Anda di halaman 1dari 164

Prof.Dr.Yulianto Kadji,M.

Si

METODE PENELITIAN
ILMU ADMINISTRASI

Anda jatuh tersebab anda


menginginkannya
(Prof.YK-18/02/16)

1
UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Fungsi dan Sifat Hak Cipta pasal 2


1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Hak terkait Pasal 49


1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau
melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat,
memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar
pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

2
PROF. DR. YULIANTO KADJI, M.Si

METODE PENELITIAN
ILMU ADMINISTRASI

ISBN : ..........................................

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

© Prof. DR. Yulianto Kadji, M.Si


METODE PENELITIAN
ILMU ADMINISTRASI
xii, 1...... hlm. ; 14,5 x 21 cm.
ISBN : ............................

Cetakan Pertama : Nobember 2016

Desain Sampul : ....................................

3
PENERBIT .....................................
Anggota IKAPI
Isi diluar tanggungjawab percetakan
© 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi,
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit

4
KATA PENGANTAR
Hanya Allah Swt yang patut dipuji dan disembah tanpa
mengenal ruang dan waktu, maka sembahlah olehmu; DIA-lah
yang telah menciptakanmu memiliki potensi untuk berpikir
positif dan berbudaya kerja yang baik.
Buku dihadapan anda hanyalah bentuk manifestasi dari
secuil harapan untuk membumikan aktivitas akademik, sekaligus
pencerah yang mempertautkan antara ruang yang terkadang
hampa dengan lingkungan alam yang tak terbatas dalam mem-
bentangkan hakekat keilmuan, yang kesemuanya itu bersumber
dari kekuasaan Allah Swt. Maka tidaklah berlebihan, jika buku
yang berjudul: “METODE PENELITIAN ILMU
ADMINISTRASI”, akan menjadi menarik bagi orang-orang
yang memanfaatkan kemenarikannya itu.
Pun tidak mungkin terbit buku ini, jika tanpa apresiasi dan
kritik konstruktif dari semua pihak, baik para Gurubesar yang
mulia, pemerhati maupun para Mahasiswa Program Sarjana,
Magister dan Program Doktor bidang Ilmu Administrasi Publik,
yang telah dan akan turut mewarnai pemikiran atas terbitnya
buku ini.
Akhirulqalam, penulis berharap kiranya buku ini bermanfaat
khususnya bagi para mahasiswa Program/Sekolah Pascasarjana
yang menekuni bidang kajian Administrasi Publik di nusantara
ini. Sebab, yang bermanfaat sekalipun tidak akan bermanfaat jika
tidak dimanfaatkkan oleh orang-orang yang ingin memanfaat-
kannya, apalagi jika sesuatu itu memang tidak bermanfaat
sekalipun.
Berkarya pertanda manusia hidup, berhenti berkarya berarti
mati.

Gorontalo, Penghujung 2016


Prof.YK
yk@ung.ac.id / +62813 4071 3299

5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................
DAFTAR TABEL ................................................................................
DAFTAR GAMBAR...........................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................
BAB II ENAM DIMENSI DALAM AKTIVITAS
PENELITIAN ...................................................................
BAB III PERBEDAAN PARADIGMA PENELITIAN
KUANTITATIF DAN KUALITATIF, HUBUNGAN
METODE PENELITIAN DENGAN FILSAFAT ILMU,
SERTA ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DALAM
TINJAUAN KEFILSAFATAN ILMU ..........................
A. Sekilas Perbedaan Paradigma Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif .....................................
B. Hubungan Metode Penelitian dengan
Filsafat Ilmu .............................................................
C. Ilmu Administrasi Publik dalam
Tinjauan Kefilsafatan Ilmu ...................................
BAB IV BEBERAPA METODE DALAM DISAIN
PENELITIAN KUANTITATIF, DAN SISTEMATIKA
DISAIN PENELITIAN KUANTITATIF ......................
A. Beberapa Metode dalam Disain Penelitian
Kuantitatif ................................................................
1. Metode Deskriptif Survey .............................
2. Metode Eksplanatori Survey .........................
3. Metode Eksperimental ....................................
4. Metode Studi Kelayakan ................................
5. Metode Penelitian Tindakan ..........................
6. Metode Riset Kebijakan ..................................
B. Sistematika Disain Penelitian
Kuantitatif ................................................................

6
C. Contoh Judul dalam Disain Penelitian
Kuantitatif ................................................................
BAB V BEBERAPA METODE DALAM DISAIN
PENELITIAN KUALITATIF, DAN SISTEMATIKA
DISAIN PENELITIAN KUALITATIF..........................
A. Beberapa Metode dalam Disain Penelitian
Kualitatif...................................................................
1. Metode Studi Kasus ........................................
2. Metode Fenomenologis ..................................
3. Metode Historical Social Science ......................
4. Metode Etnografi atau Cultur Research ..........
5. Metode Biografi ...............................................
6. Metode Graunded Theory .................................
7. Metode Analisis Wacana ................................
8. Metode Analisis Semiotik ..............................
9. Metode Analisis Bingkai.................................
10. Metode Eksploratory Survey .........................
B. Sistematika Disain Penelitian
Kualitatif...................................................................
C. Contoh Judul dalam Disain Penelitian
Kualitatif...................................................................
BAB VI FILOSOFI KAJIAN PUSTAKA / TEORI ....................
A. Fungsi dan Prinsi Kajian Pustaka/Teori.............
B. Cara atau Teknik Melakukan
Kajian Pustaka/Teori .............................................
C. Sorting Cart ..............................................................
BAB VII TIPE DAN PEKERJAAN PENELITIAN .....................
A. Tipe Penelitian.........................................................
B. Pekerjaan Penelitian ...............................................
BAB VIII TEKNIK PENELITIAN ..................................................
BAB IX VARIABEL PENELITIAN .............................................
A. Pengantar ................................................................
B. Konsep dan Variabel serta Variasi sifatnya........
C. Pengukuran (Measurement) ...................................
7
D. Proposisi dan Pengujiannya..................................
BAB X POPULASI DAN SAMPEL / RESPONDEN /
INFORMAN PENELITIAN...........................................
A. Teknik Sampling .....................................................
B. Teknik Penetapan Sampel atau Informan sebagai
Responden Penelitian.............................................
BAB XI TEKNIK DAN PROSEDUR PENGUMPULAN DATA,
SERTA TEKNIK ANALISIS DATA PENELITIAN
KUANTITATIF DAN KUALITATIF ...........................
A. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian Kuantitatif .............................................
B. Teknik Analisis Data
Penelitian Kuantitatif .............................................
C. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian Kualitatif ................................................
D. Teknik Analisis Data
Penelitian Kualitatif ................................................
E. Tahapan Pengolahan Data dan Pembahasan
Hasil Penelitian Kualitatif .....................................
BAB XII PENUTUP ........................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................

8
DAFTAR TABEL
Tabel 10.1 Populasi dan Sub Populasi........................................
Tabel 10.2 Jumlah Sampel pada sub populasi ...........................
Tabel 9.1 Perbedaan Konsep dan Variabel ..............................
Tabel 9.2 Variabel Nominal, Ordinal dan Cardinal ................
Tabel 9.3 Contoh Operasional Variabel ...................................
Tabel 9.4 Contoh Operasional Variabel ...................................
Tabel 9.5 Contoh Operasional Variabel Nominal ...................
Tabel 9.6 Contoh Operasional Variabel Cardinal....................
Tabel 9.7 Contoh Operasional Variabel ...................................
Tabel 9.8 Contoh Klasifikasi Tingkatan dan Skor ...................
Tabel 9.9 Contoh Interval Skor dan Klafisikasi .......................
Tabel 9.10 Contoh Scoring Partisipasi ........................................
Tabel 9.11 Contoh Klasifikasi Partisipasi ...................................
Tabel 9.12 Contoh Klasifikasi Partisipasi ...................................
Tabel 9.13 Contoh Susunan Skala Ordinal.................................
Tabel 9.14 Contoh Susunan Skala Ordinal.................................
Tabel 9.15 Contoh Skala Ordinal ................................................
Tabel 9.16 Contoh Interval Standar dan Kategori .....................
Tabel 9.17 Sifat Skala Variabel dan Tipe Skala ..........................
Tabel 9.18 Indeks Biaya Hidup ...................................................
Tabel 9.19 Contoh Kecenderungan Dinamis .............................

9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 6.1 Anatomi Pengetahuan dan Ilmu ..............................
Gambar 7.1 Alur Pikir dan Tahapan Penelitian ...........................
Gambar 9.1 Kesejajaran Antara Anatomi Ilmu
dengan Metode Ilmiah ..............................................
Gambar 10.1 Teknik Sampling Menurut Sugiyono .......................
Gambar 11.1 Triangulasi Teknik dalam
Pengumpulan Data Kualitatif ...................................
Gambar 11.2 Triangulasi Sumber dalam
Pengumpulan Data Kualitatif ...................................
Gambar 11.3 Teknik dan Prosedur
Pengumpulan Data Kualitatif ...................................
Gambar 11.4 Analisis Model Interaktif
Miles dan Huberman ................................................
Gambar 11.5 Analisis Model Spradley,
Glaser & Straus...........................................................

10
BAB
I
PENDAHULUAN

S
ebagai titian awal menuju penulisan lebih lanjut,
penulis menguraikan dulu apa yang dimaksud
dengan penelitian atau riset itu, yang diakomodir
dari berbagai pendapat para ahli. Riset dalam kamus Webster,
diartikan memeriksa atau mencari kembali. Riset sebagai
suatu aktivitas pemeriksaan atau pengujian yang cermat, teliti
dan kritis dalam mencari fakta untuk menemukan dan
memastikan suatu hal.
Umar mengemukakan bahwa riset adalah suatu usaha
untuk menemukan suatu hal menurut metode ilmiah. Dengan
demikian riset memiliki tiga hal penting, yaitu: sasaran, usaha
untuk mencapai sasaran, serta metode ilmiah1. Soeparmoko
mengemukakan bahwa penelitian adalah usaha yang secara
sadar diarahkan untuk mengetahui atau mempelajari fakta-
fakta baru. Dapat pula diartikan bahwa penelitian sebagai
penyaluran hasrat ingin tahu manusia. Hasrat ingin tahu
inilah yang mendorong manusia untuk melakukan kegiatan
penelitian. Jadi, mengadakan suatu penelitian adalah untuk

1
Husein Umar, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi (Cet.
Ketujuh; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), p.59.
11
mempertanyakan sesuatu hal untuk mendapatkan
jawabannya . 2

Mayer & Greenwood mengemukakan bahwa


penelitian adalah suatu penyelidikan yang dijalankan dengan
bantuan prosedur-prosedur yang akan menambah khasanah
pengetahuan (body of knowledge)3. Kerlinger menyebutkan
bahwa penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis,
terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena
alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis
tentang hubungan yang dikia terdapat antara fenomena-
fenomena itu. Dari definisi tersebut paling tidak, terdapat dua
indikator yang perlu digarisbawahi.
Pertama, kalau kita berkata bahwa penelitian ilmiah
bersifat sistematis dan terkontrol, ini berarti bahwa penelitian
ilmiah tertata dengan cara tertentu sehingga peneliti dapat
memiliki keyakinan kritis mengenai hasil penelitian. Kedua,
penelitian bersifat empiris. Jika ilmuwan berpendapat bahwa
sesuatu adalah “begini”, dia harus menggunakan cara tertentu
untuk menguji keyakinannya itu dengan sesuatu di luar diri si
ilmuwan. Dengan kata lain, pendapat atau keyakinan
subyektif harus diperiksa dengan menghadapkannya pada
realitas obyektif. Ilmuwan mestinya selalu menghadapkan
pemikiran-pemikirannya pada “majelis” telaah dan uji
empirik. Ilmuwan bersifat hiperkritis terhadap hasil
penelitiannya sendiri maupun orang lain. Tiap ilmuwan yang
sedang menuliskan suatu laporan penelitian “dikelilingi” oleh

2
M.Suparmoko, Metode Penelitian Praktis: Untuk Ilmu-ilmu Sosial dan
Ekonomi (Ed. Ketiga: Yogyakarta: BPFE, 1991), p. 1.
3
Robert R.Mayer & Ernest Greenwood, Rancangan Penelitian
Kebijakan Sosial Diterjemahkan oleh Sutan Zanti Arbi (Cet.I; Jakarta:
CV.Rajawali,1984), p.30.
12
ilmuwan-ilmuwan lain yang membacanya sementara dia
menulis itu. Orang gampang khilaf, melebih-lebihkan,
melakukan overgeneralisasi ketika menuliskan karyanya
sendiri, tetapi sungguh tidak melenyapkan perasaan bahwa
ada sepasang mata ilmuwan lain yang terus menerus
menyimak tajam-tajam dari belakang bahu si ilmuwan4.
Sugiyono (2006:2) menegaskan bahwa metode
penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang
perlu diperhatikan, yaitu: cara ilmiah, data, tujuan, dan
kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu
didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris,
dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu
dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga
terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara
yang dilakukan itu dapat diamati oleh indra manusia,
sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-
cara yang digunakan. Sistematis artinya, proses yang
digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-
langkah tertentu yang bersifat logis.
Berkaitan dengan itu, maka penegasan tersebut
sekaligus hendak membedakan antara metode dan teknik
yang terkadang dikatakan bahwa metode sama dengan tehnik
atau sama dengan cara. Sebenarnya lebih tepat jika yang
disebut dengan metode itu dalam dimensi keilmuan adalah
cara berpikir, sementara teknik adalah sebagai cara
melaksanakan hasil berpikir itu.

4
Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral. Diterjemahkan
oleh Landung R. Simatupang (Cet.Kedelapan; Yogyakarta: Gajah Madah
University Press, 2002), p.17-18
13
Dengan demikian, maka metode penelitian itu
diartikan: “Sebagai pemahaman atau pengkajian tentang
berbagai metode-metode dan tehnik-tehnik yang digunakan
dalam penelitian baik dalam disain kuantitatif maupun disain
kualitatif. Singkatnya, metode penelitian adalah cara-cara
berpikir untuk melakukan penelitian, dan teknik penelitian
adalah cara melaksanakan penelitian atas dasar hasil
pemikiran”.
Berorientasi pada berbagai pendapat yang diuraikan
diatas, maka dapat ditegasksan bahwa penelitian adalah
sebagai aktivitas atau kegiatan yang bermaksud untuk
mencari dan menemukan jawaban yang benar sebenar-
benarnya terhadap suatu fenomena atau realitas yang
dipikirkan ataupun dipermasalahkan yang bertujuan untuk
memperoleh dan menemukan pengetahuan tertentu yang
bermanfaat, baik dari aspek teoritis/keilmuan maupun dari
aspek praktis, dengan menggunakan metode-metode dan
teknik-teknik tertentu menurut prosedur yang terencana dan
sistematis yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.

14
BAB
II
ENAM DIMENSI
DALAM AKTIVITAS
PENELITIAN

D
ari berbagai pandangan tentang penelitian yang
disebutkan pada uraian sebelumnya, maka dapat
dikemukakan pula paling tidak ada 6 (enam)
dimensi yang perlu dicermati dan diperhatikan dalam
aktivitas penelitian, yakni:

A. Penelitian memiliki realita atau fenomena yang


dipikirkan dan dipermasalahkan
Realita atau fenomena yang dipikirkan dan
dipermasalahkan dalam penelitian benar-benar riil dapat
diungkap oleh peneliti, sekaligus sebagai bahan peneliti
untuk dituangkan dalam latar belakang penelitian. Oleh
karena itulah, maka konstruksi latar belakang penelitian,
paling tidak menggambarkan tentang kemampuan peneliti
untuk menunjukkan:
1. Realitas atau kenyataan empirik (fenomena) yang
ditangkap atau yang dijadikan pikiran itu, misalnya dari

15
data sekunder (laporan-laporan) atau dari pengamatan
empirikal;
2. Harapan yang bersangkutan dengan kenyataan itu,
misalnya ketentuan-ketentuan, patokan-patokan, fakta,
teori, hukum, dan sebagainya, dari referensi- referensi
tertentu, atau biasa disebut dengan harapan ideal dan
harapan teoritik.
3. Kesenjangan atau gap antara kenyataan dan harapan atau
biasa juga disebut kesenjangan ideal/teoritik dan empirik.
4. Alternatif jawaban/pemecahan kesenjangan itu lebih dari
satu alternatif (jika hanya satu alternatif, bukan
merupakan masalah).
5. Pentingnya masalah itu untuk dipecahkan (jika tidak
dipecahkan akan mengganggu apa)

B. Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan


Paling tidak setiap penelitian yang dilakukan memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Penelitian bertujuan memperoleh pengetahuan faktual
berupa penjelasan mengenai terjadinya fenomena teruji.
2. Penelitian bertujuan menemukan cara-cara (metode dan
teknik) mencapai suatu tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup secara teruji.
Pentingnya merumuskan tujuan ini berguna untuk
proses penelitian selanjutnya. Tujuan penelitian merupakan
rujukan bagi penetapan rumusan kesimpulan penelitian.

C. Penelitian yang dilakukan memiliki manfaat baik


dari aspek teoritis maupun aspek praktis
Penelitian bertujuan agar hasil penelitian yang dicapai,
harus mempunyai manfaat, tidak saja bermanfaat bagi aspek

16
keilmuan (teoritis) melainkan juga harus bermanfaat bagi
aspek guna laksana (praktis). Hal ini didasarkan pada tinjauan
Filsafati bahwa ilmu itu bukan sekedar untuk ilmu, melainkan
juga bagi kesejahteraan masyarakat.
Tentang manfaat penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengetahuan khusus (deskripsi khusus); bagi aspek
keilmuan berguna dalam mengisi kekosongan.
2. Pengetahuan general (deskripsi general); bagi aspek
keilmuan berguna dalam mengisi kekosongan
pengetahuan yang bersifat umum dan universal.
3. Pengetahuan faktual (eksplanasi); bagi aspek keilmuan
pengetahuan teknologis berguna bagi akumulasi faktual
dalam mendukung teori-teori yang telah ada.
Deskripsi manfaat penelitian :
1. Bagi pengembangan keilmuan (aspek teoritis):
Eksplanasi faktual yang telah teruji secara empirik itu
dapat memberikan sumbangan kepada teori-teori, baik
menambah maupun memantapkannya.
2. Bagi aspek guna laksana (praktis):
Teori atau fakta yang telah teruji itu mempunyai manfaat
praktis dalam hal eksplanasi, sedemikian rupa daya
diagnosisnya bagi terapi lebih langsung dari deskripsi,
terutama yang nilai informasinya tinggi.

D. Penelitian yang dilakukan dengan mengunakan


metode-metode dan teknik tertentu
Setiap desain penelitian yang dibuat baik dalam bentuk
disain kualitatif maupun kuantitatif, dipastikan
membutuhkan atau mengunakan metode dan teknik tertentu
yang diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan penelitian.

17
E. Penelitian memiliki prosedur yang
terencana dan sistematis
Dalam pelaksanaan penelitian baik dalam disain
kuantitatif maupun kualitatif, seorang peneliti pasti telah
menyusun suatu rencana dan prosedur serta tahapan
penelitian yang sistematis, sebagai bentuk persiapan yang
matang dalam melakukan penelitian.

F. Penelitian kebenarannya dapat


dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
Pada akhirnyapun pelaksanaan penelitian yang
mewujud pada pelaporan hasil penelitian, mendasarkan diri
pada hakekat penelitian dalam menemukan jawaban masalah
yang benar sebenar-benarnya.
Kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan tersebut
bermuara pada apa yang disebut dengan sikap ilmiah.
Tentang Sikap ilmiah, Judistira K.Garna (2000:7)
mengemukakan bahwa sikap ilmiah adalah sikap yang
sebaiknya atau seharusnya dimiliki oleh setiap orang,
terutama ilmuwan, dalam melakukan tugas mereka untuk
memepelajari, meneruskan, menolak ataupun menerima serta
merubah dan menambah ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Judistira K.Garna (2000:7) mengemukakan 6
sikap ilmiah yang seharusnya dimiliki oleh mereka yang
menyebut dirinya ilmuwan yang tunduk pada salah satu
disiplin ilmu tertentu, yakni: 1) objektivitas, 2) sikap serba
relatif, 3) skeptis, 4) memiliki kesabaran intelektual, 5)
sederhana, dan 6) tidak memihak etika.5

5
Judistira K. Garna, Metode Penelitian Sosial: Penelitian dalam Ilmu
Pemerintahan (Cet.I; Bandung: Primaco Akademika, 2000), p.7.
18
Pertama, Objektif, merupakan sikap yang dalam
melakukan suatu peninjauan, hal yang dipentingkan ialah
objeknya, karena itu pengaruh subjek (dirinya) dalam
membuat deskripsi dan analisis suatu pengamatan seharusnya
secara tegas tidak muncul. Apabila memang tidak mudah
memperoleh objektivitas yang mutlak, karena ilmu itu sendiri
merupakan hasil kebudayaan manusia, yang manusia sebagai
subjeknya yang akan memberi pengaruh tertentu,
kemungkinan memang objektivitas itu bisa dicapai, tetapi
lebih merupakan suatu objektivitas yang semu.
Kedua, Sikap ilmiah yang serba relatif berhubungan
dengan kebenaran, bahwasanya ilmu tak bertujuan mencari
dasar atau prinsip dari kenyataan, artinya ilmu itu tidak
bermaksud mencari kebenaran mutlak. Kebenaran ilmiahnya
adalah berlandaskan atas beberapa postulat, yang secara a
priori telah di terima sebagai suatu kebenaran.
Ketiga, Skeptis, yaitu sikap untuk selalu ragu terhadap
pertanyaan yang dianggap belum kuat dasar pembuktiannya.
Sikap skeptis itu pada hakekatnya ialah sikap hati-hati dan
teliti dalam memberikan penilaian serta pernyataan ilmiah,
walaupun demikian secara filosofi memang tidak mungkin
orang meragukan segalanya, atau semua itu memang harus
benar-benar diragukan, ataukah sesuatu itu masih bisa
merupakan suatu kepastian baginya pada suatu saat lainnya.
Keempat, Kesabaran intelektual, ialah kemampaun
menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah begitu saja
kepada berbagai tekanan terhadap pendirian ilmiahnya,
karena kajiannya belum selesai ataupun hasil kajian itu
memang demikian halnya. Tidaklah mengherankan apabila
dalam mengumpulkan data yang relevan, dan melakukan
klasifikasi dan analisisnya itu merupakan pekerjaan yang

19
butuh kesabaran, yang berarti teliti, tekun, sistematik, tidak
tergesa-gesa menyampaikan hasilnya apabila dianggap belum
kuat dasar dalam mengemukakan hasilnya.
Kelima, Sederhana, yaitu sikap yang sederhana dalam
cara berpikir, menyatakan dan cara pembuktian, karena itu
manakala suatu gejala sosial dapat dan cukup diterangkan
oleh satu penjelasan, maka penjelasan yang lain tidaklah perlu
dikemukakan. Sederhana dan kesederhanaan dikaitkan
dengan bahasa ilmiah ialah mampu mengemukakan bahasa
yang sederhana dan mudah dimengerti, karena bahasa yang
sederhana bukan bahasa yang kacau dan kasark, tetapi bahasa
yang jernih, terang, dan jelas tidak mengungkapkan emosi
peneliti yang bisa mengaburkan makna hasil penelitiannya.
Keenam, Sikap tidak memihak etika, Istilah etika, etik,
atau ethics itu berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti
characters, watak, sifat atau kebiasaan. Etika merupakan suatu
studi yang sistematik tentang hakekat dari konsep nilai-nilai
baik dan buruk, apa dan bagaimana seharusnya dan prinsip-
prinsip umum yang dapat memberikan alas an tertentu
tentang sesuatu hal yang memerlukan sikap dan tindakan
orang yang terkena etika tersebut. Salah satu sikap ilmiah
yang tidak mudah ditegakkan adalah sikap tidak memihak
pada etika yang beranggapan bahwa ilmu itu tidak memiliki
tujuan dan tugas untuk pada akhirnya membuat penilaian
tentang apa yang buruk, tetapi ilmu bertugas untuk
mengemukakan apa yang salah dan apa yang benar secara
relatif.6

6
Ibid., p. 8-10.
20
BAB
III

PERBEDAAN PARADIGMA
PENELITIAN KUANTITATIF
DAN KUALITATIF,
HUBUNGAN METODE
PENELITIAN DENGAN
FILSAFAT ILMU SERTA
ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
DALAM TINJAUAN
KEFILSAFATAN ILMU

A. Sekilas Perbedaan Paradigma


Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

P
erkembangan ilmu pengetahuan dalam dinamika
dan aktivitas kehidupan manusia, berdampak pada
berbagai aspek keilmuan itu sendiri, khususnya
dalam pengembangan berbagai metode dalam
disain baik penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Disain
penelitian kualitatif pada awal eksisnya seiring dengan

21
terjadinya perubahan dari paradigma positivisme (refresentasi
kuantitatif) ke paradigma postpositivisme (refresentasi
kualitatif). Penganut paradigma positivisme (refresentasi
kuantitatif) beranggapan bahwa ilmu adalah satu-satunya
pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang
mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala
penggunaan metoda diluar yang digunakan untuk menelaah
fakta.7 Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint
Simon (sekitar tahun 1825), dan prinsip filosofis tentang
positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris
Francis Bacon (sekitar tahun 1600).
Sementara paradigma Postpositivisme (refresentasi
kualitatif), menegaskan bahwa pola dan cara berpikir manusia
yang memandang suatu gejala atau realitas/fenomena dalam
empirikal, diklaim sebagai sesuatu yang utuh/holistik,
dinamis dan kompleksitas, serta memiliki makna yang
mendalam. Menandai berlakunya pemikiran postpositivisme
tersebut Russel menegaskan bahwa yang universal itu bukan
murni empiris, dalam ilmu pengetahuan kita perlu mencari
teori ilmu, bukan sekedar menemukan yang murni empiris.
Russel mengemukakan bahwa ada isomorphisme atau
kesepadanan antara struktur dunia fakta dan realita dengan
struktur kata atau bahasa. Kesepadanan itu erat hubungannya
dengan acuan atau referensi. Dalam bahasa, referensi
ditampilkan sebagai penuturan untuk mendeskripsikan
realitas, bukan sekedar data.

7
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Postpositivisme, dan
Postmodernisme (Cet.I; Yogyakarta: Pake Sarasin, 2001), p.69.
22
Filsafat fenomenologi telah berkembang menjadi
pemacu tumbuhnya paradigma penelitian kualitatif yang
diperkenalkan oleh Husserl sejak tahun 1970-1990 mendesak
paradigma penelitian kuantitatif yang telah mendominasi
filsafat ilmu sejak abad XVIII.
Oleh karena itu, disain penelitian kualitatif mewakili
para pihak yang mengunggulkan paradigma berpikir
postpositivisme, sementara sebelumnya muncul disain
penelitian kuantitatif sebagai perwajahan dari para pihak yang
menganut paradigma berpikir yang positivisme. Namun
keduanya tidak dapat dipertentangkan, hanya dapat
dibedakan. Disain penelitian kualitatif bisa juga disebut disain
penelitian yang naturalistik (natural setting).
Intinya, perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif
antara lain adalah :
Tabel 3.1.
Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
Disain Penelitian
No.
Kuantitatif Kualitatif
1. Meluas tapi tidak mendalam Mendalam tapi tidak meluas
2. Dari teoritik ke empirik Dari empirik ke teoritik
3. Dari deduksi ke induksi Dari induksi ke deduksi
4. Dapat digeneralisir Tidak dapat digeneralisir
5. Berpikir positivistik Berpikir pos-positivistik
6. Menguji teori Membangun teori
7. Statistika Non Statitistika
8. Responden (Populasi/Sampel) : Responden (Informan) :
bersifat proporsional bersifat refresentatif

B. Hubungan Metode Penelitian


dengan Filsafat Ilmu

H
ubungannya dengan Filsafat Ilmu, Metode
Penelitian merupakan operasionalisasi dari

23
epistemologi. Langkah metode ilmiah dalam epistemologi
adalah prosedur sistematis dari pekerjaan keilmuan, dalam
rangka menemukan dan menyusun pengetahuan dan ilmu.
Dalam filsafat ilmu (ontologi dan epistemologi), telah diketahui
berbagai pengetahuan yang merupakan pegangan bagi
pelaksanaan penelitian. Dari ontologi diketahui tentang hakekat
dari segala yang ada dan keberadaamya di alam raya, sebagai
sumber dari pengetahuan dan ilmu; wujudnya dapat
merupakan idea atau material atau kedua-duanya; oleh
karena itu terdapat aliran-aliran dalam ontologi itu, seperti:
idealisme, materialisme dan dualisme.
Epistemologi memberi pemahaman tentang cara/teori
menemukan atau menyusun pengetahuan dari idea, materia
atau diri kedua-duanya itu, menunjuk pada penggunaan rasio,
intuisi, empiris, fenomena atau dengan metode ilmiah; oleh
karena itu dalam epistemologi ini terdapat aliran-aliran
rasionalisme, intuisionalisme, empirisme, fenomenalisme dan aliran
metode ilmiah, karena empat cara (rasio, intuisi, empiris dan
fenomena) itu masing-masing mempunyai kelemahan-
kelemahan disamping keunggulan-keunggulannya, maka di
gabungkanlah dalam metode ilmiah yang dianggap dapat
mengeleminir kelemahan-kelemahan dari keempat cara
sebelumnya itu. Metode Ilmiah itu merupakan langkah-langkah
atau proses-proses.
Dalam perspektif Epistemologi melalui langkah-
langkah metode ilmiah itu dapat diketahui beberapa hal,
sebagai berikut:
1) pergertian dan perbedaan pengetahuan khusus,
pengetahuan umum dan ilmu.

24
2) komponen-komponen pengetahuan dan ilmu, yaitu
realita, fenomena, konsep/variabel, deskripsi, proposisi,
fakta dan teori.
3) menetapkan, merumuskan dan mengidentifikasi masalah
beserta tipe-tipe masalahnya.
4) cara-cara berpikir induktif, deduktif dan merumuskan
hipotesis.
5) observasi untuk menyusun deskripsi dan menguji
hipotesis; terutama tentang validitas dan reliabilitasnya.
6) bahkan sudah sampai pada pembahasan dan penarikan
kesimpulan serta mengajukan saran-saran.
Demikianlah hal-hal yang telah diungkapkan dalam
Filsafat Ilmu secara garis besarnya. Metode Penelitian Ilmu
Administrasi ini merupakan kelanjutan dari kuliah Filsafat
Ilmu, khususnya dimensi Epistemologis. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Metode Penelilian merupakan
operasionalisasi dari epistemologi kearah pelaksanaan
penelitian (bukan duplikasi melainkan operasionalisasi dari
epistemologi).

C. Ilmu Administrasi Publik dalam


Tinjauan Kefilsafatan Ilmu

Pada abad ke 21 ini tidak sedikit tantangan yang


dihadapi oleh Administrasi Publik. Menurut Philips J. Cooper
(1998) tantangan yang dihadapi itu antara lain : Diversity,
Accountability, Privatization, Civil Society, Democracy,
Decentralization, Reingineering, The Empowering Efect of High
Technology8. Sementara bagi Hughes (1994) dalam Management

8
Dalam Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia (Cet.I,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006) h. 15.
25
and Public Administration mengetengahkan Challenges, and
Organization and Directions in a number issues on Public
Administration as: 1) The Culture Milieu of Public
Administration, 2) Crisis/Disaster Management, 3) Strengthening
of Local Level Institutions, 4) Promoting Accountability in Public
Management, 5) Human Resources Development, 6) The Impact on
Technology of Public Administration, and 7) Managing Economic
and Technology Interdependencies 9.
Dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi
Publik, telah terjadi pergeseran titik tekan dari Administration
of Public or Development dimana Negara/pemerintah sebagai
agen tunggal implementasi fungsi negara/pemerintahan yang
bertugas dalam Public Service; menjadi Administration for Public
yang berorientasi bahwa Public Demand are differentiated, dalam
arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator,
katalisator yang bertitik tekan pada putting the custumers in the
drivers seat. Dimana determinasi negara/pemerintah tidak lagi
merupakan faktor utama atau sebagai driving forces.
Ilmu Administrasi Publik sebagai salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang dapat membentuk pola pikir manusia,
dalam hal : a) menciptakan pandangan yang sistematis
mengenai seluruh realitas penalaran ilmu administrasi publik,
b) melukiskan hakikat realita awal dan akhir perkembangan
ilmu administrasi publik yang berada dalam pemikiran
manusia, c) menentukan batas-batas, jangkauan, dan
keabsahan, serta nilai-nilai dasar ilmu administrasi publik
dalam realita kehidupan manusia, d) penyelidikan secara
kritis atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh berbagai
ilmuwan, baik secara empirikal maupun secara transedental
terhadap ilmu administrasi publik, dan e) disiplin ilmu yang

9
Dalam Warsito Utomo, Log.cit..
26
dapat mengantar para ilmuwan administrasi publik untuk
berpikir secara kritis, rasional, objektif, efisien, dan efektif
terhadap perkembangunan dan realita pembangunan,
pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Berpikir dengan nilai normatif ilmu administrasi
publik merupakan suatu kajian yang mendalam di alam nalar
manusia yang dapat menembus cakrawala dunia, ditandai
dengan gerak langkah rasionalitas di bidang kefilsafatan ilmu.
Dalam hakikat kefilsafatan tersebut dikenal tiga domain
sebagai landasan dalam filsafat ilmu, yaitu: 1) Ontologi; yang
membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, sehingga dalam domain ini diketahui apa
yang menjadi objek telaah/kajian berkenaan dengan Locus dan
Focus dari ilmu administrasi publik, 2) Epistemologi; teori
pengetahuan, tentang bagaimana cara kita mendapatkan
pengetahuan mengenai objek dari ilmu administrasi publik
tersebut, dan 3) Aksiologi, teori tentang nilai mengenai nilai
kegunaan dan manfaat dari ilmu administrasi publik.
Filsafat Ilmu diartikan sebagai suatu cara berpikir yang
radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas
sesuatu sedalam-dalamnya10. Tidak ada satu hal yang
bagaimanapun kecilnya terlepas dari pengamatan kefilsafatan.
Tak ada suatu pernyataan yang bagaimanapun sederhananya
yang kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama
dan cermat. Filsafat menanyakan segala sesuatu dari kegiatan
berpikir kita dari awal sampai akhir.
Socrates menegaskan, bahwa tugas filsafat yang
sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun
mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan berpikir

10
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Cet.Ke-16,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h.4.
27
manusia dalam berfilsafat bukan saja diukur dari jawaban
yang diberikan tetapi juga dari pertanyaan yang diajukan.
Jika demikian halnya, apakah hubungan filsafat
dengan ilmu? Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Demikian halnya bidang
ilmu administrasi publik. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan
pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap pertanyaan: 1)
apakah yang ingin kita ketahui? 2) bagaimanakah cara kita
memperoleh pengetahuan itu?, dan 3) apakah nilai
pengetahuan tersebut bagi kita?.
Ketiga pertanyaan dasar tersebut dalam kefilsafatan
ilmu dapat dibahas dalam tiga domain utama, yakni: Ontologi,
membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan kata lain, suatu pengkajian
mengenai teori tentang “ada” atau objek telaah/kajian.
Kemudian bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan
mengenai objek telaah/kajian tersebut? Jawabnya ada pada
domain Epistemologi, yakni tentang teori pengetahuan.
Akhirnya berbicara tentang nilai manfaat dan kegunaan ilmu
pengetahuan, kita dapatkan dari domain Aksiologi.
Analisis kefilsafatan ilmu ditinjau dari tiga domain
tersebut, akan membawa kita kepada hakekat, bahwa dalam
mempelajari ilmu termasuk ilmu administrasi publik ditinjau
dan dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-
dalamnya.

1. Ontologi Ilmu Administrasi Publik


Perkataan “ontologi” berasal dari bahasa Yunani
“logos” yang berarti “yang ada”. Ontologi membicarakan asas-

28
asas rasional dari yang ada11. Ontologi menurut Agus Salim
mempersoalkan objek kajian (telaah) ilmu, bagai ujud hakiki
objek tersebut sehingga dapat ditangkap oleh manusia dan
membuahkan pengetahuan (berpikir, merasa, dan
mengindera). Bidang telaah yang menggeluti pertanyaan ini
adalah metafisika yang memberi beberapa tafsir tentang
fenomena sosial yang dikaji12. Sementara itu Suriasumantri
mengemukakan bahwa ontologi ilmu itu membahas tentang
apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan kata lain bahwa ontologi itu merupakan suatu
pengkajian tentang “ada”, apakah yang menjadi bidang telaah
ilmu, dan dari segi apa13. Ontologi itu berbicara tentang objek
(locus dan focus) yang perlu dipikirkan secara mendalam
sampai pada hakekatnya. Hakikat itu ialah realitas; realitas
ialah ke-real-an; real artinya kenyataan yang sebenarnya; jadi
hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, bukan keadaan
sementara atau keadaan yang menipu14.
Kajian ontologi kaitannya dengan Ilmu Administrasi
Publik, merupakan nilai dasar pemikiran manusia yang
menggambarkan tentang kebenaran dasar yang berakar dari
pangkal pikir yang dikandung oleh ilmu administrasi publik
itu sendiri15. Penalaran pangkal pikir ilmu administrasi publik
yang berkembang baik mengikuti nilai dasar ataupun telah

11
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, dialihbahasakan oleh :
Soejono Soemarogono, (Cet.IX, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003),
h.73.
12
Agus Salim, Bangunan Teori : Metodologi Penelitian (Ed.II,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h.10.
13
Jujun S. Suriasumantri, op.cit., h.5.
14
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Ce.Ke-14, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2005), h.28.
15
Makmur Filsafat Administrasi (Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2007), h.7.
29
tergeser dari nilai dasar itu. Pangkal pikir manusia dalam ilmu
administrasi publik melahirkan suatu konsep bangunan yang
kokoh dengan berpangkal tolak dari kebenaran. Eksistensi
dan identitas bukan merupakan atribut dari yang ada,
melainkan merupakan yang ada itu sendiri. Sedangkan
kesadaran bukan merupakan atribut dari keadaan sadar,
melainkan keadaan sadar itu sendiri. Descrates mengatakan :
“Aku ada karena aku berpikir atau cogito ergo sum”.
Kebenaran ilmu administrasi publik lahir dari pangkal pikir
manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
kejujuran16.
Noeng Muhadjir mengemukakan bahwa objek telaah
ontologi adalah “yang ada”. Ontologi membahas tentang
“yang ada” yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berupaya berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan yang meliputi semua realitas
dalam semua bentuknya17.
Ontologi ilmu administrasi publik merupakan ilmu
pengetahuan yang sifat jangkauannya sangat universal dan
menyeluruh dari struktur kehidupan manusia. Karena
memang ilmu administrasi publik bidang kajiannya adalah
tentang manusia, atau dengan kata lain ilmu yang
mempelajari tentang manusia. Istilah administrasi publik
memiliki cakrawala pemikiran yang sangat luas, sebagaimana
luasnya kandungan human resources dan non- human resources
artinya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, atau
dengan kata lain membahas tentang objek sumber daya
manusia dan sumber daya bukan manusia.

16
Ibid., h.7
17
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Postpositivisme, dan
Postmodernisme (Cet.I, Yogyakarta : Pake Sarasin, 2001), h. 57.
30
Penelitian ontologi ilmu administrasi publik dapat
meliputi seluruh pertanyaan dan perenungan dari seluruh
aspek, baik bersifat parsial maupun bersifat simultan, dalam
upaya mencari kebenaran kandungan ilmu administrasi
publik yang telah, sedang, atau akan berlangsung dalam
kehidupan manusia.
Oleh sebab itu, ontologi ilmu administrasi publik
bercorak total terhadap hal-hal yang bercirikan abstrak dan
konkrit. Ontologi ilmu administrasi publik yang sifatnya
abstrak, karena hanya berada dalam alam pikiran manusia
yang sifatnya sangat tidak terbatas dan jangkauannya hanya
dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sedangkan
ontologi ilmu administrasi publik yang bercirikan konkrit,
karena memang dapat diamati langsung oleh pancaindera
manusia dan hasilnya secara langsung dapat dinikmati.
Ontologi ilmu administrasi publik orientasi
penyelidikannya adalah berhubungan dengan yang “ada”,
apakah itu arti ada secara nyata (konkrit) ataukah arti ada itu
secara maya (abstrak) yang hanya ada dalam pikiran yang
ada.
Dengan demikian ilmu administrasi publik dalam
perspektif ontologi kefilsafatan ilmu menurut penulus
terarahkan pada apa yang menjadi objek atau locus dan focus
ilmu administrasi publik itu sendiri. Dalam kaitan inilah,
maka ontologi atau objek kajian/telahaan ilmu administrasi
publik adalah sebagai berikut:
a. Locus Ilmu Administrasi Publik
Locus adalah tempat dimana bidang ilmu administrasi
publik itu berada dan dikaji. Dalam hal ini, maka locus ilmu
administrasi publik adalah pada birokrasi pemerintahan,
sistem kemasyarakatan (publik), dan pembangunan.

31
b. Focus Ilmu Administrasi Publik
Focus adalah kekhususan kajian dari bidang ilmu
administrasi publik. Dalam tataran ini, maka yang menjadi
focus kajian ilmu administrasi publik diantaranya adalah:
prinsip-prinsip administrasi publik dan manajemen publik,
kebijakan publik, etika birokrasi dan pemerintahan,
pemberdayaan aparatur dan masyarakat, pelayanan public,
serta segala sesuatu yang berkenaan dengan regulasi
negara, pemerintahan, kemasyaratan dan pembangunan
secara komprehensif.
Jika dikaitkan antara Filsafat Ilmu dengan Metodologi
Penelitian bidang ilmu administrasi publik, khususnya dalam
dimensi ontologi (objek telaah/kajian atau locus dan focus-
nya), maka pendekatannya dapat dikaji permasalahan dalam
tema tentang, misalnya: “Perilaku Birokrasi dan Pelayanan
Publik dalam Perspektif Otonomi Daerah”.
Dari tema tersebut, dapat diketahui tentang “objek
telaah/kajian” ilmu administrasi publik, dalam hal ini “locus-
nya” adalah pada Birokrasi Pemerintah Daerah; sementara
“focus-nya” adalah kajian tentang perilaku birokrasi dan
pelayanan publik.

2. Epistemologi Ilmu Administrasi Publik


Epistemologi didefinisikan sebagai filsafat yang
sistematis tentang proses mengetahui sebagai ciri khas
manusia. Wilayah kajiannya adalah tentang teori
pengetahuan, tentang sumber (rasio-empiri), sarana, batas-
batas (ruang dan waktu), struktur (subjek-objek), dan
keabsahan (teori kebenaran) sebuah sistem pengetahuan.
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas
secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha

32
kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang
dinamakan metode keilmuan. Suriasumantri menegaskan
bahwa Epistemologi adalah cara mendapatkan atau
memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara dan proses yang
benar18.
Epistemologis ilmu administrasi public dapat
ditegaskan bahwa perkembangan ilmu administrasi publik
dalam pemikiran manusia terhadap rasionalitas melahirkan
pandangan yang bercakrawala dan tidak dapat dijangkau
sampai batas akhirnya19.
Epistemologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang
mempelajari dan menetapkan kodrat atau skop suatu jenis
ilmu pengetahua serta dasar pembentukannya. Disamping itu,
menjelaskan pertanggungjawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang muncul akibat ilmu pengetahun itu sendiri. Memang
persoalan kodrat ini banyak argumentasi atau pandangan
yang variatif. Sebagian orang menganggap hal itu kodrat,
tetapi sebagian orang mengatakan bukan kodrat. Dan
sebagian lagi mempertentangkan antara kodrat dan kebiasaan.
Sasaran utama materi atau content epistemologi
sebenarnya dapat dikatakan berorientasi pada pertanyaan
bagaimana sesuatu itu diperoleh, bagaimana untuk
mmengetahuinya, dan bagaimana membedakan antara yang
satu dengan yang lainnya. Untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut Makmur20 terlebih
dahulu harus:

18
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer
(Cet.XVII, Jakarta : CV Muliasari, 2003) h.101.
19
Makmur, op.cit.,h.8.
20
Ibid.,h.64.
33
a. Memiliki pengetahuan, seseorang yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan terhadap sesuatu akan
dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepadanya.
b. Memiliki pemahaman, sangat mengharapkan kemampuan
berpikir atau bernalar suatu objek yang dipertanyakan,
seperti mampu menjelaskan pengetahuan yang diketahui
dengan menjelaskan, membedakan, menyimpulkan,
merangkum, memperkirakan, dan lain sebagainya.
c. Kesanggupan menerapkan atau memanfaatkan
kepemilikan ketrampilan dan kemampuan bekerja akan
dapat menyelesaikan atau menjawab bentuk pertanyaan
yang diajukan kepadanya.
d. Kemampuan menganalisis, kegiatan menganalisis terhadap
sesuatu objek atau permasalahan, seperti memisahkan
komponen-komponen, menjabarkan yang lebih detail,
menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya,
dan lain sebagainya.
e. Kemampuan mensintesis, kemampuan untuk
mengkombinasikan berbagai bagian atau elemen ke dalam
satu kesatuan yang berstruktur, sehingga menciptakan
suatu desainb yang dapat diyakini kebenarannya.
f. Ketepatan mengevaluasi, suatu keinginan yang dilakukan
untuk membuat bentuk penilaian terhadap suatu ide,
gagasan, dan metode tertentu dengan menggunakan
kriteria yang tepat, sehingga dapat memberikan suatu
informasi antara perbandingan yang satu dengan yang
lainnya.
Pengembangan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia merupakan kajian utama domain epistemologi dalam

34
usaha pengayaan manusia di bidang ilmu pengetahuan,
antara lain ilmu administrasi publik, baik yang berkaitan
dengan etika, estetikanya, maupun cara atau prosedur
memperoleh ilmu. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan, seperti:
untuk apa penggunaan ilmu pengetahuan, adakah batas
kewenangan dalam melakukan suatu penelitian ilmiah,
kemana pengembangan ilmu itu diarahkan, dan bagaimana
mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar itu?.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan, termasuk di
dalamnya ilmu administrasi publik, bersumber dari pikiran
manusia yang telah diuji kebenarannya melalui suatu bentuk
penelitian sesuai norma-norma keilmuwan administrasi
publik.
Ilmu pengetahuan dibidang administrasi publik
merupakan suatu pertanyaan terhadap materi atau content,
bentuk atau form, serta objek formal dan materiilnya.
Pemahaman intelektual seseorang pada ilmu administrasi
publik utamanya adalah sebagai pengetahuan yang
mempelajari segenap asas, aturan, dan tatwa cara penalaran
dari suatu objek yang dipikirkan dengan benar. Penalaran
adalah proses pemikiran manusia yang selalu berusaha untuk
memperoleh pernyataan baru yang merupakan tindak lanjut
dari pernyataan lain yang telah diketahui sebelumnya.
Hakikat dasar dari pengetahuan administrasi publik
mensyaratkan adanya makna apriori (kebenaran dasar)
sebagai realita fundamental dan tidak relatif, sedangkan
kebenaran realita yang telah mengalami perubahan dari nilai
dasar. Berpikir apriaori dalam ilmu administrasi publik
menurut Makmur merupakan salah satu kajian dari konsep
objektvisme, dengan bermuara pada rasionalisme yang dalam
perkembangannya mengalami tiga tahapan proses berpikir

35
manusia dalam bidang ilmu administrasi publik. Pertama,
kesadaran objek administrasi publik itu sendiri; kedua,
kesadaran bahwa adanya perbedaan penalaran terhadap objek
administrasi publik, dan ketiga, pemahaman terhadap
hubungan yang terjadi antar berbagai entitas, baik perbedaan
maupun persamaannya.21
Oleh karena itulah, maka ilmu administrasi publik
dalam perspektif filsafat ilmu, menspesialisasikan diri kepada:
a) Pemikiran bersifat spekulatif yang dijadikan dasar dalam
menyusun sistematika pemikiran dan tindakan
administrasi,
b) Melukiskan hakikat realita secara lengkap terhadap
kondisi objektif administrasi publik,
c) Menentukan batas-batas jangkauan dan keabsahan proses
pemikiran dan aktivitas bidang administrasi publik,
d) Melakukan penelitian tentang kondisi krtisis akibat darfi
pengandaian atau pernyataan yang diajukan oleh
berbagai pemikir ilmu lainnya, dan
e) Administrasi publik merupakan salah satu bidang ilmu
yang dapat membantu melihat apa yang dapat dikatakan
dan mengatakan apa yang dapat di lihat22.
Berorientasi pada uraian diatas, maka secara spesifik
epistemologi ilmu administrasi publik dalam kefilsafatan ilmu
yang menekankan pada bagaimana cara memperoleh atau
mendapatkan ilmu administrasi publik, berarti kita harus
mengetahui proses dan cara yang tepat melalui kegiatan
penelitian dengan menggunakan pendekatan baik dalam
disain penelitian kuantitatif maupun kualitatif, dengan

21
Ibid., h. 67.
22
Ibid., h.72-73.
36
menggunakan jenis dan bentuk metode penelitian yang sesuai
dengan locus dan focus ilmu administrasi publik.

3. Aksiologi Ilmu Administrasi Publik


Domain aksiologi sebagai penegasan terhadap nilai
manfaat dan kegunaan ilmu. Suriasumantri mengatakan
bahwa aksiologi adalah berbicara tentang nilai kegunaan ilmu.
Aksiologi berbicara tentang teori nilai23.
Dalam aktivias keilmuan, wajar jika kita bertanya:
Apakah kegunaa ilmu itu bagi kita? Tak dapat disangkal
bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam
memberantas berbagai keterbelakangan kita.
Ilmu administrasi publik akan memberikan makna
yang hakiki apabila dimanfaatkan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, sehingga member kemudahan dan
kelayakan berpikir serta bertindak bagi manusia yang
mendalami ilmu administrasi publik. Proses pemikiran untuk
mencapai kematangan ilmu administrasi pubik dan
aplikasinya dalam kehidupan akan tergambar pada pola pikir
deduktif maupun induktif.
Pemanfaatan atau pernggunaan cara berpikir deduktif
dalam kaitannya dengan penalaran dlam argumentasi ilmu
administrasi publik, bermula dari pemaknaan yang meluas
kepada penalaran dengan pemaknaan yang semakin
menyempit, sedangkan pemanfaatan penalaran induktif
berawal dari argumen yang menyempit kepada argmuen yang
meluas/mendunia.
Relevansinya dengan hal tersebut, maka eksistensi
ilmu administrasi publik dalam perspektif aksilogi, yakni
tentang manfaat atau nilai kegunaan dari ilmu administrasi

23
Jujun S. Suriasumantri, Op.cit., h. 229.
37
publik, dapat dilihat pada peranan ilmu administrasi publik
itu sendiri yang dilakukan secara rasional, efektif, dan efisien
dengan memperhatikan24:
a. Perubahan yang terjadi perlu terus diantisipasi
perkembangannya, sehingga tetap mengarah kepada
perubahan yang positif.
b. Memperkuat moral dan etika kerja bagi aparatur, agar
tidak cepat terpengaruh oleh arus informasi yang beraneka
ragam pemaknaannya.
c. Tujuan ditetapkan secara konsisten sehingga aneka
persepsi dapat diatasi dengan baik.
d. Penyesuaian terhadap teknologi, lingkungan, dan
kebijakan publik.
Secara ideal, kemajuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan hendaknya berjalan selaras
dengan peningkatan kualitas implementasi dan aplikasi
tanggungjawab manajemen, baik dilakukan secara individual,
kolektif, maupun secara institusional. Konsepsi ini
menegaskan bahwa nilai manfaat dan kegunaan (aksiologi)
dari ilmu administrasi publik adalah terwujudnya
kebersamaan, keterbukaan, kemitraan, kemandiria, serta
kemapanan ilmu pengetahuan dan teknologi administrasi
publik itu sendiri, sehingga implementasinya lebih berhasil
guna dan berdaya guna dalam kehidupan kemasyarakatan
dan pembangunan.
Oleh karena itulah, maka aksiologi ilmu administrasi
publik merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar
dan terencana dalam rangka pemanfaatan, atau dengan kata
lain penerapan ilmu administrasi publik yang teratur dan
produktif. Ilmu administrasi publik yang dimanfaatkan secara
24
Makmur, Op.cit., h. 22
38
positif memungkinkan manusia lebih leluasa untuk
berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan
lingkungannya, demikian juga bahwa ilmu administrasi
publik dapat meningkatkan martabat manusia.
Sebagai orang yang mendalami bidang ilmu
administrasi publik, maka dipandang perlu memahami tanda-
tanda ilmuwan administrasi publik di era modernisasi dewasa
ini, sebagai berikut:
a. Tindakan rasionalitas; aktivitas dalam ilmu administrasi
publik senantiasa dilakukan dengan dilandasi pemikiran
rasional, sehingga daya guna dan hasil guna yang
diharapkan dapat terwujud dengan baik.
b. Menonjolnya pemikiran yang berlawanan dengan sifat
alamiah; pemikiran ilmuwan administrasi publik dalam era
modernisasi saat ini selalu menghendaki adanya
perubahan. Kata orang bijak, tidak ada sesuatu yang pasti
di dunia ini, kecuali perubahan, dan tidak ada yang tetap di
dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri.
c. Otomatisasi semakin kuat; dengan kemajuan teknologi,
administrasi publik dewasa ini menuntut adanya kondisi
yang cepat, tepat, dan selamat, tidak berlaku lagi biar
lambat asal selamat. Manusia yang memiliki pola pikir
demikian akan habis digilas otomatisasi teknologi
administrasi publik.
d. Sifat Universal; semakin berkembangnya ilmu administrasi
publik semakin terikat kepada ilmu lain, demikian pula
sebaliknya, semakin berkembang ilmu lain, semakin terikat
kepada ilmu administrasi publik.

39
e. Otonomi keilmuan; otonomi ilmu administrasi publik
menciptakan spesialisasi sehingga keahlian yang mendasar
dan profesionalisme dapat terwujud25.
Pemanfaatan ilmu administrasi publik dalam suatu
bentuk kerjasama, yang didukung oleh pengaturan dan
keteraturan yang tepat, dapat dilihat dari : Pertama,
bermanfaat bagi orang yang mendalami ilmu administrasi
publik itu sendiri dengan ditandai bertambahnya
pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran atas realitas. Kedua,
bermanfaat bagi ilmu administrasi publik itu sendiri. Ketiga,
bermanfaat bagi skala ruang yang lebih luas. Keempat,
bermanfaat dari skala waktu yang lebih panjang atau lama.
Berorientasi pada pembahasan diatas, dan dikaitkan
dengan kegiatan penelitian ilmu administrasi publik, maka
nilai kegunaan dan manfaat penelitiannya dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
a. Pengetahuan khusus (deskripsi khusus); bagi aspek
keilmuan berguna dalam mengisi kekosongan.
b. Pengetahuan general (deskripsi general); bagi aspek
keilmuan berguna dalam mengisi kekosongan
pengetahuan yang bersifat umum dan universal.
c. Pengetahuan factual (eksplanasi); bagi aspek keilmuan
pengetahuan teknologis berguna bagi akumulasi factual
dalam mendukung teori-teori yang telah ada.
d. Bagi pengembangan keilmuan (aspek teoritis); Eksplanasi
faktual yang telah teruji secara empirik itu dapat
memberikan sumbangan kepada teori-teori, baik
menambah maupun memantapkannya.
e. Bagi aspek guna laksana (praktis); Teori atau fakta yang
telah teruji itu mempunyai manfaat praktis dalam hal
25
Makmur, Ibid., h.85.
40
eksplanasi, sedemikian rupa daya diagnosisnya bagi terapi
lebih langsung daripada deskripsi, terutama yang nilai
informasinya tinggi26.

26
Rusidi, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD, 2005), h..22.

41
BAB
IV

BEBERAPA METODE
DALAM DISAIN
PENELITIAN KUANTITATIF,
SISTEMATIKA DISAIN
PENELITIAN KUANTITATIF
DAN CONTOH JUDUL
PENELITIAN KUANTITATIF
A. Beberapa Metode
Dalam Disain Penelitian Kuantitatif

P
erkembangan ilmu pengetahuan manusia
berdampak pada penemuan dan pengembangan
aktivitas keilmuan yang digeluti manusia, tak
kecuali semakin berkembangnya berbagai metode dalam
disain kuantitatif, apalagi disain penelitian kuantitatif ini yang
lebih awal mendominasi perkembangan ilmu dan filsafat ilmu
sebagai awal eksisnya aliran positivisme. Beberapa metode
dalam disain penelitian kuantitatif tersebut, diantaranya
diolah dari berbagai sumber sebagaimana diuraikan berikut
ini:

42
1. Metode Deskriptif Survey (Deskriptive Survey)

M
etode Deskriptif survey adalah riset yang
diadakan untuk memperoleh fakta tentang
gejala atas permasalahan yang timbul. Kajian
yang dilakukan tidak perlu mendalam, tidak perlu
menyelidiki mengapa timbul berbagai macam gejala, serta
menganalisis hubungan gejala-gejala. Fakta yang ada
digunakan untuk memecahkan masalah untuk pengujian
hipotesis. Survey dapat membantu dalam membandingkan
kondisi-kondisi yang ada dengan criteria yang telah
ditentukan.27
Nazir berpendapat bahwa metode survey adalah
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta
dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-
keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial,
ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu
daerah. Metode survey membedah, menguliti dan mengenal
masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap
keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.28
Rusidi menandaskan bahwa metode deskriptif survey
bertujuan menemukan deskripsi gejala general dan universal,
yang berlaku pada sejumlah variasi situasi dan kondisi.
Deskripsi general itu sendiri telah ditunjukkan dengan
konsep-konsep dan atau variabel-variabel dari penggolongan,
kategorisasi, dan klasifikasi fenomena secara abstrak.
Sedangkan universalitas, terletak pada survey itu sendiri,

27
Husein Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi: Ilmu Administrasi
Negara, Pembangunan, dan Niaga (Cet.I; Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004), p.37.
28
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet.V; Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003), p.56.
43
artinya proses penyusunan “peta” wilayah atas daerah
menurut variasi situasi dan kondisi (ekosistem) tertentu, alam,
kehidupan sosial atau budaya tertentu perlu diwaspadai
“wilayah atau daerah” hasil survey ini tidak selalu identik
dengan wilayah atau daerah “administratif” pemerintahan.29
Deskriptif Survey disebut juga penelitian
pengembangan (developmental research). Pengembangan,
artinya meluas pada sejumlah variasi situasi dan kondisi, oleh
karena itu biasanya tidak mendalam; artinya tidak semua
unsur, cirri dan sifat proses atau fungsi fenomena diteliti dan
dianalisis, melainkan hanya beberapa saja, yang masih
dianggap merupakan masalah yang pemecahannya belum
diketahui.
Kerlinger menegaskan bahwa survey adalah penelitian
yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data
yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari
populasi tersebut, sehigga ditemukan kejadian-kejadian
relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel
sosiologis maupun psikologis.30 David Kline mengungkapkan
bahwa penelitian survey pada umumnya dilakukan untuk
mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang tidak
mendalam. Walaupun metode survey ini tidak memerlukan
kelompok kontrol, seperti halnya pada metode eksperimen,
namun generalisasi yang dilakukan bisa lebih akurat bila
digunakan sampel refresentatif.31.

29
Rusidi, Metodologi Penelitian Sosial. Dibukukan kembali oleh
Yulianto Kadji (Bandung: Program Pascasarjana UNPAD, 2005), p.22.
30
Kerlinger, dalam Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Cet.ke-
12; Bandung: CV Alfabeta, 2005), p.7.
31
David Kline, dalam Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi
(Cet.ke-12; Bandung: CV Alfabeta, 2005), p.7.
44
Dengan survey, peneliti hendak menggambarkan
karakteristik tertentu dari suatu populasi, apakah berkenaan
dengan sikap, tingkah laku, ataukah aspek sosial lainnya;
variabel yang ditelaah disejalankan dengan karakteristik yang
menjadi fokus perhatian survey tersebut. Oleh sebab itu,
teknik sampling (cara pengambilan sampel atau contoh dari
individu atau kelompok yang diteliti) merupakan persoalan
penting pada setiap survey.32 Penelitian survey merupakan
penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengambilan data yang
pokok.33
Survey dapat dilakukan dengan cara sensus maupun
sampling terhadap hal-hal yang konkrit faktual dan abstrak.
Oleh karena itu, maka survey dapat memberikan kontribusi
dalam asas manfaat untuk tujuan-tujuan deskriptif, membantu
dalam mengkomparasikan situasi dan kondisi yang riil
dengan aspek dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dan juga untuk kepentingan pelaksanaan evaluasi dan tindak
lanjut.

2. Metode Eksplanatori Survey (Explanatory Survey)

E
ksplanatori Survey merupakan metode dalam
disain penelitian kuantitatif yang menjelaskan
sebab akibat yang terjadi (causality research)
Eksplanatori artinya penjelasan atau hal-hal yang
berhubungan dengan menjelaskan (explanating), baik

32
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Cet.ke-6; Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2003), p.23.
33
Masri Sungarimbun & Sofyan Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai
(Cet.I; Jakarta: LP3ES, 1987), p.1.
45
menjelaskan peristiwa atau keadaan sekarang (eksplanation),
maupun menjelaskan peristiwa atau keadaan yang akan
datang (prediction). Menjelaskan berarti menerangkan
mengapa ada atau terjadi, atau apa yang akan terjadi, dan
menunjukkan penyebab dari peristiwa (yang ada atau terjadi);
atau menunjukkan akibat dari adanya atau terjadinya
peristiwa itu.
Menurut Rusidi tujuan yang hendak dicapai oleh
metode eksplanatori survey adalah teori-teori non eksak yang
dikembangkan melalui pekerjaan penelitian pengujian
(verifikasi) proposisi-proposi faktual; artinya proposisi-
proposisi deduksi (hipotesis) yang diuji secara empirik itu.
Oleh karena itu sering disebut penelitian pengujian (verifikative
research). Jadi sebagai penelitian pengujian, maka metode
eksplanatori survey ini terlebih dahulu harus menghasilkan
sesuatu yang akan diuji, yaitu deduksi hasil berpikir deduktif
(logical construct atau kerangka pemikiran) yang disebut
hipotesis itu.34
Sanapiah Faisal menjelaskan bahwa objek telaahan
metode penelitian eksplanasi adalah untuk menguji hubungan
antarvariabel yang dihipotesiskan. Pada metode penelitian ini,
jelas ada hipotesis yang akan diuji kebenarannya. Hipotesis itu
sendiri menggambarkan hubungan atau keterpengaruhan
antar dua atau lebih variabel; untuk mengetahui apakah
sesuatu variabel berasosiasi ataukah tidak dengan variabel
lainnya; atau apakah sesuatu variabel disebabkan/
dipengaruhi ataukah tidak oleh variabel lainnya.35
Metode eksplanatori digunakan untuk menggali,
mengidentifikasi dan menganalisis besarnya pengaruh antara

34
Rusidi, op.cit., p.23.
35
Sanapiah Faisal, op.cit., p.21.
46
dua atau lebih variabel, baik secara parsial maupun secara
total/utuh pengaruh dari masing-masing faktor atau dimensi
dari variabel-variabel penelitian.

3. Metode Eksperimental (Experimental Method)

M
etode eksperimental merupakan salah metode
penelitian dalam disain kuantitatif yang sering
digunakan, terlebih dalam penelitian bidang
eksakta (Natural Science). Metode eksperimen pertama kali
diperkenalkan oleh seorang navigator berkebangsaan Inggris
Sir Humprey Gilbert (1539-1583) dan seorang dokter dan ahli
bintang dari Italia bernama Galileo Galilei (1564-1642), mereka
ini yang disebut sebagai “bapak” dari metode eksperimental.
Dalam eksperimennya Gilbert membantah teori Forta
yang mengklaim bahwa besi akan menjadi besi berani jika besi
digosok dengan berlian. Gilbert membantah teori Forta
tersebut, dengan mengadakan eksperimen, ia menggosok besi
dengan 95 macam berlian di depan para saksi, dan hasil
percobaannya membuktikan bahwa tidak ada satu berlianpun
dapat membuat besi menjadi besi berani.
Sementara itu, Galilei dengan eksperimennya
merontokkan hukum Aristoteles (384 – 322 SM) yang
menyatakan bahwa kecepatan benda yang sejenis sebanding
dengan berat benda tersebut. Galilei membuat percobaan
dengan melemparkan bola besi yang beratnya berbeda-beda
dari atas menara condong Pisa. Kenyataannya, semua bola
besi tersebut jatuh dalam waktu yang sama, walaupun bola
besi tersebut berbeda-beda beratnya.
Metode eksperimen juga dapat digunakan dalam ilmu-
ilmu sosial dan pendidikan, misalnya mengujicobakan sebuah

47
metode pembelajaran pada dua kelas yang berbeda, maka
lazimnya pada suatu eksperimen tersebut terdapat kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. (kelas kontrol dan kelas
eksperimen). Dalam tataran inilah, maka metode eksperimen,
peneliti secara sengaja memanipulasi suatu variabel
(memunculkan atau tidak memunculkan sesuatu variabel)
kemudian memeriksa efek atau akibat yang ditimbulkannya.
Artinya, melalui eksperimen, ingin diketahui, apakah yang
akan terjadi jika sesuatu variabel dikontrol atau
dimanipulasikan secara terkendali?. Asumsinya, jika terdapat
dua situasi atau kondisi yang keadaannya serba sama,
kemudian kepada salah satunya ditambahkan (atau
dikurangi) satu elemen, maka perbedaan yang berkembang di
antara kedua situasi atau kondisi tersebut merupakan akibat
dari elemen yang ditambahkannya (atau dikurangi) tadi.
Metode Eksperimen juga pada prinsipnya merupakan
tipe penelitian yang dimaksudkan menarik generalisasi, untuk
membangun dan mengembangkan teori. Karenanya, teknik
penarikan sampel merupakan permasalahan yang harus
diperhitungkan sedemikian rupa, sehingga kesahihan
generalisasi dapat diandalkan dan validitasnya dapat terukur.
Menurut Rusidi metode eksperimental dilakukan
dengan mengikuti prosedur tertentu dengan maksud untuk
memahami pengaruh suatu kondisi yang sengaja diciptakan
terhadap suatu gejala tertentu. Kondisi yang diujicobakan
pengaruhnya itu disebut variabel eksperimental. Pelaksanaan
percobaan dilakukan pada dua kelompok gejala yang
homogen; kelompok pertama adalah gejala yang dikenai
variabel eksperimental, sedangkan kelompok kedua adalah
gejala yang sama tetapi tidak dikenai variabel eksperimental,
melainkan dibiarkan sebagai variabel kontrol. Hasil percobaan

48
variabel eksperimental ini dibandingkan dengan hasil variabel
kontrol. Jika ternyata ada perbedaan nyata sampai sangat
nyata (significant or higgly significant), maka dapat dinyatakan
bahwa variabel eksperimental itu benar-benar menunjukkan
pengaruh.36
Pelaksanaan metode eksperimen ini tidak sederhana,
karena berbagai persyaratan dan penjajagan-penjajagan serta
pengulangan-pengulangan yang memadai harus menjadi
perhatiannya. Oleh karena itu, metode ini telah
mempersiapkan berbagai macam rancangan percobaan
(experimental design) untuk berbagai macam tingkat pengaruh
yang ingin diketahui dan bermacam variabel eksperimental
dengan teknik-teknik statistika inferencial parametric. Biasanya
eksperimen ini untuk diketahui terbagi dua macam, yaitu: 1)
eksperimen eksploratif yang diperuntukkan untuk menyusun
hipotesis, dan 2) eksperimen pengembangan, diperuntukkan
untuk menguji hipotesis hasil eksperimen eksploratif itu.
Metode eksperimental juga sebagai substitusi dari metode
komparatif.

4. Metode Studi Kelayakan (Feasibility Study)

F
easibility Study sebenarnya adalah studi kasus yang
bersifat evaluatif yang diikuti dengan diagnosis
tertentu, yang ditujukan pada layak tidaknya suatu
tindakan atau usaha yang dilakukan. Feasibility Study pada
umumnya dilakukan dibidang ekonomi dan atau
pembangunan di suatu wilayah tertentu. Studi ini ingin
menjawab pertanyaan, apakah teknis dapat dilakukan,
ekonomis menguntungkan dan secara sosial dapat diterima,

36
Rusidi, op.cit., p.24.
49
secara keseluruhan dapat dipertanggungjawabkan; misalnya
dalam pendirian/pembangunan suatu pabrik, perusahaan,
proyek-proyek tertentu dalam suatu lokasi atau wilayah
tertentu.
Studi kelayakan merupakan applied research yang
pertimbangan-pertimbangannya dapat menggunakan hasil
penelitian-penelitian lainnya, selain studi kasus itu sendiri,
karena penelitian ini bersifat eksplorasi diagnostik. Teknik
analisis yang sering digunakan dalam metode ini adalah
SWOT Analysis.

5. Metode Penelitian Tindakan (Action Research)

P
enelitian tindakan adalah suatu proses yang dilalui
oleh perorangan atau kelompok yang menghendaki
perubahan dalam situasi tertentu untuk menguji
prosedur yang diperkirakan akan menghasilkan perubahan
tersebut dan kemudian, setelah sampai pada tahap
kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan,
melaksanakan prosedur ini. Penelitian tindakan merupakan
penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan metode
kerja yang paling efisien, sehingga biaya produksi dapat
ditekan dan produktivitas lembaga dapat meningkat.37 Rusidi
menegaskan bahwa penelitian tindakan disebut pula kaji
tindak, dan termasuk dalam epplied research, yang bertujuan
untuk memperbaiki suatu daerah (termasuk kehidupan
masyarakatnya) segera setelah penelitian selesai dilakukan.38

37
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Cet.ke-12; Bandung: CV
Alfabeta, 2005), p.9.
38
Rusidi, op.cit.,p.25
50
Tujuan utama action research ini adalah: i) mengubah
situasi, ii) mengubah perilaku, iii) reorientasi organisasi
termasuk restrukturisasi dan mekanisme kerja, perubahan
iklim kerja, dan penyesuaian pranata / kelembagaan, yang
bermuara pada perbaikan selayaknya.
Contoh penelitian tindakan:
 Penelitian untuk mencari metode mengajar yang paling
tepat di SMA Negeri 3 Gorontalo.
 Penelitian untuk memperbaiki prosedur dan metode kerja
dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di
Kabupaten Gorontalo.
Sama halnya dengan studi kelayakan, maka metode ini
juga dilakukan dengan eksplorasi diagnostik, dengan teknik
yang banyak digunakan adalah SWOT Analysis (Strenght-
Weakness-Oportunity-Threat)

6. Metode Riset Kebijakan (Policy Research)

P
olicy research menurut Sugiyono (2005:8) dimulai
karena adanya masalah, dan masalah ini pada
umumnya dimiliki oleh para
administrator/manajer atau para pengambil keputusan pada
suatu organisasi.39 Majchrzak menegaskan bahwa policy
research adalah suatu proses penelitian yang dilakukan pada,
atau analisis terhadap masalah-masalah sosial yang mendasar,
sehingga temuannya dapat direkomendasikan kepada
pembuat keputusan untuk bertindak secara praktis dalam
menyelesaikan masalah.40

39
Ibid.,p.8.
40
Majchrzak, dalam Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Cet.ke-
12; Bandung: CV Alfabeta, 2005), p.8.
51
Policy research pada akhirnya menurut hemat penulis
bermuara pada tiga dimensi utama aktivitas dan proses
kebijakan publik, yakni : i) perumusan kebijakan (policy
formulation), ii) Implementasi kebijakan (policy implementation),
dan iii) evaluasi kebijakan (policy evaluation). Riset kebijakan
akan dilakukan tergantung problema yang dihadapi dalam
tiga dimensi kebijakan tersebut.
Pertanyaan mendasar adalah:
1. Apakah permasalahan kebijakan itu, berada pada tataran
perumusan kebijakan?
2. Apakah permasalahan kebijakan itu berada pada tataran
implementasi kebijakan?
3. Atau apakah berada pada tataran pelaksanaan evaluasi
kebijakan itu yang tidak jalan?
Metode Riset Kebijakan dapat juga dilakukan dalam
bentuk disain penelitian kualitatif tergantung fokus dan lokus
masalah penelitian.

B. Sistematika Penelitian Kuantitatif*)

B
erbicara tentang sistematika penelitian kuantitatif
dalam berbagai sumber buku Metode Penelitian,
paling tidak dapat dideskripsikan garis-garis besar
sistematika penelitian kuantitatif, khususnya yang berlaku
dalam bidang Ilmu Administrasi Publik, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam mendisain Latar Belakang Permasalahan
pada penelitian kuantitatif, dapat diperhatikan
langkah-langkah sebagai berikut:

52
 Kemukakan harapan ideal / hal-hal yang
positif/normatif pada variabel Y atau
variabel masalah (2 - 3 paragraf atau lebih)
 Kemukakan harapan teoritik menurut
pandangan ahli pada variabel Y atau variabel
masalah (2 paragraf atau lebih)
 Kemukakan kenyataan/ permasalahan
empirik dan penyebabnya pada lokus
penelitian kaitannya dengan variabel Y atau
variabel masalah (2-3 paragraf atau lebih)
 Dibutuhkan dukungan data awal hasil
observasi kaitannya dengan variabel Y atau
variabel masalah (1-2 paragraf atau lebih)
 Pernyataan kemenarikan atas kecenderungan
masalah pada variabel Y yang dipastikan
solusinya adalah Variabel X1, X2 dan X2 (jika
terdapat 3 variabel X atau lebih) (2-3 paragraf
atau lebih)
 Diakhiri dengan formulasi judul (1 paragraf)
B. Identifikasi Masalah
 Peneliti mampu mengidentifikasi faktor-
faktor eksogen yang menyebabkan sehingga
terjadinya masalah pada variabel endogen,
baik masalah yang akan diteliti maupun yang
tidak diteliti.
 Identifikasi masalah cenderung dinyatakan
dalam bentuk kalimat pernyataan negatif,
bukan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
C. Pembatasan Masalah
 Peneliti membatasi masalah yang akan diteliti
dengan cara memilih beberapa butir dari
53
masalah yang telah teridentifikasi
sebelumnya.
 Pembatasan masalah disesuaikan dengan
tujuan penelitian.
D. Rumusan Masalah (sesuai variabel dan sub
variabel/ dimensi yang diangkat dalam
penelitian), contoh:
 Apakah terdapat Pengaruh X1 terhadap Y
 Apakah terdapat Pengaruh X2 terhadap Y
 Apakah terdapat Pengaruh X1 dan X2 secara
simultan terhadap Y
Atau ada formula lain terkait dengan
rumusan masalah yang relevan dengan
disain penelitian kuantitatif.
E. Tujuan Penelitian (menyesuaikan dengan
rumusan masalah)
F. Manfaat Penelitian (Manfaat Teoritis dan
Manfaat Praktis)
BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kajian Teori
- Deskripsi Teoritik Variabel Terikat (Y)
- Deksripsi Teoritik Variabel Bebas (X...dst)
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
C. Kerangka Pikir
D. Hipotesis Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
B. Metode dan Disain Penelitian
C. Populasi dan Sampel
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Teknik Analisis Data

54
F. Hipotesis Statistik
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan Hasil Penelitian
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi Hasil Penelitian (Untuk Disertasi)
C. Saran
DATAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
*) Dianjurkan mengikuti Pedoman Penulisan pada masing-masing PT

C. Contoh Judul dalam Disain


Penelitian Kuantitatif

Sekedar untuk memandu calon peneliti, maka berikut


ini dapat dikemukakan beberapa contoh judul dalam disain
penelitian kuantitatif, khususnya bidang Ilmu Administrasi
Publik, sebagai berikut:
1. Pengaruh Implementasi Kebijakan PKH dan Kompetensi
Aparatur terhadap Penanggulangan Kemiskinan di Kota
Gorontalo;
2. Pengaruh Perilaku dan Motivasi Kerja Aparatur terhadap
Peningkatan Kinerja Organisasi pada Setda Provinsi
Gorontalo;
3. Hubungan Motivasi Kerja dan Kompetensi Aparatur
dengan Peningkatan Produktivitas Organisasi SKPD dalam
Lingkup Pemkot Gorontalo ;
4. Pengaruh Rekrutmen Pejabat Fungsional dan Sistem Kerja
Organisasi terhadap Peningkatan Mutu Kepengawasan di
lingkungan Kementerian Agama Provinsi Gorontalo;
55
5. Pengaruh Implementasi Kebijakan Perencanaan Terpadu
melalui Musrenbang dan Kapasitas Kelembagaan SKPD
terhadap Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan
Pemerintahan di Kabupaten Gorontalo Utara;
6. Pengaruh Formulasi Kebijakan RKA, dan Sistem Kerja
Organisasi terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik di Kota Gorontalo;
7. Pengaruh Implementasi Kebijakan Sistem Pengawasan
Internal, dan Kapasitas Auditor terhadap Penjaminan Mutu
Pelayanan Publik di Kota Gorontalo;
8. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Daerah dan Motivasi
Kerja Aparatur terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik bidang Pendidikan di Kota Gorontalo;
9. Pengaruh Kemampuan Manajerial Kepala SKPD, dan
Komitmen Aparatur terhadap Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik di Kota Gorontalo;
10.Hubungan Komitmen Leadership Kepala Daerah dan
Kapasitas Aparatur Terhadap Peningkatan Kualitas
Penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Gorontalo.

56
BAB
V

BEBERAPA METODE
DALAM DISAIN
PENELITIAN KUALITATIF,
SISTEMATIKA PENELITIAN
KUALITATIF DAN
CONTOH JUDUL
PENELITIAN KUALITATIF

A. Beberapa Metode dalam Disain


Penelitian Kualitatif

D
isain penelitian kualitatif terlahir setelah
eksistensi penelitian kuantitatif lebih awal telah
mendominasi pengembangan ilmu pengetahuan,
akan tetapi lahirnya penelitian kualitatif bukan berarti
menghilangkan eksistensi dari penelitian disain kuantitatif.
Berikut ini dapat dideskripsikan beberapa metode
yang digunakan dalam disain penelitian kualitatif, antara lain
sebagai berikut:

57
1. Metode Studi Kasus (Case Study)

K
.Yin mengemukakan, bahwa secara umum studi
kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila
pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan
dengan “how” atau “why”, bila peneliti hanya memiliki
sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang
akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak
pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks
kehidupan nyata. Penelitian studi kasus dapat dibedakan
menjadi tiga tipe, yaitu studi kasus eksplanatoris, studi kasus
eksploratoris, dan studi kasus deskriptif.41
Dalam penggunaannya, peneliti studi kasus perlu
memusatkan perhatian kepada aspek pendisainan dan
pengerjaannya agar lebih mampu menghadapi kritik-kritik
tradisional tertentu terhadap metode pilihannya itu.
Sementara sumber informasi yang dapat digunakan dalam
rangka studi kasus adalah dokumentasi, catatan arsip,
wawancara, observasi langsung, observasi partisipan, dan
artifak fisik.
Menurut Maxfield studi kasus adalah penelitian
tentang kasus subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu
fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek
penelitian dapat saja berupa individu, kelompok, lembaga,
maupun masyarakat.42 Studi kasus menurut Nazir mmemiliki
banyak kelemahan karena anggota sampel yang terlalu kecil,
sehingga sulit dibuat inferensi kepada populasi. Disamping

41
Robert K.Yin, Studi Kasus; Desain dan Metode.Diterjemahkan oleh
M.Djauzi Mudzakir (Cet.I; Jakarta: PT RajaGrasindo Persada, 1996), p.1-2.
42
Maxfield, dalam Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet.V; Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), p.57.
58
itu, studi kasus sangat dipengaruhi oleh pandangan subjektif
dalam pemilihan kasus karena adanya sifat khas yang dapat
saja terlalu dibesar-besarkan. Kurang objektifnya, dapat
disebabkan karena kasus cocok benar dengan konsep yang
sebelumnya telah ada pada si penelitia, ataupun dalam
penempatan serta pengikutsertaan data dalam konteks yang
bermakna yang menjurus pada interpretasi subjektif 43.
Sementara itu, Sanapiah Faisal mengatakan bahwa
studi kasus merupakan metode dalam penelitian yang
penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara
intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus
juga bisa dilakukan terhadap individu, seperti yang lazimnya
dilakukan oleh para psikolog, juga bisa dilakukan terhadap
kelompok, seperti yang dilakukan oleh para ahli antropologi,
sosialogi, dan psikologi sosial.44 Baedhowi mengemukakan
bahwa metode studi kasus ini pada dasarnya terfokus pada
dua alasan:
a. studi kasus merupakan salah satu metode atau strategi
penelitian kualitatif yang muncul pada masa keemasan
penelitian kualitatif yang bersifat spesifik, khusus, dan
bersakala lokal, sehingga amat pas dengan momentum
postmodernisme yang menjadi acuan paradigma baru
dalam penelitian kualitatif masa kini, dan
b. studi kasus banyak digunakan dalam penelitian bidang
pendidikan, khususnya tentang effective schools, yang
sekarang banyak mendapat perhatian dari para pengambil
kebijakan, peneliti, dan praktisi pendidikan, yang meneliti
menjadi salah satu unsur di dalamnya. Studi kasus adalah

43
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet.V; Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003), p.57.
44
Sanapiah Faisal, op.cit.,p.22.
59
suatu metode pendekatan untuk mempelajarai,
menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case)
dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi
dari pihak luar.45
Selanjutnya menurut Mooney bahwa studi kasus dapat
dibagi 4 macam model pengembangan yang terkait dengan
moel analisanya, yaitu: Kasus Tunggal dengan Single Level
Analysis, Kasus Tunggal dengan Multi Level Analysis, Kasus
Jamak dengan Single Level Analysis, dan Kasus Jamak dengan
Multi Level Analysis.
a. Studi Kasus Tunggal dengan Single Level Analysis: studi
kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok
individu dengan satu masalah penting;
b. Studi Kasus Tunggal dengan Multi Level Analysis: studi
kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok
individu dengan berbagai tingkatakan masalah penting;
c. Studi Kasus Jamak dengan Single Level Analysis: studi
kasus yang menyoroti perilaku kehidupan dari kelompok
individu dengan satu masalah penting;
d. Studi Kasus Jamak dengan Multi Level Analysis: studi
kasus yang menyoroti perilaku kehidupan dari kelompok
individu dengan berbagai tingkatakan masalah penting.46
Berkenaan dengan metode studi kasus, Nazir
menawarkan langkah-langkah pokok dalam meneliti suatu
kasus, sebagai berikut:
1. Rumuskan tujuan penelitian

45
Baedhowi, dalam Agussalim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
(Cet.I; Yogya: PT Tiara Wacana, 2001), p.92.
46
Mooney, dalam Agussalim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
(Cet.I; Yogya: PT Tiara Wacana, 2001), p.94.
60
2. Tentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan
diteliti dan hubungkan apa yang akan dikaji serta proses-
proses apa yang akan menuntun penelitian.
3. Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih
unit-unit dan teknik pengumpulan data mana yang
digunakan. Sumber-sumber data apa yang tersedia.
4. Kumpulkan data yang relevan
5. Organisasikan informasi serta data yang terkumpul dan
analisis untuk membuat interpretasi serta generalisasi.
6. Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta
implikasi dari hasil penelitian.47
Penegasan tentang metode studi kasus, bahwa hasil
penelitian studi kasus pada salah satu objek dan lokasi
penelitian, tidak dapat digeneralisasi berlaku sama dengan
objek dan lokasi penelitian lainnya.

2. Metode Fenomenologis

F
enomenologi berasal dari kata fenomenon bahasa
Yunani, yang berarti gejala. Secara etimologis
fenomenologis berarti: uraian tentang fenomenon
atau sesuatu yang sedang menampakkan diri, atau yang
sedang menggejala. Fenomenologi merupakan aliran yang
ingin mendapatkan pengertian yang benar, yang sedalam-
dalamnya tentang apa yang menampakkan diri.
Fenomenologi merupakan refleksi hasil pemikiran filosof
Edmund Husserl di Jerman (1890-an). Fenomenologi itu
sendiri pada awalnya bercirikan sebagai descriptive
phenomenology yaitu berbentuk pembuktian dan bersifat

47
Moh. Nazir, op.cit.,p.58.
61
deskriptif terhaadap dua bentuk temuan, yaitu: permasalahan
dan objek sebagai permasalahan.
Fenomenologi merupakan ilmu yang mengkaji,
mengnalisis dan mempelajari suatu fenomena atau gejala di
jagat raya ini, yang penekanannya pada metode penghayatan
atau pemahaman interpretatif. Andaikan seseorang
menunjukkan perilaku tertentu dalam masyarakat, maka
perilaku tersebut merupakan wujud atau realisasi dari
pandangan-pandangan atau hasil pemikiran dari orang yang
berpikir itu. Realita atau kenyataan fenomena merupakan
ekspresi dari dalam alam pikir seseorang; oleh karena itu,
realita atau fenomena tersebut bisa jadi bersifat subyektif,
obyektif, dan interpretatif.
Cresswell (1998) menegaskan bahwa fenomenologis
menjelaskan struktur kesadaran dalam pengalaman manusia.
Metode fenomenologis berupaya membiarkan realitas
mengungkapkan dirinya sendiri secara natural tanpa over
intervensi.
Berkenaan dengan itu Cresswell (1998)
mengemukakan prosedur penting yang perlu diperhatikan
dalam melaksanakan studi fenomenlogis adalah sebagai
berikut:
a. peneliti harus memahami perspektif filosofis dibalik
pendekatan yang digunakan, terutama konsep mengenai
kajian bagaimana orang mengalami sebuah fenomena.
Peneliti menetapkan fenomena yang hendak dikaji melalui
para informan,
b. peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yang
mengungkap makna pengalaman bagi para
informan/individu, serta menanyakan kepada mereka
untuk menguraikan pengalaman penting setiap harinya,

62
c. peneliti mengumpulkan data dari individu yang
mengalami fenomena yang diteliti. Data diperoleh melalui
wawancara yang cukup lama dengan sekitar 2 – 25 orang,
d. peneliti melakukan analisis data fenomenologis. Peneliti
menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang
relevan dengan topik (tahap ini disebut horizontalization).
Selanjutnya, peneliti mengklasifikasikan pernyataan-
pernyataan tadi ke dalam tema-tema atau unit-unit makna,
serta menyisihkan pernyataan tumpang tindih atau
berulang-ulang (tahap ini disebut cluster of meaning). Pada
tahap ini, peneliti menuliskan apa yang dialami, yakni
deskripsi tentang makna yang dialami individu (textural
description); serta menuliskan bagaimana fenomena itu
dialami oleh para individu (structural description), dan
e. peneliti melaporkan hasil penelitiannya. Laporan ini
memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca
tentang bagaimana seseorang mengalami sesuatu. Laporan
penelitian menunjukkan adanya kesatuan makna tunggal
dari pengalaman, dimana seluruh pengalaman itu
memiliki struktur yang penting.

3. Metode Historical Social Science

M
etode Historical Social Science menunjukkan
bahwa ilmu sosial itu sangat kompleks dan
problematik berkenaan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan dan sejarah peradaban manusia. Oleh karena
itulah, maka fokus perhatian peneliti sejarah dengan metode
historis ini adalah bermuara pada masalah dokumentasi
historis dan situs-situs kesejarahan lainnya yang mendukung
pelaksanaan penelitian.

63
Menurut Husein Umar (2005:80) bahwa secara umum
sejarah meliputi pengalaman masa lalu yang menggambarkan
secara kritis seluruh kebenaran kejadian atau fakta untuk
membantu mengetahui apa yang harus dikerjakan sekarang
dan yang akan dikerjakan di masa datang. Riset sejarah
menghendaki data yang bersumber dari data primer berupa
dokumen dan peninggalan yang bernilai sejarah. Sumber data
sekunder dapat dipakai dalam hal data primer tidak ditemui.
Lebih lanjut Husein Umar (2005:81) menegaskan
bahwa penelitian sejarah baru dimulai bila peneliti telah
mengidentifikasi suatu pertanyaan yang membingungkan dan
kemudian merumuskannya. Oleh karena kecenderungan
mengevaluasi peristiwa dan tokoh masa lampau dipandang
dari sudut standar dan kebudayaan dewasa ini, dengan
mengingat kebudayaan dan standar yang ada sekarang,
peneliti sejarah diahadapkan kepada masalah perspektif
sejarah.
Dalam pandang lain Agussalim (2001:178)
mengemukakan bahwa bidang kajian sejarah tidak harus
mencerminkan adanya hubungan timbal balik antara fakta
sejarah dan interpretasinya, tetapi mencakup bentuk kajian
dari produk berpikir ilmu sosial secara lebih luas. Tujuan
penelitian sejarah menurut Isaac (1981) adalah untuk
merekonstruksi kejadian-kejadian masa lampau secara
sistematis dan objektif, melalui pengumpulan, evaluasi,
verifikasi, dan sintesa data diperoleh, sehingga dapat
ditetapkan fakta-fakta untuk membuat suatu kesimpulan.
Namun demikian kesimpulan yang diperoleh sifatnya masih
hipotesis. Sugiyono (2005:10) mengemukakan bahwa
penelitian sejarah dapat digunakan untuk menjawab

64
pertanyaan tentang: kapan kejadian itu berlangsung, siapa
pelaku-pelakunya, dan bagaimana prosesnya.
Metode historis secara subtansial dalam disain
penelitian kualitatif, hendak mengungkap fakta historis dan
proses kesejarahan tentang bagaimana dan mengapa sejarah
itu terjadi, siapa aktornya, serta apa makna dan manfaat
terjadinya suatu peristiwa kesejarahan bagi umat manusia itu
sendiri. Oleh karena itulah, pengungkapan fakta dan
data/dokumentasi sejarah dilakukan secara ilmiah melalui
penelitian historis yang kebenaran akademisnya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

4. Metode Etnografi atau Cultur Research


(Riset kebudayaan)

M
etode etnografi sebagai metode naturalistik yang
berkaitan dengan budaya dan kebudayaan
masyarakat. Oleh karena itu seorang etnograf
dalam melakukan penelitian budaya harus mampu
melibatkan diri dalam hidup keseharian masyarakat tertentu
untuk jangka waktu yang cukup lama, mengamati kejadian-
kejadian yang ada, mendengarkan apa yang dibicarakan
orang, dan berusaha mengumpulkan data yang bisa diperoleh
di tempat kejadian, yang akan memberi jawaban terhadap
problematika yang sedang dipertanyakan dalam penelitian.
Metode ini bermaksud mengkaji perilaku suatu
kelompok atau individu yang terkait dengan suatu potensi
budaya dan kebudayaan, yang pengumpulan data melalui
tehnik wawancara, diakses dari tema-tema hasil wawancara
untuk dimunculkan dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut
Craswell (1998) Metode Etnografi mendeskripsikan interpretasi

65
tentang social budaya atau sistem budaya suatu kelompok
masyarakat, yang mencakup pola perilaku, kebiasaan, adat
istiadat, dan cara hidup.
Prosedur yang harus diperhatikan dalam
menggunakan metode etnografi, diantaranya adalah:
a. peneliti melakukan observasi yang partisipatif dalam
waktu yang agak lama, melakukan wawancara satu
persatu anggota kelompok masyarakat sebagai informan,
b. peneliti mencari dan menemukan makna dari perilaku,
bahasa, dan interaksi dari kultur bersama dalam
kelompok, dan
c. peneliti mempelajari dan mendalami segala hal yang
dipakai (arfefak) serta maknanya bagi kelompok
masyarakat, menemukan mitos-mitos yang berkembang,
cerita/legenda, ritual-ritual, dan budaya sub etnis lokal
lainnya yang berkembang dalam masyarakat.
Oleh karena itulah, menurut Van Maneen bahwa hasil
penelitian etnografi adalah mendeskripsikan suatu
kebudayaan. Dalam penelitian etnografi menurut Spradley
(1973) bahwa peneliti bukan saja mempelajari masyarakat,
tetapi juga belajar dari masyarakat. Untuk menemukan
prinsip-prinsip hidup tersembunyi dari pandangan hidup
suatu kelompok masyarakat, seorang peneliti harus menjadi
seorang murid yang cermat dalam menyerap berbagai
informasi dari subjek yang ditelitinya. Peneliti menyerap
informasi berdasarkan pandangan orang dalam. Selanjutnya
Crasweel (1998) menyatakan bahwa hasil penelitian etnografi
menggambarkan potret cultural (cultural portrait) yang holistik
suatu kelompok masyarakat sosial. Peneliti menjelaskan
bagaimana pandangan para actor dalam kelompok tentang

66
kebudayaan itu (emic), serta interpretasi peneliti mengenai hal
tersebut berdasarkan suatu perspektif (etic).
Kaitannya dengan metode riset kebudayaan atau
etnografi ini, Kuntjara (2006:7) mengemukakan bahwa dalam
studi mengenai kegiatan kehidupan manusia, pada dasarnya
etnografi dikerjakan untuk memenuhi tiga kepentingan utama
sebuah penelitian naturalistic dengan metode etnografi ini,
yakni:
1. Perlunya pendekatan secara empiris. Fenomena yang
dipelajari tidak dapat dideduksi begitu saja dari teori yang
ada, tapi perlu dilakukan pengamatan empiris terlebih
dulu. Ciri ini membedakan studi etnografi dengan filsafat.
2. Perlunya membuka diri secara terus menerus terhadap
segala kemungkinan. Dalam melakukan studi
etnografinya, seorang peneliti lapangan tetap perlu
membuka diri agar dapat mengamati secara jeli unsur-
unsur yang tampak maupun yang tidak tampak yang
didapat dalam interaksinya dengan lingkungan tempat
penelitian dilangsungkan. Dalam hal ini peneliti jangan
terlalu terpaku pada rumusan-rumusan yang sudah
disiapkan sehingga kurang cermat bila ada fenomena baru
yang tidak diprediksikan muncul. Biasanya seorang
etnograf memiliki dua peran, yakni: sebagai pengumpul
data dan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang
ditelitinya.
3. Perlunya peneliti terikat pada fenomena lapangan yang
diamati. Studi etnografi perlu memperhatikan hubungan
antara kenyataan lapangan dalam kaitannya dengan
sejarah dan konteks masa lalunya. Studi etnografi tidak
dapat melepaskan keterkaitan itu untuk memahami apa
yang terjadi saat studi lapangan dilakukan.

67
Selanjutnya Kuntjara (2006-11) menawarkan tiga
langkah yang perlu dilakukan dalam penelitian dengan
metode etnografi (Riset budaya), yakni: 1) menentukan subjek
atau topik penelitian yang akan diteliti, 2) keberadaan
literature atau bahan bacaan pendukung, dan 3) mencari tahu
terlebih dahulu apakah penelitiannya bisa dikerjakan.

5. Metode Biografi

P
enelitian dengan metode biografi bersentuhan
dengan aktivitas riset yang mempelajari dan
mengungkap fakta dan data tentang hal ihwal
seseorang atau individu secara terbuka sebagai wujud
kerjasama ilmiah antara peneliti dengan individu yang akan
diteliti, berkenaan dengan pengalaman dan perjalanan
hidupnya. Pengungkapan pengalaman seseorang itu bisa saja
disampaikan langsung oleh individu yang bersangkutan
kepada peneliti atau melalui sumber-sumber lain yang
relevan, semisal dokumen data diri dan pengalamannya,
melalui famili dan sanak kerabatnya, teman sejawatnya, dll.
Dalam metode biografi ini yang terpenting adalah :
a. isu yang diangkat dan dikaji menyangkut moment yang
paling penting (turning-point moment) dari yang individu
yang akan diteliti,
b. bahan dokumen tersedia berkaitan dengan individu yang
diteliti,dan
c. yang bersangkutan bersedia dan mau berbagi informasi
tentang dirinya sendiri.
Penelitian biografi menurut Hasbiansyah (2004:210)
jika dilihat dari subjek penelitian memiliki varian yang
meliputi: studi biografi, otobiografi, histori kehidupan (life

68
history), histori lisan (oral history). Dilihat dari segi paradigma,
penelitian biografi memiliki rentangan dari “objektif” hingga
“subjektif”. Biografi dapat dilakukan secara “objektif”
(objectively), yakni dengan sedikit interpretasi dari peneliti,
secara ilmiah (scholarly) dengan latar belakang historis subjek
yang kuat dan organisasi karangan secara kronologis; secara
artistic (artictically), menjelaskan secara detail bagian
kehidupan yang menyenangkan dengan cara yang hidup; atau
dalam bentuk “naratif”, yakni ditulis dengan gaya sastra.
Pada ujung “objektif”, penelitian biografi dikenal dengan
istilah classical biography, sedangkan pada ujung “subjektif”
dikenal dengan terminology interpretative biography.
Dalam kerangka paradigma subjektif dalam penelitian
biografi, maka perlu dijelaskan langkah-langkah yang harus
dilakukan sebagaimana dikemukakan oleh Denzin, antara
lain:
a. peneliti memulai dengan serangkaian tujuan untuk
mengungkap pengalaman subjek, dilihat dari periodisasi
kehidupannya secara koronologis, secara menyeluruh,
atau pada segmen tertentu seperti dalam kehidupan
pendidikannya,
b. peneliti mengumpulkan cerita tentang subjek, atau bahan
biografi secara kontekstual dan nyata melalui wawancara,
c. cerita ini diorganisasikan sekitar tema yang menunjukkan
pada peristiwa sangat penting dalam kehidupan subjek,
d. peneliti mengembangkan dari makna cerita tersebut
berdasarkan subjek, untuk memberikan penjelasan dan
mencarin sejumlah makna lainnya, dan
e. peneliti juga mengaitkan dengan struktur yang lebih luas
untuk menjelaskan makna cerita tersebut, seperti interaksi
sosial dalam kelompok, isu cultural, ideologi, konteks

69
historis, dan memberikan interpretasi terhadap
pengalaman subjek itu. Bisa juga dengan interpretasi
silang, jika subjek yang diteliti lebih dari satu orang.
Dalam metode biografi paling tidak terdapat dua sisi
bentuk penulisannya, yaitu 1) aktivitas interpretasi peneliti
tentang tokoh sentral lain yang menjadi subjek penulisannya,
dan 2) biografi yang mendeskripsi tentang tokoh atau
perorangan yang aktivitas penulisannya dilakukan sendiri
oleh tokoh itu sendiri, dengan harapan bahwa dia dapat dan
mampu mengekspresikan perasaannya sendiri secara optimal
tanpa ada hambatan psikologis, sampai pada bentuk
pengungkapan perasaan khusus dan aneh sekalipun.

6. Metode Graunded Theory

B
arney Glaser dan Anselm Strauss sebagai
penggagas metode Graunded Theory menegaskan:
“...…the discovery of the theory from data which we call
graunded theory…”. Inti dari metode ini adalah bahwa teori
harus muncul dari data atau teori harus berasal dari dalam
data.
Metode Graunded Theory ini menurut Craswell (1998)
bertujuan untuk menghasilkan atau mengembangkan teori.
Teori dikembangkan dari situasi-situasi particular yang saling
berkaitan. Situasi yang dimaksud mencakup saat ketika orang-
orang saling berinteraksi, melakukan tindakan, atau bereaksi
terhadap sebuah fenomena. Untuk mengkaji bagaimana
seseorang bereaksi terhadap suatu fenomena, maka peneliti
harus mengumpulkan data melalui wawancara, mengunjungi
lapangan berkali-kali, mengembangkan dan menghubung-
hubungkan kategori-kategori informasi, menuliskan proposisi

70
atau hipotesis teoritis atau menyajikan gambaran visual
tentang teori.
Sehubungan dengan itu Craswell (1998)
mengemukakan tentang proses analisis data melalui metode
Graunded Theory, sebagai berikut:
a. Open coding. Peneliti membentuk kategori-kategori awal
informasi mengenai fenomena yang dikaji melalui
segmentasi informasi. Dari kategori ini, peneliti mencari
sejumlah subkategori. Peneliti melakukan dimensionalisasi.
b. Axial coding. Peneliti menyusun kembali data dengan cara
baru. Peneliti memfokuskan pada setiap kategori dan
melihatnya dalam pangkalan data secara keseluruhan,
untuk mengidentifikasi: i) apa yang menyebabkan
fenomena itu terjadi, ii) apa strategi atau tindakan subjek
dalam merespons fenomena itu, iii) konteks dan kondisi
apa yang mempengaruhi strategi tadi, dan iv) apa
konsekuensi sebagai akibat strategi itu.
c. Selective coding. Peneliti menjelaskan fenomena sentral
secara sistematis dan menghubungkannya dengan
kategori-kategori lainnya.
d. Conditional matrix. Peneliti mengembangkan potret
fenomena secara visual dalam bentuk matrik, dan
menjelaskan kondisi sosial, sejarah, ekonomi yang
mempengaruhi fenomena yang dikaji tersebut.
Selanjutnya Stern (dalam Agussalim,2001:110)
mengungkapkan perbedaan metode grounded theory dengan
metode-metode lainnya dalam disain kualitatif, yakni:
a. Kerangka kerja konseptualnya dihasilkan dari data, bukan
dari kajian terdahulu, walaupun demikian kajian terdahulu
juga selalu mempengaruhi hasil akhir penelitian.

71
b. Peneliti yang menggunakan metode grounded theory selalu
berusaha menemukan proses-proses dominant di suatu
situasi sosial, bukannya menguraikan unit sosial yang
diteliti.
c. Setiap bagian dari data dibandingkan dengan bagian data
yang lain guna menemukan model kategori jawaban yang
sesuai dengan tujuan penelitian.
d. Pengumpulan data di lapangan dapat dimodifikasi sejalan
dengan pengembangan model kategorisasi, proposisi dan
dalil yang ditemukan di lapangan guna mengembangkan
teori baru, dan,
e. Peneliti tidak mengikuti penggunaan langkah-langkah
yang bersifat linier, melainkan bekerja dengan matriks,
dimana beberapa proses penelitian dilakukan secara
simultan

7. Metode Analisis Wacana

D
alam pengertian sederhana, wacana (discourse)
atau diskursus adalah gagasan, ide, yang
diungkapkan dalam bahasa, baik secara tertulis
maupun lisan, sebagai peristiwa komunikasi
(Hasbiansyah,2004:214). Samsur (1999) mengemukakan bahwa
wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang
peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat
kalimat yang mempunyai hubungan pengertian pengertian
yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat
menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasan
tulisan.
Selanjutnya Hasbiansyah, (2004:214) menegaskan
bahwa analisis wacana merupakan kajian bahasa (linguistic)

72
yang berupaya untuk mencari makna dari struktur kalimat
serta pemilihan kata-katanya, dikaitkan dengan konteks saat
wacana itu diungkapkan. Analisis wacana juga merupakan
telaah tentang fungsi bahasa, sehingga analisis wacana dapat
digunakan dalam menelaah pesan dalam media, tulisan dalam
buku, pidato kenegaraan, atau obrolan-obrolan suatu
kelompok sosial yang terekam, yang menekankan pada
pemaknaan teks dari struktur kebahasaan yang digunakan.
Peneliti, melalui analisis wacana, berusaha untuk
mengungkap isi pesan yang latent (tersembunyi) di balik
pesan yang manifest.
Van Dijk mengajukan sebuah kerangka untuk analisis
wacana yang perlu diamati dan dilakukan oleh peneliti, antara
lain:
a. Tematik: apa yang dikatakan? Yang dikaji adalah topik
utama dari teks.
b. Skematik: bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?
c. Semantik: makna yang ingin ditekankan dalam teks. Yang
tercakup dalam semantic adalah detil, latar belakang,
maksud, pra-anggapan, dan nominalisasi.
d. Sintaksis: bagaimana pendapat disampaikan? Yakni,
bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.
e. Stilistik: pilihan kata apa yang dipakai?
f. Retoris: bagaimana dan dengan cara apa pendekatan
dilakukan? Dalam hal ini, grafis, metafora, dan ekspresi
merupakan elemen-elemen teks yang ditelaah.

8. Metode Analisis Semiotik

A
nalisis semiotic membahas tentang persoalan
“Tanda” (Sign) sebagai salah satu unsur yang
selalu digunakan dalam aktivitas dan proses
73
komunikasi antar manusia. Menurut Piliang (2003:19),
semiotika (semiotic) adalah ilmu tentang tanda dan kode-
kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat. Dalam
kajian semiotik terdapat beberapa konsep penting,
diantaranya menurut Piliang (2003:18-20):
a. Teks: pesan-pesan yang menggunakan tanda verbal atau
visual.
b. Tanda (sign): segala sesuatu yang menhasilkan makna.
c. Penanda (signifier): citraan dari sesuatu yang bersifat
verbal atau visual, seperti suara, tulisan, atau benda.
d. Pertanda (signified): konsep abstrak atau makna yang
dihasilkan oleh tanda.
e. Icon: tanda sebagai tiruan dari sesuatu.
f. Idex: tanda yang menunjuk sesuatu, memiliki hubungan
kausal.
g. Symbol: tanda yang menyimbolkan sesuatu, bersifat
arbitrer, sesuai kesepakatan.
Salah satu kerangka dalam analisis semiotik (Sudibyo
& Hamid, dalam Hasbiansyah, 2004:215) diajukan berikut ini:
a. Medan wacana (field of discourse): apa yang dijadikan
wacana oleh pelaku/media massa mengenai sesuatu yang
sedang terjadi.
b. Pelibat wacana oleh (tenor of discourse): menyangkut orang-
orang yang dicantumkan dalam teks, sifat orang-orang itu,
dan kedudukaannya.
c. Sarana wacana (mode of discourse): menyangkut peranan
bahasa, dan penggunaan gaya bahasa.

74
9. Metode Analisis Bingkai (Framing Analysis)

F
raming Analysis terfokus pada pengertian bahwa
pesan suatu media diframe oleh perspektif atau
pandangan ideologi tertentu. Dalam perspektif
komunikasi menurut Sobur (2001), analisis frame digunakan
untuk membedah cara-cara atau ideologi media massa saat
mengkonstruksi fakta. Analisis ini berupaya membongkar
bagaimana perspektif yang digunakan wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Oleh karena itu, untuk
memperoleh gambaran yang mendalam dan komprehensif,
maka peneliti harus:
a. mencermati teks tertulis,
b. melakukan wawancara mendalam dengan wartawan yang
bersangkutan, dan
c. melakukan wawancara mendalam dengan pihak
manajemen media, serta pihak-pihak terkait dengan isu
yang diangkat dan menjadi fokus penelitian.
d. melakukan interpretasi secara mendalam terhadap hasil
wawancara, sehingga diperoleh fakta dan data yang utuh.

10. Metode Eksploratory Survey

M
etode Eksploratory atau eksploratif adalah salah
satu jenis penelitian sosial yang tujuannya
untuk memberikan definisi atau penjelasan
mengenai konsep atau pola yang digunakan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti belum memiliki gambaran akan
definisi atau konsep penelitian. Peneliti akan mengajukan
pertanyaan (what) untuk menggali informasi lebih jauh. Sifat
dari penelitian ini adalah kreatif, fleksibel dan terbuka, serta

75
semua sumber dianggap penting untuk mendapatkan
informasi faktual.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjadikan
topik baru lebih dikenal oleh masyarakat luas, memberikan
gambaran dasar mengenai topik bahasan, menggeneralisasi
gagasan dan mengembangkan teori yang bersifat tentatif,
membuka kemungkinan akan diadakannya penelitian
lanjutan terhadap topik yang dibahas, serta menentukan
teknik dan arah yang akan digunakan dalam penelitian
berikutnya.

B. Sistematika Penelitian Kualitatif*)

B
erbicara tentang sistematika penelitian kualitatif
dalam berbagai sumber buku Metode Penelitian,
paling tidak dapat dideskripsikan garis-garis besar
sistematika penelitian kualitatif, khususnya yang berlaku
dalam bidang Ilmu Administrasi Publik, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Dalam mendisain Konteks Penelitian pada
penelitian kualitatif, dapat diperhatikan langkah-
langkah sebagai berikut:
 Kemukakan harapan ideal / hal-hal yang
positif/normatif pada endingnya judul
sebagai pijakan masalah utama penelitian (2 -
3 paragraf atau lebih)
 Kemukakan harapan teoritik menurut
pandangan ahli pada endingnya judul
sebagai pijakan masalah utama penelitian (2
paragraf atau lebih)

76
 Kemukakan kenyataan/ permasalahan
empirik dan penyebabnya pada lokus
penelitian kaitannya dengan endingnya judul
sebagai pijakan masalah utama penelitian (2-3
paragraf atau lebih)
 Dibutuhkan dukungan data awal hasil
observasi kaitannya dengan endingnya judul
sebagai pijakan masalah utama penelitian (1-2
paragraf atau lebih)
 Pernyataan kemenarikan atas kecenderungan
masalah pada endingnya judul sebagai
pijakan masalah utama penelitian yang
dipastikan solusinya adalah Startnya Judul
penelitian sebagai Solusi atas masalah utama
penelitian pada endingnya judul (2-3
paragraf atau lebih)
 Diakhiri dengan formulasi judul (1 paragraf)
B. Fokus dan Subfokus Penelitian
 Dalam beberapa penelitian cenderung
menggunakan rumusan masalah
C. Tujuan Penelitian (menyesuaikan dengan Fokus
dan Subfokus Penelitian)
D. Manfaat Penelitian
 Manfaat Teoritis
 Manfaat Praktis
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori (Deskripsi terhadap Fokus dan Sub
Fokus penelitian)
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

77
C. Kerangka Pikir Penelitian (mendeskripsikan
darimana startnya dan berakhir dimana
penelitian yang akan dilakukan).
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
B. Latar Penelitian
C. Pendekatan, Jenis, dan Prosedur Penelitian
D. Kehadiran Peneliti
E. Data dan Sumber Data
F. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
D. Teknik Analisis Data
H. Pengecekan Keabsahan Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi tantang Lokasi Penelitian
B. Hasil Penelitian
1. Paparan Data Penelitian
2. Temuan Penelitian
C. Pembahasan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DATAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
*) Dianjurkan mengikuti Pedoman Penulisan pada masing-masing PT

C. Contoh Judul dalam Disain


Penelitian Kualitatif
Sekedar untuk memandu calon peneliti, maka berikut
ini dapat dikemukakan beberapa contoh judul dalam disain

78
penelitian kualitatif, khususnya bidang Ilmu Administrasi
Publik, sebagai berikut:
1. Implementasi Kebijakan PKH dalam Penanggulangan
Kemiskinan di Kota Gorontalo;
2. Perilaku dan Motivasi Kerja Aparatur dalam Peningkatan
Kinerja Organisasi pada Setda Provinsi Gorontalo;
3. Kompetensi Aparatur dalam Peningkatan Produktivitas
Organisasi SKPD dalam Lingkup Pemkot Gorontalo ;
4. Implementasi Kebijakan Rekrutmen Pejabat Fungsional
dalam Peningkatan Mutu Kepengawasan di lingkungan
Kementerian Agama Provinsi Gorontalo;
5. Implementasi Kebijakan Perencanaan Terpadu melalui
Musrenbang dalam Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan
Pemerintahan di Kabupaten Gorontalo Utara;
6. Formulasi Kebijakan RKA dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik di Kota Gorontalo;
7. Implementasi Kebijakan Sistem Pengawasan Internaldalam
Penjaminan Mutu Pelayanan Publik di Kota Gorontalo;
8. Kepemimpinan Kepala Daerah dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik bidang Pendidikan di Kota Gorontalo;
9. Kemampuan Manajerial Kepala SKPD dalam Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik di Kota Gorontalo;
10.Komitmen Leadership Kepala Daerah dalam Peningkatan
Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Gorontalo.

79
BAB
VI

FILOSOFI
KAJIAN PUSTAKA /TEORI

A. Fungsi dan Prinsip Kajian Pustaka/Teori

S
ejak merumuskan masalah atau Fokus dan Subfokus
penelitian, biasanya para peneliti lebih awal telah
melakukan kajian kepustakaan, dalam hal ini ketika
membandingkan kenyataan atau fenomena yang dianggap
tidak sesuai dengan harapan-harapan. Menemukan harapan
merupakan ketentuan-ketentuan, keharusan-keharusan atau
patokan-patokan yang telah dianggap benar, hanya dapat
diperoleh dari kepustakaan-kepustakaan. Setelah menetapkan,
merumuskan dan mengidentifikasi kesenjangan antara
kenyataan atau fenomena dengan harapan-harapan itu, para
peneliti berusaha mencari pegangan-pegangan untuk
melakukan penelitiannya atau menjawab masalah-masalah itu
secara rasional.
Menemukan pegangan-pegangan ataupun teori-teori
untuk landasan rasionalisasinya (ingat tahap-tahap berpikir
deduktif), juga diperoleh dengan melakukan kajian pustaka;
bahkan ketika melakukan pembahasanpun landasan-landasan
dan pegangan-pegangan itu pun masih tetap digunakan.

80
Prinsip-prinsip yang dipegang dalam melakukan
kajian pustaka/teori itu adalah mencari "kebenaran" bagi
landasan berpikir, berpikir dalam menentukan masalah dan
menjawabnya, yang kesemuanya itu didasarkan pada
pegangan-pegangan yang mempunyai tingkat kebenaran yang
tinggi. Dengan kata lain, prinsip-prinsip melakukan kajian
pustaka/teori itu selalu didasarkan pada penemuan pola
deskripsi khusus (particular description) untuk menyusun
pengetahuan khusus; menemukan pola deskripsi umun
(general description) untuk menyusun pengetahuan umum, dan
menemukan postulat-postulat (premis-premis) untuk landasan
berpikir deduklif pada waktu menyusun pendekatan masalah
dan atau kerangka pikiran penelitiannya.
Dari Filsafat Ilmu (ontologi dan epistemologi) telah
dipahami tentang bentukan pemikiran asosiatif yang berupa
pengetahuan dalam bentuk deskripsi (khusus dan umum) dan
yang berupa ilmu dalam bentuk proposisi-proposisi teoritis
itu. Daripadanya telah diketahui pula tentang komponen-
komponennya, yang sebenarnya bersambungan dari sejak
realita konkrit dan spesifik sampai pada teori-teori abstrak
dan general-universal itu. Jalinan-jalinan atas hubungan-
hubungan antara suatu pikiran dengan kenyataan/realita atau
dengan pikiran lain itu tingkat kebenarannya bertumpu pada
masalah/persoalan validitas dan reliabilitas pengalaman yang
berulang-ulang.
Jadi dalam penelaahan/kajian pustaka/teori itu, yang
pada umumnya telah memberikan definisi-definisi, istilah
atau konsep dan atau variabel, proposisi untuk hipotesis, fakta
sampai teori, buka saja menelaah relevansinya dengan
masalah yang scdang dikaji, melainkan juga tentang tingkat
validitas dan realibilitas dari definisi-definisi konsep/variabel

81
untuk golongan-golongan, katagori-katagori dan klasifikasi-
klasifikasi yang menyatakan deskripsi dari wujud, proses dan
fungsi fenomena; bahkan untuk fakta dan atau teori yang
dinyatakan dengan proposisi-proposisi kausalitas itu
mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu mengenai
kehakikian hubungan variabel-variabelnya, "proposisi
linkage" nya dan tingkat nilai informatif proposisi tersebut.
Dengan memperhatikan hal-hal terscbut itulah
penelaahan atau pengkajian pustaka/ kajian teori diarahkan
untuk menemukan pegangan-pegangan deskripsi serta
landasan teoritis yang kuat atau mantap dan tingkat
kebenarannya yang tinggi

B. Cara atau Teknik Melakukan Kajian Pustaka/Teori

M
emperhatikan prinsip-prinsip dan fungsi
melakukan kajian pustaka/teori itu maka akan
terhindar dari kesan bahwa kajian pustaka/teori
itu seperti "clipping", guntingan, potongan atau ringkasan
sitiran opini, pendapat-pendapat, pernyataan-pernyataan atau
bahkan artikel-artikel seperti layaknya "newspaper clipping"
(potongan-potongan atau guntingan-guntingan surat kabar).
Tekniknya memang seperti itu, akan tetapi penyajiannya
harus diletakkan pada pola-pola deskripsi (jika penelitiannya
deskriptif) atau pada kerangka pikiran (jika penelitiaannya
vertifikatif). Untuk menghindari kesan-kesan yang tidak
diharapkan itu, maka perlu memperhatikan pegangan-
pegangan teknis dalam melakukan kajian pustaka/teori itu.
Seperti dilakukan para pakar atau para peneliti.
Ada empat hal yang dijadikan pegangan untuk
melakukan kajian pustaka/teori yang sesuai dengan fungsi

82
dan prinsip-prinsip dalam kajian pustaka/teori, yaitu: 1)
Selektif, 2) Komparatif, 3) Kritis dan 4) Analitis.

1. Selektif
Selektif, artinya dilakukan secara terpilih. Jadi hal ini
bersangkutan dengan pengumpulan kepustakaan untuk
dipilih sebagai acuan (referensi) yang akan "dikaji".
Pengumpulan dan pemilihannya itu didasarkan pada beberapa
pegangan antara lain berkenaan dengan relevansi, usia pustaka,
bentuk materi, dan kadang-kadang memperhatikan bentuk
kepustakaannya sendiri.
a) Relevansi; artinya kepustakaan yang dikumpulkan untuk
dipilih itu bersangkutan dengan bidang kajian atau topik yang
sedang dipermasalahkan dalam penelitian itu, dalam hal ini
perlu pula memperhatikan jika bidang kajian itu merupakan
interdisipliner (misalnya antar antropologi, sosiologi,
psikologi-sosial dan komunikasi), yang batas kajiannya
kurang tegas.
b) Usia Pustaka; artinya terbitan pustaka dari yang tertua
sampai dengan yang paling akhir. Ada istilah "out of date";
jangan terburu-buru memutuskan hal itu, jika tidak mengikuti
perkembangannya, sebab kadang-kadang yana lebih lama
mungkin yang lebih relevan dan dapat dipercaya dari yang
baru. Oleh karena itu diperlukan penelusuran lebih
kronologis.
c) Bentuk Materi; ada dua bentuk eksposisi, deskripsi dan
argumentasi yang dapat memberi informasi tentang petunjuk-
petunjuk, pelukisan-pelukisan atau eksplanasi-eksplanasi
yang keberadaannya di dalam kepustakaan itu ada yang
tersendiri dan ada yang bercampur.

83
d) Bentuk/Macam Kepustakaan; ada berbagai bentuk atau
macam kepustakaan yang biasa dipakai referensi ini, yaitu:
buku teks (text book), artikel, laporan (report dan dokumen-
dokumen, yang dari setiap macam itupun aneka ragam
bentuknya. Dari buku teks; ada yang ditulis oleh seorang
penulis atau lebih, yang terbagi beberapa jilid atau edisi,
bunga rampai (suntingan), terjemahan atau saduran. Tentang
artikel; ada yang berasal dari buku suntingan, journal, bulettin,
review, majalah ilmiah umum, surat kabar, makalah seminar
(proceding) dan dari ensiklopedi. Dari laporan; laporan
penelitian, skripsi, tesis, disertasi, laporan dinas
(organisasi/perusahaan). Tentang dokumen; dokumen
kenegaraan atau perusahaan-perusahaan.

2. Komparatif
Semua kepustakaan yang telah diseleksi itu
diperbandingkan. Yang diperbandingkannya ialah bobot
materi yang akan dijadikan referensi-referensi menyusun tesis
atau disertasi.
Sebelum sampai kearah itu, biasanya dilakukan
penggolongan- penggolongan (untuk mengetahui unsur-unsur
dari fenomenanya), katagori-katagorinya (untuk mengetahui
ciri-ciri dalam golongan-golongan itu), kcmudian klasifikasi-
klasifikasi (untuk mengetahui sifat-sifat dalam katagori-
katagori itu). Unsur-unsur di dalam golongan-golongan, ciri-
ciri dalam katagori-katagori dan sifat-sifat dalam klasifikasi
itu telah mempunyai norma atau istlilah dengan batasan-
batasannya (definisi-definisi itu) sebagai konsep dan atau
variabel. Sampai dengan itu kita menemukan deskripsi dari
fenomcna dengan segala definisi-definisinya.

84
Deskripsi mana yang tingkat ketepatan dan kebenarannya
(validitas dan reliabilitasnya) paling tinggi (berbobot) hanya
dapat diketahui dengan membanding-banding antara yang
diperoleh dari satu kepustakaan dengan kepustakaan-
kepustakaan lainnya.
Demikian pula untuk proposisi-proposisi teori, yang
merupakan kalimat-kalimat yang terdiri dari dua variabel
atau lebih, yang menyatakan hubungan sebab-akibat
(kausalitas), hakiki dan universal. Proposisi mana yang
tingkat ketepatan dan kebenarannya (menyangkut hubungan-
bubtmgan variabelnya, "linkage" dan nilai informatifnya) yang
paling tinggi (berbobot), itupun hanya dapat diketahui
dengan membanding-banding antara yang diperoleh dari satu
kepustakaan dengan yang lainnya.
Dalam hal membanding-banding ini, baik untuk
deskripsi maupun untuk proposisi teori, ada dua hal yang
diperbandingkannya itu; pertama, materi seperti telah
dijelaskan diatas; kedua, kepustakaan hasil seleksi itu.

3. Kritis
Membanding-banding secara kritik-analitis ataupun
secara analitis kritis sebenarnya menunjuk pada pemikiran
kritis atau kekritisan si peninjau/pengkaji pustaka/teori.
Kepustakaan yang telah diseleksi itu dibanding-banding baik
tentang kepustakaannya maupun materinya pada kerangka
kekritisan secara analitis, menurut komponen atau anatomi
pengetahuan dan ilmu itu tidak akan mempunyai arti apa-apa
tanpa penelaahan secara kritis. Jadi hal ini bukan sekedar
menyitir opini/pendapat dan pernyataan seseorang pada
tahun sekian.

85
Dalam membanding-banding pada kerangka
kekritisan atau analitis (pada anatomi pengetahuan dan ilmu
itu bergerak menurut arah panah ke atas), penelaahan kritis
ditujukan pada penemuan atau penilaian validitas dan
reliabilitas yang paling tinggi (ketepatan yang sebenar-
benarnya) baik untuk deskripsi pengetahuan maupun untuk
teori ilmu. Dengan perkataan lain, opini/pendapat dan atau
pernyataan-pernyataan mana (siapa-siapa) saja yang paling
tepat dan benar itu. Hal itu hanya akan dapat ditemukan atau
diperoleh dengan kekritisan penelaahan atau pengkajian
kepustakaan itu.
Untuk memperoleh pegangan-pegangan deskripsi dan
atau diagnosis, ditelaah secara kritis definisi-definisi, patokan-
patokan atau standar-standar mana yang lebih vaalid dan
reliabel, untuk sampai kepada menemukan atau mengatakan
unsur-unsur, ciri-ciri dan sifat-sifat dan realita atau fenomcna
yang dikaji itu. Sedangkan untuk memperoleh landasan-
landasan teori, ditelaah secara kritis proposisi-proposisi mana
yang valid dan reliabel; mana yang masih merupakan dalil
(proposisi-proposisi opini), baru merupakan hipotesis (deduksi
logical construct) atau sudah faktual (teruji secara empirik) dan
atau sudah terjalin menuju "meaningfull-construct" sebagai
teori. Penelaahan kritis terhadap proposisi-proposisi tersebut
itu bersangkutan dengan penelaahan terhadap "variable relati-
onship", "proposition linkage'" dan "informative value" dari
proposisi-proposisi. Dengan kekritisan demikian, maka pada
akhirnya kita akan memperoleh pegangan-pegangan yang
valid dan reliabel untuk dasar-dasar deskripsi dan diagnosis,
serta landasan-landasan teoritis yang mantap (sebagai premis-
premis atau postulal-postulat) bagi "conceptioning" dan
"judgement" untuk "reasoning" hipotesis penelitian kita.

86
4. Analitis
Sebagai pola atau kerangka kekritisan, analitis ini
merupakan kemampuan peninjau/pengkaji untuk memisah-
misahkan mengurai dan memeriksa suatu keseluruhan atau
suatu komponen kepada bagian-bagiannya atau kepada
unsur-unsur yang membangunnya. Yang dimaksud
keseluruhan atau komponen itu, mungkin saja berupa
benda/zat, organisme, kelompok atau organisasi masyarakat,
sebagai suatu fenomena yang menjadi obyek tujuannya;
kemudian dipisah-pisahkan kepada wujud, proses dan sifat-
sifatnya, sesuai dengan keingintahuannya (euriosity).
Dalam hal pengetahuan dan ilmu (deskripsi dan teori),
yang dimaksud dengan keseluruhan atau komponen itu
adalah pengetahuan sampai ilmu sendiri yang bersangkutan
dengan fenomena, yang disebut anatomi pengetahuan dan
ilmu (seperti telah dijelaskan dalam epistemologi). Anatomi
ini melukiskan gambaran tentarng tersusunnya atau
terbentuknya pengetahuan dan ilmu itu berupa deskripsi-
deskripsi dan proposisi. Hai-hal itulah yang biasanya
dijumpai dalam kepustakaan-kepustakaan itu. Dengan
demikian memahami anatomi atau komponen-komponen
pengetahuan dan ilmu akan membantu analisis. Oleh karena
itu hal ini di sebut pola atau kerangka kekritisan (penelaahan
secara kritis).
Sebagai gambarannya baiklah kita lukiskan kembali
anatomi atau komponen pengetahuan dan ilmu itu, untuk
memberi pegangan dalam peninjauan/pengkajian pustaka/
terori itu.

87
REALITA

FENOMENA

Wujud, Proses, Fungsi


`

Deskripsi Unsur Ciri Sifat Prinsip Deskripsi


Golongan- Fenomena2 Dari hal-hal yang Konkrit
golongan yang sama terdapat hal2 Khusus
P mempunyai yang berbeda; dari
E unsur yang hal-hal yang sama
N sama terdapat hal2 yang
G Katagori- Golongan2 sama.
E katagori yang
T mempunyai
A ciri yang
H sama
U Klasifikasi- Katagori2
A klasifikasi yang
N mempunyai
sifat yang
sama
Diberi Nama, Istilah dan Definisi (batasan Arti) diabstraksikan kepada: A
S
I N
Konsep / Variabel N A
T L
E I
Relationship S
S
PROPOSISI I I
S S
Variabel relationship, Proposition linkage, Informative value
I
Berdasarkan Opini DALIL
L

M HIPOTESIS Berdasarkan kerangka


pikiran
U
Hasil Pengujian FAKTA
Hipotesis Secara Empirik
Jalinan fakta2 menurut
TEORI Meaningfull Construct General
Abstrak

Gambar 6.1. Anatomi Pengetahuan dan Ilmu

88
C. Sorting Cart

Suatu alat untuk menyusun kajian pustaka/teori yang


biasa dilakukan peneliti (sebagai kreatifitas peneliti) ialah
"sorting cart"; yaitu kartu penyortiran yang dibuat untuk
menampung hasil bacaan dari kepustakaan yang terseleksi
untuk dibanding-bandingkan secara analitis dan kritis itu.
Sorting ialah memisah-misahkan secara terpilih untuk
diperbandingkan. Dengan cara mengkartukan materi itu
dapat diatur secara praktis untuk melihat hasil fungsinya.
Biasanya dibuat pada semacam kartu dari karton (misalnya
setebal dan sebesar kartu pos yang berwarna-warni), seperti
kartu katalog, perpustakaan, dengan label materi.
Cara membuatnya adalah sebagai berikut:
1) kartu yang telah tersedia itu dibagi empat bagian:
seperempat bagian diperuntukkan bagi label atau
identitas pustaka, yang diformat atas: a) nama penulis
pustaka, b) tahun terbit, c) judul pustaka, d) edisi, e) jilid,
f) bab, g) bagian, h) halaman, i) penerbit. (Persis seperti
aturan daftar pustaka)
2) tiga perempat bagian lagi jika terpaksa sampai halaman
sebaliknya, diperuntukkan bagi lahan menyitir materi
kepustakaan itu.
3) warna-warna kartu yang berbeda-beda dapat dipakai
untuk memisahkan atau membeda-bedakan tipe sitiran,
definisi, dalil fakta atau teori.
4) setelah terisi dengan materi, diberi kode-kode: S = sitiran
lengkap; R = ringkasan (diringkas); I = intrepretasi
pengkaji pustaka.
Kesimpulan kartu-kartu ini dapat disusun pada Bab
Kajian Pustaka/Teori, menurut struktur analitis-kritis. sesuai

89
dengan fungsi kajian pustaka/teori itu. Selain itu, kumpulan
kartu-kartu itu bermanfaat bagi penyusunan daftar pustaka
atau catatan kaki. Dewasa ini "sorting cart" ini sudah dapat
disimpan pada USB/Fd atau komputer dalam bentuk file.
Pembuatan hal-hal tersebut pada akhirnya tergantung pada
kreatifitas yang melakukan kajian pustaka/teori.

90
BAB
VII

TIPE DAN PEKERJAAN


PENELITIAN

M
elihat mana yang akan dipecahkan, maksud dan
tujuan serta kegunaan penelitian itu pada
awalnya ada dua tipe penelitian; pertama,
penelitian untuk mencari (membangun atau menyusun)
pengetahuan; kedua, penelitian untuk mencari (membangun
atau menyusun) ilmu. Setiap jalur mempunyai tipe dan cara-
cara pekerjaan serta metode (termasuk teknik) penelitian
tertentu.

A. Tipe Penelitian

Ada dua tipe penelitian yaitu taxonomical dan


theoritical. Tipe taxonomical bersangkutan dengan penelitian
untuk memperoleh pengetahuan (baik pengetahuan khusus
maupun umum), sedangkan tipe theoritical bersangkutan
dengan penelitian untuk memperoleh teori-teori dari suatu
ilmu. Dihubungkan dengan jalur penelitian itu, maka tipe
taxonomical itu berhubungan dengan jalur pertama, yaitu
untuk memperoleh pengetahuan khusus; dan jalur kedua,
yaitu untuk memperoleh pengetahuan umum; sedangkan tipe
theoretical berhubungan dengan jalur ketiga, yaitu untuk
memperoleh teori-teori ilmu.
91
1. Tipe Taxonomical
Seperti telah disebutkan bahwa tipe penelitian
taxonomical adalah tipe penelitian yang bertujuan untuk
menemukan pengetahuan (baik khusus maupun umum)
tentang suatu fenomena. Pengetahuan ini dinyatakan dengan
taxonomi, yaitu: berupa klasifikasi-klasifikasi atau
penggolongan-penggolongan yang teratur dan bernorma
mengenai organisme-organisme kedalam katagori-katagori
yang tepat, dengan penerapan nama-nama yang sesuai dan
benar.
Sesuai dengan kata dasarnya, yaitu taxon artinya
kelompok atau katagori khusus yang menjadi dasar
penggolongan organisme-organisme yang berkaitan; seperti
pada biologi, katagori-katagori utama dalam susunan yang
menarik adalah: Species, orde, class, phylum dan kingdom
(sistem penggolongan khususnya dalam dunia binatang dan
tumbuhan). Cara menyusunnya menggunakan taxonomi,
yaitu ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum,
peraturan-peraturan, dan norma-norma dalam penggolongan.
Dasar untuk menyusun taxonomi adalah unsur-unsur,
ciri-ciri dan sifat-sifat dari organisme-organisme. Menurut
unsur-unsur yang sama dibuat penggolongan-
penggolongan/kelompok) organisme; menurut katagori-
katagori yang bersifat sama dibuat klasifikasi-klasifikasi
organisme. Golongan-golongan, katagori-katagori dan
klasifikasi-klasifikasi dari suatu organisme itu; sedangkan
organisme itu sendiri dapat pula diterapkan pada suatu
fenomena lainnya. Jadi dapat pula dikatakan bahwa tipe
penelitian taxonomi ini adalah tipe penelitian yang bertujuan
menemukan pengetahuan (baik khusus maupun umum) yang
dinyatakan dengan deskripsi suatu gejala atau fenomena.

92
2. Tipe Theoritical
Seperti telah disebutkan bahwa tipe penelilian
theoretical adalah tipe penelitian yang bertujuan untuk
menemukan teori-teori dari suatu ilmu. Teori adalah jalinan
fakta yang terkontruksi secara bermakna (meaningfull
construct) atau berhubungan secara sistematis yang mampu
menjelaskan dan atau meramalkan terjadinya gejala-gejala
atau fenomena-fenomena. Jadi dalam hal ini jelas bahwa teori
memerlukan fakta. Fakta adalah proposisi-proposisi yang telah
teruji secara empirik. Proposisi adalah kalimat atau ungkapan
terdiri dari dua atau lebih variabel atau konsep yang
menyatakan kausalitas (sebab dan akibat) yang hakiki dan
universal. Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi
sifat, besaran dan atau jumlah yang bernilai kategorial.
Sedangkan konsep adalah istilah singkat yang mengabstraksi
fenomena; setiap istilah yang dinyatakan dengan suatu nama
tertentu disertai dengan batasan-batasan (definisi-definisi)
bagi fenomena itu.
Jadi sampai pada konsep dan atau variabel, deskripsi
dan teori adalah sama; artinya mengandung unsur-unsur
yang sama. Perbedaan dimulai dengan proposisi-proposisi.
Pada deskripsi, belum ada proposisi-proposisi tetapi setelah
menemukan deskripsi dapat pula memikirkan proposisi-
proposisi jika hendak menemukan teori. Memikirkan
proposisi artinya menyusun kalimat kausalitas yang hakiki
dan universal, atau memikirkan relationship atas dasar
kerangka pikiran logis (logika), yang akan diuji atau
diverifikasi secara empirik itu. Proposisi hasil pemikiran
(pemahaman logis) ini disebut hipotesis (jika berdasarkan ide
atau gagasan atau definisi-definisi disebut “dalil”).

93
DATA

HIPOTESIS

KONSEP /
FENOMENA PROPOSISI
VARIABEL

FAKTA

TEORI

Gambar 7.1. Alur Pikir dan Tahapan Penelitian

Dari gambaran tentang teori itu, maka jelas bahwa


teori itu bukan suatu spekulasi melainkan suatu konstruksi
yang jelas dan tegas yang dibangun atas jalinan fakta-fakta.
Jika ada yang mengatakan bahwa teori tidak sesuai
dengan kenyataan, berarti teori itu belum menjadi teori.

B. Pekerjaan Penelitian
Jika tipe penelitian menjelaskan tujuan penelitian yang
hendak dicapainya, maka pekerjaan penelitian menunjuk
pada maksud penelitian yang akan dikerjakannya. Seperti
pada tipe penelitian taxonomical yang bertujuan menemuka
deskripsi secara taxonomi, pekerjaanya adalah menjelajahi
atau menjajaki fenomena empirik yang diselidikinya baik
secara mendalam maupun secara meluas untuk mendiagnosis
fenomena-fenomena tersebut. Pekerjaan penelitian semacam
ini disebut Eksplorasi. Sedangkan pada tipe penelitian
theoritical yang terfujuan menemukari teori, pekerjaannya
94
menguji proposisi-proposisi hasil pikira. Pekerjaan penelitian
semacam ini disebut Vertifikasi.
1. Eksplorasi mendalam
Pekarjaan eksplorasi mendalam dilakukan untuk tipe
penelitian taxonomical (deskriptif) jalur pertama, yang
bertujuan menemukan pengetahuan khusus (particular).
Hal-hal yang djjelajahi atau yang dijajakinya itu adalah
seluruh unsur-unsur, ciri-ciri dan sifat-sifat dari suatu
fenomena tertentu (particular) itu maka biasanya tidak
puas sampai menemukan itu saja, melainkan berupava
mendiagnosis fenomena tersebut termasuk golongan
mana, katagori mana ataupun klasifikasi mana. Jika
penemuan itu tidak tepat tidak sesuai dengan deskripsi
yang telah ada, maka penemuan itu dapat mendeskripsi.
(reklasifikasi, rekatagorisasi, ataupun rekonseptualisasi)
2. Eksplorasi meluas
Perbedaan eksplorasi ini dengan eksplorasi mendalam
terletak pada mendalam dan meluas itu. Jika mendalam
itu keseluruhan unsur-unsur, ciri-ciri dan sifat-sifat
fenomena tertentu; pada eksplorasi meluas hanya
seberapa unsur, ciri atau sifat fenomena yang dieksplorasi
secara meluas pada sejumlah variasi situasi dan kondisi
(universal). Eksplorasi meluas ini disebut juga
"developmental exploration"; pengembangannya terletak
pada sejumlah variasi situasi dan kondisi untuk
menemukan pengetahuan yang bersifat general. Sifat
diagnosis dari ekrplorasi ini pada prinsipnya sama
dengan diagnosis pada eksplorasi mendalam. Redeskripsi
(regrouping, recategorization, dan reclassification)
didasarkan pada temuan eksplorasi meluas yang bersifat
umum.

95
3. Verifikasi
Pekerjaan verifikasi berbeda dengan pekerjaan eksplorasi.
Jika pekerjaannya langsung pada obyek empirik untuk
menemukan pengetahuan berupa deskripsi, sedangkan
pekerjaan verifikasi dimulai dengan penyusunan
kerangka pikiran (logical construct) untuk menemukan
proposisi hipotesis pekerjaun empiriknya ditujukan pada
pengujian hipotesis itu. Perbedaan lain sehubungan
dengan perbedaan yang pertama itu ialah jika eksplorasi
menentukan unsur-unsur, ciri-ciri dan sifat fenomena dan
emprik, kemudian dibuat nama/istilah dengan definisi-
definisinya sebaaai konsep atau variabel bagi golongan
(kelompok), katagori dan klasifikasi dalam deskripsi itu,
pada verifikasi adalah sebaliknya, yaitu
mengoperasionalisaisikan konsep-konsep atau variabel-
variabel itu kepada ciri-ciri konkrit sebagai
data/informasi yang mungkin ada secara empirik.
Dihubungkan dengan cara berpikirnya, pekerjaan
eksploratif menggunakan cara berpikir induktif,
sedangkan pekerjaan verifikasi dimulai dengan berpikir
deduktif (menyusun kerangka pikiran atau "logical
construct" itu), kemudian verifikasinya dilakukan dengan
cara berpikir induktif.

96
BAB
VIII

TEKNIK PENELITIAN

T
eknik Penelitian adalah cara untuk melaksanakan
hasil pikir penelitian. Dengan perkataan lain,
cenderung menunjuk pada pekerjaan penelitian.
Pelaksanaannya dilakukan setelah menetapkan, merumuskan
dan mengidentifikasi masalah, merumuskan maksud dan
tujuan serta kegunaan penelitian, menyusun pendekatan
masalah dan atau kerangka pikiran dengan hipotesisnya; Hal-
hal itu semua sebagai hasil pikir.
Pekerjaan selanjutnya mengumpulkan data, mengolah
dan menginterpretasi data dan menuliskan hasil penelitian
dalam bentuk laporan penelitian (skripsi, tesis, disertasi, dan
sebagainya). Sebelum mengumpulkan data perlu terlebih
dahulu menentukan data apa saja yang akan dikumpulkan
itu, apakah dapat diukur atau tidak.
Data arti sebenarnya adalah sesuatu yang diketahui;
sekarang diartikan sebagai informasi yang diterima tentang
sesuatu kenyataan atau fenomena empiric, wujudnya dapat
merupakan seperangkat ukuran (kuantitatif, berupa angka-
angka) atau berupa ungkapan kata-kata (verbalize) atau
kualitatif. Keberadaannya dapat dilisankan dan ada yang
tercatat, jika adanya langsung dari sumbernya (tentang diri
sumber data) disebut data primer, jika adanya telah tersusun
dikembangkan dan diolah kemudian tercatat disebut data
97
sekunder. Jadi menurut macam atau jenisnya dibedakan antara
data primer dan data sekunder, menurut sifatnya dibedakan
antara data kuantitatif dan data kualitatif.
Di atas disebutkan bahwa data adalah informasi
tentang kenyataan atau fenomena empirik yang dapat
diketahui dan diinformasikan. Tentang apa yang dapat
diketahui dan diinformasikan dari kenyataan atau dari
fenomena empirik itu? Tidak lain tentang unsur-unsur, ciri-
ciri dan sifat-sifat dari kenyataan yang ada atau fenomena
yang terjadi di alam empirik ini, baik tentang wujudnya,
prosesnya dan fungsinya. Hal-hal itulah yang hendak
dijadikan pengetahuan dan ilmu oleh manusia.
Sekarang bagaimana menentukan data yang
diperlukan dalam penelitian itu; artinya data apa saja yang
diperlukan untuk penelitian itu? Hal ini tergantung pada
konsep-konsep dan atau variabel-variabel penelitiannya, baik
yang membangun deskripsinya (untuk penelitian theoretical).
Seperti telah dijelaskan berulang kali bahwa konsep atau
variabel itu abstraksi dari fenomena atau kenyataan; pada
alam empirik yang abstrak itu tidak ada. Oleh karena itu,
konsep atau variabel penelitian itu harus dikembalikan pada
hal-hal yang konkritnya; dengan perkataan lain konsep atau
variabel itu dioperasionalisasikan kepada ciri-cirinya
(indikator-indikatornya); indikator-indikator dari konsep atau
variabel penelitian tidak lain adalah data yang diperlukan.
Pertanyaan sekarang, bagaimana cara meng-
operasionalisasikan konsep atau variabel itu? Ciri-ciri atau
indikator suatu variabel itu hanya dapat diketahui dari
definisi-definisi atau dari pengertian- pengertiannya,
sebagaimana diketahui dalam definisi-definisi atau batasan-
batasan arti ini terkandung keterangan-keterangan konkrit

98
yang memberikan arti terhadap konsep atau variabel itu.
Namun, perlu diingat karena banyaknya bentuk-bentuk
definisi, tidak selalu suatu istilah diberi pengertian konkrit,
melainkan masih diberi arti dengan istilah-istilah abstrak
(dengan konsep) belum sampai pada arti-arti konkrit, maka
jika menemukan hal seperti itu dicari pengertian-
pengertiannya sampai konkrit.
Sebagai contoh konsep/variabel Partisipasi,
definisinya: Partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam
suatu kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum,
dengan cara menyumbangkan pikiran, materi dan atau
tenaga.
Dari definisi tersebut, terlihat bahwa keterlibatan
seseorang dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan
umum itu dicirikan oleh tiga hal, yaitu:
1) menyumbangkan pikiran (ide/gagasan);
2) menyumbangkan materiil (dana); dan
3) menyumbangkan tenaga.
Jika ditelaah maka ketiga ciri tersebut masih belum
konkrit, artinya masih harus dicari batasan-batasan
tentangnya itu; apa data dari menyumbangkan pikiran,
material dan tenaga itu; adakah perangkat-perangkat ukuran
dari ketiga hal itu. Apabila sudah aampai pada hal-hal yang
konkrit, berarti data yang diperlukan sudah tertentu.
Variabel-variabel yang serupa dengan contoh di atas
disebut variabel berdimensi (variabel yang memiliki sub-sub
variabel). Menghadapi variabel-variabel semacam itu harus
mengoperasionalisasikannya pada dua tingkat (dua kali).
Dengan demikian, untuk tingkat-tingkat ini pengenalan
definisi-definisi dari konsep atau variabel penelitiannya
menjadi sangat penting. Dari mana diperolehnya definisi-

99
definisi itu, tidak lain dari hasil kajian pustaka. Oleh karena
itu betapa pentingnya peran kajian pustaka; bukan hanya
penting dalam menemukan postulat-postulat atau premis-
premis landasan deduktifnya, melainkan juga dalam mencari
definisi-definisi mantap untuk kepentingan operasionalisasi
variabel kepada indikator-indikatornya, dalam rangka
menentukan data yang diperlukan dalam penelitian itu.
Setelah dapat ditentukan data penelitian itu kemudian
dapat ditunjukkan mana yang bersifat kualititatif dan mana
yang bersifat kuantitatif. Demikian pula apakah macamnya,
primer atau sekunder, seperti contoh partisipasi itu. Dimensi
sumbangan pikiran ad alah kualitatif, sedangkan sumbangan
materi dan tenaga ber sifat kuantitatif, sedangkan macam
datanya mungkin hanya dapat tentang adanya kegiatan yang
bermanfaat bagi kepentingan umum saja yang berupa data
sekunder, sedangkan data sumbangan ide/pikiran, materi dan
tenaga berupa data primer. Penting sekali menunjukkan
macam dan sifat data itu untuk kepentingan penentuan
sumber data dan kepentingan analisis-analisis selanjutnya.
Karena penentuan data penelitian diperlukan bukan
hanya bagi kepentingan pengumpulan data semata,
melainkan juga bagi kepentingan analisis selanjutnya, maka
biasanya pekerjaannya dilakukan dalam bentuk bagan
(tabulasi profil) dari variabel, dimensi, indikator/data beserta
sifat dan macamnya.
Penting hal ini dipahami agar dalam analisis
selanjutnya tidak cepat-cepat mengambil keputusan bahwa
analisis dilakukan hanya kualitatif saja atau kuantitatif saja.
Kemudian karena berasosiasi bahwa analisis kuantitatif
identik dengan statistik dan peneliti enggan berstatistik, cepat-
cepat memutuskan bahwa analisis dilakukan dengan analisis
100
kualitatif, padahal didalam konsep-konsep dan atau variabel-
variabel penelitiannya terkandung indikator-indikator atau
data kuantitatif (bahkan meskipun kualitatif dapat
dikuantitatifkan).
Secara keseluruhan, untuk dapat menentukan data
yang setepat-tepatnya bagi konsep/variabel penelitian
diketahui dari definisi-definisinya. Seperti telah dikemukakan
bahwa definisi-definisi itu diperoleh atau telah dicari melalui
“Kajian Pustaka/Teori”. Dalam suatu kepustakaan sering
dijumpai pernyataan penulisnya dalam memberi suatu
definisi terhadap kata, istilah, ungkapan, (konsep/variabel
itu) yang definisinya berbeda-beda (tidak ada kesamaannya/
keseragamannya diantara para ahli dalam memberi definisi
terhadap partisipasi itu, misalnya); hal itu harus dipahami
bahwa bukan berarti tidak ada kepastian tentang batasan, arti
dari kata, istilah, ungkapan (konsep/variabel) itu, melainkan
tergantung pada kajiannya, apakah dari aspek langkah, lingkup,
sifat dan tujuannya, memang banyak ragamnya (sedikitnya
ada 30 ragam).
Oleh karena itu dalam mengkaji definisi-definisi harus
benar-benar dipahami tentang aturan-aturan pembuatan
batasan (rules of definition). Untuk itu perlu dipelajari “logika”.

101
BAB
IX

VARIABEL PENELITIAN
A. Pengantar

P
enelitian adalah upaya membangun ilmu menurut
metode ilmiah, yaitu melalui langkah-langkah
sistematis menurut metode tertentu.
Langkah-langkah ilmiah itu dimulai dengan:
1. Merumuskan/ menetapkan dan cara mengidentifikasi
masalah,
2. Menyusun kerangka pikiran,
3. Mengajukan hipotesis,
4. Menguji hipotesis,
5. Membahas dan menarik kesimpulan.
Sebenarnya antara anatomi ilmu dengan langkah-
langkah metode ilmiah itu adalah sejajar dalam teknik
operasionalnya.
Kesejajaran ini dapat dilukiskan sebagai berikut:

102
ANATOMI ILMU METODE ILMIAH

FENOMENA Menetapkan, merumuskan


dan mengidentifikasi
masalah penelitian

KONSEP
Menyusun kerangka pikiran
(menjawab masalah
secara deduktif)

VARIABEL

PROPOSISI
Mengajukan hipotesis
(jawaban pikiran terhadap
masalah penelitian)

FAKTA

Menguji hipotesis
(secara empiris)

TEORI
Membuat Pembahasan

Menarik Kesimpulan

Gambar 9.1. Kesejajaran Antara Anatomi Ilmu


dengan Metode Ilmiah

103
Secara ringkas kesejajaran dari rangkaian anatomi ilmu
dan metode ilmiah itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dari fenomena yang ditangkap oleh indera kita,
ditetapkan, dirumuskan dan diidentifikasi masalah yang
hendak ditelitinya (masalahnya ialah belum dapat
menjelaskan mengapa fenomena itu terjadi);
2. Untuk menjawab masalah tersebut lebih dahulu dilakukan
secara rasional (deduktif) dengan menyusun kerangka
pikiran (logical construct). Dalam menyusun kerangka
pikiran ini, sebenarnya kita menentukan konsep-konsep
baik dari fenomena maupun dari teori-teori yang sudah
ada (tahap: “conception”).
Konsep-konsep itu ditelaah secara mendasar sampai pada
sifat-sifatnya yang mempunyai variasi nilai; konsep-konsep
semacam ini disebut variabel. Masih dalam menyusun
kerangka pikiran, variabel-variabel itu dicari hubungan-
hubungan dan pengaruhnya satu sama lain dengan
mempergunakan prinsip-prinsip logika (biasanya disebut
Silogisme).
3. Bentuk-bentuk hubungan variabel-variabel itu dinyatakan
statement (kalimat pernyataan) yang terdiri dari dua
variabel atau lebih yang menyatakan hubungan kausalitas
(sebab-akibat). Kalimat semacam ini disebut proposisi.
Proposisi hasil deduksi dalam kerangka pikiran itu disebut
Hipotesis, yaitu: jawaban rasional terhadap masalah
penelitian yang tingkat kebenarannya masih diragukan;
4. Jika proposisi atau hipotesis itu telah teruji secara empiris,
maka proposisi atau hipotesis itu disebut Fakta.
5. Jalinan fakta-fakta menurut bangun berpengertian
(meaningfull Construct) disebut Teori.

104
Dari pengujian hipotesis menjadi fakta, dan menjalin
fakta-fakta menjadi teori itu memerlukan pembahasan
sampai pada penarikan kesimpulan secara induktif; dan
akhirnya hipotesis menjadi teori.
Dari uraian singkat itu makin jelas terlihat bagaimana
duduk perkara variabel itu, baik dalam penelitian maupun
dalam ilmu. Jadi variabel itu merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan si peneliti. Baginya persoalan
variabel sudah mulai dihadapi sejak menyusun rencana
penelitiannya (Research Proposal), sampai pada penarikan
kesimpulan penelitiannya, tidak terlepas dari persoalan
variabel itu.

B. Konsep dan Variabel serta Variasi Sifatnya


Konsep dan variabel tidak dapat dipisahkan
meskipun dapat dibedakan. Perbedaan hakiki antara
konsep dan variabel ialah bahwa variabel adalah konsep,
tetapi tidak setiap konsep adalah variabel. Variabel adalah
konsep yang mempunyai variasi sifat dan mempunyai nilai atau
besaran. Bagaimana dari konsep dapat menjadi variabel,
bagaimana pula variasi sifat-sifat variabel itu dan apa yang
diberi nilai pada variasi-variasi dari sifat itu, akan diuraikan
berikut ini:

1. Dari Konsep ke Variabel


Telah dikemukakan bahwa konsep adalah Abstraksi
dari fenomena. Di dalam fenomena terdapat deviasi-deviasi
dari konsep- konsep. Arti dari konsep itu sendiri adalah istilah
atau pengertian singkat atau abstraksi dari fenomena.
Sedangkan fenomena adalah peristiwa/kejadian nyata/
konkrit. Seperti diketahui didalam fenomena terdapat definisi-

105
definisi, katagori-katagori, klasifikasi-klasifikasi sampai
deskripsi. Di dalam deskripsi itu terdapat perbedaan-
perbedaan dalam kesamaan dan kesamaan-kesamaan dalan
perbedaan.
Dari adanya orang membuat pengertian-pengertian
singkat yang abstrak dari peristiwa yang konkrit itu yaitu
yang disebut Konsep (concept). Misalnya, kejadian/peristiwa
keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan yang diadakan
oleh lembaga-lembaga dalam masyarakat dinyatakan atau
diabstraksikan dengan konsep partisipasi. Di dalamnya diberi
batasan-batasan (definisi) dalan keterlibatanya itu, dibuat pula
katagori-katagori dan klasifikasi-klasifikasi sehingga pada
deskripsi mana konsep itu berlaku. Jadi pemakaian konsep
partisipasi itu belum tentu berlaku bagi segala keterlibatan
dalam segala kegiatan. Misalnya karyawan yang terlibat
dalam kegiatan perusahaanya tidak disebut
berpartisipasi, dan sebagainya.
Penelaahan konsep secara mendasar akan sampai
kepada variabel. Penelaahan yang dimaksud adalah
penekunan terhadap konsep-konsep sampai menemukan
apakah konsep-konsep itu memiki variasi-variasi sifat dan
ragam nilai (harga) atau besaran, maka konsep demikian
disebut variabel. Variasi artinya berbeda-beda pada satu unit
atau beberapa unit, dan berlaku dimana-mana (universal).
Ingat bahwa dalam deskripsi terdapat perbedaan-perbedaan
dalam kesamaan dan kesamaan-kesamaan dalam perbedaaan.
Sedangkan variasi nilai adalah sifat-sifat yang berbeda
dapat bertingkat-tingkat besarannya atau derajat (ingat pula
bahwa dalam deskripsi itu ada katagori-katagori dan
klasifikasi-klasifikasi). Konsep partisipasi seperti yang
dicontohkan tadi, jika ditelaah ternyata memiliki sifat-sifat

106
yang bervariasi pada seseorang atau pada orang-orang yang
mungkin terlibat itu, dan atas dasar sifat-sifat ini muncul
tingkat-tingkat atau kelas-kelas atau derajat-derajat sehingga
dapat menilai besarannya, maka partisipasi itu da1am
penelitian sudah dianggap bukan konsep lagi melainkan
variabel; dan biasanya ditambah kata yang menyatakan
besarannya, tingkat partisipasi. Banyak contoh-contoh tentang
konsep yang berubah menjadi variabel dengan menambahkan
kata sifat atau derajat variasi nilainya, seperti konsep-konsep
di bawah ini:
Tabel 9.1.
Perbedaan Konsep dan Variabel
Konsep Variabel
1 2
Buku Buku ilmiah
Motor Motorisasi
Jakarta Metropolitan
Wanita Perasaan wanita
Mandiri Kemandirian
Koordinasi Tingkat koordinasi
Efektif Keefektifan
Status sosial Status sosia1
Domisi1i Jarak Domisili
Miskin Tingkat kemiskinan

Mungkin tidak perlu kita menambahkan kata-kata


yang menyatakan variasi sifat atau nilai pada konsep-konsep
sebagai variabel-variabel itu, jika umum sudah yakin atau
telah memahani bahwa konsep yang bersangkutan adalah
variabel. Seperti terhadap konsep partisipasi, koordinasi, status
sosial, biasanya langsung saja sudah dianggap sebagai
variabel. Makin maju tingkat pengetahuan masyarakat,
mungkin sudah tidak perlu lagi membedakan mana konsep
dan mana variabel. Seperti dewasa ini sudah ada
107
kecenderungan kearah itu. Bahkan dalam kehidupan sehari-
hari sekarang ini hamper di setiap kalangan masyarakat
terdengar penggunaan konsep-konsep, baik dalam obrolan-
obrolan maupun dalam slogan-slogan; misalnya konsep
persuasive, komunikatif, inovatif, simultan, mandiri, lepas landas,
hooliganisme, konglomerat, dan lain-lain. Entahlah apakah
fenomena konkritnya dipahami atau tidak, apakah mereka
membeda-bedakan mana konsep dan mana variabel, seolah-
olah tidak terjadi persoalan.
Bagi kalangan ilmiah (khususnya peneliti) perbedaan
konsep dan variabel serta pemahaman fenomena konkritnya
adalah penting, bukan saja diketahui melainkan juga dikuasai.
Hal ini disebabkan karena pemahaman tersebut akan
bersangkutan dengan persoalan “validitas dan reliabilitas”
penelitiannya atau kegiatan-kegitan ilmiah lainnya. Seperti
telah disebutkan diawal, bahwa mulai dari fenomena-konsep-
fakta-sampai teori, seluruhnya merupakan satu kesatuan
anatomi ilmu. Demikianlah kenyataannya, bahwa peneliti
dalam pekerjaannya hanya menelaah/menekuni variabel-
variabel dari fenomena yang dihadapinya, melalui deskripsi
(definisi-definisi, katagori-katagori dan klasifikasi-klasifikasi),
mendiagnosa konsep-konsep, menghubungkan (relationship),
disimpulkannya secara deduktif, kemudian diujinya secara induktif
dengan mempergunakan data empiris yang sesuai (tepat dan benar)
dengan variabelnya itu.

2. Variasi Sifat Variabel


Variasi sifat tidak selalu mempunyai nilai (besaran),
atau tidak selalu terukur (dengan nilai), variabel demikian
disebut variabel kualitatif. Sedangkan variabel yang variasi
sifatnya terukur (dapat dinilai) disebut variabel kuantitatif.

108
Banyak yang beranggapan bahwa variabel-variabel
ilmu sosial adalah kualitatif. Sebenarnya tidak seluruhnya
demikian; artinya ada sifat-sifat dari variabelnya yang telah
dapat diukur, namun tingkat “keterukurannya” tidak mutlak.
Tidak seperti variabel-variabel ilmu eksak.
Persoalan kuantifikasi variabel (kualitatif-kuantitatif)
selalu berkaitan dengan sifat-sifat fenomenanya. Seperti
diketahui terdapat dua golongan fenomena menurut variasi
sifatnya itu. Pertama, fenomena yang variasi sifat-sifatnya itu
terpisah-pisah (descrate) atau tidak merupakan rangkaian
kesatuan (discontinuous) atau “catagorial”; Kedua, fenomena
yang variasi sifat-sifatnya tidak terpisah-pisah melainkan
merupakan rangkaian kesatuan (continuous) atau “continuum”.
1) Fenomena Deskrit (Catagorial)
Fenomena Deskrit (terpisah-pisah) adalah fenomena
yang variabel-variabelnya yang variasi sifat-sifatnya tidak
berkesinambungan (discontinuous), atau hanya dapat
digolong-golongkan secara terpisah menurut katagori
tertentu, oleh karena itu disebut Catagorial. Variabel semacam
ini biasanya disebut variabel nominal. Terhadap variabel
nominal orang tidak dapat mengukur atau menilai mana yang
tinggi dan mana yang rendah, mana yang besar mana yang
kecil, mana yang baik mana yang buruk. Paling-paling hanya
bisa menghitung mana yang banyak mana yang sedikit.
Variabel-variabel seperti itulah yang paling kualitatif.
2) Fenomena Kontinum (Continuous)
Fenomena Kontinum (rangkaian kesatuan) adalah
fenomena variabel-variabelnya mempunyai variasi sifat-
sifatnya merupakan rangkaian kesatuan secara tidak terpisah-
pisah menurut suatu klasifikasi atau tingkatan-tingkatan.

109
Terdapat dua macam variabel yang termasuk kedalamnya,
yaitu: variabel ordinal dan variabel cardinal.
a) Variabel Ordinal, adalah variabel yang variasi sifat-sifatnya
tersusun dan berurutan, tetapi tidak mempunyai besaran
nilai mutlak; biasanya dinyatakan dengan nol tidak mutlak
(arbitrary zero): “jika bernilai nol tidak berarti nihil”.
b) Variabel Cardinal, adalah variabel yang variasi sifat-sifatnya
tersusun dan berurutan, serta mempunyai besaran nilai
mutlak; biasanya dinyatakan dengan nol mutlak (non
arbitrary zero): “jika bernilai nol berarti nihil”.
Variabel ordinal adalah variabel kualitatif yang dapat
diukur kuantitatif secara terbatas; sedangkan variabel cardinal
adalah benar-benar sebagai variabel kuantitatif. Contoh
variabel nominal, ordinal dan cardinal, adalah sebagai berikut:
Tabel 9.2.
Variabel Nominal, Ordinal dan Cardinal
Deskrit Kontinum
Nominal Ordinal Cardinal
Jenis kelamin -Status sosial -Berat badan
Hari/bulan kelahiran -Tingkat pendidikan -Tinggi badan
Tempat lahir -Status dalam -Suhu badan
Status perkawinan organisasi -Jumlah anggota
Agama -Pangkat/Golongan keluarga
Suku -Jabatan -Luas lahan garapan
Kewarganegaraan -Bahasa yang -Pencurahan tenaga
Pekerjaan dikuasai kerja/musim
Organisasi yang -Disiplin -Jarak rumah kepusat
Dimasuki -Kepemimpinan fasilitas
Golongan darah -Cosmopolitaness -Lamanya penga-
Alamat -Innovativeness laman kerja
Penyakit berat yang -Partisipasi -Pendapatan/tahun
Pernah diderita -Loyalitas -Biaya hidup
Hobi, dsb. -Solidaritas dsb.
Kualitatif Kuantitatif

110
3) Dimensi dan atau Indikator dari Variabel
Variasi sifat-sifat dari variabel itu dinyatakan dengan
dimensi atau indikator. Dimensi atau indikator itu lebih konkrit
dari variabel (ingat, bahwa variabel = konsep, adalah abstraksi
dari fenomena). Dengan perkataan lain dimensi atau indikator
itu adalah penjelasan atau ciri-ciri yang menggambarkan
variabel itu.
Dimensi (luasan lingkup) dapat dibedakan
pemakaiannya dengan indikator, dimana indikator lebih
konkrit dari dimensi. Kadang-kadang dimensi disebut juga
bagian-bagian dari variabel luas (sub variabel); ada variabel
(variabel yang luas) terdiri dari dimensi-dimensi; setiap
dimensi ini mempunyai ciri-ciri atau penjelasan yang konkrit,
atau menpunyai indikator.
Bagaimana atau darimana kita dapat mengetahui atau
dapat menentukan dimensi dan indikator? Dimensi dan
indikator diperoleh dari pengertian variabel atau konsepnya
itu. Atau mungkin dari fenomenanya (ingat, bahwa konsep
adalah pengertian abstrak dari fenomena). Contoh terdahulu
tentang konsep/variabel partisipasi, dimensi dan indikatornya
diperoleh dari pengertian partisipasi itu.
“Partisipasi adalah keikutsertaan seseorang dalam suatu
kegiatan yang diadakan oleh pihak lain (kelompok, asosiasi,
organisasi pemerintahan, dan sebagainya), dimana
keikutsertaannya dinyatakan atau diwujudkan dalam bentuk
pencurahan pikiran, pencurahan materiil (dana) dan pencurahan
tenaga, sesuai dengan harapan kegiatan itu”.
Dari pengertian partisipasi itu terdapat tiga hal yang
merupakan dimensi partisipasi itu, ialah:
a) pencurahan/sumbangan pikiran (ide/gagasan);
b) pencurahan/sumbangan materiil (dana); dan

111
c) pencurahan/sumbangan tenaga.
Ternyata ketiga dimensi itu masih abstrak. Jadi harus
dicari indikator-indikatornya. Caranya seperti menentukan
dimensi, berikut penjelasan atau pengertian dari dimensi-
dimensi:
1. Dimensi pencurahan/sumbangan pikiran; ialah pemberian
gagasan-gagasan yang bersangkutan dengan kegiatan itu,
dimana gagasan tersebut dapat diterima sebagai masukan
(input) bagi keberhasilan kegiatan tersebut.
2. Dimensi pencurahan/sumbangan materiil (dana); ialah
besarnya materiil (dana) yang disumbangkan pada kegiatan
sesuai dengan ketentuan/permintaan, atau mungkin lebih.
3. Dimensi pencurahan/sumbangan tenaga; ialah berapa
besar/banyak tenaga yang dicurahkan (ikut bekerja) pada
kegiatan yang diadakan itu; dihitung berapa lama bekerja selama
kegiatan itu berlangsung. Misalnya dihitung: jam/hari,
hari/hari kegiatan seluruhnya.
Pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diperjelas
lagi sampai mendapatkan besarannya atau satuan-satuan
yang merupakan standarnya. Setelah diperoleh satuan-satuan
dan standar-standarnya, kemudian diinventarisasi pada daftar
dibawah ini:
Tabel 9.3.
Contoh Operasional Variabel
Variabel Dimensi Indikator
1 2 3
Partisipasi Sumbangan Gagasan/ide-ide yang
Pikiran diterima masukan
Sumbangan Uang/barang senilai
Materiil harapan kegiatan
Sumbangan Besarnya tenaga yang
Tenaga dicurahkan diperhitungkan dengan
periode kegiatan

112
Pada contoh indikator-indikator partisipasi diatas
terlihat bahwa jenisnya ada yang ordinal (sumbangan pikiran)
dan ada yang cardinal (sumbangan dana/materiil dan
sumbangan tenaga), namun secara keseluruhan sifat variabel
partisipasi dikatakan bersifat ordinal. Pada kenyataannya,
banyak dijumpai variabel-variabel yang sifat dimensinya
sama. Bahkan mungkin banyak yang dimensi-dimensinya
merupakan kombinasi sifat nominal-ordinal-cardinal. Salah satu
yang dijumpai misalnya variabel pengalaman kerja:
Tabel 9.4.
Contoh Operasional Variabel
Variabel Dimensi Indikator
1 2 3
Pengalaman Kerja Lamanya Jumlah tahun
(Cardinal)
Macam Pekerjaan Kasar – Halus
yang dikerjakan (Ordinal)
Tempat-tempat Bandung, Cianjur
pekerjaan yang (Nominal)
Didiami

Variabel-variabel nominal dimensi/indikatornya tidak


terukur atau tidak dapat dinilai, seperti contoh-contoh
dibawah ini:
Tabel 9.5.
Contoh Operasional Variabel Nominal
Variabel Indikator
1 2
-Jenis kelamin -Laki-laki/perempuan…………..
-Bulan kelahiran -Januari/Pebruari………………..
-Tempat lahir -Bandung/Subang/………………
-Agama -Islam/Budha……………………
-Suku -Sunda/Jawa…………………….
-Warga negara -Asing/Indonesia………………..
-Golongan darah -A/B/AB/O……………………..
-Hobi -Olahraga/Kesenian…………….
-dan sebagainya

113
Variabel-variabel Cardinal yang hanya mempunyai
indikator (tanpa dimensi), seperti contoh-contoh dibawah ini:
Tabel 9.6.
Contoh Operasional Variabel Cardinal
Variabel Indikator
1 2
-Berat badan -………kg
-Tinggi badan -………m
-Suhu Badan -………0C
-Luas sawah -………Ha
-Pendapatan keluarga/bulan -Rp...…./bulan
-dan sebagainya
Demikianlah tentang variabel dengan dimensi-dimensi
dan indikator-indikatornya itu. Hal ini sangat penting sekali
dikuasai dalam penelitian. Pekerjaan menjabarkan variabel
kepada dimensi-dimensi dan indikator-indikator ini disebut
operasionalisasi variabel dalam rangka menentukan data-data
yang diperlukan.
Dalam gambaran dua pekerjaan penelitian
(taxonomical/dan theoretical) variabel dan operasionalisasi
variabelnya itu dapat dilukiskan sebagai berikut:

114
DATA

VERIFIKASI
DIAGNOSIS

DESKRIPSI PROPOSISI
Klasifikasi Informative
Katagori value
OPERASIONALISASI
Definisi Linkage
VARIABEL hubungan
Konsep

VARIABEL
TAXONOMICAL THEORETICAL

Gambar 9.2. Dua Alur Pekerjaan Penelitian

C. Pengukuran (Measurement)
Pekerjaan pengukuran dalam penelitian dilakukan
setelah mengoperasionalisasikan variabel-variabel kepada
dimensi-dimensi dan indikator-indikatornya. “Mengukur
adalah mengidentifikasi konsep-konsep atau variabel dengan besaran
nilai”
Dari pembahasan sifat-sifat variabel telah disebutkan
bahwa hanya variabel-variabel dari fenomena kontinum saja
dapat dinilai. Dengan demikian pengukuranpun hanya dapat
dilakukan pada variabel kontinum.
Dalam pengukuran pemberian dan penetapan nilai ini
harus dilakukan seimbang; oleh karena itu hal-hal yang
bersangkutan dengan ini adalah penempatan nilai-niloai
menurut skala pengukuran. Dengan perkataan lain bagaimana
115
menetapkan proposisi atau perimbangan nilai menurut
jenjang atau tingkatannya. Pada tulisan ini akan dikemukakan
dua hal penting yang berguna bagi pengukuran itu, yaitu:
Nilai ukur untuk skala dan tipe-tipe skala pengukuran.
1. Nilai Untuk Skala
Variabel kontinum itu terdiri dari golongan-golongan
yang mempunyai ukuran atau nilai, tersusun menurut tinggi
rendahnya ukuran atau tingkatan (klasifikasi). Tinggi
rendahnya tingkatan ini ada yang dinyatakan dengan kata-
kata dan ada yang dinyatakan dengan angka-angka. Yang
dinyatakan dengan kata-kata itu disebut kualitatif, seperti:
tinggi sekali-tinggi-sedang/cukup-rendah-rendah sekali. Sedangkan
yang dinyatakan dengan angka-angka disebut kuantitatif.
Angka-angka kuantitatif sebenarnya mempunyai dua macam
pengertian. Pertama, menggambarkan nilai sebenarnya atau
menggambarkan besaran yang sebenarnya, atau angka mutlak
dari suatu tingkatan; angka semacam ini disebut angka
Cardinal, seperti terlah dicontohkan terdahulu. Kedua,
menggambarkan nilai tidak sebenarnya atau nilai tidak
mutlak. Seperti telah dikatakan bahwa kemutlakan angka-
angka itu dinyatakan oleh bilangan nol mutlak (non-arbitrary
zero) yang artinya nihil, dan nol tidak mutlak (arbitrary zero).
Angka-angka cardinal adalah angka-angka yang mempunyai
nol mutlak, sedangkan angka-angka ordinal adalah angka-
angka yang mempunyai nol mutlak.
Penilaian terhadap variabel ordinal biasanya
dinyatakan dengan skor, yaitu angka nilai dari sifat-sifat
variabel kualitatif. Pada umumnya skor adalah tidak mutlak
(arbitrary zero). Misalnya nilai nol yang diperoleh mahasiswa
dari suatu mata kuliah tidak berarti mahasiswa itu tidak
mengetahui apa-apa dari mata kuliah tersebut, atau nihil

116
pengetahuan dari mata kuliah tersebut. Misal lain seorang
mahasiswa memperoleh skor 8 dari suatu mata kuliah, tidak
berarti bahwa kepandaiannya dua kali lipat dari mahasiswa
yang memperoleh skor 4 pada mata kuliah yang sama.
Pada suatu keadaan atau keperluan, sudah biasa
bahwa angka-angka nilai cardinal yang telah memiliki
gambaran sifat secara mutlak, diubah menjadi menjadi tidak
mutlak, atau dinyatakan dengan angka skor (ordinal), yaitu
jika angka-angka cardinal itu berlaku atau sebagai subvariabel
atau dimensi dari variabel ordinal. Jadi sebenarnya angka-
angka-angka cardinal bagi penilaian variabel atau skala
variabel tidak terlalu banyak menghadapi persoalan. Yang
banyak memerlukan perhatian biasanya “scoring” yaitu
penentuan skor pada variabel-variabel ordinal itu.
Scoring atau penentuan skor itu tidak dilakukan
semena-mena, melainkan didasarkan pada criteria-kriteria
tertentu. Kriteria-kriteria itu pada dasarnya telah
diketengahkan pada operasionalisasi variabel. Indikator-
indikator dari dimensi-dimensi variabel itu mempunyai nilai-
nilai (baik ordinal maupun cardinal) sebagai data. Tingkatan
nilai-nilai dari indikator itulah yang merupakan kriteria-
kriteria “scoring”.
Sebagai contoh “scoring”, dilakukan pada variabel
yang telah dicontohkan terdahulu, yaitu: partisipasi. Variabel
partisipasi secara kualitatif tingkatannya dapat dinyatakan
dengan kata-kata: “tinggi-sedang/cukup/-rendah”; atau lebih
panjang: “tinggi sekali-tinggi-sedang/cukup-rendah-rendah sekali”.
Berapa yang disebut tinggi sekali, tinggi, sedang, atau cukup,
rendah dan rendah sekali itu. Hal ini dapat dinyatakan secara
kuantitatif dengan angka-angka skor itu. Namun kita tidak
dapat memberikannya dengan begitu saja; misalnya skor 5

117
untuk tinggi sekali, skor 4 untuk tinggi, skor 3 untuk
sedang/cukup, skor 2 untuk rendah, dan skor 1 untuk rendah
sekali.
Skor yang diberikan harus didasarkan pada hasil
operasionalisasi variabel. Seperti telah dioperasionalisasikan
bahwa partisipasi itu terdiri dari tiga dimensi, yaitu:
sumbangan pikiran, sumbangan dana/materiil, dan
sumbangan tenaga. Ketiga dimensi itu telah diketahui
indikator-indikatornya. Maka “scoring” itu dilakukan
menurut kriteria-kriteria indikatornya. Kriteria-kriteria
indikatornya itu ialah alternatif-alternatif kenyataan empiris
dari indikator-indikator itu. Untuk jelasnya dicontohkan
sebagai berikut:
Tabel 9.7.
Contoh Operasional Variabel
Kriteria-kriteria
Variabel Dimensi Skor
(Alternatif Indikator-indikator)
1 2 3 4
Partisipasi Sumbangan  Tidak menyumbangkan 0
pikiran  Memberi sumbangan
a. tidak ditanggapi 1
b. ditanggapi tetapi tdk
dilaksanakan 2
c. ditanggapi dan dilaksanakan 3

Sumbangan  Tidak menyumbangkan 0


dana  Menyumbangkan
a. kurang dari yang diminta 1
b. sesuai dengan yang
diminta 2
c. lebih dari yang diminta 3
Sumbangan  Tidak menyumbangkan 0
tenaga  Menyumbangkan
a. kurang dari setengah
periode kegiatan 1
b. selama setengah dari
periode kegiatan 2
c. selama periode kegiatan 3

118
Dari scoring itu terlihat kemungkinan-kemungkinan
berpartisipasi dan tidak berpartisipasi. Jika tidak
menyumbangkan apa-apa (pikiran, dana ataupun tenaga),
berarti tidak berpartisipasi; jadi skornya=0. Jadi kemungkinan
nilai yang berpartisipasi itu berkisar antara 1 sampai dengan
9. Maka dapat dinyatakan tingkatan partisipasi tinggi sekali-
tinggi-sedang/ cukup-rendah-rendah sekali atau tinggi-
sedang/cukup-rendah itu dengan interval skor sebagai berikut:
Tabel 9.8
Contoh Klasifikasi Tingkatan dan Skor
Interval Skor Klasifikasi
1 2
0–1 Rendah sekali
2–3 Rendah
4–5 Sukup/sedang
6–7 Tinggi
8–9 Tinggi sekali

Atau
Tabel 9.9
Contoh Interval Skor dan Klasifikasi
Interval Skor Klasifikasi
1 2
1–3 Rendah
4–6 Sedang/cukup
7-9 Tinggi

Cara “scoring” diatas berpegang pada anggapan


bahwa bobot nilai diantara dimensi-dimensi itu adalah sama
atau setara. Tetapi biasanya dijumpai cara “scoring” tidak
setara, yaitu jika dinatara dimensi-dimensi itu tidak
mempunyai nilai bobot sama pada klasifikasi dimensi. Maka
untuk hal itu sebelum menentukan skornya terlebih dahulu
dilakukan pembobotan (weighting). Misalnya pada variabel
partisipasi itu; dianggap bahwa nilai sumbangan pikiran lebih

119
tinggi daripada sumbangan dana/materiil; dan sumbangan
materiil/dana lebih tinggi dari sumbangan tenaga. Andaikan
bobot untuk sumbangan pikiran adalah 3; sumbangan
dana/materiil adalah 2 dan sumbangan tenaga adalah 1. Maka
skor untuk sumbangan dana/materi adalah dua kali
sumbangan tenaga, dan sumbangan pikiran/ide adalah tiga
kali sumbangan tenaga. Untuk jelasnya contoh “scoring”
partisipasi tadi diubah sebagai berikut:

Tabel 9.10
Contoh Scoring Partisipasi
Kriteria-kriteria
Variabel Dimensi Skor
(Alternatif Indikator-indikator)
1 2 3 4
Partisipasi Sumbangan  Tidak menyumbangkan 0
pikiran  Memberi sumbangan
(bobot 3) a. tidak ditanggapi 3
b. ditanggapi tetapi tidak
dilaksanakan 6
c. ditanggapi dan dilaksanakan
9
Sumbangan  Tidak menyumbangkan 0
dana  Menyumbangkan
(bobot 2) a. kurang dari yang diminta 2
b. sesuai dengan yang diminta 4
c. lebih dari yang diminta 6
Sumbangan  Tidak menyumbangkan 0
tenaga  Menyumbangkan
a. kurang dari setengah
periode kegiatan 1
b. selama setengah dari
periode kegiatan 2
c. selama periode kegiatan 3

Dari “scoring” diatas, ternyata sekarang nilai partisipasi


yang dapat dilakukan seseorang berkisar antara 1 sampai 18.
Seperti terdahulu.

120
Klasifikasi partisipasi menurut interval skor adalah
sebagai berikut:
Tabel 9.11
Contoh Klasfikasi Partisipasi
Interval Skor Klasifikasi
1 2
1–4 Rendah sekali
5–8 Rendah
9 – 12 Sedang/cukup
13 – 15 Tinggi
16 – 18 Tinggi sekali

Atau

Tabel 9.12
Contoh Klasfikasi Partisipasi
Interval Skor Klasifikasi
1 2
1–6 Rendah
7 – 12 Sedang/cukup
13 – 18 Tinggi

Dalam hal “scoring” tidak setara (dengan weighting)


ini, suatu hal yang harus diperhatikan adalah pemberian
bobot pada dimensi-dimensi variabel itu. Benarkah, misalnya
bobot untuk dimensi-dimensi partisipasi itu berbanding
antara 1:2:3. Hal ini memerlukan informasi yang kuat dari
operasionalisasi variabel partisipasi itu.Demikian
kebiasaannya bahwa untuk melihat tingkat-tingkat nilai baik
dimensi maupun indikatornya itu, tergantung pada deskripsi
yang mengandung katagori-katagori dan klasifikasi-
klasifikasi.
Mengenai pemberian angka sebagai nilai atau skor itu,
dapat dinyatakan dengan angka-angka satuan (seperti contoh
diatas), dapat pula denganpuluhan (bahkan mungkin

121
ratusan). Hal itu tergantung kepada kompleksnya variabel-
variabel itu, yang akan menyebabkan banyakanya dimensi
(sub-sub variabel) dan panjangnya kriteria-kriteria indikator-
indikatornya.
2. Tipe-tipe Skala
Setelah menentukan nilai-nilai variabel untuk skala
pengukuran ini, tinggal menentukan skalanya. Untuk ini telah
diketahui tiga tipe skala, yaitu: skala ordinal, skala interval, dan
skala rasio.
2.1. Skala Ordinal
Skala Ordinal adalah sakal yang menggolong-
golongkan kedudukan suatu subyek menurut jenjangnya.
Susunan jenjang ini tanpa memperhatikan “jarak nilai” antara
satu jenjang dengan jenjang yang lainnya; semata-mata hanya
menyatakan subyek satu kedudukannya lebih tinggi atau
lebih rendah dari subyek yang lainnya. Nilai yang dipakai
untuk menentukan kedudukan tersebut bersifat ordinal (skor)
atau nilai ordinal.
Misalnya ada lima golongan penduduk desa (sebagai
subyek-subyek), yaitu petani, pedagang, tengkulak, pegawai
negeri dan buruh tani. Dengan skala ordinal ingin diketahui
bagaimana kedudukan subyek-subyek itu pada partisipasi
dalam suatu kegiatan. Susunan skala ordinal itu adalah:
Tabel 9.13
Contoh Susunan Skala Ordinal
Skor*) Jenjang/Pangkat/
Subyek
Partisipasi Rank
1 2 3
Petani 7 2
Pedagang 5 3
Tengkulak 2 5
Pegawai Negeri 8 1
Buruh Tani 3 4
*)Skor tertinggi = 9

122
Contoh lain ialah skala ordinal subyek-subyek
menurut besarnya penghasilan pertahun. Susunan skala
ordinalnya adalah sebagai berikut:
Tabel 9.14
Contoh Susunan Skala Ordinal
Penghasilan/Tahun Jenjang/Pangkat/
Subyek
(Rp) Rank
1 2 3
Petani 380.000.00 4
Pedagang 750.000.00 1
Tengkulak 500.000.00 2
Pegawai Negeri 400.000.00 3
Buruh Tani 150.000.00 5
Dari contoh-contoh skala ordinal diatas ternyata angka
jenjang/pangkat/rank dengan tidak memperhatikan jarak
nilai satu tidak memberi arti lebih banyak, selain merupakan
nomor penduduk atau urutan subyek menurut nomor-nomor
pangkat itu. Lain halnya jika letak dari skala ordinal itu
dihubung-hubungkan. Misalnya adakah hubungan antara
tingkat partisipasinya. Maka skala ordinal ini memberi
sumbangan pada pengujian “relationship” non-parametriks.
Dalam hal skala ordinal (jenjang/pangkat/rank) ini
perlu pula diingat bahwa meski angka-angka pangkat (rank)
itu tersusun, namun terhadapnya kita tidak dapat
mengadakan perhitungan-perhitungan, penjumlahan,
pengurangan, penggandaan atau pembagian, kecuali dalam
analisis statitistik korelasional (relationship) itu.
2.2. Skala Interval
Skala interval adalah skala yang menggolong-
golongkan subyek menurut nilai-nilai yang berjarak sama
antara satu kedudukan subyek yang paling tepat. Dengan
demikian dapat menyatakan subyek yang satu sekian lebihnya
dari subyek yang lain.
123
Contoh pada skala ordinal tentang partisipasi lima
subyek sebenarnya dapat ditempatkan pada skala interval yang
disusun seperti pada contoh “scoring” partisipasi. Ternyata
partisipasi pegawai negeri (skor 8) termasuk klasifikasi tinggi
sekali; petani termasuk tinggi (skor 7); pedagang (skor 5)
termasuk sedang; buruh tani (skor 3) dan tengkulak (skor
2)ternyata sama-sama tergolong rendah. Jelasnya disusun
seperti berikut ini:
Tabel 9.15
Contoh Skala Ordinal
Skala Interval Subyek dan Skor
Skor Partisipasi Partisipasi
1 2
0–1 (rendah sekali) -
2–3 (rendah) Buruh tani (3) & Tengkulak (2)
4–5 (sedang) Pedagang (5)
6–7 (tinggi) Petani (7)
8–9 (tinggi sekali) Pegawai Negeri (8)

Seperti telah dijelaskan pada “scoring” interval skor itu


ditentukan oleh lima klasifikasi ordinal (rendah sekali-rendah-
sedang-tinggi-tinggi sekali) pada skor yang berkisar antara 0 –
9 (sebagai hasil telaah criteria indikatornya).
Jadi penentuan interval itupun tidak semena-mena
melainkan menurut informasi fungsional. Hal ini akan lebih jelas
jika penghasilan setahun dari lima subyek (pada contoh skala
ordinal), yang berkisar antara Rp 150.000,00 sampai dengan Rp
750.000,00. Jika hal itu hendak diubah menjadi skala interval,
bagaimana menyusun intervalnya secara bermakna (meaningfull?)
Apakah akan dibagi lima? Apa artinya? Misalnya:
Rp 150.000,00 – Rp 270.000,00
Rp 270.000,00 – Rp 390.000,00
Rp 390.000,00 – Rp 510.000,00 ?
Rp 510.000,00 – Rp 630.000,00
Rp 630.000,00 – Rp 750.000,00

124
Agar bermakna, maka menentukan interval itu
didasarkan pada standar-standar atau patokan-patokan
tertentu. Apakah pendapatan rata-rata nasional, atau tingkat
kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Misalnya berdasarkan
tingkat kebutuhan keluarga minimal, membuat patokan batas
kebutuhan masyarakt desa 220 kg setara beras perkapita
pertahun, dengan interval sebagai berikut:
Tabel 9.16
Contoh Interval Standar dan Kategori/Klasifikasi
Interval Kg. Beras Katagori/
Perkapita / Tahun Klasifikasi
1 2
< 180 Melarat
190 – 220 Miskin
220 – 260 Cukup
260 – 300 Kaya
> 300 Makmur

2.3. Skala Ratio


Skala ratio merupakan skala yang paling ideal, karena
skala ini mempunyai nol mutlak; (non-arbitrary zero) dan
mempunyai jarak nilai yang sama; oleh karena itu antara mata
nilai yang satu dengan yabg lainnya dapat diperbandingkan.
Hal ini berarti bahwa antara subyek yang satu dapat
dinyatakan sekian kali obyek yang lain. Seperti harga mutlak
penghasilan lima subyek yang telah dicontohkan sebenarnya
merupakan ratio, karena ia mempunyai harga nol mutlak.
Penghasilan nol, artinya benar-benar tidak ada penghasilan
(penghasilan nihil). Dengan demikian dapat diperbandingkan
bahwa penghasilan pedagang, lima kali penghasilan buruh
tani, dan seterusnya.
Keunggulan skala ratio dari dua skala yang lainnya,
adalah bahwa skalanya dapat dipergunakan bagi skala yang

125
lainnnya (skala interval dan ordinal), bahkan bagi golongan
nominal. Gambaran sifat skala variabel dihubungkan dengan
tipe-tipe skalanya dapat dimatrikan sebagai beriktu:
Tabel 9.17
Sifat Skala Variabel dan Tipe Skala
SIFAT NO TIPE SKALA
SKALA VARIABEL MI Ordinal Interval Ratio
NAL
Catagorial + + + +
Ordering/Rank + + +
Distance/Jarak + +
Non Arbitrary Zero +
+ adalah berlaku

3. Tentang Indeks dan Skala


Jika skala merupakan perbandingan menurut
perimbangan, indeks hanyalah sebagai daftar susunan sesuatu
komponen yang tidak berjenjang, misalnya indeks kebutuhan
biaya hidup (cost of living index), indeks prestasi mahasiswa
(students prestation index) dansebagainya.
Sebagai contoh ialah indeks biaya kebutuhan hidup, sebagai
berikut:
Tabel 9.18
Indeks Biaya Hidup
Macam kebutuhan Besar biaya % dari
yang dibiayai (Rp) keseluruhan
1 2 3
1. Konsumsi sehari-hari (K1)
a.makanan:
1)………………………
2)………………………
……………………….
……………………….
9) ……………………….
b. Memasak:
1)………………………
2)………………………
……………………….

126
……………………….
7) ……………………….
c. pembersih badan:
1)………..………………
2)..,…….……………….
3) ……………………….
2. Konsumsi: Tidak Segera (K2):
a.pakaian ………………………….
b. keperluan rumah………………
3. Konsumsi: Jangka panjang (K3):
1) pemugaran rumah
2) barang-barang mewah
4. Alat-alat Produktif (I)
5. Keshetan (H)
6. Pendidikan (E)
7. Kewajiban (N)
8. Tabungan (S)
Jumlah

Dari indeks tersebut dapat pula disusun suatu skala


jika hendak memperbandingkan gambaran variabel (yang
telah disusun indeksnya itu), dengan cara mengubah susunan
terdaftar menurut jenjang tertentu. Misalnya kita ingin
memperbanding individu-individu atas subyek-subyek lain,
dari indeks biaya kebutuhan hidup menjadi skala pola
pembelanjaan keluarga, dengan maksud untuk mengetahui kea
rah mana kecenderungan pola belanja keluarga itu; apakah ke
konsumtif atau produktif (dalam ilmu ekonomi ada konsep
“propensity to consume” atau “propensity to invest”). Caranya
dengan menyusun macam-macan kebutuhan itu menurut
golongan-golongan klasifikasi bertingkat menurut derajat
bobotnya; misalnya klasifikasi konsumtif, normative, saving, dan
investasi (tingkatnya makin tinggi). Maka dapat diketahui
kearah mana kecenderungannya. Akan lebih dinamis jika
skalanya itu disusun sebagai gambaran tingkat
perkembangan. Contohnya sebagai berikut:

127
Tabel 9.19
Contoh Kecenderungan Dinamis Skala Perkembangan
Pola Belanja Keluarga (%)
TAHUN Konsumtif Normatif Produktif
K1 K2 K3 N H E S I
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Rata2
Buat dengan nilai 96

D. Proposisi dan Pengujiannya


Proposisi adalah kalimat pernyataan yang terdiri dari
dua variabel atau lebih, yang menyatakan hubungan sebab
akibat (kausalitas). Dari batasan tersebut, terdapat kata
hubungan sebab akibat yang mempunyai makna bagi
proposisi tersebut. Tiga hal yang bersangkutan dengan makna
proposisi tersebut; pertama, mengenai bentuk hubungan; kedua,
mengenai ketegasan (linkage) hubungan; dan ketiga, mengenai
tingkat nilai informatifnya. Ketiga hal itulah yang akan
dikemukakan berikut ini.

1. Bentuk Hubungan Variabel


Karena proposisi adalah hubungan variabel-variabel
kausalitas, maka terdapat variabel-variabel yang termasuk
penentu atau penyebab (determinant) dan yang termasuk
akibat (result). Atau ada golongan variabel yang menentukan
(variabel bebas = independent variable), ada golongan
variabel yang ditentukan (dependent variable). Pada
128
kenyatannya tidak selalu hubungan itu merupakan hubungan
sederhana, melainkan juga hubungan kompleks.
Bentuk-bentuk hubungan yang sering dijumpai
dikemukakan dalam bentuk gambar-gambar hubungan
seperti dibawah ini:

1) Hubungan sederhana dari dua variabel

X Y
Teknologi Produksi

2) Hubungan kompleks tiga variabel

a. X I Y
Kondisi ketenangan IPK
Lingkungan belajar

I = disebut Intervening variable atau variabel antara

b. A
Kelembagaan
Universitas

Kualitas Kualitas
Dosen Mahasiswa
A = disebut antedent variable

3) Hubungan kompleks lebih dari tiga variabel

a. X I1 I2 Y
Teknologi Produksi Pendapatan Kesejahteraan

129
b.
A
Innovativeness

X I1 I2 Y
Adopsi Produk-Pendapatan -Pola Konsumsi-Inovasi

c. Penerapan Nilai-nilai Tanggungjawab


Teknologi social sosial
A1 A2 A3

X Y
Pendapatan masyarakat Kesejahteraan sosial

2. Tentang ketegasan (linkage) Hubungan


Yang diartikan dengan ketegasan (linkage) proposisi
ialah ketegasan hubungan variabel-variabelnya. Makin eksak
(mendekati eksak) suatu ilmu, makin tegas hubungan
variabel-variabelnya. Berdasarkan ketegasan hubungan itu,
setidak-tidaknya terdapat 10 macam proposisi atau lima
pasang, yang biasa dalam ilmu itu.

Pasangan Pertama: Reversible and irreversible Proposition


1) Reversible Proposition: yaitu proposisi kedudukan variabel-
variabelnya dapat dibolak-balik, contoh:
“Jika X maka Y”, juga “Jika Y maka X”
Jika produksi meningkat (X), maka pendapatan (Y) meningkat
Juga

130
Jika pendapatan meningkat (Y=X), maka produksi (X=Y)
meningkat

2) Irreversible Proposition: yaitu proposisi searah dimana


kedudukan variabel-variabelnya tidak dapat dibolak-balik,
contoh:
“Jika X maka Y” : (“Jika Y tidak maka X”)
“Jika terang bulan (X), maka muda-mudi berpacaran (Y)”
(Tidak “Jika muda-mudi berpacaran (Y), maka terang bulan (X))

Pasangan Kedua: Deterministik and Stochastic Proposition


3) Deterministik Proposition: yaitu proposisi dimana ketegasan
hubungan variabel-variabelnya menyatakan kepastian
atau sudah barang tentu, atau selalu.
“Jika X maka pasti; selalu/sudah barang tentu/selalu Y”
“Jika ditembak kepalanya (X) maka pasti/selalu/sudah barang
tentu mati (Y)
4) Stochastic Proposition yaitu proposisi dimana ketegasan
hubungannya tidak pasti/tidak selalu melainkan bersifat
kemungkinan.
“Jika X mungkin Y”
“Jika lingkungan buruk (X) mungkin anak-anak berandal (Y)
Pasangan Ketiga: Coextensive and Sequential Proposition
5) Coextensive Proposition: yaitu proposisi yang ketegasan
hubungannya menyatakan dengan sendiri.
“Jika X maka dengan sendirinya Y”
“Jika rajin belajar (X) maka dengan sendirinya pandai (Y)
6) Sequential Proposition: yaitu proposisi yang ketegasan
hubungan variabel-variabelnya bahwa akibat itu
terjadinya nanti/ kelak/kemudian hari
“Jika X maka nanti/kelak/di kemudian hari akan Y

131
“Jika semasa kecil hidupnya dimanja (X) maka dikemudian hari
akan menjadi orang yang kurang percaya diri (Y)
Pasangan Keempat: Contingency and Sufficient Proposition
7) Contingency Proposition: yaitu proposisi yang ketegasan
hubungan variabel-variabelnya memerlukan suatu syarat
(result akan terjadi karena determinant dengan suatu
syarat)
“Jika X maka Y, Jka Z”
“Jika lingkungan buruk (X) maka anak-anak menjadi berandal
(Y), jika tidak ada perhatian dari orang tua (Z)”
8) Sufficient Proposition: yaitu proposisi yang ketegasan
hubungannya tanpa syarat (determinant) sudah cukup
menentukan (result).
“Jika X (tanpa syarat lain) maka Y”
“Jika perhatian orang tua kepada anaknya kurang (meski
lingkungan tidak buruk) (X) maka anak-anak anak berandal (Y)

Pasangan Kelima: Necessary and Substitutable Proposition


9) Necessary Proposition: yaitu proposisi yang ketegasan
hubungannya menyatakan keharusan/seharusnya.
“Jika X maka seharus Y”
“Jika ia seorang dosen (X), maka seharusnya menguasai
metodologi penelitian (Y)
10) Substitutable Proposition: yaitu proposisi yang ketegasan
hubungannya bersifat dapat diganti (dengan determinant
lain)
“Jika X maka Y” juga “Jika Z maka Y”
“Jika ditembak kepalanya (X) maka mati (Y)” juga “Jika
mempunyai penyakit jantung (Z), maka akan mati (Y)”

Jadi ditembak kepalanya dapat diganti dengan penyakit kanker.

132
3. Tingkat Nilai Informatif
Sebagai hasil berpikir deduktif maupun indukti,
proposisi itu mempunyai tingkat nilai informatif yang
bervariasi, dari rendah (low informative value) sampai tinggi
(high informative value). Hal itu disebabkan karena cakupan
pengertian dari konsep-konsep yang dipakai. Suatu fakta
(berbentuk proposisi) yang mencapai nilai informatif tinggi
disebut hokum (dalil), sedangkan propisisinya disebut
Theoretical proposition.
Suatu propisisi yang derajat keberlakuannya
tergantung pada waktu atau tempat (dan atau kondisi lain)
tertentu pada umumnya merupakan “low informative value”.
Misalnya dari proposisi yang nilai informatifnya rendah,
antara lain sebagai berikut:
1. “Jika status posisi seseorang dalam masyarakat tinggi,
maka seseorang akan kuat terhadap norma”.
2. “Jika satu hektar tanaman padi dipupuk dengan satu
kwintal urea, maka memberikan hasil sampai 6 ton gabah
kering panen”
Proposisi yang pertama dikatakan rendah karena
cakupan pengertian konsep “status posisi” dan “norma”
adalah tidak luas. Sedangkan pada proposisi yang kedua,
disebabkan karena hal-hal pemupukan pada tanaman
keberlakuannya selalu tergantung kepada waktu, tempat dan
kondisi situasional yang tertentu. Makin luas cakupan
pengertian konsep atau sifat variabel “determinant” yang
dapat menerangkan “result”, maka dimana makin tinggi nilai
informatif itu, kita perlu kembali pada conceptualisasi
fenomena; terutama dalam pengkajian kepada konsep sampai
pada variabel yang mendasar itu.

133
Selain itu, dapat pula dilakukan dengan penelusuran
pada taxonomical (dengan anggapan penelitian verifikatif
merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif, atau paling
tidak didasari oleh penelitian deskriptif); maka ketelitian
diagnosis pada prinsip taxonominya akan mempertinggi nilai
informatif dari proposisi yang dirumuskannya itu.
Proposisi yang telah dirumuskan dalam berbagai
hubungan dengan ketegasan serta telah dipertimbangkan nilai
informatifnya itu harus diuji dengan data empirik. Pengujian
tingkat kebenarannya ini dilakukan dengan mempergunakan
metode dan atau teknik statistik, yang dewasa ini dianggap
mempunyai keampuhan dalam menguji kebenaran itu.
Pengukuran sampai kepada penentuan atau
penyusunan skala itu tidak lain adalah untuk menyatakannya
dengan nilai-nilai kuantitatif dari variabel-variabel kualitatif
yang dicari hubungan-hubungannya, agar dapat diuji secara
statistik. Dan ternyata dari variabel-variabel yang
dihubungkan itu tidak selalu simetris, yang menentukan
teknik-teknik statistik mana yang harus digunakan untuk
memudahkan bagi pengujian bentuk-bentuk hubungan
variabel itu.

134
BAB
X

POPULASI DAN SAMPEL /


RESPONDEN / INFORMAN
PENELITIAN

Tanpa mengabaikan berbagai pendapat para ahli yang


menekuni metode penelitian yang menekankan bahwa
Populasi dan sampel itu tidak hanya menyebut jumlah orang
tapi seluruh karakteristik yang ada dalam populasi itu, seperti
sekolah, rumah, gedung, dll. Tapi secara empirik yang berlaku
khususnya dalam penelitian Ilmu Administrasi, bahwa yang
disebut dengan Populasi atau sampel dalam penelitian
kuantitatif dan informan dalam penelitian kualitatif, keduanya
tetap merujuk pada jumlah orang yang akan menjadi
responden pada penelitian yang akan dilakukan.
Oleh karena itulah, maka penulis dapat juga
berpendapat bahwa secara teoritik dan praktik penelitian Ilmu
Administrasi bahwa penetapan populasi atau sampel dalam
penelitian kuantitatif dan informan dalam penelitian
kualitatif, pada kenyataannya tetap merujuk pada jumlah
orang yang akan dijadikan responden atau disebut Populasi
dan sampel pada penelitian kuantitatif, atau disebut informan
dalam penelitian kualitatif.

135
Penyederhanaan pendekatan tersebut, sebagai upaya
penulis dalam memandu para calon peneliti dalam bidang
ilmu administrasi publik agar tidak mengalami kesulitan
berpikir hanya karena membedakan antara Populasi atau
Sampel maupun Informan pada pelaksanaan penelitian.
Dalam teknik penetapan responden (populasi atau
sampel) dalam penelitian kuantitatif harus menekankan pada
sifatnya proporsional. Proporsional artinya, bahwa populasi
atau sampel yang ditetapkan benar-benar menggambarkan
situasi tertentu sesuai variabel dan dimensi penelitian yang
ditetapkan, dan benar-benar data yang diperoleh dari
populasi atau sampel tersebut sesuai proporsi yang
diharapkan. Sementara teknik penetapan responden
(informan) dalam penelitian kualititatif harus menekankan
pada sifatnya yang refresentatif. Refresentatif artinya, bahwa
responden (informan) yang ditetapkan dipandang sebagai
atau orang yang benar-benar mewakili dan dapat memberikan
informasi aktual berkenaan dengan fokus dan sub fokus
penelitian yang ditetapkan oleh peneliti.
Selanjutnya dalam hal teknik populasi atau penetapan
sampel maupun yang akan menjadi informan dalam
penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif, khususnya
dalam bidang Ilmu Administrasi, maka dapat didekati dengan
berbagai teknik yang berlaku selama ini.

A. Teknik Sampling

Pada umumnya teknik sampling baik dalam penelitian


kuantitatif maupun kualitatif terbagai dalam dua bagian,
sebagaimana pada gambar berikut ini:

136
1. Simple random
sampling
Probability 2. Proportionate
Sampling stratified random
sampling
3. Area (cluster)
sampling

Teknik
Sampling

Non 1. Sampling sistematis


Probability 2. Sampling kuota
Sampling 3. Sampling incidental
4. Purposive sampling
5. Sampling jenuh
6. Snowball sampling

Gambar 10.1
Teknik Sampling Menurut Sugiyono (2014)
diadaptasi kembali oleh Penulis

1. Probability Sampling (PS)


PS adalah teknik pengambilan populasi atau sampel
(responden) yang memberikan peluang yang sama bagi
setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi
anggota sampel. Dengan prinsip bahwa sampel yang
dipilih tegas “proporsional” dalam penelitian kuantitatif,
dan “refresentatif” dalam penelitian kualitatif.
Teknik PS meliputi:
a. Simple Random Sampling; teknik pengambilan
populasi atau sampel dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata (status, tingkat pendidikan,
137
pangkat/jabatan, profesi/pekerjaan, dll) yang ada
dalam komunitas populasi. Populasi dianggap
homogen dalam sebuah komunitas.
b. Proportionate stratified random sampling; teknik
pengambilan sampel didasarkan pada populasi yang
heterogen dengan mempertimbangkan strata dalam
komunitas populasi yang secara proporsional
ditetapkan sesuai unsur seperti: status, tingkat
pendidikan, pangkat/jabatan, profesi/pekerjaan, dll.
c. Area (cluster) sampling; teknik pengambilan populasi
atau sampel berdasarkan domisili komunitas populasi
atau berdasarkan tingkatan administrasi Desa/
Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.

2. Non Probability Sampling (NPS)


NPS adalah teknik pengambilan populasi atau sampel
(responden) yang tidak memberikan peluang atau
kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel atau responden
sebagai sumber data primer dalam penelitian.
Teknik NPS meliputi:
a. Sampling sistematis; teknik pengambilan populasi atau
sampel/informan menjadi responden penelitian
berdasarkan nomor urut ganjil atau genap, misalnya : 1,
3, 5, 7, 8, 9 dst... atau 2, 4, 6, 8, 10, dt..
b. Sampling kuota; teknik pengambilan populasi atau
sampel/informan menjadi responden penelitian
berdasarkan pertimbangan kuota tertentu dan
dilaksanakan oleh kelompok surveyor tertentu.
Misalnya ditetapkan jumlah kuota sampel sebagai
responden berjumlah 1000 orang, maka kelompok
surveyor dibagi 5 kelompok, dan masing-masing
kelompok harus mengambil data pada 200 orang

138
anggota sampel, dengan demikian selesai tugas 5
kelompok tersebut jika telah mencapai kuota 1000
orang.
c. Sampling incidental; teknik pengambilan populasi atau
sampel/informan menjadi responden penelitian
hanyalah didasarkan pada kecocokan peneliti dengan
sumber data pada saat bertemu, atau secara kebetulan
peneliti bertemu dengan seseorang yang dipandang
relevan dengan masalah penelitian yang diangkat.
Misalnya, ketika meneliti tingkat kepuasan publik
pelayanan satu atap, maka boleh peneliti
mewawancarai siapa saja yang datang di kantor
pelayanan satu atap tersebut, yang penting dipandang
oleh peneliti dapat memberikan jawaban yang
informatif berkenaan dengan fokus dan subfokus yang
diteliti.
d. Purposive sampling; teknik pengambilan populasi atau
sampel/informan menjadi responden penelitian
berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya
seseorang yang ditetapkan sebagai responden
dipandang paling tahu terhadap apa yang diharapkan
dalam mengungkap masalah penelitian.
e. Sampling jenuh; teknik pengambilan populasi atau
sampel/informan menjadi responden penelitian
berdasarkan pertimbangan jika semua populasi
dijadikan responden yang tentunya dalam jumlah
relatif kecil atau tidak perlu lagi dilakukan teknik
sampling proporsioanal atau refresentatif. Biasanya
populasi tersebut berjumlah maksimal 30 orang atau
sering disebut dengan penelitian populasi.
f. Snowball sampling; teknik pengambilan populasi atau
sampel/informan menjadi responden penelitian
berdasarkan pertimbangan jika peneliti masih
membutuhkan kelengkapan dan kesempurnaan data.

139
Tahapan dalam snowball, pada awalnya sampel atau
responden dalam jumlah sedikit, secara bertahap akan
menjadi banyak, tergantung dari tingkat kepercayaan
data yang dikumpulan oleh peneliti sudah cukup.
Dari kedua Teknik, baik Probability Samplig maupun
Non Probability Samplig hampir semua digunakan dalam
penelitian kuantitatif, sementara dalam penelitian kualitatif
khususnya dalam bidang ilmu administrasi yang lebih sering
digunakan adalah (1) Purposive sampling, dan (2) Snowball
sampling. Namun demikian tergantung dari kepentingan
peneliti dalam mengakomodir dan mengumpulkan data
sesuai fokus dan lokus penelitian.

B. Teknik Penetapan Sampel atau Informan


sebagai Responden Penelitian

Sebagai pegangan peneliti jika Populasi tidak melebihi


100 orang, maka praktis seluruhnya dapat digunakan sebagai
responden penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif. Jika
populasi melebih 100 orang, ribuan bahkan jutaan orang,
maka dapat digunakan teknik penetapan jumlah sampel atau
informan, diantaranya adalah Rumus Slovin, yakni:

N
n
1  Ne 2

Keterangan :
n = ukuran sampel/informan minimum yang akan diambil
N = ukuran populasi
e = persentase kelonggaran ketidaktelitian yang digunakan
karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat
ditolerir (error) dengan batas persentase antara 1% s.d 10%

140
Selanjutnya jika terdapat kelompok populasi yang
dapat dijadikan sebagai sub populasi berdasarkan status,
jabatan, profesi dan jenis pekerjaan, atau tingkat administrasi
kelurahan/ desa dan kecamatan, maka dapat digunakan
rumus alokasi proporsional oleh Harun Al Rasyid (1994),
sebagai berikut:

Ni
ni  xn
N
Keterangan:
ni = besar sampel pada sub populasi ke i ;
Ni = jumlah anggota pada sub populasi ke i ;
N = jumlah populasi
n = jumlah sampel/informan
Contoh penetapan besaran Sampel / Responden Total dengan
menggunakan Rumus Slovin:
Jika diketahui jumlah Populasi sebanyak 979 orang, dengan
sub populasi sebagaimana tertera pada Tabel 10.1, maka dapat
diketahui jumlah besaran Sampel total pada setiap sub
populasi.
Tabel 10.1
Populasi/Sub Populasi
No. Unsur / Status Sub Populasi Jumlah (org)
1 2 3
1. Pimpinan Pascasarjana/Prodi 23
2. Dosen Pascasarjana 134
3. Tenaga Kependidikan 17
4. Mahasiswa Pascasarjana 805
Total Popolasi 979

Untuk menentukan jumlah Sampel / Responden / Informan


menggunakan rumus Slovin sebagaimana tersebut diatas.

141
979
n  90,732 dibulatkan menjadi 91
1  979 x (7%) 2

Total sampel atau informan sebagai responden dalam


penelitian berjumlah : 91 orang
Selanjutnya untuk penentuan jumlah sampel atau informan
sebagai responden pada tiap sub populasinya (Pimpinan
Pasca/Prodi, Dosen Pascasarjana, Tenaga Kependidikan dan
Mahasiswa Pascasarjana) menggunakan rumus alokasi
proporsional oleh Harun Al Rasyid (1994):
1. Pimpinan Pasca/ Prodi : 23 orang, maka sampelnya
adalah:
23i
ni  x 91
979
= 2,13 atau digenapkan menjadi 2 orang
2. Dosen Pascasarjana : 134 orang, maka sampelnya adalah:
134i
ni  x 91
979
= 12,45 atau digenapkan menjadi 12 orang
3. Tenaga Kependidikan : 17 orang, maka sampelnya adalah:
17i
ni  x 91
979
= 1,58 atau digenapkan menjadi 2 orang
4. Mahasiswa Pascasarjana : 805 orang, maka sampelnya
adalah:
805i
ni  x 91
979
= 74,82 atau digenapkan menjadi 75 orang

142
Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel pada masing-
masing sub populasi sebagai berikut:
Tabel 10.2
Jumlah Sampel atau Informan pada masing-masing Sub Populasi
Jumlah
No. Sub Populasi Sub Sampel /
Populasi Informan
(orang) (orang)
1 2 3 4
1. Pimpinan Pasca/Prodi 23 2
2. Dosen 134 12
3. Tenaga Kependidikan 17 2
4. Mahasiswa 805 75
Jumlah Populasi / Sampel/Informan 979 91

143
BAB
XI

TEKNIK DAN PROSEDUR


PENGUMPULAN DATA SERTA
TEKNIK ANALISIS DATA
PENELITIAN KUANTITATIF
DAN KUALITATIF

A. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data


Penelitian Kuantitatif

Penelitian kuantitatif khususnya dalam bidang ilmu


administrasi publik menggunakan prosedur pengumpulan
data, paling tidak dengan cara sebagai berikut:
1. Observasi
Lebih banyak dikenal dengan studi pendahuluan atau pra
penelitian saat peneliti menyusun proposal penelitian
sebagai bahan dan dukungan data awal dalam
mengemukakan fenomena dan fakta penelitian, sehingga
lebih mudah menyusun disain penelitian, khususnya
yang menjadi Latar Belakang Masalah. Observasi juga
dapat digunakan selama melaksanakan tahapan dan
sampai selesai penelitian.

144
2. Studi Dokumentasi
Penjajakan, inventirasi dan validasi dokumen yang
relevan dengan fokus dan lokus penelitian, variabel
penelitian yang seharusnya dilakukan oleh peneliti agar
pada pelaksanaan tahapan penelitian berlangsung dengan
dukungan dokumen yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Kuesioner (Angket)
Seperangkat dokumen yang memuat pertanyaan atau
pernyataan tertulis sebagai panduan untuk dijawab oleh
responden (sampel penelitian sebagai sumber data).
Untuk itulah, maka dalam penyusunan dokumen angket,
peneliti harus mampu menggunakan bahasa responden,
artinya bahwa semua pertanyaan atau pernyataan dalam
angket tidak lagi membutuhkan interpretasi yang berbeda
dari responden.

B. Teknik Analisis Data Penelitian Kuantitatif

Teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif selalu


dilakukan dengan cara statistika, yaitu menganalisis dengan
berbagai teknik dan dasar statistika. Ada dua jenis cara
statistik yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yakni :
(i) statistik deskriptif, dan (ii) statistik inferensial, yang dibagi :
a) statistik parametris dan statistik non parametris.
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif, sebagai upaya untuk mendeskripsikan
berbagai karakteristik data yang bersumber dari suatu
populasi/sampel. Statistik deskriptik seperti : mean,
median, modus, presentil, desil, quartile, dalam bentuk

145
analisis angka maupun gambar dan diagram. Dalam
analisis deskriptif diolah masing-masing variabel.
2. Statistik Inferensial
Statistik Inferensial berupaya untuk membuat berbagai
inferensi terhadap sekumpulan data yang bersumber dari
suatu populasi/sampel. Tindakan inferensi tersebut
seperti melakukan perkiraan, peramalan, pengambilan
keputusan dari dua variabel atau lebih. Dalam analisis
inferensi yang diolah adalah dua variabel atau lebih yang
diadukan, misalnya analisis hubungan, pengaruh,
perbedaan antar dua variabel atau lebih.
Berkenaan dengan pengolahan data statistika untuk
penelitian kuantitatif, banyak alternatif pilihan yang tersedia,
diantaranya:
1. Teknik Analisis Jalus (Path Analysis), dan
2. Teknik Analisis Structural Equation Modeling (SEM)
3. Teknik Analisis Regresi Sederhana
Untuk memperdalam tentang teknik analisis dan
pengolahan data dalam penelitian kuantitatif, peneliti
hendaknya lebih mendalami dan mengikuti pola dan metode
penelitian kuantitatif secara tuntas melalui berbagai sumber
buku yang khusus menelaah dan menampilkan struktur
metodologis tentang penelitian kuantitatif.

C. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data


Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif khususnya dalam bidang ilmu


administrasi publik menggunakan teknik dan prosedur
pengumpulan data, paling tidak dengan cara sebagai berikut:

146
1. Wawancara
Dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan
menggunakan pedoman wawancara bersifat tertutup dan
terbuka sehingga responden dapat memberikan informasi
yang tidak terbatas dan mendalam dari berbagai
perspektif berkenaan dengan fokus dan sub fokus
penelitian. Semua hasil wawancara dibuat transkrip dan
disimpan dalam file teks.
Pedoman wawancara tertutup atau dalam beberapa buku
metode penelitian disebut terstruktur, maka peneliti
membuat struktur pernyataan atau pertanyaan yang telah
memiliki beberapa jawaban opsional. Sementara pedoman
wawancara terbuka atau tidak terstruktur, peneliti
membuat beberapa pernyataan atau pertanyaan yang
masih terbuka dan belum disiapkan pilihan atau opsional,
oleh karena itu masih memerlukan jawaban dari
responden sesuai pengalaman yang dialaminya.
2. Studi Dokumentasi
Penjajakan, inventirasi dan validasi dokumen yang relevan
dengan fokus subfokus penelitian yang seharusnya
dilakukan oleh peneliti agar pada pelaksanaan tahapan
penelitian berlangsung dengan dukungan dokumen yang
valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Catatan Pengamatan
Teknik pengamatan untuk memperoleh data dalam
penelitian yang memerlukan ketelitian untuk
mendengarkan dan perhatian yang lebih hati-hati dan
terperinci pada apa yang dilihat. Catatan pengamatan
pada umumnya berupa tulisan tangan.

147
4. Rekaman Audio
Dalam melakukan wawancara perlu dibuat rekaman audio
sebagai upaya untuk menggali isi wawancara yang lebih
lengkap pada saat pengolahan data dilakukan.
5. Rekaman Video
Rekaman video digunakan untuk menggali isi video lebih
dalam pada saat pengolahan data dilakukan.
6. Data dari buku
Dalam penelitian sering digunakan data yang berasal dari
halaman tertentu dari sebuah buku. Data dari halaman
buku tersebut dapat digunakan dalam pengolahan data
bersama data yang lainnya.
7. Data dari halaman web
Dalam penelitian sering digunakan data yang berasal dari
halaman suatu website. Seperti halnya data dari buku,
data dari halaman web tersebut dapat digunakan dalam
pengolahan data bersama.
8. Focus Grouf Discussion (FGD)
Pengumpulan data melalui FGD dengan menghadirkan
informan kunci yang memahami lokus fan fokus
penelitian yang akan dilakukan. Prosedur pengumpulan
data melalui FGD ini bukan menggampangkan
pelaksanaan penelitian, akan tetapi lebih mengarahkan
tentang apa yang dikehendaki oleh peneliti dan tentunya
dapat pula dipahami oleh informan.
9. Triangulasi
Triangulasi sebagai salah satu teknik pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif yang bersifat menggabungkan
dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data
yang sudah ditetapkan (seperti : wawancara, dokumentasi
dan wawancara mendalam). Teknik triangulasi

148
sebenarnya peneliti disamping melakukan pengumpunan
data, juga sekaligus melakukan uji kredibiltas data, karena
menggabungkan berbagai teknik tersebut diatas.
Triangulasi dibagi dua jenis, yakni:
a. Triangulasi Teknik,
Dalam hal ini peneliti dalam mengumpulkan data
dengan teknik yang berbeda (seperti : wawancara,
dokumentasi dan wawancara mendalam) dari sumber
yang sama.
Jika sumber yang sama, teknik berbeda dan hasilnya
sama, maka data tersebut disebut kredibel.
Lihat gambar berikut ini:

Wawanca
Mendalam

Observasi Dokumentasi

Sumber Data atau


Informan
Yang Sama

Gambar 11.1 :
Triangulasi Teknik dalam Pengumpulan Data Kualitatif

Model TBI-
b. Triangulasi Sumber, peneliti dalam
Approach
mendapatkan atau
memperoleh data dari sumber yang berbeda-beda
dengan teknik yang sama. Jika sumber berbeda, teknik
sama dan hasilnya sama, maka data tersebut disebut
kredibel. Sebagaimana gambar berikut ini:

149
Informan
Y

Informan Informan
X Z

Wawancara
Mendalam

Gambar 11.2 :
Triangulasi Sumber dalam Pengumpulan
Data Penelitian Kualitatif
Penegasannya, bahwa penggunaan teknik Triangulasi
dimaksudkan untuk mengetahui dan memperoleh data yang
lebih konsisten, kredibel, tuntas dan pasti atau tidak bias.
Dengan triangulasi akan lebih mengefektif dan meningkatkan
kualitas dan kekuatan data yang diperoleh, bila hanya
menggunakan satu teknik pendekatan.
Secara singkat teknik dan prosedur pengumpulan data
yang lebih banyak digunakan dalam penelitian kualitatif
sebagaimana pada Gambar berikut ini:
Teknik dan Prosedur
Pengumpulan Data

Observasi Triangulasi
Model TBI-Approach

Wawancara Dokumentasi

Gambar 11.3. :
Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data Kualitatif
150
D. Teknik Analisis Data Penelitian Kualitatif
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
kualitatif terutama dalam bidang ilmu administrasi publik,
paling tidak dapat dikemukakan 2 (dua) bentuk analisis
model dalam dalam analisis data kualitatif, yaitu:
1. Analisis Model Interaktif Miles & Huberman (1992), yang
terdiri dari komponen analisis, sebagaimana pada gambar
9.4 berikut ini.

Pengumpulan
Data

Penyajian
Data

Model TBI-Approach Reduksi


Data
Verifikasi
Model Data
TBI- dan
Penarikan
Approach
Kesimpulan

Gambar
Model TBI- 11.4 :
Analisis Model Interaktif (Miles
Approach &Huberman, 1992, diadaptasi kembali

oleh Penulis)
Komponen Analisis Model Interaktif tersebut Model
dapat dijelaskan
TBI-Approach

berikut ini:
a. Reduksi Data
Dari lokasi penelitian, data lapangan dituangkan dalam
uraian laporan yang lengkap dan terinci. Data dan laporan
lapangan kemudian direduksi, dirangkum, dan kemudian
dipilah-pilah hal yang pokok, difokuskan untuk dipilih
yang terpenting kemudian dicari tema atau polanya
(melalaui proses penyuntingan, pemberian kode dan
pentabelan). Reduksi data dilakukan terus menerus selama
151
proses penelitian berlangsung. Pada tahapan ini setelah
data dipilah kemudian disederhanakan, data yang tidak
diperlukan disortir agar memberi kemudahan dalam
penampilan, penyajian, serta untuk menarik kesimpulan
sementara.
b. Penyajian Data
Penyajian data (display data) dimaksudkan agar lebih
mempermudah bagi peneliti untuk dapat melihat gambaran
secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data
penelitian. Hal ini merupakan strategi pelayanan data kedalam
sesuatu bentuk tertentu sehingga kelihatan jenis sosoknya lebih
utuh. Data-data tersebut kemudian dipilah-pilah dan disisikan
untuk disortir menurut kelompoknya dan disusun sesuai
dengan katagori yang sejenis untuk ditampilkan agar selaras
dengan permasalahan yang dihadapi atau ditemui, termasuk
kesimpulan sementara diperoleh pada waktu data direduksi.
c. Verifikasi Data dan Penarikan Kesimpulan
Pada penelitian kualitatif, verifikasi data dilakukan secara terus
menerus sepanjang proses penelitin berlangsung. verifikasi data
merupakan proses perumusan makna dari hasil penelitian yang
diungkapkan dengankalimat yang singkat padat dan mudah
dipahami, serta dilakukan dengan cara berulangkali melakukan
peninjauan mengenai kebenaran khususnya berkaitan dengan
relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan dan
rumusan masalah. Sejak pertama memasuki lapangan dan
selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk
menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan,
yaitu mencari pola tema, hubungan persamaan, dan selanjutnya
dituangkan dalam bentuk kesimpulan yang bersifat tentatif.
Dalam tahapan untuk menarik kesimpulan dari katagori-
katagori data yang telah direduksi dan disajikan untuk
selanjutnya menuju pada kesimpulan akhir mampu menjawab
permasalahan/Fokus dan subfokus penelitian yang dirumuskan.
Tetapi dengan bertambahnya data melalui verifikasi secara terus
152
menerus, maka diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded
(membumi).
2. Analisis Model Spradley (1980), Glaser & Strauss (1967).
& Huberman (1992), pada gambar berikut ini.

Analisis
Data Kualitatif

Peneliti mendeskripsi hal-hal yang general dan


komprehensif dari fokus dan lokus penelitian
Analisis dalam situasi sosial tertentu, untuk memperoleh
Domain domain atau katagori sebagai bahan pijakan
Model TBI-Approachuntuk melakukan penelitian ke tahapan
selanjutnya.
Domain atau katagori yang dipilih sebagai
pijakan tersebut, selanjutnya diobservasi secara
terfokus untuk selanjutnya didetailkan lebih rinci,
Analisis guna mengetahui eksistensi dan struktur internal.
Taksonomi
Model TBI-Approach
Selanjutnya melalui teknik observasi dan
wawancara, setiap eksistensi dan struktur
internal tersebut diatas, dicari spesifikasinya
dengan cara mengkontraskan antar elemen.
Artinya bahwa observasi dan wawancara
dilakukan dengan pertanyaan yang
Analisis
mengkontraskan.
Komponensial
Peneliti mencari dan menemukan hubungan di
antara domain yang telah menjadi pijakan peneliti,
memahami gejala-gejala yang khas dari tahapan
analisis sebelumnya, dan dalam tahapan ini
peneliti berupaya mengumpulkan sekian banyak
tema, sehingga akan membentuk satu kesatuan
Analisis Tema yang utuh, dan pada akhirnya akan menyimpulkan
Kultural mana tema yang dominan dan mana yang kurang
dominan.
Gambar. 11.5.
Analisis Model Spradley (1980), Glaser & Strauss (1967). & Huberman (1992),
(Didisan dan diadaptasi kembali oleh penulis)

153
E. Tahapan Pengolahan Data dan Pembahasan Hasil
Penelitian Kualitatif

Berbicara tahapan pengolahan data dan pembahasan


hasil penelitian kualitatif khususnya dalam bidang Ilmu
Administrasi terkadang sulit mengambil kesimpulan dari data
hasil penelitian yang bersumber dari responden melalui
teknik wawancara.
Oleh karena itulah, maka penulis mengetengahkan
cara sederhana dalam mengolah hasil penelitian kualitatif
khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi berdasarkan
pengalaman empirik yang dilakukan oleh penulis selama ini.
Ketika kita akan meneliti baik dalam level Skripsi,
Tesis, maupun Disertasi, pastilah sejak awal mampu
mengemukakan sebuah realitas empirik, kemudian fenomena
dan masalah faktual sehingga memunculkan judul penelitian.
Dan judul penelitian kualitatif yang kita formulasikan adalah
sebagai berikut:
“Implementasi Kebijakan PKH dalam Penanggulangan
Kemiskinan di Kota Gorontalo”

Dengan Contoh Fokus Penelitian sebagai berikut:


Faktor-faktor apa yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan PKH dalam penanggulangan
kemiskinan di Kota Gorontalo, dengan sub fokus penelitian:
a. Bagaimana pendekatan Sistem sebagai salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan
PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Kota
Gorontalo;
b. Bagaimana pendekatan Mentalitas sebagai salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan

154
PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Kota
Gorontalo;
c. Bagaimana pendekatan Networking sebagai salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan implementasi
kebijakan PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Kota
Gorontalo;
Dari judul dan fokus/sub fokus penelitian diatas peneliti telah
menetapkan siapa yang menjadi responden atau disebut
informan dalam penelitian kualitatif. Maka paling tidak
responden utamanya adalah:
Implementor Kebijakan PKH : Kepala Dinas Sosial, Sekretaris
Dinas, Kabid, dan staf Dinas Sosial yang relevan dengan
kebijakan PKH : diperkirakan 20 orang
Sementara Kelompok sasaran kebijakan PKH : Rumah Tangga
Miskin (RTM) penerima atau yang menjadi sasaran PKH pada
masing-masing Kecamatan/Kelurahan dapat diwawancarai
dalam kapasitasnya sebagai Counter Opinion atau Second
Opinion.
Dalam hal populasinya yang banyak maka dapat
menggunakan rumus Slovin untuk mengetahui Sampel atau
Informan Total, selanjutnya untuk mengetahui jumlah
responden pada masing-masing kecamatan dapat
menggunakan rumus Harun Al-Rasjid (Lihat kembali Bab X)
Langkah selanjutnya adalah membuat Pedoman
Wawancara baik tertutup maupun terbuka.
Contoh Pedoman Wawancara Tertutup sebagai
berikut:

155
PEDOMAN WAWANCARA TERTUTUP

ITEM Jawa-
No.
PERNYATAAN ban
1 2 3

1. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan implementasi


kebijakan PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Kota
Gorontalo:
1.1. Mentalitas aparatur yang ditunjukkan oleh sikap peduli
terhadap PKH sangat menentukan terhadap susksesnya
implementasi kebijakan PKH dalam penanggulangan
kemiskinan di Kota Gorontalo:
a. Sangat setuju, sebab sikap peduli seorang aparatur
menunjukkan mentalitasnya yang handal dalam
melaksanakan tugas yang berkenaan dengan kebijakan
PKH
b. Setuju, sebab sikap peduli seorang aparatur
menunjukkan mentalitasnya yang handal cukup meadi
modal dalam melaksanakan tugas yang berkenaan
dengan kebijakan PKH
c. Tidak setuju, sebab suksesnya kebijakan program PKH
tergantung pada orang-orang miskin.

d. Sangat tidak setuju, sebab program PKH tidak


seharusnya melibatkan sepenuhnya aparatur dinas
sosial.
1.2. Mentalitas aparatur yang ditunjukkan oleh perilaku
aparatur yang konsisten terhadap PKH sangat menentukan
terhadap suksesnya implementasi kebijakan PKH dalam
penanggulangan kemiskinan di Kota Gorontalo:
a. Sangat setuju, sebab sikap peduli seorang aparatur
menunjukkan mentalitasnya yang handal dalam
melaksanakan tugas yang berkenaan dengan kebijakan
PKH
b. Setuju, sebab sikap peduli seorang aparatur
menunjukkan mentalitasnya yang handal cukup meadi
modal dalam melaksanakan tugas yang berkenaan
dengan kebijakan PKH
c. Tidak setuju, sebab suksesnya kebijakan program PKH
tergantung pada orang-orang miskin

d. Sangat tidak setuju, sebab program PKH tidak


seharusnya melibatkan sepenuhnya aparatur dinas sosial.

156
1 2 3
1.3. Pendekatan Sistem Regulasi yang jelas dan terarah sangat
menentukan keberhasilan PKH dalam penanggulangan
kemiskinan di Kota Gorontalo:
a. Sangat setuju, sebab regulasi yang jelas dan terarah
tersebut menjadikan aparatur fokus terhadap
pelaksanaan PKH
b. Setuju, sebab sebab regulasi yang jelas dan terarah
tersebut cukup menjadikan aparatur fokus terhadap
pelaksanaan PKH
c. Tidak setuju, sebab suksesnya kebijakan program PKH
tidak hanya ditentukan oleh kejelasan regulasi

d. Sangat tidak setuju, sebab program PKH tidak


selamanya ditentukan oleh regulasi yang jelas, kecuali
oleh pelaksana kebijakan PKH itu sendiri
1.4. Pendekatan Jejaring kerjasama antar aparatur pelaksana dan
dinas terkait sangat menentukan terhadap susksesnya
implementasi kebijakan PKH dalam penanggulangan
kemiskinan di Kota Gorontalo:
a. Sangat setuju, sebab jejaring kerjasama aparatur
pelaksana dan dinas terkait sebagai salah satu faktor
yang turut menentukan sukses tidaknya kebijakan PKH
b. Setuju, sebab jejaring kerjasama aparatur pelaksana dan
dinas terkait cukup sebagai salah satu faktor yang turut
menentukan sukses tidaknya kebijakan PKH
c. Tidak setuju, sebab jejaring kerjasama aparatur pelaksana
dan dinas terkait hanyalah sebagai salah satu faktor yang
turut menentukan sukses tidaknya kebijakan PKH

Sangat tidak setuju, sebab jejaring kerjasama aparatur


pelaksana dan dinas terkait tidak menentukan sukses
tidaknya kebijakan PKH, semuanya tergantung pada
rakyat miskin.

Selanjutnya peneliti akan melihat variasi jawaban dari


20 implementor sebagai responden, apakah dominan atau
tidak menyatakan sangat setuju dengan alasan terhadap
faktor-faktor yang menentukan keberhasilan implementasi
kebijakan PKH dalam penanggulangan kemiskinan di Kota
Gorontalo. Untuk memperkuat interpretasi nanti dalam
pembahasan penelitian, maka peneliti sebaiknya

157
menggunakan Pedoman Wawancara Terbuka, seperti berikut
ini:
PEDOMAN WAWANCARA TERBUKA

1. Menurut anda faktor-faktor apa saja yang menentukan


keberhasilan implementasi kebijakan PKH dalam
penanggulangan kemiskinan di Kota Gorontalo.
2. Apakah ada faktor lain selain yang anda jelaskan
sebelumnya.
Pedoman Wawancara Terbukan dibutuhkan sebagai Counter
Opinion atau Second Opinian terhadap hasil yang diperoleh
melalui Wawancara Tertutup.
Biasanya Peneliti setelah melalukan wawancara baik
tertutup maupun terbukan, akan mendeskripsikan pada
interpretasi hasil penelitian sebagaimana berikut ini:
Bahwa berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
melalui wawancara tertutup, bahwa Faktor-faktor yang
menentukan keberhasilan implmentasi kebijakan PKH dalam
penanggunlangan kemiskinan di Kota Gorontalo meliputi :
Pendekatan Mentalitas, Sistem dan Jejaring Kerjsama,
sebagaimana diperoleh dari responden, bahwa dominan
faktor yang menentukan adalah faktor mentalitas dan jejaring
kersajama.
Hal ini juga diperkuat oleh apa yang dikemukakan
oleh seorang warga miskin bahwa keberhasilan PKH sangat
ditentukan oleh mentalitas aparatur pemda dan kerjasama
yang baik dengan warga miskin. (Wawancara terbuka sebagai
Second Opinian dari luar responden utama).
Selanjutnya peneliti mendialogkan dengan teori
tentang hasil penelitian dan interpreasti hasil wawancara
diats, sebagai berikut:

158
Berkenaan dengan tersebut, kiranya hal ini sesuai dengan
pandangan Kadji (2015), bahwa : “pendekatan mentalitas dan
networking, merupakan hal yang mendasar dalam
implementasi setiap kebijakan publik”.
Seterusnya semua item pernyataan dalam pedoman
wawancara tertutup dan item pernyataan dalam pedowan
wawancara terbuka diolah, dibahas, diinterpretasi dan
didialogkan dengan teori, sampai pada kemampuan peneliti
dalam menarik kesimpulan akhir sebagai tanda berkhirnya
suatu penelitian.

159
BAB
XII

PENUTUP

M
etode Penelitian Ilmu Adminsitrasi mendorong
mahasiswa untuk selalu siap melaksanakan dan
mengelola riset dalam bidang Administrasi
Publik secara komprehensif dan sesuai dengan metode, proses
dan tahapan Metode Penelitian Administrasi.
Dengan demikian, maka setiap permasalahan dalam
bidang administrasi publik, seharusnya menjadi subjek dan
objek dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
Program Sarjana, Magister maupun Doktor Ilmu Administrasi
Administrasi Publik.

160
Daftar Kepustakaan

Agussalim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Cet.I; Yogya:


PT Tiara Wacana, 2001)
David Kline, dalam Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi
(Cet.ke-12; Bandung: CV Alfabeta, 2005)
Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral.
Diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang
(Cet.Kedelapan; Yogyakarta: Gajah Madah University
Press, 2002)
Husein Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi: Ilmu Administrasi
Negara, Pembangunan, dan Niaga (Cet.I; Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004)
------------------, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi
(Cet. Ketujuh; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005)
Judistira K. Garna, Metode Penelitian Sosial: Penelitian dalam
Ilmu Pemerintahan (Cet.I; Bandung: Primaco Akademika,
2000)
Kerlinger, dalam Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi
(Cet.ke-12; Bandung: CV Alfabeta, 2005)
M.Suparmoko, Metode Penelitian Praktis: Untuk Ilmu-ilmu Sosial
dan Ekonomi (Ed. Ketiga: Yogyakarta: BPFE, 1991)
Masri Sungarimbun & Sofyan Efendi (ed.), Metode Penelitian
Survai (Cet.I; Jakarta: LP3ES, 1987).
Maxfield, dalam Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet.V; Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003)
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet.V; Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003)
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet.V; Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003)

161
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Postpositivisme, dan
Postmodernisme (Cet.I; Yogyakarta: Pake Sarasin, 2001)
Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo. Pedoman Penulisan
Tesi/Disertasi. 2016.
Robert K.Yin, Studi Kasus; Desain dan Metode.Diterjemahkan
oleh M.Djauzi Mudzakir (Cet.I; Jakarta: PT RajaGrasindo
Persada, 1996)
Robert R.Mayer & Ernest Greenwood, Rancangan Penelitian
Kebijakan Sosial Diterjemahkan oleh Sutan Zanti Arbi
(Cet.I; Jakarta: CV.Rajawali,1984)
Rusidi, Metodologi Penelitian Sosial. Dibukukan kembali oleh
Yulianto Kadji (Bandung: Program Pascasarjana
UNPAD, 2005)
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Cet.ke-6;
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Cet.ke-12; Bandung:
CV Alfabeta, 2005).
-------------, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: CV Alfabeta,
2014).
Wiratna Sujarweni, V. Metodologi Penelitian, Lengkap, Praktis,
dan Mudah dipahami. Yogyakarta: PT Pustaka Baru. 2014.

162
TENTANG PENULIS

Prof.Dr.Yulianto Kadji,M.Si lahir di Tilamuta-Boalemo,Gorontalo,


13 Juli 1967. Pendidikan SD di Kabupaten Boalemo, SMP di Paguat
Kabupaten Pohuwato, SMA di Kota Gorontalo, kemudian
melanjutkan ke FKIP Unsrat Manado di Gorontalo, lulus tahun 1992.
Pada tahun 2002-2004 melanjutkan studi Program Pascasarjana
dalam bidang kajian Administrasi Publik Pascsarjana Unhas,
selanjutnya Program Doktor bidang kajian Administrasi dan
Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2004-2007,
yang ditempuh secara efektif kurang dari tiga tahun. Sejak tahun
1998 menjadi Dosen Tetap pada Universitas Negeri Gorontalo
dengan jabatan akademik sebagai Sebagai Guru Besar Tetap
Universitas Negeri Gorontalo bidang Analisis Kebijakan Publik dan
Pembangunan (tmt 1 September 2009). Sejak mahasiswa aktif di
berbagai organisasi intra dan ekstra Universitas, Ketua Umum HMJ
PIPS, Sekretaris Senat Mahasiswa FKIP Unsrat di Gorontalo,
Sekretaris Umum HMI Cabang Gorontalo yang dijabat dalam
periode tahun yang sama (1991-1992), Sekretaris KNPI Kota
Gorontalo periode 1995-1998, Wakil Sekretaris Majelis KAHMI
Wilayah Gorontalo periode 2000-2005, Pendiri dan Direktur
Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan (PK2P) Provinsi
Gorontalo. Dalam kegiatan politik, pernah menjadi Wakil Ketua
Panitia Pengisian Keanggotaan (PPK) DPRD Provinsi Gorontalo,
tahun 2002, Ketua Panwas Pilkada Kota Gorontalo tahun 2008.
Kemudian sebagai relawan perjuangan pembentukan Provinsi
Gorontalo tahun 1999-2001 berperan sebagai Sekretaris Jenderal
Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo (Presnas
P2GTR), Ketua Tim Kerja Gubernur Gorontalo, 2016-sekarang,
Wanhat Komunitas Pemerhati LPP RRI Gorontalo 2015-sekarang,
Ketua Pengurus Pencinta TVRI Gorontalo 2016-sekarang. Dalam
jajaran kelembagaan Perguruan Tinggi, pernah menjadi Sekretaris
Lemlit Universitas Negeri Gorontalo (UNG) 2007-2008, Kepala
Badan Pemberdayaan dan Pengelolaan Asset UNG 2008-2009, Ketua
Tim Pendiri Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG 2008-2009, Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG 2009-2010, Wakil Rektor UNG

163
bidang Kerjasama dan ICT 2010-2012, Direktur Politeknik Gorontalo
2012-2014, serta Wakil Direktur Pascasarjana UNG bidang
Akademik dan Kemahasiswaan 2014-2018, disamping sebagai Staf
Pengajar pada Program Diploma dan S1, juga sebagai Staf Pengajar
pada Program Magister dan Doktor Bidang Administrasi Publik
Pascasarjana UNG, juga sebagai Dosen Tamu dan Penguji di
Pascasarjana Universitas Negeri Makassar 2008-2014, Pascsarjana
Unhas 2010-2011, Pascasarjana Universitas Tadulako 2011-2012,
Pascasarjana STIA Bina Taruna Gorontalo 2012-2014. Aktivitas
lainnya adalah menyempatkan diri menulis di media massa, juga
mendirikan dan mengelola Jurnal Kebijakan Publik. Kegiatan
lainnya pernah menjadi Leader Team Community Based
Development Program - World Bank di Gorontalo tahun 1999-2000,
Peserta Diklat Bidang Teknis Manejemen Kebijakan Publik (TMKP)
LAN RI di Jakarta tahun 2002 dan 2003. Tim Assesment pada Job
Bidding Pemerintah Kota/ Kabupaten Gorontalo 2014, Ketua Tim
Assesment Rekrutmen Dirut BUMD Kabupaten Gorontalo Utara
2014, Pemegang 7 (tujuh) Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)
bidang Kebijakan Publik dari Kemenkum HAM RI, masing-masing:
1. Model MSN-Approach dalam Implementasi Kebijakan Publik, 2.
Model TBI-Approach dalam Formulasi Kebijakan Publik, 3. Model
IPO-Approach dalam Evaluasi Kebijakan Publik, 4. Model
Kepemimpinan Situasional dalam Perspektif Implementasi
Kebijakan Publik, 5. Model Teori MASAK dalam Pendidikan
Karakter, 6. Implementasi Kebijakan Publik dalam Perspektif
Realitas, 7. Formulasi dan Implementasi Kebijakan, Kepemimpinan
dan Perilaku Birokrasi dalam Fakta Realitas.
Buku yang sudah diterbitkan: 1. Implementasi Kebijakan Publik
dalam Perspektif Realitas, 2. SPSS for Windows, Step by Step, dan 3.
Formulasi dan Implementasi Kebijakan, Kepemimpinan dan
Perilaku Birokrasi dalam Fakta Realitas.
Berkarya Tak Mengenal Waktu, Berhenti Berarti Mati.

164

Anda mungkin juga menyukai