LP Traumatic Brain Injury (Tbi)
LP Traumatic Brain Injury (Tbi)
Y DENGAN
TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI) DI RUANG ICU
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
Oleh :
CI LAHAN CI INSTITUSI
(......................................) (.....................................)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Saya tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
saya mengharapkan kritik serta saran dari pembaca laporan ini, agar nantinya
dapat menjadi laporan yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
1. DEFINISI
Traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi pada otak
yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana saja termasuk
lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga, ataupun di medan perang. Cedera
kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung maupun tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Vijayabarathi, 2014).
Cedera kepala merupakan suatu proses terjadinya cedera langsung maupun deselerasi
terhadap kepala yang dapat menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Traumatic Brain
Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi mekanik terhadap kepala dari kekuatan
eksternal. Identifikasi klinis TBI meliputi satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau
disorientasi, kehilangan kesadaran, amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain
(tanda fokal neurologis,kejang, lesi intrakranial) (Vijayabarathi, 2014).
2. ETIOLOGI
Etiologi dari trauma kepala dikategorikan menjadi cedera primer, yakni suatu cedera
yang diakibatkan akibat benturan, baik langsung maupun tidak langsung. Kemudian cedera
sekunder yaitu cedera yang diakibatkan oleh cedera saraf melalui akson yang terjadi secara
meluas, hipertendi intrakranial, hipoksia, hipotensi sistemik atau hiperkapnea yang
merupakan rangakaian dari proses patologis sebagai tahapan lanjutan dari cedera kepala
primer (Smeltzer dan Bare, 2015).
3. PATOFISIOLOGI
a. Cedera Otak Primer
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak
terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi trauma
(Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2010). Cedera ini dapat berasal dari
berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai
akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan
tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh
darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada
otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan/atau pembuluh darah otak.
Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury
(DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan epidural,
subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan (Indharty,
2012).
b. Cedera otak sekunder
Menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada otak dapat dihindari setelah
setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan sekunder ini adalah hipoksia,
hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang (Saatman, dkk, 2008). Menurut Indharty
(2012), cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat
terjadi akibat adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan
autoregulasi, neuroapoptosis, dan inokulasi bakteri. Faktor intrakranial (lokal) yang
mempengaruhi cedera otak sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik
otak akibat penurunan perfusi ke jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial
otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang.
Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder
dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia,
hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia,
serta hemostasis (Indharty, 2012).
4. MANIFESTASI KLINIK
Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-macam namun
pada umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran bahkan hingga koma. Menurut
American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM), cedera otak traumatik ringan
(mild traumatic brain injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis otak yang
diakibatkan trauma dengan manifestasi minimal satu dari berikut ini :
a. Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit
b. Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian (post traumatic
amnesia) kurang dari 24 jam
c. Perubahan status mental saat kejadian (disorientasi atau kebingungan)
d. Defisit neurologis fokal transien atau non transien
e. Skor GCS 13-15 setelah 30 menit (Roozenbeek, 2013).
Setelah mengalami cedera otak traumatik, 30-80% pasien mengalami gejala setelah
gegar otak (post concussive). Pada umumnya membaik dalam beberapa jam hingga
beberapa hari, sebagian lainnya dapat berminggu-minggu. Manifestasi klinis pada cedera
otak traumatik ringan (mild TBI) terdiri dari kombinasi gejala fisik dan gejala
neuropsikiatrik, antara lain:
a. Gejala fisik berupa nyeri kepala, pusing, mual, fatigue, gangguan tidur, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, atau kejang bila terjadi kerusakan pada lobus
temporal atau frontal, yang harus dibedakan dari epilepsi
b. Gejala neuropsikiatrik yang terdiri dari gangguan kognitif, perilaku, dan gangguan
lainnya.
c. Gangguan kognitif, dapat berupa gangguan pemusatan perhatian, gangguan memori dan
gangguan fungsi eksekutif. Gangguan pemusatan perhatian dapat berakibat pasien
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Luasnya gangguan kognitif berkorelasi
dengan keparahan cedera.
d. Gejala perilaku yaitu berhubungan dengan kepribadian pasien, antara lain irritabilitas,
gangguan mood, agresi, impulsif, perilaku egois.
f. Gejala lainnya yang berhubungan adalah depresi, gangguan cemas, dan post traumatic
stress disorder (Lozano, 2015).
5. KOMPLIKASI
Secara umum komplikasi yang sering dijumpai pada cedera otak traumatik adalah
gangguan kognitif, kesulitan mengolah rangsang sensori dan komunikasi, kejang,
hidrosefalus, kebocoran cairan serebrospinal, cedera pembuluh darah ataupun jaringan
saraf, tinnitus, gagal organ dan politrauma.
a. Venous Thromboembolism (VTE)
Venous thromboembolism (VTE) merupakan komplikasi sistemik yang paling
ditakuti pada pasien poli-trauma terutama mereka yang juga mengalami cedera otak
traumatik. meskipun demikian sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan
bahwa resiko VTE lebih tinggi pada mereka dengan poli-trauma dan cedera otak
traumatik. Upaya pencegahan seperti pemberian kemoprofilaksis pada pasien-pasien
trauma terbukti mengurangi angka kejadian deep vein thrombosis (DVT) namun tidak
berpengaruh signifikan dalam mengurangi emboli paru.
b. Komplikasi Neurologis
Adapun komplikasi neurologis yang mungkin dialami pasien cedera otak
traumatik meliputi defisit neurologis fokal, defisit neurologis global, kejang, fistula
cairan serebrospinal, hidrosefalus, cedera pembuluh darah dan mati otak.
c. Defisit Neurologis Fokal
Defisit neurologis fokal yang terjadi pada umumnya terkait gangguan pada saraf
kranial yang berada pada dasar tengkorang. akselerasi dan deselerasi yang terjadi pada
proses trauma mengakibatkan pergeseran hingga peregangan pada saraf-saraf kranial.
d. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan komplikasi cedera otak traumatik yang biasanya terjadi
belakangan. Hidrosefalus pasca-trauma biasanya dipresentasikan dengan gambaran
ventriculomegaly dengan atau tanpa peningkatan tekanan intrakranial. Pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial umumnya mengalami gejala sakit kepala, gangguan
penglihatan, mual/muntah dan gangguan kesadaran. Sedangkan mereka dengan tekanan
intrakranial normal umumnya mengalami gejala gangguan memori,
gait ataxia dan inkontinensia urine.
e. Kejang
Kejang pasca-trauma merupakan salah satu komplikasi yang sering dialami pasien
dengan cedera otak traumatik. Kejang akibat kondisi ini dibagi atas tiga bagian, yaitu:
kejang dalam 24 jam pertama setelah trauma, kejang antara 1-7 hari setelah trauma dan
kejang lebih dari 7 hari setelah trauma. Kejang pasca-trauma umumnya terjadi pada
pasien cedera otak penetrasi dimana hampir setengah dari pasien ini mengalami kejang.
f. Fistula Serebrospinal
Fistula cerebrospinal biasanya ditunjukkan dengan gejala rinore atau otore yang
muncul pada 5-10% dari pasien cedera otak traumatik. Biasanya gejala ini terjadi segera
setelah trauma atau beberapa saat setelahnya. Komplikasi ini lebih sering diderita oleh
pasien dengan fraktur basis kranium.
g. Cedera Pembuluh Darah
Cedera pembuluh darah merupakan sekuel yang juga sering terjadi pada pasien
dengan cedera otak traumatik. Cedera yang sering terjadi berupa transeksi arteri,
fenomena tromboembolik, aneurisma pasca-trauma, diseksi dan fistula carotid-
cavernous.
h. Mati Otak
Kematian awalnya didefinisikan pada pasien yang mengalami apnea dan tidak
adanya denyut nadi. Namun, saat ini kematian lebih didefinisikan sebagai suatu proses
dibandingkan peristiwa sesaat. Kurangnya aliran darah ke otak dapat mengakibatkan
gangguan bahkan hilangnya kesadaran. Pasien cedera otak traumatik dapat mengalami
komplikasi ini meskipun mereka belum apnea atau jantung berhenti berdetak. Hal ini
karena pada keadaan cedera otak berat yang mengganggu perfusi darah ke otak, organ
somatik maupun jaringan ikat masih dapat bertahan lebih lama.
i. Komplikasi Psikiatri
Penderita cedera otak traumatik memiliki kemungkinan menderita komplikasi
berupa depresi, dysthymia, gangguan bipolar, gangguan cemas menyeluruh, gangguan
panic, fobia, obsessive-compulsive disorder (OCD), posttraumatic stress
disorder (PTSD), ketergantungan obat dan skizofrenia.
j. Terdapat berbagai faktor yang mungkin menyebabkan sekuele neuropsikiatri pada
pasien cedera otak traumatik, seperti jenis cedera, diagnosis psikiatri sebelumnya,
sosiopati, gangguan perilaku, dukungan sosial, penyalahgunaan obat, gangguan saraf
yang diidap dan usia.
k. Post Traumatic Stress Disorder
Post traumatic stress disorder paling sering pada cedera otak traumatik yang
berhubungan dengan ledakan.
l. Gangguan kognitif, sekuele yang sering ditemukan bahkan pada cedera otak traumatik
ringan sebanyak 65%. Gangguan kognitif menyebabkan pasien kesulitan dalam
menjalankan aktivitas sehari-harinya di rumah maupun di tempat kerja.
m. Gangguan Tidur
Gangguan tidur dikeluhkan oleh 50% pasien yang pernah mengalami cedera otak
traumatik. Prevalensi insomnia, hipersomnia dan sleep apnea lebih tinggi masing 19%,
18%, dan 23% pada pasien yang mengalami cedera otak traumatik dibandingkan
populasi normal.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemberian pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
1. Pemeriksaan laboratorium darah
a. Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering diitemui hiponatremia akibat
gangguan pengaturan hormon diuretik. Kadar magnesium juga dapat menurun pada
fase akut akibat proses eksitotoksik
b. Pemeriksaan faktor koagulasi (aPTT, PT, tombosit), pasien orang tua mungkin
sedang dalam pengobatan dengan antikoagulan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat
untuk menilai risiko perdarahan intrakrania
c. Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran
atau disorientasi
2. Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan kepala berperan penting dalam pencitraan cedera kepala. Namun pada
pasien cedera otak traumatik ringan, kelainan pada CT-Scan yang spesifik tidak sering
ditemukan. Kelainan pada gambaran CT-Scan lebih sering ditemukan pada cedera otak
traumatik yang lebih berat. Oleh karena itu perlu untuk mempertimbangkan indikasi
dilakukannya CT-Scan. Indikasi harus CT-Scan segera (Stippler, 2015):
a. Tanda-tanda fraktur pada tulang tengkorak (basis kranii, depresi, atau fraktur
terbuka)
b. Kelainan pada pemeriksaan neurologis
b. Serangan kejang
c. Muntah lebih dari 1 kali
d. Mekanisme trauma risiko tinggi (terlempar dari kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh
kendaraan)
e. Penurunan skor GCS atau skor GCS persisten kurang dari 15
Sedangakan indikasi pertimbangan perlu dilakukan CTScan (Stippler 2015):
a. Usia lebih dari 60 tahun
b. Amnesia anterograd persisten
c. Amnesia retrograd lebih dari 30 menit
d. Koagulopati
e. Terjatuh lebih dari 1 meter
f. Hilang kesadaran lebih dari 30 menit
f. Faktor sosial (tidak dapat dianamnesis untuk riwayat yang jelas)
7. PENATALAKSANAAN
A. TERAPI FARMAKOLOGI
1) Pemberian analgetik untuk menurunkan derajat nyeri kepala akibat kecelakaan.
2) Pemberian antibiotik untuk mencegah terjadinya syok akibat bacteremia setelah
pasien dirujuk di rumah sakit.
3) Penatalaksanaan pemberian cairan berupa ringer laktat untuk resusitasi pasien.
4) Pemberian transfusi darah jika Hb kurang dari 10g/dL.
B. TERAPI NONFARMAKOLOGI
1) Pasien diberikan posisi head up 15-300 untuk membantu menurunkan tekanan
intrakranial dan memperbaik sirkulasi serebral.
2) Memastikan jalan nafas pasien aman, berikan oksigen 100% yang cukup untuk
menurunkan TIK.
3) Menghindari gerakan yang banyak dalam memanipulasi gerakan leher sebelum
cedera servikal dapat disingkirkan dari kecurigaan (Pusbankes, 2018).
4) Pasien di berikan stimulus sensori audiotori dalam meningkatkan status kesadaran
dan meminimalisir kecacatan.
8. PENCEGAHAN
Dalam upaya pencegahan terjadinya cedera otak traumatik, cara utama yang dapat
dilakukan adalah dengan menghindari faktor resiko dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Berkendara dengan Aman
Perilaku berkendara yang aman meliputi:
(1) Gunakan sabuk pengaman tanpa peduli seberapa dekat jarak perjalanan yang
ditempuh
(2) Anak-anak juga harus dipasangkan sabuk pengaman, termasuk menggunakan
instrumen tambahan sesuai usia, tinggi dan berat badan mereka
(3) Gunakan helm ketika mengendarai motor, sepeda atau skuter
(4) Patuhi rambu lalu lintas
(5) Jangan berkendara jika kesehatan anda terganggu atau dalam keadaan mabuk.
b. Hindari Kemungkinan Terjatuh
Terjatuh merupakan salah satu faktor resiko terjadinya cedera otak traumatik
terutama jika kepala menghantam suatu objek ketika terjatuh. Anak-anak dan lansia
adalah kelompok yang paling beresiko mengalami hal ini. Berikut beberapa cara untuk
menjauhkan mereka dari resiko tersebut:
(1) Pada anak: awasi anak ketika bermain, bermain di tempat yang aman, pastikan
keadaan rumah aman untuk bermain dan gunakan pelindung saat berolahraga.
(2) Pada lansia: mulai olahraga terutama yang melatih kekuatan dan keseimbangan,
awasi penggunaan obat yang mengakibatkan kantuk atau sakit kepala, periksa
kemampuan penglihatan secara berkala, rancang lingkungan rumah yang aman.
9. WOC (WEB OF CAUSATION)
Kecelakaan lalu lintas Gangguan integritas kulit/jaringan
↓ ↑
Cedera otak primer ← Cedera kepala (perdarahan pada epidural) → Jaringan otak rusak, kontusio dan laserasi
↓ ↓
Kerusakan sawar otak Keruskan sel otak meningkat → Penurunan kesadaran Perubahan auotregulasi, edema serebral
↓ ↓ ↓ ↓
Peningkatan TIK Meningkatkan tahan simpatik &
→ Nyeri akut Immobilisasi Kejang
vaskuler sistemik
↓ ↓ ↓ ↓
Gangguan sirkulasi ke otak Peningkatan tekanan hidrostatik Gangguan mobilitas fisik Aktivitas otot dan metabolisme meningkat
↓ ↓ ↓ ↓
Risiko perfusi serebral tidak efektif Kebocoran cairan kapiler Defisit perawatan diri Hipertermia
↓ ↓
Penurunan kapasitas adaptif
Penumpukan cairan secret Tindakan medis
intrakranial
↓ ↓ ↓
Ganguan memori Edema paru Terapi trauma pada jaringan
↓ ↓
Mual, muntah, rabun, penurunan fungsi
Difusi O2 tehambat Terputusnya kontinuitas jaringan
pendengaran
↓ ↓ ↓
Hipovolemia Bersihan jalan napas tidak efektif Adanya luka post operasi
↓
Pertahanan tubuh primer tidak adekuat
↓
Peningkatan leukosit
↓
Risiko infeksi
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah
yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah- masalah pasien, merencanakan secara
sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan (Wijaya, 2013). Menurut Rendi (2012), asuhan keperawatan pada pasien
cedera kepala meliputi:
a. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir,
golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran (Muttaqin, 2008). Biasanya klien akan mengalami penurunan kesadaran dan
adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh
kecelakaan ataupun tindaka kejahatan.
d. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual dan
muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur,
hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan
2) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system persyarafan, riwayat
trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan
cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol (Muttaqin, A. 2008 ). Riwayat
kesehatan keluarga Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya
e. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
a) Kuantitatif dengan penilaian Glasgow Coma Scale
No Komponen Nilai Hasil
1 Hasil Berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti
1 Verbal 3 Rintihan
Bicara Ngawur /tidak nyambung
4 Bicara Membingunkan
5 Orientasi baik
1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
2 Motorik
4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah
1 Tidak berespon
Reaksi membuka mata 2 Dengan ransangan nyeri
3
(eye) 3 Dengan perintah (sentuh)
4 Spontan
b) Kualitatif
(1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.
(4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal,
nilai GCS: 9 – 7.
(5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
(6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3 (Satyanegara.2010).
2) Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional:
Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, namun tidak mampu 4
melawan tahanan pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, terangkat sedikit <450, Tidak mampu melawan 3
Gravitasi
Kelemahan berat, dapat digerakkan, mampu terangkat sedikit 2
Gerakan trace/tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1
Tidak ada gerakan 0
Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antar
0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami klien.
4) Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasuskasus tertentu.
a.) Reflek babynski Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki
diluruskan, tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap
pada tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior, respon: ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon
m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku, normalnya terjadi
fleksi lengan pada sendi siku.
b.) Reflek trisep Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara
perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di
bahu atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku, ketukan pada
tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi,
normalnya terjadi ekstensi lengan bawah pada sendi siku.
c.) Reflek patella Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau
berbaring terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena
kontraksi m.quadrisep femoris.
d.) Reflek achiles Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien dduduk,
kaki menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan posisi
kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe
katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer pada
tendon achilles. Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
(Muttaqin, 2010).
5) Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasuskasus tertentu.
a.) Reflek babynski Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki
diluruskan, tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap
pada tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior, respon: posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi keluarga jari kaki dan
pengembangan jari kaki lainnya.
b.) Reflek chaddok Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar malleolus
lateralis dari posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi keluarga
jari, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
c.) Reflek oppenheim Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke
distal, amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi keluarga jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
d.) Reflek Gordon Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada
tidaknya gerakan dorsofleksi keluarga jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari
kaki lainnya.
e.) Reflek hofmen tromen Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang
lain. Normalnya jari-jari lain tidak bergerak (Muttaqin, A. 2010).
f. Aspek neurologis
1.) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera kepala
berat 3-8).
2.) Disorientasi tempat/waktu
3.) Reflek patologis dan fisiologis
4.) Perubahan status mental
5.) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
6.) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia kehilangan sebagian lapang
pandang
7.) Perubagan tanda-tanda vital
8.) Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran
9.) Tanda-tanda peningkatan TIK
a.) Penurunan kesadaran
b.) Gelisah letargi
c.) Sakit kepala
d.) Muntah proyektil
e.) Pupil edema
f.) Pelambatan nadi
g.) Pelebaran tekanan nadi
h.) Peningkatan tekanan darah systole
g. Aspek kardiovaskuler
1.) Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
2.) Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)
3.) TD naik, TIK naik
h. System pernafasan
1.) Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi
stridor, tersedak
2.) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
3.) Ronki, mengi positif
i. Kebutuhan dasar
1.) Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi, hematuri)
2.) Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji bising usus
3.) Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
j. Pengkajian psikologis
1.) Gangguan emosi/apatis, delirium
2.) Perubahan tingkah laku atau kepribadian
k. Pengkajian social
1.) Hubungan dengan orang terdekat
2.) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria,
anomia
l. Nyeri/kenyamanan
1.) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda
2.) Gelisah
m. Nervus cranial
1.) N.I : penurunan daya penciuman
2.) N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
3.) N.III, IV, VI : penurunan lapang pandang, reflek cahaya menurun, perubahan ukuran
pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah,anisokor
4.) N.V : gangguan mengunyah
5.) N.II, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
6.) N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
7.) N.IX, X, XI : jarang ditemukan
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. D.0001 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan napas,
hipersekresi jalan napas, disfungsi neuromuskuler, bendaa asing dalam jalan napas,
adanya jalan napas buatan, sekresi yang tertahan, hiperplasia dinding jalan napas, proses
infeksi, respon alergi, efek farmakologi (mis.anastesi), merokok aktif, merokok pasif,
terpajan polutan dibuktikan dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum
berlebih, mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering, mekonium di jalan napas (pada
neonatus), dispnea, sulit bernapas, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi napas menurun,
frekuensi napas berubah, pola napas berubah
B. D.0017 Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif dibuktikan dengan faktor risiko
keabnormalan masa protombin dan/atau masa tromboplastin parsial, penurunan kinerja
ventrikel kiri, aterosklerosis aorta, diseksi arteri, fibrilasi atrium, tumor otak, stenosis
karotis, miksoma atrium, aneuresma serebri, koagulopati (mis. anemi sel sabit), dilatasi
kardiomiopati, koagulasi intravaskuler diseminata, embolisme, cedera kepala,
hiperkolesteronemia, hipertensi, endokarditis infektif, katup prostetik mekanis, stenosis
mitral, neoplasma otak, infark miokard akut, sindrom sick sinus, penyalahgunaan zat,
terapi trombolitik, efek samping tindakan (mis. tindakan operasi bypass)
C. D.0023 Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan
mekanisme regulasi, peningkatan permeabilitas kapiler, kekurangan intake cairan,
evaporasi dibuktikan dengan frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lebih, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mmukosa kering,
volume urin menurun, hematokrit meningkat, merasa lemah, mengeluh haus, pengisian
vena menurun, status mental berubah, suhu tubuh meningkat, konsentrasi urin
meningkat, konsentrasi urin meningkat, berat badan turun tiba-tiba
D. D.0066 Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan lesi menempati
ruang (mis. space-occupaying lession – akibat tumor, abses), gangguan metabolisme
(mis. akibat hiponatremia, ensefalopati, uremikum, ensefalopati hepatikum, ketoasidosis
diabetik, septikemia), udema serebral (mis. akibat cedera kepala [hematoma epidural,
hematoma subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral], stroke iskemik,
stroke hemoragik, hipoksia, ensefalopati iskemik, pascaoperasi), peningkatan tekanan
vena (mis. akibat trombosis sinus vena serebral, gagal jantung, trombosis/obstruksi vena
jugularis atau vena kava superior), obstruksi aliran cairan serebrospinalis (mis.
hidrosepalus), hipertensi intrakranial idopatik
E. D.0054 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integrias struktur
tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,
penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan kekuatan
sendi, mal nutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks massa
tubuh, diatas persentilan ke 75 sesuai usia, efek agen farmakologis, program
pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisiik, kecemasan,
gangguan melakukan pergerakan, gangguan sensoripersepsi dibuktikan dengan
mengeluh sulit menggerakkan ekstrimitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak
(ROM) menurun, nyeri sulit bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas
saat bergerak, sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik lemah
F. D.0062 Gangguan memori berhubungan dengan ketidakadekuatan stimulasi intelektual,
gangguan sirkulasi ke otak, gangguan volume cairan dan/atau eletrolit, proses penuaan,
hipoksia, gangguan neurologis (mis. EEG positif, cedera kepala, gangguan kejang), efek
agen farmakologis, penyalahgunaan zat, faktor psikologis (mis.kecemasan, depresi,
stres berlebihan, berduka, gangguan tidur), distraksi lingkungan
G. D.0077 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, agen pencedera
kimiawi, agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif (mis. waspada, posisi meghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan
berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis
H. D.0109 Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal,
gangguan neuromuskuler, kelemahan, gangguan psikologis dan/atau psikotik,
penurunan motivasi/minat dibuktikan dengan menolak melakukan perawatan diri, tidak
mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias secara mandiri
I. D.0130 Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi, terpapar lingkungan panas, proses
penyakit (mis. infeksi, kanker), ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan,
peningkatan laju metabolisme, respon trauma, aktivitas berlebihan, penggunaan
inkubator dibuktikan dengan suhu tubuh diatas nilai normalm kulit merah, kejang,
takikardia, takipnea, kulit terasa hangat
J. D.0192 Gangguan Integritas Jaringan/Kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan), kekurangan/kelebihan volume
cairan, penurunan mobilitas, bahan kimia iritatif, suhu lingkungan yang ekstrem, faktor
mekanis (mis. Penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau faktor elektris
(elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi), efek samping terapi radiasi,
kelembaban, proses penuaan, neuropati perifer, perubahan pigmentasi, perubahan
hormonal, kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/melindungi
integritas jaringan dibuktikan dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri,
perdarahan, kemerahan, hematoma
K. D.0142 Risiko Infeksi dibuktikan dengan faktor risiko penyakit kronis (mis. diabetes
melitus), efek prosedur invasif, malnutrisi, peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan, ketidakadekuatan pertahan tubuh primer (gangguan peristaltik, kerusakan
integrittas kulit, perubahan sekresi pH, penurunan kerja siliaris, ketuban pecah lama,
ketuban pecah sebelumnya, merokok, statis cairan tubuh), ketidakadekuatan pertahan
tubuh sekunder (penurunan hemoglobiin, imunosupresi, leukopenia, supresi respon
inflamasi, vaksinasi tidak adekuat)
(PPNI, 2018)
3. INTERVENSI
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan SLKI Intervensi SIKI
1 (D.0001) Dalam ...x24 jam maka bersihan jalan napas Manajemen Jalan Napas (I.010011)
Bersihan jalan napas meningkat dengan kriteria hasil (L.01001) : Observasi
tidak efektif 1. Batuk efektif meningkat 1. Monitor pola napas
2. Produksi sputum menurun 2. Monitor bunyi napas tambahan
3. Mengi menurun 3. Monitor sputum (jumlah,warna,aroma)
4. Wheezing menurun Terapeutik
5. Mekonium (pada neonatus) menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
6. Dispnea menurun 2. Posisikan semi fowler atau fowler
7. Ortopnea menurun 3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
8. Sulit bicara menurun 4. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
9. Sianosis menurun 5. Berikan oksigen, jika perlu
10. Gelisah menurun Edukasi
11. Frekuensi napas membaik 1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
12. Pola napas membaik Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi
1. Monitor pola nafas
2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
3. Monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD
4. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
5. Monitor produksi sputum
Terapeutik
1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi ps
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
sumber : (PPNI, 2018)
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan SLKI Intervensi SIKI
2 (D.0017) Dalam ...x24 jam maka perfusi serebral Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial (I.06194)
Risiko Perfusi Serebral meningkat dengan kriteria hasil : Observasi
Tidak Efektif Perfusi Serebral (L.02014) 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran meningkat 2. Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK
2. Kognitif meningkat 3. Monitor MAP
3. Sakit kepala menurun Terapeutik
4. Gelisah menurun 1. Berikan posisi semi fowler
5. Cemas menurun 2. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
6. Agitasi menurun 3. Cegah terjadinya kejang
7. Demam menurun Kolaborasi
8. Tekanan arteri rata-rata membaik 1. Kolaborasi dalam pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
9. Tekanan intrakranial membaik 2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
10. Tekanan darah sistolik membaik
11. Tekanan darah diastolik membaik
12. Refleks saraf membaik
4. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan suatu penerapan atau juga sebuah tindakan yang dilakukan dengan berdasarkan suatu rencana yang telah/sudah
disusun ayau dibuat dengan cermat serta juga terperinci sebelumnya. Iplementasi juga diartika sebagai suatu tindakan atau juga bentuk aksi nyata
dalam melaksanakan rencana yang sudah dirancang dengan matang. Dengan kata lain, implementasi ini hanya dapat dilakukan apabila sudah
terdapat perencanaan (Sihaloho, 2021).
5.EVALUASI
Evaluasi adalah suatu proses identifikasi untuk mengukur/menilai suatu kegiatan atau juga program yang dilaksanakan itu sesuai dengan
perencanaan atau tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi disusun menggunakan SOAP (Sihaloho, 2021) :
S: Ungkapan perasaan atau keluhan secara subjektif oleh keluarga atau klien setelah diberikan impelementasi keperawatan
O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan yang objektif
A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
P: Planning atau perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis
DAFTAR PUSTAKA