Anda di halaman 1dari 10

Revolusi dalam Industri Kreatif Sastra Novel

oleh Rendra Harahap

*Tulisan untuk pengantar seminar interaktif Haluan Aksara ,‘Menghasilkan


Uang Secara Cepat.

Jangan buru-buru menaikkan alis saat melihat kata


‘revolusi’ di dalam sebuah judul artikel ini, karena kata
itu sebenarnya sering kita alami dan rasakan seperti
contoh yang diperlihatkan Bumi saat mengelilingi
matahari. Mengakibatkan pergantian siang malam,
pergantian musim dan dampak yang sangat luas
lainnya.

Itu adalah revolusi.

Dan revolusi dalam kehidupan manusia sudah


seperti momok yang ‘menakutkan’, sedikit konspiratif.
Perubahan yang sangat cepat dalam hubungannya
dengan budaya hukum sosial politik dan ekonomi dan
dampak yang sangat luas lainnya.

Industri sebagai kegiatan dari ekonomi juga pernah


mengalami revolusi. Kejadiannya di Inggris yang
berdampak pada semua aspek kehidupan manusia
secara besar-besaran. Singkatnya, revolusi industri
adalah masa pekerjaan manusia di berbagai bidang
mulai digantikan oleh mesin.

Dan revolusi itu terjadi lagi sekarang.


Dengan menambahkan angka 4.0 di belakang
industri maka mesin itu pun bertambah menjadi mesin
teknologi.

Namanya adalah Revolusi Industri 4.0.

Dikutip dari laman resminya Menkominfo bahwa


Revolusi Industri 4.0 merupakan upaya transformasi
menuju perbaikan dengan mengintegrasikan dunia
online dan lini produksi di industri, di mana semua
proses produksi berjalan dengan internet sebagai
penopang utama.

Siapa yang pernah merasakan dampak integrasi


itu?

Saya tak akan menjawab Qris, Gopay atau


Marketplace lainnya.

Karena ini ranah industri kreatif, saya yang aktif di


industri perfilman juga sempat mengalami dampak saat
seluruh bioskop tutup karena larangan kerumunan,
hingga film saya gagal tayang di bioskop.

Dan akhirnya Production House (PH) sekelas


Visinema membangun sayap usahanya yaitu Bioskop
Online. Sebuah aplikasi/website untuk menonton di
layar komputer dan ponsel.
Perhatikan namanya. Bioskop Online.

Saya juga sempat ditawari oleh salah satu aplikasi


film untuk menayangkan film di platformnya, tapi
akhirnya urung karena keterbatasan biaya.

Membuat film untuk tayang di aplkasi tentu berbeda


menulis novel di aplikasi bukan? (ngeles).

Saya gagap waktu itu. Nonton film di ponsel??

Tapi walaupun begitu kegagapan saya ditemani


oleh sutradara maestro Hollywood bernama Martin
Scorsese yang mengkritik habis-habisan film yang
ditayangkan oleh Netflix. Dan akibatnya seluruh filmnya
dihapus di Netflix.

Lihat. Tidak ada yang bisa melawan sebuah


keniscayaan di dalam sebuah revolusi.

Karena apa yang terjadi di dunia film juga terjadi


ranah industri kreatif lainnya seperti musik novel dll.
Orang tidak lagi membaca novel di buku tapi di online,
Tidak lagi mendengar musik di kaset tapi di sebuah
aplikasi

Hingga akhirnya kita menganggap kalau yang


tersisa dari buku adalah nilai sensasi dan prestius.
Alasan penolakannya yang sama diberikan oleh Martin
Scorsese kepada Netflix karena menonton di bioskop itu
sangat prestisius daripada memegang kotak layar
persegi.

Dan apapun yang terjadi di sisa revolusi industri


dari Inggris ini hanyalah sensasi dan prestisius. Sama
seperti halnya orang yang mengoleksi pita kaset setelah
musik digantikan oleh format Mp3.

Dalam sebuah industri sastra novel, tanah air kita


memiliki perusahaan penerbitan yang dibangun pertama
kali oleh Belanda di tahun 1908. Tentu membangun
perusahaan di negeri yang dikuasainya pasti memiliki
sebuah agenda, yaitu untuk menekan laju pemikiran
sosialis yang gencar dilakukan tahun itu sampai
akhirnya Belanda kecolongan di tahun 1927 saat PKI
melakukan gerakan sosial.

Makanya terlihat di dalam novel sebagai puncak


karya sastra jaman itu dari Balai Pustaka seorang
author Marah Rusli ‘Siti Nurbaya’ yang berlatar belakang
perang antara penguasa Belanda dengan adat karena
perebutan tanah adat. Dalam sosialis kiri tanah memang
dikuasai oleh rakyat, tapi dalam kapatalis dikuasai oleh
pemilik modal.

Ok. Sebelum ngelantur bedah novel jadul itu, kita


akhirnya dihadapkan pada pertanyaan…
Bagaimana dengan industri novel saat ini? Yang
sudah bergerak dari penerbitan cetak ke penerbitan
online (Industri 4.0)?

Bukan tak mungkin kalau industri novel yang


sebagian besar dari perusahaan luar negeri memiliki
agenda yang sama seperti Belanda membangun Balai
Pustaka? kampanye gay? sex bebas? dan perilaku
lainnya yang tidak sesuai dengan kepribadian Bangsa
Indonesia?

Sudah tahu bukan nama-nama platform yang


menayangkan bacaan seperti itu? Darimana
perusahaannya? Negara apa?

Ok ya. Kita tidak bahas platform mereka tapi seperti


sudah dijelaskan di paragraf awal kalau sebuah revolusi
akan berdampak pada tatanan sosial politik dan
ekonomi. Singkatnya revolusi industri di Inggris telah
mengubah masyarakat klasik menjadi modern.

Dan ketika eropa ini berekspansi (menjajah) ke


timur, akhirnya mereka membawa aliran dan
membentuk pola pikir kita bahwa sesuatu yang dari
barat itu modern. Di luar itu adalah Tradisional, primitif,
konservatif dan sejenisnya

Bukankah begitu pola pikir kita? Sampai sekarang?


Seharusnya tidak berlaku lagi, karena Industri 4,0
perlahan mengubah modern itu menjadi postmodern.
Sebuah gagasan yang lahir karena modern telah gagal
membuat masyarakat sejahtera (1917).

Gagasan yang lahir tepat saat mesin telepon yang


diciptakan Alexander Graham Bell berubah menjadi
mesin telepon teknologi nirkabel oleh Reginald Aubrey.

Gagasan itu pun akhirnya berkembang sampai saat


ini saat revolusi industri 4.0 semakin menancapkan
kukunya di tengah-tengah masyarakat.

Namun di masa modernisme, ranah sastra hanya


dimiliki oleh kaum elite atau dengan kata lain seorang
penulis mestilah harus dari kalangan terpelajar,
bangsawan ataupun profesi yang berkaitan dengan itu
seperti jurnalis.

Namun dalam postmodernisme, semua itu


terbantahkan. Irving Howe, seorang kritikus sastra
bahkan menyebut puisi dalam postmodernisme menjadi
sulit dibedakan diary penulisnya atau tampak seperti
penulis sedang curhat dalam puisinya
Dan saat ini kita sama-sama lihat dan tahu kalau
seorang ibu rumah tangga yang jemarinya ngulek cabe
pun bisa menulis, Kuli bangunan yang tangannya kasar
juga bisa. Tukang ojek juga bisa menulis. Dan mereka
bisa menghasilkan uang di penulisan.

Dimana mereka menulis?

Jawabannya adalah di industri 4.0. Lebih tepatnya


di novel platform alias novel online.

Bukan lagi kemampuan seni sastra yang menjadi


acuan dasarnya seperti yang terjadi di era modern.

Mereka yang menulis ini hanya bermodalkan


gagasan besar yang akhirnya diwujudkan dalam sebuah
tulisan dan entah kenapa jika melihat di kolom komentar
dari novel mereka pasti menemukan ‘Update thor’
Tambah thor! dan banyak perintah ataupun pujian thor
lainnya.
Maka tepatlah definisi author dan writer yang ribuan
jumlah situsnya menyebut para pembaca itu sebagai
author bukan sebagai writer, (definisi lengkap
perbedaan keduanya bisa digugling sendiri,,hhee)

Dan sangat disayangkan kalau gagasan besar ini


‘diboncengi’ oleh agenda dari novel platform
perusahaan luar negeri.

Untuk itu Goodwill –yang bila diterjemahkan berarti


‘Niat Baik’-- hadir di tengah belantara novel platform di
Indonesia untuk bersama-sama membuat sebuah karya
yang berkualitas sesuai dengan jati diri kita sebagai
bangsa.

Filsafat seperti modernisme dan postmodernisme


adalah sebuah aliran kehidupan dan sudah
sepantasnya dia mengalir seperti anak sungai. Jika
modernisme mengalir berasal dari barat maka
postmodern berangkat dari timur.

Siapa timur?

Ya kita. Indonesia.

Jepang sudah memulainya dengan Naruto yang


jelas sekali mengangkat Ninjitsu dan ribuan manga dan
animenya. Cina dengan Wuxia dan dengan genre ‘entah
berantah’ yang mereka buat sendiri seperti Malebook
dengan turunannya seperti Dewa Perang dll.

Nah Indonesia harus mampu, karena jumlah


penduduk kita hanya kalah empat tingkat di bawah cina.
Apapun latar belakang si calon author atau yang sudah
menjadi author lalu ikut-ikutan karena selera pasar cina,
mohon hentikan.

Goodwill juga menolak dengan tegas naskah


romance yang mengandung ‘adult’, porn dan sejenisnya
apalagi tulisan berbaum kaum lubang anus haram
jadah.

Tidak. Kami akan tegas menolaknya. Kami tidak


mau menjadi boneka dari agenda asing ke negeri kita
yang akan kita titipkan ke generasi nanti.

Mari kita buat sesuatu. Mari kita alirkan gagasan


besar kita sebagai author dalam platform yang sebentar
lagi akan rilis nanti

Goodwill akan mengawali dan menemani langkah


kalian seperti kami yang akan memisahkan fantasi timur
menjadi fantasi nusantara dengan turunannya seperti
Cerita Silat (Cersil).

Sekian artikel sebagai pembuka dan seminar


interaktif kita hari ini.
Adapun tema besar seminar kita yang berjudul
‘Menghasilkan Uang Secara Cepat akan dibahas dalam
diskusi interaktif kita.

Dan pasti, tentu saja akan berdasarkan tulisan di


atas.

Wassalam.

Anda mungkin juga menyukai