Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KESEHATAN

Disusun Oleh

ROLANDA GUSTI AL-SYUKRON

2022207209176

PROGRAM STUDY PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU

2023
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO PERILAKU KEKERASAN

A. MASALAH UTAMA : RISIKO PERILAKU KEKERASAN


1. PENGERTIAN
1) Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk tindakan yang bertujuan untuk melukai
dirinyadan seseorang secara fisik, verbal, maupun psikologis (Malfasari
et al. 2020).
2) Perilaku kekerasan ini dapat dilakukan secara verbal untuk mencederai diri
sendiri, orang lain, danlingkungannya, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah
yang tidak terkontrol (Dermawan2018).
3) Pada pasien dengan perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan
secarafluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan
emosi yang memilikiciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan
adanya perasaan tidak suka yangsangat kuat. Pada saat marah ada perasaan ingin
menyerang, meninju, menghancurkan ataumelempar sesuatu dan biasanya timbul
pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akanterjadi perilaku agresif
(Siauta, Tuasikal & Embuai 2020).
4) Perilaku kekerasan berfluktuasidari tingkat rendah (memperlihatkan
permusuhan) sampai tinggi dan membahayakan(melukai) (Stuart & Laraia
2009).
Dari pernyatan diatas maka prilaku kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan
sebagai prilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan lingkungan yang berfariasi
dari intensitas ringan sampai berat atau intens,dilakukan baik secara verbal, fisik, dan
emosional yang akan mengakibatkan kerusakan harta benda, perampasan hak,
kerugian dan bahkan kematian

2. Tahapan risiko perilaku kekerasan


Tahapan prilaku agresif atau risiko perilaku kekerasan : (Fontaine,2009)
a. Tahap 1: tahap memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar mandir, menghindari kontak
Tindakan perawat : Mengidentifikasi faktor pemicu , mengurangi kecemasan ,
memecahkan masalah bila memungkinkan
b. Tahap 2 : Tahap transisi
Perasaan : Marah
Pilaku : agitasi meningkat
Tindakan perawat : jangan tangani marah dengan amarah , menjaga
pembembicaraan , menetapkan batas dan memberikan pengarahan , mengajak
kompromi , mencari dampak agitasi ; meminta bantuan .

c. Tahap 3 : Krisis
Perasaan : peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : agitasi , gerakan mengancam , menyerang orang disekitar , berkata
kotor ; berteriak
Tindakan perawat : lanjutkan intervensi tahan 2 , dalam menjaga jarak pribadi ,
hangat (tidak mengancam) konsekuensi , cobalah untuk menjaga komunikasi.

d. Tahap 4 : Perilaku merusak


Persaan : marah
Perilaku : menyerang ; merusak
Tindakan perawat : lindungin klien lain , menghindar , melakukan pengekangan
fisik

e. Tahap 5 : tahap lanjut


Perasaan : agresi
Perilaku : mengentikan perilaku terang – terangan destruktif, pengurangan
tingkat gairah
Tindakan perawat: tetap waspada karena prilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam

f. Tahap 6: tahap peralihan


Perasaan:marah
Perilaku:agitasi,mondar mandir
Tindakan perawat:lanjutan fokus mengatasi masalah utama
3. Rentang Respon Risiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan respon kemaraan.respon kemarahan dapat
berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptif (Kliat & Sinaga,2019).rentan
respon marah menurut stuart dan sundeent(2015) di jelaskan dalam skema 2.2
dimana agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada rentan respon yang
maladaftif

hh respon maladaptif
Respon adaptif

Asertif pasif frustasi Agresif amuk

a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan
pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormayi orang lain.individu
yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma
dari individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara
kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intinasi suara dalam berbicara
tidak mengancam.
Postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalaah bahwa individu
tersebut kuat tapi tidak mengancam.individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan menyampaikan resionalnya kepada
orang lain dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya ditolak orang lain.individu yang asertif ingat
untuk mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat,ujian
diberikan sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk
prilaku asertif (stuart&laraia, 2015; stuart, 2019.)
b. Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari
persepsinya terhadap hak orang lain. Ketika seseorang pasif marah maka dia
berusaha menutupi kemarahannya senhingga meningkatkan tekanan pada
dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan
perkembangan interpersonal ( stuart&laraia, 2005; struart, 2009). Perilaku
pasif dapat diekspresikan secara nonverbal, seorang yang pasif biasanya
bicara pelan, sering dengancara kekanak-kanakan dan kontak mata yang
sedikit. Individu tersebut mungkin dalam kondisi membungkuk, tangan
memegang tubuh dengan dekat (stuart, 2009)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (( stuart&laraia,
2005)frustasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang
diinginkan frustasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai
memiliki nila yang tinggi dalam kehidupan (keliat&sinaga,1991)
d. Agresif
Indifidu yang agresi tidak menghargai hak orang lain . indifidu mersa
harus bersaing untuk merasakan apa yang diinginkannya . sesorang yang
agresif didalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan ferbal .
perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa
percaya diri (bushman & baumeister, 1998 dalam stuart & laraia , 2005;
stuart , 2009). Perilaku agresif juga dapat ditunjukan secara non verbal ,
seseorang yang agresif melanggar batas pribadi orang lain , bicaranya keras
dan lantang , biasanya kontak mata yang berlebihan dan mengganggu ,
postur kaku dan tampak mengancam (stuart , 2009).
e. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga
indifidu dapat merusak diri sendiri , orang lain dan lingkungan (keliat &
sinaga , 1991). Menurut stuart dan laraia (2009) perilaku kekerasaan
berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu yang disebut dengan
hiraki perilaku agresif dan kekerasan (gambar 2.1)
Hirarki Perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan

Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya


Tinggi
Melukai dalam tingkat yang tidak brbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana
melukai

Menyentuh orang lain dengan cara yang manakutkan

Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai

Mendekati orang lain dengan ancaman

Rendah Bicara keras dan menuntut

Memperlihatkan permusuhan dengan tingkat rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku kekerasan


mempunyai tingkat berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah yaitu
memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada tingkatan yang
tertinggi yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan .
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah .
marah adalah emosi yang kuat ; ketika ditolak atau dipendam dapat memicu masalah
fisik seperti sakit kepala migren , ulcers , radang usus dan bahkan penyakit jantung
koroner ; ketika ditunjukan kedalam diri sendiri mrah dapat mengakibatkan depresi
dan harga diri rendah ; ketika diungkapkan tidak dengan tepat , dapat memburuk
hubungan ; ketika ditekan / supresi , marah dapat berubah menjadi kebencian yang
sering dimanifestasikan dengan perilaku diri yang negatif dari pasif sampai agresif
(tauwwensend , 2019).
Kemarahan terjadi ketika indifidu mengalami frustasi , terluka atau takut
(videback, 2018). Kesulitan dalam mengekspresikan kemrahan sering dikaikan
dengan gangguan jiwa (koh,kim & park , 2012 dalam videback 2018 ). Perilaku
kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan (panik). Alasan
khusus dari prilaku. agresif berfariasi dari setiap orang (stuart & laraiya , 2015 ;
stuart , 2019).
Penyebab kemarahan atau risiko perilaku kekerasan secara umum adalah :
kebutuhan yang tidak dipenuhi , menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai
dengan kenyataan model stress adaptasi stuart dari keperawatan jiwa memandang
perilaku manusia dalam persektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis, dan
sosiokultural dan aspek – aspek tersebut saling berintegrasi dalam perwatan.
komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor redisposisi,
resipitasi , penilaian terhadap steressor , sumber koping dan mekanisme koping
(stuart & laraia , 2015 ; stuart , 2019).Menurut stuart (2019), masalah risiko perilaku
kekerasan dapat di atasi dengan menggunakan psikodinamika masalah keperawatan
seperti skema dibawah ini
Faktor predesposisi

Biologi psikilogi sosial kultural

Stresor presipirasi

Nanure Origin Timin Number


Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif fisiologis perilaku sosial

Sumber koping

Kemampuan person Dukungan sosial alat material keyakinan positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Remang respon koping

Respon Adaptif Respon maladaptif


1. Faktor predisposisi
a. Faktor biologi
Faktor biologi secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab
(redisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku
kekerasan pada indifidu . faktor redisposisi yang berasal dari biologis dapat
dilihat sebagai suatu keadaan atau faktor risiko yang dapat memengaruhi
peran manusia dalam menghadapi stressor. Adaapun yang termasuk dalam
faktor biologis ini adalah:
1) Struktur otak (nouroanatomi)
Penelitian telah difokuskan pada tiga area otak yang diyakini
terlibat dengan perilaku agresif adalah sistem limbik, lobus frontal,
dan hipotalamus.nourotransmitter juga diusulkan memeiliki perran
dalam munculnya perilaku kekerasan atau penekanan prilaku
kekerasan (Nieoff, 2012; Hotman, 2013 Stuart & Laraia,2015;
Rstuart, 2019)
Kerusakan struktur pada sistem limbik dan lobus frontal serta
lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk
memodulasi ageresif sehingga menyebabkan perilaku
agresif/kekerasan (Videback, 2018). Penelitian telah menemukan
bahwa epilepsi pada daerah lobus temporal dan frontal ada pada klien
episodik agresif dan perilaku kekerasan, tumor diotak terutama di
sistem limbik dan lobus temporal serta traauma otak menjadi
predisposisi agresif dan perilaku kekerasan (Towsend, 2019; Fontain,
2019)
Sistem limbik dikaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan
ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti: makan, agesi dan
respon seksual, termasuk presoses pengolahan informasi dan memori.
Sistesis informasi ke dan dari area lain diotak mempunyai pengaruh
pada emosional dan perilaku. Perubahan dalam sistem limbik dapat
menyebabkan peningkatan atau peurunan perilaku agresif. Secara
khusus amikdala bagian dari sistem limbik menjadi mediasi eksprsi
kemarahan dan keakutan (Stuart, 2019)
Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku
yang berarti dan berfikir rasional. Lobus ini merupakan bagian dari
otak dimna pikiran dan emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus
frontal dapat mengakibatkan gangguan penilaian, perubahan
kepribadian, masalah pengambilan keputusa, ketidak sesuaian dalam
hubunggan dan ledakan ageresif. Hipotalamus didasar otak berfungsi
sebagai sistem alarem/peringatan otak. Kondisi stress menaikan
jumlah steroit, hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal, syaraf
reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam upaya
mengkompensasi peningkatan steroid dan hipoalamus merangsang
kelenjar pituitari untuk menghasilakn lebih banyak steriod stelah
stimulasi berulaang sistem berespon lebih kuat terhadap propoksi. Ini
menjadi salah satu alasan mengapa sters traumatik padaa anak secara
permnan dapat meningkatkan potesi seorang untuk melakukan
erilaaku kekerasan (Stuart, 2019)
2). Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6
yang mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia (Copel,
2007). Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2010, dalam Stuart &
Laraia, 2015; Stuart , 2019) menyebutkan bahwa krornosom yang
berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6.
Sedangkan kromosom lain yang juga berperan dalam kromosom 4, 8,
15 dan 22, craddok et al(2016 dalam stuart, 2019 )
Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertangguang jawab
memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat
meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal,
dimana bagian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan
keputusan Hu et al, (2017 dalam stuart, 2019)
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak
kembar yang menunjukan anak kembar idektik beriko mengalami
skizofrenia sebesar 50% sedangkan pada kembar non identik/fraternal
berisiko 15% jika salah satu orang menderita skizofrenia angka ini
meningkat 40% - 50% jika kedua orang tua biologis menderita
skizofrenia (cancro dan lehman, 2000; vedebeck, 2008; stuart, 2009;
townsend, 2009; fontaine, 2009)
Semua penelitian ini menunjukan bahwa faktor genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk
mengetahui risiko seseorang mengalami skizofrenia yang dilihat dari
faktor keturunan.
3). Neurotranmiter
Adalah zat kimia otak yang ditransmisikan dari dan keseluruh
neuron sinaksis, sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan
sruktur otak yang lain. Peningkatan atau penurunan zat ini dapat
mempengaruhi perilaku perubahan keseimbangan zat ini dapat
memperburuk atau menghambar perilaku agresif . beberapa penelitian
menunjukan bahwa berbagai neuro transmiter (epinefrin, nerepinefrin,
dopaine, acetiyelcholine dan serotinin ) berperan dalam fasilitasi dan
inhidisi ransangan agresif (sadock & sadock, 2007 dalam townsend,
2009). Rendahnya neuro tranmiter serotonin dikaitkan dengan
perilaku yang iritabilitas , hipertensensi vitas terhadap provokasi , dan
perilaku amuk. Indifidu dengan perilaku impulsif, bunuh diri, dan
melakukan pembunuhan, mempunyai sorotanin dengan jumlah lebih
rendah dari pada rata-rata, jumlah asam 5-hidroxyinoleacetik (5-
HIAA)/ produk serotonin (stuart, 2009).
impulsif dengan rendahnya level neuro transmiter serotonin.
Hasil temuan menyatakan bahwa serotonin berperan sebagai inhiditor
utama perilaku agresif dengan demikian kadar serotonin yang rendah
dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif, selain itu
peningkatan aktifitas dopamine dan norpenefrin diotak dikaitkan
dengan perilaku kekeran yang inpulsif (kavoussi at al.,1997 dalam
videbeck, 2008; franlde at al, 2005; perusse dan gendreau, 2005;
pihl&benkelvat 2005 dalam fontaine, 2009 ).
Neurotransmiter lain yang berkaitan dengan perilaku agresif
adalah hopamine nopenefrin, dan acetyelcholine serta asam amino
gamma – aminohutylic accit (GABA). Korteks prefrontal juga
berperan penting dalam menghambat perilaku agresif. Area spesifik
dalam korteks prefrontal adalah region orbitofrontal stimulasi pada
area ini mencegah marah. Area ini menyebabkan perilaku inplusif
(stuart & larai, 2005; stuart, 2009)
4) Imunovirologi
Karakteristik biologis yang lain yang berhubungan dengan
perilaku kekerasan adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan
prekuensi dirawat. Penggunaan NAPSA akan mempengaruhi fungsi
otak, mempengaruhi terapi perawatan yang diberikan fungsi otak,
mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan (dyah 2009).
Frekuensi dirawat menunjukan seberapa sering indifidu dengan
perilaku kekerasan mengalami kekambuhan. Perilaku kekerasan pada
skizofrenia sering terjadi karena penyakit yang tidak tekontrol, putus
obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuaatu atau
situasi yang menciptakan perilaku kekerasan (stuart & laraia, 2005;
stuart, 2009). Secara umum dua populasi klien akan meningkatkan
risiko kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif dan
penyalahgunaan zat (nolan et al., 2003 dalam stuart, 2009). Perilaku
kekerasan juga meningkat pada klien penyalahgunaan zat, skizofrenia
dan tidak mengambil obat yanng diresepkan, hidup bersama dalam
orang yang mengalami gangguan jiwa (citrome & volavka, 1999
dalam vedebeck, 2008).
b. Faktor psikologis
Merupakan salah satu redisposisi . atau presipitasi dalam proses
terjadinya prilaku agresif / kekerasan . menurut stuart dan laraia (2005) yang
termasuk dalam faktor sikologis diantaranya kepribadian , pengalaman masa
lalu , konsep diri , dan pertahanan psikologi .
1) Teori psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan
bahwa pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau
pengalaman hidup yang membatasi kemampuan indifidu untuk memilih
koping mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Faktor perkembangan
atau pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence
menurut stuart dan ralaia (2009) sebagai berikut: gangguan otak organik,
mental retaldasi, ketidakmampuan belajar karena kerusakan aktifitas
bertindak secara efektif terhadad frustasi; deprifasi emosional yang berat
atau penolakan terhadap,orang tua yang terlalu penyayang dan
berkontribusi pada kurang rasa percaya dan harga diri rendah; mengalami
kekerasan bertahun tahun, korban child abuse atau kering melihat
kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola penggunaan kekerasan
sebagai cara menyelesaikan masalah.
2) Teori pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif
dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran
internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama indifidu
mendapat penguatan pribadi ketika melakukan perilaku agresif,
kemungkinan sebagi kepuasan dalam mencapai tujuan atau pengalaman
merasakan penting, mempunyai kekuatan dan kontrol terhadap orang lain.
Pembelajaran eksternal terjadi selama obserfasi model peran seperti peran
sebagai orang yua, teman sebaya, saudara, olahraga da tokoh hiburan
(stuart & laraia, 2005; stuart, 2009)
Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku imitasi/ menuru perilaku
agresif sebgai perilaku yang dapat diterima untuk memecahkan maslah
dan sesuai status sosial. Senadan dengan pernyataan diatas, fontai, (2009)
menyatakan bahwa ketika individu belajar melakukan perilaku agreif
akan membuat individu tersebut merasa lega dan menjadi
adiktif/kecanduan untuk melakukan perilaku kekerasan/ageresif sebgai
cara untuk memecahkan masala dan mengatasi frustasi. Peran permodelan
merupakn salah satu bentuk pembelajaran terkuat, model proilaku anak-
anak pad fase awal adalah orang tau, bagaiana orang tau akan orang
terdekt merasakan marah menjadi contoh anak dalam ekpresi marahnya
(towsend, 2009) role model/contok tidak selalu dirumah,penelitian
membuktikan baha acara keekerasan di televisi sebagai fakttor psediposisi
perilaku agresif (American Psychological Assosiaton, 2006, dalam
towsend, 2009). Menurut American Psychological Assosiaton (2006,
dalam yowsend, 2009) menyarankan pentingnya pengawasan terhadap
apa yang anak lihat dan peraturan tentang acra kekerasan do media untuk
mencegah permodelan kekerasan. Faktor psikologis lain dapat berup
kegagaalan, kegagalan dapat berakibat frustasi (stuart & laraya, 2005).
Kegagalan sering diartikan oleh individu dengan ketidak mampuan,
respon yang muncul pada saat individu mengalami kegagalan dapat
berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lai yang ditunjukan
dengan perilaku kekerasan, ( Dyah, 2009)
c. Faktor sosial budaya
Faktor sosial , budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku kekerasan pada indifidu . karakteristik yang termasuk pada sosial
budaya seperti : usia , jenis kelamin , ras, status perkawinan , pendidikan dan
tingkat sosial ekonimi (stuarts& laraia , 2005; stuart , 2009) , riwayat perilaku
kekerasan dimasa lalu (stuart, 2009). Penelitian menunjukan bahwa individu
dengan gangguan jiwa mempunyai faktor resiko melakukan kekerasan sama
dengan individu yang tidak mengalami gangguan jiwa sepertinkeperibadian
psikopat dan keperibadian anti sosial (stuart, 2009). Faktor lingkungan dan
situasi perawatan bisa sebagai memicu perilaku kekerasan klien, faktor ini
meliputi fasilitas fisik, keberadaan petugas dan klien lain. Beberapa penelitan
telah menemukan bahwa insiden kekerasa lebih besar terjadi ketika klien
dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang privasi atau
tidak bebas,
1) Jenis kelamin
2) Tingkat sosial ekonomi
3) Ras atau suku

2. Faktor resipitasi
a. Faktor bilogi
Sressor presipitasi adalah stimuli yang diterima indifidu sebagai
tantangan , ancaman atau tuntutan . stressor presipitasi perilaku kekerasan
dari faktor bioloigi dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik diotak yang
mengatur jumlah dan waktu dalam proses imformasi . stimuli penglihatan dan
pengdengaran pada awalnya disaring oleh hipotalamus dan dikirim untuk
diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan terlalu banyak
pada suatu waktu atau jika atau informasi tersebut salah, lobus frontal
mengirimkan pesan overload keganglia basal dan diingatkan lagi hipotalamus
untuk memperlambat tranmisi kolobus frontal . penurunan fungsi dari lobus
frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam penyampaian
informasi yang menghasilkan proses informasi overload (stuart & laraia ;
2005 , stuart , 2009).
Stressor prespitasi yang lain adanya apnormal pada pintu mekanisme pada
klien skizofrenia. Pintu mekanisme adalah proses elektrik yang melibatkan
elektrolit hal ini memicu penghambatan syaraf dan rangsang aksi dan umpan
balik yang terjadi pada sistem syaraf. Penurunan pintu mekanisme/gating
proses ini di tujukan dengan ketidak mampuan indifidu dalam memilih
stimuli secara efektif (hong et al., 2007 dalam stuart, 2009). Faktor bioogis
lainnya yang predisposisi dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan
asal stressor, baik internal atau lingkungan eksternal individu. Waktu dan
frekuensi terjadinya stressor prilaku kekerasan penting untuk di kaji (struat &
laraia , 2005)
b. Faktor psikologis
Pemicu prilaku kekerasan dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap
frustasi yang rendah , koping indifidu yang tidak efektif , implusive dan
membayangkan atau cara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan
dirinya , tubuh atau kehidupan . dalam ruang perrawatan perilaku kekerasan
dapat terjadi karena profokasi petugas , perilaku kekerasan klien terjadi pada
setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap oktoriter dan cenderung
mengatur / kontroling ; mengatur apa yang dapat dilakukan oleh klien ;
menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk
minum obat , semua itu berkontribusi terjadi konflik petugas dan klien
(fontaine , 2009).
c. Faktor sosial budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden
kekerasan lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang
besar kurang prifasi atau tidak bebas . menurut fagan – pyor et al ., (2003
dalam stuart, 2009) petugas mungkin secara sengaja atau tidak sengaja
memicu perilaku klien untuk melakukan kekerasan, ketidak pengalamn
petugas, profokasi petugas , manajemen lingkungan yang buruk, ketidak
fahaman petugas, pertemuan fisik yang terlalu dekat , penetapan batasan yang
tidak kosisen dan budaya kekerasan mempengaruhi prilaku kekerasan klien.
akhirnya pemahaman terhadap situasi dan peneimaan lingkungan, koknitif
dan stress komunikasi serta respon efektif klien perlu diidentifikasi oleh
petugas. selanjutnya akan dikaji asal sressor sosiokultural, waktu dalam suatu
waktu (stuart & laraia , 2005 ). Dengan demikian banyak sekali stressor
sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun
penyetus perilaku kekerasan.

3. Penilaiian sressor
Model stess diatesis dalam sebuah karya klasik oleh liberman dan
rekan (2014) menjelaskan bahwa gejala skizofronia berkembang berdasarkan
pada hubungan antara jumlah stress dalam pengaalaman seseorang dan toleransi
internal terhadap ambang stress. Ini adalah model penting karena
mengintegrasikan faktok budaya biologis, psikologis,dan social,cara ini miri
dengan stress adaptasi model struart yang di gunakan sebagai kerangka kerja
konseptual (struat,2009). Menurut wuarker (2000) model adaptasi ini membantu
menjelaskan hubungan stres dengan skrizofenia, meskipun tidak ada penelitian
ilmiah telah menunjukan bahwa stres menyebabkan skizofrenia, namun semakin
jelas bahwa skizofrenia adalah gangguan yang tidak hanya menyebabkan
stres,tetapi juga di perparah oleh sres ( stressor , dan masalah yang terkait dengan
koping untuk mengatasi stress dapat memprediksi timbulnya gejala .

4. Sumber koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang memerlukan penyesuaiaan baik bagi klien dan keluarga .
proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari empat fase : (1) disonansi kognitif
(psikosis aktif ) , (2) pencapaiin wawasan , (3) stabilitas dalam semua aspek
kehidupan ( ketetapan kognitif ), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau
tujuan pendidikan (ordinariness) . proses multifase penyesuaian dapat
berlangsung 3 sampai 5 tahun (moller , 2006 , dalam stuart , 2009):
a. Efikasi / kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala
dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan waktu
6 sampai 12 bulan .
b. Awal pengenalan diri isight sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan
realitas yang dapat diandalkan . pencapaiian keterampilan ini memakan
waktu 6 sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan
dukungan yang berkelanjutan .
c. Setelah mencapai pengenalan diri /insight , proses pencapaiin kognitif
meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan
reenganging dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan sekolah
dan bekerja . fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun .
d. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-hari
mencerminkan tujuan prepsychosis . fase ini berlangsung minimal 2 tahun .
sumber daya keluarga , seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit ,
keuangan , ketersediaan waktu dan energi , dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan mempengaruhi jalannya
penyesuaiaan postpsychotic.

5. Mekanisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa meknisme
pertahanan diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan
yang diseababkan oleh penyakit mereka . regresi adalah berkaitan dengan
masalah informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam
upaya untuk mengelola kegelisahan , menyiksakan sedikit untuk hidup sehari –
hari. proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan
menetapkan responsibility kepada seseorang atau sesuatu . penarikan diri ini
berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan
pengalaman internal .
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka
mempelajari pertama kali diagnosis relatif mereka . ini sama dengan penolakan
yang terjadi ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut
dan kecemasan . hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor
secara bertahap. pada klien menyesuaikan postpsychotic proses aktif
menggunakan mekanisme koping adaptif juga. ini termasuk kognitif, emosi,
interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat
berfungsi sebagai dasar untuk menyusun intervensi keperawatan (stuart,2009)
C. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA DAN PERLU DIKAJI
1. Pohon masalah
Menurut keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasaan adalah sebagai
berikut:
risiko mencederai diri sendiri risiko mencederai orang lain dan
lingkungan

Risiko prilaku kekerasan

Harga diri rendah


Pohon Masalah Pada Masalah Prilaku Kekerasan (keliat, 2005)

2. Masalah keperawatan : diagnosis keperawatan NANDA-1 rentang respon


neurobiologis, skizofrenia dan gangguang psikotik (stuart, 2009):
 Anxiety
 Impaired verbal communication *
 Confusion,Acute
 Compromised family coping
 Decisional conflict
 Hopelessness
 Impaired personal identity
 Ineffective role performance
 Self care deficit (bating/ hygene, dressing grooming)
 Disturbed sensory perception*
 Impaired sosial interaction*
 Sosial isolation
 Risk for suicide
 Ineffective therapeutic regiment management
 Disrbed tought processes*
(*diagnosis keperwatan primer rentan respon neurobiologis,
skizofrenia dan gangguan psikotik)
3. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan prilaku kekerasan
Tanda dan gejala risiko prilau kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi
a. Data subjektif:
1) Ungkapan beruba ancaman
2) Ungkapan kata kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatup rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak ( Kemenkes RI, 2012 )

D. DIAGNOSIS
1. Diagnosis keperawatan: risiko perilaku kekerasan

E. RENCANA TINDAKAN
1. Rencana tindakan keperawatan generalis :

DIAGNOSA SP/KEMAMPUAN
SP/KEMAMPUAN KLIEN
KEPERAWATAN KELUARGA

Risiko perilaku SP 1: SP 1:
kekerasan  Identifikasi, tanda &  Diskusikan masalah yang
gejala,PK yang dirasakan dalam merawat
dilakukan, akibat PK pasien
 Jelaskan cara  Jelaskan pengertian,
mengkontrol pk: fisik, tanda& gejala dan proses
obat, verbal, spiritual terjaninya PK (gunakan
 Latihan cara mengkontrol booklet)
PK secara fisik: tarik  Jelaskan cara merawat PK
napas dalam dan pukul  Latih satu cara merawat
kasur dan bantal PK dengan melakukan
 Masukan pada jadwal kegiatan fisik: tarik napas
kegiatan untuk latihan dalam dan pukul kasur
fisik dan bantal
 Anjurkan membantu
pasien sesuai jadwal dan
memberi pujian
SP 2: SP 2:
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan
fisik, beri pujian keluarga dalam
 Latih cara mengkontrol merawat/melatih pasien
PK dengan obat (jelaskan fisik, beri pujian
6 benar: jenis, guna,  Jelaskan 6 benar cara cara
dosis, frekuensi, cara, memberi obat
kontinuitas minum obat)  Latih cara
 Masukan pada jadwal memberikan/membimbin
kegiatan untuk latihan g minum obat
fisik dan minum obat  Anjurkan membantu
 Masukan pada jadwal pasien sesuai jadwal dan
kegiatan untuk latihan beri pujian
fisik dan minum oba
SP 3: SP3:
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan
fisik & obat, beri pujian keluarga dalam
 Latih cara mengkontrol merawat/melatih pasien
PK secara verbal (3 cara fisik, memberikan obat,
yaitu: mengungkapkan, beri pujian
meminta, menolak  Latih cara membimbing:
dengan benar) cara bicara yang baik
 Memasukan pada jadwal  Latih cara membimbing
kegiatan untuk latihan kegiatan spiritual
fisik, minum obat dan  Anjurkan membantu
verbal pasien sesuai jadwal dan
memberi pujian
SP 4: SP4:
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan
fisik & obat, beri pujian keluarga dalam
 Latih cara mengontrol merawat /melatih pasien
spiritual (2 kegiatan) fisik,memberikan
 Masukan pada jadwal obat,latihan bicara yang
kegiatan untuk latihan baik & kegiatan spiritual,
fisik,minum obat, verbal beri pujian
dan spiritual  Jelasakan follow up ke
RSJ/PKM, tanda kambuh,
rujukan
 Anjurkan membantu
pasien sesuai jadwal dan
memberikan pujian
SP 5 1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat/ melatih
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik pasien fisik, memberikan
1, 2 & obat & verbal & obat, cara bicara yg baik &
spiritual. Beri pujian kegiatan spiritual dan follow
2. Nilai kemampuan yang telah up. Beri pujian
mandiri 2. Nilai kemampuan keluarga
3. Nilai apakah PK terkontrol merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke
RSJ/PKM

2. Rencana tindakan keperawatan spesialis:


a. Terapi individu: terapi perilaku, CBT, RECBT, ACT
b. Terapi kelompok: psikoedukasi kelompok, terapi suportif, SHG
c. Terapi keluarga: triangle terapi, psikoedukasi keluarga
d. Terapi komunitas: assertive community therapy
DAFTAR PUSTAKA

https://www.studocu.com/id/document/universitas-jenderal-soedirman/ilmu-keperawatan-
akreditasi-b-kelas-reguler-kelas-internasional/lp-kepjiwa-rpk-ika-risiko-perilaku-kekerasan-
keperawatan-jiwa
Malfasari, E., Febtrina, R., Maulinda, D. & Amimi, R. 2020, ‘Analisis Tanda dan Gejala
Resiko Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia’, Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa, vol. 3, no. 1,p. 65.
Muhith, A. 2015, Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori Dan Aplikasi, Andi, Yogyakarta.

PPNI 2016, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik
Edisi 1, DPP PPNI, Jakarta.
Siauta, M., Tuasikal, H. & Embuai, S. 2020, ‘Upaya Mengontrol Perilaku Agresif pada
Perilaku Kekerasan dengan Pemberian Rational Emotive Behavior Therapy’,
Jurnal Keperawatan Jiwa, vol. 8, no. 1, p. 27. Stuart & Laraia 2009, Buku Saku
Keperawatan Jiwa (terjemahan), EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai