Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KRITIK SASTRA : SEBUAH PENGANTAR

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


KRITIK SASTRA

Disusun Oleh Kelompok 1 :


Dewi Sapitri 20120004
Fatma Zakia 20120013
Shinta Safira 20120010

Dosen Pengampu :
Megasari Martin, S.S., M.Pd

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah KRITIK SASTRA ini. Selanjutnya, rasa
terimakasih saya ucapkan kepada Ibu Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami
selama Perkuliahan berlangsung, dan seterusnya kepada teman-teman seperjuangan. Penulis
sangat menyadari sekali bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan Makalah ini kedepan
nya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan bermanfaat bagi para
pembaca.
Padangpanjang, 07 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi
perkembangan dan pembinaan sastra. Secara singkat, kritik sastra dapat didefinisikan sebagai
"hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat
pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis." Dalam definisi
singkat ini, kata "pembaca" digunakan dengan sengaja untuk menunjukkan bahwa kritik
sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa dan dengan sendirinya melekat dalam pengalaman
sastra. Seorang pembaca sastra dapat membuat kritik sastra yang baik, apabila dia betul-betul
menaruh minat pada sastra, terlatih kepekaan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi
pengalaman manusiawinya. Yang dimaksud dengan "mendalami serta menilai tinggi
pengalaman manusiawi" adalah menunjukkan kerelaan jiwa untuk menyelami dunia karya
sastra, kemampuan untuk membeda-bedakan pengalaman secara mendasar, dan kejernihan
budi untuk menentukan macam-macam nilai. Tetapi mengingat bahwa tradisi kritik sastra di
Indonesia masih sangat muda - lebih muda dari sastra Indonesia sendiri yang usianya belum
mencapai satu abad - masih banyak persoalan-persoalan tentang dan dalam kritik sastra yang
harus dipelajari dan didalami oleh peneliti sastra, agar sumbangannya dapat sesuai dengan
hakekat dan tujuan dari kritik sastra. Sehubungan dengan ini, kiranya pantas disayangkan
bahwa pustaka kita dalam bahasa Indonesia masih sangat terbatas, hingga banyak dari
persoalan-persoalan tersebut masih gelap dan belum dapat dikuasai. Memang, kritik sastra
tidak mengenal suatu hukum dengan tuntutan-tuntutan yang mutlak. Akan tetapi karena kritik
sastra merupakan hasil penelitian atas karya sastra, ia tunduk pada ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada penelitian dan sekaligus juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam sastra.
Oleh karena itu, persoalan-persoalan tentang dan dalam kritik sastra itu tidaklah harus
dihindari tetapi justru harus diketahui dan dikuasai.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana Kritik Sastra : Sebuah Pengantar ?
b. Bagaimana Sastra dan Kritik Sastra ?
c. Bagaimana Peranan Kritik Sastra ?
d. Bagaimana Aspek-aspek Kritik Sastra ?
1.3 Tujuan
a. Kita Dapat Mengetahui Kritik Sastra : Sebuah Pengantar
b. Kita Dapat Mengetahui Sastra dan Kritik Sastra
c. Kita Dapat Ilmu Baru Tentang Peranan Kritik Sastra
d. Untuk Mengetahui Aspek-aspek Kritik Sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A.Kritik Sastra: Sebuah Pengantar
Istilah kritik sastra yang sekarang sangat populer mempunyai sejarah yang panjang. Dan
kegiatan kritik sastra usianya lebih tua daripada istilah itu sendiri. Dikatakan bahwa kegiatan
kritik sastra pertama kali di dunia dilancarkan oleh seorang Yunani bernama Xenophanes dan
Heraclitus, sekitar tahun 500 sebelum Masehi, ketika mereka mengecam keras pujangga
besar Homerus yang gemar mengisahkan cerita-cerita tidak senonoh serta bohong tentang
dewa-dewi. Peristiwa inilah yang merupakan awal dari apa yang oleh Plato disebut
"pertentangan purba antara puisi dan filsafat". Kemudian dengan lebih terbuka penyair
komedi Aristophanes (405 tahun sebelum Masehi) lewat karyanya Katak-Katak mengadakan
kritik terhadap penyair tragedi Euripides yang terlampau menjunjung tinggi nilai kesenian
dan kurang memperhatikan nilai-nilai sosial yang justru dijunjung tinggi oleh penyair tragedi
pendahulunya, Aeschylus.2
Kalau Xenophanes hanya mau tahu tentang nilai moral, dan Aristophanes mulai
mempertentangkan karya-karya yang bernilai sosial (moral) dengan yang bernilai seni, maka
Plato berharap mendapatkan tiga unsur dalam setiap karya yang dipandangnya baik: pertama,
memberikan ajaran moral yang lebih tinggi; kedua, memberikan kenikmatan; ketiga,
memberikan "ketepatan dalam ujud pengungkapannya". Selanjutnya sanggahan atas dan
perkembangan dari kritik sastra dalam sastra Yunani klasik menemukan bentuknya yang
berarti dengan munculnya Poetica (sekitar 335 sebelum Masehi) tulisan Aristoteles, yang
merupakan sumber pemikiran sastra selanjutnya, terutama sesudah jaman Renaissance Eropa.
Dari apa yang telah dilakukan oleh Xenophanes dan sekalian orang yang namanya tersebut di
atas, kiranya dapat didekati makna dari istilah kritik sastra. Istilah kritik yang kita pakai di
sini berasal dari kata krites, yang oleh orang-orang Yunani kuno dipergunakan untuk
menyebut hakim, sebab kata benda ini berasal dari kata kerja krinein, yang berarti
menghakimi, yang juga merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar
penghakiman. Kemudian muncul pula kata kritikos yang diartikan sebagai hakim karya
sastra. Pengertian sedemikian sudah kedapatan pada abad IV sebelum Masehi. Seorang
bernama Philitas dari pulau Kos pada tahun 305 sebelum Masehi diundang ke Alexandria
untuk menjadi guru raja Ptolemaeus II yang masyhur itu dan ia mendapatkan sebutan
"penyair dan kritikos".
Selanjutnya oleh kaum Pergamon pimpinan Crates, istilah krilikos dipergunakan sebagai
antitese terhadap kaum grammatikos pimpinan Aristarchus di kota Alexandria. Tetapi
perbedaan arti sedemikian tidak berlangsung lama. Kedua istilah dipertukar-tukarkan untuk
makna yang sama. Bahkan lama-kelamaan istilah kritikos boleh dikatakan lenyap dari
peredaran.
Di dalam sastra Latin kiasik, istilah criticus juga sangat jarang dipakai orang. Tetapi sekali
dua pernah juga dipergunakan oleh pujangga Cicero dan Hieronimus di dalam surat-suratnya
kepada Longinus. pemakaian yang jarang ini, criticus ditafsirkan sebagai pendukung arti
yang lebih tinggi daripada grammaticus. Tetapi di sini kiranya pantas dicatat bahwa istilah
criticus yang memiliki "arti yang lebih tinggi" itu mencakup pula pengertian "penafsir naskah
dan asal-usul berbagai kata". Pemakaian istilah criticus atau kritikos sebagai pendukung arti
literary critic (dalam bahasa Inggris) terutama adalah karena jasa tokoh-tokoh ahli petah lidah
(rhetorika) seperti Quintilianus dan ahli pikir Aristoteles.
Dalam abad pertengahan di Eropa, istilah kritikus sama sekali hilang dari peredaran. Yang
masih dipakai pada abad tersebut hanyalah kata kritik, itu pun tidak ada hubungannya sama
sekali dengan karya sastra, sebab pemakaiannya hanya terbatas pada kalangan kedokteran
dengan arti krisis, yakni dalam ungkapan penyakit yang kritik (critical illness, dalam bahasa
Inggris).
Timbulnya semangat Renaissance, atau kelahiran kembali, di Eropa mengembalikan istilah
kritik pada maknanya yang semula. Seorang bernama Polizianus pada tahun 1492
mempergunakan istilah criticus dan grammaticus tanpa memberikan perbedaan karena
dipandang semata-mata sebagai antitesis dari istilah ahli pikir." Dengan demikian
penggunaan istilah-istilah criticus, grammaticus, dan hilosophicus dikacaukan saja dan
semuanya ditujukan bagi orang-orang yang menekuni sastra pustaka lama. Pujangga
kenamaan Erasmus mempergunakan istilah ars critica (seni kritik) pada Al Kitab sebagai alat
penggunaan dalam penerangan hidup. Memang dalam kalangan kaum humanis selanjutnya,
istilah kritik atau kritikus digunakan secara khusus dan terbatas pada hal-hal yang ada
hubungannya dengan penerbitan naskah kuno. "Tujuan para kritikus adalah mencabuti cacat
dan kekeliruan guna perbaikan naskah-naskah karya para pujangga kuno baik dalam bahasa
Yunani maupun Latin", demikian tulis Kaspar Schoppe (1576-1649). "Atau untuk perbaikan
cara membaca" seperti pernah ditulis oleh Josephus Justus (1540-1605). Jadi jelaslah bahwa
criticus ditempatkan sama atau di bawah grammaticus.
Buku tentang kritik yang pertama dan lengkap, yang kemudian dipandang sebagai sumber
dari pengertian kritik modern, berjudul Criticus dan ditulis oleh Julius Caesar Scaliger (1484-
1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul Poetica. Dalam
buku tersebut, Scaliger mengadakan penyelidikan dan perbandingan antara pujangga-
pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan, penyejajaran, dan
penghakiman terhadap Homerus guna mengagungkan Vergillius. Berkat usahanya yang luar
biasa itu, dia mendapat julukan "le grand critique" (1623) atau kritikus besar dikalangan para
sastrawan Prancis. Dan Heinsius juga pernah mendapatkan julukan "penyair, ahli pidato, ahli
pikir, dan kritikus" (1634). Ia Mesnardière di dalam kitabnya Discours yang terbit sebelum
Art Poetique-nya (1639) menjelaskan bahwa pemakaian istilah kritik semakin meluas:
"perpus- takaan-perpustakaan penuh dengan buku-buku karya para pujangga yang
dikhususkan bagi sastra puisi, entah dengan maksud untuk menjelaskan Aristoteles, untuk
memberikan dasar musabab mengapa mereka menyayangkan sajak-sajak tertentu, atau untuk
menunjukkan dasar penghakiman mereka apabila mereka terlibat dalam kritik". Dengan
artian yang berbeda-beda nampaknya istilah kritik diterima secara luas dalam abad XVII.
Pengarang komedi terkenal Molière, misalnya, menulis sebuah naskah drama berjudul
Critique de l'Ecole des Femmes (1663), sedangkan Richard Simon menulis sebuah buku
berjudul Histoire Critique du Vieux Testament (1678). Dan Boileau mempergunakan istilah
tersebut dalam bukunya L'Art Poetique dalam syair (1674). Akhirnya La Bruyère (1687)
mengeluh bahwa "para kritikus dan penghakim sastra" yang bermunculan telah membentuk
sebuah aliran penghambat seni sastra.
Di Inggris istilah kritik mempunyai sejarahnya sendiri. Sampai dengan jaman Pemerintahan
Ratu Elizabeth (Elizabethan Age) istilah ini sama. sekali belum dikenal. Oleh karenanya, sia-
sialah kita mencari istilah tersebut dalam buku Elizabethan Critical Essays I dan II susunan
Gregory Smith atau dalam buku Art of English Poesie meskipun buku ini merupakan sebuah
buku bacaan yang paling lengkap sekalipun untuk jaman itu. Kemungkinan besar orang
pertama yang menggunakan istilah kritik dalam sastra Inggris adalah Francis Bacon dalam
bukunya Advancement of Learning (1605). Di dalamnya Bacon mengadakan pembedaan
tradisi ilmu pengetahuan yang menjadi dua, yakni "the one critical, the other pedantical".8
Adapun kategori pertama memiliki ciri-ciri: (1) berpautan dengan perbaikan penerbitan karya
para pujangga, (2) berpautan dengan pembeberan dan penguraian (exposition and
explication) karya-karya pujangga, (3) berpautan dengan jaman yang kerap kali dapat
memberikan petunjuk yang tepat untuk dapat mengadakan penafsiran secara benar, (4)
berpautan dengan penghakiman dan penentuan nilai karya para pujangga secara singkat, dan
(5) berpautan dengan sintaksis (tata kalimat) dan penjelasan-penjelasannya.
Dua tahun kemudian Ben Johnson mempergunakan ungkapan "learned and charitable critick"
(kritikus yang terpelajar dan berhati besar) (1607) dan dalam bukunya Timber of Discoveries
menyebut Aristoteles sebagai "the first accurate critick" - sebagaimana Heinsius pernah
menyebut ahli pikir tersebut-sedangkan tugas seorang "kritikus atau penghakim yang baik"
adalah "secara jujur menentukan nilai karya sastra dan pengarangnya"." Tetapi istilah ini baru
dipergunakan secara meluas sesudah Rymer di dalam kata pengantarnya untuk Reflections on
Aristotle oleh Ravin (1674) menyebutkan bahwa "di Italia pada abad terakhir penuh dengan
kritikus-kritikus" tetapi "sampai tahun-tahun terakhir ini Inggris masih sepi dari kritikus-
kritikus sebagaimana sepinya pulau ini dari ancaman serigala-serigala liar".
Dalam sastra Inggris abad XVII istilah "critic" dipakai baik untuk menunjuk orang yang
melakukan kritik (kritikus) atau kritik itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Richard
Bentley dalam Phalaris Letters (1697) dan Steele di dalam Tatler (1710, No. 115). Untuk
menghindari salah tangkap Dr. Johnson (Samuel Johnson) menggunakan critick untuk
menunjuk kritikus dan critic untuk menunjuk kritik sastra atau criticism dalam Inggris
modern. Yang menarik adalah perubahan dari critic menjadi criticism, sebab tidak terdapat
catatan yang pasti. Kemungkinan criticism ini dibuat dalam rangka pembuatan istilah baru ke
dalam bahasa Latin. Penyair John Milton di dalam Apology for Spectemnuus menyerang
John Hall lantaran satire-satire yang ditulis olehnya: "Sekarang benih kritikisme bekerja
dalam dirinya, ia akan mengatakan pada kita awal mula kata Jerman rutters dari santapan dan
tinta"." Di sini istilah kritikisme dipergunakan dalam artian sebagaimana Theophilus Galus
pernah menggunakannya dalam Contra Gentiles (1669) yakni dalam artian "ilmu
pengetahuan tentang bahasa-bahasa yang dulu disebut Gramatika dan belakangan dikenal
dengan sebutan Kritikisme".
Pengarang pertama dalam sastra Inggris yang mempergunakan istilah criticism yang
dipegang teguh sampai sekarang dan yang kita terjemahkan dengan "kritik-sastra" adalah
penyair John Dryden yang pada tahun 1677 menulis kata pengantar untuk The State of
Innocence (Sikap Jiwa yang Bersih). Di situ dia menegaskan bahwa "kritik-sastra yang
dasarnya telah diletakkan oleh Aristoteles dimaksudkan sebagai dasar penilaian sastra secara
benar". Kemudian kata pengantarnya pada Troilus and Cressida (1679) dia antara lain
menyebutkan "dasar-dasar kritik sastra bagi tragedi". Kedudukan istilah ini semakin kuat
dengan terbitnya buku John Dennis, The Grounds of Criticism in Peotry (1704), dan sajak
panjangnya Alexander Pope Essay on Criticism yang terkenal itu (1711). Dari pemakaian
yang semakin luas itu ternyata criticism mencakup bidang yang jauh lebihluas daripada
critique dalam bahasa Prancis, sebab pun Manière de bien penser oleh Bouhours (1687)
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Art of Criticism
Yang penting dicatat di sini adalah bukan saja bahwa istilah criticism sejak abad XVIII itu
dipakai secara luas, tetapi terutama bahwa kritik sastra sebagai suatu pengertian mendapat
kedudukan yang kuat. Kritik sastra tumbuh dan berkembang menjadi satu tradisi yang kokoh
dan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan dan pengajaran sastra. Nama-nama seperti Samuel
Johnson, Samuel Taylor Coleridge, Matthew Arnold, I.A. Richards, T.S. Eliot, William
Empson, F.R. Leavis, Henry James, The Chicago School, New Criticism adalah nama-nama
penting yang telah melanjutkan tradisi kritik sastra yang telah dimulai oleh Aristoteles dan
tidak dapat diabaikan oleh siapa pun yang ingin mengetahui persoalan-persoalan sastra secara
mendalam dan ingin menjadi seorang kritikus yang baik."
Baik istilah maupun pengertian kritik sastra tidaklah merupakan tradisi asli yang terdapat di
tengah masyarakat Indonesia. Istilah dan pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para
sastrawan Indonesia memperoleh pendidikan menurut sistem Eropa pada awal abad XX ini.
Sebelum itu, penilaian atas karya sastra di dalam bahasa-bahasa daerah hanyalah terjadi
dalam hubungannya dengan kepercayaan, agama, dan mistik. Tentunya para pembaca ingat
akan syair-syair Nuruddin ar-Raniri yang dibakar karena ajaran mistik yang dikandungnya
bertentangan dengan ajaran penyair Hamzah Fansuri dan dinilai sangat membahayakan ajaran
agama pada umumnya. Demikian pula sastra suluk dalam sastra Jawa, seperti Kitab
Darmagandul dan Kitab Suluk Gatoloco, pernah dimusuhi secara sengit karena
menyampaikan ajaran-ajaran mistik yang bertentangan dengan ajaran agama yang benar
sebagaimana disampaikan oleh Wali Sanga. Apa yang terjadi atas karya-karya sastra tersebut
bukanlah penilaian sastra yang dapat disebut sebagai kritik sastra dalam artian yang
sesungguhnya. Penilaian semacam itu lebih tepat disebut sensor atas sastra. Terjadinya sensor
atas sastra menunjukkan bahwa bagi masyarakat terpelajar yang bersangkutan sastra akan
kehilangan hakekatnya apabila dilepaskan dari rangkaian rumusan-rumusan ajaran yang
dikandungnya, sehingga mau tidak mau sastra hanya dapat dan apabila tunduk dan mengikuti
ketentuan-ketentuan dalam ajaran kepercayaan, agama, atau pun mistik. Di samping itu,
adanya sensor atas sastra menunjukkan bahwa sastra terutama telah diciptakan dan dibaca
dalam kalangan agama.
Pendidikan sistem Eropa mengajarkan pada para sastrawan bahwa dunia sastra tidak harus
sepenuhnya ditautkan pada dunia keagamaan dan sastra tidak akan kehilangan hekekatnya
meskipun dilepaskan dari ketentuan-ketentuan dalam ajaran agama, kepercayaan, ataupun
mistik. hakekat sastra, Oleh karena itu, para sastrawan mulai bertanya-tanya apa di mana
makna dan nilai sastra, dan bagaimana cara mencari, menemukan, dan menentukan nilai
sastra. Karena puncak-puncak sastra yang diajarkan pada awal abad ini kebanyakan
merupakan karya para sastrawan Pergerakan 80 (De Tachtigers) dari sastra Belanda dan
kemungkinan para pengajarnya pun sangat terpengaruh oleh kelompok sastra pemberontak
itu para sastrawan Indonesia dalam kegiatan-kegiatan kesastraannya tidak mau melepaskan
ajaran kelompok sastrawan Pergerakan 80 itu. Mereka melancarkan penilaian-penilaian yang
keras terhadap sastra tradisional dan bermaksud mengadakan pembaharuan besar-besaran di
bidang sastra, hingga sastra dapat menjadi pancaran kehidupan masyarakat yang sebenarnya.
Adanya hasrat pembaharuan dan penilaian yang tajam di kalangan para sastrawan
menunjukkan adanya kesadaran bahwa kehidupan sastra harus dibina secara kreatif dan kritis.
Hal ini terutama jelas dari majalah Pujangga Baru yang mereka terbitkan pada tahun 1933.
Memang sampai tahun 1935 istilah kritik sastra masih dihindari karena "tajam sekali bunyi
perkataan itu" dan dipandang "selalu merusakkan, mematikan" sehingga meskipun penyair
J.E. Tatengkeng dalam karangannya "Penyelidikan dan Pengakuan" bermaksud memberi
"litteraire kritiek" (kritik kesusasteraan) dia "lebih suka memakai perkataan penyelidikan,
daripada kritik kesusasteraan".
Meskipun para sastrawan Indonesia belum dapat menerima istilah kritik sastra, mereka sudah
mempunyai pengertian yang cukup mendalam tentangnya. Karangan-karangan mereka
tentang persoalan-persoalan sastra dan karya-karya yang dimuat dalam majalah Pujangga
Baru ( merupakan bukti bahwa mereka memang mengerti dan menyadari pentingnya kritik
sastra) Karangan-karangan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane tentang sastra lama
dan baru membuktikan bahwa sebagai kritikus mereka mempunyai pandangan yang cukup
tajam, gaya dan lincah, dan semangat yang berkobar-kobar. Hal yang serupa sebenarnya juga
dimiliki oleh para sastrawan kelompok Pujangga Baru pada umumnya. Sebagai suatu contoh
kiranya dapat ditunjuk serangkaian penilaian para sastrawan dan kaum terpelajar indonesia
atas terbitnya roman Belenggu karya Armijn Pane diberbagai curatkabar yang kemudian
diterbitkan kembali dalam Pujangga Baru. Karangan-karangan yang dapat disebut dengan
istilah kritik sastra dalam penerbitan Pujangga Baru itu adalah hasil pengarang roman M.R.
Dajoh, Karim Halim, L.K. Bonang, H.B. Jassin, Muhammad Dimjati, dan Sutan Takdir
Alisjahbana. Kelompok sastrawan Pujangga Baru tidak hanya menulis kritik sastra dalam
bentuk prosa tetapi juga dalam bentuk puisi. Sajak-sajak "Bukan Beta Bijak Berperi" karya
Rustam Effendi dan "Sajak" karya Sanuse Pane kiranya dapat disebut sebagai kritik sastra
dalam artian yang luas.
Kapan tepatnya istilah kritik sastra dipergunakan pertama kali dalam pengetahuan sastra di
Indonesia, sejarah sastra Indonesia belum membuat catatan yang cukup teliti. Tetapi
kedudukan istilah kritik sastra dan pengertiannya menjadi kokoh terutama setelah H.B. Jassin
menerbitkan buku terkenalnya, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, yang
kemudian dikembangkan dan diperluas wilayahnya hingga mencapai empat buah jilid dengan
judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, meskipun dia masih juga
mempergunakan istilah sorotan untuk kritik sastra.
Memang di sini harus dicatat bahwa dalam suratkabar-suratkabar dan majalah di samping
kritik sastra masih juga dipergunakan istilah-istilah lain seperti telaah, bahasan, dan ulasan
sastra. Tetapi, sebenarnya, yang penting dicatat di sini bukanlah bahwa istilah kritik sastra
dipakai oleh kalangan yang lebih luas karena adanya pendidikan menengah dan tinggi di
Indonesia. Tetapi bahwa pengertian kritik sastra itu sendiri telah tumbuh berkembang dan
menjadi semakin kokoh. Buku-buku kritik sastra telah banyak ditulis terutama oleh sarjana-
sarjana didikan H.B Jassin, sehingga H.B Jassin sekarang ini tidak lagi menjadi satu-satunya
penulis buku kritik sastra. Majalah-majalah sastra dan budaya seperti Mimbar Indonesia,
Siasat, Indonesia, Budaya, yang kesemuanya sudah marhum, Basis, Budaya Jaya, dan
Horison atau suratkabar-suratkabar seperti Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, dan
akhir-akhir ini juga Suara Karya sering membuat karangan-karangan yang cukup bernilai
sebagai kritik sastra. Apabila kegiatan manulis kritik sastra dalam berbagai bentuk penerbitan
itu dibarengi dengan pengajaran sastra yang baik, tentulah kritik sastra tidak hanya akan
semakin besar jumlahnya tetapi juga semakin mendalam pengamatannya hingga hakekat, arti,
dan makna sastra Indonesia dapat lebih diselami dan dikembangkan pula..
B. Sastra dan Kritik Sastra
Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakekat sastra dan
apa nilai dan makna sastra. Sebaliknya kritik sastra baru dimulai sesudah orang bertanya apa
dan di mana nilai dan makna karya sastra yang dihadapinya. Biasanya dia berusaha
menjawab pertanyaan tersebut berdasar pengertian akan apa hakekat sastra. Sastra sebagai
"pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah
dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang
mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat pada
hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa". Apabila pengertian
longgar tentang sastra ini dapat diterima, kiranya dapat dikatakan bahwa yang mendorong
lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh
minat pada sesama manusia, untuk menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya, dan
pada dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar untuk
mencintai bentuk sebagai bentuk. Dengan kata lain, sastra lahir karena dorongan-dorongan
azasi yang sesuai dengan kodrat insaniah orang sebagai manusia. Oleh karena itu sastra
meskipun secara harafiah berarti huruf-tidak hanya meliputi karya yang tertulis, tetapi juga
"karya" tidak tertulis yang dihasilkan oleh orang atau sekelompok orang yang belum
mengenal sistem huruf. Dengan sendirinya, masyarakat yang belum mengenal sistem huruf
hanya mengenal bentuk sastra lisan. Karena sastra lisan ini beredar dalam masyarakat secara
lisan, sukarlah diketahui secara pasti siapa orang yang menjadi sumber karya itu. Dan karena
anggota masyarakat itu sendiri tidak begitu mementingkan pribadi, mereka cenderung untuk
menganggap semua karya sastra yang hidup di tengah mereka sebagai milik bersama.
Meskipun ada karya yang sebenarnya hanya mereka warisi dari para leluhur mereka dan ada
pula yang memang lahir dari masyarakat pada jaman mereka sendiri, pada hakekatnya karya-
karya sastra tersebut selalu menghembuskan semangat jaman dan nafas lingkungan tempat
tumbuh dan berkembangnya. Semangat jaman dan nafas lingkungan itu dapat sekedar hanya
tersirat atau secara terbuka lagi jelas. Dengan demikian, siratan semangat jaman dan nafas
lingkungan itu dapat berbentuk penghidangan utuh (representation), penghidangan sebagian
dan tersamar (imitation), atau tanggapan (reaction) terhadap apa yang berlaku secara umum
dalam jaman dan lingkungan tertentu.
Dalam sastra lisan yang belum mengenal sistem huruf dan nama pengarang, sebab sastranya
merupakan milik masyarakat bersama, sastra itu tidak semata-mata bersifat penghidangan
atau peniruan, melainkan juga merupakan tanggapan terhadap lingkungan, jaman, dan sastra
sebelumnya. Dapatlah kiranya dikatakan bahwa munculnya sastra yang bersifat tanggapan
itulah yang menyebabkan macam-macam versi dari sebuah sastra lisan tertentu, meskipun
kelemahan daya ingat manusia juga dapat menyebabkan berubah-ubahnya suatu versi sastra
lisan. Perubahan versi itu tentu saja dilakukan dengan maksud agar dapat lebih sesuai dengan
nafas dan tuntutan jaman yang terus berubah-ubah, sehingga dari bahan dan pangkal yang
sama dapat tumbuh macam-macam syair atau cerita lisan karena perubahan lingkungan dan
jaman. Dengan begitu, masyarakat bersama-sama mengubah dan memperbaharui sastra.
Mereka sekaligus menjadi penyair atau penutur cerita dan pembuat tanggapan secara bersama
pula. Bahkan orang yang berperanan penting dalam penghidangan sastra lisan seperti
pawang, tukang pantun, atau dalang wayang, tidak pernah dikenal sebagai penggubah atau
pencipta, sekalipun pawang atau dalang itu mengadakan beberapa perubahan yang dirasa
perlu sesuai dengan semangat jaman dan nafas lingkungan. Dan ia tidak pernah dikutuk oleh
masyarakatnya karena dalam melakukan perubahan itu dia tidak bertindak pribadi yang
berhadapan dengan masyarakat melainkan sebagai bagian dari masyarakat. Dengan
sendirinya, pawang atau dalang memiliki dan hidup dalam dunia yang sama, pandangan yang
sejalan dengan masyarakatnya. Mereka sama-sama dan mempunyai sepakat untuk
meninggalkan bagian-bagian sastra tradisional yang dirasa sudah tidak sesuai dan
menggantinya dengan yang baru. Dalam sastra tertulis, perubahan, pembaharuan, dan
tanggapan secara bersama-sama pun ditinggalkan. Nama penulis tampil bersama hasil
karyanya. Dan yang lebih penting lagi, hasil sastra itu menemukan bentuknya yang tetap
yang tidak dapat diubah ataupun diperbaharui oleh siapa pun. Dengan begitu, karya tersebut
harus hidup mengatasi lingkungan dan jaman penulisnya. Harus mencari sendiri lorong-
lorong disela-sela lingkungan dan jaman yang baru dan asing. Dengan begitu ungkapan-
ungkapan yang dirasa kuno oleh para pembacanya akan tetap melekat pada karya itu. Begitu
pula halnya dengan pandangan-pandangan yang terkandung dalam karya tersebut dan teknik
penulisannya. Dengan demikian, pandangan-pandangan yang dianggap remeh atau tidak
senonoh, ungkapan-ungkapan yang usang, dan teknik penulisan yang membosankan tetap
melekat dan tidak terpisahkan dari tubuh karya sastra yang dimaksud. Para pembaca yang
tidak puas atau yang akan lebih puas apabila salah satu atau beberapa bagian diubah atau
diperbaharui terpaksa tidak dapat memuaskan hasratnya, karena dia harus menerima karya
tersebut sebagaimana adanya. Mereka, baik yang puas mupun yang kecewa, dapat
mengutarakan kepuasan atau kekecewaannya, tetapi mereka tidak dapat melakukan
perubahan karya tersebut dan oleh karenanya ikut mendapatkan "hak cipta" bersama
penulisnya. Dengan kata lain, hak penulisan karya itu seutuh-utuhnya berada di tangan
penulis aslinya. Ini berarti bahwa penulis dan pembuat tanggapan terhadap sebuah karya
sastra tidak dapat dipersatukan dalam diri satu orang. Bahkan penulis dan penikmat atau
pembaca karya sastra pun harus dipisahkan.
Dengan terpisahnya pencipta dan penikmat karya sastra, muncullah persoalan tentang
penikmatan karya sastra. Sastra yang sudah diciptakan dinikmati. Persoalan ini bermula dari
kenyataan bahwa penikmatan hanya dapat terjadi apabila sudah terdapat pengertian. Dan
pengertian dapat betul-betul merupakan sebuah masalah apabila pribadi, dunia pandangan,
alam pikiran, dan perasaan hati pengarang jauh berbeda atau sama sekali asing bagi
pembacanya, sebab "kalau kita benar-benar memenungkan sesuatu yang kita tangkap dengan
indera (seperti halnya karya sastra, A.H.), mengerti berarti menangkap keseluruhan
intensionali- tas kekhususan bentuk ada-nya yang tertangkap dalam sifat-sifat
keseluruhannya", seperti telah dikatakan oleh Maurice Merleau Ponty.
Lagi pula, bahasa yang telah mengujudkan sesuatu karya boleh dikatakan suatu bahasa
bersayap, yang jinak-jinak merpati - seperti kata pepatah lama. Dalam jalinan sesuatu karya,
bahasa yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan alat komunikasi yang sederhana,
seolah-olah telah dibaptiskan dengan nilai baru. Oleh karenanya, dalam mengartikannya
terutama dalam puisi orang harus siap untuk -menghadapi aneka kemungkinan arti yang
ditimbulkan oleh hikmah, perasaan, nada, dan maksud yang menjari arah, sebab seorang
pengarang dalam karyanya tidak hanya berkata sesuatu (hikmah), menunjukkan sikap
terhadap sesuatu yang dikatakannya (perasaan), atau menunjukkan sikap terhadap
pembacanya (nada), tetapi entah secara sadar atau tidak juga menuju pada sesuatu arah
tertentu yang menjadi maksudnya. Dan, karena bahasa hanya sempurna apabila diucapkan,
maka dalam usaha mengartikan itu orang harus mencoba mencari pertolongan dari aspek
pengucapan, sebab suara kata dapat menjadi peniru suara, lambang rasa, dan kiasan suara'
Selain mencari pertolongan dari kemungkinan suara, dalam mengartikan suatu karya orang
tidak boleh melupakan daya pikir, daya khayal, dan pengalaman.
Dengan timbulnya persoalan penikmatan dan penangkapan arti sesuatu karya, pembaca mulai
bertanya-tanya apa arti, makna, dan nilai karya tersebut. Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu secara baik seorang pembaca tidak dapat menghindar dari pertanyaan yang
mempersoalkan apa hakekat sastra. Seorang pembaca yang menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut hanya bagi dirinya sendiri, tidak dituntut untuk mengikuti prosedur ilmiah yang
sistematik dan berdisiplin. Tetapi semakin hebat orang dikejar oleh pertanyaan-pertanyaan,
dan semakin besar pula dorongan hatinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
akhirnya dia mengemukakan jawaban-jawabannya tidak hanya diperuntukkan dirinya sendiri
tetapi juga bagi orang lain yang dapat menimbulkan persetujuan atau tentangan dari pembaca
lain dari karya yang sama. Karena pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut arti, makna, dan
nilai dari sesuatu karya secara khusus dan hakckat sastra secara umum, setiap orang yang
berusaha memberikan jawaban berarti mencari, menunjukkan, dan juga menentukan arti,
makna, nilai dan hakekat. Penentuan sedemikian dalam hal sastra disebut kritik sastra, sebab
"istilah kritik pada hakekatnya memang suatu penghakiman".
Dalam menentukan nilai atau melakukan penghakiman atas karya yang diliadapinya, seorang
kritikus sastra tidak bertindak semaunya. Kritikus sastra dalam mengemukakan kritiknya
melewati suatu proses penghayatan keindahan yang serupa dengan proses penghayatan
seorang pengarang dalam melahirkan karya. Perbedaan dari kedua penghayatan itu, tentu
saja, terletak pada pangkal tolak dan titik akhirnya.
Proses penghayatan seorang pengarang dalam melahirkan karyanya berpangkal dari
pengalaman yang bersumber pada persepsi baik persepsi alamiah-faktual lewat daya-daya
indera dan daya khayal maupun persepsi khayali yang semata-mata menggerakkan daya
angan-angan. Tetapi baik yang alamiah-faktual maupun yang khayali bagi seorang pengarang
yang berhasil, terutama penyair, persepsi, yang melahirkan pengalaman dan selanjutnya suatu
penghayatan yang menyeluruh, dirasakan sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat
dielakkan, seolah-olah penyair itu kehilangan pribadinya terlempar ke dalam rahasia, seolah-
olah rahasia itulah yang hidup dan bergerak dalam dirinya, sehingga boleh dikatakan ke-ada-
annya hanyalah lantaran rahasia tersebut.
Tetapi akhirnya dia akan menyadari ke-ada-an pribadinya kembali dan ingin
menunjukkannya dalam penguasaan atas penghayatan yang tadinya melarutkannya. Dan ini
hanya dapat dicapai dengan mengungkapkan penghayatan rahasia itu dalam bentuk bahasa,
sebab sebelum peng- ungkapan itu terjadi dia pasti akan terus merasa tercengkam dan
tertindih seolah seluruh urat nadinya dilolosi oleh rahasia yang tengah dihayatinya. Maka
apabila pengungkapan itu pun tercapai hilanglah perasaan tercengkam ataupun tertekan itu.
Dia akan merasa lega dan puas karena dia berhasil melemparkan sekalian beban yang
menindihnya ke dalam bentuk pengungkapan bahasa itu. Dengan demikian, lahirnya bentuk
pengungkapan selalu ditandai oleh semacam catharsis, yakni semacam keringanan dan
pembersihan hati dari segala kekalutan dan beban rahasia yang menindihnya. Dengan
disadari atau tidak proses pembebasan diri dari kekalutan dan beban rahasia merupakan
proses penciptaan karya sastra. Dan dengan terciptanya karya itu, sempurnalah
penghayatannya karena penghayatan keindahannya itu dapat menemukan hakekatnya, yang
utuh dan khas, dan terus hidup lewat bentuk karyanya. Hakekat penghayatan keindahan yang
utuh dan khas itu, dapat dikatakan sebagai perwujudan dari tangkapan dan idealisasi seorang
pengarang atas keindahan yang universal. Oleh karenanya mustahil tepat sama dengan
hakekat penghayatan pengarang lain, kendatipun mereka sama-sama dapat dimasukkan dalam
satu jenis aliran atau kategori. Karena hakekat penghayatan itu hanya menemukan bentuknya
dalam proses penciptaan, maka disebut penghayatan poetik. Sedangkan hakekat dari
penghayatan para pengarang, yang utuh dan khas dan oleh karenanya berbeda satu sama lain,
disebut poetika.
Kiranya tidak perlu dicatat lagi bahwa poetika di sini tidak ditafsirkan secara
konvensional, sebagai ilmu puisi atau teori sastra. Dalam sejarah pengajaran sastra di
Indonesia poetika telah secara ketat dihubungkan dengan puisi, dan ditafsirkan sebagai ilmu
tentang puisi. Hal ini tidak mengherankan karena Poetica tulisan sarjana Belanda J. Elema
yang banyak dipakai dan dikutip memang mengajarkan demikian.Buku-buku tentang
"poetika" seperti terbitan Daniel G. Hoffman, American Poetry and Poetics tidak jarang
disalah-tafsirkan orang menjadi sastra" sehingga seorang pemikir teori sastra, René Wellek
yang Theory of Literature-nya banyak dibaca di Indonesia, menolak pemakaian istilah
poetika karena memberi kesan hanya terbatas pada bidang puisi. Istilah poetika sesuai dengan
uraian singkat di atas dimaksud untuk menunjuk pengertian tentang konsepsi keindahan
seorang pengarang sebagaimana dijelaskan lewat karya-karyanya. Dengan begitu tidak hanya
terbatas untuk bidang puisi melainkan juga untuk bidang kepengarangan yang lain. Oleh
karena itu tidaklah heran kita membaca buku berjudul Hart Crane’s Poetics of
Disconnection, Approaches to the Novel: Materials for a Poetics, atau Poiesis: Structure and
Thought, yang menunjukkan bahwa tidak hanya bidang puisi tetapi juga bidang-bidang sastra
lain seperti roman dan drama juga tercakup dalam pengertian "poetika" dan poiesis". 15 Dan
sejak pemakaian sedemikian luas, dalam sastra Inggris, orang menjadi biasa berbicara dan
menulis tentang poetika penyair-penyair William Carlos Williams, T.S. Eliot, Wallace
Stevens atau John Berryman; poetika pengarang-pengarang roman Herman Melville, Ernest
Hemingway, Henry James, James Joyce atau John Barth, dan poetika pengarang-pengarang
drama Samuel Beckett, Edward Albee, atau Arthur Miller.
Penghayatan keindahan seorang kritikus bermula dari pengamatan dan pencernaan
jiwanya atas suatu karya. Dalam penghayatan itu seorang kritikus juga dapat larut lewat
persepsinya atas karya yang dihadapinya. Meskipun persepsinya juga tergantung pula pada
ketajaman daya angan-angan, penghayatan itu sepenuhnya tertaut dan tak dapat lepas dari
karya faktual yang ada di hadapannya itu. Karena pangkal tolaknya adalah karya seni, titik
akhirnya yang menjadi tujuan dari penghayatan itu bukanlah untuk membuat tiruan atau
duplikat dari karya tersebut. Sebagai seorang kritikus yang telah mengalami penghayatan
keindahan atas karya, dia merasa menemukan nilai tetapi tidak menciptakan nilai dalam
karya tersebut. Penghayatan keindahan yang tidak lain adalah penghayatan nilai itu disebut
penghayatan atau pengalaman estetik (sebab sebagaimana kita maklum kata Aisthetes yang
menjadi pangkalnya berarti orang yang dapat menangkap dengan daya indera dan Aisthetikus
adalah sifat-sifat yang berkenaan dengan yang tampak dengan daya indera, yang menyengkan
bagi daya indera manusia). Penghayatan estetik ini tidak selalu mudah karena suatu karya
sastra yang diciptakan untuk semua orang yang mau membacanya itu sering tidak dapat
diresapi oleh setiap orang. Hal yang sedemikian dapat terjadi karena dua kemungkinan, yakni
atau pembacanya terlalu tertutup dan tegar untuk dapat menyerap sastra yang halus dan tinggi
atau karya sastra itu terlalu tidak berdaya untuk menggerakkan minat dan hati pembacanya.
Apabila penghayatan estetik tidak terjadi dengan sendiri kesadaran pribadi seseorang
pembaca akan nampak kuat dan mustahil larut ke dalam rahasia karya yang dihadapi. Dengan
begitu pengosongan diri pembaca tidak terjadi tidak saja karena dia penuh prasangka dan
tertutup terhadap hal-hal baru tetapi juga karena sesuatu karya kerap terjadi terlalu lemah
untuk dapat menelanjangi ataupun mengosongkan kepribadian pembacanya.
Apabila penghayatan estetik terjadi seorang kritikus akhirnya sadar kembali akan
pribadinya dan menjelaskan bagaimana sebuah karya yang ia baca telah dia hayati,
bagaimana penghayatan itu terjadi, dan mengapa penghayatan itu terjadi. Karena telah
dijelaskan bahwa penghayatan estetik berarti penemuan nilai, dalam penjelasannya kritikus
menuliskan bagaimana dalam sebuah karya dia menemukan sesuatu nilai, bagaimana
penemuan nilai terjadi, dan mengapa penemuan nilai terjadi. Uraian yang menjelaskan tiga
pertanyaan pokok itu sudah barang tentu tidak lepas dari pertanyaan apa hakekai nilai sastra
dan apa hakekat nilai karya sastra yang dihadapinya. Jawaban atas pertanyaan terakhir berarti
menentukan nilai karya sastra itu. Tetapi apabila penghayatannya benar-benar berpangkal
dari persepsi tentulah penghayatannya estetik itu dapat sejalan dan memang merupakan nilai
yang hendak diungkapkan oleh pengarang yang bersangkutan. Dan kiranya atas pengertian
ini, dalam kritik-kritik sastra sekarang ada kecendurungan untuk mengetengahkan poetika
pengarang dan bukan pengalaman estetik kritikus. Ini berarti pengalaman estetik sudah
didekatkan, karena mustahil untuk disamakan dengan pengalaman poetik. Dan pendekatan ini
hanya mungkin apabila dunia pengarang tidak lagi asing bagi pembaca, kritikus, entah karena
ketajaman daya angan-angan, luasnya pengetahuan, ketajaman perasaan hati, atau getaran
jiwanya.
Tetapi bagaimanapun baiknya seorang kritikus, mustahil dia dapat memuaskan baik
pengarang maupun pembaca lainnya. Dalam kritik sastra yang menyeluruh dan tajam
sekalipun terasa terlalu sempit untuk mencakup seluruh dunia karya sastra, sehingga
dirasakan ada hal-hal dalam karya sastra yang terasa hilang dalam kritik sastra. Oleh karena
itu para kritikus kenamaan pun akhir-akhir ini masih perlu menjelaskan apa yang dapat dan
tidak dapat dirangkum oleh kritik sastra baik secara praktis maupun teoretis, untuk
menghindarkan salah pengertian.
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa seorang kritikus yang baik dalam
mencari, menunjukkan, dan menentukan nilai baik dengan analisa maupun perbandingan
secara teoretis tidaklah berada jauh dari poetika pengarang, sehingga sastra dan kritik sastra
tidaklah saling bertentangan.
C. Peranan Kritik Sastra
Apabila ditinjau dengan seksama, apa yang dilakukan oleh seorang kritik sastra
sebenarnya sangat sederhana. Ia mengambil setiap karya membaca setiap karya yang bisa dia
dapatkan, entah siapa pun sastra yang mana pun dan bagaimanapun ujudnya untuk dibaca. La
penulisnya, lepas dari rasa senang atau tidak, baik terhadap buku itu maupun penulisnya.
Selesai membaca dia akan merasa senang, terkesan, atau bosan maupun jengkel hatinya.
Kemudian dia mau menulis dalam bentuk sebuah karangan untuk menerangkan betapa dan
mengapa buku yang dibacanya membosankan atau mengesankan. Untuk menerangkan betapa
buku tersebut membosankan atau mengesankan sebenarnya tidak sulit, sebab dia dapat
mengajukan ringkasan buku tersebut dan banyak mengutip/menunjuk contoh. Tetapi
sebaliknya, untuk memberikan musabab atau rationale dari akibat-akibat yang dialami
setelah membaca buku tersebut tidak mudah. Dia perlu berpikir, merenung, menimbang,
dengan otak dan perasaan, dan hati. Dalam merenung dan menimbang, dia tidak hanya serba
menanya terhadap apa-apa yang terkandung dalam buku yang dibacanya, tetapi juga serba
menanya terhadap pikiran, perasaan, selera, hati, dan pengalamannya sendiri. Dengan begitu
dia tidak hanya bersikap kritis terhadap karya sastra tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
Maka dia tidak mau hanya larut, tercengkam, dihimbau, atau mabuk dibius oleh kesan-kesan
dari pengalamannya membaca buku itu. Kalau hanya berhenti pada mengutarakan kesan-
kesan belaka, maka apa yang ditulis bukanlah sebuah kritik sastra melainkan rekaman kesan
selayang pandang (expression of emotion). Sikap kritis atau serba menanya ini diperoleh atau
luapan getaran hati lantaran dia bukan lagi seorang anak yang serba murni dan hampa
jiwanya, tetapi seseorang dewasa yang sudah berulang kali membaca, hingga dapat dikatakan
bahwa semakin banyak dia membaca semakin besar pula dorongan serba menanya yang
dimilikinya, sebab pengalaman-pengalaman di masa silam akan turut bicara dalam
memberikan rationale atau paling sedikit, pengalaman-pengalaman di masa silam itu telah
kesan-kesan menjadikan dia sepeka dia adanya sekarang.
Langkah pertama dalam sikap serba menanya adalah menunjukkan bahwa dia, setelah
membaca (atau berulang-ulang membaca) karya ini, faham akan makna yang terkandung di
dalamnya dan dapat menikmati karya tersebut. Ia menerangkan hakekat dari karya yang
bersangkutan, tentu saja sebagaimana dia dapat menangkap dan merasakannya. Untuk
menampilkan hakekat karya itu, dia sering harus memberikan sinar terang pada liku-liku
yang dirasa gelap dan samar. Oleh karenanya, tidak jarang dia terpaksa harus membuat
tafsiran agar karya tersebut utuh dalam penangkapannya. Penafsiran ini dilakukan dengan
melihat keseluruhandari karya itu dan kemungkinan-kemungkinan sebagaimana dia telah
belajar dari karya-karya sejenis yang sebelumnya dia telah membaca. Langkah kedua, tentu
saja, menempatkan arti dari nilai karya itu. Dalam usaha menempatkan arti ini dia, mau
mengakui atau tidak, terpengaruh oleh alam karya itu, yakni unsur yang melahirkan dan
unsur-unsur kedalam mana karya itu lahir. Jadi arti dan nilai itu terletak dalam hubungan itu.
Untuk mengatakan bahwa buku yang dibacanya termasuk karya besar dia tentu akan teringat
arti dan nilai dari karya-karya yang biasa disebut besar. Maka dengan diam-diam dia telah
melakukan langkah ketiga. Ia telah secara diam-diam dituntut untuk memberikan dasar-dasar
yang menjadikan sebuah karya itu besar. Dan sebelum menyebut buku tersebut sebagai karya
besar, terlebih dahulu dia harus dapat mengatakan bahwa buku itu termasuk karya sastra. Ia
harus tahu apa syarat-syarat yang diperlukan oleh sebuah buku untuk menjadi karya sastra,
dan tahu pula syarat-syarat untuk sebuah karya sastra untuk menjadi karya sastra yang besar.
Langkah terakhir, membersihkan dan mengembangkan jiwanya dengan terbukanya terhadap
nilai baru yang diresapkan dari karya yang baru saja dinikmatinya. Pembersihan dan
perkembangan jiwa ini tidak dapat dipaksakan ataupun direncanakan, sebab sama sekali
tergantung dari keterbukaan dan kepekaan jiwanya dan daya kemampuan karya tersebut
memberikan nilai baru. Kalau kepekaan dan keterbukaan jiwa tidak cukup ada, maka
bagaimanapun kuatnya - apalagi kalau kekuatan daya memberi nilai baru, itu sama sekali
tidak ada ataupun kurang pembersihan dan perkembangan jiwa sukar atau mustahil terjadi.
Begitupun sebaliknya, yakni apabila kepekaan dan keterbukaan cukup besar tetapi
karya yang dibacanya memang tidak memiliki daya sama sekali. Yang paling ideal dan ini
benar-benar diharapkan dari mereka yang bertindak sebagai kritikus sastra - adalah
keterbukaan dan kepekaan jiwa yang besar, karena telah banyak pengalaman membaca secara
kritis dan sistematis, dan karya-karya sastra yang memang besar nilainya.
Dengan begitu, sebenarnya melalui tulisannya seorang kritikus sastra bermaksud
menunjukkan bahwa dia telah menikmati dan memahami karya sastra secara betul. Apabila
ternyata dia hanya berhasil menjelaskan bagaimana dia telah dapat menikmati karya itu, ia
telah tergelincir menjadi seseorang yang telah menulis dengan hanya mengikuti selera pribadi
(subyektif), dan semata-mata dibius olch kesan-kesan impresionistis, sehingga dapat
dikatakan bahwa menikmati sastra adalah sekedar "hiburan dan pelepas waktu luang". Tetapi
sebaliknya, bilamana dia hanya berhasil menjelaskan bagaimana dia telah memahami karya
sastra itu, karangannya bukanlah sebuah kritik sastra, melainkan "uraian" yang kering seperti
kerangka yang tidak berhayat ataupun berdaging.
Dalam memberikan penilaian karya sastra dan memberikan ujud pada tulisannya,
seorang kritikus sastra dipengaruhi oleh pandangannya tentang hakekat sastra dengan segala
keruwetan pengertian yang terkandung dalam istilah itu. Dengan begitu apakah dia seorang
kritikus terpelajar penganut estetikisme murni, pendukung propaganda, seorang peminat
masalah-masalah dan ilmu sosial dan kemanusiaan secara luas, akan tergaris pula dalam
kritik yang ditulisnya. Apabila dia menulis kritik sastra tidak hanya sekali, tetapi kerap dan
berulang kali, pandangan-pandangannya dapat berpengaruh, terlepas jenis mana yang
ditulisnya itu.
Tetapi, terlepas dari semua pandangan tentang hakekat sastra, lengkap dengan segala
keruwetan persoalan selanjutnya, kiranya kita tidak boleh mengabaikan apa yang menurut
istilah Coleridge disebut "intuisi benda-benda", yang dapat timbul kalau kita memiliki diri
kita sendiri sebagai sesuatu bersama dengan semesta; tak boleh lupa akan kesadaran jiwa
daripada seluruh proses organ hidup yang oleh seniman ataupun sastrawan itu ditangkap,
disoroti dan dipergaulkan dengan caranya yang khas.
Pengamatan (observasi) dan penafsiran (interpretasi) merupakan batas mutlak dari
pengalaman manusiawi. Di sampingnya masih terdapat juga semacam realitas di luar pikiran
manusia yang turut masuk dan menembus pengalaman itu. Dari sebab itu pengalaman
manusiawi haruslah dipandang baik sebagai obyek maupun subyek sekaligus di dalam satu
proses yang tidak terpisahkan, sebagai satu kesatuan yang nyata, yang saling berhubungan
dengan eratnya. Akibatnya, kalau kita hanya ingin memandang dari satu segi saja, secara
terpisah dari kesatuan organ yang vital ini (emosi, keindahan, fantasi, bawah sadar) berarti
memenjara diri dibawah tempurung. Di dalam penemuan dan pergaulan kreatif yang bersifat
umum, dalam keseluruhan proses organ kita yang hidup, kesusastraan gambaran-gambaran
ujudnya kompleks, berjalinan rapat, kongkret, susunan arti dan pola persesuaiannya. Sastra
berurusan dengan kebangkitan kesadaran jiwa dan penghidupan suara hati nurani, karena
yang dijawabnya adalah proses perkembangan dan perubahan, kecenderungan dan kepuasan
hati, serta apa yang diwahyukan dan terahasiakan secara samar-samar. Karya sastra yang
merupakan pengungkapan daya kreatif yang bersifat hidup dan memberi kehidupan memiliki
arti dan daya diri sebagai pernah dikatakan dengan istilah "making and unmaking mankind"
oleh penyair Yeats.
Sebagai akibat dari kesemuanya ini studi sastra haruslah bersesuaian dengan
keseluruhan cara hidup, apa keadaan kita pada saat ini juga dan apa yang sebetulnya kita
kehendaki pada diri kita. Atau dengan kata lain studi sastra tidak lain haruslah bersangkutan
dengan kebudayaan sendiri, penyingkapan nilai dan arti yang terdapat pada suatu masyarakat
tertentu baik secara tersirat (implicit) maupun tersurat (explicit).
Berdasarkan kenyataan ini kritikus sastra melakukan tiga peranan sekaligus. Yakni:
menjalankan self-disiplin pribadinya sebagai jawaban terhadap karya sastra tertentu;
bertindak sebagai pendidik yang berurusan dengan kesehatan dan sikap kejiwaan suatu
masyarakat; dan bertindak sebagai hakim yang membangkitkan kesadaran dan menyalakan/
menghidupkan suara hati nurani.
Kita disiplin menjelaskan bahwa seorang kritikus berbeda dengan seorang estetikus,
karena dia memiliki kemampuan apresiasi khusus yang sudah terlatih atau kemampuan untuk
memisah-misahkan emosi-emosi. Dari sebab itu ia dapat mengatur pikirannya, membentuk
cita perasaannya hingga ia akan menjawab karya-karya sastra yang dihadapinya dengan
kejujuran keseimbangan dan hati yang bersih. Setiap tindakan daripada suatu reaksi
merupakan pendidikan terhadap diri sendiri, suatu pembentukan pribadi rohaniah dan
jasmaniah, suatu penegasan terhadap tingkah laku yang benar dan korektif dalam
hubungannya dengan sesuatu yang hidup dan akrab.
Setiap kritikus mestilah sadar bahwa apa yang dinilai dan seluruh kariernya
merupakan proses mendisiplinkan daya-daya kemampuannya. Ia tidak hanya mempertinggi
cita perasaannya, tetapi mendisiplinkan kesadaran suara hati nuraninya sendiri. Dan dia tidak
hanya tertarik pada kondisi yang lebih baik daripada dirinya sendiri saja. Lagi dia tidak hanya
menina-bobokan isolasinya, tetapi dia yakin bahwa di dalam keutuhan jalinan yang hidup
kesadaran suara hati nuraninya merupakan bagian daripada realitas dan realitas itu sendiri
merupakan bagian dari kesadaransuara hati nuraninya. Maka yang digali adalah nilai-nilai
dalam perhubungan yang jalin-menjalin. Pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan cita
perasaan yang sudah masuk serta sangkut pautnya dengan proses kehidupan yang hidup. Dia
mengajak untuk melihat apa yang terdapat didalam lubuk kesusastraan, jauh di bawah karya
kongkret yang bersifat individu itu. Yang dipermaklumkan ialah suatu keharusan terhadap
masyarakat, yakni suatu keharusan untuk membentuk kembali kualitas hidup.
Karenanya karya kritik sekaligus merupakan proses kesadaran dan maklumat apa
yang telah disadarinya itu. Liku-liku pikiran kritikus sastra adalah jalan-jalan kejiwaan yang
telah terdidik dan terlatih organ-organ yang penuh arti dan tidak hanya untuk menyusun
abstraksi-abstraksi intelektual melulu. Soalnya bukan saja tentang rangkaian keahlian ataupun
suatu himpunan informasi belaka. Hakekatnya merupakan suatu metode berpikir, merasa,
mengatur dan membentuk pola-pola peristiwa serta dalam keutuhan bagiannya melihat
keseluruhannya. Sedang yang dimaksud dengan berjalan pikiran yang terdidik dapat dilihat
karena adanya dua ciri khas ini, ialah kesatuan dan metode.
Dengan adanya kesatuan dan metode itu pikiran yang telah terdidik tidak mungkin
menjadi budak aneka macam kejadian yang kacau saling tindih-menindih; dan juga tidak
akan menjadi semacam gudang timbunan segala macam pengetahuan yang pasif saja. Tetapi
langsung berurusan dengan sesuatu yang mengatasi informasi khusus; dengan vitalitas yang
tumbuh dan berkembang dari dalam, dengan dasar-dasar yang terdapat di balik organ kita
yang hidup. Dan ini hanya dapat dimulai dengan pengenalan diri sendiri sekaligus dengan
cara pencapaian pengenalan diri itu, yakni refleksi. Refleksi ini merupakan kontemplasi
daripada akal budi, yang tidak lain daripada intuisi benda-benda, yang pasti muncul bila kita
telah menguasai diri sendiri dalam satu keutuhan dan semesta. Dimulai dengan apa yang
khas, yang kongkret dan individual sifatnya. Merupakan satu bentuk dari pengalaman pribadi,
penyusunan perasaan-perasaan, nilai-nilai serta pola-pola lengkap dengan daya pemisahan-
pemisahannya.
Inilah yang memberikan nilai pendidikan pada studi sastra itu, yakni masyarakat yang
menghidupi kita ternyata kebingungan dalam mencari nilai moral sebagai pegangannya, bila
tradisi lama sudah tidak dapat lagi dipergunakan sebagai pegangan tetapi tradisi baru belum
lagi terbentuk.
Karena di dalam masa kesibukan-kesibukan fisik pembinaan, semangat masyarakat
biasanya kurang diperhatikan, karya sastra yang ditujukan pada seluruh anggota masyarakat
yang semacam ini sudah barang tentu memainkan peranan yang sangat penting. Dan dengan
sendirinya studi dan kritik sastra yang tak dapat dipisahkan daripadanya pun nampak juga
kepentingannya. Karena karya sastra, studi sastra dan kritik sastra itu mengembalikan seluruh
anggota masyarakat itu menjadi manusia lagi, dibangkitkan kesadarannya bahwa mereka itu
bukanlah mesin-mesin yang mesti bergerak dalam batas-batas tertentu bila kebetulan disentuh
orang. Disiplin sastra itu membangkitkan kembali kesadarannya untuk membina nilai-nilai
utama dalam kehiduppan bersama, membentuk suatu tradisi baru dan menciptakan dunia
manusia yang baru pula.
Memang kita tidak dapat mengingkari bahwa studi sastra itu mempergunakan banyak
alat seperti norma-norma linguistik, semantik, filologis, historis (yang merangkum juga nilai-
nilai kehidupan masyarakat bersama), tetapi kesemuanya itu haruslah dijalin untuk mencapai
fungsi utamanya sebagai latihan terhadap akal budi dan aneka macam kemampuannya. Di
dalam abad teknik ini, pembinaan akal budi, ketajaman pikiran, kehalusan cita rasa, dalam
bentuk ketepatan jawaban, ketelitian membeda-bedakan, dalam analisa dan integrasi, dan
lebih-lebih dalam penyadarannya sebagai organ manusiawi merupakan kebutuhan yang
mendesak. Tugas-tugas itulah yang harus dilakukan oleh kritik sastra, karena kritik sastra
menang merupakan masalah penegasan, penjelasan, penghakiman dan analisa. Pokoknya
segala sesuatu yang segi-seginya langsung berhubungan dengan penilaian. Maka wawasan
sastra meletakkan dasar-dasar atau norma-norma, mencipta dan memberikan arah.
Maka fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan pengalaman
manusiawi serta menjalinkan menjadi suatu proses perkembangan susunan-susunan atau
struktur yang bermakna. Fungsi ini pasti jauh lebih penting dan berfaedah daripada membuat
ketegori-kategori yang biasa dilakukan orang atas sastra, meskipun kategori-kategori itu juga
berfaedah. Secara pribadi kami memang berkeyakinanbahwa di saat aneka kekuatan berebut
kekuasaan dalam menentukannasib manusia seperti sekarang ini, kritik sastra sebagai usaha
untukmengukuhkan nilai-nilai manusiawi dan dasar-dasar kehidupan masyarakat berbudaya
memang diperlukan secara lebih mendesak. Dan karena itulah, kiranya pengajaran sastra
klasik dan modern - baik di dunia Barat maupun Timur - tidak diabaikan.
Kritik sastra yang baik menyangkut tradisi kebudayaan, membentuk suatu tempat
pijak buat cita rasa yang benar, melatih kesadaran, dan secara benar mengarahkan pengertian
tentang makna dan nilai kehidupan. Dengan kata lain, fungsi kritik sastra adalah juga
mengangkat manusia kepada martabat yang sebenarnya.
D. Aspek-Aspek Kritik Sastra
Sebuah karya sastra, sebagaimana setiap karya seni lainnya, merupakan suatu
kebulatan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri. Merupakan satu dunia keindahan dalam ujud
bahasa yang dari dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas. Tetapi juga
merupakan fenomena atau gejala sejarah satu yakni sebagai hasil karya seseorang seniman
tertentu, dari aliran tertentu, jaman tertentu dan kebudayaan tertentu pula yang tidak lepas
dari rangkaian sejarah. Merupakan pengejawantahan gaya yang juga dimiliki oleh karya-
karya lain dari seniman itu, di samping juga gaya yang menandai karya-karya lain termasuk
aliran, jaman dan kebudayaan yang sama dengan karya tersebut. Akhirnya karya sastra,
sebagaimana juga setiap karya seni lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya sebagai karya
seni, begitu pula tentang kebenaran dan arti kepentingannya. Tegasnya setiap karya
mempunyai tingkatnya tersendiri dalam hal kesempurnaan, punya ukurannya tersendiri
tentang kebenaran atau kepalsuannya serta keagungan ataupun keremehannya.
Karenanya setiap kritikus yang cakap pastilah akan memperhatikan ketiga aspek
daripada setiap karya sastra tersebut. (Dan sebenarnya begitulah pula hendaknya setiap
pembaca biasa. Hanya saja hal ini akan tergantung pada tingkat ketajaman perasaan hatinya.
Dan tentu tingkat sistematiknya pastilah akan lebih rendah, dan secara historisnya tentu akan
kaku sifatnya). Ia menangkap kepribadian karya itu di dalam kepenuhan keistimewaannya
lewat sebuah rekrcasi artistik yang disebabkan oleh halusnya perasaan hatinya. Tetapi untuk
mengadakan rekreasi itu dia harus tahu "bahasa" yang dipergunakan oleh seniman itu. Ini
berarti menuntut adanya suatu keakraban dengan jenis-jenis gaya daripada komposisi serta
latar belakang tentang kebudayaannya. Tetapi suatu rekreasi yang berorientasi historis itu
secara mutlak menuntut suatu jawaban kritis. Yakni jawaban yang berarti pengkajian
terhadap karya tersebut dengan mengingat baik terhadap kadar seninya maupun pada
kebenaran serta arti rohaninya. Karenanya kritik sastra pun memiliki tiga aspek pula, yakni
aspek historis, aspek rekreatif dan aspek penghakiman. Masing-masing aspek berhubungan
sejalan dengan aspek-aspek yang terdapat pada karya sastra itu. Kritik historis berhubungan
dengan watak dan orientasi historisnya; kritik rekreatif berhubungan dengan kepribadian
artistiknya yang istimewa, dan kritik penghakiman berhubungan dengan nilai atau kadar
artistiknya. Aspek-aspek kritik ini sepenuhnya merupakan faktor-faktor persyaratan bagi satu
proses organis. Hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya jelaslah bahwa
bersifat analog (sejalan dengan hubungan yang terdapat pada gaya, kepribadian dan nilai di
dalam setiap karya sastra).
Karena hubungan masing-masing aspek kritik bersifat analog dengan hubungan
masing-masing aspck di dalam karya, maka dengan sendirinya masing-masing aspek punya
tugas jalinan tersendiri di antara wawasan dan karyanya. Kritik historis secara khusus
mempunyai tugas untuk mencari dan menentukan hakekat dan ketajaman pengungkapan
karya itu di dalam jalinan historisnya. Di satu pihak menyangkut keaslian teks dan dokumen,
dan di lain pihak menyangkut penafsiran yang didasarkan atas macam-macam alat yang bisa
diperoleh yang sifatnya biografis, sosial, budaya dan lain sebagainya. Hanya dengan
demikianlah, pada hemat kami, orang bisa mengharap untuk menangkap apa yang oleh
penulis atau penciptanya mau diungkapkan dan bisa menafsirkan pula hasrat kemauan itu
berdasarkan minat-minat pengarang itu sendiri serta latar belakang budayanya.
Kemudian kritik rekreatif tugas khususnya adalah, dengan daya angan-angannya
lewat jawaban artistik yang telah dihasilkan oleh kehalusan hatinya, menemukan apa yang
telah diungkapkan oleh pengarang itu dengan benar-benar berhasil di dalam satu bentuk
karya tertentu. Sudah barang tentu seorang kritikus yang tidak mengabaikan segi rekreatif
daripada kritik, akan dan memang sudah selayaknya pula menghubungkan apa yang
ditangkapnya itu dengan minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan diri pribadinya sendiri.
Tetapi hal ini tidaklah bersifat integral dengan kritik rekreatifitu. Hal itu hanya dilakukan
sejauh masih secara positif turut menentukan pengertian kritikus itu tentang karya tersebut
dan isi yang diungkapkannya.
Sebagai catatan harap diperhatikan bahwa awalan re- dalam istilah kami di sini perlu
secara mutlak disadari artinya, karenanya tidak dapat dihubungkan hingga kata rekreatif
ataupun rekreasi itu menjelma menjadig modern diartikan sebagai "pemulihan tenaga dan
penyegaran kembali" seperti dalam kalimat: "Selama waktu rekreasi para mahasiswa bermain
bridge, sepakbola, tenis meja dan ada pula yang cuma duduk-duduk bergurauan di bawah
pohon di halaman asrama." Atau "Di dalam pendidikan Indonesia di jaman kuno rekreasi
sama sekali tidak mendapat tempat, tetapi di jaman sekarang ini rekreasi sudah disadari
kepentingannya, karena baik tenaga rohani maupun jasmani memang tidak dapat dipaksa
untuk terus bertekun tanpa henti-hentinya.
Rekreasi sebagaimana dimaksudkan oleh istilah kami di sini adalah suatu penciptaan
kembali (sebagaimana tari kreasi modern berarti tari ciptaan modern) atau kalau mau
mengatakan dengan kata lain yang nyata tetapi terlalu kasar buat suatu karya seni adalah
rekonstruksi. Kritikus ataupun pembaca biasa dalam menikmati karya sastra itu seakan-akan
terlontar masuk dunia baru yang sama sekali asing. Ia harus menemukan dirinya sendiri di
dalam dunia baru itu. Dan kesadaran akan kepribadiannya itu hanya bisa diperoleh apabila
dia dapat menangkap udara dari alam baru itu, yakni apabila dia bisa menangkap keindahan
yang dihadapi dan meresapinya juga. Untuk mencapai hal ini setiap orang, entah dia itu
seorang kritikus ataukah hanya seorang pembaca biasa, haruslah bertindak aktif
menggerakkan sekalian daya, terutama daya imajinasi/angan-angan, yang dimilikinya.
Karenanya setiap pembaca yang berhasil menangkap karya seni secara utuh dan menyeluruh
merupakan seorang seniman dalam batas-batas tertentu, yakni seniman bagi dirinya sendiri,
atau seniman yang hanya sampai pada pengalaman rohani. Kalau kemudian dia menuliskan
kesan-kesannya tentang pengalaman rohani yang diperoleh dari karya sastra yang sudah
dibacanya itu, yakni apabila dari seorang pembaca biasa melangkah maju sebagai seorang
kritikus maka dia dapat disebut seorang seniman kedua, karena secara jujur dia mengakui
bahwa dia telah mengarungi pengalaman jiwa pengarang yang karyanya telah dibaca itu, dan
kemudian ingin memberikan pertanggungan jawab pengarungannya itu kepada orang- orang
lain.
Sedang tugas khusus kritik penghakiman, sebagaimana sudah jelas dari bunyi
istilahnya, adalah menentukan nilai daripada sebuah karya sastra yang dibacanya. Dicarinya
pula hubungan dengan karya-karya sastra yang lain dan nilai-nilai insaniah lainnya. Dan
penentuan nilai-nilai ini, sebagaimana akan jelas dari uraian-uraian selanjutnya, menyangkut
sekurang-kurangnya tiga macam dasar-dasar kritik yang merupakan persyaratan penting.
Adapun tiga macam kriteria normatif itu adalah kriterium estetik yang tegas terhadap
pencapaiannya sebagai karya seni, kriteria epistemis tentang kebenaran-kebenaran yakni
apakah kebenaran yang menjiwai karya itu merupakan rangkuman kebenaran semesta yang
dapat dipertanggung-jawabkan dan akhirnya kriterium normatif, yang lebih luas lagi tentang
arti kepentingan, keagungan dan kedalamannya. Yang terakhir ini menyangkut kematangan
jiwa lengkap dengan kecenderungan-kecenderungan rendahnya termasuk kementahan dan
kedangkalan sikap jiwanya.
Di atas baru kami tunjukkan bahwa masing-masing aspek kritik dan bahwa hubungan
antara masing-masing aspek kritik itu berjalan hubungan dengan aspek-aspek yang
bersangkutan di dalam karya sastra bagaimanakah hubungan itu secara kongkretnya.
Haruslah kami tegaskan analog dengan aspek-aspek di dalam karya sastra. Tetapi tidak
dijelaskan pendekatan yang komplementer ke arah sebuah karya. Maka setiap bahwa ketiga
aspek kritik itu di dalam kenyataannya merupakan tiga pendekatan ke arahnya hanya bisa
dilakukan dengan berhasil apabila dibarengi oleh kedua pendekatan lainnya. Jadi orang tidak
bisa mengadakan pendekatan karya yang menyeluruh dan utuh hanya dengan dijalankan
sekaligus. Suatu pengamatan historis, misalnya, kalau lewat satu ataupun dua pendekatan
saja. Ketiga pendekatan haruslah dipisahkan dari rekreasi sensitif dan pengkajian yang
berdasarkan penghakiman, hanyalah akan menghasilkan satu rentetan fakta-fakta objektif
yang kering. Dan kalau orang hanya bertumpu pada fakta-fakta objektif saja pastilah akan
gagal di dalam usahanya untuk menentukan hakekat serta nilai karya sastra yang
dihadapinya. Sebaliknya, suatu usaha penciptaan kembali atau usaha rekreatif tidaklah
mungkin bisa dilakukan tanpa adanya pengertian tentang konteks atau jalinan historis. Maka
gagallah sebagai suatu rekreasi yang sebenarnya. Akibatnya hanya akan merupakan suatu
tantangan atau reaksi subyektif belaka. Dan lagi suatu jawaban estetik terhadap sesuatu karya
pastilah akan timpang bila tidak didasarkan atas suatu pengkajian yang bertumpu atas
ketentuan-ketentuan keindahan yang sesungguhnya. Tetapi sebaliknya, penilaian karya ini
pastilah tetap akan bersifat akademis, ilmiah ataupun moralis melulu bila tidak dilakukan
dengan memperhitungkan pula perspektif historis dan tanpa kehalusan rasa artistik.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tangkapan rekreatif dan pengkajian
penghakiman itu kedua-duanya harusiah dilengkapi oleh suatu orientasi historis. Sebenarnya
mengadakan suatu rekreasi sebuah karya adalah merupakan penangkapan isi yang oleh
pengarang telah diungkapkan di dalam karyanya, sebagaimana telah kami tunjukkan tadi.
Maka berarti penafsiran secara benar sebagai suatu alat komunikasi. Maka tangkapan tersebut
tidak saja berarti satu pengertian tentang medium yang telah dipergunakan oleh pengarang
tetapi juga suatu keakraban dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan yang dipergunakan oleh
pengarang di dalam karyanya. Ini berarti penangkapan terhadap kenyataan yang ditentukan
oleh aliran, jaman dan kebudayaan di samping juga kekhususan pengarang sendiri sebagai
seniman yang berpribadi. Karenanya juga berarti merangkum satu pengetahuan tentang
jaman daripada pengarang itu lengkap dengan latar belakang intelektual dan spiritualnya.
Tanpa orientasi historis macam ini, tak ada seorang kritikus pun, meski bagaimanapun juga
tajam perasaan hatinya dalam bidang kesenian, yang bisa lolos dari suatu wawasan yang
sentimental. Maka hanya akan merupakan suatu himbauan buatan yang palsu terhadap karya
itu tentang apa yang sebenarnya tidak kedapatan di dalamnya. Dan ini juga berarti suatu
kegagalan dalam menangkap suatu rangkuman sari yang paling essensial atau asasi.
Selanjutnya suatu penghakiman pasti akan cabar dan tidak wajar kalau tidak bertumpu atas
dasar pengertian yang secara historis obyektif tentang apa yang dikajinya. Pernyataan seperti
"Apakah mutu atau karya ini", misalnya, mau tidak mau harus kembali pada pertanyaan
"Apakah hakekat karya ini yang sebenarnya". Dan kami yakin bahwa pertanyaan itu hanya
bisa dijawab dalam satu kerangka historis saja.
Demikian pula halnya dengan rekreasi atau penciptaan kembali. Rekreasi suatu karya
sastra dalam keutuhan pribadinya yang khas dan khusus itu sebenarnya bersifat hakiki bagi
kritik pengkajian ataupun kritik historis. Menciptakan-kembali merupakan syarat bagi
seorang historikus seni dan sastra, sebab obyek studi historis tersebut hanya bisa ditentukan
dalam satu jawaban artistik yang langsung. Kahalusan perasaan jiwa seseorang sajalah yang
bisa menolong orang untuk membuka rahasia tentang seni atau tidaknya suatu karya. Dengan
demikian membuka rahasia pula tentang apa yang merupakan obyek sah daripada sejarah seni
dan sastra (aliran, periode, dan kebudayaan setempat). Tetapi sebaliknya juga ada satu
kenyataan bahwa yang bisa diciptakan kembali dengan wajar dan layak hanyalah obyek suatu
pengkajian seni yang sah dan kena. Pengkajian tidak bisa hanya bertumpu atas dasar aturan-
aturan dan ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan secara mekanis. Orang harus "merasa"
bahwa benar-benar mau mengkaji, mau menghakimi. Pengkajiannya haruslah bertumpu atas
dasar pengalaman artistik yang dihadirkan oleh karya yang dihadapinya. Memang
bagaimanapun juga seni sastra, sebagaimana seni-seni lainnya, mempunyai ketentuan-
ketentuan dan hukum-hukum yang merupakan persyaratan hakekat suatu karya hingga bisa
disebut bernilai seni. Tetapi tidaklah berarti bahwa hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan
itu bersifat mutlak dan pasti seperti lancipnya suatu jajaran genjang, hingga dengan sebuah
pola saja orang bisa menerapkan di atas semua lukisan dan menentukan bahwa jajaran
genjang bagaimanapun juga besar, kecil dan telitinya tidak bisa semua lukisan yang tidak
memenuhi persyaratan lancipnya sudut-sudut disebut suatu jajaran genjang. Ketentuan-
ketentuan dan hukum-hukum di perintah Allah bagi seluruh anak buah Nabi Musa. Ketentuan
dan dalam bidang seni dan sastra tidaklah seperti batu yang memuat sepuluh sesuai dengan
kematangan jiwa setiap orang yang dibentuk oleh rentetan hukum-hukum di dalam bidang ini
akan menuju kepada kesempurnaan pengalaman-pengalaman rohaninya. Itulah sebabnya
setiap karya yang besar berjalan menempuh jaman yang gilir berganti lengkap dengan satu
maka dengan sendirinya semakin dekat suatu karya pada hukum dan ketentuan sendiri".
Tetapi karena kesempurnaan hanyalah "kesempurnaan" maka semakin tahanlah karya itu
menjawab tantangan jaman-jainan yang gilir berganti dengan norma dan prinsip-prinsip
keseniannya sendiri (tetapi yang kesemuanya diarahkan pada satu titik yang dicita-citakan
dan yang tak pernah dicapainya, itulah titik kesempurnaan.). Akhirnya meskipun
penghakiman itu sebenarnya boleh dipandang sebagai titik kulminasi kritik, toh hasil-hasil
usaha itu bukannya tertunda sampai fungsi-fungsi historis dan rekreatif itu bisa diselesaikan
secara lengkap. Sebenarnya sudah mengadakan pengkajian terhadap obyek perenungan
artistik itu sejak pada awal permulaan. Manusia, di dalam sekalian tindak dan pikirannya,
tidak pernah bisa lepas dari sifat-sifatnya yang normatif. Begitu orang dihadapkan pada apa
yang disebutnya karya sastra pastilah secara serta merta orang mengadakan penilaian. Entah
bagaimanapun juga bentuk penilaian itu pada tingkat permulaan toh sudah termasuk tindak
penghakiman juga, meskipun kemudian penghakiman itu masih harus diperbaharui dan
diubah berulang kali, karena adanya kesaksian-kesaksian dan penemuan-penemuan historis
dan rekreatif yang baru. Sifat normatif ini bukan hanya merupakan hal yang tidak dapat
dielakkan tetapi merupakan suatu sifat hakiki daripada setiap penyelidikan historis yang
berfaedah dan bagi rekreasi artistik yang kaya. Kami yakin bahwa setiap orang sudah
maklum bahwasanya setiap penyelidikan yang tidak dibimbing oleh pengertian tentang nilai
dan ukuran--ukuran, yakni penyelidikan yang sama sekali mengabaikan perspektif normatif
tentulah akan menjelma menjadi ramuan tetek-bengek yang tidak berarti. Penyelidikan
historis yang penting, di dalam bidang sastra dan seni lainnya, heruslah dibimbing oleh
ketentuan-ketentuan normatif bila benar-benar mau mencari hasil yang berarti. Sebaliknya
suatu usaha rekreasi artistik tidak akan lebih daripada suatu permainan iseng bila kadar
artistik, kebenaran dan arti kepentingannya sama sekali tidak diketahuinya.
Karenanya kritikus yang ideal dan cakap, adalah seorang kritikus yang tajam baik
dalam orientasi historis maupun dalam melakukan rekreasinya serta pengkajian terhadapnya.
Dan secara tegas dapat kami katakan bahwa tiada seorang kritikus pun yang bisa bekerja
tanpa mengetahui salah satu aspek dari wawasan tersebut. Tetapi harus diakui pula bahwa
dalam melakukan tugasnya itu tak ada seorang kritikus pun yang mampu bertindak secara
harmonis mengenai ketiga aspek tersebut. Kecenderungan untuk memberatkan salah satu
aspeknya memang harus diakui sebagai suatu kenyataan. Dan kecenderungan ini disebabkan
oleh temperamen dan latihan-latihannya. Itu berarti bahwa di dalam menjalankan tugasnya
sering minat dan pikirannya tertaut terlalu keras pada beberapa media saja. Dan kami dapat
memperingatkan di sini bahwa minat dan kecakapan yang terlalu menyibukinya hanya pada
beberapa media itu, menunjukkan adanya pengaruh daripada aliran-aliran besar yang
berpengaruh di dalam bidang kebudayaan. Jadi aliran-aliran besar itu timbul hanya
disebabkan oleh adanya perbedaan aspek yang dipentingkan dalam pendekatan kearah karya'.
Dan ini merupakan suatu gejala sejarah. Memang harus diakui bahwa ada aliran-aliran besar
yang bisa bertahan sampai lama, bahkan berabad-abad, tetapi pastilah aliran itu pada suatu
jaman pernah memainkan peranan yang luar biasa pentingnya di dalam sejarah.
Wawasan aliran neo-klasik di dalam kebudayaan Eropa, misalnya, kesetiaan yang
besar pada prinsip-prinsip Aristoteles sebagaimana dicantumkan di dalam Poetics (Poetica).
Aliran ini berkembang dan memainkan peranan utama pada abad XVII dan XVIII.
Sebaliknya wawasan aliran romantik sangat mengutamakan segi rekreatif. Aliriknya ditandai
oleh minat yang besar terhadap kegeniusan yang asli-orisinal, oleh adanya suatu sikap
tentang kadar artistik yang tidak bisa dipaparkan secara konseptual dan oleh sikap dan
kepercayaan terhadap tangkapan yang artistik yang bersifat intuitif. Aliran ini merupakan
aliran utama melanda paruhan pertama abad XIX. Dan akhirnya tokoh-tokoh kenamaan
dalam bidang historis sastra dan seni semakin besar pengaruhnya sejak paruhan kedua abad
XIX. Dan sampai sekarang wawasan aliran historis ini merupakan pendekatan yang kuat
dalam kritik sastra modern. Sekali lagi kami tegaskan bahwa aliran-aliran besar ini timbulnya
hanya karena perbedaan tekanan yang diutamakan. Maka dengan sendirinya tokoh masing-
masing aliran itu berbeda-beda di dalam praktek penerapan ketiga aspek tersebut. Dan di sini
kami ingin juga memperingatkan sekali lagi, bahwa betapa pun besarnya tokoh kritikus
dalam suatu aliran dan suatu jaman, pastilah sedikit banyak ditandai oleh suatu pencerminan
iklim intelektual dari suatu jaman dan kebudayaan dan menunjukkan juga adanya hubungan
tertentu dengan salah satu aliran kritik yang terbesar.
Di dalam suatu wawasan tidak perlulah orang secara eksplisit mengadakan suatu
pembagian tentang adanya ketiga aspek wawasan sesuai dengan aspek karya sastra itu. Yang
perlu dipegang teguh hanyalah kesadaran adanya satu hubungan yang jalin-menjalin di antara
ketiga aspek itu, hingga setiap wawasan sastra yang bersifat utuh dan menyeluruh dan tidak
terpenggal-penggal mestilah merupakan paduan daripada ketiga aspek tersebut.
Tetapi kami masih ingin menunjukkan "bagaimana" proses, terjadinya suatu kritik itu.
Ada suatu perbedaan urutan di dalam proses itu, sebab urutan logisnya berbeda dengan urutan
secara psikologis. Urutan logis mengatakan bahwa setiap penyelidikan historis haruslah
mendahului kegiatan rekreatif (ini merupakan satu syarat meski belum merupakan seluruh
syarat-syaratnya), sebab setiap karya terutama sekali kalau karya itu berasal dari jaman dan
kebudayaan lain, sama sekali tidak akan mungkin ditangkap artinya tanpa suatu orientasi
historis.
Tetapi, sebaliknya, rekreasi merupakan syarat penting, meskipun bukan syarat satu-
satunya yang sudah menyeluruh, bagi suatu pengkajian karya; yang bisa dipertimbangkan
secara berarti itu hanyalah karya yang hakekatnya sudah bisa ditangkap secara rekreatif.
Tetapi bidang psikologis kiranya akan membalik urutan tersebut, sebab biasanya orang
mendapat kesukaran untuk mengadakan suatu rekreasi terhadap apa yang secara sepintas
kilas telah membangkitkan minat dan dorongan artistiknya
- yaitu mengadakan pengkajian dalam taraf permulaan, senang atau tidaknya. Dan
penyelidikan historis tentang realitas itu biasanya justru karena didorong oleh suatu keinginan
untuk menangkap secara memadai apa yang sebenarnya sudah diciptakannya kembali sudah
dinikmatinya tetapi hanya secara sebagian saja (belum menyeluruh dan teliti). Karena
maksud kami hanya hendak mer.unjukkan aspek-aspek kritik, sesuai dengan aspek-aspek
karya, agar sebagai pembaca orang bisa mengadakan suatu wawasan yang sah dan kena,
maka sebaiknya pembicaraan terperinci tentang aliran-aliran kritik di dalam praktek akan
diusahakan dalam kesempatan lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Kritik sastra adalah upaya memberi nilai kepada suatu karya sastra yang mempentingkan
alasan – alasanya. Kritik sastra penting untuk membangun teori dan sejarah sastra.Teori
sastra sangat penting, karenateori dibangun berdasarkan hasil kerja kritik sastra.Kritik sastra
ada untuk membangun dan mengembangkan sejarah sastra ,karena karya sastra yang di catat
didalam sejarah dinilai bermutu.
Kritik sastra memiliki berbagai macam jenis berdasarkan pelaksanaan ,bentuk , dan
pendekatan.Berdasarkan pelaksanaan jenis kritik sastra dibagi antara lain Yudisial ,
Improsionistik , dan induktif. Berdasarkan bentuknya yaitu teori dan terapan. Berdasarkan
pendekatan yaitu kritik mimetic , pragmatic , ekspresif dan objektif.
Seorang kritikus yang baik dalam mencari, menunjukkan, dan menentukan nilai baik dengan
analisa maupun perbandingan secara teoretis tidaklah berada jauh dari poetika pengarang,
sehingga sastra dan kritik sastra tidaklah saling bertentangan.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang diatas banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki kesalahan
dalam membuat makalah untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjana Andre, 1981. Kritik Sastra : Sebuah Pegantar , Jakarta : PT Gramedia,Anggota
IKAPI.

Anda mungkin juga menyukai