Anda di halaman 1dari 8

J. MANUSIA & LINGKUNGAN, 2019, 26(1):28-35, DOI: 10.22146/jml.

29250

RESOLUSI KONFLIK TENURIAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN DI HUTAN LINDUNG


RIMBO DONOK KABUPATEN KEPAHIYANG
(The Tenurial Conflicts Resolution of Utilization of Forest Areas in Protected Forests Rimbo Donok
Kepahiang District)

Gunggung Senoaji1*, Muhamad Fajrin Hidayat1, dan Iskandar2


1
Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu, 38173.
2
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu, 38173.
*
Penulis korespondensi. Tel: 081377986131. Email: senoaji1211@gmail.com.

Diterima: 23 Oktober 2017 Disetujui: 12 September 2018

Abstrak
Hutan Lindung Rimbo Donok memiliki luas 377,99 ha, terletak di Kabupaten Kepahiyang Provinsi Bengkulu.
Fungsi utama dari hutan lindung ini adalah sebagai sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir dan erosi, dan menjaga kesuburan tanah. Seharusnya, tutupan vegetasi kawasan hutan ini berupa hutan primer.
Namun fakta di lapangan, seluruh kawasan hutan ini telah berubah menjadi lahan pertanian. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik masyarakat penggarap lahan di kawasan hutan lindung Rimbo Donok dan mencari
alternatif resolusi konflik yang terjadi. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik pemetaan, pengamatan
lapangan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan di hutan lindung Rimbo Donok
seluruhnya berupa lahan pertanian, yang digarap masyarakat secara tidak sah dengan menanam kopi dan tanaman
pertanian lainnya. Rata-rata luas lahan garapan untuk setiap kepala keluarga sekitar 1,33 ha. Resolusi konflik
pemanfaatan hutan ini harus bisa mengakomodir fungsi sosial ekonomi dan fungsi perlindungan lingkungan. Upaya
legalisasi pemanfatan hutan harus dilakukan dengan berbagai skema seperti : hutan kemasyarakatan, hutan desa, atau
kemitraan. Pengolahan lahannya dapat menggunakan sistem agroforestry.
Kata kunci: Agroforestry, Hutan Lindung, Konflik Tenurial.
Abstract
Rimbo Donok Protected Forest covers 377.99 ha area, located in Kepahiyang District, Bengkulu Province,
Indonesia. The main function of protected forest is to protect life buffer system. Therefore, the land use must be forest.
In Rimbo Donok Protected Forest, there has been a change of land use from forest land to crop land. There has been
tenurial conflicts in the utilization of forest area. The objective of this study was to determine the characteristics of
tenants in Rimbo Donok protected forest area and choose alternatives to resolve tenurial conflicts. The data of uses
were collected through mapping techniques, field observation, and interview. The results showed that land use of Rimbo
Donok Protected Forest in 2016 is entirely crop land. All of this protected forest have been illegaly occupied by people.
These people are planting coffe and other agricultural plants in the area. The average land area of head family is 1.33
ha. This conflict resolution of forest utilization should be able to accommodate the socio-economic function and
environmental protection function. Efforts to legalize the utilization of forests should be carried out under various
schemes such as: community forest, village forest, or partnership. the agroforestry system can be selected as its land
management system.
Keywords: agroforestry, forest protected, tenurial conflicts.

PENDAHULUAN tambang (Zubayr, dkk, 2014), dan ekowisata


(Supyan, 2011).
Hutan merupakan sumber daya alam karunia Untuk mengakomodir fungsi perlindungan
Tuhan yang maha kuasa dengan fungsi utamanya lingkungan dan fungsi ekonomi dari hutan secara
sebagai pengendali bagi perlindungan ekosistem seimbang, pemerintah membuat kebijakan
bumi (Simon, 2001). Hutan berperan penting dalam pengklasifikasian kawasan hutan menjadi hutan
mengatur tata air (Asdak, 2004; Ulya dkk, 2014), konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi
gudang plasma nutfah dan menjaga kesuburan (Anonimus, 1999). Hutan lindung merupakan
tanah (Indriyanto, 2006), dan menyerap karbon kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
dioksida di udara (Wibowo, 2013). Selain untuk sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
perlindungan lingkungan, hutan juga berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
sebagai sumber ekonomi bagi manusia, seperti mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
sumber pangan (Dwiprabowo dkk, 2011), penghasil memelihara kesuburan tanah. Salah satu kawasan
kayu (Rahmat, 2011; Hidayat, 2012), barang hutan lindung yang berada di Provinsi Bengkulu
Januari 2019 GUNGGUNG SENOAJI DKK.: RESOLUSI KONFLIK TENURIAL 29

adalah Hutan Lindung Rimbo Donok (Register 8) 2004). Manfaat dari sisi ekonomi adalah sebagai
yang terletak di Kabupaten Kepahiyang. salah satu sumber pendapatan masyarakat;
Hutan Lindung Rimbo Donok telah ditetapkan sedangkan dari sisi ekologi dapat meningkatkan
sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Surat kesuburan lahan dan perlindungan lingkungan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 3982/Menhut- (Senoaji, 2012).
VII/KUH/2014 tanggal 23 Mei 2014 dengan luas Pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat
kawasan 377,99 ha. Penetapan kawasan Hutan untuk berbagai kepentingan harus mendapat ijin
Lindung Rimbo Donok ini ditujukan sebagai sistem dari pemerintah karena hutan merupakan public
penyangga kehidupan melalui pengatur tata air, goods yang mempunyai multi fungsi. Pemanfaatan
penyerap karbon, dan mencegah banjir-longsor bagi lahan hutan tanpa ijin merupakan pelanggaran
masyarakat yang tinggal di sekitar daerah aliran hukum sesuai dengan pasal 50 Undang-Undang No.
sungai Hulu Musi, Kabupaten Kepahiyang. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kawasan Hutan
Idealnya kawasan hutan lindung ini tutupan Lindung Rimbo Donok telah digarap oleh
vegetasinya berupa hutan primer. Namun kenyataan masyarakat menjadi lahan pertanian. Penelitian ini
di lapangan, seluruh tutupan vegetasinya telah bertujuan untuk mengetahui kondisi kawasan Hutan
berubah menjadi lahan pertanian kering campur. Lindung Rimbo Donok, karakteristik masyarakat
Fungsi hutan lindung sebagai sistem penggarapnya, status lahan garapannya, dan
penyangga kehidupan sudah tidak berjalan dengan alternatif penyelesaian konflik yang terjadi.
baik. Perubahan tutupan vegetasi di hutan lindung
mulai terjadi ketika kepemilikan lahan pertanian METODE PENELITIAN
masyarakat mulai menyempit. Pertambahan
penduduk yang terus menerus menyebabkan Waktu dan Lokasi
tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan Penelitian ini dilakukan di Kawasan Hutan
semakin tinggi, sedangkan penegakan hukum bagi Lindung Rimbo Donok, Kabupaten Kepahiyang,
para perambah hutan belum berjalan maksimal Provinsi Bengkulu. Penelitian dilaksanakan selama
(Kaimuddin, 2008). Ketergantungan masyarakat ke 3 bulan yakni pada periode bulan April–Juni 2017.
dalam kawasan hutan menjadi tinggi (Yusran dan
Abdulah, 2007). Ketergantungan masyarakat hutan Prosedur
dalam memanfaatkan hutan tidak seluruhnya Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
dipayungi oleh aturan hukum yang ada. Masih pemetaan, wawancara dan pengamatan lapangan.
banyak masyarakat yang mengolah lahan hutan Pemetaan dilakukan untuk mengetahui kondisi
secara illegal. Klaim terhadap lahan garapan penggunaan lahan aktual di kawasan hutan lindung
sebagai tanah adat yang merupakan warisan leluhur ini, dengan menggunakan Peta Penggunaan Lahan
dijadikan alasan untuk memanfatkan kawasan Tahun 2016 (Gambar 1) yang diterbitkan oleh
hutan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dengan Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup
memanfaatkan hutan lindung sebagai lahan dan Kehutanan Republik Indonesia.
pertanian secara tidak sah merupakan tindakan Teknik wawancara dilakukan terhadap
penyerobotan kawasan hutan, sehingga masyarakat yang sebagai responden penelitian.
menimbulkan konflik dengan pengelola kawasan Respondennya adalah masyarakat yang menggarap
hutan (Dassir, 2008). kawasan hutan. Pemilihan responden dilakukan
Ketergantungan dan tekanan yang tinggi metode insidental sampling di lokasi penelitian,
masyarakat terhadap kawasan hutan, membuat yakni pemilihan sampel dengan memilih para
pemerintah mencari berbagai skema pemanfaatan penggarap lahan yang secara kebetulan ditemui di
hutan oleh masyarakat. Kementerian kehutanan lokasi penelitian dan dipandang sesuai sebagai
telah melakukan revitalisasi dalam pengelolaan sumber data. Kriteria responden yang terpilih
kawasan hutan melalui program sosial forestry adalah masyarakat dewasa, memiliki lahan garapan
dengan berbagai pola pemberdayaan masyarakat di Hutan Lindung Rimbo Donok, serta sehat
(Heryatna, dkk., 2015). Prinsip dasar dari skema jasmani dan rohani. Pengamatan lapangan
pemanfaatan hutan oleh masyarakat ini adalah dilakukan pada lahan garapan yang dikelola oleh
mengakomodir masyarakat sekitar hutan untuk para responden, meliputi : letak dan luas lahan
mengolah lahan hutan dengan menerapkan sistem garapan, jenis tanaman yang tumbuh, dan pola
agroforestry, yang mengkombinasikan tanaman tanamnya. Jumlah respondennya 44 orang, dengan
kehutanan dengan tanaman pertnaian. Pengolahan menggunakan rumus Slovin (Nazir, 2009).
lahan dengan sistem agroforestry dapat 2
Z 
mempertahankan jumlah dan keragaman produksi n  (0.25)   / 2 
lahan, sehingga berpotensi memberikan manfaat    (1)
sosial, ekonomi, dan lingkungan (Hairiah, dkk., di mana :
30 J. MANUSIA & LINGKUNGAN Vol. 26, No. 1

n = jumlah responden wilayah yang berbatasan dengan kawasan hutan


Zα/2 = nilai yang didapat dari tabel normal atas dan berpotensi tetap berlanjut karena penegakan
tingkat keyakinan = 1,96 hukum kasusnya belum maksimal (Kaimuddin,
ε = kesalahan penarikan/margin of error= 2008). Di lain pihak, kontribusi pendapatan
15 % masyarakat sekitar hutan dari dalam kawasan hutan
Data dan informasi yang dikumpulkan lindung mencapai 52,5 % (Senoaji, 2009), yang
dianalisis dengan analisis sistem informasi terkait dengan usaha tani masyarakat di dalam
geografis (SIG) dan analisis deskriptif kualitatif- kawasan hutan (Supratman, 2007).
kuantitatif. Data yang dianalisis secara deskriptif Dari Gambar 1, terlihat bahwa pengunaan
kuantitatif-kualitatif meliputi kondisi sosial dan lahan di kawasan Hutan Lindung Rimbo Donok,
ekonomi, letak dan luas lahan garapan, status lahan seluruhnya berupa pertanian lahan kering campur.
garapan, pola pemanfaatan lahan, dan jenis Kawasan hutan akan berfungsi optimal sebagai
tanaman di lahan garapan. sarana perlindungan lingkungan jika bervegetasi
pohon seperti hutan alam yang memiliki strata tajuk
HASIL DAN PEMBAHASAN dan perakaran yang bertingkat (Simon, 2007).
Mengingat kawasan hutan ini fungsinya sebagai
Kondisi Hutan Lindung Rimbo Donok hutan lindung, perlu dilakukan upaya untuk
Hasil analisis citra satelit terhadap tutupan mengembalikan fungsi tersebut dengan tetap
vegetasi yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan memperhatikan masyarakat penggarap yang
Hidup dan Kehutanan tahun 2017, menunjukkan mengelolanya. Kebijakan pemerintah tentang
bahwa tutupan vegetasi Hutan Lindung Rimbo pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi
Donok, seluruhnya berupa lahan pertanian kering mengarah pada pemberdayaan masyarakat sekitar
campur. Ini berarti seluruh kawasan hutan ini telah hutan dengan tetap memperhatikan fungsi
berubah menjadi lahan garapan masyarakat. utamanya sebagai perlindungan lingkungan dan
Fenomena seperti ini banyak terjadi pada kawasan atau penyedia hasil hutan.
hutan di Provinsi Bengkulu, baik di hutan lindung Pada kawasan hutan lindung ini, seluruh petani
ataupun hutan produksi. Menurut Senoaji (2009), penggarap menanam kopi (Coffea canephora)
cukup banyak kawasan hutan lindung yang telah sebagai tanaman pokoknya. Jenis tanaman
dimanfaatkan masyarakat untuk diluar fungsi sampingan lainnya yang ditanam para petani
perlindungan seperti untuk lahan kebun, ladang, penggarap untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari
pemukiman, dan sawah. Perambahan kawasan di antaranya adalah cabe (Capsium frutesces),
hutan merupakan hal yang biasa terjadi pada pepaya (Carica papaya), buncis (Phaseolus

Gambar 1. Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung Rimbo Donok.


Januari 2019 GUNGGUNG SENOAJI DKK.: RESOLUSI KONFLIK TENURIAL 31

vulgaris), jahe (Zingiber officinale), kacang Perilaku seperti ini dipengaruhi oleh pengalamanan
panjang (Vigna sinensis), lengkuas (Languasa individu, motivasi, norma subyektif, dan
galanga), tomat (Solanum lycopersicum), lada keyakinannya (Azwar, 2010); namun berbeda
(Piper nigrum), serai (Cymbopogan citratus), dengan perilaku masyarakat Baduy dalam
pisang (Musa spp), tebu (Saccharum officinarum), mengelola lahan garapannya yang dilakukan secara
terung (Sonamum melongena), labu kuning legal (Senoaji, 2011).
(Cucurbita moschata) nanas (Ananas comosus),
kunyit (Curcuma longa), daun bawang (Allium Karakteristik Masyarakat Penggarap Kawasan
fistulosum), ubi kayu (Manihot esculenta), dan Hutan Lindung Rimbo Donok
buah naga (Hylocereus undatus). Pada beberapa Tingkat Pendidikan
lahan garapan petani, ditemukan beberapa jenis Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang
pohon penghasil buah atau sebagai pelindung dalam kemampuan berpikir (Adhawati, 1997).
seperti alpokat (Persea gratissima), lamtoro Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah
(Leucaena leucochepala), durian (Durio spp), aren pengetahuan tetapi juga dapat meningkatkan
(Arenga pinata), kelapa (Cocos nucifera), mangga keterampilan tenaga kerja sehingga akan
(Mangifira indica), merambung (Vernonia meningkatkan produktivitas. Pada Tabel 1 disajikan
arborea), bambang lanang (Madhuca aspera), data karakteristik petani penggarap berdasarkan
kapuk (Ceiba pentandra), bambu (Bambuseae sp.), tingkat pendidikan.
petai (Parkia speciosa), dan kayu res (Gliricidia Petani penggarap lahan kawasan Hutan
sepium). Lindung Rimbo Donok sebagian besar
Kawasan hutan yang sudah terdesak oleh berpendidikan Sekolah Dasar (38,64%) dan SLTP
perkebunan kopi, hanya menyisakan sedikit (34,09%). Angka ini memberikan indikasi bahwa
tegakan pepohonan sebagai penghasil kayu bahan tingkat pendidikan para petani penggarap ini masih
bangunan (Hidayat, 2012). Kawasan Hutan rendah. Inovasi baru tentang sesuatu hal akan relatif
Lindung Rimbo Donok ini, seakan-akan telah lebih sulit dipahami oleh mereka.
berubah menjadi lahan penghasil pangan bagi
masyarakat dan menjadi rumah kedua bagi mereka. Luas Lahan Garapan
Para petani penggarap membangun ”pondok Luas lahan garapan merupakan modal petani
kebun” dengan tempat penjemuran kopi di setiap dalam berusaha tani. Pendapatan petani dari usaha
lahan garapannya. Pada hari-hari di luar musim taninya salah satunya ditentukan oleh luas lahan
panen, para petani penggarap akan pulang-pergi ke garapannya, karena dapat mempengaruhi produksi
desanya dalam mengelola lahan garapannya. Pada per satuan luas. Purwanti (1997) mengelompokkan
musim panen kopi, mereka akan tinggal di ”pondok luas lahan garapan menjadi : ”sedikit” jika luasnya
kebunnya” sekitar 3-4 bulan dalam setahun. Mereka kurang dari 1 ha, ”sedang” jika luasnya 1–3 ha, dan
akan kembali ke desanya jika panen kopi telah ”banyak” jika luasnya lebih dari 3 ha.
selesai dengan membawa hasil panen kopi yang Dari Tabel 2, diketahui bahwa sebagian besar
sudah kering dan siap jual. Perilaku masyarakat (97,73 %) luas lahan garapan petani termasuk
penggarap dalam mengelola hutan lindung ini telah dalam katagori sedang (1–3 ha). Hanya 2,27 %
dianggap menjadi hal yang lumrah, padahal yang memiliki luas lahan garapan kurang dari 1 Ha.
bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Rata-rata luas lahan garapan di dalam hutan lindung
Tabel 1. Karakteristik petani penggarap berdasarkan tingkat pendidikan.
No Tingkat pendidikan Jumlah responden Persentase (%)
1. Tidak Sekolah 1 2,27
2. SD 17 38,64
3. SLTP 15 34,09
4. SLTA 10 22,73
5. Perguruan Tinggi 1 2,27
Jumlah 44 100
Sumber : Olahan data primer, 2017
Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan luas lahan garapan.
No Luas lahan garapan Jumlah responden Persentase (%)
1. Sedikit (<1 hektar ) 1 2,27
2. Sedang (1 – 3 hektar) 43 97,73
3. Banyak (> 3 hektar) 0 0
Jumlah 44 100
Sumber : Olahan data primer, 2017
32 J. MANUSIA & LINGKUNGAN Vol. 26, No. 1

Tabel 3. Karakteristik petani penggarap berdasarkan cara memperoleh lahan garapan.


No Cara memperoleh lahan garapan Jumlah responden Persentase (%)
1. Menyewa 6 13,64
2. Membuka lahan 1 2,27
3. Warisan 12 27,27
4. Membeli 25 56,82
Jumlah 44 100
Sumber : Olahan data primer, 2017
Tabel 4. Karakteristik petani penggarap berdasarkan lokasi domisili.
No Desa dan status Jumlah responden Persentase (%)
1. Desa sekitar hutan 32 72,72
2. Desa bukan sekitar hutan 12 27,28
Jumlah 44 100
Sumber : Olahan data primer, 2017

ini untuk setiap kepala keluarga adalah 1,33 ha. Domisili Petani Penggarap
Dengan luas kawasan hutan sekitar 378 ha, Pada tabel 4 disajikan karakteristik petani
diperkirakan terdapat 280 kepala keluarga yang penggarap berdasarkan lokasi domisili. Tampak
menggarap. Masyarakat penggarap yang memiliki bahwa program pemerintah tentang pemberdayaan
lahan pertanian sebagai hak milik (di luar kawasan masyarakat sekitar hutan, hanya ditujukan untuk
hutan) hanya 4,54 %; selebihnya (95,46 %) tidak masyarakat yang berdomisili di desa-desa sekitar
memiliki lahan milik, sehingga sumber hutan. Desa-desa yang berada di sekitar Hutan
pendapatannya sangat tergantung kepada lahan Lindung Rimbo Donok adalah Talang Karet,
garapan yang berada di dalam kawasan hutan Peraduan Binjang, Tebing Penyamun, Penanjung
lindung ini. Panjang dan Air Pauh.

Cara Mendapatkan Lahan Garapan Resolusi Konflik Tenurial Pemanfaatan


Lahan garapan yang diolah petani merupakan Kawasan Hutan
kawasan Hutan Lindung Rimbo Donok. Secara Konflik adalah benturan yang terjadi antara
yuridis, lahan ini merupakan milik negara yang dua pihak atau lebih yang disebabkan karena
kewenangan pengelolaannya diserahkan kepada adanya perbedaan kondisi sosial budaya, nilai,
pemerintah Provinsi Bengkulu. Berdasarkan status, dan kekuasaan (Fuad dan Maskanah, 2000);
regulasi yang berlaku dalam Undang-Undang No. atau persepsi mengenai perbedaan kepentingan
41 tahun 1999 pasal 50 ayat 3 butir (a), disebutkan (Pruitt dan Rubin, 2009); sedangkan konflik
bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau tenurial adalah konflik dalam penguasaan lahan dan
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan sumber daya alam (Sylviani dan Hakim, 2014).
secara tidak sah. Fakta di lapangan, hampir seluruh Konfik tenurial pada kawasan hutan berarti terjadi
kawasan hutan lindung ini, telah dimanfaatkan oleh benturan dalam penguasaan lahan dan sumber daya
masyarakat sebagai lahan pertanian. Masyarakat dalam kawasan hutan, seperti konflik pengelola
penggarap menganggap bahwa lahan garapannya hutan dengan masyarakat yang memanfaatkan
adalah milik sah mereka yang diperolehnya melalui kawasan hutan untuk areal pemukiman, jalan,
berbagai cara., yakni mulai dari membuka lahan ladang dan kebun (Dassir, 2008). Konflik
sendiri, membeli, warisan dari orang tua dan penguasaan tanah muncul dari persepsi dan
menyewa dari pemiliknya. interpretasi yang berbeda yang dimiliki antar pihak
Dari Tabel 3, dijelaskan bahwa sebanyak terhadap hak mereka atas tanah dan sumber daya
13,64% petani penggarap memperoleh lahan hutan (Safitri dkk, 2011).
garapannya dengan cara menyewa kepada Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan
masyarakat yang dianggap memiliki lahan garapan; dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya
27,27% memperoleh lahan garapannya dari alam dan kebutuhan yang selalu meningkat,
pemberian atau warisan orang tuanya; 56,82% bertambahnya jumlah penduduk memunculkan
memperoleh lahan garapannya dengan cara berbagai kepentingan yang berbeda atas
membeli kepada pemilik sebelumnya; dan hanya sumberdaya yang sama, dan perubahan kondisi
2,27% memperoleh lahan garapannya dengan sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum
membuka lahan sendiri. Di tingkat masyarakat telah dan politik menciptakan kepentingan-kepentingan
terjadi kesepakatan di antara mereka tentang status dan kebutuhan- kebutuhan baru terhadap
kepemilikan lahan garapan di dalam kawasan sumberdaya hutan (Fuad dan Maskanah, 2000).
hutan. Konflik tenurial ini digambarkan sebagai fenomena
Januari 2019 GUNGGUNG SENOAJI DKK.: RESOLUSI KONFLIK TENURIAL 33

yang terjadi akibat dominasi pemerintah sebagai orang tuanya. Motivasinya menggarap kawasan
pemegang kekuasaan yang melahirkan perlawanan hutan ini adalah untuk kepentingan ekonomi, yakni
masyarakat. Kekuasaan pemerintah sebagai memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hutan
representasi negara melalui kebijakan dan telah menjadi sumber pangan dan sumber
penerapannnya serta implikasinya dalam pendapatan bagi masyarakat penggarapnya. Kondisi
pengelolaan hutan seringkali berlawanan dengan kawasan hutan lindung seperti ini tidak lagi
peran dan kepentingan masyarakat lokal yang berfungsi sebagai perlindungan lingkungan,
tinggal di sekitar kawasan hutan (Maring, 2013). padahal penetapan hutan lindung diutamakan untuk
Konflik tenurial pada kawasan hutan menjaga sistem penyangga kehidupan, seperti
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, mencegah banjir, erosi, dan menjaga kesuburan
yakni pemerintah, masyarakat lokal, dan lembaga tanah.
swadaya masyarakat. Pemerintah berkepentingan Pemerintah harus segera menerapkan
mengamankan hutan sebagai kawasan hutan kebijakan yang dapat meningkatkan fungsi hutan
negara, masyarakat berkepentingan secara sosial lindung sebagai perlindungan lingkungan, namun
dan ekonomi atas sumberdaya hutan, untuk dengan tetap mengakomodir keberadaan
memenuhi kebutuhan hidupnya dan lembaga masyarakat di hutan lindung ini. Tindakan
swadaya masyarakat berkepentingan membela hak- penggusuran dan pengusiran para petani penggarap
hak masyarakat atas sumberdaya hutan. dari dalam hutan lindung, bukanlah solusi yang
Konflik pemerintah dengan masyarakat sekitar tepat, karena mereka menggantungkan hidupnya
hutan sering terjadi karena selama ini pembangunan dari kawasan hutan. Legalitas para penggarap lahan
kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial hutan perlu dilakukan untuk keberlanjutan
ekonomi budaya masyarakat. Ketertinggalan dari pemanfaatannya dan meningkatkan fungsi lindung.
segi ekonomi menyebabkan timbul sikap resistensi Berbagai kebijakan pemerintah yang
dari masyarakat terhadap pihak luar yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat
mengelola hutan. Sikap inilah yang merupakan sekitar hutan yang dapat dipakai untuk legalisasi
potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan pemanfaatan kawasan hutan di Hutan Lindung
sumberdaya hutan (Nugraha, 1999). Oleh karena Rimbo Donok adalah peraturan hutan
itu, Darusman (1993) menyatakan bahwa kemasyarakatan (Permenhut No. 88 tahun 2014),
masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih peraturan hutan desa (Permenhut No. 89 tahun
diperhatikan dalam pembangunan sektor kehutanan, 2014), dan peraturan kemitraan kehutanan
karena mereka adalah bagian atau unsur dari (Permenhut No. 39 tahun 2013). Prinsip dasar dari
ekosistem hutan yang saling tergantung satu sama skema-skema pemberdayaan masyarakat tersebut
lainnya. adalah mengijinkan masyarakat sekitar hutan untuk
Menurut Maring (2013), keberadaan hutan memanfaatkan lahan hutan6 melalui pengaturan
sebagai sumberdaya alam tidak bisa dijauhkan dari pola dan jenis tanaman. Para petani penggarap
akses dan peran masyarakat lokal yang tinggal di diharuskan menanam tanaman kehutanan (pohon)
dalam dan di sekitar hutan. Ironinya, kebijakan di samping tanaman pertanian. Sistem agroforestri
pengelolaan hutan di Indonesia memberikan akses merupakan pilihan yang tepat untuk menentukan
yang kecil kepada masyarakat yang tinggal di pola tanamnya.
dalam dan sekitar kawasan hutan. Akibat kebijakan Agroforestry merupakan manajemen
pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan dan pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari
mengadopsi sistem pengelolaan hutan yang dengan cara mengkombinasikan kegiatan
dikembangkan masyarakat adalah terjadinya kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan
kemunduran pengelolaan hutan oleh masyarakat lahan yang sama dengan memperhatikan kondisi
lokal. Kemunduran pengelolaan hutan juga lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya
merupakan akibat dari berbagai distorsi yang masyarakat (Anonimus, 1992). Teknik agroforestry
ditunjukkan aparat kehutanan dan pengusaha hutan; akan menekankan penggunaan jenis-jenis pohon
yang akhirnya masyarakat lokal ikut berperan juga serbaguna dan menentukan asosiasi antara jenis-
dalam pemanfaatan lahan hutannya secara illegal. jenis vegetasi yang ditanam. Dalam konteks
Hasil penelitian di kawasan Hutan Lindung agroforestry, pohon serbaguna mengandung
Rimbo Donok, menunjukkan bahwa seluruh petani pengertian semua pohon atau semak yang
penggarap tidak memiliki ijin pemanfaatan hutan. digunakan atau dikelola untuk lebih dari satu
Petani penggarap secara illegal memanfaatkan kegunaan produk atau jasa; yang penekanannya
kawasan hutan sebagai lahan garapan pertanian. pada aspek ekonomis dan ekologis. Saat ini
Lahan garapan diperoleh dengan cara membuka agroforestry diyakini secara luas mempunyai
sendiri, menyewa, membeli, ataupun warisan dari potensi besar sebagai alternatif pengelolaan lahan
34 J. MANUSIA & LINGKUNGAN Vol. 26, No. 1

yang utama untuk konservasi tanah dan juga 061/SP2H/LT/DRPM/IV/2017 tanggal 6 April
pemeliharaan kesuburan dan produktivitas lahan di 2017.
daerah tropis. Keyakinan ini didasarkan pada
hipotesa bahwa pohon dan vegetasi besar lainnya DAFTAR PUSTAKA
dapat meningkatkan kesuburan tanah di bawahnya
(Nair, 1993). Sistem agroforestry di kawasan hutan Adhawati, S.S., 1997. Analisis Ekonomi
akan meningkatkan kualitas perlindungan Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran Tinggi
lingkungan, memperbaiki produktivitas lahan, dan di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten
meningkatkan kesejahteraan petani penggarap Goa. Thesis Program Pasca Sarjana
(Triwanto dkk. 2012), serta sesuai dilakukan pada Universitas Hasanudin. Makasar.
lahan kritis pada berbagai kondisi landscape Anonimus, 1992. Manual Kehutanan. Departemen
(Bukhari dan Febryano, 2009) seperti halnya di Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
kawasan hutan lindung. Anonimus, 1999. Undang-Undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Rebublik
KESIMPULAN Indonesia. Jakarta.
Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan
Hutan Lindung Rimbo Donok telah ditetapkan Daerah Sungai. Gadjah Mada University
oleh pemerintah sebagai dengan fungsi utama Press. Yogyakarta.
sebagai sistem penyangga kehidupan melalui Azwar, S., 2010. Sikap Manusia, Teori dan
pengatur tata air, penyerap karbon, dan mencegah Pengukurannya. Edisi ke-2. Pustaka Pelajar.
banjir-longsor bagi masyarakat yang tinggal di Yogyakarta.
sekitar daerah aliran sungai Hulu Musi, Kabupaten Bukhari dan Febryano, I.G., 2009. Desain
Kepahiyang. Namun, tutupan vegetasi hutan Agroforestry pada Lahan Kritis (Studi Kasus
lindung ini telah berubah nenjadi lahan pertanian di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh
kering campur akibat kegiatan pembukaan lahan Besar). Jurnal Perennial, 6(1):53-59.
hutan oleh masyarakat sekitar yang sebagian besar Dassir, M., 2008. Resolusi Konflik Pemanfaatan
tidak memiliki lahan hak milik. Kawasan hutan Lahan Masyarakat dalam Kawasan Hutan di
lindung ini telah menjadi sumber pangan dan Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Hutan dan
pendapatan bagi masyarakat penggarapnya. Telah Masyarakat, 3(1):1-10.
terjadi konflik tenurial antara masyarakat dengan Darusman, D., 1993. Pemukiman Perambah Hutan
pengelola kawasan hutan. yang Berwawasan Pembangunan Wilayah.
Pengusiran dan penggusuran masyarakat Makalah pada Diskusi Terbatas Pemukiman
penggarap dari dalam kawasan hutan lindung hanya Masyarakat Perambah Hutan, Departemen
akan menimbulkan masalah sosial baru, yakni Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
meningkatnya kemiskinan bagi masyarakat sekitar Hutan, 4 Mei 1993. Jakarta.
hutan. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Dwiprabowo, H., Effendi, R., Hakim, I., dan
melalui berbagai skema, seperti hutan Bangsawan, I., 2011. Kontribusi Kawasan
kemasyarakatan, hutan desa, atau kemitraan, Hutan dalam Menunjang Ketahanan Pangan:
diharapkan dapat menjadi resolusi konflik tenurial Studi Kasus Provinsi jawa Barat. Jurnal
ini. Skema pemberdayaan masyarakat ini akan Analisis Kebijakan Kehutanan, 8(1):47-61.
melegalkan kegiatan petani penggarap dan dapat Fuad, F., dan Maskanah, S., 2000. Inovasi
menciptakan ekosistem lahan garapannya Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber
menyerupai ekosistem hutan, melalui penerapan Daya Hutan. Pustaka LATIN. Bogor.
sistem agroforestry yang menggabungkan tanaman Hairiah, K., Suprayogo, D., dan Noordwijk, M.V.,
pertanian dengan tanaman kehutanan. 2004. Ketebalan Serasah sebagai Indikator
UCAPAN TERIMAKASIH Daerah Aliran Sungai (DAS) yang Sehat.
Word Agroforestry Center. Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Heryatna, D., Zainal, S., Husni, H., 2015. Persepsi
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Masyarakat terhadap Keberadaan Hutan
Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Kemasyarakatan di Desa Meragun Kecamatan
Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek Dikti
Nangan Taman Kabupaten Sekadau. Jurnal
Republik Indonesia, yang telah membiayai
Hutan Lestari, 4(1):58-64.
penelitian ini dalam skema Penelitian Unggulan
Hidayat, S., 2012. Komposisi dan Struktur Tegakan
Perguruan Tinggi (PUPT) tahun 2017, sesuai
Penghasil Kayu Bahan Bangunan di Hutan
dengan kontrak penelitian Nomor :
Lindung Tanjung Tiga Muara Enim Sumatera
Januari 2019 GUNGGUNG SENOAJI DKK.: RESOLUSI KONFLIK TENURIAL 35

Selatan. J. Manusia & Lingkungan, 22(2):194- Banten Selatan. Jurnal Bumi Lestari,
200. 12(2):283-293.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Simon, H., 2001. Pengelolaan Hutan Bersama
Aksara. Jakarta. Rakyat (Cooperative Forest Management)
Kaimuddin, 2008. Analisa Perambahan Kawasan Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa.
Hutanterhadap Kebocoran Karbon dan Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Perubahan Iklim. Jurnal Hutan dan Simon, H., 2007. Menatap ke Depan Kehutanan
Masyarakat, 3(2):119-123. Indonesia dalam Membangun KPH:
Maring, P., 2013. Kekuasaan dan Kjonflik Sosial : Keharusan untuk Hutan Indonesia Lestari.
Kasus Penguasaan Hutan Noge di Tanaloran Debut Press. Yogyakarta.
Flores. Insani, 15(2):1-11. Supratman, 2007. Pengembangan Usaha
Nair, R., 1993. An Introduction to Agroforestry. Masyarakat di dalam Kawasan Hutan (Studi
Kluver Academic Publisher-Boston in Kasus Masyarakat Desa-Desa Sekitar Areal
cooperative with International Centre for IUPHHK di Kabupaten Mamuju, Provinsi
Research in Agroforestry. Sulawesi Barat). Jurnal Hutan dan
Nazir, M., 2009. Metode Penelitian. Cetakan ke-7. Masyarakat, 2(3):303-312
Ghalia Indonesia. Bogor. Supyan, 2011. Pengembangan Daerah Konservasi
Nugraha, A., 1999. Latar Belakang Konflik Sosial sebagai Tujuan Wisata. Jurnal Mitra Bahari,
di Sektor Kehutanan: Suatu Tinjauan dari 5:53-69
Perspektif Antropolog. Makalah pada Sylviani dan Hakim, I., 2014. Analisis Tenurial
Pelatihan Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan
Melalui Program PMDH dan Koperasi. 28 Hutan (KPH) : Studi Kasus KPH Gedong
Oktober 1999. Samarinda. Wani Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Pruitt, D.G., dan Rubin, J.Z., 2009. Teori Konflik Sosial dan Ekonomi Hutan, 11(4):309-322.
Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Triwanto, J., Syarifuddin, A., Mutaqin, T., 2012.
Purwanti, R., 1997. Pendapatan Petani Dataran Aplikasi Agroforestry di Desa Mentaraman
Tinggi Sub DAS Malino Studi Kasus Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang.
Kelurahan Gantarang Kabupaten Gowa. Jurnal Dedikasi, 9(1):13-21.
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Ulya, N.A., Warsito, S.P., Andayani, W., dan
4(3):257-269 Gunawan, T., 2014. Nilai Ekonomi Air untuk
Rahmat, M., 2011. Peran Sektor Kehutanan dalam Rumah Tangga dan Transportasi, Studi Kasus
Perekonomian Kabupaten Ogan Komering Ulu di Desa Desa Sekitar Hutan Rawa Gambut
Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Merang Kepayang, Sumatera Selatan. J.
Kehutanan, 8 (2): 110-121. Manusia & Lingkungan, 21(2):232-238.
Safitri, M.A., Muhshi, M.A., Muhajir, M., Wibowo, A., 2013. Kajian Penurunan Emisi Gas
Shohibuddin, M., Arizona, Y., Sirait, M., Rumah Kaca Sektor Kehutanan untuk
Nagara, dan Santoso, H., 2011. Menuju Mendukung Kebijakan Perpres No. 61 tahun
Kepastian dan Keadilan Tenurial (Edisi 2011. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
revisi). Epistema Institute. Jakarta: 10(3):235-254
Senoaji, G., 2009. Kontribusi Hutan Lindung Yusran dan Abdulah, N., 2007. Tingkat
terhadap Masyarakat Sekitarnya: Studi Kasus Ketergantungan Masyarakat terhadap Kawasan
di Desa Air Lanang Bengkulu. J. Manusia & Hutan di Desa Borisallo Kecamatan Parangloe
Lingkungan, 16(1):12-22. Kabupaten Goa Sulawesi Selatan. Jurnal
Senoaji, G., 2011. Perilaku Masyarakat Baduy Hutan dan Masyarakat, 2(1):127-135.
dalam Mengelola Hutan Lahan dan Zubayr, M., Darusman, D., Nugroho, B., dan
Lingkungan di Banten Selatan. Humaniora, Nurrohmat, D.R., 2014. Peranan dalam Pihak
23(1):14-25. dalam Implementasi Kebijakan Penggunaan
Senoaji, G., 2012. Pengelolaan Lahan dengan Kawasan Hutan untuk Pertambangan. Jurnal
Sistem Agroforestry oleh Masyarakat Baduy di Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3):203-213.

Anda mungkin juga menyukai