Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Disusun oleh :

1. Ary Tri P (B2101003)


2. Hari Handayani (B2101009)
3. Yuni Dwi P (B2101021)
4. Yuyun Apriana (B2101022)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb

Alhamdulilah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik, hidayah dan karunia- NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Taruma Kepala

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan dan
pengatahuan pembaca.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah


memberikan tugas pembuatan makalah ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan kami. Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat untuk perkembangan
dan peningkatan ilmu pengetahuan,

Wasalamua’alaikum wr.wb

Klaten, 10 November 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut penelitian nasional Amerika Guerrero et al (2000) di bagian
kegawatdaruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma
pada anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh
benda keras.Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi
cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa; kecelakaan
kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera
utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala
mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen.
Trauma kepala dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada usia dini
(Osborn, 2003).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun,
lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia
dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen
(Widiyanto, 2007). Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih
kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini
disebabkan karena struktur anatomic dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang
majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak,
jaringan syaraf, pembuluh darah dan tulang (Retnaningsih, 2008).
Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan
perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia
produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah
disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan yang terlambat
(Sezanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2013). Melihat masalah di atas dan peran
perawat dalam menangani masalah cedera kepala sedang, maka penulis tertarik untuk
melakukan studi kasus asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah cedera
kepala sedang.

1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan proses
keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
BAB II
KONSEP DASAR TEORI

2.1 Pengertian

Cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur
tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral
subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak (Doenges, 2000). Cedera
kepala sedang adalah cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan
abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Arif,
2000).

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat
sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan
fungsi fisiologis lainnya.Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai
berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk
tengkorak dan otak (Soertidewi, 2006).

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation of America, 2009).

2.2 Etiologi

Penyebab cedera kepala antara lain (Rosjidi, 2007):

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.


2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

2.3. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera


otak. 1. Cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)

a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.


b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
d. Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan

3. Cedera kepala berat (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesadaran
b. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut

2.3 Faktor risiko

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi nilai


glasglow coma scale (GCS) rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan
keadaan sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain
menunjukkan, 30-60 % pasien cedera kepala dengan Intra Cranial Pressure (ICP) tidak
terkontrol meninggal dan berbeda dengan penelitian besar lainnya dijumpai hasil
outcome yang lebih baik dengan cacat sedang (Moulton, 2005).

Meski masih dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan


penilaian klinis terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan salah satu faktor
terhadap faktor lain dalam peranannya terhadap prognosis pasien cedera kepala juga
masih diperdebatkan. Hal ini yang masih menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis
tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya variabel dalam keberhasilan menentukan
keputusan pengobatan. Namun, tidak bisa tidak, faktor- faktor tersebut sedikit banyak
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penanganan pasien (Bahloul, 2009; Kan,
2009).

1. Faktor usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro,
2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip
menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak. Hal ini
karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah
robeknya bridging vein pada usia tua (Narayan, 2000).
2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan
kondisi hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades,
2004).Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan
hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk
prognosis penyembuhan (Bowers, 1980). Miller (2004) menemukan 13%
penderita dengan hipotensi dan 30 % dengan hipoksia pada saat tiba di unit
gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala, hipotensi biasanya
disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian kecil mungkin
karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di medula oblongata.
Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada penderita- penderita
dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat, dibandingkan dengan
angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa hipotensi sistemik.
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera
iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan
mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor
utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan
satu-satunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa.
Adanya satu episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan
meningkatkan morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti
akan menurunkan morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat,
2006). Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospectivenya menemukan bahwa
hipotensi intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan
kematian tiga kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi
dengan peningkatan derajat keparahan masih belum jelas, tetapi pada autopsi
90% pasien cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat
ischemic (Stieffel, 2005).
3. Hipoksia
Katsurada, dkk., melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat
dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg,
51% mempunyai perbedaan oksigen alveolar- arterial lebih dari 30% ; 14%
mendapat hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (2004) mendapatkan bahwa
30% dari penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia

2.4 Patofisiologi

Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi
bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti
proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan
itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua : 1. Cedera otak primer Cedera
otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari efek
mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak
dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak. 2. Cedera
otak sekunder Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai segera setelah trauma tetapi
tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan
oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak,
gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kerusakan otak.

Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak
irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan
mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan
sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut
proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan
menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak
cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh
beberapa proses dan faktor dibawah ini : a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan
herniasi yang terdiri dari : perdarahan intracranial dan edema serebral b. Iskemik
cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi serebral, hipotensi arterial,
hipertensi intracranial, hiperpireksia dan infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi,
vasospasme serebri dan kejang Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang
ditandai dengan aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh
darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.

Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama
sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang
memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu
ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan
limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam proses
fagositosis (Riahi, 2006). Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma
sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi,
akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra
Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai
kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi.
Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator
lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa- senyawa ini akan memacu
terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel
radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).

2.5 Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek,
secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1. Mekanisme cedera kepala Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil/motor, jatuh atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
2. Beratnya cedera Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR) GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia
retrograde.
b. Cedera kepala sedang (CKS) GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau
amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
c. Cedera kepala berat (CKB) GCS lebih kecil atau sama dengan 8,
kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

2.6 Komplikasi
a. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-
110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut.
b. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
c. Kebocoran cairan serebrospinal Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat
sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal
akan merobek meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area
drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan
steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
d. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah satu
komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-25%
(dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, glasglow coma scale (GCS)
e. Demam dan menggigil Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan
metabolisme dan memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan,
infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
f. Hidrosefalus Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada
cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, pupil
odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
g. Spastisitas Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa
penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan
kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi
posisi dan latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting,
casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum
dan benzodiazepin.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepala
adalah :
1. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap. Pada
pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan
meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila
kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh
dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan
perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf
yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II
(optikus), nervus III (okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V
(trigeminus), nervus VI (abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus),
nervus IX (glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII
(hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan nervus hipoglosus (pada otot
belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto Rontgen Polos Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan
kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan.
Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior- posterior. Bila lesi
terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior- anterior. Bila lesi terdapat di
daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi
kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii,
maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar
rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang
rahang bawah).
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI adalah teknik pencitraan yang lebih
sensitif dibandingkan dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan).
Kelainan yang tidak tampak pada Computed Temografik Scan (CT-Scan)
dapat dilihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan
waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan Computed Temografik
Scan (CT-Scan) sehingga tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.
c. Electroencephalogram (EEG) Electroencephalogram (EEG) : Peran yang
paling berguna dari Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin
untuk membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi
landmark pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus pada
pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non
konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan
bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan Electroencephalogram
(EEG) terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola
penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan
keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.

2.8 Penatalaksanaan Medik


Menurut Sezanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan
cedera kepala adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi. 3. Pemberian analgetik.
3. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
4. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
5. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
6. Pembedahan. Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip
penanganan untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika
mentosa digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem
pada gambaran profil Computed Temografik Scan (CT-Scan) pada
pasien .Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip
penatalaksanaan pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran
oksigen dengan induksi koma
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Menurut Rendi (2012), asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala


meliputi:
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir,
golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan,
alamat.
c. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, 2008). Biasanya klien akan mengalami
penurunan kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala
klien yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindaka kejahatan.
d. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual
dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis,
perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia
seputar kejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan
mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan
2) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system persyarafan,
riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit
sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia,penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,vasodilator
obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol (Muttaqin, A. 2008 ).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti hipertensi,
diabetes mellitus, dan lain sebagainya
e. Per meriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
a) Kuantitati dengan penilaian Glasgow Coma Scale

No Komponen Nilai Hasil


1 Verbal 1 Hasil Berespon
2 Suara tidak dapat
3 dimengerti Rintihan
4 Bicara Ngawur/tidak
5 nyambung Bicara

Membingunkan Orientasi
baik
2 Motorik 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menghindari area
5 nyeri Melokalisasi
6
nyeri
Ikut perintah
3 Reaksi Membuka Mata 1 Tidak berespon
(Eye) 2 Dengan ransangan
3 nyeri Dengan perintah
4 (sentuh) Spontan

Tabel 1.1 Penilaian GCS


b) Kualitatif
(1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai
GCS: 11-10.
(1) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
(2) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
(3) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai
GCS: ≤ 3 (Satyanegara.2010).
2) Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional:
Kekuatan otot

Respo Skala
n
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, 4
namun
tidak mampu melawan tahanan pemeriksa, gerakan
tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, terangkat sedikit <450, Tidak mampu 3
melawan
gravitasi
Kelemahan berat, dapat digerakkan, mampu terangkat sedikit 2
Gerakan trace/tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1
Tidak ada gerakan 0

Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya


berkisar antar 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang
dialami klien.
3) Pemeriksaan reflek fisiologis
a.) Reflek bisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk,
dengan membiarkan lengan untuk beristirahat dipangkuan pasien, atau
membentuk sudut sedikit lebih dari 900 di siku, minta pasien
memflexikan di siku sementara pemeriksa mengamati dan meraba fossa
antecubital, tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal,
ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps
brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku, normalnya
terjadi fleksi lengan pada sendi siku.
b.) Reflek trisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk,
secara perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga
membentuk sudut kanan di bahu atau lengan bawah harus menjuntai ke
bawah langsung di siku, ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan
fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi, normalnya terjadi ekstensi
lengan bawah pada sendi siku.
c.) Reflek patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau
berbaring terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi
kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris.
d.) Reflek achiles
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien dduduk,
kaki menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang
dengan posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau
mengatur kaki dalam posisi tipe katak, identifikasi tendon mintalah
pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer pada tendon achilles.
Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
(Muttaqin, 2010).
4) Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus- kasus
tertentu.
a.) Reflek babynski
Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki
diluruskan, tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki
pasien agar kaki tetap pada tempatnya, lakukan penggoresan
telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior, respon:
posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi keluarga jari kaki dan
pengembangan jari kaki lainnya.
b.) Reflek chaddok
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar malleolus
lateralis dari posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan
dorsofleksi keluarga jari, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki
lainnya.
c.) Reflek oppenheim
Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke
distal, amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi keluarga jari kaki,
disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
d.) Reflek Gordon
Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada
tidaknya gerakan dorsofleksi keluarga jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
e.) Reflek hofmen tromen
Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang lain.
Normalnya jari-jari lain tidak bergerak (Muttaqin, A. 2010).
f. Aspek neurologis
a) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-
13, cedera kepala berat 3-8).
b) Disorientasi tempat/waktu
c) Reflek patologis dan
fisiologis 4.)
Perubahan status
mental
d) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
e) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia
kehilangan sebagian lapang pandang
f) Perubagan tanda-tanda vital
g) Gangguan pengecapan dan penciuman, serta
pendengaran
Tanda-tanda peningkatan TIK
a) Penurunan kesadaran
b) Gelisah letargi
c) Sakit kepala
d) Muntah
e) Pelambatan nadi
f) Pelebaran tekanan nadi
g) Peningkatan tekanan darah systole
h) Pupil udem
g. Aspek kardiovaskuler
1.) Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
2.) Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)

3.) TD naik, TIK naik


h. System pernafasan
1.) Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi stridor, tersedak
2.) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
3.) Ronki, mengi positif
i. Kebutuhan dasar
1.) Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi,
hematuri)
2.) Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji
bising usus
3.) Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
j. Pengkajian psikologis
1.) Gangguan emosi/apatis, delirium
2.) Perubahan tingkah laku atau kepribadian
k. Pengkajian social
1.) Hubungan dengan orang terdekat
2.) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
disartria, anomia
l. Nyeri/kenyamanan
1.) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda 2.)

Gelisah
m. Nervus cranial
1.) N.I : penurunan daya penciuman
2.) N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
3.) N.III, IV, VI : penurunan lapang pandang, reflek cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah,anisokor
4.) N.V : gangguan mengunyah
5.) N.II, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah
6.) N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
7.) N.IX, X, XI : jarang ditemukan
2. Masalah keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif
c. Nyeri akut
d. Risiko defisit nutrisi
e. Defisit Perawatan Diri
f. Risiko infeksi
g. Kerusakan integritas kulit
h. Hipovolemia
i. Risiko cedera
j. Penurunan kapasitas adaptif intracranial
k. Hipertermi
l. Risiko penurunan curah jantung
3. Intervensi
Tabel 1.2 Intervensi Keperawatan Teoritis

No Diagnosis(SDKI, 2017) Kriteria Hasil(SLKI, 2019) Tindakan Keperawatan(SIKI, 2018) Rasional


Setelah dilakukan tindakan Pemantauan neurologis Observasi
1. Risiko perfusi serebral tidak keperawatan diharapkan Observasi: a. Untuk mengetahui reaksi pupil
efektif perfusi serebral meningkat. a. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan b. Untuk mengetahui tingkat
Kriiteria Hasil : dan reaktifitas pupil kesadaran
1. Tingkat Kesadaran b. Monitor tingkat kesadaran c. Untuk mengetahui kondisi
cukup meningkat c. Monitor tingkat orientasi vital pasien
2. Tekanan intrakranial d. Monitor tanda-tanda vital d. Untuk mengetahui status
cukup menurun e. Monitor status pernapasan pernaasan pasien
3. Tekanan darah sistolik f. Monitor ICP DAN CPP e. Untuk mengetahui kondisi
dan diastolic cukup g. Monitor reflek kornea balutan
membaik h. Monitor balutan kraniatomi dan f. Untuk menilai respon pasien
4. Tekanan nadi cukup laminektomi terhadap adanya terhadap pengobatan yang di
membaik drainase berika
i. Monitor respon pengobatan Terapeutik :
Terapeutik: a. Untuk lebih mengetahui secara
a. Tingkatkan frekuensi pemantauan signifikan kondisi neurologis
neurologis, jika perlu pasien
b. Hindari aktivitas yang dapat b. Untuk menghindari hal yang
meningkatkan tekanan intracranial berisiko
c. Atur interval waktu pemantauan c. Agar pemantauan sesuai
sesuai dengan kondisi pasien kondisi pasien
d. Dokumentasi hasil pemantauan d. Untuk mengetahui keadaan
Edukasi pasien
a. jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
b. informasikan hasil pemantauan Edukasi :
a. Agar pasien mengetahui tujuan
dan prosedur pemantauan
b. Agar pasien mengetahui
kondisinya

2. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
efektif keperawatan maka bersihan Observasi: Observasi:
jalan nafas a. Monitor pola napas a. Mengetahui pola nafas klien
membaik dengan kriteria b. Monitor bunyi napas tambahan b. Mengetahui bunyi
hasil : (mis:gurgling, mengi, nafas tambahan klien
1. produksi sputum menurun wheezing, ronghi) c. Mengetahui jumlah dan
2. wheezing menurun c. Monitor sputum warna sputum klien
3. Gelisah menurun (jumlah,warna,aroma) Terapeutik
Terapeutik a. Menjaga kebersihan
a. Pertahankan kepatenan jalan jalan nafas klien
napas b. Pmengatur posisi klien dengan
b. Posisikan semi fowler kepala lebih tinggi
atau fowler c. Membersihkan jalan
c. Lakukan penghisapan nafas kurang dari 15 detik
lendir kurang dari 15 detik Edukasi
Edukasi Menyarankan pemberian
Anjurkan asupan cairan asupan cairan 2000ml
2000ml/hari, jika tidak Kolaborasi
kontraindikasi a. Bekerjasama dalam pemberian
Kolaborasi obat pengencer lendir
a. Kolaborasi pemberian b. Memantau pernapasan
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
b. Pemantauan Respirasi
3 Nyeri akut Setelah tindakan Manajemen Nyeri Manajemen nyeri
keperawatan, diharapkan Observasi Observasi:
partisipan mampu menangani a. Lakukan pengamatan pada a. Agar mengetahui lokasi,
masalah nyeri dengan lokasi, karakteristik, durasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
indikator : frekuensi, kualitas dan intensitas kualitas dan intensitas nyeri
a. Rasa nyeri berkurang nyeri. b. Mengetahui skala nyeri
b. Tidak kesulitan b. Identifikasi skala nyeri. c. Melihat respon nyeri pada
tidur c.Gelisah c. Perhatikan respon nyeri pada wajah klien
berkurang wajah klien.
d. Frekuensi nadi d. Identifikasi faktor yang
d. Mengetahui factor yang
memperberat nyeri
membaik memperberat serta meringankan
e.Pola nafas normal nyeri. e. Menilai tingkat pengetahuan
(SLKI, 2019) e. Identifikasi pengetahuan tentang nyeri terhadap nyeri
nyeri. f. Mengetahui budaya
f. Identifikasi budaya terkait respon terkait respon nyeri
nyeri. g. Mengetahui keberhasilan dari
g. Pantau keberhasilan terapi terapi komplementer yang
komplementer yang telah dilakukan
dilakukan. h. Mengetahui tingkat kondisi
h. Pantau efek samping pemberian pasien
obat anti nyeri. Terapeutik
Terapeutik a. Untuk mengurangi rasa nyeri
a. Beri teknik non farmakologis
b. Untuk mengurangi nyeri
agar rasa nyeri berkurang.
b. Kontrol lingkungan agar rasa c. Untik memberi kenyamanan
nyeri bisa menurun. kepada klien
c. Bantu fasilitasi istirahat dan Edukasi
tidur. a. Agar pasien mengetahui
d. Pada saat pemilihan strategi penyebab, periode dan
untuk mengatasi nyeri itu patut pemicu timbulnya rasa nyeri
untuk mempertimbangkan b. Agar pasien tau cara meredakan
sumber dan jenis dari nyeri itu nyeri
sendiri. c. Mengetahui frekuensi nyeri
Edukasi Kolaborasi
a. Beri penjelasan tentang a. Bekerja sama dalam
penyebab, periode dan pemicu menurunkan rasa nyeri
timbulnya rasa nyeri
b. Ajarkan tentang cara meredakan
nyeri
c. Anjurkan untuk memonitor rasa
nyeri sendiri
Kolaborasi
a. Kolaborasikan tentang
pemberian analgesic untuk
meredakan nyeri (SIKI, 2018)
4 Risiko defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi
keperawatan diharapkan Observasi
status nutrisi membaik a. Identifikasi status nutrisi
Kriteria Hasil : b. Monitor asupan makanan
1. Porsi makanan yang c. Monitor hasil lab
dihabiskan
2. Frekuensi makan cukup Terapeutik
membaik a. Berikan makanan kaya akan
3. Membran mukosa cukup kalori dan protein
membaik b. Berikan nutrisi melalui NGT
Edukasi
a. Anjurkan posisi semifowler
b. Ajarkan keluarga diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan

5. Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan Perawatan integritas kulit Observasi :
keperawatan diharapkan Observasi : a. Mengetahui penyebab
integritas kulit membaik a. identifikasi penyebab gangguan gangguan integritas kulit
Kriteria Hasil : integritas kulit Teraupetik :
1. elastisitas meningkat Terapeutik a. Agar sirkulasi dara pasien
2. hidrasi meningkat a. ubah posisi tiap dua jam lancar
3. perfusi meningkat b. bersihkan perineal dengan air b. Agar menghindari risiko
4. hematoma menurun hangat, terutama pada periode diare infeksi
5. nyeri menurun c. Agar kulit pasien tetap lembab
c. gunakan produk yang mengandung
6. perdarahan menurun Edukasi :
petroleum atau minyak pada kulit
a. Agar kulit pasien tetap lembab
kering
b. Memenuhi kebutuhan cairan
Edukasi
pasien
a. anjurkan menggunakan pelembab c. Memenuhi kebutuhan nutrisi
b. anjurkan minum air yang cukup pasien
c. anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
6. Risiko penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung akut Observasi :
keperawatan diharapkan Observasi : c. Mengetahui karakteristik
tidak terjadi penurunan curah a. Identifikasi karakteristik nyeri nyeri dada
jantung dada d. Memantau oksigen yang di
Kriteria Hasil : b. Monitor saturasi oksigen butuhkan pasien
1. Kekuatan nadi perifer Terapeutik Terapeutik
meningkat a. Pertahankan tirah baring d. Agar pasien dapat beristirahat
2. Edema menurun b. Berikan relaksasi untuk e. Mengurangi stress pasien
3. Dyspnea menurun mengurangi ansietas dan stress f. Agar pasien merasa nyaman
4. Suara jantung S3 c. Sediakan lingkungan yang Edukasi
menurun kondusif untuk beristirahat a. Anjurkan melaporkan nyeri
5. Suara jantung S4 Edukasi b. Agar pasien mengetahui segala
menurun a. Anjurkan melaporkan nyeri tindakan yang diberikan
6. TD membaik b. Jelaskan tindakan yang dijalani Kolaborasi
pasien Kolaborasi untuk meningkatkan
c. Ajarkan teknik menurunkan kesehatan pasien
kecemasan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat
7. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermia Manajemen Hipertermia
keperawatan diharapkan Observasi: Observasi:
status suhu membaik a. Identifikasi penyebab hipertermia a. Mengetahui Penyebab hipertermia
Kriteria Hasil : (mis. dehidrasi, terpapar lingkungan b. Memperhatikansuhu tubuh
7. Menggigil menurun panas, penggunaan inkubator) c. Memperhatikan kadar elektrolit
8. Kejang menurun b. Monitor suhu tubuh d. Meghitung pengeluaran urine
9. Takikardi menurun c. Monitor kadar elektrolit e. memperhatikan komplikasi akibat
10. Takipnea menurun d. Monitor haluaran urine hipertermia
11. Suhu tubuh membaik e. Monitor komplikasi akibat Terapeutik:
12. Tekanan darah membaik hipertermia a. sediakan lingkungan dingin
Terapeutik: b. Longgarkan atau lepaskan pakaian
a. Sediakan lingkungan yang dingin c. Basahi atau kompres hangat
b. Longgarkan atau lepaskan pakaian d. Berikan cairan oral
c. Basahi atau kompres hangat Edukasi
d. Berikan cairan oral Menyarangkan istirahat total
Edukasi Kolaborasi
Anjurkan tirah baring pemberian cairan dan elektrolit
Kolaborasi intravena
Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu

8. Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan intervensi Observasi : Observasi :


keperawatan maka defisit a. Identifikasi kebiasaan aktivitas b. Mengetahui kebiasaan
perawatan diri perawatan diri sesuai usia aktivitas klien
membaik dengan kriteria b. Monitor tingkat kemandirian c. Menilai tingkat kemandirian
hasil : Teraupetik : pasien
1. Kemampuan mandi a. Sediakan lingkungan yang Teraupetik :
meningkat teraupetik d. Menciptakan suasana
2. Kemampuan b. Damping dalam melakukan kenyamanan terhadap klien
mengenakan pakaian perawatan diri sampai mandiri e. Agar pasien tau cacatara
meningkat Edukasi : melakukan perawatan
3. Kemampuan makan a. Anjurkan melakukan perawatan Edukasi :
meningkat diri secara konsisten sesuai a. Agar pasien terjaga ke
4. Kemampuan toilet kemampuan bersihannya
(BAB/BAK) meningkat
9. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi Observasi
keperawatan tidak terjadi Observasi a. Untuk melihat dan membantu
infeksi a. Mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang
Kriteria hasil: menurunkan risiko organisme patogenik
1. Integritas kulit cukup terserang organisme b. Untuk mengetahui jika teradi
meningkat patogenik tanda dan gejala infeksi
2. Integritas mukosa cukup b. Monitor tanda dan gejala Terapeutik
meningkat infeksi lokal dan sistemik a. Memberkan ketenangan agar
3. Infeksi tidak berulang Terapeutik pasien beristirahat dan
4. Suhu tubuh cukup a. Batasi jumlah pengunjung mengurangi kebisingan
membaik Edukasi Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeks a. Memberikan informasi kepada
b. Ajarkan cara mencuci pasien dan terhadap tanda dan
tangan dengan benar gejala inveksi
b. Untuk mengurangi terjadinya
infeksi silang atau menyebaran
mikroorganisme
10. Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia Manajemen Hipovolemia
keperawatan status cairan Observasi : Observasi :
Kriteria hasil: a. Periksa tanda dan a. Mengetahui tanda dan gejala
1. Kekuatan nadi gejala hipovolemia hipovolemia
meningkat b. Monitor intake dan output cairan b. Mengetahui volume cairan
2. Turgor kulit Terapeutik : Terapeutik :
meningkat a. Hitung kebutuhan cairan a. Mengetahui kebutuhan cairan
3. Perasaan lemah b. Berikan asupan cairan oral b. Terpenuhi cairan pasien
menurun Edukasi : Edukasi :
4. Keluhan haus a. Anjurkan memperbanyak a. Agar terpenuhi cairan
menurun asupan cairan oral tubuh pasien
5. Frekuensi nadi b. Anjurkan menghindari b. Agar tidak terjadi pembengkakan
membaik perubahan posisi mendaadak Kolaborasi :
6. Intake cairan Kolaborasi :
a. Memnuhi kebutuhan cairan
membaik a. Kolaborasi pemberian cairan
pasien
7. Suhu tubuh IV isotonis
membaik b. Kolaborasi pemberian cairan
IV hipotonis
11. Resiko cedera Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Cedera Pencegahan Cedera
keperawatan tidak Observasi : Observasi :
menurunkan resiko terjadi a. Identifikasi lingkungan yang a. Mengetahui potensi
cedera berpotensi menyebabkan penyebab cedera
Kriteria hasil: cedera b. Mengetahui obat yang
1. Toleransi aktivitas b. Identifikasi obat yang menyebabkan cedera
membaik berpotensi menyebabkan cedera Terapeutik :
2. Nafsu makan Terapeutik : a. Agar menerangi penglihatan
membaik a. Sediakan pencahayaan pasien
3. Kejadian cedera yang memadai b. Mengurangi resiko cedera pasien
menurun b. Sediakan alas kaki anti slip
4. Pola istirahat/tidur c. Sediakan pispot atau urinal Edukasi :
membaik untuk eliminasi di tempat tidur Agar keluarga mengetahui tujuan dari
d. Tingkatkan frekuensi observasi dan intervensi
pengawasan pasien
Edukasi :
a. Jelaskan alasan intervensi
pencegahan jatuh ke pasien dan
keluarga
12. Penurunan kapasitas adaptif Setelah dilakukan tindakan Pemantauan neurologis Observasi
intrakranial keperawatan kapasitas Observasi: a. Untuk mengetahui reaksi pupil
intracranial membaik a. Monitor ukuran, bentuk, b. Untuk mengetahui tingkat
Kriteria hasil: kesimetrisan dan reaktifitas pupil kesadaran
1. Tingkat kesadaran b. Monitor tingkat kesadaran c. Untuk mengetahui kondisi
meningkat c. Monitor tingkat orientasi vital pasien
2. Fungsi kognitif
meningkat d. Monitor tanda-tanda vital d. Untuk mengetahui status
e. Monitor status pernapasan pernaasan pasien
3. Sakit kepala
menurun f. Monitor ICP DAN CPP e. Untuk mengetahui kondisi
4. Gelisah menurun g. Monitor reflek kornea balutan
5. Tekanan darah h. Monitor balutan kraniatomi dan f. Untuk menilai respon pasien
membaik laminektomi terhadap adanya terhadap pengobatan yang di
drainase berika
Terapeutik :
i. Monitor respon pengobatan a. Untuk lebih mengetahui
Terapeutik: secara signifikan kondisi
a. Tingkatkan frekuensi pemantauan neurologis pasien
neurologis, jika perlu b. Untuk menghindari hal
b. Hindari aktivitas yang dapat yang berisiko
meningkatkan tekanan intracranial c. Agar pemantauan sesuai
c. Atur interval waktu pemantauan kondisi pasien
sesuai dengan kondisi pasien d. Untuk mengetahui
d. Dokumentasi hasil pemantauan keadaan pasien
Edukasi
a. jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan Edukasi :
b. informasikan hasil pemantauan
a. Agar pasien mengetahui tujuan
dan prosedur pemantauan
b. Agar pasien mengetahui
kondisinya
4. Implementasi

Implementasi keperawatan ialah proses pelaksanaan dari rencaan atau


intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan spesifik yang
telah ditentukan sebelumnya. Tahapan ini dimulai setelah rencana intervensi
disusun dan menjadi tujuan pada nursing order untuk membantu pasien dalam
mencapai tujuan proses keperawatan yang diharapkan. Oleh sebab itu,
implementasi sebagai manifestasi pelaksanaan intervensi yang spesifik,
dilakukan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan (Nursalam, 2017).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan.
Dalam konteks ini, evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan,
dan terarah ketika pasien dan profesional kesehatan menentukan kemajuan
pasien menuju pencapaian tujuan/hasil, dan keefektifan rencana asuhan
keperawatan. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai pencapaian tujuan pada
rencana keperawatan yang telah ditetapkan, mengidentifikasi variabel-variabel
yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan, dan mengambil keputusan apakah
rencana keperawatan diteruskan, modifikasi atau dihentikan.
Dokumentasi pada tahap evaluasi adalah membandingkan secara
sistematik dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah
ditetapkan dengan kenyataan yang ada pada pasien, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan
yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan
tercapai atau perlu pendekatan lain (Nursalam, 2017).
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur
tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral
subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak (Doenges, 2000). Cedera kepala
sedang adalah cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan
abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999). Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Arif, 2000). Cedera kepala
merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang
menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. dan Joann C. Hackley. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku
Dari

Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC Baheram, L. 2007. Cedera Kepala Pada Pejalan Kaki
Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Fatal. Majalah Kedokteran Bandung. 26(2): 52-54.

Bulechek, Gloria M., dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi Bahasa
Indonesia. Indonesia : Elsivier

Arif Hendra Kusuma, A. D. A. (2019). Pengaruh Posisi Head Up 30 Derajat Terhadap Nyeri
Kepala Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan,
10(2), 417–422.
Basyir, et al. (2016). Tafsir Muyassar. Jakarta: Darul Haq.
Cotrand, K. and. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Fuad Toyib. (2018). analisis praktik klinik keperawatan dengan pengaruh pemberian
kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri pada pasien cidera kepala di IGD
RSUD Abdul Wahab Samarinda. KTI Universitas Muhammadiyah Samarinda.
Harun, et al. (2017). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i. Harun
Rosjidi, & Nurhidayat. (2014). Buku Ajar Peningkatan Tekanan Intrakranial &
Gangguan Peredaran Darah Otak.
Hassan, S., & Mehani, M. (2012). Comparison between two vascular rehabilitation train-ing
programs for patients with intermittent claudication as a result of diabetic athero-
sclerosis. International JournalFaculty of Physical Therapy, Cairo, 17(1), 7–16.

Anda mungkin juga menyukai