BLS Bab 2 Ara Rev
BLS Bab 2 Ara Rev
Pada pengkajian breathing pada pasien dengan preeklamsia masalah yang terjadi apabila
edema paru dan menimbulkan gejala sesak napas, adanya suara napas tambahan, dan sianosis
mengakibatkan pasien mengalami sulit bernapas karena adanya cairan dalam paru.
2) Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka
yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup
mulut korban / pasien.
3) Mulut ke Stoma Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma)
yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan
pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.
Bantuan sirkulasi Terdiri dari 2 tahapan :a.Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban /
pasien. Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan dengan meraba
arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua atau tifa jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira–kira 1–2 cm, raba dengan lembut
selama 5–10 detik.Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan
korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan
korban / pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan
jalan napas.b.Melakukan bantuan sirkulasi Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung,
selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung
luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan
melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban / pasien.
Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan
napas.b.Melakukan bantuan sirkulasi Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung,
selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung
luar.
Kompresi dada yang berkualitas sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan dalam
penanganan kasus henti jantung. Untuk kompresi dada yang berkualitas, pasien harus terlentang
pada permukaan yang keras, tangan penyelamat harus ditempatkan dengan benar, kecepatan dan
kedalaman kompresi yang benar harus dilakukan, dan gangguan harus diminimalkan.
Kompresi dada harus dilakukan dengan kecepatan minimal 100 per menit pada kedalaman
minimal 2 inci (5 cm), memungkinkan kembalinya dinding dada secara sempurna sebelum
kompresi berikutnya, dengan gangguan minimal, dan dengan rasio kompresiventilasi 30 : 2.
Gangguan harus diminimalkan dan dibatasi hingga 10 detik kecuali untuk intervensi khusus
seperti pemasangan alat jalan nafas atau penggunaan defibrilator. Pasien harus diletakkan
terlentang untuk kompresi dada.
Pada pasien hamil, posisi terlentang akan mengakibatkan kompresi aortokaval. Kompresi ini
harus diatasi terus menerus selama upaya resusitasi dan dilanjutkan selama perawatan pasca
henti jantung. Pemindahan uterus ke kiri secara manual harus digunakan untuk meredakan
kompresi aortokaval selama resusitasi. Rees dan Willis menemukan bahwa pada percobaan RJP
pada kemiringan lateral kiri > 30°, pasien dapat terjatuh dari tempat tidur dan RJP tidak efektif.
Oleh karena itu, kompresi dada yang dilakukan dengan pasien dalam keadaan miring bisa secara
signifikan kurang efektif daripada yang dilakukan dengan pasien dalam posisi terlentang biasa,
dan ini dapat berdampak besar pada keberhasilan resusitasi. Pada populasi yang tidak mengalami
henti jantung, LUD (Left Uterine Displacement) jika dibandingkan dengan miring 15° kiri,
tingkat hipotensi yang lebih rendah dan kebutuhan efedrin yang secara signifikan lebih rendah
selama persalinan sesar. Keuntungan lain dari LUD adalah akses yang lebih mudah untuk
manajemen jalan napas dan defibrilasi. Saat LUD dilakukan, pasien dapat tetap terlentang dan
menerima tindakan resusitasi biasa, termasuk kompresi dada yang berkualitas tanpa halangan
LUD dapat dilakukan dari kiri pasien, dimana uterus ditangkupkan dan diangkat ke atas dan ke
kiri dari pembuluh darah ibu, atau dari kanan pasien , di mana uterus didorong ke atas dan ke kiri
dari pembuluh darah ibu (Simanjuntak, 2021).
Posisi melakukan RJP :
satunya adalah pemberian antikonvulsan, salah satu obat golongan antikonvulsan yang
digunakan untuk preeklampsia adalah magnesium sulfat. Pemberian magnesium sulfat bermakna
dalam mencegah kejang dan kejang berulang. Pemberian magnesium sulfat terhadap
preeklampsia dan eclampsia pada ibu hamil dinilai akan lebih baik dalam mencegah kejang atau
kejang berulang dibandingkan antikonvulsan lainnya (POGI, 2016). Hal ini karena penggunaan
magnesium sulfat pada antenatal tidak menunjukkan efek samping yang serius seperti kematian
ibu, henti jantung, atau henti napas (Bain,Middleton, & Crowther, 2013). Efek sampingyang
timbul dari penggunaan magnesium sulfat berupa efek samping minimal seperti ‘flushing’
(POGI, 2016). Magnesium sulfat (MgSO4) adalah antagonis kalsium yang bekerja di otot polos
pembuluh darah yang akan menyebabkan penurunan kalsium intraseluler sehingga akan terjadi
relaksasi arteri, meredakan vasospasme, dan menurunkan tekanan darah arteri, seperti aorta serta
pembuluh resisten yang lebih kecil termasuk mesenterika, otot rangka, uterus, dan arteri serebral
(Ninike, 2021). Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi dari otot polos, termasuk otot polos pada pembuluh darah perifer dan uterus.
Selainsebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik.
MgSO4 juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak.
Pemberian obat antikonvulsan menurut (Joewono et al., 2022) sebagai berikut :
bermakna pada berbagai studi. Pada penelitian Hariyanti (2016) melalui pendekatan kohort
retroprespektif di RSUP Fatmawati didapatkan hasil penurunan kasus eklampsia pada pasien
dengan pemberian MgSO4 lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa pemberian MgSO4.
Selain terapi dengan antikonvulsan perlu juga diberikan antihipertensi pada Ibu dengan
preeklampsia. Pertama penting untuk membedakan terapi lini pertama dan terapi lini kedua.
Terapi lini pertama adalah terapi yang dinilai sebagai pengobatan terbaik untuk penyakit yang
ditujukan, terapi ini juga di sebut sebagai pengobatan utama. Terapi lini kedua adalah terapi yang
diberikan ketika pengobatan utama tidak bekerja. Pada preeklampsia nifedipine adalah obat yang
digunakan sebagai lini pertama sedangkan methyldopa adalah obat yang digunakan sebagai lini
kedua. Nifedipine adalah penghambat saluran kalsium yang digambarkan sebagai obat yang
aman, efektif, dan obat nonteratrogenik. Alpha-methyldopa adalah agonis reseptor a-adrenergik
yang juga obat yang efektif dan aman untuk Ibu hamil (Goncalo et al, 2018). Nifedipine adalah
antagonis kalsium dari tipe 1,4-dihidropiridin. Antagonis kalsium mengurangi influks ion
kalsium transmembran ke dalam selsel otot polos vaskular dan otot jantung, tanpa mengubah
konsentrasi kalsium serum. Kalsium berperan penting pada proses coupling eksitasikontraksi
pada jantung dan sel otot polos vaskular, serta pada proses pengeluaran arus listrik dari sel-sel
konduksi khusus di jantung. Carakerja yang menghambat influks kalsium, nifedipine
menghambat kontraksi otot polos di jantung dan vaskular, sehingga akan melebarkan arteri
koroner dan arteri sistemik yang utama (Wardana, I.N.G., Widianti, I.G.A. & G, 2018).
Berdasarkan aspek farmakokinetik maka nifedipine diabsorpsi dengan cepat pada pemberian
secara oral. Nifedipine mengalami metabolisme lintas pertama, sehinggaavailabilitas sistemik
pada pemberian per oral dari nifedipine adalah 50-70%. Konsentrasi plasma maksimum tercapai
setelah 0,5-2 jam. Nifedipine juga terikat pada protein plasma sebanyak 92-98%. Ikatan protein
tersebut berkurang pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati (misalnya pada penderita sirosis
hati). Nifedipine dalam hal eliminasi pada pasien dengan fungsi ginjal dan hati yang normal,
waktu paruh eliminasinya adalah 2-5 jam. Nifedipine dimetabolisme dengan cepat dan lengkap
di dalam hati dan diubah menjadi metabolit tidak aktif. Kurang lebih 70-80% diekskresikan
melalui urin dalam bentuk metabolitnya dan 15% diekskresikan melalui feses juga dalam bentuk
metabolitnya (Diana P, Agung NM, Agung WI, 2020).
Daftar pustaka
Diana P, Agung NM, Agung WI, G. W. (2020). Profil pemberian nifedipine kombinasi
metildopa dan MgSo4 pada pasien preeklampsi berat di rumah sakit daerah mangusada
bandung. Intisari Sains Medis, In. https://isainsmedis.id/
index.php/ism/article/viewFile/690/689
Joewono, H. T., Sulistyono, A., Ardian, M., Laksana, C., Wardhana, M. P., Mulawardhana, P.,
Yusuf, M., & Watang, A. N. (2022). U t e r u s.
Ninike, A. (2021). Peran magnesium sulfat dalam penatalaksanaan preeklampsia. Jurnal
Penelitian Perawat Nasional. Jurnal Penelitian Perawat Nasional, Volume 3 N.
https://doi.org/https://doi.org/10.37287/jppp.v3i1.246
POGI. (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Pedokteran. JNPK-KR DEPKES RI.
Simanjuntak, L. (2021). Kegawatdaruratan maternal.
https://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/6920/BUKU FINAL BARU.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Wardana, I.N.G., Widianti, I.G.A., W., & G. (2018). Testosterone increases corpus cavernous
smooth muscle cells in oxidative stress-induced rodents (Sprague-Dawley). Bali Medical
Journal, 313-322. https://doi.org/10.15562/bmj. v7i2.970