Anda di halaman 1dari 14

7.

Dikarenakan dummy adalah data yang bersifat ordinal atau nominal, biasanya model yang dihasilkan pada
regresi memiliki error yang cukup tinggi.
8. berikut ada beberapa langkah dalam mengatasi autokorelasi: 

1. Evaluasi model

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi yaitu dengan mengidentifikasi apakah
autokorelasi itu pure autocorrelation atau karena mis-spesification model. Mis-spesifikasi disini adalah
kemungkinan adanya kuadratik model atau modelnya mengandung kuadratik. Sehingga apabila hasil tersebut
masih mengandung autokorelasi maka autokorelasi tersebut merupakan pure autocorrelation.

2. Generalized Least Squared (GLS)

            Setelah kita mengetahui ternyata pure autocorrelation . maka langkah selajutnya yaitu salah satunya
dengan melakukan transformasi. Transformasi ini dilakukan dengan mengurangi nilai variabel (bebas dan terikat)
pada waktu ke-t, dengan waktu ke-(t-1).

Pertama, kita memulai dengan regresi biasa.


dan

Sehingga akan membentuk persamaan umum berikut:

Atau bisa dibentuk menjadi:

Dimana:

             Jika autokorelasi di dalam residual tinggi (p=1), maka kita akan persamaan regresi tanpa intersep.
Sedangkan jika (p=0) maka model regresi yang akan didapat adalah regresi dengan pembeda pertama.

             GLS ini bisa digunakan jika nilai roh didapatkan. Permasalahannya roh didapatkan dari nilai populasi
yang sulit diperoleh. Sehingga perlu dilakukan roh berdasarkan data sampel.

1. First-Difference Method (Pembeda Pertama)

            Metode ini dapat digunakan jika statistic Durbin-Watson lebih kecil dibandingkan koefisien determinasi
(DW<R2). Sehingga dengan nilai DW yang kecil, maka pada residual terdapat autokorelasi yang kuat. Jika
autokorelasi kuat, kita dapat mengasumsikan roh = 1. Sehingga menggunakan metode pembeda pertama.

2. Estimasi roh dengan Durbin Watson

Permasalahan metode pembeda pertama adalah kita harus mempunyai nilai korelasi yang kuat. Sehingga untuk
korelasi tidak terlalu kuat tidak bisa digunakan. Sehingga cara selajutnya yaitu dengan menggunakan
estimasi roh . salah satu cara yaitu dengan estimasi Durbin-Watson.
Formula diatas untuk data yang besar. Sedangkan untuk data berukuran kecil, sebaliknya menggunakan formulasi
yang diusulkan oleh Theil-Nagar, yaitu:

Dimana: k adalah jumlah koefisien termasuk intercept

Setelah memperoleh modelnya dimasukkan ke model umum tadi sehingga akan membentuk model baru yang
akan dilakukan analisis regresi. Kemudian hasilnya diharapkan sudah tidak mengadung autokorelasi.

3. Estimasi roh berdasarkan residual

Berbeda dengan metode diatas yang menggunakan DW. Sedangkan pada metode ini menggunakan residual untuk
menentukan roh.
Setelah memperoleh roh maka kita akan membentuk model persamaan seperti pada transformasi yang dilakukan
dengan pendekatan Durbin-Watson. Selain cara itu, bisa digunakan dengan formulasi berikut:

Dari model tersebut akan diperoleh slope dengan melakukan regresi. koefisien itulah yang menjadi nilai koefisien
korelasi yang diestimasi. Langkah selajutnya hampir sama dengan langkah yang telah dijelaskan diatas.

3. Newey – West Method.


Pada metode mengasumsikan bahwa sampel yang digunakan besar.
9. Deteksi Konfounding & Interaksi

Analisa Regresi Linier/Logistik Ganda

 Regresi Linier Ganda


 Adanya Konfounder akan menyebabkan
a) Perubahan R Square
b) Perubahan (unstandardized) coefisien B (OR) sebesar > 10%
 Adanya Interaksi antar 2 variabel independent ditunjukan dengan nilai Sig. <
0.05
Model Summary Model Summarby

Adjusted R Std. Error of


Adjusted Std. Error of Durbin
Model R R Square Square the Estimate
Model R R Square R Square the Estimate -
1 .926a .858 .845 1.5061 Watson
1 .943a .889 .876 1.3491 1.840
a. Predictors: (Constant), sex, umur,
a.
Predictors: (Constant), lemakKt_prpr, umur, sex,
lemakkulit, lemakpersen
lemakpersen, lemakkulit
b.
Dependent Variable: imt
R square regresi linier ganda dengan konfounder tidak masuk pada model
R square regresi linier ganda dengan konfounder masuk pada model
Variabel Masih Lengkap ‘umur’ keluar dari Perubahan
model Coefficien B

Sex 4.7 5.0 6.3 %


Lemak persen 7.1 6.2 11.3%

Lemak kulit -232 -236 1.8%

tchol 2.8 2.5 4%

Umur merupakan konfounder karena menyebabkan OR ‘lemak


Uji Interaksi
Dilakukan pada variabel‐variabel yang diduga secara substansi berinteraksi.
Model Persamaan Regresi linier ganda
Imt = 17.074 – 0.126 umur + 0.08 lemakkulit + 0.204 lemakpersen + 3.074 sex
1. variable ‘lemak kulit’ dan ‘lemak persen’ secara substansi diduga berinteraksi

Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VI
F
1 (Constant) 22.651 3.151 7.188 .000
umur -.133 .041 -.176 -3.220 .002 .863 1.158
lemakkulit -.063 .043 -.437 -1.461 .151 .029 34.599
Lemakpersen .082 .048 .238 1.713 .094 .134 7.451
Sex 2.436 .693 .268 3.513 .001 .444 2.254
lemakKt_prpr .003 .001 1.251 3.440 .001 .020 51.140

a. Dependent Variable: imt


2). secara substansi umur akan mempengaruhi lemak persen,
Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model t Sig.
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -2.875 11.880 -.242 .810
Umur .189 .187 .251 1.011 .317 .050 19.908

Lemakkulit .078 .014 .534 5.683 .000 .350 2.861

Lemakpersen .729 .305 2.111 2.391 .021 .004 252.645

Sex 2.724 .757 .300 3.598 .001 .444 2.253

umur_lemakpr -.008 .005 -1.494 -1.734 .090 .004 240.709

a. Dependent Variable: imt

Sehingga persamaan regresi linier akhir untuk memprediksi nilai ‘imt’ adalah:
Imt = 22.651 – 0.133 umur - 0.063 lemakkulit + 0.082 lemakpersen + 2.436 sex +

0.03 lemakkt_prpr
 Regresi Logistik Ganda

 Adanya Konfounder akan menyebabkan perubahan nilai Exp(B)/OR sebesar > 10%
Exp(B) Crude - Exp(B) Adjusted * 100% € >10% € konfounder Exp(B) Adjusted

Dari variabel independent utama (faktor resiko) dalam pemodelan faktor resiko, atau variabel independent lain
dalam pemodelan prediksi

Adanya Interaksi antar 2 variabel independent ditunjukan dengan nilai Sig. < 0.0
95,0% C.I.for EXP(B)

Apakah ‘SEX’ B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper


adalah
S tep IMT3 8,265 2 ,016
Konfounder a
1 IMT3(1) 1,872 ,858 4,764 1 ,029 6,503 1,211 34,940
terhadap IMT31
IMT3(2) 2,711 ,946 8,206 1 ,004 15,045 2,354 96,155
dan IMT32 ?
Lihat perubahan SEX ,921 ,541 2,899 1 ,089 2,511 ,870 7,245

nilai Exp(B) : Constant -2,727 ,882 9,563 1 ,002 ,065

‘SEX’ masuk dalam pemodelan, nilai Exp(B) € 6,503 dan 15,045

• ‘SEX’ tidak masuk dalam pemodelan, nilai Exp(B)€ 4,388 dan 9,149

• Besar perubahan:

Dari hasil perhitungan ratio = 32,52% (> 10%)


maka ‘sex’ merupakan variable konfounder.

10. 1. Spesfikasi model


2. Identifikasi model
3. Estimasi model
4. Menguji model
5. Memodifikasi model

Anda mungkin juga menyukai