang dari Sulut yang beragama Kristen
(dan mantan tentara KNIL) banyak menduduki jabatan penting, antara lain Kol. Kawilarang (menjabat
panglima divisi Siliwangi), Kol. Ventje Sumual, dan sebagainya.

Apalagi kemudian AD memegang kendali pemerintahan, setelah Soekarno tumbang. Soeharto yang
mantan KNIL dan penganut Kejawen, kemudian mengawali pemerintahannya dengan rasa benci yang
mendalam terhadap Islam.

Ali Moertopo & Benny Moerdani

Sosok intelijen yang paling dikenal dan licin adalah Ali Moertopo, meski ia belum pernah berhasil
menduduki posisi puncak di lembaga intelijen. Ali pertama kali secara resmi berkiprah di dalam lembaga
intelijen negara adalah pada tahun 1969 1974, ketika Mayjen TNI Sutopo Yuwono menjabat sebagai
Kepala BAKIN, dan Ali Moertopo mendampinginya sebagai Deputy Kepala BAKIN.

Pada tahun 1974-1989, ketika Kepala BAKIN dijabat oleh Letjen TNI Yoga Soegama, Mayjen TNI Ali
Moertopo menjabat sebagai Wakil Kepala BAKIN, selama kurang lebih empat tahun (1974-1978).
Posisinya kemudian digantikan oleh Mayjen TNI LB Moerdani (1978-1980), yang juga menjabat sebagai
Ketua G-I/Intel Hankam. Sebelum 1974, agenda kerja intelijen lebih banyak mengurusi ekstrim kiri
(komunis), dwikora (konfrontasi dengan Malaysia), korupsi, pengamanan Pemilu, Timor Timur (yang kala
itu masih dijajah Portugis). Baru setelah tahun itu masuklah agenda mengawasi ekstrim kanan
khususnya generasi kedua DI/TII-NII.

Sebelum bergabung dengan TNI, Ali Moertopo pernah bergabung dengan tentara “Hizbullah”, salah satu
unsur cikal bakal TNI. Danu M. Hasan adalah salah seorang anak buah Ali di Hizbullah. Pada gilirannya,
ketika Ali masuk TNI, Danu bergabung ke dalam DI/TII. Danu M. Hasan sempat menjabat Komandeman
DI/TII se Jawa. Kelak, pasukan Danu berhasil ditaklukkan oleh Banteng Raiders yang dikomandani Ali
Moertopo. Perjalanan berikutnya, pasca penaklukan, terjalinlah hubungan yang lebih serius antara Ali
dengan Danu di dalam kerangka “membina mantan DI/TII”. Pada persidangan kasus DI/TII, 1980-an,
terungkap bahwa Ali Murtopo secara khusus menugaskan Kolonel Pitut Soeharto untuk menyusup ke
golongan Islam, antara lain dengan mengecoh Haji Ismail Pranoto (Hispran) di Jawa Timur. Di Jawa
Barat, Pitut “membina” Dodo Kartosoewirjo dan Ateng Djaelani. Namun gagal, kecuali Ateng Djaelani,
sehingga di kalangan pimpinan DI dia dianggap pengkhianat.

Pada 1976 muncul kasus Komando Jihad (Komji) yang merupakan muslihat cerdik Ali Moertopo.
Menggunakan istilah Islam sebagai perangkap menjebak umat Islam. Pada mulanya, Ali Moertopo
mengajak para petinggi DI untuk menghadapi bahaya komunisme dari Utara (Vietnam). Ketika itu
Vietnam yang komunis berhasil mengalahkan tentara Amerika (1975). Perang Vietnam berlangsung
sejak 1961. Kemenangan komunisme Vietnam, kemudian dijadikan momok dan ancaman bagi Indonesia
yang sejak awal Orde Baru sudah menjadi ‘sekutu’ AS. Karena, sejak awal 1970-an sudah terlihat
kecenderungan bahwa AS akan dikalahkan oleh kekuatan komunis Vietnam.

Dengan alasan menghadapi ancaman komunisme dari utara itulah, petinggi DI pasca wafatnya Imam NII,
As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, diminta mengorganisasikan laskar, semacam Pam

47
Swakarsa. Dalam waktu relatif singkat terkumpullah ribuan orang dari seluruh penjuru Nusantara, siap
menghadapi bahaya komunisme dari utara.

Semangat membela tanah air dan mempertahankan aqidah Islam dari bahaya komunisme inilah yang
menjadi alasan bagi sejumlah orang sehingga mau terlibat. Mereka yang berhasil direkrut pada umumnya
rakyat kebanyakan, mulai dari pedagang, guru mengaji, guru sekolah umum, bahkan ada juga prajurit
TNI. Walau sudah berhasil merekrut ribuan orang, namun tidak ada satu tetes perbuatan radikal pun
yang dilakukan mereka. Tiba-tiba, secara licik mereka semua ditangkap, dan dipenjarakan dengan
tuduhan hendak mendirikan Negara Islam Indonesia, dituduh subversif, dan diberi label Komando Jihad.

Siasat “Pancing dan Jaring” digunakan oleh Moertopo untuk menyusup ke kalangan Islam, melakukan
pembusukan dengan berbagai upaya provokasi, kemudian memberangusnya. Operasi intelijen tersebut
pada saat ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Densus 88, sebuah detasemen yang juga
dikendalikan oleh musuh-musuh Islam, dengan tujuan yang sama. Beberapa peristiwa seperti Komando
Jihad, tragedi Haur Koneng, penyerangan Polsek Cicendo, Jamaah Imran, dan Tragedi pembajakan
pesawat Woyla, tak lepas dari siasat licik Moertopo.

Sebelum era Benny Moerdani, Soeharto menempatkan orang-


orangnya seperti Panggabean, Soedomo dan Ali Moertopo yang
dengan baik memenuhi kemauan Soeharto.

Ali Moertopo sukses dengan proyek Komando Jihad. Kemudian Soedomo juga sukses dengan
Kopkamtibnya “ngegebukin” umat Islam. Benny Moerdani sukses dengan proyek Imran/Woyla dan
Tanjung Priok. Try Soetrisno sukses dengan proyek Lampung dan DOM Aceh, juga beberapa kasus
seperti Haur Koneng, dan sebagainya.

Jenderal M. Jusuf (orang Makasar) sempat didudukkan sebagai Pangab, sebelum Benny. Ketika itu
tekanan terhadap Islam agak mereda, perlakuan ala binatang terhadap Tapol dan Napol Islam, agak
berkurang ketika Yusuf menjadi Pangab. Kesejahteraan prajurit pun membaik. Namun tidak banyak yang
bisa ia lakukan. Meski dari Makasar ternyata Yusuf tidak semilitan Katholik abangan seperti Benny.

Di masa Benny, betapa sulitnya mendapatkan perwira Muslim yang menjabat Komandan Kodim.
Semuanya Kristen, hanya satu-dua saja yang Budha atau Hindu. Pada umumnya Dandim adalah perwira
Kopassandha (kini Kopassus). Untuk menjadi perwira Kopassandha, rangkaian testing dilakukan hari
Jumat, sehingga prajurit yang masih loyal kepada agamanya, tidak bisa ikut test. Akibatnya, dari puluhan
perwira Kopassandha kala itu, hanya satu yang Islam (abangan), dan satu Hindu atau Budha.

Penyingkiran secara sistematis ini sudah berlangsung sejak Panggabean, yang meneruskan tradisi Urip
Soemohardjo dan Gatot Soebroto, sejak awal kemerdekaan terutama sejak wafatnya Jen. Soedirman.

Namun demikian untuk menghindarkan kesan diskriminatif, Benny merekrut juga pemuda-pemuda Islam
menjadi tentara (bukan perwira Kopassandha). Tapi yang ia pilih yang tolol-tolol. Kalau ada pemuda
Islam dari keluarga baik-baik (militan) kemudian cerdas, pasti dinyatakan tidak lulus testing dengan
berbagai macam alasan.

Pemuda Islam tolol yang direkrut jadi tentara sebagian besar


dikirim ke Timor Timur untuk menyetorkan nyawa.

48
Pemuda Islam tolol yang direkrut jadi tentara sebagian besar dikirim ke Timor Timur untuk menyetorkan
nyawa. Ada diantara mereka yang selamat, seperti Ratono yang pernah terlibat kasus Priok. Ratono
sampai kini masih hidup semata-mata karena keberuntungan, atau setidaknya Allah jadikan ia sebagai
saksi hidup kebiadaban Benny dan para pendahulunya.

Tahun 1988 perseteruan Benny – Soeharto meruncing, terutama setelah rencana kudeta yang gagal dari
Benny cs terhadap Soeharto, yang berakibat dicopotnya Benny dari jabatan Pangab dan digantikan Try.

Ketika Try menjabat Pangab (1989), Benny Moerdani kemudian menjabat Menhankam. Anehnya, Try
masih melapor kepada Benny, padahal seharusnya ke presiden sebagai Pangti. Termasuk, laporan
intelijen (ketika itu BAIS masih di bawah Pangab) Try Soetrisno selalu meneruskannya ke Benny.

Tahun 1992 Try dipensiunkan dan menduduki kursi Wapres berkat usaha gigih kalangan AD. Ketika itu
sebenarnya Soeharto lebih condong ke Habibie, namun berkat fait accomply Harsudiono Hartas yang
ketika itu menjabat Kassospol ABRI, akhirnya Try-lah yang baik mendampingi Soeharto selama lima
tahun (hingga 1997).

Kursi Pangab kemudian diisi Eddy Sudrajat. Di masa Eddy inilah tekanan terhadap ummat Islam yang
gencar dilakukan sejak Benny dan Try menjadi Pangab, agak mengendor. Bahkan kemudian di Mabes
berdiri mesjid, sehingga para perwira dan prajurit bisa shalat Jum’at di Mabes.

Pada masa itu, Eddy Sudrajat sempat menjabat tiga jabatan sekaligus. Selain masih menjabat KASAD
dan Panglima ABRI ia pun dilantik sebagai Menhankam. Semua jabatan itu satu per satu dilepaskan,
kecuali Menhankam. Jabatan KASAD dilimpahkan ke Wismojo dan Panglima ABRI kepada Feisal
Tanjung.

Di masa Feisal Tanjung, ummat Islam bisa bernafas lega. Tapol dan Napol banyak yang dibebaskan,
meski masih terkesan takut-takut. Bahaya ekstrim kanan yang selalu dihembuskan sejak dulu, sirna
dengan sendirinya. Bahkan, lulusan pesantren bisa masuk AKABRI ya cuma di masa Feisal Tanjung.

Sayangnya Feisal bersama Syarwan Hamid dituduh terlibat kasus 27 Juli, yang sebagian besar
korbannya ya ummat Islam juga. Pada masa inilah muncul istilah ABRI hijau dengan konotasi negatif.

Setelah Feisal, Wiranto mendapat giliran menjadi Pangab. Wiranto semula adalah kader Benny.
Karenanya, ketika ia naik menjadi KASAD kemudian Pangab, banyak juga yang waswas. Ketika Wiranto
menjadi KASAD, perwira Muslim di lingkungan KASAD digeser dan digantikan dengan Hindu atau
Budha.

Untung ada Prabowo. Sebenarnya Prabowo juga kader Benny, bahkan sejak ia masih Letnan. Namun
akhirnya Prabowo melihat ketidak-adilan yang dibuat Benny, dan ia memberontak, sehingga jadilah
Prabowo sebagai musuh nomor satu Benny. Kalau tidak ada Prabowo, mungkin sampai kini tidak ada
yang bisa menjadi musuh Benny. Selain karena ia menantu Presiden, Prabowo juga banyak uang
sehingga bisa menetralisir pengaruh “orang-orang Benny” di tubuh ABRI.

Meski Bowo jarang shalat, ia tetap saja dikategorikan sebagai ABRI hijau, mungkin karena
keberpihakannya. Berkat tekanan dari Prabowo dkk akhirnya Wiranto tak berkutik. Bahkan belakangan ia
ikut-ikutan menjadi ABRI hijau. Sebuah pilihan yang pragmatis.

49
Wiranto akhirnya bisa juga berteman dengan Abdul Qadir Djaelani, dan sebagainya. Dari sinilah lahir
istilah aneh-aneh, seperti Pam Swakarsa, dan sebagainya, yang kesemuanya itu cuma membuat malu
umat Islam.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa sejak dulu yang namanya tentara itu lebih banyak merugikan
Islam. Kalau tidak memusuhi secara terang-terangan, maka ia berbaik-baik sambil memberikan stigma.

Seharusnya ummat Islam menjaga jarak yang pas dengan tentara. Jangan mau digebukin tetapi juga
jangan sampai ditunggangi dengan alasan kerja sama sinergis.

Sialnya, masih ada saja diantara umat Islam yang mau ditunggangi tentara padahal dulu mereka sering
digebukin. Rasanya, kemiskinanlah yang membuat mereka seperti itu. [pedanglangit/syaifudin/voa-
islam.com]

50
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998
Mendukung Jokowi
JAKARTA (voa-islam.com) - Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang kemarin
menyeberang ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat yang menghubungkan
Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang akhir Orde Baru
karena terbukti terbukanya niat Benny menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi
mengejar orang Cina dan orang Kristen.

Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan
yang tidak terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang akan saya
bongkar di bawah ini.

"Bersama Presiden Soeharto, Benny adalah Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh
demonstrasi 1966 dengan dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris] pada malam itu para
pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Suryadi [Ketua
PDI yang menyerang Kubu Pro Mega tanggal 27 Juli 1996]; Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan
sejumlah tokoh. Topik pembicaraan, situasi politik waktu itu...

Moerdani berbicara mengenai Soeharto yang menurut Menhankam itu, 'Sudah tua, bahkan sudah pikun,
sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti'...Benny
kemudian berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus
menanggapi, 'Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian
kemudian gereja.' "

- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, serangkaian kesaksian, Penerbit Mizan, halaman 316

A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia

Selanjutnya bila kita hubungkan kesaksian Salim Said di atas dengan kesaksian RO Tambunan bahwa
dua hari sebelum kejadian Megawati sudah mengetahui dari Benny akan terjadi serangan terhadap
kantor PDI dan Catatan Rachmawati Soekarnoputri, Membongkar Hubungan Mega dan Orba
sebagaimana dimuat Harian Rakyat Merdeka Rabu, 31 Juli 2002 dan Kamis, 1 Agustus 2002.

Maka kita menemukan bukti adanya persekongkolan antara Benny Moerdani yang sakit hati kepada
Soeharto karena dicopot dari Pangab (kemudian menjadi menhankam, jabatan tanpa fungsi) dan
Megawati untuk menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto, kebetulan
saat itu hanya Megawati yang mau jadi boneka Benny Moerdani. Sedikit kutipan dari Catatan
Rachmawati Soekarnoputri:

"Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu.
Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan
Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri
oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka?

Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun
ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak."

51
Dari ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996,
antara lain: Benny Moerdani; Megawati Soekarnoputri; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie
Sihaloho, dan ini adalah "eureka moment" yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson
Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet untuk regenerasi kepemimpinan Indonesia dan
diganti Megawati, sehingga menimbulkan kecurigaan dari pihak Mabes ABRI.

Dr. Soerjadi adalah orang yang menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di Kongres Medan
(kongres dibiayai Sofjan Wanandi dari CSIS) yang mengumpulkan massa menyerbu kantor PDI dan
selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda bawahan Benny Moerdani, dan
tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid Benny Moerdani berada di sisi
Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS dalam
Memoirnya, A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.

Semua fakta ini juga membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi
tanggal 18 Januari 1998 yang mana menyebutkan rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati;
CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi yang membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik serta
bukan dokumen buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana diklaim oleh Budiman
Sejatmiko selama ini.

Ini menjelaskan mengapa Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus
mengeluarkan kalimat pahit kepada anak buahnya seperti "siapa suruh kalian mau ikut saya?" dan justru
memberi jabatan sangat tinggi kepada masing-masing SBY yang memimpin rapat penyerbuan Operasi
Naga Merah; Sutiyoso yang komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; Agum Gumelar dan
Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Megawati melakukan bunuh diri bila menyelidiki
kejahatannya sendiri!

Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di sisi Jokowi maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP;
Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros
JK mendukung Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.

B. Kerusuhan Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan
Megawati Soekarnoputri ke Kursi Presiden.

Pernahkah anda mendengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan
CSIS mendeislamisasi Indonesia? Ini fakta dan bukan bualan. Banyak buku sejarah yang sudah
membahas hal ini, dan salah satunya cerita dari Kopassus di masa kepanglimaan Benny.

Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya "Apa
ini?", jawab sang perwira, "Sajadah untuk shalat, Komandan." Benny membentak "TNI tidak mengenal
ini." Benny juga sering mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan
perwira yang mau sholat Jumat.

Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan
perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang,
18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.

Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya,
misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering menghadiri pengajian
diperlakukan diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang perwira dianggap
fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya suram.

52
Silakan perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos penting pada masa
Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto;
Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang
Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman Mantiri;
Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan bahwa
perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam atau Islam abangan (yang
tidak dianggap "fanatik" atau berada dalam golongan "islam santri" menurut versi Benny).

Inilah yang dilawan Prabowo antara lain dengan membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan
oleh kelompok Benny Moerdani namun tidak berhasil. Tidak heran kelompok status quo dari kalangan
perwira Benny Moerdani membenci Prabowo karena Prabowo yang menghancurkan cita-cita
mendeislamisasi Indonesia itu.

Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?

Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan
komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di
Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".

Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS
yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi,
mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater
Beek).

Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk


melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat
analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua,
"Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"

Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan
kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?

Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu
(menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).

Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny
Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide
Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut
Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.

Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat
bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni
1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:

"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan
dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."

(Salim Said, halaman 320)

53
Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani namun kita
memiliki cara membuktikan kebohongannya. Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan
bahwa pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira
yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut sudah
disingkirkan Wiranto.

Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong. Namun bila
kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat bahwa memang terjadi
banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.

Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto
menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi
Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan kudeta
sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan
BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan
Titiek Soeharto. Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir
dan menistakan Prabowo.

Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang
ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang
membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan Prabowo untuk
mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.

Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan
rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga
Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai marinir
berinisiatif keluar kandang.

Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan kelompok Benny Moerdani ada di belakang
Kerusuhan Mei 98 adalah sebagai berikut:

1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny
Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar,
binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).

2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan
sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih
sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe
intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala
besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang
dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).

Lagipula saat kejadian terbukti Benny Moerdani sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa
orang lapangan saat kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 98 dilatih di Bogor!!!

3. Alasan Megawati setuju menjadi alat Benny Moerdani padahal saat itu keluarga Soekarno sudah
sepakat tidak terjun ke politik dan alasan Benny Moerdani begitu menyayangi Megawati mungkin adalah
karena mereka sebenarnya pernah menjadi calon suami istri dan Soekarno sendiri pernah melamar

54
Benny, pahlawan Palangan Irian Jaya itu untuk Megawati, namun kemudian Benny memilih Hartini
wanita yang menjadi istrinya sampai Benny meninggal (Salim Said, halaman 329).

Berdasarkan semua fakta dan uraian di atas maka kiranya sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan
Kelompok Benny Moerdani, dalang Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 ada di belakang
Jokowi-JK dengan mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar) untuk
melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menjadi penghalang
utama mereka ketika mencoba mendeislamisasi Indonesia. [hudzaifah/Berric Dondarrion/voa-islam.com]

55

Anda mungkin juga menyukai