Anda di halaman 1dari 6

A.

      Pendahuluan
Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat
Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran zaman. Pada
dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa tampilan Islam itu beragam, karena
lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam, perubahan jaman telah membawa
budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya, ada komunitas yang senang menampilkan
Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang senang pemerintahan republik. Bahkan,
ada yang ingin kembali ke pemerintah bentuk khilafah Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an
dan Hadis dalam memahami ajaran Islam.
Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama
Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman
itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatik buta dapat diredam, sejarah tampilan ajaran
Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses terselengaranya syariat Islam
di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat dipahami. Alasan kebijakan para tokoh
Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti. Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi
perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.
Di antara tokoh yang ada di era kontemporer ini adalah Ismail Al-Faruqi dan  Hasan Hanafi.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam masa kini tentang pemikiran tokoh
yang telah disebutkan di atas.

B.       Ismail Al-Faruqi


1.      Riwayat Singkat Ismail al Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya
dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa
pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail
lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai
Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada
tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of
Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar
doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.[1]
Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada,
Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple
University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah
dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan
tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa
Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang
Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis
Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei
1986 di rumahnya.[2]

2.      Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi


Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications
for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:

a.    Tauhid sebagai inti pengalaman agama


Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi
sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan
mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar
merupakan obsesi yang agung.[3] Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah
realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.[4]

b.    Tauhid sebagai pandangan dunia


Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu,
sejarah manusia, dan takdir.

c.    Tauhid sebagai intisari Islam


Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang
dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya
sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.[5]

d.    Tauhid sebagai prinsip sejarah


Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika
keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya
dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is
terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya
pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai
suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi[6]

e.    Tauhid sebagai prinsip pengetahuan


Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran,
bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi
iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal,
melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian
keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran[7]

f.      Tauhid sebagai prinsip metafisika


Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis,
sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa
yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai
kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan
meringkas pandangan umat Islam tentang alam.[8]

g.    Tauhid sebagai prinsip etika


Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat
yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa
pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus
direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu
melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun
di atasnya.[9]

h.    Tauhid sebagai prinsip tata sosial


Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam 
adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai
anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus
mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan
klaim keislamannya.[10]
i.      Tauhid sebagai prinsip ummah
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga
identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal
mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu.
Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut
diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang
kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan
tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.[11]

j.      Tauhid sebagai prinsip keluarga


Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan
kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan
tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap
lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.
[12]

k.    Tauhid sebagai tata politik


Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai
kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-
iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan
akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah
pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan
tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan[13]

l.      Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi


Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada
seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun
boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk
mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.[14]

m.  Tauhid sebagai prinsip estetika


Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang
kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada
dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.[15]

C.      Hasan Hanafi


1.                Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya diawali pada
tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di
Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan
Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi
tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia
berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.[16]
Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah
satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat
tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu
kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi
kesejahteraan umat manusia.
2.                Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a.        Kritik terhadap teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan
konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir
dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal
ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi
sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari
kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan
modern harus dilakukan.[17]
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan
kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang
merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang
terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu
sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu.
Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.[18]
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk
kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam
adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis),
bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni
pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan,
yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.[19]
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan
pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu
saja secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan
verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.[20]
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-
benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan
teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia
sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat
teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan
negativisme.[21]

b.        Rekontruksi Teologi


Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan saran rekontruksi teologi.
Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat
bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun kembali
epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epiatemologi baru yag sahih dan lebih
signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-
dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social,
yang menjadikan keimanan-keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual sebagai landasan
etik dan motivasi manusia.[22]
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem
kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam
(al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi.
Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla adalah revolusi
sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya dengan mengaitkan
filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi zaman saat itu.[23] 
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah
gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi
teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya
dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
1)        Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global anatar
berbagai  ideologi.
2)        Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak pada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. Salah satu
kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara
muslim.
3)        Keperingan teologi yang bersifat praktis  (amaliyah fi’liyah) yang secara nyata diwujudkan
dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu
teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde[24]
Menurut Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika
mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret dagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu pertama-tama untuk mentranformasikan teologgi
menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tenntang kemanusiaan, baik secara
eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam yaitu:
1)      Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan nenek
moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan
sejak dulu. Teologi tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut
Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang
empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta
ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
2)      Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis
munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi
kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap prilaku
para pendukungnya. Analsis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kea rah mana
teologi kontemporer harus diorientasikan.[25]

D.      Penutup
Dari peembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi terletak
pada inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam
setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum
tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah
terdiri dari tiga identitas yaitu Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan Kemerdekaan.
Tauhid tidak menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan keindahan.Islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan
dalam firman-firman-Nya.
Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan
yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat
manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan
antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-Fikr,
1991

Al-Faruqi, Ismail  Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988

Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta:Logos,
1999

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998

Anda mungkin juga menyukai