Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Herlina

Kelas : Profesi Bidan

Hubungan Sosial Budaya dengan Persalinan dan Bayi

1. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak
membawa perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal perubahan
pola hidup maupun tatanan social termasuk dalam bidang kesehatan yang sering
dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung dengan norma dan
budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam suatu tempat
tertentu.
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peran penting dalam
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan social
budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam
suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir.
Perubahan social dan budaya bisa memberikan dampak positif maupun negative.
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya
sebagai salah satu contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat
bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka.
Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap
kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang
tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses
terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya
yang dianut hubungannya dengan kesehatan.
2. Hasil
Tradisi Masyarakat Jawa Ibu melahirkan Babaran, mbabar dapat diartikan:
sudah selesai, sudah menghasilkan dalam wujud yang sempurna. Babaran juga
menggambarkan selesaianya proses karya batik tradisional. Istilah babaran juga
dipakai untuk seorang ibu yang melahirkan anaknya. Ubarampe yang
dibutuhkan untuk selamatan kelahiran adalah Brokohan. Ada macam macam
ubarampe Brokohan. Pada jaman ini Brokohan basanya terdiri dari :beras, telur,
mie instan kering, gula, teh dan sebagainya. Namun jika dikembalikan kepada
makna yang terkandung dalam selamatan bayi lahir, brokohan cukup dengan
empat macam ubarampe saja yaitu:
1. kelapa, dapat utuh atau cuwilan
2. gula merah atau gula Jawa
3. dawet
4. telor bebek
Makna dari keempat macam ubarampe tersebut adalah:
1. Kelapa: daging kelapa yang berwarna putih adalah manifestasi dari sukra
(bahasa Jawa kuna) yaitu sperma, benihnya laki-laki, bapak
2. Gula Jawa: berwarna merah adalah manifestasi dari swanita (bahasa Jawa
kuna) yaitu sel telur, benihnya wanita, ibu.
3. Dawet : dawet terdiri dari tiga bahan yaitu:
a. santan kelapa, berwarna putih wujud dari sperma, benihnya Bapak.
b. juruh dari gula Jawa yang berwarna merah wujud dari sel telur, benihnya
Ibu.
c. cendol dari tepung beras manifestasi dari jentik-jentik kehidupan.
4. Telor bebek, Ada dua alasan mengapa memakai telor bebek, tidak memakai
telor ayam.
a. Alasan yang pertama: telor bebek kulitnya berwarna biru, untuk
menggambarkan langit biru, alam awang-uwung, kuasa dari atas.
b. Alasan kedua: biasanya telur bebek dihasilkan dari pembuahan bebek
jantan tidak dari endog lemu atau bertelur karena faktor makanan.
Dengan demikian telor bebek kalau diengrami dapat menetas, artinya
bahwa ada roh kehidupan di dalam telor bebek.
Melalui keempat macam ubarampe untuk selamatan bayi lahir tersebut, para
leluhur dahulu ingin menyatakan perasaannya yang dipenuhi rasa sukur karena
telah mbabar seorang bayi dalam proses babaran. Keempat ubarampe yang
dikemas dalam selamatan Brokohan tersebut mampu menjelaskan bahwa
Tuhan telah berkenan mengajak kerjasama kepada Bapak dan Ibu untuk
melahirkan ciptaan baru, mbabar putra. Melalui proses bersatunya benih bapak
(kelapa) dan benihnya Ibu (gula Jawa) yang kemudian membentuk jentik-jentik
kehidupan, (dawet) Tuhan telah meniupkan roh kehidupan (telor bebek) dan
terjadilah kelahiran ciptaan baru (brokohan). Jika pun dalam perkembangannya
selamatan Brokohan untuk mengiring kelahiran bayi menjadi banyak macam,
terutama bahan-bahan mentah, hal tersebut dapat dipahami sebagai ungkapan
rasa syukur yang ingin dibagikan dari keluarga kepada para kerabat dan
tetangga. Namun keempat ubarampe yang terdiri dari kelapa, gula Jawa, dawet
dan telor bebek, masih perlu untuk disertakan dan direnungkan, agar kelahiran
manjadi lebih bermakna.
Dalam budaya Jawa, kelahiran seorang anak manusia ke dunia, selain
merupakan anugerah yang sangat besar, juga mempunyai makna tertentu. Oleh
karena itu, pada masa mengandung bayi hingga bayi lahir, masyarakat Jawa
mempunyai beberapa uapacara adat untuk menyambut kelahiran bayi tersebut.
Upacara-upacara tersebut antara lain adalah mitoni, upacara mendhem ari-ari,
brokohan, upacara puputan, sepasaran dan selapanan. 
Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari
lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari
weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada
penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan
bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan masehi yang berjumlah 7
hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu angka dari kelipatan 5 dan 7. Di
luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat kuat bagi kehidupan si
bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun.
Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan
kesehatan bayi. 
Yang pertama dilakukan dalam rangkaian selapanan, adalah potong rambut
atau parasan. Pemotongan rambut pertama-tama dilakukan oleh ayah dan ibu
bayi, kemudian dilanjutkan oleh sesepuh bayi. Di bagian ini aturannya, rambut
bayi dipotong habis. Potong rambut ini dilakukan untuk mendapatkan rambut
bayi yang benar-benar bersih, diyakini rambut bayi asli adalah bawaan dari lahir,
yang masih terkena air ketuban. Alasan lainnya adalah supaya rambut bayi bisa
tumbuh bagus, oleh karena itu rambut bayi paling tidak digunduli sebanyak 3
kali. Namun pada tradisi potong rambut ini, beberapa orang ada yang takut
untuk menggunduli bayinya, maka pemotongan rambut hanya dilakukan
seperlunya, tidak digundul, hanya untuk simbolisasi. Setelah potong rambut,
dilakukan pemotongan kuku bayi. Dalam rangkaian ini, dilakukan pembacaan
doa-doa untuk keselamatan dan kebaikan bayi dan keluarganya. Upacara
pemotongan rambut bayi ini dilakukan setelah waktu salat Maghrib, dan dihadiri
oleh keluarga, kerabat, dan tetangga terdekat, serta pemimpin doa. Acara
selapanan dilakukan dalam suasana yang sesederhana mungkin. Sore harinya,
sebelum pemotongan rambut, masyarakat merayakan selapanan biasanya
membuat bancaan yang dibagikan ke kerabat dan anak-anak kecil di seputaran
tempat tinggalnya. Bancaan mengandung makna agar si bayi bisa membagi
kebahagiaan bagi orang di sekitarnya.
Adapun makanan wajib yang ada dalam paket bancaan, yaitu nasi putih dan
gudangan, yang dibagikan di pincuk dari daun pisang. Menurut Mardzuki,
seorang ustadz yang kerap mendoakan acara selapanan, sayuran yang
digunakan untuk membuat gudangan, sebaiknya jumlahnya ganjil, karena dalam
menurut keyakinan, angka ganjil merupakan angka keberuntungan. Gudangan
juga dilengkapi dengan potongan telur rebus atau telur pindang, telur ini
melambangkan asal mulanya kehidupan. Selain itu juga beberapa sayuran
dianggap mengandung suatu makna tertentu, seperti kacang panjang, agar bayi
panjang umur, serta bayem, supaya bayi hidupanya bisa tentram.
Menjelang persalinan membutuhkan beberapa perlengkapan khusus,
demikian pula bagi Suku Dayak ada beberapa perlengkapan suku dayak
menjelang persalinan atau proses melahirkan yang harus dipersiapkan
sedemikian rupa untuk menggelar beberapa ritual atau upacara adat suku
Dayak dalam menjelang dan menyambut kelahiran seorang bayi. Kultur budaya
suku Dayak Kalimantan Tengah menempatkan kaum wanita pada derajat yang
tinggi. Tak heran, kedudukan wanita dalam masyarakat dayak memang spesial,
kaum perempuan selalu mendapatkan perhatian penuh, terlebih saat proses
menjelang persalinan.
Fase Melahirkan dalam budaya Suku Dayak mengisyaratkan perlunya
sejumlah persiapan termasuk persiapan perlengkapan suku dayak menjelang
persalinan. Pada proses jelang melahirkan bayi atau Awau, sang calon ibu
dibaringkan pada sebuah dipan kecil dengan posisi miring terbuat dari kayu
yang disebut Sangguhan dengan motif ukiran Dayak di masing-masing sisi.
Kemudian saat melahirkan, disiapkan pula Botol Mau sebagai tempat untuk
menungku perut ibu agar darah kotor cepat keluar. Selain sebagai perlengkapan
suku dayak menjelang persalinan Botol Mau ini juga digunakan untuk menyiman
air panas. Selanjutnya, keluarga yang melahirkan juga perlu menyiapkan Kain
Bahalai (Jarik dalam bahasa Jawa) dengan lapisan yang berbeda. Tujuh lapis
kain bahalai saat menyambut bayi laki-laki dan lima lapis kain bahalai untuk bayi
dengan jenis kelamin perempuan. Walaupun sebagai peralatan penunjang,
keberadaannya dalam persiapan prosesi persalinan menurut budaya Suku
Dayak mutlak diperlukan. Pada fase ketika bayi telah lahir, maka tali pusar atau
ari-ari bayi dipotong menggunakan sebuah sembilu. Untuk tahap pertama dan
pemotongan terakhir ari-ari dengan uang ringgit. Kedua perlengkapan suku
dayak menjelang persalinan tersebut disiapkan sejak awal dalam sebuah piring
atau Paraten. Sedangkan ari-ari yang terpotong tadi disimpan di dalam Kusak
Tabuni.
Bayi (awau) yang baru lahir dimandikan dalam Kandarah, dan popok bayi
yang digunakan disimpan dalam Saok. Bagi sang ibu setelah melahirkan biasa
menggunakan Stagen (Babat Kuningan) untuk mengikat perut agar
mengembalikan perut ibu ke kondisi semula dengan cepat. Tentunya untuk
menjaga tubuh ibu setelah melahirkan dan juga berfungsi untuk berjaga-jaga
dalam kondisi yang tidak terduga seperti sulitnya bayi keluar, masyarakat Dayak
memiliki cara yang khas dan bernuansa magis, yakni menggunakan buah kelapa
yang bertunas untuk kemudian disentuhkan ke arah selaput bayi. Tujuan
perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut adalah agar dapat
membuka ruang sehingga bayi dapat keluar dengan mudah.
Tradisi Masyarakat NTT Ibu melahirkan, proses melahirkan dengan di urut
oleh seseorang yang diangap ahli, Setelah ada kelahiran bayi diadakan upacara
atau ritual selamatan, perlakuan masyarakat Nusa Tenggara Timur terhadap ari-
ari:
1. Tali pusat dipotong menggunakan kulit bambu.
2. Ditaruh sekitar 3 bulan di atas perapian sampai kering.
3. Selanjutnya di tanam di sertai doa dan alat-tulis.
3. Simpulan
Pandangan budayawan tentang lokasi melahirkan dan sifatnya tidak sama
dalam berbagai kebudayan. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan
suatu proses yang semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja,
karena pada saat itu, dari rahim sang ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya
dikategorikan sebagai unsur kotor, seperti darah, air ketuban, tali pusat dan
plasenta. Tentang ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan,
Setiap kebudayaan memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan
obat-obatan yang dapat digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan
lahirnya sang bayi.Umumnya bahan obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang
diracik dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara, atau
bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau
pelancar proses persalinan. Gambaran-gambaran di atas telah menunjukkan
interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial yang terwujud dalam kegiatan
menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku, masing-masing dengan
peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung, tidak saja bagi sang
bayi, melainkan juga bagi perawatan plasentanya.

Anda mungkin juga menyukai