Lapsus All-L1 Word Fix
Lapsus All-L1 Word Fix
I. PENDAHULUAN
Acute Lymphoblastic Leukemia -L1 atau leukemia limfoblastik akut – L1
merupakan keganasan yang berasal dari stem cell leukopoietik (progenitor limfosit
T atau B) pada sumsum tulang dengan karakteristik sel-sel normal sumsum tulang
digantikan oleh sel-sel muda atau blast neoplastik imatur yang proliferatif.1
Leukemia akut didiagnosis bila ditemukan sel blast lebih dari 20% dari seluruh sel
berinti di sumsum tulang berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO)
atau lebih dari 30% berdasarkan kriteria The French-American-British Cooperative
Working Group (FAB). Sel blast dalam keadaan normal ditemukan kurang dari 5%.
Akumulasi limfoblas terjadi pada berbagai organ ekstramedular terutama meninges,
gonad, timus, hepar, lien, dan nodus limfa. Ditemukan pula akumulasi sel-sel
leukosit imatur atau blast pada darah tepi.1,2
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak tetapi dapat pula ditemukan
pada semua usia. Subtipe ALL diklasifikasikan berdasarkan imunologi, sitogenetik
dan metode genetik molekuler. Metode tersebut penting secara klinis untuk
pendekatan manajemen terapi dan prognosis pasien.2 Manifestasi klinis pasien ALL
yang ditemukan dapat berupa mudah lelah, mudah memar dan mudah mengalami
infeksi. Anemia, trombositopenia dan neutropenia, hepatomegali, splenomegali dan
limfadenopati dapat ditemukan pada penderita ALL pada orang dewasa.
Keterlibatan sistem saraf pusat sering terjadi disertai dengan neuropati atau gejala
kranial terkait dengan peningkatan tekanan intrakranial.1,2,3
Laporan Kasus 1
II. EPIDEMIOLOGI
Insidensi ALL bervariasi berdasarkan usia, etnis, wilayah geografis,
imunologi dan subtipe molekuler. American Cancer Society memperkirakan
sebanyak 6,660 kasus ALL baru di Amerika Serikat pada tahun 2022 dan sekitar
1,560 kematian akibat ALL. Mayoritas kasus ALL terjadi pada anak-anak tetapi
kematian paling sering terjadi pada pasien dewasa. Risiko menderita ALL lebih
tinggi pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Risiko ini menurun hingga
pertengahan usia 20-an dan mulai meningkat perlahan lagi setelah usia 50 tahun.
Sekitar 4 dari tiap 10 kasus ALL terjadi pada dewasa. Anak-anak memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan dewasa dengan ALL karena kemampuan
tubuh anak yang lebih baik dalam menangani efek samping terapi.4
Kejadian ALL sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan risiko kematian 3,029 kali lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.
Buruknya prognosis ALL pada anak dengan jenis kelamin laki-laki kemungkinan
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah jenis leukemia sel T, index DNA
yang lebih kecil pada laki-laki, adanya kromosom abnormal pseudodiploid,
kromosom Philadelphia, serta perbedaan metabolik dan endokrin yang masih belum
dapat dijelaskan secara pasti.5,6
III. ETIOLOGI
Penyebab ALL seringkali dihubungkan dengan sindroma gangguan genetik,
namun penyebab utama ALL hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti.
Sebanyak 5% kasus yang berhubungan dengan predisposisi genetik yang diwariskan
sebagai contoh anak dengan down syndrome memiliki risiko 10-30 kali lipat
terjadinya leukemia dan penyakit genetik lainnya seperti telangiektasis ataksia,
sindrom Shwachman-Diamond, Bloom syndrome, mutasi TP53 (Li-Fraumeni
syndrome).7 Faktor lingkungan dapat memperberat risiko terjadinya ALL adalah
paparan terhadap radiasi ion dan elektromagnetik. Paparan terhadap x-ray selama in
utero meningkatkan risiko ALL pada anak. Paparan terhadap senyawa kimia seperti
Laporan Kasus 2
benzene diketahui menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom
sehingga berisiko terjadap penyakit myelodisplasia dan leukemia akut. Infeksi virus
telah dihubungkan dengan beberapa keganasan hematologi, misalnya retrovirus
human T‐lymphotropic virus (HTLV) dan virus Epstein–Barr (EBV).2,8
IV. PATOGENESIS
Leukemia adalah kondisi patologis pada sistem hematopoiesis yang berkaitan
dengan sumsum tulang dan pembuluh darah limfe ditandai dengan tidak
terkendalinya proliferasi sel - sel. Proses patofisiologi leukemia akut dimulai dari
transformasi ganas sel induk hematologik atau turunannya diakibatkan mutasi
somatic pada sel progenitor limfoid pada satu atau beberapa tahapan perkembangan.
Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia dan berakumulasi tanpa
henti karena gangguan terhadap sinyal pertumbuhan dan apoptosis yang
mengakibatkan :1,2,9
1. Penekanan hemopoiesis normal sehingga terjadi bone marrow failure
2. Infiltrasi sel leukemia ke dalam organ sehingga menimbulkan organomegali
3. Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik.
Pada leukemia terjadi pula penghambatan proses diferensiasi sel-sel imatur
menjadi matur pada ALL (Gambar 1). Sel-sel ini berkompetisi dengan sel
hematopoiesis normal, sehingga sel-sel leukemia (sel imatur / blasts) tidak hanya
menggantikan sel-sel sumsum tulang yang normal tetapi juga bermetastatis ke darah
perifer dan organ ekstrameduler.9
Laporan Kasus 3
Gambar 1. Patogenesis leukemia akut9
Berdasarkan patogenesis molekuler, adanya aktivasi protein kinase ABL yang
berasal dari mutasi onkogen seperti gen BCR sehingga menyebabkan peningkatan
proliferasi yang berlebihan. Gen BCR merupakan fusi gen hasil translokasi
kromosom t(9;22)(q34;q11) yang merupakan kelainan sitogenetik paling umum
pada LLA dewasa, terdapat pada 10% hingga 35% pasien, tergantung pada
usia.ABL adalah protein kinase nonreseptor tirosin yang secara enzimatis
mentransfer molekul fosfat ke protein substrat, sehingga mengaktifkan jalur
transduksi sinyal hilir yang penting dalam mengatur pertumbuhan dan proliferasi
sel.2
Mutasi gen lainnya yang melibatkan faktor transkripsi dan mempengaruhi
perkembangan hematopoietik normal adalah translokasi kromosom
t(12;21)(p12;q22), yang mengarah ke ekspresi fusi ETV6-RUNX1. Translokasi
ETV6- RUNX1 adalah kelainan sitogenetik yang paling sering pada masa kanak-
kanak ALL, meskipun sangat jarang pada orang dewasa. Mekanisme umum lain dari
pembentukan kanker melibatkan hilangnya atau inaktivasi gen penekan tumor,
banyak di antaranya memiliki fungsi pengaturan kunci dalam mengendalikan
perkembangan siklus sel. Deletions, microdeletions, dan gene rearrangements RB1
(51%), p16(INK4A) (41%), dan TP53 (26%) dua atau lebih secara bersamaan
ditemukan pada sepertiga pasien ALL dewasa dan dikaitkan dengan kelangsungan
hidup yang lebih pendek.2,10
Laporan Kasus 4
V. KLASIFIKASI
a. Klasifikasi ALL berdasarkan morfologi dan analisis sitokimia
Acute lymphoblastic leukemia menurut French-American-British (FAB)
Classification dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan morfologi limfoblast dari
perwarnaan Romanowsky (wright-giemsa atau May-Grünwald-Giemsa), yaitu L1,
L2 dan L3 (tabel 1). Tipe ALL-L2 merupakan subtipe yang paling sering ditemukan
pada pasien dewasa dengan ALL, sedangkan pada anak-anak frekuensi ALL-L1
berkisar 80%, ALL-L2 berkisar 15–20% dan ALL-L3 hanya 1–2%. Kategori FAB
tidak berkorelasi dengan immunophenotyping, kelainan genetik dan manifestasi
klinis.9,12
Laporan Kasus 5
Tipe ALL-L3 lebih mudah diidentifikasi, namun batasan morfologi
limfoblast L1 dan L2 tidak jelas. Sistem skor diperkenalkan oleh FAB untuk
membedakan limfoblast L1 dan L2 sebagai berikut.9
Keterangan:
- Skor positif (0 sampai +2) menunjukkan limfoblast L1
- Skor negatif (–1 sampai –4) menunjukkan limfoblast L2
Laporan Kasus 6
Tabel 3. Klasifikasi ALL Modifikasi dari WHO 200813
Laporan Kasus 7
Tabel 4. Klasifikasi Leukemia Limfoblastik Akut8
Subtipe Presentase Subtipe FAB Abnormalitas
Imunologik Kasus (%) Sitogenetik
Pre-B ALL 75 L1, L2 t(9;22), t(4;11), t(1;19)
T-cell ALL 20 L1, L2 14q11 or 7q34
B-cell ALL 5 L3 t(8;14), t(8;22), t(2;8)
Laporan Kasus 8
VI. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis ALL dimulai perlahan-perlahan sebelum menimbulkan
gejala karena peningkatan limfosit imatur yang bertahap dalam darah. Gejala yang
muncul menggambarkan derajat kegagalan sumsum tulang dan penyebaran
ekstrameduler. Gejala klinis yang paling sering ditemui ialah anemia (lemas, cepat
lelah, pucat), trombositopenia (memar, ptekie, perdarahan mukosa) dan neutropenia
(demam, infeksi) akibat kegagalan hematopoiesis. Sesak nafas dan pusing akibat
anemia merupakan manifestasi yang lebih sering ditemukan pada pasien yang lebih
tua. Sesak nafas seringkali terjadi pada subtipe T-cell ALL akibat pembesaran timus
yang menekan trakea. Massa mediastinum anterior (timus) ditemukan pada 8–10%
kasus anak-anak dan 15% kasus dewasa.1,14
Pada 40-50% pasien, terutama anak-anak dapat ditemukan keluhan nyeri tulang
atau atralgia yang disebabkan oleh infiltrasi leukemia periosteum, tulang atau sendi
atau perluasan rongga sumsum tulang oleh sel-sel leukemia. Limfadenopati,
hepatomegali dan splenomegali adalah manifestasi leukemia pada ekstramedular.
Hepatosplenomegali dapat muncul pada dua pertiga pasien dan asimtomatik. Derajat
organomegali lebih jelas pada anak-anak dibandingkan dewasa.8,9
Tanda atau gejala dari keterlibatan sistem saraf pusat jarang diamati pada saat
diagnosis awal. Sekitar 8-10% pasien terdeteksi adanya blast pada cairan
serebrospinal saat diagnosis tetapi kurang dari 5% datang dengan gejala neurologis.
Sindrom meningeal yang ditemukan berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial (nyeri kepala, muntah, papiledema), kejang, mual dan muntah, diplopia,
penurunan ketajaman penglihatan.8,9,14
Laporan Kasus 9
VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Hematologi rutin
Hitung jumlah leukosit pasien ALL memiliki rentang yang bervariasi dari
0,1 sampai 1500 x 103/ μL. Hiperleukositosis ( >100 x 103/μL) dapat ditemukan
pada 23% anak-anak dan 16% pasien dewasa. Neutropenia berat (<0,5 x 103/ μL)
dapat ditemukan pada 20-40% pasien dan berisiko untuk terjadi infeksi. Pasien
laki-laki dengan ALL, sebagian besar memiliki abnormalitas kromosom
t(5;14)(q31;q32) dan sindrom hipereosinofilik (infiltrasi pulmoner,
kardiomegali, congestive heart failure). Pada pasien tersebut seringkali tidak
terdapat gambaran sel blast di perifer dan presentase blast di sumsum tulang
relatif rendah.1,15
Anemia (Hb < 10 g/dL) dapat ditemukan pada pasien ALL dengan derajat
yang bervariasi. Kadar hemoglobin yang rendah menunjukkan durasi leukemia
yang lama dan akibat kegagalan hematopoiesis di sumsum tulang.
Trombositopenia dapat ditemukan saat awal diagnosis. Perdarahan berat jarang
terjadi walaupun trombosit dapat menurun hingga < 20x103/ μL.1,15
b. Apusan Darah Tepi
Pada apusan darah tepi dapat ditemukan sel blast (limfoblast) pada pasien
ALL dengan leukositosis, namun jarang ditemukan pada pasien dengan
leukopenia. Limfoblast berdiameter dua kali lipat lebih besar dibandingkan
dengan eritrosit. Limfoblast memiliki rasio nukleositoplasma tang tinggi.
Nukleus berbentuk regular pada ALL-L1 dengan derajat kondensasi kromatin
yang homogen (Gambar 2). 11
Laporan Kasus 10
Gambar 2. Apusan darah tepi pasien dengan FAB ALL-L1,
pembesaran objektif 100x, perwarnaan MGG11
Laporan Kasus 11
Aspirasi sumsum tulang diperlukan untuk diagnosis dan subklasifikasi ALL
menjadi L1, L2, dan subtipe ALL. Perbedaan limfoblast pada tipe ALL-L1 yakni memiliki
ukuran sel yang lebih kecil dan homogen dengan inti reguler dibandingkan dengan ALL-
L2 (Gambar 4).
A B
d. Pewarnaan Sitokimia
Pewarnaan sitokimia dilakukan bila ditemukan sel blast yang sulit
dibedakan morfologinya berdasarkan apusan darah. Kombinasi morfologi
dan pewarnaan sitokimia meningkatkan akurasi diagnosis hingga 80–90%,
dan mencapai 95–99% dengan immunophenotyping. Terdapat lima metode
pewarnaan sitokimia leukosit menurut rekomendasi dari International
Council for Standarization in Haematology (ICSH) 1985 dan semuanya
merupakan pewarnaan enzimatik, yaitu :12,16
1. Peroksidase atau mieloperoksidase (MPO)
2. Alkaline Phosphatase : Leucocyte Alkaline Phosphatase (LAP)
atau Neutrophil Alkaline Phosphatase (NAP)
3. Acid Phosphatase (ACP)
4. Esterase nonspesifik
5. Esterase spesifik : Naftol AS-D Klorasetat Esterase
Laporan Kasus 12
(SBB). Pada ALL, limfoblast negatif pada pewarnaan MPO, SBB, NSE.
Pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) positif pada limfoblast, dengan
bentuk yang khas block-like dan besar, mengelilingi nukleus dengan latar
belakang sitoplasma yang jelas (Gambar 5). Pewarnaan PAS positif pada
ALL subtipe L1 dan L2 tetapi negatif pada ALL-L3. Limfoblast juga
menunjukkan reaksi positif dengan pewarnaan acid phosphatase (AP)
(Gambar 6). Tidak ada pewarnaan sitokimia yang spesifik untuk limfoblast,
sehingga morfologi dan penanda imunologi diperlukan untuk identifikasi
limfoblast yang definitif. Karakteristik pewarnaan sitokimia untuk
leukemia akut dirangkum dalam tabel 5.10,12,16
Laporan Kasus 13
Gambar 6. Pewarnaan AP pada pasien dengan T-ALLmenunjukkan
hasil positif dengan sitoplasma merah ditandai dari zona Golgi
yang berdekatan kemudian ke dalam nucleus.7
e. Immunophenotyping
Pemeriksaan immunophenotyping dengan multi-channel flow
cytometry (MFC) menjadi standar diagnosis dan subklasifikasi ALL serta
menjadi alat untuk mendeteksi dan monitoring minimal residual disease
(MRD). Pemeriksaan immunophenotyping memberi informasi mengenai
lineage dan stadium perkembangan suatu sel. Sel hematopoietik normal
memiliki pola ekspresi antigen yang khas pada berbagai tahap maturasi
(Gambar 7).7,18
Berdasarkan konsensus European group for the Immunological
characterization of Leukaemias (EGIL), antibodi monoklonal yang
berperan untuk identifikasi limfoblast B-lineage adalah CD19, CD79a dan
CD22. Antibodi yang paling spesifik untuk limfoblast T-lineage yaitu CD3,
kemudian CD2, CD4 dan CD7 yang kurang spesifik. 18-19
Laporan Kasus 14
Gambar 7. Jalur maturasi limfosit T dan B pada berbagai tahapan perkembangan
yang bermanfaat untuk indentifikasi tipe dan maturasi sel neoplastik19
f. Analisis sitogenetik
Peran pemeriksaan sitogenetik dalam menentukan dasar biologis
leukemia mieloid akut dan leukemia limfoblastik akut (LLA) telah dikenal
Laporan Kasus 15
luas. Sebanyak 80–90 % pasien ALL memiliki kelainan sitogenetik, yang
terdiri atas kelainan jumlah ataupun struktur kromosom. Kelainan
sitogenetik merupakan aspek penting dari diagnosis, penilaian risiko,
pengobatan dan prognosis ALL pada anak. Sekitar 70% pasien ALL dapat
diklasifikasikan ke dalam subkelompok terapi yang relevan berdasarkan
sitogenetik dan perubahan molekul genetik.9
Kelainan jumlah kromosom dapat dideteksi dengan analisis
sitogenetik konvensional, yang meliputi hiperdiploid atau lebih dari 50
kromosom yang sering ditemui pada B lineage ALL. Tipe ini berhubungan
dengan sensitivitas terhadap kemoterapi yang lebih tinggi, remisi lengkap
mencapai 100% dan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 90%.
Pasien dengan kelainan sitogenetik t(9;22)(q34;q11) dan abnormalitas
11q23 memiliki prognosis yang lebih buruk dengan risiko tinggi terjadinya
relaps, angka remisi yang rendah, dan kelangsungan masa hidup yang lebih
rendah. Pasien dengan kelainan sitogenetik tersebut seringkali ditemukan
pada 15-25% pasien ALL dewasa. Tindakan transplantasi sumsum tulang
perlu dilakukan setelah remisi pertama. Tabel 7 menunjukkan ringkasan
kelainan sitogenetik, fenotipe dan molekuler pada subtipe ALL.1,9
Laporan Kasus 16
Tabel 7. Kelainan sitogenetik, fenotipe dan molekuler pada subtipe ALL1
Kelainan
No Kelainan sitogenetik Fenotipe Prognosis
Molekuler
1 Hiperdiploid (>50 kromosom) CD19+, CD10+ ; no - Baik
distinctive phenotype
2 Hipodiploid (<45 kromosom) CD19+,CD10+; no - Buruk
distinctive phenotype
3 t(12;21)(p13;q22) Cryptic CD19+, CD10+ ; TEL/AML1 Baik
translocation; perlu CD13+ , CD33+
pemeriksaan FISH
4 t(1;19)(q23;p13.3) CD19+, CD10+, PBX/E2A Buruk
sitoplasmik µ +
5 t(9;22)(q34;q11.2) CD19+, CD10 +, BCR/ABL Buruk
CD25+
6 t(4;11)(q21;q23) CD10+, CD15+, MLL/AF4 Buruk
CD33+, CD65+
7 t(8;14)(q24;q32.3) Sel B matur, morfologi - Baik
L3, dominan pada pria
Laporan Kasus 17
nervous system, CNS) ditegakkan dengan adanya minimal 5 leukosit per μl
LCS dengan sel blast pada sampel yang di-sitosentrifugasi (cytospin) atau
adanya palsi nervus cranialis. Status CNS dapat diklasifikasikan pada tabel
8. 1,15
Tabel 8. Status Central Nervous System pada Leukemia15
CNS-1 tidak ada blast pada cytospin dan leukosit < 5 sel/μl LCS
CNS-2 ditemukan blast pada cytospin dan leukosit < 5 sel/μl LCS
CNS-3 ditemukan blast pada cytospin dan leukosit ≥ 5 sel/μl LCS
Laporan Kasus 18
d. Selularitas sumsum tulang dalam batas normal, disertai jumlah prekursor
granulositik dan eritroid dalam batas normal, jumlah megakariosit cukup
dan sel blast < 5% (Tabel 8).
e. Pemeriksaan LCS normal, termasuk sitologi.
X. DIAGNOSIS
Acute lymphoblastic leukemia ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin,
evaluasi morfologi sel dengan apusan darah tepi dan aspirasi sumsum tulang,
pewarnaan sitokimia,, immunophenotyping dan analisis sitogenetik.2
Laporan Kasus 19
XI. DIAGNOSIS BANDING
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) harus dapat dibedakan dengan acute
myeloid leukemia (AML) karena akan menentukan jenis pengobatan. Tabel 9
mendeskripsikan perbedaan ALL dan AML.
XII. TATALAKSANA
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : terapi
spesifik (dalam bentuk kemoterapi) dan terapi suportif yang bertujuan untuk
mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau
sebagai akibat terapi. Tahapan pengobatan kemoterapi terdiri atas :21,22
Laporan Kasus 20
1. Fase induksi remisi
Fase ini meliputi kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu
keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast dalam sumsum
tulang kurang dari 5%. Sel leukemia tidak dapat ditemukan dalam sumsum
tulang dan darah tepi pada pemeriksaan morfologi. Tahap induksi remisi
menggunakan tiga atau empat macam obat, yaitu vincristine, prednisone,
asparaginase, dengan ataupun tanpa anthracycline. Regimen ini
menunjukkan tingkat remisi 95–98%. Complete remission biasanya dicapai
setelah terapi selama 1 bulan.21,22
2. Fase konsolidasi atau fase intensifikasi remisi
Fase ini meliputi kemoterapi intensif dosis tinggi segera setelah induksi
remisi untuk mengeradikasi sel-sel blast yang tersisa. Obat-obat yang
sering digunakan adalah anthracycline, cytarabine, cyclophospamide,
asparagine dan thiogunanine.21,22
3. Fase lanjutan atau pemeliharaan (maintenance)
Obat-obat kemoterapi diberikan selama 2 sampai 3 tahun untuk
mempertahankan remisi dan mencegah atau menunda relaps dengan
mengeradikasi sisa-sisa sel leukemia. Regimen untuk tujuan ini yaitu
mercaptopurine setiap hari dan methotrexate setiap minggu. 2,9
Laporan Kasus 21
kemoterapi induksi dan pengawasan ketat terhadap produksi urin dan fungsi
ginjal.9
XIII. PROGNOSIS
Prognosis pasien ALL sangat bervariasi dan bersifat invidualistik, tetapi
pada umumnya didapatkan hasil pengobatan ALL sangat baik dengan terapi
insentif dicapai kesembuhan pada 70-90% kasus ALL anak dan 40-50% pada
kasus ALL dewasa, tetapi pada usia di atas 65 tahun hasilnya menurun menjadi
5%. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis pasien ALL (Tabel
10).22
Tabel 6. Faktor prognosis ALL 22,23
Faktor Favorable Unfavorable
1 – 9 (anak) < 1 atau > 10 (anak)
Usia (tahun)
< 35 (dewasa) > 60 (dewasa)
Jumlah leukosit
< 50 atau < 30 > 50 atau > 30
(103/μL)
Immunophenotyping B-cell T-cell
Jenis kelamin Perempuan Laki-laki
Hipodiploid
Hiperdiploid
MLL rearrangement
Genetik Trisomi 4, 10 dan 17
t(9;22)/BCR-ABL1
t(12;21)/ETV6-RUNX1
iAMP21
Status CNS Tidak ada Ada
Complete remission Minimal residual
Respon terapi
dalam 4 minggu disease menetap
Laporan Kasus 22
XIV. ALOGARITMA32(modifikasi)
Anamnesis
• Pucat
• Demam
• Perdarahan spontan (epistaksis, hematom)
• Atralgia
• Lemas, penurunan BB
Pemeriksaan Fisik
• Konjungtiva Anemis
• Organomegali (Splenomegali, Hepatomegali)
• Limfadenopati
Sub-classification
Fase Induksi Remisi Targeted therapy and prognostic
(Complete remission) : 1 bulan work-up :
• Sitogenetik
• Genetik
Fase Konsolidasi / Intensifikasi Remisi atau • Genomik
Stem cell transplantation : Risk/MRD-oriented • MRD Probes
therapy
0,5 – 1 tahun
Laporan Kasus 23
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : Tn. RS
Tgl lahir/ Umur : 11-06-1990/ 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Masuk Rumah Sakit : 18 Desember 2021
Nomor RM : 9587**
II. Anamnesis
Pasien masuk rujukan dari RS Nene Mallomo (Sidrap) dengan keluhan
lemas sejak 10 hari yang lalu. Keluhan demam dirasakan sejak 3 hari yang lalu
dan membaik dengan obat penurun demam. Terdapat keluhan mual tetapi tidak
muntah, nafsu makan menurun sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
sesak nafas yang disertai nyeri pada ulu hati bila menarik nafas. Sesak nafas
dirasakan membaik dengan istirahat dan memberat bila beraktivitas. Perdarahan
di gusi dan hidung tidak ada. Keluhan lebam dikulit disangkal. Buang air kecil
berwarna kemerahan. Buang air besar, padat, berwarna kuning, tidak ada keluhan.
Pasien riwayat dirawat di RS Nene Mallomo (Sidrap) selama 4 hari dan
mendapat transfusi darah PRC sebanyak 2 kantong darah,
Laporan Kasus 24
e. Leher : JVP R+2 H2O, Tidak ada pembesaran kelenjar limfe
f. Thorax : Bunyi pernapasan vesikuler, rhonki basal pada
hemithorax dextra, wheezing tidak ditemukan,
Bunyi jantung I dan II murni, reguler
g. Abdomen : Peristaltik kesan normal, hepar teraba 2 jari dibawah
arcus costae , splenomegali Schuffner 1
h. Extremitas : Akral hangat, tidak ada edema, tidak ada hematom
Laporan Kasus 25
Hasil Pemeriksaan Kimia Darah tanggal 30-12-2021
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Fungsi Ginjal
Ureum 21 10 - 50 mg/dL
Kreatinin 0,69 L<1,3;P(<1,1) mg/dL
Fungsi Hati
SGOT 65 <38 U/L
SGPT 31 <41 U/L
Albumin 3,8 3,5 – 5,0 gr/dL
Profil Lipid
Kolesterol Total 104 < 200 mg/dL
Trigliserida 138 L (40 - 160) ; P (35-135) mg/dL
Kesan: Peningkatan enzim glutamic oxaloacetic transaminase
Laporan Kasus 26
V. Pemeriksaan Laboratorium (RS Wahidin Sudirohusodo)
Nilai Satuan
18/12/21 20/12/21 21/12/22 30/12/21 02/01/22 05/01/22
Rujukan
WBC (103) 1,2 1,7 1,8 1,1 1,4 2,0 5.00 - 17.00 μL
RBC (106) 3,64 3,11 3,12 3,00 3,88 4,04 4.00 - 5.20 μL
HGB 11,4 8,9 9,2 8,7 11,2 11,8 10.2 – 15.2 g/dL
HCT 33 24 29 25 32 34 36.0 – 46.0 %
MCV 91 79 91 82 83 88 78.0 – 94.0 fL
MCH 31 29 30 29 29 30 23.0 – 31.0 pg
MCHC 35 37 32 36 35 34 32.0 – 36.0 g/dL
PLT (103) 38 94 76 79 107 111 150 – 450 μL
Neutrofil 38,60 44,4 33,6 13,0 24,1 44,0 52.0 – 75.0 %
Limfosit 54,6 49,7 59,2 82,6 69,3 50,2 20.0 - 40.0 %
Monosit 5,0 4,1 5,5 3,5 5,1 2,8 2.00 – 8.00 %
Eosinofil 0,7 1,2 0,4 0,0 0,0 1,2 1.00 – 3.00 %
Laporan Kasus 27
Neonatus
(<3,0)
Kesan :
- Leukopenia
- Anemia
- Trombositopenia
- Peningkatan enzim – enzim transaminase
- Hiperbilirubinemia
- Hiponatremia
- Peningkatan penanda infeksi
Laporan Kasus 28
Evaluasi Apusan Darah Tepi (20/12/2021)
Pembesaran lensa okuler 10x dan objektif Pembesaran lensa okuler 10x dan
10x objektif 100x dengan minyak imersi
Gambar 13. Sediaan apusan darah tepi
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Pembesaran lensa okuler 10x dan Pembesaran lensa okuler 10x dan objektif
objektif 10x 100x dengan minyak imersi
Gambar 14. Sediaan apusan sumsum tulang
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Laporan Kasus 29
Selularitas : Hiperseluler
Eritropoietik : Aktivitas menurun, ditemukan prekursor eritroid satu-satu
Leukopoietik : Aktivitas meningkat, ditemukan monoton sel-sel limfoblast
dengan bentuk regular, ratio inti sitoplasma tinggi, anak inti
tidak jelas
Trombopoietik : Aktivitas menurun, tidak ditemukan megakariosit
Sel Plasma : Tidak ditemukan
Mitosis : Ditemukan
ME Ratio : Sangat meningkat
Kesan : Acute Lymphoblastic Leukemia- L1 (ALL-L1)
Laporan Kasus 30
VII. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Hasil Pemeriksaan EKG 18-12-2021
- Sinus takikardia, HR : 47x/menit (regular)
- Normoaxis
- T Negatif V1-V4
- Kompleks QRS, Interval PR normal
b. Hasil Pemeriksaan Echocardiography 23-12-2021
- Normal LV Systolic Function, EF 65%
- Decreased RV Systolic Function
- Mild mitral regurgitation
- Mild tricuspid regurgitation
- Global normokinetic
- Mild pericardial effusion
Laporan Kasus 31
IV. FOLLOW UP PERJALANAN PENYAKIT
Hari
S O A P
pengamatan
HARI 1 Lemas, sesak nafas Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja : Terapi
(18/12/21) dirasakan berkurang dan Tanda vital: tensi 116/78 mmHg, - Suspek ALL O2 nasal kanul
nyeri pada ulu hati, nafsu nafas 22 kali/menit, nadi 80 - CHF
kali/menit , suhu 36,5ºC, GCS 15 ; - CAP IVFD NaCL 0,9% 20 tetes/menit
makan berkurang SpO2: 99%
Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV
Status generalis:
Levofloksasin 750 mg/24jam/IV
Konjungtiva anemis
Omeprazole 40 mg/ 24 jam/oral
Ronki basal hemithorax dextra
Transfusi TC 8 unit
Hepar teraba 2 jari di bawah arcus
costa, lien teraba Schuffner 1 Rencana Tindakan
(splenomegali) Konsul patologi klinik untuk
Hasil laboratorium: pemeriksaan apusan darah tepi
(ADT)
Hb: 11,4; WBC: 1.200; PLT:
38.000; Neutrofil: 38,6% , Limfosit : Pemeriksaan serum asam urat,
54,6% bilirubin total / direk, HBsAg,
Prokalsitonin
PT : 11,4; INR:1,10; APTT:30,8
CT Scan Abdomen
Ur : 23 ; Cr : 0,69 ; GDS : 85; SGOT
:54; SGPT : 31
Laporan Kasus 32
Urinalisa
Hari 3 Sesak nafas dirasakan Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja Terapi
(20/12/21) berkurang, batuk ada Tanda vital: tensi 96/60 mmHg, nafas - Suspek ALL O2 nasal kanul
frekuensi jarang, nafsu 20 kali/menit, nadi 80 kali/menit , - CHF
suhu 36,6ºC; GCS 15; SpO2 : 98% - CAP IVFD RL 18 tetes/menit
makan berkurang
Status generalis: Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV
Laporan Kasus 33
HBsAg : 0,00 (non reactive) ;
Procal : 2,33
CT Scan Abdomen :
- Hepatosplenomegali
- Ascites
- Efusi pericard
ADT :
Hari 4 Sesak nafas dirasakan Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja Terapi
(21/12/21) hilang timbul, batuk ada Tanda vital: tensi 115/70 mmHg, - Suspek ALL O2 nasal kanul
frekuensi jarang, mual ada, nafas 18 kali/menit, nadi 88 - CHF
kali/menit , suhu 36ºC; GCS 15; SpO2 - CAP IVFD RL 18 tetes/menit
muntah tidak ada : 97%
Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV
Status generalis:
Levofloksasin 750 mg/24jam/IV
Konjungtiva anemis
Omeprazole 40 mg/ 24 jam/oral
Ronki basal hemithorax dextra
Asetilsistein 200 mg/8 jam/oral
Laporan Kasus 34
Hepar teraba 2 jari di bawah arcus Transfusi TC 8 unit
costa, lien teraba Schuffner 1
(splenomegali) Rencana Tindakan
Echocardiography
Hari 13 Sesak nafas dirasakan Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja Terapi
(30/12/21) hilang timbul, batuk ada Tanda vital: tensi 110/80 mmHg, - ALL-L1 O2 nasal kanul
frekuensi jarang, nyeri dada nafas 20 kali/menit, nadi 84 - CHF
kali/menit , suhu 36ºC; GCS 15; SpO2 - CAP IVFD RL 18 tetes/menit
tidak ada : 97%
Levofloksasin 750 mg/24jam/IV
Status generalis:
Omeprazole 40 mg/ 24 jam/oral
Konjungtiva anemis
Leucogen 300 mcg / subkutan
Ronki basal hemithorax dextra
Curcuma 1 tab / 8 jam/ oral
Hepar teraba 2 jari di bawah arcus
costa, lien teraba Schuffner 1 Maxiliv 1 tab / 12 jam/ oral
(splenomegali) Transfusi PRC 2 kantong darah
Hasil laboratorium: (1 bag/hari habis dalam 3 jam)
Hb: 8,7; WBC: 1.100; PLT: 79.000;
Neutrofil: 13,0% , Limfosit : 82,6%
Laporan Kasus 35
Ur : 27; Cr : 0,78; GDS : 90; SGOT :
88 ; SGPT :115; Albumin : 3,8
Foto thoraks PA :
Echocardiography :
Global normokinetic
Hari 16 Sesak nafas dirasakan Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja Terapi
(02/01/22) berkurang, batuk ada Tanda vital: tensi 114/48 mmHg, - ALL-L1 O2 nasal kanul
sesekali nafas 18 kali/menit, nadi 84 - CHF
- CAP IVFD RL 18 tetes/menit
Laporan Kasus 36
kali/menit , suhu 36,6ºC; GCS 15; Levofloksasin 750 mg/24jam/IV
SpO2 : 98%
Lansoprazole 30 mg / 24 jam/ oral
Status generalis:
Curcuma 1 tab / 8 jam/ oral
Konjungtiva anemis
Maxiliv 1 tab / 12 jam/ oral
Ronki basal hemithorax dextra
Rencana Tindakan
Hepar teraba 2 jari di bawah arcus
costa, lien teraba Schuffner 1 Kontrol ulang pemeriksaan
(splenomegali) SGOT/SGPT serum post terapi
Maxiliv 5 hari
Hasil laboratorium:
Kemoterapi bila keadaan umum
Hb: 11,2; WBC: 1.400; PLT: pasien optimal
107.000; Neutrofil: 24,1% , Limfosit
: 69,3%
Hari 17 Sesak nafas berkurang, Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja Terapi
(03/01/22) batuk jarang Tanda vital: tensi 110/60 mmHg, - ALL-L1 O2 nasal kanul
nafas 20 kali/menit, nadi 89 - CHF
kali/menit , suhu 36,6ºC; GCS 15; - CAP IVFD RL 18 tetes/menit
SpO2 : 98%
Lansoprazole 30 mg / 24 jam/ oral
Status generalis:
Maxiliv 1 tab / 12 jam/ oral
Konjungtiva anemis
Kemoterapi Hari 1 :
Ronki basal hemithorax dextra
Vincristine 2 mg dalam 100 cc
NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
Laporan Kasus 37
Hepar teraba 2 jari di bawah arcus Rencana Tindakan
costa, lien teraba Schuffner 1
(splenomegali) Kontrol ulang pemeriksaan
SGOT/SGPT serum post terapi
Maxiliv 5 hari
Hari 19 Sesak nafas berkurang, Kesan umum: lemah, sakit sedang. Diagnosis kerja Terapi
(05/01/22) batuk jarang Tanda vital: tensi 118/80 mmHg, - ALL-L1 Lansoprazole 30 mg / 24 jam/ oral
nafas 18 kali/menit, nadi 78 - CHF
kali/menit , suhu 36,4ºC; GCS 15; - CAP Maxiliv 1 tab / 12 jam/ oral
SpO2 : 99%
Rencana Tindakan
Status generalis:
Aff infus
Konjungtiva anemis
Rawat jalan
Ronki basal hemithorax dextra
Rencana kemoterapi kedua
Hepar teraba 2 jari di bawah arcus (10/01/2022)
costa, lien teraba Schuffner 1
(splenomegali)
Hasil laboratorium:
Laporan Kasus 38
Laporan Kasus 39
V. DIAGNOSIS
Primer : Acute Lymphoblastic Leukemia- L1 (ALL-L1)
Sekunder : Congestive heart failure, community acquired pneumonia
VI. PEMBAHASAN
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) merupakan keganasan pada sel-sel
progenitor limfoid. Sekitar 4 dari tiap 10 kasus ALL terjadi pada dewasa. Kasus
ALL dewasa lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan
perbandingan 1,56 : 1,14.8 Pada laporan kasus ini pasien berjenis kelamin laki-
laki, usia 32 tahun, dirawat dengan keluhan lemas yang dirasakan sejak 10 hari
yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam, mual, nafsu makan menurun
dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang
memberat saat beraktivitas dan membaik saat beristirahat.
Manifestasi klinis ALL bervariasi dan secara umum menunjukkan gejala
kegagalan sumsum tulang ataupun infiltrasi organ ekstramedula. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, rhonki basal pada hemithorax
dextra, hepatomegali 2 jari di bawah arcus costa dan splenomegali Schuffner I.
Pasien memiliki riwayat berobat di RS Nene Mallomo sebelum dirujuk ke RS
Wahidin Soedirohusodo dengan diagnosis suspek leukemia akut berdasarkan
hasil evaluasi apusan darah tepi yang menunjukkan jumlah leukosit menurun
yang dominasi seri limfoid serta ditemukan sel pleomorfik curiga limfoblast,
kesan apusan darah tepi adalah suspek ALL dan disarankan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang.
Hasil darah rutin pasien ini menunjukkan leukopenia dengan komponen
limfosit berkisar 54,6%, trombositopenia dan anemia. Jumlah leukosit dapat
normal, meningkat atau rendah pada saat diagnosis. Leukositosis berat atau
hiperleukositosis (leukosit > 100 x 103/μL) ditemukan pada 15% pasien ALL.
Leukopenia pada pasien ini dapat disebabkan oleh peningkatan proliferasi sel
limfosit imatur (limfoblast) dan peningkatan destruksi sel-sel tersebut oleh
spleen.24 Leukopenia dapat meningkatkan resiko infeksi. Pada pasien ini
ditemukan gejala dan tanda adanya infeksi yakni pneumonia atau CAP. Jumlah
Pemeriksaan fusi gen BCR-ABL pada pasien ALL bermanfaat untuk target
terapi dan memprediksi prognosis pasien. Apabila terdeteksi fusi gen BCR-
ABL pada pemeriksaan molekular, maka pasien dapat segera diberikan terapi
tyrosine kinase inhibitor (TKI) seperti Imatinib yang dapat berinteraksi dengan
fusi gen BCR-ABL sehingga dapat menekan jumlah sel tumor. Pasien ALL
yang terdeteksi gen BCR-ABL memiliki prognosis yang lebih buruk. Pada
kasus ini tidak terdeteksi fusi gen BCR-ABL sehingga tidak diberikan terapi
TKI.1,2