FH Zulkarnain
FH Zulkarnain
MADZAB SEJARAH
ZULKARNAIN
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Pemikiran tentang hukum di abad ke-19 secara sederhana terbagi atas 3 (tiga) aliran
mazhab. Dimulai dari aliran positivisme, aliran utilitarianisme, dan mazhab sejarah.
Setiap aliran itu menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada
hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah Kelahiran mazhab
yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-
1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa
suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme
yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga
merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki
dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum perancis
(Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif (Lili Rasyidi, 1996: 68, 69).
Mazhab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam
dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak
dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht
gemacht, est ist und wird mit dem Volke).
Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum
adat. Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara
hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan
Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia (Lili
Rasjidi, 1991; 48 dan Lili Rasjidi, 1996; 70).
Gambar-1 tentang Inspirasi dan reaksi Madzab Sejarah di bawah ini menunjukkan,
terdapat 2 hal yang memicu kelahiran Madzab Sejarah ini yakni; buku Montesqui eu
"L' esprit des Lois" dan paham nasionalisme yang mulai tumbuh pada awal abad ke-
19. Kedua hal itu, tampak sangat menonjol memberi inspirasi kepada Savigny untuk
Gambar-1
Inspirasi dan Reaksi Madzab Sejarah
W. Friedman (1993: 86) mengatakan bahwa gagasan yang benar-benar penting dari
L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas
beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan
seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Dengan ide inilah, Montesquieu mulai dengan studi perbandingan mengenai undang-
undang dan pemerintahan.
R.Haryono Iman dalam kata pengantarnya pada buku Montesquieu yang berbahasa
Indonesia ini memformulasikan bahwa sistem hukum positif di berbagai masyarakat
politik yang berbeda-beda adalah relatif terhadap berbagai faktor: terhadap watak
masyarakat, terhadap hakikat dan asas bentuk-bentuk pemerintahan, iklim dan
kondisi ekonomi dan sebagainya. Keseluruhan hubungan ini membentuk jiwa
undang-undang yaitu ration d'etre bagi hukum atau landasan bagi adanya hukum.
Faktor fisik yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibat fisiologi dan mental
tertentu. Yang harus juga dipertimbangkan adalah keadaan dataran, kepadatan
penduduk dan daerah kekuasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud
Gambar-2
Faktor-faktor Pembentuk Jiwa Undang-undang dan Peranannya
terhadap Sistem Hukum Positif
Tentulah usul Thibaut, ahli hukum perdata Jerman, yang menghendaki agar di
Jerman diperlakukan kodefikasi perdata dengan berdasarkan hukum Perancis (Code
Napoleon) dirasakan tidak selaras dengan semangat nasionalisme Jerman yang pada
waktu itu sedang menggelora. Eforia nasionalisme yang cenderung chauvinistik
tersebut mustahil dapat menerima upaya pembentukan hukum yang berasal dari
jiwa bangsa lain (dalam hal ini Perancis yang meninggalkan Jerman).
Dalam suasana demikian. Savigny mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan
menyemaikan ajarannya yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa memiliki
"volgeist" (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat
diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya.
Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika
terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat
tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari
hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
Selanjutnya jika pokok-pokok ajaran madzab sejarah itu ditampilkan dalam suatu
matriks akan tampak seperti pada tabel-1 berikut ini:
Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan
lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori
oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian
juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa
antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang
saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk
hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.
Jika pemikiran Maine di atas ditampilkan dalam suatu matriks akan tampak lebih
kurang seperti pada Tabel-2 berikut ini.
Tabel-2
PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN HUKUM YANG BERLAKU
No. Perkembangan Masyarakat Dsr Kedudukan Hukum Hukum yg Berlaku
1 Trasional (Kuno) Status Fiksi
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang
mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan
mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut
madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa (Sudikno Mertokusumo, 1986:
100). Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum
kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap
semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan
yakni (Lili Rasjidi, 1991: 49):
1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan
perundang-undangan);
2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya
tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Sikap seperti itu menegasikan perubahan masyarakat. 0leh karena itu, Savigny
menentang perubahan hukum. Menurut madzab sejarah ini, tugas seorang yuris dan
pembentukan hukum adalah untuk mengadakan verifikasi dan memformulasikan
hukum kebiasaan yang ada secara esensial hukum berfungsi untuk mengadakan
stabilisasi, dan bukan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan (Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1987: 35).
Sifat tidak tertulis dari suatu aturan hukum juga dapat mengundang tindakan
sewenang-wenang dari kekuasaan absolut (Lili Rasjidi, 1991: 49). penguasa dapat
saja menyelewengkan makna dari jiwa masyarakat sesuai dengan harapannya
sendiri. Para ahli hukum yang bertugas menemukan hukum tidak mustahil diarahkan
Oleh karena itulah, maka Baseler (W. Friedman, 1994: 62) menentang konsepsi
romantis Savigny bahwa ahli hukum adalah agen kesadaran umum dengan
mengatakan bahwa, sebaliknya hukum rakyat, berbeda dari pengetahuan teknis dan
artifisial dari ahli hukum.
Selanjutnya, konsep jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan
secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi
dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini.
Pendeknya Friedman (1994: 59) mengatakan bahwa konsep itu masih terlalu umum.
Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa
perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana
yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap bagi zaman-zaman sebelum
"corpus yuris" membentuk kodefikasi yang final (W.Friedman, 1994: 62).
Friedman. W., 1993, Teori & Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori
Hukum (Susunan I), Diterjemahkan Muhammad Arifin, Cetakan
Kedua, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
___________, 1994, Teori & Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema
Keadilan (Susunan II), Diterjemahkan Muhammad Arifin. Cetakan
Kedua. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan
Kedua, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Montesquieu, 1993, Membatasi Kekuasaan -Telaah Mengenai Jiwa Undang-
undang, Alih bahasa J.R. Sunaryo. Cetakan Kedua, Penerbit PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Diedarkan
oleh Penerbit Binacipta.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1987, Renungan tentang Filsafat
Hukum, Cetakan Keempat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Rasjidi, Lili, 1991, Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?, Cetakan Kelima,
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
_________, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cetakan ke-7, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Soekanto, Soerjono dan R.Otje Salman, 1987, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial
(Bahan Bacaan Awal) , Cetakan Pertama, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta.