Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu
menyadari bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan Ideologi
Pancasila dimana  memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu  “berbeda-beda
tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda agama, suku, ras dan
golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa Indonesia, falsafat dan
pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi landasan pijak dalam
kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman dan pemikiran sempit yang
mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang berimbas pada disintegrasi bangsa.
Selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana hukum menjadi
panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara ini. Dan Negara merupakan
penjamin hak agar masyarakat merasa terlindungi untuk melaksanakan haknya dalam
bingkai kemajemukan atau pluralisme.  Pluralisme sendiri ada sejak Negara ini
belum disebut Indonesia, dan atas perjuangan bangsa Indonesia kemerdekaan yang di
capai oleh bangsa ini, diletakan dasar oleh founding fathers kita dengan melandaskan
pada Pancasila, dimana mereka sadar bahwa pluralisme telah ada dan menjadi bagian
dari bangsa dan dengan adanya pluralisme ini ada kesadaran untuk menjadi satu. 
Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun politik.
Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok
atau aliran keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu
kelompok atau aliran. Sedangkan perspektif pluralisme budaya mencegah hilangnya
satu aliran karena dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis,
dan di sisi lain menangkal arogansi aliran keagamaan arus utama yang seringkali
tergoda atau secara historis-empiris melakukan pelecehan dan penindasan aliran atau
agama lain. Sementara pluralisme politik dapat menjadi dasar bagi jaminan
kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman
kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran
keagamaan.(Eli Susanti :2011).
B. Permasalahan
Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau
kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah
berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan
eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal
perampasan hak-hak ulayatnya, serta menganut keyakinannya. Sehingga
permasalahannya adalah “ Bagaimana Implementasi Bhineka Tunggal Ika dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”
BAB II
BAHAN DAN METODE

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini,


sesuai dengan substansi permasalahan hukum yang dikaji maka penelitian ini
dirancang sebagai suatu penelitian yang bersifat ”Normatif”, yakni suatu penelitian
yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas
hukum umum (Philipus M. Hadjon : 1997 : 20). Selain itu penelitian hukum
normative ini, juga digunakan untuk mengindentifikasikan konsep atau gagasan dan
asas-asas hukum dalam menelaah dan mengkaji secara mendalam mengenai prinsip
keadilan dalam penguasaan dan pengeloaan pesisir dan laut masyarakat adat
sebagaimana diamanatkan dalam tujuan Negara hukum Indonesia.
Agar dapat memperoleh kebenaran ilmiah yang di harapkan, maka dalam penelitian
ini dipergunakan beberapa pendekatan, yaitu conceptual approach (pendekatan
konseptual) dan statute approach (pendekatan perundang-undangan) dan Historical
Approach (pendekatan historis).
Pendekatan konseptual terkait dengan konsep atau pengertian hukum. Pendekatan
perundang-undangan adalah kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
terkait dengan pokok masalah penelitian.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pluralisme Budaya dan Agama di Indonesia


Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan
kemajemukannya terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibungkus semangat Bhineka
Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan modernisasi dan
kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam hal
mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan
sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga
membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan
keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktor
keterikatan kultur/adat, agama maupun lokasi, mereka inilah yang di sebut
masyarakat hukum adat, yang hidup terpencil, dengan budaya dan agama yang
mereka anut. Namun akibat perkembangan, masyarakat adat menjadi tersingkir
karena dianggap primitive dan tertinggal dan butuh sentuhan lain agar mereka
menjadi tidak tertinggal. Padahal Negara kita adalah Negara hukum dimana
konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat di lindungi berserta
haknya. Pengakuan yang sama juga diberikan kepada masyarakat hukum adat
dimana hak mereka juga di lindungi oleh konstitusi. Jadi kewajiban negaralah
untuk memberikan pengakuan dan  perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat
untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal
tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.
Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui
bahwa telah menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal,
yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan
berasal dari masyarakat Indonesia. Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi
keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh
korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai
sumberdaya alam Indonesia yang mana sangat meminggirkan hak ulayat
masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam
tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945
(http://bissu-anbti.blogspot.com/2008/08/komunitas-bissu-di-tengah-
kemajemukan.html).
Berbicara mengenai Masyarakat tidak akan terlepas dari Budaya yang
dipengaruhi agama yang mereka anut atau juga sebaliknya agama yang
mempengaruhi budaya yang mereka miliki. Sepanjang perjalanan sejarah
peradaban kita Indonesia, kehidupan budaya berbanding terbalik kehidupan
agama masyarakatnya. Misalnya saja kehidupan kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit dipengaruhi oleh agama Hindu, sehingga budaya yang berkembangpun
budaya Hindu, begitupun kehidupan kerajaan Islam di Indonesia.  
B. Bhineka Tunggal Ika dan Pluralisme dalam Perspektif hukum dan
Perundang-undangan Di Indonesia
Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin
dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi
sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta
strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik yang ada dalam suatu
ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu”
dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat
sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa
suatu kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan.
(Budiman, 1999, 5-9 dalam  Magdalia Alfian : 2010).
Yang menjadi persoalan adalah bagaiman konsep tersebut dapat
diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata,
terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-ikaan” yang tidak
mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan
yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.
Pada awal Indonesia merdeka melalui konstitusi (UUD 1945) dinyatakan
bahwa Republik Indonesia adalah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan
komunitas masyarakat hukum adat, seperti nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini
berarti NKRI pada awal kemerdekaannya mengakui keberadaan masyarakat
hukum adat dengan konsep pengakuan murni. Tetapi pada perkembangannya
konsep pengakuan murni berubah menjadi pengakuan bersyarat-berlapis yang
tercermin dalam produk-produk hukum yang terkait dengan Masyarakat Hukum
Adat dan hak-hak serta wilayahnya yang bersifat tradisional, ini terlihat bahwa
rasio pemikiran yang berkembang di Indonesia adalah kepentingan negara diatas
segala-galanya. Dan yang menjadi titik krisis adalah UUD 1945 Hasil
Amandemen Kedua, pada pasal 18B menganut konsep pengakuan berlapis-
bersyarat, yang menurut saya adalah pengakuan setengah hati yang  berakibat
bahwa Masyarakat Hukum Adat telah kehilangan pelindung (protector) dalam
norma dasar negara dan produk hukum yang salah menafsirkan konsep
pengakuan dalam UUD 1945 sebelum Amandemen menjadi memiliki dasar
pembenaran untuk terus berlaku, dan yang memprihatinkan adalah rasio berfikir
bangsa indonesia yang menempatkan posisi Masyarakat Hukum Adat pada posisi
yang di ’terpencilkan“.
Padahal kita ketahui bahwa kebijakan yang dikembangkan oleh
pemerintah Orde Baru tersebut bertujuan untuk memberikan landasan juridis
yang hanya bersifat formalitas bagi setiap tindakan sewenang-wenang
pemerintah dengan jalan penyeragaman  dengan Undang-undang nomor 5 Tahun
1979. Hal ini mengakibatkan hilangnya struktur dan tatanan adat sehingga
dengan mudah sumberdaya alam masyarakat adat eksploitasi hak-hak sosio-
kultural Masyarakat Hukum Adat. Yang dilakukan pemerintah saat itu adalah
dengan tujuan merampas hak-hak dan lahan Masyarakat Hukum Adat dengan
dalih untuk kepentingan negara padahal didalamnya terdapat tendensi
kepentingan ekonomi individual atau kelompok penguasa saat itu. Yang secara
keseluruhan tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang merupakan
pelecehan terhadap HAM Masyarakat Hukum Adat.
            Seharusnya pada era reformasi dimana penegakan hukum
merupakan syarat mutlak bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia,
Penyelenggaraan pembangunan tidak lagi harus dilakukan dengan
mempergunakan pendekatan kebutuhan, namun harus mempergunakan
pendekatan hak asasi manusia. Tujuan dibentuknya negara ini adalah untuk
mencapai Indonesia Merdeka, sehingga rakyatnya menjadi adil dan makmur.
Namun sudah lebih dari 60 tahun negara ini merdeka justru rakyat tidak merasa
merdeka dan bebas untuk menjalankan segala haknya meskipun kewajibannya di
tuntut untuk dilaksanakan. Negara ini sudah melewati fase dimana kebutuhan
akan sebuah bangunan pasar menjadi hal yang urgen atausekolah merupakan
sebuah hal yang urgen, karena sudah banyak alternatif yang dibangun selama
kurun waktu kemerdekaan. Namun yang penting disini adalah bagaimana
masyarakat menjadi sejahtera bukan cuma sejahtera dalam bidang ekonomi di
satu sisi namun sejahtera di semua sisi. Baik itu ekonomi, politik, bahkan
keamanan. Yang diartikan sini juga bukan keamanan fisik saja tetapi juga
kemanan bathin. Proses peneyeragaman adat budaya pada masa orde baru telah
menyebabkan banyak persoalan sehingga  hukum tidak lagi memberikan
perlindungan lewat peraturan perundang-undangannya, namun sebaliknya
melahirkan konflik.
Banyak masyarakat adat yang tergusur akibat kebijakan pemerintah
dengan dalih kepentingan negara. Bagi masyarakat adat yang merasa memiliki
hak, dan mengangap tidak adil tentu akan bereaksi, sehingga menimbulkan
konflik. Kasus kerusuhan di Papua, di Paperu Maluku merupakan sedikit dari
bukti konflik akibat kebijakan pemerintah lewat peraturan perundang-
undangannya. Belum lagi terhadap agama yang dianut oleh masyarakat adat
tesebut. Agama Kaharingan di Kalimantan misalnya merasa terusik dengan
kejadian yang menimpa masyarakat Ahmadiah yang dianggap sesat, akan sangat
dilematis apabila hal ini juga menyebar luas bagi agama-agama suku lainnya
yang ada di negara ini dengan justifikasi bahwa hanya 6 agama yang dianut oleh
negara kita Indonesia. Padahal pasal 29 UUD 1945  jelas memberikan jaminan
bagi setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya. Itu
berarti bahwa tidak ada seorangpun boleh merampas hak orang lain, atau
menentukan bahwa apa yang diyakini orang lain adalah salah, karena yang
berhak menilai itu adalah Tuhan sendiri.
Terlepas dari pemikiran tersebut pemerintah diharapkan tegas untuk
menegakan hukum dengan tidak ada standar ganda dalam pelaksanaannya. Dan
dalam membuat kebijakan berupa perundang-undangan  pemerintah harus sudah
mengintrodusir nilai-nilai HAM yang menjunjung tinggi pembebasan terhadap
pluralisme, kekhasan dan keunikan yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat
atau pun masyarakat lain dengan budaya dan kekhasannya..
 
c. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia
            Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar
Filsafat Negara nilai-nilainya  telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan
pandangan hidup yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat  serta nilai-nilai kausa
materialis Pancasila. Dengan demikian anatara Pancasila dengan bangsa
Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila adalah Jati Diri bangsa
Indonesia. Setelah bangsa Indonesia mendirikan Negara maka oleh pembentuk
Negara,  Pancasila disahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai
suatu bangsa dan Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling
sesuai dan benar sehingga segala cita-cita, gagasab-gagasan, ide-ide tertuang
dalam Pancasila. Maka dalam pengertian inilah Pancasila berkedudukan sebagai
Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan sekaligus sebagai Asas Persatuan dan
Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, secara objektif
diangkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai filsafat hidup bangsa
Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri.  Pandangan hidup dan
filsafat hidup ini sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk
mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya. Pandangan hidup
dan filsafat hidup itu merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan
dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai Pancasila ini telah tercermin dalam
khasanah adat istiadat, serta kehidupan keagamaannya.  Ketika pendiri Negara
Indonesia menyiapkan berdirinya Negara Indonesia merdeka, mereka sadar
sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental, “ diatas dasar
apakah negara Indonesia didirikan”.
Dengan jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia
sendiri yang merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang
dimiliki, diyakini, dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam
sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahir. Nilai-nilai ini
sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia
tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang
mendukung tata kehidupan social dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang
memberikan corak, watak dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan masyarakat atau bangsa lain.
Bangsa Indonesia sejak dahulu kala merupakan bangsa religius dalam
pengertian bangsa yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti
dengan adanya berbagai kepercayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia
antara kira-kira Tahun 2000 SM zaman Neoliticum dan Megaliticum. Antara lain
berupa “Menhir” yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu, kubur batu, punden
berundak-undak yang ditemukan di Pasemah pegunungan antara wilayah
Palembang dan Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali dan
Sulawesi. Menhir adalah tiang batu yang didirikan sebagai ungpan manusia atas
dhat yang tertinggi, hyang Tunggal artinya yang Maha Esa yaitu Tuhan.
(Kaelan : 2002 : 46 – 48).  Cita-cita kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan
dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti
pengertian-pengertian atau ungkapan-ungkapan ”tanah air” sebagai ekspresi
pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas
pulau-pulau, lautan dan udara : “tanah tumpah darah”yang mengungkapkan
persatuan antara manusia dan alam sekitarnya antara bumi dan orang disekitarnya
: Bhineka tunggal Ika” yang mengungkapkan cita-cita kemanusiaan dan
persatuan sekaligus, yang juga bersumber dari sejarah bangsa Indonesia dengan
adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional yaitu Sriwijaya dan
Majapahit.
            Berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli
bangsa Indonesia, serta diilhami ole ide-ide besar dunia, maka pendiri Negara
kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang
dimiliki, diyakini, dan di hayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi
Pancasila yang rumusannya tertuang dalam UUD 1945, sebagai ideologi Negara,
pandangan hidup bangsa, Dasar Negara, dan sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia.
Sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai dan cita-cita bangsa yang terkandung
dalam Pancasila tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari
kekayaan rohani moral dan budaya masyarakat Indonesia sendiri, dan bukan
keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan
konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu Pancasila merupakan ideologi
terbuka, karena digali dan ditemukan dalam masyarakat itu sendiri dan tidak
diciptakan oleh Negara. Dan Pancasila adalah milik seluruh rakyat Indonesia,
karena masyarakat Indonesia menemukan kepribadiannya di dalam Pancasila itu
sendiri sebagai ideologinya.
Jadi dalam pelaksanaan ketatanageraan kita Indonesia semua unsur harus
melaksanakan dan melandaskan segala pergerakannya diatas Pancasila tanpa
terkecuali. Toleransi atas umat beragama adalah amanat dari Pancasila.
Kebebasan dalam berbudaya adalah amanat dari Pancasila. Karena kemajemukan
dalam Bingaki Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kristalisasi dari nilai-
nilai Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda
tetapi tetap satu. Dan itu harus di tegakan dalam Bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
BAB IV
PENUTUP

Sejarah perjalan Panjang Bangsa Indonesia sehingga menjadi Negara


Kesatuan Republik Indonesia, bukan sejarah yang mudah. Penuh Pengorbanan
darah dan air mata. Kemerdekaan yang sekarang di raih oleh bangsa ini, haruslah
berdasarkan landasan yang paling fundamental oleh Negara Ini. Penolakan
terhadap pluralisme atau keberagaman bangsa dalam bentuk penindasan dan
pelakuan sewenang-wenang terhadap adat dan budaya masyarakat adat serta
agama dan kepercayaan warga Negara  adalah perbuatan yang tidak dapat
ditolerir oleh siapapun juga. Perlakuan Negara dengan berbagai perangkat
hukumnya dengan tidak tegas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 pun
merupakan masalah. Untuk itu ditegakannya kembali Pancasila secara murni dan
konsekwen seperti sejarah awal lahirnya Pancasila harus di tegakan. Agar Negara
ini tidak seperti uni soviet ataupun sejarah Negara-negara Balkan.
SEMANGAT SUMPAH PEMUDA, BANGKITKAN RASA
NASIONALISME SISWA

Semarang, Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang, maka


penting kiranya seluruh warga mengetahui sejarah tersebut. Seperti halnya dengan
tanggal 28 Oktober 1928, merupakan hari berkumpulnya para pemuda Indonesia kala
itu, untuk menyatukan bangsa dengan merumuskan sebuah kongres pemuda yang
disebut dengan Sumpah Pemuda. Ada 3 dari hasil kongres yaitu, Pertama : Kami
putra putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; Kedua :
Kami putra putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia; Ketiga : Kami putra
putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Itulah sejarah
singkat yang disampaikan oleh Chotib salah satu guru MI Futuhiyyah Palebon yang
ditugasi untuk menjadi pembina upacara dalam rangka memperingati Hari Sumpah
Pemuda, Jumat (28 Oktober 2022).
Upacara yang dilaksanakan di halaman madrasah, diikuti oleh seluruh peserta
didik, guru dan pegawai MI Futuhiyyah Palebon. Upacara dilakukan dengan
sederhana namun penuh dengan makna. Hal serupa disampaikan pula oleh
Muzaenah, guru MI Futuhiyyah Palebon lainnya. “Peringatan Hari Sumpah Pemuda
seperti saat ini, mengajarkan kepada siswa-siswi akan pentingnya mengetahui sejarah
bangsa, bahwa sebuah kemerdekaan suatu bangsa tidaklah didapat dengan mudah,
tetapi harus dengan perjuangan yang gigih dan semangat persatuan dan kesatuan.
Dengan demikian siswa-siswi diharapkan dapat tergerak hatinya untuk melanjutkan
perjuangan para pendahulu dan memiliki nasionalisme untuk mempertahankan
sebuah kemerdekaan,” tuturnya.
Sementara itu, Afifah salah satu siswa kelas 5 di MI tersebut juga
mengungkapkan jika ia menjadi mengerti panjang dan kerasnya perjuangan para
pahlawan dalam memperebutkan kemerdekaan. “Dengan diuraikan sejarah Sumpah
Pemuda, saya menjadi mengetahui sejarah bangsa Indonesia. Ternyata untuk menjadi
bangsa yang merdeka tidaklah mudah, tapi butuh perjuangan yang gigih dari seluruh
warga negaranya,” ungkapnya. Dalam upacara tersebut, siswa-siswi juga
menyanyikan beberapa lagu nasional seperti, Bangun Pemuda Pemudi, Satu Nusa
Satu bangsa, dan Bagimu Negeri. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah semangat
peserta didik untuk melanjutkan perjuangan dan mengisi
kemerdekaan.(SAW/NBA/bd)

PERISTIWA SUMPAH PEMUDA 1928, SEBAGAI SEJARAH PENTING


KEBERADAAN INDONESIA

Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 adalah tonggak sekaligus tapak sejarah yang
teramat penting bagi perjalanan dan keberadaan Indonesia sebagai nation-state
(negara-bangsa). Demikian disampaikan Mohammad Asawir, selaku Pemimpin
Upacara Peringatan Sumpah Pemuda ke 77, hari ini di kantor BPKP Pusat di Jakarta.
Pada kesempatan itu yang bersangkutan membacakan pidato Menpora
dihadapan peserta upacara. Selanjutnya disampaiakn bahwa, peristiwa Sumpah
Pemuda 1928 telah memberikan semangat dan motivasi bagi bangsa Indonesia untuk
memperjuangkan nasib dan eksistensinya melepaskan diri dari cengkeraman
kolonialisme dan imperialisme. Artinya, Sumpah Pemuda sesungguhnya merupakan
“kesepakatan sosial” dari segenap elemen rakyat Indonesia untuk mencapai
Indonesia merdeka. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda, para pemuda
mengumandangkan tekad mulia yakni menyatukan Indonesia sebagai Satu Bangsa,
Satu Tanah Air, dan Satu Bahasa. Peringatan Sumpah Pemuda tidak saja bermaksud
mengenangkan jasa-jasa para pahlawan bangsa khususnya pahlawan pemuda. Dari
prespektif subtansi, peringatan Sumpah Pemuda sesungguhnya bertujuan
merevitalisasi spirit persatuan dan kesatuan bangsa demi melanjutkan cita-cita Para
Pendiri Bangsa (The Founding Fathers).
Peristiwa Sumpah Pemuda sudah semestinya menginspirasi kita untuk
menguatkan spirit of the nation, mengokohkan nation and character building dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin sarat dengan tantangan.
Tahun 2005 ini peringatan Sumpah Pemuda mengambil tema “Reaktualisasi Jiwa
dan Semangat Sumpah Pemuda Menuju Indonesia Bersatu dan Bermartabat“. Ini
mengandung maksud bahwa jiwa dan semangat kesatuan dan persatuan bangsa harus
tetap tertanam dan hidup di dalam hati sanubari kita. Semangat kita sebagai bangsa
tidak boleh lekang oleh perubahan zaman dan jangan sampai larut oleh deru
globalisasi.
Komitmen “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa” yang dikumandangkan
pemuda Indonesia tahun 1928 itulah yang kemudian membuka jalan bagi
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai sebuah “ Kesepakatan Politik“,
hingga bangsa ini dapat hidup di tengah alam Kemerdekaan dan pembangunan
nasional sekarang ini. Spirit religiusitas dan nasionalisme yang menggelora
sebagaimana ditunjukan para pemuda di tahun 1928 silam, sudah semestinya menjadi
inspirasi bagi para pemuda di zaman kini untuk terus-menerus mengobarkan spirit
nasionalisme-religius. Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-77. Dirgahayu dan Jayalah
Pemuda Indonesia. Selamat berjuang untuk menggapai masa depan yang cemerlang.
(LuQ)
MAKALAH
SEMANGAT SUMPAH PEMUDA &
BHINEKA TUNGGAL IKA

Kelompok 4
DISUSUN OLEH

 Sri Nurmaningsih  STni St. Napisah

 Faira Aulia Afdillah  Asia Balinda

 Hamdi Hamzah  Muh. Farid Sudirman

 Muh. Rakzan  Muh. Mufli


SMPN 1 PINRANG
PPKn
2023

Anda mungkin juga menyukai