Woeiru
Woeiru
Woeiru
Hari :
Tanggal :
TINJAUAN PUSTAKA
MONKEYPOX
Oleh:
Trya Purnamawati
Pembimbing:
TINJAUAN PUSTAKA
MONKEYPOX
Oleh :
Trya Purnamawati
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................iv
DAFTAR SINGKATAN...................................................................................................v
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................1
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR SINGKATAN
MPX Monkeypox
MPXV Virus Monkeypox
DRC Republik Demokratik Kongo
PCR Polymerase Chain Reaction
WA Barat Afrika
CB Congo Basin
CDC Pusat Pengendalian Penyakit AS
IMS Infeksi Menular Seksual
VZV Virus Varicella Zoster
LGV Limfogranuloma Venereum
KLB Kejadian Luar Biasa
APD Alat Perlindungan Diri
IITT Interagency Integrated Triage Tool
AST/ALT Enzim Transaminase Hati
BUN Nitrogen Urea Darah
WBC Jumlah Darah Putih
ABICAP Antibody Immuno Column for Analytical Processes
ELISA Uji Imunosorben Terkait Enzim Tradisional
GARP Golg terkait retrograde protein
LHRH Luteinizing Hormone Releasing Hormone
PRH Prolactin Releasing Hormone
PIF Prolactin Inhibitory Factor
PRL Prolaktin
POMC Peptida Proopiomelanokortin
CLIP Cortotropin Like Intermediate Lobe Protein
ARV Antiretroviral
v
6
1
BAB I
PENDAHULUAN
Monkeypox (MPX) adalah virus zoonosis (virus yang ditularkan dari hewan
ke manusia) dengan gejala yang mirip pada pasien smallpox atau cacar. Tersebarnya
virus monkeypox ke manusia terjadi setelah adanya pemberantasan smallpox dan
penghentian pemberian vaksin rutin di sebagian besar negara (1). Awal mula kasus
monkeypox terjadi pada tahun 1970, seorang bayi laki-laki berusia 9 bulan
terdiagnosis monkeypox di Zaire yang sekarang bernama Republik Demokratik
Kongo (DRC). Monkeypox menjadi endemik di DRC, dan telah menyebar ke negara-
negara Afrika lainnya, terutama di Afrika Tengah dan Barat (2). Sejak tanggal 13 Mei
2022, WHO telah menerima laporan kasus-kasus Monkeypox yang berasal dari
negara non endemis, dan saat ini telah meluas ke 4 regional WHO yaitu regional
Eropa, Amerika, Eastern Mediterranean, dan Western Pacific (3). Penyebab penyakit
monkeypox adalah virus Monkeypox (MPXV) tergolong dalam genus Orthopoxvirus
dalam famili Poxviridae. Genus Orthopoxvirus juga termasuk virus Variola
(penyebab smallpox), virus Vaccinia dan virus cowpox. Penularan kepada manusia
terjadi melalui kontak langsung dengan hewan ataupun dengan manusia yang
terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui benda yang terkontaminasi oleh virus
tersebut (4). Monkeypox biasanya merupakan penyakit yang sembuh sendiri dengan
gejala yang berlangsung dari 2 hingga 4 minggu. Pasien akan mengalami
limfadenopati, demam, sakit kepala, nyeri punggung, nyeri otot, dan kelelahan yang
terus menerus (5). Diagnosis monkeypox dapat ditegakkan melalui skrining dan triase
yang dilakukan pada semua orang yang datang dengan ruam dan demam atau
limfadenopati. Pemeriksaan klinis harus fokus pada identifikasi tanda dan gejala
penyakit berat dan risiko tinggi untuk keparahan penyakit. Konfirmasi monkeypox
dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium, diantaranya menggunakan uji
Polymerase Chain Reaction dan/atau sekuensing (6). WHO merekomendasikan
pasien dengan monkeypox diberikan pengobatan simtomatik seperti antipiretik untuk
demam dan analgesik untuk nyeri. Pemberian antibiotik, antivirus, dan vaksinasi
dapat diberikan jika dibutuhkan. Pasien dengan monkeypox dapat mengalami
komplikasi infeksi sekunder pada lesi kulit hingga mengancam jiwa (7).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Monkeypox (MPX) adalah virus zoonosis (virus yang ditularkan dari hewan
ke manusia) dengan gejala yang mirip pada pasien smallpox atau cacar. Nama
monkeypox berasal dari penemuan awal virus pada monyet yang menyebabkan
penyakit pustular pada monyet. Tersebarnya virus monkeypox ke manusia terjadi
setelah adanya pemberantasan smallpox dan penghentian pemberian vaksin rutin di
sebagian besar negara. Terdapat dua kelompok MPX yang diketahui, kelompok
pertama di Barat Afrika (WA) dan kelompok kedua di wilayah Congo Basin (CB).
Secara historis, kelompok CB tampak lebih ganas, sedangkan kelompok WA
memiliki angka kematian yang lebih rendah secara keseluruhan (1,6).
II.3 Epidemiologi
Awal mula kasus monkeypox terjadi pada tahun 1970, seorang bayi laki-laki
berusia 9 bulan terdiagnosis monkeypox di Zaire yang sekarang bernama Republik
Demokratik Kongo (DRC). Sejak saat itu, monkeypox menjadi endemik di DRC, dan
telah menyebar ke negara-negara Afrika lainnya, terutama di Afrika Tengah dan
Barat. Monkeypox terjadi secara sporadis di seluruh kawasan berhutan lebat, miskin,
di pedesaan Afrika Barat dan Tengah, termasuk Kamerun, Republik Afrika Tengah,
Republik Kongo, dan Sierra Leone (2,8)
Pada tahun 2003, Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) melaporkan total 81
kasus MPX manusia setelah kontak dekat dengan peliharaan mamalia, terutama
hewan pengerat. Tidak ada penularan dari manusia ke manusia yang diidentifikasi,
dan tidak ada yang mengakibatkan kematian. Penyebaran virus antar negara dapat
terjadi melalui hewan peliharaan anjing padang rumput yang terinfeksi (10,11).
Pada tahun 2017, wabah monkeypox terjadi di Nigeria didahului oleh curah
hujan yang sangat deras dan banjir yang dicurigai telah membawa inang hewan dan
populasi manusia menjadi lebih dekat, karena keduanya mencari tempat yang lebih
tinggi dan lingkungan yang kering. Kemudian muncul menyusul penyakit ruam yang
tidak diketahui di Nigeria Selatan. Pengawasan aktif terhadap monkeypox dilakukan
hingga pada September 2019, total 176 kasus monkeypox telah dikonfirmasi dari 18
negara bagian. Sebagian besar kematian yang dilaporkan terjadi pada anak-anak dan
3
individu dengan gangguan imunitas, seperti pada kondisi pasien dengan HIV yang
tidak terkontrol (12).
Sejak tanggal 13 Mei 2022, WHO telah menerima laporan kasus-kasus
Monkeypox yang berasal dari negara non endemis, dan saat ini telah meluas ke 4
regional WHO yaitu regional Eropa, Amerika, Eastern Mediterranean, dan Western
Pacific. Negara non endemis yang telah melaporkan kasus meliputi Australia, Belgia,
Kanada, Perancis, Finlandia, Denmark, Ceko, Austia, Jerman, Italia, Belanda,
Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, Swiss, Slovenia, Israel, Sudan, Uni Emirat Arab,
Kanada, Argentina Guina, dan Amerika Serikat. Sebagian besar kasus dilaporkan dari
pasien tidak memiliki riwayat perjalanan ke negara-negara endemis (13). WHO
memperkirakan akan lebih banyak kasus monkeypox yang teridentifikasi seiring
peningkatan monitoring di negara-negara non endemis (14).
Per 10 Juni 2022, total 1.423 kasus monkeypox yang dikonfirmasi
laboratorium telah dilaporkan ke WHO dari 31 negara anggota dari Eropa dan
Amerika Utara, di empat wilayah WHO. Monkeypox terjadi pada sebagian besar laki-
laki yang berhubungan seks dengan laki-laki dengan gejala yang mirip dengan infeksi
menular seksual (IMS) lainnya. Sejauh ini, tidak ada kematian terkait wabah yang
sedang berlangsung di negara-negara non-endemis (15).
Hingga saat ini masih dilakukan penelitian dan studi lebih lanjut untuk lebih
memahami epidemiologi, sumber infeksi, pola penularan di negara non endemis.
Namun adanya laporan penularan antar manusia di negara non endemis, dicurigai
akibat adanya pengiriman virus monkeypox dari negara terjangkit dan kemungkinan
adanya hewan penular di Indonesia. Hal ini dirasa perlu bagi Indonesia sebagai negara
non endemis untuk waspada dan mempersiapkan infeksi monkeypox (3).
4
II. 4 Etiologi
Penyebab penyakit monkeypox adalah virus Monkeypox (MPXV) yang
merupakan virus DNA beruntai ganda dan memiliki selubung berbentuk bata dengan
ukuran 200-250 nm. Virus monkeypox tergolong dalam genus Orthopoxvirus dalam
famili Poxviridae. Genus Orthopoxvirus juga termasuk virus Variola (penyebab
smallpox), virus Vaccinia dan virus cowpox (16).
hewan dapat terjadi pada hubungan dekat dengan hewan liar yang mengarah ke
gigitan, cakaran, dan konsumsi daging hewan. Monkeypox antar manusia tidak secara
mudah menular. Penularan dari manusia ke manusia dapat melalui kontak erat dengan
droplet, cairan tubuh atau lesi kulit orang yang terinfeksi, atau kontak tidak langsung
pada benda yang terkontaminasi. Penularan melalui droplet biasanya membutuhkan
kontak yang lama, sehingga anggota keluarga yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan kasus berisiko lebih besar untuk tertular (5). Aktivitas yang berisiko tinggi
menjadi faktor penularan di rumah tangga termasuk tidur di kamar atau tempat tidur
yang sama, berbagi piring atau gelas, membantu membersihkan tubuh dan pakaian.
Pakaian, tempat tidur, handuk atau peralatan makan/piring yang telah terkontaminasi
virus dari orang yang terinfeksi juga dapat menulari orang lain. Orang dengan
monkeypox menular ketika bergejala (biasanya antara dua sampai empat minggu).
Ruam, cairan tubuh (seperti cairan, nanah atau darah dari lesi kulit) dan koreng sangat
menular (18).
II. 6 Patofisiologi
Poxvirus, termasuk monkeypox virus, varicella, variola, dan lainnya,
merupakan salah satu virus unik di antara virus hewan dalam beberapa hal. Pertama,
karena situs sitoplasma replikasi virus, virus menyandikan banyak enzim yang
dibutuhkan baik untuk regulasi kumpulan prekursor makromolekul atau untuk proses
biosintesis. Kedua, virus ini memiliki morfogenesis yang sangat kompleks, yang
melibatkan sintesis de novo membran khusus virus dan badan inklusi. Ketiga, genom
dari virus-virus ini menyandikan banyak protein yang berinteraksi dengan proses
6
inang baik pada tingkat sel maupun sistemik. Sebagai contoh, homolog virus dari
faktor pertumbuhan epidermal aktif dalam infeksi virus vaccinia dari sel yang
dikultur, kelinci, dan tikus. Setidaknya lima protein virus dengan homologi ke
keluarga serine protease inhibitor telah diidentifikasi dan satu, protein 38-kDa yang
dikodekan oleh virus cacar, diperkirakan memblokir jalur inang untuk menghasilkan
zat kemotaktik. Akhirnya, protein yang memiliki homologi dengan komponen
komplemen mengganggu aktivasi jalur komplemen klasik (20).
Pada awal proses infeksi, interferon, jalur alternatif aktivasi komplemen, sel-
sel inflamasi, dan sel-sel pembunuh alami dapat berkontribusi untuk memperlambat
penyebaran infeksi. Respons yang dimediasi sel yang melibatkan limfosit T sitotoksik
terpelajar dan komponen hipersensitivitas tipe lambat tampaknya menjadi yang paling
penting dalam pemulihan dari infeksi. Peran signifikan untuk antibodi antiviral
spesifik dan sitotoksisitas yang dimediasi sel yang tergantung pada antibodi belum
ditunjukkan dalam pemulihan dari infeksi primer, tetapi tanggapan ini dianggap
penting dalam mencegah infeksi ulang. Monkeypox virus memiliki genom yang
relatif besar sekitar 196.858 pasangan basa, yang mengkode 190 bingkai pembacaan
terbuka, yang merupakan bagian terbesar dari bahan yang dibutuhkan untuk replikasi
virus dalam sitoplasma sel. Masuknya virus ke dalam sel tergantung pada jenis sel dan
jenis virus, dan terjadi setelah perlekatan awal ke permukaan sel melalui interaksi
antara beberapa ligan virus dan reseptor permukaan sel seperti kondroitin sulfat atau
heparan sulfat. Penyeberangan membran sel selanjutnya dimediasi oleh peristiwa fusi
virus dengan membran sel dalam kondisi pH netral, atau dengan pengambilan
endosom melalui mekanisme mirip makropinositosis yang melibatkan aktin dan
langkah-langkah bergantung pada pH rendah. Setelah berada di sitoplasma sel, virus
melepaskan protein viral yang sudah dikemas dan faktor-faktor enzimatik yang
melumpuhkan pertahanan sel dan merangsang ekspresi gen awal. Sintesis protein
awal mendorong pelepasan DNA lebih lanjut, replikasi DNA, dan produksi faktor
transkripsi menengah. Gen menengah ditranskripsi dan diterjemahkan untuk
menginduksi ekspresi gen akhir yang berfungsi terutama sebagai protein struktural,
enzim dan faktor transkripsi awal. Akhirnya, struktur membran akan muncul dan unit
virion genom yang diproses dari concatemers DNA dikumpulkan menjadi virion yang
baru lahir yang mengandung semua enzim, faktor, dan informasi genetik yang
diperlukan untuk siklus infeksi baru. Informasi rinci yang tersedia tentang fungsi gen
virus dan ekspresi yang diprogram selama infeksi melebihi pengetahuan terkini
7
tentang kejadian yang sesuai pada host. Lebih lanjut, walaupun poxvirus dianggap
sebagai salah satu dari keluarga virus yang paling mandiri, mereka tetap tidak dapat
bereproduksi di lingkungan ekstraseluler dan diketahui memiliki kisaran inang
terbatas, yang menunjukkan ketergantungan pada inang.
Keropeng atau bekas lesi monkeypox mengandung jumlah DNA virus yang signifikan
dan lebih tinggi dari tingkat yang ditemukan dalam darah dan tenggorokan. Perlu
dicatat bahwa infeksi virus dari spesimen tidak menentukan apapun. Pada saat ini,
signifikansi temuan ini dalam kaitannya dengan penularan virus dan periode infeksi
masih belum pasti. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami
kemungkinan cara penularan lainnya dan persistensi melalui kontak dengan cairan
tubuh lainnya (seperti seperti ASI, air mani, cairan vagina, cairan ketuban atau darah)
dan untuk lebih memahami penularan melalui tetesan pernapasan dan aerosol. Di
negara-negara wabah saat ini dan di antara kasus-kasus monkeypox yang dilaporkan,
penularan tampaknya terjadi terutama melalui kontak fisik yang dekat, termasuk
kontak seksual (oral, vagina dan anal). Patofisiologi monkeypox sangat mirip dengan
smallpox, dengan pengecualian bahwa masuknya virus dari sumber satwa liar melalui
lesi kecil pada kulit atau selaput mukosa. Masuknya virus juga dapat terjadi melalui
saluran pernapasan dalam kasus penularan dari orang ke orang. Seperti smallpox,
virus monkeypox bereplikasi di jaringan limfoid. Virus pertama kali terlokalisasi di
sel fagosit mononuklear, dilepaskan ke dalam aliran darah, dan kemudian terlokalisasi
lagi di sel kulit (6).
Penularan dari hewan ke manusia (zoonotik) dapat terjadi dari kontak
langsung dengan darah, cairan tubuh, atau lesi kulit atau mukosa dari hewan yang
terinfeksi. Penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi akibat kontak dekat
dengan sekret pernapasan, lesi kulit orang yang terinfeksi, atau benda yang baru saja
terkontaminasi. Penularan melalui partikel pernapasan tetesan biasanya memerlukan
kontak tatap muka yang berkepanjangan. Penularan juga dapat terjadi melalui
plasenta dari ibu ke janin (yang dapat menyebabkan cacar monyet bawaan) atau
selama kontak dekat selama dan setelah kelahiran (21).
Transmisi monkeypox melalui plasenta, termasuk sebagai penularan dari ibu
ke anak melalui kontak langsung. Pada penelitian pertama adalah dari rangkaian kasus
longitudinal yang melaporkan hasil dari empat wanita hamil: satu melahirkan bayi
yang sehat, dua mengalami keguguran dini dan satu kematian janin di mana bayi lahir
mati dengan ruam difus dengan konfirmasi virologi monkeypox. Hal ini menunjukkan
bahwa infeksi virus monkeypox dapat menyebabkan hasil yang merugikan bagi janin,
seperti kematian atau aborsi spontan (21).
II. 8 Diagnosis
Diagnosis monkeypox dapat ditegakkan melalui skrining dan triase yang
disarankan WHO untuk dilakukan pada semua orang yang datang dengan ruam dan
demam atau limfadenopati. Kuesioner dan protokol skrining berdasarkan definisi
kasus WHO dapat disesuaikan dengan epidemiologi lokal. Misalnya, selama kejadian
luar biasa (KLB) ini, skrining dan triase dapat dilakukan di klinik perawatan primer,
klinik kesehatan seksual, unit gawat darurat, klinik penyakit menular, klinik
genitourinari, klinik dermatologi, klinik bersalin dan pediatri. Aktivitas skrining harus
dilakukan dengan menjaga jarak minimal 1 meter dari pasien dan tidak perlu
12
menyentuh pasien. Jika tindakan ini tidak dapat diterapkan maka fasilitas harus
melakukan penilaian risiko untuk menentukan tingkat alat perlindungan diri (APD)
yang diperlukan. Petugas kesehatan yang melakukan skrining wajib menjalankan
WHO 5 momen kebersihan tangan. Orang dengan gejala yang memenuhi definisi
kasus untuk suspek monkeypox harus memasuki jalur perawatan klinis monkeypox
dan segera diberikan masker medis yang pas dan diisolasi di satu kamar berventilasi
baik. Jika tidak tersedia kamar isolasi, maka kelompokkan pasien dengan diagnosis
klinis yang serupa dan berdasarkan faktor risiko epidemiologis, dengan pemisahan
berjarak antar pasien suspek dan tidak digabungkan dengan kasus yang dikonfirmasi
(6).
Setelah skrining dan isolasi suspek pasien monkeypox dilakukan, WHO
merekomendasikan untuk dilakukan triase pasien menggunakan alat triase standar
(seperti Alat Triase Terintegrasi Antar Badan WHO/IFRC); dan mengevaluasi pasien
untuk menentukan faktor risiko dan tingkat keparahan penyakit. Triase mengacu pada
pemilahan pasien berdasarkan prioritas setelah skrining, berdasarkan kriteria spesifik
(misalnya tingkat keparahan) dan dapat dilakukan di setiap titik akses ke sistem
perawatan kesehatan. Hal ini juga dapat dilakukan di bangsal rumah sakit, selama
pemantauan pasien. Triase dilakukan untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan
intervensi medis segera dan mereka yang dapat menunggu dengan aman atau yang
perlu dirujuk ke tujuan tertentu berdasarkan kondisi mereka. Interagency Integrated
Triage Tool (IITT) adalah alat triase baru yang dikembangkan untuk memberikan
protokol triase rutin terintegrasi pada orang dewasa dan anak-anak. Alat ini berfokus
pada sistem triase tiga tingkat dan dapat digunakan di perawatan klinis infeksi saluran
pernapasan akut (6).
Pemeriksaan klinis harus fokus pada identifikasi tanda dan gejala penyakit
berat dan risiko tinggi untuk keparahan penyakit. Kelompok pasien dengan risiko
penyakit parah atau komplikasi yang lebih tinggi adalah anak-anak, wanita hamil,
orang yang mengalami imunosupresi seperti orang dengan HIV yang tidak terkontrol
dengan baik, pasien dengan kondisi kulit kronis (misalnya dermatitis atopik), kondisi
kulit akut (yaitu luka bakar) mungkin juga memiliki risiko komplikasi yang lebih
tinggi, seperti infeksi bakteri. Tanda klinis dan gejala komplikasi meliputi mual dan
muntah, limfadenopati hingga menyebabkan disfagia, asupan oral yang buruk, sakit
mata, kelainan penglihatan, hepatomegali, sepsis, dehidrasi, gangguan
pernapasan/pneumonia, dan/atau kebingungan. Perhitungan jumlah lesi didasarkan
13
pada perkiraan seluruh tubuh yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. (A)
“jinak”, <25 lesi (disertai keterlibatan mata); (B) “sedang”, 26-100 lesi (disertai
keterlibatan mata); (C) “berat”, 101–250 lesi (disertai limfadenopati); (D) “sangat
berat”, >250 lesi (3,6).
Konfirmasi monkeypox dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium,
diantaranya menggunakan uji Polymerase Chain Reaction dan/atau sekuensing.
Abnormalitas nilai laboratorium berupa peningkatan enzim transaminase hati (AST
dan/atau ALT), nitrogen urea darah rendah (BUN), albumin rendah, peningkatan
jumlah darah putih (WBC), atau jumlah trombosit yang rendah. Lokasi geografis
pasien penting dalam diagnosis monkeypox, karena penyakit ini biasanya terjadi di
desa-desa terpencil di hutan hujan Afrika tropis. Diferensiasi dari cacar air penting;
yang terakhir muncul pada tanaman berturut-turut sehingga lesi pada berbagai tahap
perkembangan dapat terlihat kapan saja. Berbeda dengan cacar, distribusi cacar air
adalah 'centripetal' dengan lesi lebih banyak pada batang daripada di wajah dan
ekstremitas. Untuk diagnosis definitif, scabs dapat diteruskan ke laboratorium rujukan
tempat mikroskop elektron dapat mengkonfirmasi keberadaan Orthopoxvirus dan
membedakan virus ini dari virus varicella. Virus dapat dikultur dalam kultur jaringan
dan diidentifikasi dengan analisis pembatasan DNA. Kultur virus harus diperoleh dari
usap orofaringeal atau nasofaringal. Spesimen biopsi kulit dari ruam vesiculopustular
atau sampel atap vesiculopustule yang utuh harus dianalisis. Jaringan untuk PCR dari
sekuens DNA khusus untuk virus monkeypox dapat diperoleh. Serum berpasangan
untuk titer akut dan konvalesen dapat dianalisis. Serum yang dikumpulkan lebih dari
5 hari untuk deteksi IgM atau serum yang dikumpulkan lebih dari 8 hari setelah onset
ruam untuk deteksi IgG paling efisien untuk deteksi infeksi virus monkeypox. Apusan
Tzanck dapat membantu membedakan monkeypox dari gangguan nonviral lainnya
dalam diagnosis banding. Namun, apusan Tzanck tidak membedakan infeksi
monkeypox dari infeksi cacar atau herpes (9).
Identifikasi infeksi dengan virus monkeypox merupakan hal yang kompleks
karena kesamaannya antara virus cacar, dan, virus varicella-zoster. Baru-baru ini
sebuah penelitian telah mengevaluasi kegunaan dari dua metode yang termasuk uji
reaksi rantai polimerase kuantitatif (PCR) real-time, dan teknik GeneXpert MPX /
OPX yang lebih otomatis dalam diagnosis laboratorium monkeypox. Pengembangan
tes diagnostik laboratorium di tempat yang dapat digunakan baik pada manusia dan
hewan baru-baru ini dilaporkan. Ini adalah teknik penyaringan kekebalan yang
14
disebut ABICAP (Antibody Immuno Column for Analytical Processes). Teknik ini
bekerja pada ELISA yang digerakkan oleh penangkap aliran antigen yang digerakkan
oleh gravitasi, berbeda dari uji imunosorben terkait enzim tradisional (ELISA), dan
aliran lateral tes Immunochromatographic (11, 16).
Kasus monkeypox dikonfirmasi berdasarkan isolasi virus atau deteksi virus
melalui PCR dari spesimen klinis (biopsi kulit atau kultur tenggorokan). Individu
yang mengalami demam dan ruam dalam waktu 21 hari setelah terpapar cacar monyet
dan memiliki serum positif untuk ortopoks imunoglobulin M (IgM), tetapi tidak
memiliki spesimen klinis kultur-atau PCR-positif, diklasifikasikan sebagai memiliki
kemungkinan kasus infeksi. Tanda klinis yang paling dapat diandalkan yang
membedakan monkeypox dari cacar dan cacar air adalah pembesaran kelenjar getah
bening, terutama kelenjar submental, submandibular, serviks, dan inguinal. Mengenai
eksantema, lesi nonspesifik dan radang mukosa faring, konjungtiva, dan genital telah
diamati (16).
Pemeriksaan histologis lesi papular dapat menunjukkan adanya acanthosis,
nekrosis keratinosit individu, dan vakuolisasi basal, bersama dengan infiltrat
limfohistiositik superfisial dan dalam, pada infiltrat limfohistiositik dalam dermis.
Lesi pada tahap vesikular dapat menunjukkan spongiosis dengan degenerasi retikular
dan balon. Sel raksasa epitel berinti banyak menjadi pengamatan penting lainnya. Lesi
pustular mungkin menunjukkan nekrosis epidermal dengan banyak eosinofil dan
neutrofil, banyak yang menunjukkan karyorrhexis. Nekrosis dapat meluas melalui
epidermis dengan ketebalan penuh dengan demarkasi lateral yang tajam dari
epidermis utuh yang berdekatan. Infiltrat perivaskular yang terkait dapat mencakup
eosinofil dan neutrofil selain limfosit dan histiosit dan lesi petekia dapat menunjukkan
vaskulitis sekunder. Struktur intranuklear amfofilik yang menunjukkan inklusi virus
juga dapat dilihat pada keratinosit (21).
Pewarnaan imunohistokimia untuk antigen virus Orthopox tersedia dan dapat
dilakukan di laboratorium rujukan terpilih. Pengamatan mikroskopis elektron dapat
mengungkapkan intracytoplasmic, inklusi bulat ke oval dengan struktur berbentuk
sosis secara terpusat, berukuran sekitar 200-300 μm. Inklusi ini dicatat konsisten
dengan virus Orthopox, memungkinkan diferensiasi dari virus Parapox dan Herpes
(21).
Sebuah studi baru-baru ini telah mengamati bahwa kehadiran pengkodean gen
untuk kompleks Golg terkait retrograde protein (GARP) dalam infeksi virus
15
monkeypox dapat berkontribusi pada infeksi serius. Penelitian yang sama juga
mencatat bahwa penting untuk mengidentifikasi sel target host yang diperlukan untuk
multiplikasi virus dapat membuka jalan bagi pengembangan terapi anti-virus .
Laporan lain baru-baru ini mencatat bahwa tidak diketahui dengan pasti bagaimana
virus monkeypox menyebar ke manusia (6).
Kemenkes 2022 membagi diagnosis pasien monkeypox ke dalam beberapa
kelompok. Pasien suspek adalah orang dengan ruam akut (papula, vesikel dan/atau
pustula) yang tidak bisa dijelaskan pada negara non endemis dan memiliki satu atau
lebih gejala berupa tanda sakit kepala, demam akut >38,5°C, limfadenopati
(pembesaran kelenjar getah bening), nyeri otot atau myalgia, sakit punggung, asthenia
(kelemahan tubuh) dan penyebab umum ruam akut berikut tidak menjelaskan
gambaran klinis varicella zoster, herpes zoster, campak, zika, dengue, chikungunya,
herpes simpleks, infeksi kulit bakteri, infeksi gonococcus diseminata, sifilis primer
atau sekunder, chancroid, limfogranuloma venereum, granuloma inguinale,
moluskum kontagiosum, reaksi alergi (misalnya, terhadap tanaman); dan penyebab
umum lainnya yang relevan secara lokal dari ruam papular atau vesicular (3).
Pasien probable adalah seseorang yang memenuhi kriteria suspek dan
memiliki satu atau lebih kriteria berupa hubungan epidemiologis (paparan tatap muka,
termasuk petugas kesehatan tanpa APD); kontak fisik langsung dengan kulit atau lesi
kulit, termasuk kontak seksual; atau kontak dengan benda yang terkontaminasi seperti
pakaian, tempat tidur atau peralatan lain. Pada kasus probable atau konfirmasi
dialami pada 21 hari sebelum timbulnya gejala, riwayat perjalanan ke negara endemis
monkeypox pada 21 hari sebelum timbulnya gejala, hasil uji serologis orthopoxvirus
menunjukkan positif namun tidak mempunyai riwayat vaksinasi smallpox ataupun
infeksi orthopoxvirus, dirawat di rumah sakit karena penyakitnya (3).
Pasien terkonfirmasi yakni kasus suspek atau probable yang dinyatakan positif
terinfeksi virus Monkeypox yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium real-
time polymerase chain reaction (PCR) dan/atau sekuensing (3).
Pasien discarded adalah kasus suspek atau probable dengan hasil negatif PCR
dan/atau sekuensing monkeypox. Riwayat kontak erat orang yang memiliki riwayat
kontak dengan kasus probabel atau kasus terkonfirmasi (sejak mulai gejala sampai
dengan keropeng mengelupas atau hilang) monkeypox dan memenuhi salah satu
kriteria berupa kontak tatap muka (termasuk tenaga kesehatan tanpa menggunakan
16
APD yang sesuai), kontak fisik langsung termasuk kontak seksual, kontak dengan
barang yang terkontaminasi seperti pakaian, tempat tidur (3).
diangkat dan digulung dengan hati-hati untuk mencegah penyebaran partikel infeksius
dari lesi dan cairan tubuh (3,6).
Pasien yang berisiko lebih tinggi seperti anak-anak, wanita hamil atau pasien
dengan imunosupresi harus dipertimbangkan rawat inap untuk pemantauan lebih
intens karena kekhawatiran akan perburukan klinis. Jika populasi rentan tinggal di
lingkungan rumah dan persyaratan isolasi di rumah yang memadai tidak dapat
dipenuhi, pertimbangkan untuk isolasi di fasilitas kesehatan. Orang rentan yang harus
yang harus diperhatikan jika terinfeksi monkeypox termasuk anak kecil, wanita hamil
dan orang yang mengalami imunosupresi, seperti orang yang hidup dengan HIV tidak
pada terapi antiretroviral (ARV). Pasien dengan kondisi kulit kronis (misalnya
dermatitis atopik) atau kondisi kulit akut (yaitu luka bakar) mungkin juga berisiko
lebih tinggi untuk komplikasi. WHO merekomendasikan pemantauan di rumah harus
dilakukan ketika mengisolasi dan merawat seseorang yang dicurigai monkeypox atau
dikonfirmasi monkeypox dengan penyakit ringan tanpa komplikasi di lingkungan
rumah. Petugas kesehatan harus menilai dan memberi konseling apakah rumah yang
bersangkutan cocok untuk isolasi dan penyediaan perawatan pasien dengan
monkeypox, termasuk apakah pasien dan/atau anggota rumah lainnya memiliki
kemampuan yang diperlukan. Kemampuan tersebut termasuk kemampuan untuk
mematuhi aturan isolasi rumah, terpenuhinya akses air, sanitasi atau sumber daya
untuk kebersihan pribadi dan kemampuan terbatas untuk mempertahankan isolasi dan
tindakan pencegahan infeksi menimbulkan risiko bagi anggota rumah tangga dan
masyarakat. Penilaian ini dapat dilakukan pada kunjungan kesehatan awal atau
melalui telepon atau telemedicine dan tidak memerlukan kunjungan rumah. Pasien
dan orang yang ditunjuk yang memfasilitasi perawatan diri harus diberi konseling
mengenai risiko penularan. Sebaiknya orang yang ditunjuk untuk memfasilitasi
kebutuhan pasien telah diberikan vaksinasi terhadap cacar atau monkeypox dan bukan
dari kelompok berisiko tinggi. Jika orang-orang yang rentan (mereka yang berisiko
tinggi mengalami komplikasi) ada di lingkungan rumah dan tidak dapat dipisahkan
dari pasien, maka petugas kesehatan harus menawarkan untuk mengatur lokasi
alternatif untuk isolasi pasien jika tersedia. Jika kebutuhan isolasi yang memadai dan
tindakan pencegahan infeksi tidak dapat dipastikan di rumah, maka isolasi pasien
perlu diatur di fasilitas perawatan kesehatan dengan persetujuan dari pasien,
pengasuh, dan anggota rumah tangga. Jika petugas kesehatan diperlukan untuk
memberikan perawatan kepada pasien monkeypox di rumah, mereka harus memakai
18
APD yang sesuai (sarung tangan, gaun pelindung, pelindung mata dan respirator),
melakukan kebersihan tangan (menurut WHO 5 saat dan sebelum memakai dan
setelah melepas APD) dan membersihkan serta disinfeksi peralatan perawatan pasien
yang digunakan. Limbah yang dihasilkan dari perawatan pasien dengan monkeypox,
seperti perban dan APD, harus ditempatkan dalam kantong yang kuat dan diikat
dengan aman sebelum dibuang dan akhirnya dikumpulkan oleh layanan sampah kota.
Jika layanan tersebut tidak tersedia, dapat dilakukan penguburan atau pembakaran
(6,13,14).
Pasien dengan monkeypox yang dirawat di rumah harus tetap dalam isolasi
dan menahan diri dari kontak dekat sampai lesi kulit mereka mengeras, keropeng
telah hilang dan lapisan kulit baru telah terbentuk di bawahnya (6).
WHO merekomendasikan pasien dengan monkeypox diberikan pengobatan
simtomatik seperti antipiretik untuk demam dan analgesik untuk nyeri. Sakit kepala
dan nyeri akibat ruam kulit, lesi oral, okular dan genital, pembengkakan kelenjar
getah bening, dan nyeri otot umum sering terjadi pruritis akibat ruam juga dapat
mengganggu. Untuk luka pada mulut, bilas mulut dengan air bersih dan garam
setidaknya empat kali sehari. Pertimbangkan penggunaan antiseptik untuk menjaga
luka tetap bersih (misalnya obat kumur klorheksidin) atau anestesi lokal (misalnya
lidokain kental). Untuk lesi genital atau anorektal mandi sitz hangat (mandi air hangat
yang terbuat dari air dan soda kue atau garam epsom untuk menyembuhkan dan
membersihkan area perineum) dan/atau lidokain topikal dapat meredakan gejala.
Pasien dengan monkeypox perlu dinilai status gizinya dan diberikan nutrisi yang
cukup dan rehidrasi yang tepat. Kaji status nutrisi dan hidrasi semua pasien dengan
monkeypox baik saat masuk ke fasilitas kesehatan atau ketika terlihat di masyarakat.
Asupan nutrisi dapat terganggu karena lesi orofaringeal dan/atau limfadenopati (6).
Evaluasi penyebab penurunan berat badan dan obati dengan tepat. Misalnya,
jika pemberian makan yang buruk disebabkan oleh mual atau muntah, obat antiemetik
dapat meningkatkan kemampuan asupan; jika karena kelemahan, pasien harus dibantu
makan oleh petugas kesehatan; atau, jika karena nyeri akibat lesi oral atau adenopati,
berikan analgetik. Pemberian suplemen vitamin A sesuai anjuran standar, terutama
bagi anak yang belum lama mendapat suplemen vitamin. Vitamin A berperan penting
dalam semua tahap penyembuhan luka dan kesehatan mata (6).
Pengobatan konservatif lesi ruam tergantung stadiumnya dengan tujuan untuk
meredakan ketidaknyamanan, mempercepat penyembuhan dan pencegahan
19
komplikasi, seperti infeksi sekunder atau pengelupasan kulit. Anjurkan pasien untuk
tidak menggaruk kulit. Pasien harus diinstruksikan untuk menjaga lesi kulit tetap
bersih dan kering untuk mencegah infeksi bakteri. Ruam tidak boleh ditutup,
melainkan dibiarkan di udara terbuka hingga kering. Untuk komplikasi lesi kulit
seperti pengelupasan kulit atau kecurigaan infeksi jaringan lunak yang lebih dalam
(piomiositis, abses, infeksi nekrotikans), pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan
spesialis yang sesuai (16).
Pemberian terapi antibiotik atau profilaksis tidak perlu digunakan pada pasien
dengan monkeypox tanpa komplikasi. Namun, lesi harus dipantau untuk infeksi
bakteri sekunder (yaitu selulitis, abses) dan jika ada, diobati dengan antibiotik dengan
aktivitas melawan flora kulit normal, termasuk Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap methicillin (MSSA). Lesi kulit pada
pasien dengan monkeypox dapat meradang menyebabkan eritema ringan dan/atau
hiperpigmentasi kulit. Penggunaan antibiotik profilaksis empiris harus dihindari,
karena meningkatkan risiko munculnya dan penularan bakteri resisten multiobat
(MDR) dan menempatkan individu pada risiko kemungkinan efek samping antibiotik
seperti diare terkait Clostridium difficile. Infeksi bakteri MDR lebih sulit diobati, dan
terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tanda-tanda infeksi bakteri
berupa eritema, indurasi, kehangatan, nyeri yang memburuk, drainase purulen, sekret
berbau busuk, atau kekambuhan. Pada kasus tertentu berdasarkan faktor risiko
individu, kolonisasi yang diketahui dan prevalensi lokal, pertimbangan dapat
diberikan untuk memulai pengobatan untuk Staphylococcus aureus resisten
methicillin yang didapat masyarakat (CA-MRSA) (6).
Pasien dengan infeksi bakteri pada ruam monkeypox dapat berkembang
menjadi abses yang merupakan kumpulan nanah di dalam dermis atau jaringan
subkutan dan paling sering disebabkan oleh bakteri dari kulit (Streptococcus spp dan
Staphylococcus spp.). Abses tampak nyeri, merah, shinnodul dengan atau tanpa
fluktuasi. dengan selulitis di sekitarnya, demam, dan nyeri yang memburuk di tempat
infeksi. Pengobatan abses adalah insisi dan drainase yang dilakukan dengan teknik
aseptik steril oleh tenaga kesehatan yang berkualifikasi menggunakan tindakan
pencegahan dan kontrol infeksi yang tepat, untuk mencegah komplikasi yang
berhubungan dengan abses yang tidak diobati seperti osteomielitis, artritis septik,
piomiositis, sepsis dan syok. Hal ini juga tergantung pada lokasi di tubuh (misalnya
berdekatan dengan pembuluh darah utama), ukuran dan kompleksitas abses, insisi dan
20
drainase mungkin perlu dilakukan di ruang operasi. Cairan harus diaspirasi dan
dikirim untuk mikrobiologi dan kultur untuk membantu terapi target antibiotik (6).
Pada pasien dengan monkeypox, penggunaan antivirus di bawah uji klinis
acak (RCT) meningkatkan bukti tentang kemanjuran dan keamanan terapi. Karena
persediaan antivirus yang terbatas, penggunaannya dapat dianggap sebagai
pengobatan bagi mereka yang berisiko terkena penyakit parah, atau mereka yang
mengalami atau mengembangkan monkeypox parah. Penggunaan antivirus yang
optimal, termasuk sebagai profilaksis pasca pajanan (6).
Tecovirimat dilisensikan oleh European Medicines Agency (EMA) untuk
pengobatan cacar, monkeypox, cacar sapi dan komplikasi dari imunisasi dengan
vaccinia dan oleh Food and Drug Administration (FDA) dan Health Canada untuk
cacar. Keefektifan tecovirimat dievaluasi berdasarkan studi pada hewan yang
terinfeksi mematikan dosis orthopoxviruses, dalam studi tentang efek obat dalam
tubuh manusia, dan cara obat diserap, dimodifikasi dan dikeluarkan dari tubuh pada
manusia dan hewan (farmakodinamik dan farmakokinetik) (6).
Tecovirimat, menghambat pembentukan selubung virus dari virus MPX
dengan menargetkan protein virus p37, yang sangat terkonservasi di antara
orthopoxvirus. Obat ini tersedia sebagai kapsul oral pelepasan segera yang diberikan
dua kali sehari selama 14 hari. Formulasi intravena telah disetujui oleh USFDA pada
19 Mei 2022. Studi praklinis menyarankan tecovirimat digunakan efektif pada
primata non-manusia (6).
Sebuah studi baru-baru ini dari Inggris menggambarkan seorang pasien yang
memiliki PCR darah dan saluran pernapasan bagian atas negatif 48 jam setelah
memulai pengobatan dan tetap PCR negatif pada 72 jam. Profil hematologis, ginjal
dan hepar tetap dalam batas normal dan dipulangkan ke rumah untuk menyelesaikan
terapi. Efek samping yang dilaporkan dari tecovirimat berupa sakit kepala, mual, sakit
perut dan muntah. Tecovirimat adalah penginduksi sitokrom P450 yang lemah dan
dengan demikian mungkin memiliki interaksi obat dengan obat lain yang
dimetabolisme melalui jalur yang sama (6).
Brincidofovir disetujui oleh EMA dan FDA untuk pengobatan cacar dan telah
terbukti memiliki aktivitas antivirus terhadap virus DNA beruntai ganda, termasuk
virus cacar. Obat ini menghambat replikasi virus monkeypox dengan menghambat
sintesis DNA yang dimediasi polimerase dan tersedia sebagai tablet oral atau suspensi
yang diberikan kepada pasien dalam dua dosis 1 minggu terpisah. Efek samping yang
21
dilaporkan dari pengobatan ini berupa peningkatan transaminase hati, diare, mual,
muntah dan sakit perut. Brincidofovir tidak dianjurkan pada wanita yang sedang
hamil karena risiko toksisitas embrio-janin Disarankan bahwa individu yang sedang
melahirkan melakukan keluarga berencana dengan menggunakan kontrasepsi yang
efektif selama pengobatan dan setidaknya 2 bulan setelah dosis terakhir (6).
Cidofoviris disetujui oleh FDA untuk pengobatan cytomegalovirus. Obat ini
menghambat replikasi virus monkeypox dengan menghambat DNApolimerase dan
diberikan secara intravena. Obat ini telah menunjukkan aktivitas melawan virus cacar
di laboratorium dan penelitian pada hewan. Cidofovir berkaitan dengan toksisitas
ginjal dan kelainan elektrolit (6).
NIOCH-14 adalah senyawa yang disintesis secara kimia yang dikembangkan
oleh Pusat Penelitian Negara Vektor Virologi dan Bioteknologi sejak tahun 2001.
NIOCH-14 adalah analog dari tecovirimat dengan aktivitas yang sebanding terhadap
orthopoxviruses. Terdapat studi penelitian pada pasien monkeypox dengan
membandingkan NIOCH-14 dan tecovirimat. Hasil studi menunjukkan penurunan
yang signifikan dari produksi virus di paru-paru dan hewan yang terinfeksi 7 hari
setelah infeksi bila dibandingkan dengan kontrol (6).
Vaccina immune globulin (VIG) terbuat dari antibodi individu yang
diinokulasi dengan vaksin cacar. Tidak diketahui apakah seseorang dengan paparan
monkeypox atau dengan infeksi berat akan mendapat manfaat dari VIG (28).
II. 10 Komplikasi
Meskipun jarang, pasien dengan monkeypox dapat mengalami komplikasi
yang parah dan mengancam jiwa. Lesi kulit yang rentan terhadap infeksi bakteri pada
kulit dan jaringan lunak dapat menimbulkan komplikasi berupa selulitis, abses, dan
infeksi jaringan lunak nekrotikans yang memerlukan perawatan luka optimal.
Akumulasi cairan subkutan pada fase pengerasan kulit dapat menyebabkan deplesi
intravaskular dan syok. Pengelupasan kulit mengakibatkan area kulit yang mungkin
memerlukan debridement dan intervensi pembedahan. Komplikasi lain yang lebih
jarang termasuk pneumonia berat dan gangguan pernapasan, infeksi kornea yang
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan, kehilangan nafsu makan, muntah dan
diare yang dapat menyebabkan dehidrasi berat, kelainan elektrolit dan syok,
limfadenopati serviks yang dapat menyebabkan abses retrofaring atau gangguan
pernapasan, sepsis, syok septik, dan, ensefalitis dan kematian. Defisiensi imun
22
II. 11 Prognosis
Monkeypox merupakan self-limiting disease, namun kesembuhan tetap
tergantung pada beberapa faktor. Angka kematian mulai dari 1-10% telah dilaporkan
di Afrika, tetapi tidak ada kematian terjadi di Amerika Serikat pada outbreak tahun
2003. Tingkat kematian pada anak-anak Afrika secara tidak proporsional tinggi.
Status kesehatan, komorbiditas, status vaksinasi, dan keparahan komplikasi
mempengaruhi prognosis di Amerika Serikat dan Afrika. Kasus tanpa komplikasi
berlangsung selama dalam 2-4 minggu, dengan hanya bekas luka bintik yang tersisa
(29).
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Bunge EM, Hoet B, Chen L., et al. (2022) The changing epidemiology of
human monkeypox—A potential threat? A systematic review. PLoS Negl
Trop Dis 16(2): e0010141. https://doi.org/10.1371/ journal.pntd.0010141
2. Beer EM, Rao VB (2019) A systematic review of the epidemiology of
human monkeypox outbreaks and implications for outbreak strategy. PLoS
Negl Trop Dis 13(10): e0007791. https://doi.
org/10.1371/journal.pntd.0007791
3. Kemenkes. (2022). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Monkeypox.
4. Vaughan A et al. (2018). Two cases of monkeypox imported to the United
Kingdom, September 2018. Euro Surveill. 23(38): 1800509.
5. Erez, N., Achdout, H., Milrot, E., et al. (2019). Diagnosis of Imported
Monkeypox, Israel, 2018. Emerging infectious diseases, 25(5), 980.
6. WHO. 10 Juni 2022. Clinical Management and Infection Prevention and
Control for Monkeypox
7. Simpson K et al. Human monkeypox - After 40 years, an unintended
consequence of smallpox eradication. Vaccine. 2020 Jul 14;38(33):5077-
5081. Available at
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264410X2030579X?
via%3Dihub
11. Pal, M., Mengstie, F., & Kandi, V. (2017). Epidemiology, Diagnosis, and
Control of Monkeypox Disease: A comprehensive Review. American
Journal of Infectious Diseases and Microbiology, 5(2), 94-9.
12. Tosepu, R. (2019). EARLY WARNING OF MONKEYPOX DISEASE IN
INDONESIA. Public Health of Indonesia, 5(2).
13. WHO. 2022. https://www.who.int/health-topics/monkeypox#tab=tab_1
14. WHO. 2022. https://www.who.int/news-room/questions-and-answers
/item/monkeypox\
15. Pan American Health Organization / World Health Organization.
Epidemiological Update: Monkeypox in non-endemic countries. 13 June
2022, Washington, D.C.: PAHO/WHO; 2022
16. HSE. Interim Guidance on Infection Prevention and Control for the
Health Service Executive 2021V1.3. 11.01.2021
17. Center for Infectious Disease Research & Policy (CDC). (2021).
Monkeypox virus
18. Nasir, I. A., Dangana, A., Ojeamiren, I., et al. (2018). Reminiscing the
recent incidence of monkeypox in Nigeria: Its ecologic- epidemiology and
literature review. Port Harcourt Medical Journal, 12(1), 1.
19. Padaga, M. C., Setianingrum, A., & Fatmawati, M. (2018). Penyakit
Zoonosa Strategis di Indonesia: Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Universitas Brawijaya Press.
20. Buller, R. M., & Palumbo, G. J. (1991). Poxvirus pathogenesis.
Microbiology and Molecular Biology Reviews, 55(1), 80-122.
21. Parker, S., Nuara, A., Buller, R. M. L., & Schultz, D. A. (2007). Human
monkeypox: an emerging zoonotic disease. Future Microbiology, 2(1),
17–34.doi:10.2217/17460913.2.1.17
22. WHO. 16 Mei. 2022. Disease Outbreak News.
https://www.who.int/emergencies/disease-outbreak-news/item/2022-
DON381
23. WHO. 18 Mei. 2022. Disease Outbreak News.
https://www.who.int/emergencies/disease- outbreak-news/item/2022-
DON383
26