Anda di halaman 1dari 4

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama : Vira Wijaya


NRP : 120118356
Kelas Pararel : A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
TAHUN 2021
NOMOR 1
Pelaku usaha dalam meningkatkan penjualannya melakukan promosi, salah satunya
dengan cara periklanan. Iklan berisi mengenai produk yang akan dijual dan juga membicarakan
bagaimana cara memperkenalkan produk agar menarik konsumen. Konsumen tidak hanya
mendapatkan produk langsung melalui produsen, namun dalam pendistribusiannya bisa melalui
beberapa pihak, yang mana hal ini bisa membentuk mata rantai pendistribusian yang dibagi
menjadi 2 yaitu mata rantai pendistribusian pendek yaitu antara pelaku usaha yang membuat
(produsen) dengan konsumen, jadi secara langsung konsumen membeli produk tersebut dari
produsen tidak melalui pihak lain sebagai perantara hingga produk itu digunakan oleh konsumen
dan mata rantai pendistribusian panjang, ketika pelaku usaha produsen itu telah memproduksi
produk, produk tersebut tidak langsung diedarkan sendiri oleh pelaku usaha produsen melainkan
ada pihak-pihak lain, misalkan setelah produsen membuat produk, produk akan diberikan ke
distributor lalu dibeli oleh agen, dari agen dibeli oleh supermarket, dari supermarket tersebut
konsumen membeli langsung produk itu. Dari mata rantai tersebut dimungkinkan dilakukannya
priklanan oleh para pelaku usaha, iklan ini terkadang bisa menyesatkan konsumen hingga
konsumen tersebut mengalami kerugian, dalam hal ini masing-masing pihak dimungkinkan untuk
bertanggung jawab atas kerugian konsumen namun harus dilihat sejauh mana hubungan hukum
dalam perjanjian masing-masing pihak dan diperhatikan lagi siapa yang memberikan
konsep periklanan yang menyesatkan tersebut. Saat ada hubungan hukum di perjanjiannya
harus tau pelaku usaha siapa (apakah produsen, distributor, agen, supermarket, perusahaan
periklanan atau pihak lain yang melakukan kegiatan usaha dibidang ekonomi) yang bertanggung
jawab. Misalkan X membeli obat penambah energi di supermarket setelah melihat iklan poster
bertuliskan boleh dikonsumsi 4 kali sehari tanpa adanya efek samping dan dibawahnya diberi
tulisan ditetapkan oleh BPOM, dalam satu bulan pemakasian X mengalami stroke dan menurut
medis hal itu diakibatkan konsumsi obat penguat tersebut 4 kali sehari yang mana ini berbahaya
dan ternyata hal ini dilarang oleh BPOM sendiri, dari sini dapat kita ketahui adanya iklan tersebut
menyesatkan atau memberikan informasi yang tidak benar terkait penggunaan barangay sehingga
merugikan X. Diketahui ternyata iklan berupa poster tersebut dibuat oleh pelaku usaha produsen
dan pelaku usaha periklanan, maka yang bertanggung jawab antara dua pihak ini dan dilihat
kembali konsep iklan yang menyesatkan ini (4 kali sehari tanpa adanya efek samping dan
dibawahnya diberi tulisan ditetapkan oleh BPOM) dari siapa, sehingga siapa yang memberikan
konsep ini dialah yang bertanggung jawab bisa semua dari produsen maka produsen yang
bertanggung jawab atau sebaliknya, dimungkinkan keduanya bisa bertanggung jawab jika
keduanya memberikan konsep tersebut dan mengetahui ketidak benaran itu. Iklan yang
menyesatkan bisa dibuat siapa saja, bisa tanpa melalui pelaku usaha periklan. Jika yang iklan
tersebut dari supermarket maka supermarket ikut bertanggung jawab dan dilihat sejauh mana
pihak-pihak ini memberikan dan mengetahui informasi yang tidak benar. Contoh ikalan poster
menyesatkan tersebut telah melanggar Pasal 9 nomor (1) huruf c dan j UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) karena pelaku usaha
mengiklankan secara tidak benar, barang tersebut belum mendapatkan persetujuan BPOM terkait
pengkonsumsiannya dan pelaku usaha menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman,
tidak berbahaya, tidak mengandung risiko. Dari contoh diatas pelaku usaha yang memberikan
konsep perikalanan menyesatkan telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf a dan b UU
Perlindungan Konsumen, karena tidak beritikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya serta
tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur terutama mengenai jaminan barang yang
dituangkan dalam iklan yang dibuatnya (terkait BPOM dan resiko dalam pengkonsumsian
produk), padahal menurut Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen, hak konsumen atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa telah
dilanggar. Dalam Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen, dikatakan bahwa pelaku usaha dalam
mengiklankan suatu produk dilarang membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa, kegunaan suatu barang dan/atau jasa,
kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa, tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan, bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Jika iklan yang menyesatkan tersebut tersbukti secara keseluruhan dibuat konsepnya dan ketidak
benarannya diketahui oleh pelaku usaha periklanan maka pelaku usaha periklanan tersebut juga
melanggar pasal 17 UU Perlindungan Konsumen, maka dari itu menurut pasal 20 UU
Perlindungan Konsumen, pelaku usaha periklanan tersebut bertanggung jawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
NOMOR 2 a :
Istilah perjanjian baku tidak disebutkan di UU Perlindungan Konsumen, namun dalam Pasal 1
angka 10 UU Perlindungan Konsumen disebutkan klausula baku, ialah setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausa baku merupakan batang tubuh dari
perjanjian baku, artinya, maka perjanjian baku adalah perjanjian yang bentuknya telah
ditetapkan oleh satu pihak, sedangkan pihak lain hanya melakukan pernyaatn setuju. Perjanjian
baku ini membuat konsumen tidak dapat menegosiasikan isi dari perjanjian itu, sehingga
konsumen hanya memiliki pilihan menyetujui atau menolaknya. Syarat sahnya perjanjian
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 yaitu sepakat untuk mengikatkan dirinya, suatu hal
tertentu, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu sebab yang halal. Jika kita kaitkan
syarat sahnya perjanjian baku ini tidak akan melanggar apabila dalam isinya tidak
mencantumkan hal-hal yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan
Konsumen, jika dalam perjanjian baku tersebut memuat ketentuan tersebut maka ketika
perjanjian dapat berakibat batal demi hukum karena ia melanggar syarat sebab yang halal yaitu
melanggar ketentuan perundang-undangan. Artinya suatu perjanjian baku tidak melanggar
syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar UU Perlindungan konsumen selama dalam
perjanjian baku itu tidak dimasukkan klausula eksonerasi yaitu klausula membatasi atau
menghapus tanggungjawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha yang
menyebabkan tidak adanya keseimbangan posisi antara produsen dan konsumen, serta selama
perjanjian baku tersebut itu dicantumkan pada letak dan dalam bentuk yang jelas, dapat dibaca,
serta mudah dimengerti maksudnya serta konsumen menyetujui perjanjian tersebut tanpa
adanya paksaan dan penipuan.
NOMOR 2 b :
Agar perjanjian baku tidak melanggar syarat sahnya suatu perjanjian dan UU No. 8 Tahun 1999
maka perjanjian baku tersebut tidak boleh mengandung hal-hal yang dilanggar di Pasal 18 ayat
(1) dan (2) UU No. 8 Tahun 1999 atau tidak diperbolehkannya klausula eksonerasi, serta isinya
perjanjian baku tersebut harus dicantumkan dalam
letak dan bentuk yang jelas, dapat dibaca, serta mudah
dimengerti maksudnya serta konsumen menyetujui
perjanjian tersebut tanpa adannya paksaan, penipuan,
dan kekhilafan. Dari contoh disamping dapat diketahui
bahwa saat pembelian produk kita akan langsung
mendapat garansi dari pelaku usaha, sehingga jika
terdapat kerusakan barang maka bisa dilakukan
penggantian jika terbukti bahwa itu merupakan
kesalahan dari pelaku usaha dan klaim harus sesuai
ketentuan tersebut, jika tidak dipenuhi ketentuannya
maka adalah tanggung jawab pelaku usaha bisa hilang.
Artinya barang yang telah dibeli bersifat final tidak
bisa diganti atau ditukar namun ada pembatasan dengan adanya ketentuan yang tercantum jelas
di atas, sehingga pertanggung jawabannya seimbang antara konsumen dan pelaku usaha.

Anda mungkin juga menyukai