Ulumul Hadist Kel.6
Ulumul Hadist Kel.6
PEMBAHASAN
1. Hadist Mutawatir
a. Pengertian Hadist Mutawatir
Secara etimologi (bahasa), kata mutawatir berarti Mutatabi’
(beriringan tanpa jarak). Adapun secara terminologi (istilah) :
ما رواه جماعة يستحيل في العادة أن يتواطؤا على الكذب وأسندوه
1
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Maktabah Al-ilmi, hal.6
2
Dr. Muhammad At-Tahan, Markaz Al-huda liddirasah, hal.22
c. Syarat Hadist Mutawatir
1) Hadist Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin
sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan
bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5
orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul
Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10
orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak.
Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah
perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama
dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada
setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan panca
indera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari
suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain,
maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
d. Macam-macam Hadist Mutawatir
1) Hadist Mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hukum
yang sama.
Contoh Mutawatir Lafzhi:
َ تبوْأ َم
َّ قعد ُه م َن
الن ِار َّ َم ْن َك َّذ َب َع َّلي ُم َت َع ّم ًدا ْفل َي
ِ ِ
Artinya: “Barang siapa yang mendustakan atas namaku, maka
hendaklah bersiap-siap bertempat tinggal di neraka.” (HR. Al-
Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Abu
Dawud)
Menurut Ibnu Ash-Shalah hadits di atas diriwayatkan lebih 70
orang shahabat, 10 diantaranya para shahabat yang
digembirakan Nabi masuk surga, bahkan An-Nawawi dalam
Syarah Muslim memberitakan, bahwa jumlah perawi mencapai
200 orang shahabat, tetapi hal tersebut dibantah oleh Al-Iraqi
karena jumlah itu termasuk hadits kemutlakan bohong.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama.
2) Hadist Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal
dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang
berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan mempunyai makna yang
sama tetapi lafaznya tidak. Misalnya hadits tentang mengangkat
kedua tangan dalam berdoa. Dalam penelitian As-Suyuthi
terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa dalam beberapa
kondisi yang berbeda, seperti dalam shalat istisqo’, pada saat
ada hujan angin ribut, dalam suatu pertempuran, dan lain-lain.
Maka disimpulkan bahwa mengangkat kedua tangan dalam
berdoa mutawatir melihat keseluruhan periwayatan dalam
kondisi yang berbeda tersebut.
3) Mutawatir ‘Amali, yaitu amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh
para shahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan
seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Misalnya,
berita-berita yang menjelaskan tentang shalat baik waktu dan
raka’atnya, shalat jenazah, zakat, haji, dan lain-lain yang telah
menjadi ijma’ para ulama.
e. Kitab-Kitab Hadits Mutawatir, antara lain sebagai berikut:
1) Al-Azhaar Al-Mutanaatsirah fi Al-Akhbaar Al-Mutawaatirah,
karya As-Suyuthi.
2) Qathf Al-Azhaar, karya As-Suyuthi.
3) Nazhm Al-Mutanaatsir min Al-Hadiits Al-Mutawaatir, karya
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
4) Al-La’aalii Al-Mutanaatsirah fi Al-Ahaadiits Al-Mutawaatirah,
karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
2. Hadist Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid
berarti “satu” jadi, karena ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu
sampai sembilan. Adapun secara istilah hadits ahad berarti hadits yang
diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.
Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.
Pembagian hadits ahad ada 3 macam, yaitu hadits, masyhur, ‘aziz, dan
gharib :
a. Hadits Masyhur
Secara bahasa, masyhur diartikan tenar, terkenal, dan
menampakkan.
Dalam istilah hadits masyhur terbagi dua macam, yaitu:
1) Masyhur Ishthilahi, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan
sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.
2) Masyhur Ghayr Ishthilahi, hadits yang populer pada ungkapan
lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif. Artinya
hadits yang populer atau terkenal dikalangan golongan atau
kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dalam
sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih.
Contoh hadits yang populer (masyhur) dikalangan ulama fikih
saja:
َ َّ َّ َ ْ ُ َ ْ َأ
ض ال َحال ِل ِأ َلى الل ِه الطال ُق بغ
Artinya: “Halal yang dimurka Allah adalah talak.” (HR. Al-
Hakim).
b. Hadits ‘Aziz
Secara bahasa, ‘aziz diartikan langka, sedikit, dan kuat. Karena
sedikit atau langkanya atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika di
datangkan sanad lain.
Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang
perawi pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam
satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan shahabat hanya
terdapat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya dikalangan
tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan
shahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi, pada salah satu tingkatan
sanad hadits tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi
atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.
c. Hadits Gharib
Secara bahasa, berarti sendirian, terisolir, jauh dari kerabat,
perantau asing, dan sulit dipahami. Dari segi istilah yaitu: “hadits yang
bersendiri seorang perawi dimana saja tingkatan (thabaqah) daripada
beberapa tingkatan sanad.”
Hadits gharib terbagi dua, yaitu:
1) Gharib Mutlak, yaitu:
َّ ُ َ
الس َن ِد ُه َو ط َرفه ال ِذي ِف ْي ِه
َّ أصلْ صل َس َنده َو ْ ُه َو َم َاك َان ِت ْال َغ َر َاب ُة في َأ
ِ ِ ِ ِ ِ
الص َح ِابي
َّ
2. Hadits Hasan
Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) الحسنbermakna al-jamal (
الOO )الجمyang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan
definisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana
yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqalani dalam An-Nukbah, yaitu:
َّ الس َن ِد َغ ْي ُر ُم َع َّلل َو َال َش ٍ ّاذ ُه َو
الص ِح ْي ُح َّ الض ْب ِط ُم َّتص ُل َ َو َخ َب ُر ْا
َّ آلح َاد ب َن ْقل َع ْدل َت ُّام
ٍ ِ ٍ ِ ِ
َ ُ ْ َ َّ َ ْ َ
َ ط َفا َ
لح َس ُن ِلذا ِت ِه ف ِاءن خف الضب.ِلذا ِت ِه
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syaz), dan
tidak ‘illat.
1. Hadits Dha’if
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (عيفOO)الض
berarti lemah lawan dari Al-Qawi ( )القويyang berarti kuat. Kelemahan hadits dha’if
ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah.
Jadi hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misal sanadnya tidak bersambung (muttashil),
para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau
matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
Dalam meriwayatkan hadits dha’if tidak identik dengan hadits mawdhu’
(hadits palsu). Diantara hadits dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak
terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan
hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua
syarat, yaitu:
a. Tidak berkaitan dengan akidah, seperti sifat-sifat Allah.
b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan
haram tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib
(hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam pengamalan hadits dha’if para ulama berbeda berpendapat. Perbedaan
itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu:
a. Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hukum sebagaimana
yang diberitahukan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in.
Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazam.
b. Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-
a’mal atau dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan
Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari
pendapat para ulama.
c. Hadits dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah,
targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu berikut:
1) Tidak terlalu dha’if, seperti di antara perawinya pendusta
(hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang
yang daya ingat hapalannya sangat kurang, dan berlaku fasiq
dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits
munkar).
2) Masuk ke dalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih)
seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentangan dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajih (hadits
yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
3) Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi,
tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
Sebagai salah satu syarat hadits dha’if yang dapat diamalkan diatas adalah
tidak terlalu dha’if atau tidak terlalu buruk kedha’ifannya. Hadits yang terlalu buruk
kedha’ifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu
Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, munkar, mu’allal,
mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.