Makalah - Pendidikan Pancasila - R.M.Hikam Usman Ma'mun
Makalah - Pendidikan Pancasila - R.M.Hikam Usman Ma'mun
Disusun Oleh:
R.M. Hikam Usman Ma’mun (2021.03.020)
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FALAH
CICALENGKA – BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI PANCASILA DI PONDOK PESANTREN
BAGI SANTRI ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pancasila pada program studi Manajemen Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai makalah bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen pada mata kuliah Pancasila yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Bandung, 2022
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................1
BAB I.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN......................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................3
C. Tujuan Pembahasan.....................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
BAB III.....................................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................................13
A. Kesimpulan...................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Santri memiliki tanggungjawab besar untuk menjaga warisan para kyai. Para
kyai telah mewariskan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila
merupakan hasil ijtihad para kyai pendiri bangsa yang seharusnya dijaga. Penjagaan
iv
ini juga dalam rangka menjaga ilmu agar tidak dirusak oleh orang-orang ‘baru’ yang
merasa lebih tau tentang Indonesia, karena al-ijtihȃd lȃ yanqadlu bi al ijtihȃd. Tulisan
ini, menyampaikan kajian singkat tentang nilai-nilai Pancasila dan urgensi santri
mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
2. Bagaimana pentingnya pendidikan karakter
3. Apa yang dimaksud pancasila sebagai pendidikan karakter?
4. Bagaimana metode pondok pesantren dalam menerapkan nilai-nilai pancasila sebagai
pendidikan karakter?
C. Tujuan Pembahasan
v
BAB II
PEMBAHASAN
Wacana pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan kembali pada dua dekade
belakangan ini. Salah satu tokoh yang kerap disebut adalah Thomas Lickona melalui
karyanya, The Return of Character Education (1993), yang menyadarkan dunia pendidikan
di Amerika tentan perlunya pendidikan karakter untuk mencapai cita-cita pendidikan.
Menurutnya, program yang bertumpu pada pembentukan karakter ini berangkat dari
kerihatinan atas kondisi moral masyarakat Amerika. Pembentukan karakter ini berdasarkan
pada kebutuhan untuk menciptakan komunitas yang memiliki moral kemanusiaan, disiplin
moral, demokratis, mengutamakan kerjasama dan penyelesaian masalah, dan mendorong agar
nilai-nilai itu dipraktikan di luar kelas. Dalam konteks Indonesia, character building telah
dikembangkan sejak negeri ini berdiri, di mana presiden RI pertama Ir. Soekarno
mengemukakan gagasan tentang pentingnya pembentukan karakter bangsa. Ketika itu, nilai-
nilai yang diutamakan adalah penghargaan atas kemerdekaan, kedaulatan, dan kepercayaan
pada kekuatan sendiri atau berdikari. Mengingat pembentukan karakter bersifat kontekstual,
maka ia bisaberubah sesuai maksud dan tujuannya, dengan berbasis selalu pada nilai-nilai.
vi
Banyak tokoh yang menggaris bawahi pentingnya pendidikan karakter dan moral.
Mahatama Gandhi menyatakan salah satu dosa fatal adalah “educational without character”
(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King menyatakan “intelligence plus caracter
that is the goal of the true education ” (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir
pendidikan sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Roosevelt berpendapat, “to education
person in mind and not in morals to educate a menace to society” (mendidik seseorang dalam
aspek kecerdasan otak dan bukan moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat).
Dari Prof. Dr (HC). Ir. R. Roosseno dalam setiap sambutan dan pidatonya kerap
menngingatkan bangsa Indonesia khususnya generasi muda, yakni dibuthuhkannya “moralee
herbewapening” (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, hal ini dikaitkan dengan kondisi
kemajuan ekonomi, teknik yang amat cepat membawa side effect yang sering tak
menguntungkan moral (narkoba, korupsi, ketidakjujuran). Hal tersebut harus dibendung
dengan mempersenjatai diri sendiri dengan paham-paham dan arakter yang positif.
Agar nilai-nilai ini diterapkan, maka lembaga pendidikan harus membantu anak didik
memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau mempraktikannya untuk diri mereka sendiri.
Dalam pendidikan di pesantren disebut ta’lim (pengajaran) dan ta’dib (pembiasaan dengan
kesadaran). Orang bisa menjadi sangat cerdas tentang hal-hal yang baik dan buruk untuk
kehidupannya, namun dapat tetap memilih yang salah. Contoh paling sederhana adalah
tentang cara membuang sampah. Pendidikan moral tidak hanya mengutamakan aspek
kognitif dan pengembangan intelektual,tapi antar nila dan tindakan. Sisi spiritual mencakup
setidaknya kualitas-kualitas nurani (merasa kewajiban untuk melakukan untuk menjadi
benar), harga diri, empati, mencintai, pengendalian diri, dan kerendahan hati.
vii
baik). Oleh karena itu, pendidikan karakter jauh lebih kompleks daripada mengejar
matematika atau membaca. Ia meniscayakan pengembangan kepribadian serta pengembangan
keterampilan. Hal ini setidaknya merujuk pada adanya tiga unsur pokok dalam pembentukan
karakter yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the
good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka pendidikan
karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar
baku tentang sifat-sifat baik. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan
nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada
tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting
yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Kebanyakan orang menyepelekan makna yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sebenernya merupakan berawal dari tidak
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada karakter.
Oleh karena itu, memaknai kandungan nilai-nilai dalam pancasila seperti nilai
ketuhan, kemanusiaan,persatuan,kemasyarakatan serta sebuah keadilan merupakan suatu hal
yang perlu diterapkan melalui pendidikan karakter agar bangsa Indonesia menjadi manusia
yang taat beragama, berkemanusiaan, adil dan berguna bagi dirinya, oranglain, bangsa dan
negara.
1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
2. Jujur : perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari diri.
viii
4. Disiplin : tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh kepada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja keras : perilaku yang menunjukkan perilaku sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif : berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri : sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas sendiri.
8. Demokratis : cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin tahu : sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.
10. Cinta tanah air : cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa,
11. Bersahabat : tindakan yang memperihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain.
12. Cinta damai : sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran diri.
13. Peduli sosial : sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
masyarakat yang membutuhkan.
14. Semangat kebangsaan : cara berpikir, bertindak dan berawawasan yang menempatkan
kepentingan dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
15. Menghargai prestasi : sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
16. Peduli lingkungan : sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Tanggung jawab : sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanankan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
ix
Penerapan atau penanaman nilai-nilai setiap butiran pancasila yang harus diajarkan
agar individu memiliki sikap dan prilaku yang sesuai dengan karakter luhur bangsa dan tidak
menyimpang dari nilai pancasila yang sesuai dengan sila-sila dalam pancasila adalah sebagai
berikut:
x
· Bangga menjadi warga negara Indonesia.
· Tidak sombong dan membangga-banggakan diri sendiri.
· Mengagumi keunggulan geografis dan kesuburan tanah wilayah Indonesia.
4) Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan
· Membiasakan diri bermusyawarah dengan teman-teman dalam menyelesaikan
masalah.
· Memberikan suara dalam pemilihan.
· Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
· Menerima kekalahan dengan ikhlas apabila kalah bersaing dengan teman lain.
· Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
· Berani mengkritik teman, ketua maupun guru yang bertindak semena-mena.
· Berani mengemukakan pendapat di depan umum.
· Melaksanakan segala aturan dan keputusan bersam dengan ikhlas dan bertanggung
jawab.
5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
· Berlaku adil kepada siapapun.
· Berbagi makanan kepada teman lain dengan sama rata.
· Seorang ketua memberikan tugas yang merata dan sesuai dengan kemampuan
anggotanya.
· Seorang guru memberikan pujian kepada siswa yang rajin dan memberi nasihat
kepada siswa yang malas.
· Tidak pilih-pilih dalam berteman.
· Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
· Suka bekerja keras
· tidak bersifat boros
· Mengharggai hak orang lain
D. Metode dan Peran Pondok Pesantren sebagai Sarana Pendidikan Karakter
Istilah “santri” konon berasal dari bahasa Sansekerta “shastri”, artinya orang yang
belajar kalimat suci dan indah. Para Wali Songo kemudian mengadopsi istilahtersebut
sebagai “santri”. Salah pengucupan dalam hal ini biasa, misalnya, kata “syahadatayn” di
xi
Jawa menjadi “sekaten” dan seterusnya. Jadi “shastri” atau “santri” adalah orang yangbelajar
kalimat suci dan indah yang menurut pandangan Wali Songo berarti kitab suci al-Quran dan
hadis. Kalimat-kalimat uci tersebut kemudian diajarkan, dipahami dan dimanifestasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Para kyai mengikuti cara dakwah Wali Songo dengan mencontohkan dan memberi
teladan yangbaik atau uswah hasanah. Jadi, uswah hasanah itu tidak hanya ada pada diri
Rasulullah adalah bahwa beliau tidak pernah menyuruh orang lain untuk berbuat baik,
sebelum beliau melakukan dan memberikan contoh terlebih dahulu. Keberhasilan pendidikan
ulama pesantren pada zaman dahulu juga dikarenakan mereka memberi keteladanan, dan
tidak pernah mengatakan apa pun yang tidak mereka lakukan.
xii
sepertimengatur keuangan yang dikirim orang tua agar cukup untuk sebulan, mencuci
pakaian, sampai pada persoalan yang serius seperti belajar dan memahami pelajaran.
Secara tidak langsung, pesantren juga mengajarkan para santri untuk menghargai
perbedaan suku, ras, bahasa, serta menciptakan pergaulan yang diistilahkan oleh Gus Dur
sebagai “kosmopolitanisme pesantren”. Para santri yag belajar di pondok pesantren datang
dari berbagai penjuru Tanah Air dengan latar belakang suku dan bahasa yang berbeda-beda.
Pergaulan lintas suku, bahasa dan daerah menjadikan para santri menyadari kebinekaan yang
harus dihargai dan menghayati semboyan bangsa kita, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Para kyai/nyai selalu memberikan wejangan kepada para santri sebagai calon
pemimpin dan agen perubahan di masa depan, sehingga dalam jiwa mereka tertanam
kesadaran untuk mempersiapkan diri menjalankan peran tersebut sekembalinya mereka ke
tengah –tengah masyarakat di kampung. Kepemimpinana yang dimaksudkan oleh pesantren
bukanlah dalam makna jabatan formal dan politik, melainkan kepekaan dan kepedulian
terhadap lingkungan sekitarnya, di mana mereka harus memandu dan mencerahkan
masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.
Kemandirian menjadi modal terpenting bagi para santri ketika terjun di tengah
masyarakat. Dengan jiwa mandiri, para santri tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming
jabatan formal, atau diintervensi oleh pihak-pihak yang memilki kepentingan tertentu. Hal ini
tidak lepas dari keteladanan para kyai/nyai, yang sebagian besar mendirikan pesantren
dengan jerih-payah mereka secara mandiri, berdasarkan keinginan yang kookoh untuk
berbagi ilmu pengetahuan agama kepad umat. Dari segi kurikulum dan sistem pembelajaran
pun, pesantren bersifat mandiri dan otonom. Jauh sebelum otonom pendidikan diwacanakan
dan dianjurkan oleh pemerintah, pesantren otonom pendidikannya, sangat kecil kemungkinan
untuk mengeneralisir corak pesantren di Indonesia.
Pesantren juga banyak berjasa bagi negeri ini, terutama dalam menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak awal negeri ini terlahir dari pesantren
yang mengawalnya dari waktu ke waktu, terutama pada saat-saat genting. Para tokoh
pesantren terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan dan merumuskan ideologi Pancasila
dan UUD 1945, serta menjaga komitmen NKRI sampai saat ini. Banyak dari mereka yang
dinobatkan sebagai pahlawan nasional, seperti Hadhrat al-Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH.
Wahid Hasyim dari Pesantren Tebu Ireng Jombang. Para kyai pesantren berkeyakinan bahwa
xiii
NKRI dengan ideologi Pancasila sudah final. Komitmen kebangsaan dan kecintaan mereka
pada Indonesia diperkuat oleh doktrin agama yang mengharuskan mereka untuk mencintai
Tanah Air. Jargon agama menyebutkan bahwa cinta Tanah Air adalah bagian dari iman,
“Hubb al-wathan min al-iman.”
Nusantara yang sebetulnya mencakup Asia Tenggara mulai dari Phipina, Thailand,
Brunei, Malaysia dan Indonesia, adalah wilayah keislaman yang damai. Islam yang dianut
tidak pernah ditegakkan dengan perang, tetapi disebarkan melalui ajaran dan tradisi para sufi
(tarekat) yang sangat besar pengaruhnya dalam corak keberislaman kita yang damai dan lebih
menekankan perilaku luhurdan anti-kekerasan. Berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang
dari waktu ke waktu ditegakkan dan dikawal dengan pedang, perang dan pertumpahan darah.
Nisa kita lihat, Islam yang terlahir dari negeri-negeri Timur Tengah kerp mengekspor banyak
kekerasan dan teror di Nusantara ini.
Setelah kemerdekaan, ada sekelompok orang yang menginginkan supaya tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang merupakan Pembukaan UUD 1945 dihapus. Kalimat “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Kemudian diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Inilah yang secara terus menerus
menjadi titik konflik. Siapakah yang memberikan ‘kata putus’ supaya tujuh kata itu dihapus?
Menurut penelitian para sejarawan mutakhir, ia adalah KH. Hasyim Asy’ari. Karena kalau
Kyai Hasyim tidak mengizinkan tujuh kata itu dihapus, maka tokoh-tokoh dari bagian timur
negeri ini akan memisahkan diri, dan kemungkinan mereka akan dimanfaatkan oleh pihak
Belanda yang berusaha menguasai Indonesia kembali. Jika itu terjadi, maka persatuan dan
kesatuan Indonesia akan pecah. Tetapi karena Kyai Hasyim memberikan izin, “Silahkan
tujuh kata itu dihapus, tidak masalah, yang penting Indonesia tetap bersatu dari Sabang
xiv
sampai Merauke,” mereka pun tetap bertahan. Inilah kearifan dan keikhlasan luar biasa yang
dipersembahkan oleh tokoh-tokoh pesantren untuk NKRI.
xv
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Octavia, Lanny dkk. 2014. Pendidikan Krakter Berbasis Tradisi Pesantren. Rene Book: Jakarta
Selatan:
Rosseno. 2008. Jembatan dan Menjembatani. Dalam Wiratman Wangsadinata dan G. Supriyitno
(ed.)-Edisi pertama. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Purba,Ego. “Penerapan Nilai-nilai Pancasila Sebagai Pendidikan
Krakter”. http://egoaspbatch2kelasb.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pancasila-penerapan-nilai-
nilai.htm.
“Pondok Pesantren Aji Mahaiswa Al-Muhsin STEBI Al-Muhsin”. 1 Januari
2017 http://stai.almuhsin.ac.id/main/ponpes.
xvii