Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI PANCASILA DI PONDOK


PESANTREN BAGI SANTRI

Dosen Pengampu: Ella Dewi Latifah, M. Pd.

Disusun Oleh:
R.M. Hikam Usman Ma’mun (2021.03.020)

PROGRAM STUDI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FALAH
CICALENGKA – BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI PANCASILA DI PONDOK PESANTREN
BAGI SANTRI ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pancasila pada program studi Manajemen Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai makalah bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen pada mata kuliah Pancasila yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................1

BAB I.........................................................................................................................................2

PENDAHULUAN......................................................................................................................2

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................2

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................3

C. Tujuan Pembahasan.....................................................................................................3

BAB II........................................................................................................................................4

PEMBAHASAN........................................................................................................................4

A. Pengertian Pendidikan Karakter.....................................................................................4

B. Pentingnya Pendidikan Karakter....................................................................................4

C. Pancasila sebagai Pendidikan Karakter..........................................................................6

D. Metode dan Peran Pondok Pesantren sebagai Sarana Pendidikan Karakter..................9

BAB III.....................................................................................................................................13

PENUTUP................................................................................................................................13

A. Kesimpulan...................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Santri memiliki ikatan erat dengan terwujudnya Indonesia. Perjuangan  arek-arek


Suroboyo, merupakan bukti sejarah yang diakui, dimana santri menjadi bagian penting
di dalamnya. Bukan hanya di Surabaya, perjuangan menentang penjajah di seluruh
wilayah nusantara, juga dilakukan oleh para santri bersama para pejuang lain. Santri
melakukan pembelaan dan pembebasan Tanah Air dari keserakahan penjajah. Tanah
Air yang telah merdeka tersebut, kemudian disepakati dengan nama Indonesia, dengan
Pancasila sebagai dasar negaranya.

Pancasila telah disepakati oleh founding fathers sebagai dasar negara Republik


Indonesia. Para kyai di seluruh nusantara, juga mendukung penetapan Pancasila
sebagai dasar negara. KH A Wachid Hasyim menjadi salah satu dari sembilan anggota
tim perumus dasar negara tersebut. Bahkan, Presiden Sukarno sebagai representatif
bangsa Indonesia, menerima ide gambar lambang burung Garuda dari Syarif Abdul
Hamid Alkadrie atau yang dikenal dengan Sultan Hamid II, Sultan Pontianak. Banyak
hal menjadi bukti pendukung, keberadaan Pancasila yang sangat erat dengan pribadi
santri di Indonesia.

Beberapa tahun terakhir, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara Republik


Indonesia terancam kembali. Pada awal kemerdekaan, sebagian masyarakat Indonesia
yang terpengaruh dengan ideologi bangsa lain, ingin merubah Pancasila.
Pemberontakan DI/TII dan PKI adalah contoh kelompok ekstrim kanan dan ekstrim
kiri yang mencoba menggulingkan Pancasila. Ancaman ini telah berhasil diatasi,
sehingga Pancasila tetap menjadi dasar negara Republik Indonesia. Perencanaan
perubahan Pancasila kembali muncul beberapa tahun terakhir. Beberapa kelompok
masyarakat berupaya menawarkan ideologi baru untuk merubah Pancasila. Penawaran
ideologi baru, disambut positif oleh sebagian masyarakat.

Santri memiliki tanggungjawab besar untuk menjaga warisan para kyai. Para
kyai telah mewariskan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila
merupakan hasil ijtihad para kyai pendiri bangsa yang seharusnya dijaga. Penjagaan

iv
ini juga dalam rangka menjaga ilmu agar tidak dirusak oleh orang-orang ‘baru’ yang
merasa lebih tau tentang Indonesia, karena al-ijtihȃd lȃ yanqadlu bi al ijtihȃd. Tulisan
ini, menyampaikan kajian singkat tentang nilai-nilai Pancasila dan urgensi santri
mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
2. Bagaimana pentingnya pendidikan karakter
3. Apa yang dimaksud pancasila sebagai pendidikan karakter?
4. Bagaimana metode pondok pesantren dalam menerapkan nilai-nilai pancasila sebagai
pendidikan karakter?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui tentang pendidikan karakter


2. Mengetahui tentang pentingnya pendidikan karakter
3. Mengenal pancasila sebagai pendidikan karakter
4. Mengetahui metode pondo pesantren dalam menerapkan nilai-nilai pancasila
sebagai pendidikan karakter

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Karakter

Karakter adalah budi pekerti yangmelibatkan aspek pengetahuan, perasaan dan


tindakan. Untuk itu terdapat karakter standar universal yang berlaku di secara universal yang
dikaitkan dengan syarat keberhasilan, meliputi kepercayaan, kejujuran, keadilan, tanggung
jawab, keterbukaan dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut bagai daya tarik magnet untuk
diidamkan dan dimiliki. Tidak heran sifat-sifat tersebut sering menjadi moto dan budaya
organisasi yang dikembangkan.

Wacana pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan kembali pada dua dekade
belakangan ini. Salah satu tokoh yang kerap disebut adalah Thomas Lickona melalui
karyanya, The Return of Character Education (1993), yang menyadarkan dunia pendidikan
di Amerika tentan perlunya pendidikan karakter untuk mencapai cita-cita pendidikan.
Menurutnya, program yang bertumpu pada pembentukan karakter ini berangkat dari
kerihatinan atas kondisi moral masyarakat Amerika. Pembentukan karakter ini berdasarkan
pada kebutuhan untuk menciptakan komunitas yang memiliki moral kemanusiaan, disiplin
moral, demokratis, mengutamakan kerjasama dan penyelesaian masalah, dan mendorong agar
nilai-nilai itu dipraktikan di luar kelas. Dalam konteks Indonesia, character building telah
dikembangkan sejak negeri ini berdiri, di mana presiden RI pertama Ir. Soekarno
mengemukakan gagasan tentang pentingnya pembentukan karakter bangsa. Ketika itu, nilai-
nilai yang diutamakan adalah penghargaan atas kemerdekaan, kedaulatan, dan kepercayaan
pada kekuatan sendiri atau berdikari. Mengingat pembentukan karakter bersifat kontekstual,
maka ia bisaberubah sesuai maksud dan tujuannya, dengan berbasis selalu pada nilai-nilai.

Secara umum, karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungandengan


Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan, yang terwujud
dalampikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Karakter dibangun berdasarkan penghayatan
terhadap nilai-nilaitertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan kehidupan pribadi
maupun bernegara, terdapat nilai-nilai universal Islam seperti toleransi, musywarah, gotong
royong, kejujuran, dan lainnya.

B. Pentingnya Pendidikan Karakter

vi
Banyak tokoh yang menggaris bawahi pentingnya pendidikan karakter dan moral.
Mahatama Gandhi menyatakan salah satu dosa fatal adalah “educational without character”
(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King menyatakan “intelligence plus caracter
that is the goal of the true education ” (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir
pendidikan sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Roosevelt berpendapat, “to education
person in mind and not in morals to educate a menace to society” (mendidik seseorang dalam
aspek kecerdasan otak dan bukan moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat).
Dari Prof. Dr (HC). Ir. R. Roosseno dalam setiap sambutan dan pidatonya kerap
menngingatkan bangsa Indonesia khususnya generasi muda, yakni dibuthuhkannya “moralee
herbewapening” (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, hal ini dikaitkan dengan kondisi
kemajuan ekonomi, teknik yang amat cepat membawa side effect yang sering tak
menguntungkan moral (narkoba, korupsi, ketidakjujuran). Hal tersebut harus dibendung
dengan mempersenjatai diri sendiri dengan paham-paham dan arakter yang positif.

Pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai kepesantrenan memiliki teori yang


memadai tentang apa karakter yang baik itu dan bagaimana nilai-nilai itu diimplementasikan.
Pembentukan karakter yang berbasis nilai-nilai kepesantrenan dipahami secara luas agar
mencakup aspek kognitif, afektif, dan perilaku moralitas. Dalam bahasa agama, karakter yang
baik yang berbasis nilai-nilai itu terdiri dari “mengetahui apa itu beik dan buruk” (amar
ma’ruf nahi munkar), “menginginkan yang baik” (himmah) dan “melakukan yang baik”
(amal shalih).

Agar nilai-nilai ini diterapkan, maka lembaga pendidikan harus membantu anak didik
memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau mempraktikannya untuk diri mereka sendiri.
Dalam pendidikan di pesantren disebut ta’lim (pengajaran) dan ta’dib (pembiasaan dengan
kesadaran). Orang bisa menjadi sangat cerdas tentang hal-hal yang baik dan buruk untuk
kehidupannya, namun dapat tetap memilih yang salah. Contoh paling sederhana adalah
tentang cara membuang sampah. Pendidikan moral tidak hanya mengutamakan aspek
kognitif dan pengembangan intelektual,tapi antar nila dan tindakan. Sisi spiritual mencakup
setidaknya kualitas-kualitas nurani (merasa kewajiban untuk melakukan untuk menjadi
benar), harga diri, empati, mencintai, pengendalian diri, dan kerendahan hati.

Pembentukan karakter mengacu pada tiga kualitas moral, yaitu : kompetensi


(keterampilan seperti mendengarkan, berkomunikasi da bekerja sama), kehendak atau
keinginan yang memobilisasi penilaian kita dan energi, dan kebiasaan moral (sebuah
disposisi batin yang dapat diandalkan untuk merespon situasi dalam cara yang secara moral

vii
baik). Oleh karena itu, pendidikan karakter jauh lebih kompleks daripada mengejar
matematika atau membaca. Ia meniscayakan pengembangan kepribadian serta pengembangan
keterampilan. Hal ini setidaknya merujuk pada adanya tiga unsur pokok dalam pembentukan
karakter yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the
good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka pendidikan
karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar
baku tentang sifat-sifat baik. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan
nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada
tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting
yang mencakup perkembangan sosial siswa. 

C. Pancasila sebagai Pendidikan Karakter

Kebanyakan orang menyepelekan makna yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sebenernya merupakan berawal dari tidak
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada karakter.

Oleh karena itu, memaknai kandungan nilai-nilai dalam pancasila seperti nilai
ketuhan, kemanusiaan,persatuan,kemasyarakatan serta sebuah keadilan merupakan suatu hal
yang perlu diterapkan melalui pendidikan karakter agar bangsa Indonesia menjadi manusia
yang taat beragama, berkemanusiaan, adil dan berguna bagi dirinya, oranglain, bangsa dan
negara.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi


warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan
menerapkan nilai nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara (Puskur, 2010:
8).

Nilai Pendidikan Karakter

1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
2. Jujur : perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari diri.

viii
4. Disiplin : tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh kepada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja keras : perilaku yang menunjukkan perilaku sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif : berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri : sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas sendiri.
8. Demokratis : cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin tahu : sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.
10. Cinta tanah air : cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa,
11. Bersahabat : tindakan yang memperihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain.
12. Cinta damai : sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran diri.
13. Peduli sosial : sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
masyarakat yang membutuhkan.
14. Semangat kebangsaan : cara berpikir, bertindak dan berawawasan yang menempatkan
kepentingan dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
15. Menghargai prestasi : sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
16. Peduli lingkungan : sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Tanggung jawab : sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanankan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

ix
Penerapan atau penanaman nilai-nilai setiap butiran pancasila yang harus diajarkan
agar individu memiliki sikap dan prilaku yang sesuai dengan karakter luhur bangsa dan tidak
menyimpang dari nilai pancasila yang sesuai dengan sila-sila dalam pancasila adalah sebagai
berikut:

1) Ketuhanan Yang Maha Esa


 Selalu tertib dalam menjalankan ibadah.
 Tidak berbohong kepada guru maupun teman.
 Bersyukur kepada Tuhan karena memiliki keluarga yang menyayanginya.
 Tidak meniru jawaban teman (menyontek) ketika ulangan ataupun mengerjakan tugas
di kelas.
 Tidak mengganggu teman yang berlainan agama dalam beribadah.
 Menceritakan suatu kejadian berdasarkan sesuatu yang diketahuinya, tidak ditambah-
tambah ataupun dikurangi.
 Tidak meniru pekerjaan temannya  dalam mengerjakan tugas di rumah.
 Percaya pada kemampuan sendiri dalam melakukan apapun , karena Allah sudah
memberian kelebihan dan kekurangan kepada setiap manusia.
2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
 Menolong teman yang sedang kesusahan.
 Tidak membeda-bedakan dalam memilih teman.
 Berbagi makanan dengan teman lain jika sedang makan didepan teman lain.
 Mau mengajari teman yang belum paham dengan pelajaran tertentu.
 Memberikan tempat duduk kepada orang tua, ibu hamil, atau orang yang lebih
membutuhkan saat ada di kendaraan umum.
 Tidak memaki-maki teman bersalah kepada kita
 Meminta maaf atau memaafkan apabila melakukan kesalahan.
 Hormat dan patuh kepada guru, tidak membentak-bentaknya.
 Hormat dan patuh kepada orang tua
3) Persatuan Indonesia
· Mengikuti upacara bendera dengan tertib.
· Bergotong royong membersihkan lingkungan sekolah.
· Tidak berkelahi sesama teman maupun dengan orang lain.
· Memakai produk-produk dalam negeri.
· Menghormati setiap teman yang berbeda ras dan budayanya.

x
· Bangga menjadi warga negara Indonesia.
· Tidak sombong dan membangga-banggakan diri sendiri.
· Mengagumi keunggulan geografis dan kesuburan tanah wilayah Indonesia.
4) Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan
· Membiasakan diri bermusyawarah dengan teman-teman dalam menyelesaikan
masalah.
· Memberikan suara dalam pemilihan.
· Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
· Menerima kekalahan dengan ikhlas apabila kalah bersaing dengan teman lain.
· Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
· Berani mengkritik teman, ketua maupun guru yang bertindak semena-mena.
· Berani mengemukakan pendapat di depan umum.
· Melaksanakan segala aturan dan keputusan bersam dengan ikhlas dan bertanggung
jawab.
5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
· Berlaku adil kepada siapapun.
· Berbagi makanan kepada teman lain dengan sama rata.
· Seorang ketua memberikan tugas yang merata dan sesuai dengan kemampuan
anggotanya.
· Seorang guru memberikan pujian kepada siswa yang rajin dan memberi nasihat
kepada siswa yang malas.
· Tidak pilih-pilih dalam berteman.
· Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
· Suka bekerja keras
· tidak bersifat boros
· Mengharggai hak orang lain
D. Metode dan Peran Pondok Pesantren sebagai Sarana Pendidikan Karakter

Istilah “santri” konon berasal dari bahasa Sansekerta “shastri”, artinya orang yang
belajar kalimat suci dan indah. Para Wali Songo kemudian mengadopsi istilahtersebut
sebagai “santri”. Salah pengucupan dalam hal ini biasa, misalnya, kata “syahadatayn” di

xi
Jawa menjadi “sekaten” dan seterusnya. Jadi “shastri” atau “santri” adalah orang yangbelajar
kalimat suci dan indah yang menurut pandangan Wali Songo berarti kitab suci al-Quran dan
hadis. Kalimat-kalimat uci tersebut kemudian diajarkan, dipahami dan dimanifestasikan
dalam kehidupan sehari-hari.

Kitab kuning yang merupakan khazanah Islam produk ulama al-shalih, dijadikan


panduan oleh para kyai, nyai dan santei utntuk memahami substansi ajaran yang ada dalam
al-Quran dan hadis. Pesantren merupakan warisan para Wali Songo. Mereka berbaur di
tengah masyarakat Nusantara dan berdakwah dengan metode akulturasi, mengapresiasi tradisi
dan kearifan lokal, serta memberikan keteladanan dengan berpegang pada al-Quran, hadis,
dan kitab kuning. Para Wali Songo-lah yang membawa kitab kuning ke Nusantara yang
sampai sekarang diajarkan di pesantren. Mereka sejak dahulu mengajarkan kalimat suci dan
indah, yang dengan itu mereka membangun al-akhlaq al-karimah.

Para kyai mengikuti cara dakwah Wali Songo dengan mencontohkan dan memberi
teladan yangbaik atau uswah hasanah.  Jadi, uswah hasanah itu tidak hanya ada pada diri
Rasulullah adalah bahwa beliau tidak pernah menyuruh orang lain untuk berbuat baik,
sebelum beliau melakukan dan memberikan contoh terlebih dahulu. Keberhasilan pendidikan
ulama pesantren pada zaman dahulu juga dikarenakan mereka memberi keteladanan, dan
tidak pernah mengatakan apa pun yang tidak mereka lakukan.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia. Eksistensinya


sudah teruji oleh zaman, sehingga sampai saat ini masih survive dengan berbagai macam
dinamikanya. Ciri khas yang paling menonjol yang membedakan pesantren dengan lembaga
pendidikan lainnya adalah sistem pendidikan dua puluh empat jam, dengan mengkondisikan
para santri dalam satu lokasi asrama yang dibagi dalam bilik-bilik atau kamar-kamar
sehingga mempermudah mengaplikasikan sistem pendidikan yang total.

Metode pembelajaran pesantren yang paling mendukung terbentuknya pendidikan


karakter para santri adalah proses pembelajaran yang integral melalui metode belajar-
mengajar (dirasah wa ta’lim), pembiasaan berperilaku luhur (ta’dib), aktivitas spiritual
(riyadhah), serta teladan yang baik (uswuh hasanah) yang dipraktikkan atau dicontohkan
langsung oleh kyai/nyai dan para ustadz. Selain itu kegiatan santri juga dikontrol melalui
ketetapan dalam peraturan/tata-tertib. Semua ini mendukung terwujudnya proses pendidikan
yang dapat membentuk karakter mulia para santri, di mana dalam kesehariannya mereka
dituntut untuk hidup mandiri dalam berbagai hal. Mulai dari persoalan yang sederhana

xii
sepertimengatur keuangan yang dikirim orang tua agar cukup untuk sebulan, mencuci
pakaian, sampai pada persoalan yang serius seperti belajar dan memahami pelajaran.

Secara tidak langsung, pesantren juga mengajarkan para santri untuk menghargai
perbedaan suku, ras, bahasa, serta menciptakan pergaulan yang diistilahkan oleh Gus Dur
sebagai “kosmopolitanisme pesantren”. Para santri yag belajar di pondok pesantren datang
dari berbagai penjuru Tanah Air dengan latar belakang suku dan bahasa yang berbeda-beda.
Pergaulan lintas suku, bahasa dan daerah menjadikan para santri menyadari kebinekaan yang
harus dihargai dan menghayati semboyan bangsa kita, “Bhinneka Tunggal Ika”.

Para kyai/nyai selalu memberikan wejangan kepada para santri sebagai calon
pemimpin dan agen perubahan di masa depan, sehingga dalam jiwa mereka tertanam
kesadaran untuk mempersiapkan diri menjalankan peran tersebut sekembalinya mereka ke
tengah –tengah masyarakat di kampung. Kepemimpinana yang dimaksudkan oleh pesantren
bukanlah dalam makna jabatan formal dan politik, melainkan kepekaan dan kepedulian
terhadap lingkungan sekitarnya, di mana mereka harus memandu dan mencerahkan
masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Kemandirian menjadi modal terpenting bagi para santri ketika terjun di tengah
masyarakat. Dengan jiwa mandiri, para santri tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming
jabatan formal, atau diintervensi oleh pihak-pihak yang memilki kepentingan tertentu. Hal ini
tidak lepas dari keteladanan para kyai/nyai, yang sebagian besar mendirikan pesantren
dengan jerih-payah mereka secara mandiri, berdasarkan keinginan yang kookoh untuk
berbagi ilmu pengetahuan agama kepad umat. Dari segi kurikulum dan sistem pembelajaran
pun, pesantren bersifat mandiri dan otonom. Jauh sebelum otonom pendidikan diwacanakan
dan dianjurkan oleh pemerintah, pesantren otonom pendidikannya, sangat kecil kemungkinan
untuk mengeneralisir corak pesantren di Indonesia.

Peran Pondok Pesantren bagi NKRI

Pesantren juga banyak berjasa bagi negeri ini, terutama dalam menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak awal negeri ini terlahir dari pesantren
yang mengawalnya dari waktu ke waktu, terutama pada saat-saat genting. Para tokoh
pesantren terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan dan merumuskan ideologi Pancasila
dan UUD 1945, serta menjaga komitmen NKRI sampai saat ini. Banyak dari mereka yang
dinobatkan sebagai pahlawan nasional, seperti Hadhrat al-Syaikh  Hasyim Asy’ari dan KH.
Wahid Hasyim dari Pesantren Tebu Ireng Jombang. Para kyai pesantren berkeyakinan bahwa

xiii
NKRI dengan ideologi Pancasila sudah final. Komitmen kebangsaan dan kecintaan mereka
pada Indonesia diperkuat oleh doktrin agama yang  mengharuskan mereka untuk mencintai
Tanah Air. Jargon agama menyebutkan bahwa cinta Tanah Air adalah bagian dari iman,
“Hubb al-wathan min al-iman.”

Nusantara yang sebetulnya mencakup Asia Tenggara mulai dari Phipina, Thailand,
Brunei, Malaysia dan Indonesia, adalah wilayah keislaman yang damai. Islam yang dianut
tidak pernah ditegakkan dengan perang, tetapi disebarkan melalui ajaran dan tradisi para sufi
(tarekat) yang sangat besar pengaruhnya dalam corak keberislaman kita yang damai dan lebih
menekankan perilaku luhurdan anti-kekerasan. Berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang
dari waktu ke waktu ditegakkan dan dikawal dengan pedang, perang dan pertumpahan darah.
Nisa kita lihat, Islam yang terlahir dari negeri-negeri Timur Tengah kerp mengekspor banyak
kekerasan dan teror di Nusantara ini.

Hal tersebut sangat kontras dengan Islam di Nusantara Yang disebarkan


melalui zawiyah-zawiyah, yang lembaga pendidikannya disebut sebagai pesantren. Kita
yakin bahwa Indonesia pun tidak mungkin seperti ini jikalau tidak ada basis keberislaman
yang disebarkan oleh para guru tarekat. Kerajaan-kerajaan yang berdiri di Aceh sampai
Banten, sebagian besar terlahir dari pesantren. Kalau tidak ada pesantren, tentu tidak akan ada
Islam yang damai, dan bahkan tidak mungkin negeri Nusantara ini terlahir. Maka ketika
kemerdekaan berhasil diraih, kita tahu bahwa yang mempeloporinya di tingkat basis adalah
para kyai pesantren, kemerdekaan tidak akan mungkin bisa kita rebut.

Setelah kemerdekaan, ada sekelompok orang yang menginginkan supaya tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang merupakan Pembukaan UUD 1945 dihapus. Kalimat “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”

 Kemudian diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Inilah yang secara terus menerus
menjadi titik konflik. Siapakah yang memberikan ‘kata putus’ supaya tujuh kata itu dihapus?
Menurut penelitian para sejarawan mutakhir, ia adalah KH. Hasyim Asy’ari. Karena kalau
Kyai Hasyim tidak mengizinkan tujuh kata itu dihapus, maka tokoh-tokoh dari bagian timur
negeri ini akan memisahkan diri, dan kemungkinan mereka akan dimanfaatkan oleh pihak
Belanda yang berusaha menguasai Indonesia kembali. Jika itu terjadi, maka persatuan dan
kesatuan Indonesia akan pecah. Tetapi karena Kyai Hasyim memberikan izin, “Silahkan
tujuh kata itu dihapus, tidak masalah, yang penting Indonesia tetap bersatu dari Sabang

xiv
sampai Merauke,” mereka pun tetap bertahan. Inilah kearifan dan keikhlasan luar biasa yang
dipersembahkan oleh tokoh-tokoh pesantren untuk NKRI. 

xv
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya sarana pembinaan di pondok pesantren sangatlah mendukung dalam


pembentukan manusia yang berkarakter. Karena pondok pesantren sendiri berperan penting
dalam hal itu. Dengan sistem pembelajaran yang religius, serta menumbuhkan sikap toleransi,
salinng berkerja sama akan muncul melalui sarana pondok pesantren, guna melahirkan santri
yang berkarakter dan bermanfaat dalam masyarakat setelah menempuh pendidikan di pondok
pesantren. Namun, terkadang tidak semua anak yang belajar di pondok pesantren keluar
menjadi pribadi yang lebih baik tetapi setidaknya seorang santri mengenal seluk beluknya
ilmu keagamaan. Hal ini kembali faktor internal dirinya sendiri dan kembali pada niat
tekadnya dari awal sebelum ia memutuskan untuk belajar pondok pesantren.

xvi
DAFTAR PUSTAKA

Octavia, Lanny dkk. 2014. Pendidikan Krakter Berbasis Tradisi Pesantren. Rene Book: Jakarta
Selatan:
Rosseno. 2008. Jembatan dan Menjembatani. Dalam Wiratman Wangsadinata dan G. Supriyitno
(ed.)-Edisi pertama. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Purba,Ego. “Penerapan Nilai-nilai Pancasila Sebagai Pendidikan
Krakter”. http://egoaspbatch2kelasb.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pancasila-penerapan-nilai-
nilai.htm.
“Pondok Pesantren Aji Mahaiswa Al-Muhsin STEBI Al-Muhsin”. 1 Januari
2017 http://stai.almuhsin.ac.id/main/ponpes.

xvii

Anda mungkin juga menyukai