Dikarenakan dummy adalah data yang bersifat ordinal atau nominal, biasanya model yang dihasilkan pada
regresi memiliki error yang cukup tinggi.
8. berikut ada beberapa langkah dalam mengatasi autokorelasi:
1. Evaluasi model
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi yaitu dengan mengidentifikasi apakah
autokorelasi itu pure autocorrelation atau karena mis-spesification model. Mis-spesifikasi disini adalah
kemungkinan adanya kuadratik model atau modelnya mengandung kuadratik. Sehingga apabila hasil tersebut
masih mengandung autokorelasi maka autokorelasi tersebut merupakan pure autocorrelation.
Setelah kita mengetahui ternyata pure autocorrelation . maka langkah selajutnya yaitu salah satunya
dengan melakukan transformasi. Transformasi ini dilakukan dengan mengurangi nilai variabel (bebas dan terikat)
pada waktu ke-t, dengan waktu ke-(t-1).
Dimana:
Jika autokorelasi di dalam residual tinggi (p=1), maka kita akan persamaan regresi tanpa intersep.
Sedangkan jika (p=0) maka model regresi yang akan didapat adalah regresi dengan pembeda pertama.
GLS ini bisa digunakan jika nilai roh didapatkan. Permasalahannya roh didapatkan dari nilai populasi
yang sulit diperoleh. Sehingga perlu dilakukan roh berdasarkan data sampel.
Metode ini dapat digunakan jika statistic Durbin-Watson lebih kecil dibandingkan koefisien determinasi
(DW<R2). Sehingga dengan nilai DW yang kecil, maka pada residual terdapat autokorelasi yang kuat. Jika
autokorelasi kuat, kita dapat mengasumsikan roh = 1. Sehingga menggunakan metode pembeda pertama.
Permasalahan metode pembeda pertama adalah kita harus mempunyai nilai korelasi yang kuat. Sehingga untuk
korelasi tidak terlalu kuat tidak bisa digunakan. Sehingga cara selajutnya yaitu dengan menggunakan
estimasi roh . salah satu cara yaitu dengan estimasi Durbin-Watson.
Formula diatas untuk data yang besar. Sedangkan untuk data berukuran kecil, sebaliknya menggunakan formulasi
yang diusulkan oleh Theil-Nagar, yaitu:
Setelah memperoleh modelnya dimasukkan ke model umum tadi sehingga akan membentuk model baru yang
akan dilakukan analisis regresi. Kemudian hasilnya diharapkan sudah tidak mengadung autokorelasi.
Berbeda dengan metode diatas yang menggunakan DW. Sedangkan pada metode ini menggunakan residual untuk
menentukan roh.
Setelah memperoleh roh maka kita akan membentuk model persamaan seperti pada transformasi yang dilakukan
dengan pendekatan Durbin-Watson. Selain cara itu, bisa digunakan dengan formulasi berikut:
Dari model tersebut akan diperoleh slope dengan melakukan regresi. koefisien itulah yang menjadi nilai koefisien
korelasi yang diestimasi. Langkah selajutnya hampir sama dengan langkah yang telah dijelaskan diatas.
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VI
F
1 (Constant) 22.651 3.151 7.188 .000
umur -.133 .041 -.176 -3.220 .002 .863 1.158
lemakkulit -.063 .043 -.437 -1.461 .151 .029 34.599
Lemakpersen .082 .048 .238 1.713 .094 .134 7.451
Sex 2.436 .693 .268 3.513 .001 .444 2.254
lemakKt_prpr .003 .001 1.251 3.440 .001 .020 51.140
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model t Sig.
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -2.875 11.880 -.242 .810
Umur .189 .187 .251 1.011 .317 .050 19.908
Sehingga persamaan regresi linier akhir untuk memprediksi nilai ‘imt’ adalah:
Imt = 22.651 – 0.133 umur - 0.063 lemakkulit + 0.082 lemakpersen + 2.436 sex +
0.03 lemakkt_prpr
Regresi Logistik Ganda
Adanya Konfounder akan menyebabkan perubahan nilai Exp(B)/OR sebesar > 10%
Exp(B) Crude - Exp(B) Adjusted * 100% € >10% € konfounder Exp(B) Adjusted
Dari variabel independent utama (faktor resiko) dalam pemodelan faktor resiko, atau variabel independent lain
dalam pemodelan prediksi
Adanya Interaksi antar 2 variabel independent ditunjukan dengan nilai Sig. < 0.0
95,0% C.I.for EXP(B)
• ‘SEX’ tidak masuk dalam pemodelan, nilai Exp(B)€ 4,388 dan 9,149
• Besar perubahan: