Anda di halaman 1dari 35

Jurnal Berfikir Kritis 1

Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah


melalui revisi kurikulum. Revisi kurikulum terakhir yang telah dilakukan menghasilkan
Kurikulum 2013 (K-13) yang telah diimplementasi secara bertahap baik jenjang pendidikan
dasar maupun pendidikan menengah. Penerapan K-13 ini diperkuat dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), dan Standar Proses.

Dalam Standar Proses dinyatakan bahwa karakteristik pembelajaran menurut K-13


dengan: “.....memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, ....” [1]. Dengan kata lain, proses pembelajaran dilaksanakan dengan
menciptakan lingkungan pembelajaran (learning environment) yang dapat memberikan
kesempatan kepada setiap siswa agar mereka dapat mengembangkan ide-ide dan kreativitas
yang dilakukan secara mandiri sesuai dengan bakat dan minat. Oleh sebab itu, sistem
pembelajaran yang dijelaskan dalam Standar Isi mengarah pada pembelajaran berpusat pada
siswa.
Pembelajaran berpusat pada siswa (students centered learning) adalah suatu pendekatan
dalam pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk memilih bahan pelajaran apa
yang dipelajari dan menentukan bagaimana dan mengapa bahan pelajaran tersebut dipelajari [2].
Dengan demikian, aktivitas pembelajaran seharusnya fokus pada kebutuhan siswa dari pada
kebutuhan guru. Menurut Prins [3] aktivitas pembelajaran demikian akan terwujud jika guru
sebagai perancang dan pelaksana pengajaran seharusnya menerapkan pengajaran berpusat pada
siswa (student-centered instruction).

Collin dan O’Brien [4] menyatakan bahwa jika pengajaran berpusat pada siswa
diterapkan, maka meningkatkan motivasi/minat siswa untuk belajar meningkat, retensi
pengetahuan lebih besar, pemahaman lebih mendalam, dan menunbuhkan sikap lebih positip
terhadap materi pelajaran yang diajarkan. Sebaliknya, praktek pembelajaran yang terjadi di
jenjang pendidikan dasar maupun menengah cenderung pada teacher-centered instruction yang
tidak memberikan pengalaman belajar aktif, tidak menugaskan siswa untuk memecahkan
masalah bersifat open-ended dan permasalahan yang membutuhkan proses berfikir kritis atau
kreatif.

Secara umum, proses pembelajaran yang berlangsung selama 90 menit cenderung


didominasi oleh guru meskipun guru telah berupaya mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam
pembelajaran dengan ngajak siswa untuk untuk mengerjakan jawaban soal di papan tulis.
Meskipun demikian, tidak ada siswa secara spontan/sukarela untuk bersedia mengerjakannya
kecuali ditunjuk oleh guru.

1
Siswa hanya menerima materi yang disampaikan dan tidak memanfaatkan kesempatan untuk
bertanya, namun ketika guru yang bertanya kepada siswa, hanya sedikit siswa yang dapat
memberikan jawaban beserta alasannya. sehingga dapat dikatakan pengembangan kemampuan
berpikir siswa masih kurang, sedangkan fisika merupakan salah satu cabang IPA yang
mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam mempelajari fisika
siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya kemampuan
berpikir kritis.
Rendahnya kedua aspek tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan model pembelajaran
yang kurang tepat. Salah satu model pembelajaran yang dianjurkan untuk digunakan dalam
pembelajaran kurikulum 2013 adalah model project based learning. Model project based
learning memberikan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi peserta didik.
Menurut Scott [6] model project based learning merupakan model pembelajaran yang ideal
untuk memenuhi tujuan pendidikan abad 21, karena menggunakan prinsip 4c yaitu critical
thinking, communications, collaboration, dan creativity dengan pembelajaran terstruktur dalam
konteks dunia nyata. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Yunus [7] yang
menyimpulkan bahwa model project based learning berpengaruh terhadap hasil belajar fisika
dan kemampuan berpikir kritis, karena melalui pembelajaran berbasis proyek siswa dilibatkan
untuk menyelesaikan suatu proyek yang mengarah pada pengaplikasian secara proses berpikir
kritis. Selanjutnya hasil penelitian Roziqin [8] menyatakan bahwa model project based learning
berpengaruh signifikan terhadap minat belajar siswa pada pembelajaran siswa, model project
based learning membuat siswa lebih tertarik dan terlibat aktif dalam pembelajaran fisika. Hal ini
disebabkan model project based learning berorientasi pada aktivitas-aktivitas yang mendukung
terjadinya pemahaman konsep, prinsip, dan prosedur dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Jurnal Berfikir Kritis 2

Kemampuan berpikir kritis dianggap penting bagi peserta didik untuk menghadapi
banyak tantangan hidup dewasa dan berfungsi secara efektif dalam dunia yang semakin
kompleks Nickerson (Dawit T. Tiruneh, 2014). Berpikir kritis atau critical thinking (CT) adalah
atribut penting dalam perkembangan intelektual, akuisisi pengetahuan, dan pemanfaatan
pengetahuan dalam individu, guru diharapkan untuk memelihara keterampilan berpikir kritis
siswa (Gul et al., 2014). Berpikir kritis merupakan topik penting dalam pendidikan dan
pengembangan keterampilan berpikir kritis harus menjadi salah satu tujuan utama bagi para
pendidik di semua tingkatan (Sharadgah, 2014). Berpikir kritis termasuk dalam kemampuan
berpikir tingkat tinggi dan diyakini dapat mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi
tantangan pekerjaan serta kehidupan sehari-hari (Ramos, Crosnoe, & Muller, 2013). Mengatasi
kesenjangan dalam pendidikan, yang berarti memfasilitasi keterampilan berpikir kritis, tujuan
pengajaran harus peduli dengan mendorong peserta didik untuk menjadi reseptif, perseptif,

2
reflektif, kritis, dan mempertanyakan inkonsistensi dalam pelajaran yang disajikan (Brien,
2013). Penting bagi guru untuk meningkatkan berpikir kritis untuk perkembangan intelektual,
pengembangan diri dan pemanfaatan pengetahuan keterampilan, komunikasi kecepatan tinggi,
karena perubahan yang cepat dalam kehidupan global. (Tiruneh, Verburgh, & Elen, 2014)
Rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik dikarenakan model pembelajaran yang
diterapkan di kelas belum efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Anderson,
Lorin W. & Krathwohl, David R. (2001) mengelompokkan tujuan pendidikan taksonomi bloom
yaitu kognitif, afektif dan psikomotor, berpikir kritis berada ranah kognitif.

Berpikir kritis (CT) adalah atribut penting dalam perkembangan intelektual, akuisisi
pengetahuan, dan pemanfaatan pengetahuan dalam individu, guru diharapkan untuk memelihara
keterampilan berpikir kritis siswa (Gul et al., 2014) Ini diasumsikan bahwa guru tahu apa CT
dan bagaimana hal itu dapat dipromosikan di praktek mengajar mereka, tetapi ini tidak mungkin
benar (Jafarigohar, 2016) kecuali mereka memiliki belajar di pra-layanan mereka atau in-service
training (Kong,2006). Guru sebagai pemberi pengetahuan daripada fasilitator pengembangan
pengetahuan siswa (Gul et al., 2014) Guru harus meniru CT jika mereka berharap siswa mereka
untuk melakukannya. Untuk mempromosikan CT siswa, guru harus memilih konten yang sesuai
dan strategi pembelajaran untuk mengatasi tujuan pembelajaran, dan mereka harus memfasilitasi
teacherstudent interaksi, mendorong siswa untuk bertanya, dan menanggapi pertanyaan mereka
tanpa prasangka (Gul et al., 2014)

Berpikir Kritis :
1. Klarifikasi dasar
2. Menilai dukungan dasar sumber
3. Membuat kesimpulan
4. Melakukan klarifikasi tingkat lanjut
5. Menerapkan strategi dan taktik dalam menyelesikan masalah (Nitko & Brookhart (2011:234-
236)

Jurnal Berfikir Kritis 3

Sistem pendidikan yang digunakan pada saat ini adalah kurikulum 2013 yang diharapkan
mampu mengubah pendidikan menjadi lebih aktif, kreatif dan menciptakan proses berpikir kritis
serta mampu mengikuti perkembangan zaman. Banyak cara yang dapat dilakukan guru untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis sehingga siswa mampu mengikuti perkembangan
pembelajaran sesuai dengan zaman. Pembelajaran IPA menjadi hal menarik untuk dipelajari
apabila dikaitakan dengan proses berpikir kritis. Pembelajaran IPA tingkat sekolah dasar
mempelajari susunan peristiwa, fakta, konsep yang berhubungan dengan alam. Pembelajaran
IPA membekali siswa berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan daya pikir (Pamungkas, G.

3
H., Harjono, N., & Airlanda, G. S., 2019). Apabila pembelajaran IPA yang dilakukan secara
ceramah, sedikitnya ruang interkasi berpikir tingkat tinggi dan pemberian soal-soal hanya
membawa seseorang mencapai batasan aspek kognitif padahal masih ada aspek yang juga harus
dicapai dan mampu membuka kepekaan pada diri secara cermat, menyaring, mengaplikasikan,
serta turut memberi kontribusi bagi perkembangan science dan teknologi itu sendiri (Subiantoro,
2010).
Pembelajaran yang ideal tidak hanya terfokus pada nilai atau hasil kerja siswa tetapi
bagaimana siswa berproses sehingga menemukan titik temu atau jawaban atas permasalahan
yang dihadapi. Pembelajaran IPA sendiri merupakan pembelajaran yang berkaitan dengan
kehidupan dan lingkungan sekitar siswa. Dengan kata lain pembelajaran IPA yang ideal yaitu
pembelajaran yang secara langsung dapat dipelajari siswa guna mengembangkan keterampilan
berpikir kritis sehingga siswa dapat menemukan jawaban melalui pengelaman belajar yang
dilakukan.
Pemilihan model pembelajaran dalam proses belajar juga mempengaruhi keberhasilan
pencapain tujuan. Penggunaan PJBL (Project Based Learning) atau model pembelajaran
berbasis proyek menjadi salah satu pilihan untuk mempermudah pemahaman terhadap materi
pelajaran yang sedang dibahas karena memberikan praktek secara langsung bukan hanya abstrak
sehingga apabila menemukan masalah dalam pembelajaran siswa mampu menganalisis masalah,
memberikan tanggapan kritis terhadap masalah, dan menemukan solusi serta memudahkan guru
dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Model pembelajaran PJBL sendiri
pertama kali dikembangkan oleh John Dewey. PJBL merupakan sebuah pembelajaran yang
melibatkan semua siswa dalam kegiatan pembelajaran serta memberi waktu lebih untuk siswa
menyelesaikan masalah secara individu maupun kelompok (Natty, R. A., Kristin. f., Anugraheni,
I., 2019). Penerapan model pembelajaran PJBL dalam pembelajaran IPA juga menjadi fasilitator
bagi siswa dengan segala latar belakang kemampuan yang dimilikinya. Siswa akan
menyampaikann pendapat mereka sesuai dengan apa yang mereka temukan sehingga
menimbulkan diskusi yang menarik apabila terjadi perbedaan cara pemecahan masalah.
Pendapat yang dikemukakan oleh (Hilkka Korpi, Liisa Peltokallio, Arja Piirainen , 2013), model
pembelajaran PJBL mengaktifkan suatu proses yang memungkinkan siswa untuk berpartisipasi
dan menemukan pengalaman yang berbeda dari sebelumnya sehingga siswa mampu
merefleksikan pendapat secara kritis. Siswa selalu bertanya ketika menemukan suatu masalah
atau memberikan pendapat yang sesuai dengan materi yang dijelaskan, contohnya apabila guru
sedang menjelaskan mengenai sistem pencernaan maka siswa akan memberikan beberapa
pertanyaan singkat hingga detail kepada guru. Dalam penerapannya akan timbul kegiatan belajar
mengajar dua arah secara aktif.
Pembelajaran yang aktif dapat dinilai dari suasana kelas yang tetap kondusif dan sesuai
dengan arah materi yang sedang dibahas serta bagaimana siswa mengikuti proses pembelajaran.
Aktif bukan berarti hanya berani mengemukakan pendapat akan tetapi siswa memiliki dasar atas

4
pendapat atau pertanyaan yang disampaikan yang biasa disebut sebagai keterampilan berfikir
kritis. Diperkuat dengan pendapat (Azizah, M. Sulianto, J. Cintang, N, 2018), Keterampilan
berpikir kritis merupakan suatu proses kognitif siswa dalam menganalisis masalah yang dihadapi
secara sistematis dan spesifik, dapat membedakan masalah secara cermat dan teliti, serta
mengidentifikasi dan mengkaji informasi untuk membuat strategi pemecahan masalah dalam
pembelajaran. Pembelajaran IPA identik dengan sumber daya alami maupun buatan sehingga
pengembangkan model pembelajaran PJBL dapat memanfaatkan barang yang ada disekitar
siswa sebagai bahan pembuatan proyek.

Jurnal Berfikir Kritis 4

Pendidikan di abad 21 bertujuan untuk membangun kemampuan intelegensi siswa dalam


pembelajaran agar mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Membentuk
intelegensi dalam dunia nyata tidak hanya dengan sekedar tahu, namun dapat memecahkan
permasalahan yang dihadapi di sekitar lingkungan secara berarti, relevan dan kontekstual.
Pembelajaran siswa yang kontekstual, dapat melatih berpikir kritis, menguasai teknologi,
kooperatif, dan berkolaborasi sangat diperlukan dalam memecahkan masalah. Tujuan yang ingin
dicapai oleh siswa sangat beragam, misalnya keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan psikomotor, dan keterampilan proses. Dalam kurikulum pembelajaran juga
bertujuan meningkatkan kualitas dalam imajinasi dan kreativitas; memperoleh nilai-nilai
kemanusiaan, mengembangkan potensi seseorang, mengembangkan pemikiran kritis, dan
mengembangkan pribadi yang berkomitmen dan bertanggung jawab (Zhou, 2005). Tuntutan
kurikulum saat ini mengharapkan siswa memiliki kecakapan kognitif, kemampuan dalam dunia
nyata, dan berakhlak mulia serta lebih aktif dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran
nantinya guru sebagai sumber informasi utama akan berubah menjadi pembelajar yang lebih
ideal dengan permasalahan yang real dan berorientasi pada siswa sehingga siswa dapat
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan terlibat aktif dalam mencari informasi.
Pembelajaran yang mengarah pada belajar mandiri agar siswa dapat mengkonstruk
pengetahuannnya masih sangat kurang. Hal ini yang dijumpai peneliti pada saat observasi di
SMAN 1 Batu, pembelajaran mandiri belum dilakukan sepenuhnya dan pengelolaan
keterampilan dalam berpikir kritis belum terprogram secara sengaja. Siswa masih tergantung
pada guru yang berperan sebagai sumber informasi utama, hal ini menimbulkan kebosanan dan
kurang memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa. Walaupun pembelajaran sudah
diarahkan melalui Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang bertujuan agar pembelajaran tidak
terpusat pada guru, dan didalamnya terdapat bahan diskusi dan soal-soal, namun selalu saja guru
yang masih banyak berperan untuk menyelesaikan soal-soal yang disajikan dalam LKS tersebut.
Kurangnya keterlibatan siswa secara total dalam pembelajaran dikarenakan siswa kurang
berusaha dalam menemukan informasi sendiri, dan hal ini mengurangi makna dari pembelajaran
aktif dan efektif. Para siswa cenderung belajar untuk dapat menjawab soal-soal ulangan dengan

5
menghafal materi pelajaran bukan memahami, menganalisis suatu permasalahan, dan
memecahkan masalah yang mungkin dihadapi sehari-hari, sehingga cara berpikir kritisnya
kurang terlatih. Akibatnya dari segi kognitif juga kurang, terbukti pada rata-rata perolehan nilai
hasil belajar pada kompetensi sebelumnya masih kurang dari standart kompetensi minimal, tak
jarang guru harus melakukan remedial.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembelajaran yang
efektif dalam membentuk siswa agar dapat belajar mandiri tanpa melupakan aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik, salah satunya adalah dengan menggunakan pembelajaran berbasis
proyek. Project Based Learning (PjBL) dinyatakan oleh Thomas, (2000) dan Kamdi (2007)
sebagai pembelajaran berbasis proyek yang merupakan pendekatan pembelajaran inovatif, yang
menekankan pada belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus
pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi,
melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna
yang lain, memberi kesempatan kepada pebelajar bekerja secara otonom untuk mengkonstruk
pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya yaitu menghasilkan produk nyata.
Dijelaskan oleh Tinker (1992) dalam Colley (2008), bahwa pembelajaran proyek identik dengan
pembelajaran berbasis sains, yaitu sesuatu yang dikerjakan oleh para ilmuwan. Siswa yang
terlibat dalam proyek secara menyeluruh akan memilih topik, memutuskan pendekatan,
melakukan eksperimen, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan hasil proyek yang
dikerjakan.
Krajcik, Czerniak dan Berger (2008), menyatakan pembelajaran berbasis proyek sebagai
pembelajaran berbasis sains memiliki beberapa fitur yang fundamental, dimana dalam proses
pembelajaran saat ini dapat melalui beberapa tahapan mulai dari tahapan menanya,
mengapresiasi, menganalisis, mengasosiasi dan menyimpulkan.
Pembelajaran berbasis proyek memberi setiap orang kesempatan untuk semacam meniru
apa yang dilakukan para ilmuwan, dan hal itu sangat menarik dan menyenangkan jika dilakukan
dengan baik. Menurut Chard dalam Curtis (2011), melalui pembelajaran proyek siswa dapat
bebas melintasi disiplin ilmu untuk memecahkan masalah dengan memberikan kebebasan pada
siswa untuk mengeksplorasi dirinya. Dengan demikian siswa termotivasi untuk bereksplorasi
ketika berada dalam pembelajaran yang membebaskan mereka tanpa ada banyak aturan yang
kaku seperti ketika pembelajaran yang ada di dalam kelas. Peranan pembimbingan guru pada
saat pembelajaran berbasis proyek sangat penting, karena didalamnya guru akan membimbing
pola pikir mereka sehingga muncul kreativitas dan cara berpikir siswa yang kritis dari
lingkungan sekitarnya.
Aktivitas belajar aktif sangat berhubungan dengan individu yang berperilaku kreatif
dalam menuangkan ide-idenya. Kreativitas individu dapat memunculkan perilaku seperti
mengembangkan ide-ide original, sikap dalam menentukan strategi mereka dalam belajar
(fluency), dan biasanya siswa yang kreatif juga berkecenderungan untuk lebih tertarik pada hal

6
yang rumit dan detil (elaboracy) serta fleksibel dalam menyikapi suatu permasalahan (Munandar
2009). Namun Guilford dalam Munandar (2009) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir
juga berpengaruh pada kreativitas seseorang.
Pembelajaran berbasis proyek merupakan salah satu pembelajaran aktif dengan
melibatkan siswa secara mandiri dengan kriteria bahwa dalam pembelajaran tersebut juga akan
meningkatkan daya pikir siswa menuju metakognitif seperti berpikir kritis terhadap proyek yang
akan dikerjakan melalui permasalahan yang ditemukan oleh siswa. Pembelajaran berbasis
proyek ini bersifat autentik, sehingga secara tidak langsung pembelajaran ini akan melibatkan
pembelajar dalam investigasi konstruktif. Harapannya melalui pembelajaran yang bersifat
otonom, tanggung jawab pada pebelajar dapat lebih baik dan dapat memunculkan ide-ide kreatif
dari siswa karena pada pengerjaan proyek mereka pasti akan berbeda dalam pengerjaannya dari
pada proyek tradisional atau pembelajaran konvensional hal ini menjadikan proyek sebagai
tugas yang bermakna dan menantang (Ledward dan Hirata, 2011).
Bie (2012), menambahkan bahwa dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa akan
melalui proses panjang dalam penyelidikan, menanggapi pertanyaan dari masalah yang
kompleks, atau tantangan, melatih keterampilan yang dituntut di abad 21 (kolaborasi,
komunikasi dan berpikir kritis). Berpikir kritis yang menggunakan dasar berpikir untuk
menyelesaikan masalah, dengan cara menganalisis, berargumen, mengevaluasi, menentukan
langkah apa yang harus diambil, menyimpulkan dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap
permasalahan. Sebuah model pembelajaran yang bermakna tidak hanya akan berguna bagi siswa
melainkan juga bagi guru dalam menciptakan budaya kelas yang dapat menumbuhkan semacam
kecenderungan, kepekaan, dan kemampuan untuk menjangkau lebih jauh dan fleksibel.
Pelajaran berbasis proyek meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengarah pada
perkembangan kognitif ke tingkat yang lebih tinggi melalui keterlibatan siswa dengan masalah
yang kompleks. Harapannya nanti siswa akan memiliki kemampuan memecahkan masalah
dengan segala kreativitas yang mereka miliki. Dengan demikian kreativitas tersebut akan
meningkatkan kemampuan kognitif siswa.
Pembelajaran biologi banyak materi pembelajaran yang sifatnya kontekstual. Beberapa
materi kadang dianggap sulit karena masih bersifat abstrak, contohnya materi tentang virus dan
bakteri pada kelas X. Biasanya siswa dikelas X masih beradaptasi dari pembelajaran yang
dilangsungkan dari tingkat SMP. Oleh sebab itu, peneliti memilih materi tersebut diberikan
melalui pembelajaran berbasis proyek. Materi yang bersifat abstrak akan mudah dipahami
melalui pembelajaran yang menyenangkan dengan pengalaman menemukan informasi sendiri,
sehingga siswa bersemangat untuk mempelajarinya. Membentuk kreativitas siswa dengan
melatih berpikir kritis dalam pengerjaan proyek, harapannya hasil belajar dari segi kognitif
siswa juga akan terbangun dengan baik.
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini diteliti pengaruh pembelajaran
berbasis proyek terhadap motivasi, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan

7
kognitif siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh project based learning
terhadap motivasi belajar, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan kognitif
siswa kelas X mata pelajaran biologi di SMAN 1 Batu.

Jurnal Berfikir Kritis 5

Abad 21 disebut dengan abad serba pengetahuan, seperti ekonomi berbasis pengetahuan,
abad teknologi informasi, dan revolusi industri 4.0. Pada abad 21 ini akan terjadi perkembangan
yang sangat cepat, dan tidak bisa diantisipasi, terutama perkembangan teknologi. Teknologi
berkembang dengan begitu cepat dikalangan masyarakat, semua kalangan mengenal dan
menggunakan teknologi. Begitu juga dalam dunia pendidikan, teknologi dapat memberikan
kesempatan bahkan tantangan bagi guru. Tantangan dan kesempatan bagi guru untuk dapat
meningkatkan sumberdaya manusia melalui pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Sejalan dengan pendapat tersebut, sekolah harus menerapkan keterampilan 4C yaitu
berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Pada abad 21 siswa harus memiliki
keterampilan 4C tersebut untuk mampu bersaing pada era 4.0 (Greenstein, 2012). Keterampilan
4C tidak didapatkan semenjak manusia lahir, melainkan keterampilan 4C diperoleh dengan
belajar, berlatih, dan pengalaman. Pembelajaran merupakan kegiatan guru yang secara
terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif dan menekankan
pada penyediaan sumber belajar (Dimyati & Mudjiono dalam Syaiful Sagala, 2011: 62).

Untuk meningkatkan kualitaspembelajaran dan sumberdaya manusiaterutama dalam


dunia pendidikan. Kurikulum 2013 yang digunakan saat ini telah mengakomodasi keterampilan
abad 21 yang harus dimiliki siswa untuk mampu bertahan dan bersaing pada revolusi industri
4.0 dan yang akan terus berkembang. Untuk mengembangkan siswa dalam memiliki
keterampilan abad 21, guru harus mengubah proses pembelajaran dimana yang sebelumnya
pembelajaran berpusat pada guru (teacher center) sekarang diubah menjadi pembelajaran yang
difokuskan pada siswa(student center). IPS adalah salah satu pengetahuan dasar yang memiliki
peran penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing
pada revolusi industri 4.0 dengan dibekali keterampilan abad 21.Berpikir kritis sangat
dibutuhkan dalam pemecahan masalah yang terjadi dilihat dari berbagai sudut pandang. Berpikir
kritis dalam pembelajaran IPS sangat diperlukan, karena pada dasarnya IPS tidak hanya melihat
dari satu sudut pandang saja namun dari berbagai sudut pandang untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi.

8
Jurnal Berfikir Kritis 6

salah satu kemampuan yang perlu dibekali pada siswa di abad 21 yaitu keterampilan
berpikir kritis (Sani 2014). Berdasarkan penelitian dalam berbagai bidang seperti sosial sains
diketahui bahwa peserta didik yang lulus dari berbagai negara tidak memiliki kemampuan untuk
bersaing pada skala global karena tidak memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis
(Fritjers et al. 2008).
Robbins (2005) mengatakan kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang
dapat dilatihkan, sehingga kemampuan ini dapat dipelajari. Salah satu cara mengembangkan
kemampuan berpikir kritis yaitu melalui pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Pengembangan potensi siswa dimulai sejak jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga di
perguruan tinggi. Pendidikan dasar merupakan pondasi awal bagi siswa untuk membuka
wawasannya dan memegang peranan penting untuk meningkatkan sumber daya manusia di masa
yang akan datang. Peran guru ditingkat sekolah dasar juga menjadi kunci untuk pencapaian
tujuan pembelajaran dalam proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik berperan penting untuk
mengatur, mengarahkan, dan menciptakan suasana kegiatan pembelajaran yang mendukung
pencapaian tujuan pembelajaran.
Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir yang menggunakan proses analisis dan
evaluasi dalam sebuah permasalahan sehingga menghasilkan keputusan yang tepat dalam
penyelesaian masalah. Berpikir kritis juga merupakan pengambilan keputusan yang berdasarkan
dengan bukti dan alasan yang logis.
Kenyataan di sekolah, pendidikan sains belum banyak yang berorientasi ke arah
pembiasaan dan peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi (berpikir kritis), tetapi masih
menitikberatkan pada hasil belajar kognitif tingkat rendah. Siswa menyerap informasi secara
pasif dan kemudian mengingatnya pada saat mengikuti tes (Bassham et al. 2010).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai pada mata pelajaran IPA
antara lain: (1) di kelas proses pembelajaran guru masih menggunakan proses pembelajaran
yang konvensional, (2) guru kurang memanfaatkan media pembelajaran, lingkungan kelas yang
kurang kondusif, (3) siswa kurang motivasi dalam belajar dan minat siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran yang masih kurang, dan (4) siswa bersikap pasif di kelas sehingga pada saat
guru melakukan tanya jawab hanya sedikit siswa yang menjawab pertanyaan dari gur. Keaktifan
siswa yang kurang contohnya seperti minimnya keberanian untuk mengungkapkan pendapat
atau mengungkapkan gagasannya, kurang bisa kerjasama dalam kegiatan kelompok dan
motivasi belajar mereka juga masih rendah yang membuat keterampilan berpikir kritis mereka
kurang maksimal atau rata-rata nilai mereka masih jauh dari nilai KKM yang ditentukan.
salah satunya model pembelajaran Project-Based Learning. Dengan menggunakan
model pembelajaran Project-Based Learning mampu membangun kemampuan siswa dengan
melibatkannya dalam kerja proyek yang menghasilkan suatu hasil karya nyata/ produk untuk
mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran, sehingga siswa lebih tertarik

9
mengikut proses pembelajaran. Diharapkan model pembelajaran Project-Based Learning dapat
membantu mencapai tujuan pembelajaran yang ada di sekolah.

Jurnal Berfikir Kritis 7

Sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks di era global,
terutama tantangan dalam menyiapkan kualitas Sumber Daya Manusia agar dapat menghadapi
persaingan di era global (Sudarmin, 2015). Permasalahan yang sering dialami oleh guru dalam
menerapkan kurikulum 2013 adalah kurang aktifnya siswa dalam pembelajaran (Ilaah et.al.,
2015). Selain itu, hasil PISA (Programme for International Students Assesment) menunjukkan
bahwa penguasaan materi oleh siswa tergolong rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
indeks prestasi siswa Indonesia tergolong rendah. Perolehan nilai indeks prestasi siswa yang
lebih dikenal dengan hasil belajar siswa merupakan salah satu tolok ukur dalam pembelajaran
(Nurbaeti et.al., 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2014) menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara kemampuan berpikir kritis dengan hasil belajar siswa. Kemampuan berpikir
kritis memberikan sumbangan sebesar 41,99 % pada hasil belajar kognitif siswa. Dengan
demikian, hasil belajar yang rendah mengindikasikan kemampuan berpikir kritis siswa yang
masih rendah. Kemampuan berpikir kritis siswa yang rendah disebabkan oleh model
pembelajaran yang mengajarkan kemampuan berpikir kritis tidak digunakan secara baik dalam
setiap pembelajaran di kelas (Ilaah et.al., 2015). Padahal menurut Sugiarti dan Bija (2012) mutu
pendidikan dapat diperoleh melalui pengembangan kemampuan berpikir siswa, sehingga guru
diharapkan dapat memilih model pembelajaran yang tepat untuk diaplikasikan dalam proses
belajar mengajar. Model pembelajaran yang cocok digunakan untuk melatih kemampuan
berpikir kritis siswa yaitu Model PjBL.
Berpikir kritis adalah berpikir yang memiliki tujuan (membuktian suatu maksud tertentu,
menafsirkan, serta memecahkan masalah), tetapi berpikir kritis dapat dilakukan dengan
kolaboratif dan kompetitif (Facione, 2013). Selain itu Ennis (1995) menyebutkan 12 indikator
berpikir kritis yang dapat muncul dalam proses pembelajaran. Soleimani dan Kazazi (2014)
menjelaskan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir yang bertujuan untuk memecahkan
masalah, merumuskan kesimpulan, menghitung kemungkinan, dan membuat keputusan.
Soleimani dan Kazazi (2014) menjelaskan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir yang
bertujuan untuk memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, menghitung kemungkinan, dan
membuat keputusan. Haryani (2014) menunjukkan bahwa materi redoks dan elektrokimia
merupakan materi yang sulit untuk siswa menurut guru kimia.
Kemampuan berpikir kritis siswa diperlukan siswa untuk memahami materi yang sulit
seperti materi elektrokimia. Namun tidak semua indikator berpikir kritis dapat diamati dalam

10
proses penelitian. Pada penelitian ini, dua indikator berpikir kritis menurut Ennis (1985) tidak
dapat diamati karena membutuhkan waktu yang lebih lama.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kimia kelas XII MIPA SMA
Negeri 1 Kendal bahwa pada proses pembelajaran di kelas siswa terlihat aktif bertanya. Siswa
sering diberikan tugas berupa soal-soal kimia yang harus diselesaikan ketika kegiatan belajar
mengajar. Namun demikian, siswa tetap antusias dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan
oleh guru dengan cara menanyakan cara penyelesaian soal yang dikerjakan. Antusias dan
keingintahuan siswa untuk menyelesaikan soal menunjukkan adanya kemampuan berpikir kritis
siswa. Penelitian ini akan menerapkan PjBL dengan produk sel volta dan sel elektrolisis. Peserta
didik diberikan penugasan berkelompok untuk merangkai sel volta dari buah-buahan dan
melakukan elektrolisis logam dalam kehidupan sehari-hari menggunakan tembaga. Proses
pembelajaran dilakukan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran PjBL terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa pada materi elektrokimia. Siswa memanfaatkan berbagai
sumber untuk mendapatkan prosedur yang tepat untuk digunakan dapam proyek yang dilakukan.
Proses pembelajaran aktif mencari ini dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa,
ditunjukkan dengan 10 indikator kemampuan berpikir kritis yang dapat diamati.
Permasalahan yang akan diteliti yaitu; (1) Adakah pengaruh PjBL terhadap kemampuan
berpikir kritis siswa pada materi elektrokimia, (2) Seberapa besar pengaruh model PjBL
terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
model pembelajaran project based learning terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada
materi elektrokimia dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran menggunakan model project
based learning.

Jurnal Berfikir Kritis 8

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk memahami masalah dan pendapat,
kemampuan menyeleksi informasi dan hipotesis yang penting serta relevan untuk menyelesaikan
masalah serta kemampuan untuk menarik kesimpulan yang valid (Amri & Ahmadi, 2010).
Kemampuan berpikir kritis menurut Facione (2013) meliputi interpretation, analysis, evaluation,
inference, explanation, dan self-regulation. Pengembangan kemampuan berpikir kritis
merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan
(observasi), analisis, penalaran, penilaian, dan pengambilan keputusan. Semakin baik
pengembangan bagian-bagian dari kemampuan tersebut kemampuan berpikir kritis juga lebih
berkembang. Berpikir kritis dapat diajarkan melalui kegiatan laboratorium, penemuan, pekerjaan
rumah yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan ujian yang dirancang untuk
membangun kemampuan berpikir kritis. Pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi (high level
question) dapat mendorong pemikiran kritis yang lebih mandalam. Kemampuan berpikir kritis
dapat ditingkatkan melalui diskusi kelompok yang tertata dan dibimbing langsung oleh guru.

11
Berpikir kritis dapat dibangun dengan membangun iklim kelas yang didalamnya
pemikiran dan analisis benar-benar dihargai keberadaanya (Jacobsen,Eggen, & Kauchak, 2009).
Permasalahan pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada pemberian konsep secara
tekstual mengakibatkan kemampuan berpikir kritis siswa kurang berkembang. Berdasarkan
permasalahan tersebut, pendekatan kontekstual yang berlandaskan paradigma konstruktivisme
merupakan salah satu solusi agar siswa tidak hanya mengingat, menghafal dan memahami
konsep. Menurut Martin et al. (2002) dengan landasan konstruktivisme, siswa akan mampu
meningkatkan keterampilan berpikir kritis (Suryawati, 2012). Model, strategi, dan pendekatan
yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa diantaranya: Experiential Learning
(Lestari, 2012), pembelajaran inkuiri (Praptiwi, 2007), strategi pembelajaran Blended Learning
(Cahyadi, 2011), Problem Based Learning (Adnyana, 2008) dan Project Based Learning
(Luthvitasari, 2012).
Model Project Based Learning (PjBL) adalah model pembelajaran yang berfokus pada
ide-ide siswa, yaitu membentuk gambaran sendiri dari topic atau peristiwa yang relevan dan
persoalan yang sesuai dengan pengalaman siswa sehari-hari (Susanti,2008). Model Project
Based Learning (PjBL) didesain agar siswa melakukan investigasi untuk memahami suatu
persoalan (Mahanal,2009). Modal PjBL memiliki enam tahapan diantaranya, start with the
essential question, design a plan for the project, Create a schedule, monitor the student and
progress of the project, asses the outcome, dan evaluate the experience. Model Project Based
Learning (PjBL) memiliki beberapa kelebihan diantaranya meningkatkan motivasi,
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kolaborasi atau kerja kelompok,
dan meningkatkan ketrampilan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya (Susanti, 2008).
Model Project Based Learning (PjBL) memiliki beberapa kelebihan dibandingkan model
berbasis masalah yang lain di antaranya;1) Model Project Based Learning (PjBL) menciptakan
produk akhir sebagai hasil dari proses pemecahan masalah namun masih menitikberatkan pada
ketrampilan prosesnya; 2) Manajemen proyeknya lebih terarah (Schneider, 2005) dan 3)
Meningkatkan ketrampilan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya (Susanti, 2008).

Jurnal Berfikir Kritis 9

Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah


melalui revisi kurikulum. Revisi kurikulum terakhir yang telah dilakukan menghasilkan
Kurikulum 2013 (K-13) yang telah diimplementasi secara bertahap baik jenjang pendidikan
dasar maupun pendidikan menengah. Penerapan K-13 ini diperkuat dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), dan Standar Proses.

12
Dalam Standar Proses dinyatakan bahwa karakteristik pembelajaran menurut K-13
dengan: “.....memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, ....” [1]. Dengan kata lain, proses pembelajaran dilaksanakan dengan
menciptakan lingkungan pembelajaran (learning environment) yang dapat memberikan
kesempatan kepada setiap siswa agar mereka dapat mengembangkan ide-ide dan kreativitas
yang dilakukan secara mandiri sesuai dengan bakat dan minat. Oleh sebab itu, sistem
pembelajaran yang dijelaskan dalam Standar Isi mengarah pada pembelajaran berpusat pada
siswa.
Pembelajaran berpusat pada siswa (students centered learning) adalah suatu pendekatan
dalam pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk memilih bahan pelajaran apa
yang dipelajari dan menentukan bagaimana dan mengapa bahan pelajaran tersebut dipelajari [2].
Dengan demikian, aktivitas pembelajaran seharusnya fokus pada kebutuhan siswa dari pada
kebutuhan guru. Menurut Prins [3] aktivitas pembelajaran demikian akan terwujud jika guru
sebagai perancang dan pelaksana pengajaran seharusnya menerapkan pengajaran berpusat pada
siswa (student-centered instruction).
Collin dan O’Brien [4] menyatakan bahwa jika pengajaran berpusat pada siswa
diterapkan, maka meningkatkan motivasi/minat siswa untuk belajar meningkat, retensi
pengetahuan lebih besar, pemahaman lebih mendalam, dan menunbuhkan sikap lebih positip
terhadap materi pelajaran yang diajarkan. Sebaliknya, praktek pembelajaran yang terjadi di
jenjang pendidikan dasar maupun menengah cenderung pada teacher-centered instruction yang
tidak memberikan pengalaman belajar aktif, tidak menugaskan siswa untuk memecahkan
masalah bersifat open-ended dan permasalahan yang membutuhkan proses berfikir kritis atau
kreatif.
Secara umum, proses pembelajaran yang berlangsung selama 90 menit cenderung
didominasi oleh guru meskipun guru telah berupaya mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam
pembelajaran dengan ngajak siswa untuk untuk mengerjakan jawaban soal di papan tulis.
Meskipun demikian, tidak ada siswa secara spontan/sukarela untuk bersedia mengerjakannya
kecuali ditunjuk oleh guru. Siswa hanya menerima materi yang disampaikan dan tidak
memanfaatkan kesempatan untuk bertanya, namun ketika guru yang bertanya kepada siswa,
hanya sedikit siswa yang dapat memberikan jawaban beserta alasannya. sehingga dapat
dikatakan pengembangan kemampuan berpikir siswa masih kurang, sedangkan fisika merupakan
salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
dalam mempelajari fisika siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah
satunya kemampuan berpikir kritis.
Rendahnya kedua aspek tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan model pembelajaran
yang kurang tepat. Salah satu model pembelajaran yang dianjurkan untuk digunakan dalam
pembelajaran kurikulum 2013 adalah model project based learning. Model project based
learning memberikan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi peserta didik.

13
Menurut Scott [6] model project based learning merupakan model pembelajaran yang ideal
untuk memenuhi tujuan pendidikan abad 21, karena menggunakan prinsip 4c yaitu critical
thinking, communications, collaboration, dan creativity dengan pembelajaran terstruktur dalam
konteks dunia nyata. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Yunus [7] yang
menyimpulkan bahwa model project based learning berpengaruh terhadap hasil belajar fisika
dan kemampuan berpikir kritis, karena melalui pembelajaran berbasis proyek siswa dilibatkan
untuk menyelesaikan suatu proyek yang mengarah pada pengaplikasian secara proses berpikir
kritis. Selanjutnya hasil penelitian Roziqin [8] menyatakan bahwa model project based learning
berpengaruh signifikan terhadap minat belajar siswa pada pembelajaran siswa, model project
based learning membuat siswa lebih tertarik dan terlibat aktif dalam pembelajaran fisika. Hal ini
disebabkan model project based learning berorientasi pada aktivitas-aktivitas yang mendukung
terjadinya pemahaman konsep, prinsip, dan prosedur dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh model project
based learning terhadap minat belajar fisika dan kemampuan berfikir kritis. Permasalahan
penelitian dan hipotesis dirumuskan dengan berdasarkan pada hasil penelitian sebelumnya.
Permasalahaan penelitian secara umum adalah Apakah penerapan pembelajaran project based
learning berpengaruh terhadap minat belajar fisika dan kemampuan berfikir kritis siswa SMA
Negeri 1 Kota Bengkulu ? Sedangkan permasalahan penelitian yang diteliti adalah (1) Apakah
terdapat perbedaan yang signifikan terhadap minat belajar fisika antara siswa-siswa yang
dibelajarkan dengan project based learning dengan pemecahaan masalahan melalui penugasan
dan (2) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berfikir kritis antara
siswa-siswa yang dibelajarkan dengan project based learning dengan pemecahaan masalahan
melalui penugasan.

Jurnal Berfikir Kritis 10

Pendidikan merupakan salah satu pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan


kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab[1]. Tujuan pendidikan nasional ini diharapkan mampu menghasilkan Sumber Daya
Manusia yang memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja produktif, memiliki kecakapan
hidup menentukan prioritas kerja, mengevaluasi diri, memanajemen waktu dan memecahkan
masalah sesuai dengan kebutuhan keterampilan pada abad ke-21 (21st century skill).
Pendidikan Nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Bangsa
Indonesia yang hidup sejahtera dan bahagia, mempunyai kedudukan yang terhormat dan setara
dengan bangsa lain dalam dunia global melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari

14
sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan
berkemampuan mewujudkan cita-cita bangsanya sesuai dengan Permendikbud No 21 Tahun
2016[2]. Pendidikan hendaknya mampu menciptakan generasi emas yang mampu berkompetisi
dalam masyarakat global. Tuntutan zaman yang semakin kompetitif membuat masyarakat harus
produktif[3]. Kemajuan teknologi informasi komunikasi juga merubah gaya hidup masyarakat,
baik dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi di lingkungan. Salah satu cara pemerintah
memajukan dunia pendidikan adalah melakukan perubahan kurikulum, hingga diberlakukan
kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 menuntut guru mengubah kebiasaan mengajar. Pembelajaran yang
biasanya berpusat pada guru harus berubah pola menjadi berpusat pada peserta didik. Menurut
Permendikbud No 22 Tahun 2016 menyatakan bahwa proses pembelajaran diselerenggakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang untuk mengembangkan krativitas peserta didik[4].
Pembelajaran yang dilaksanakan seharusnya mampu menyiapkan peserta didik menghadapi
abad 21[5]. Guru harus berperan sebagai fasilitator, membimbing dan mengarahkan peserta
didik agar berpikir kritis dalam pembelajaran[6]. Salah satu fokus pelaksanaan kurikulum 2013
adalah mewu judkan pembelajaran abad 21 yaitu 4C (critical thin king, creativity, collaboration
and communication).
Salah satu kemampuan yang diharapkan dalam pembelajaran abad 21 adalah berpikir
kritis. Berpikir kritis adalah faktor utama dalam pembelajaran fisika. Berpikir kritis perlu
pembiasaan, dilatih secara bertahap dan berkesinambungan. Pembiasaan berpikir kritis dapat
dilakukan dengan mengkondisikan peserta didik menemukan masalah dan mencari solusi dari
permasalahan tersebut. Permasalahan yang diambil adalah nyata dari kehidupan sehari-hari,
sehingga peserta didik dapat berpartisipasi aktif baik secara individu maupun kelompok
memecahkan permaslahan tersebut.
Kemampuan berpikir kritis dapat dicapai oleh peserta didik jika guru menggunkan
strategi pembelajaran yang membangun pengetahuan atau konsep. Menurut Ahlam dan Gober
dengan pembelajaran berpikir kritis membuat peserta didik terintervensi untuk meningkatkan
rasa ingin tahunya[7]. Kemampuan berpikir kritis merupakan faktor utama dalam pembelajaran
fisika. Berpikir kritis dapat dilatih dengan menghadapkan peserta didik pada perma salahan yang
nyata kemudian melakukan penelitian ilmiah melalui proyek atau praktikum untuk mencari
solusi dari permasalahan tersebut,. Sampai akhirnya peserta didik memperoleh kesimpulan
dengan konsep yang benar.
Permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran fisika adalah penggunaan
model pembelajaran yang belum optimal. Penggunaan model pembelajaran yang kurang sesuai
dengan kemampuan peserta didik membuat suasana belajar yang monoton bahkan
membosankan. Hal ini membatasi kemampuan peserta didik dalam menemukan dan mencoba
hal-hal baru. Guru sering menyamakan model pembelajaran untuk semua kompetensi dasar,

15
padahal setiap tuntutan kompetensi dasar berbeda-beda. Solusi dari perma salahan ini adalah
guru hendaknya benar-benar memperhatikan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik
di setiap materi baru menentukan model pembelajaran yang sesuai.
Fisika termasuk mata pelajaran yang dianggap rumit oleh peserta didik. Guru masih
mengajarkan fisika sebatas teori tanpa praktek. Peserta didik cenderung menghapal rumus,
hukum-hukum dan kosnep fisika. Hal ini menyebabkan antusias peserta didik dalam belajar
fisika berkurang. Kompetensi peserta didik dalam mengajukan pertanyaan dan berdiskusi
dengan guru masih belum optimal. Peserta didik belum berpikir kritis menemukan konsep dan
mencari solusi permasalahan fisika yang ditemuinya. Kurangnya minat belajar peserta didik
menyebabkan penguasaan konsep dan keterampilan fisika masih rendah.
Guru-guru sudah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kompetensi peserta didik
dalam belajar fisika. Diantaranya, para guru sudah melakukan diskusi, pelatihan, workshop,
seminar, dan pertemuan MGMP untuk membahas cara yang tepat memperbaiki cara mengajar
yang sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik. Meskipun sudah dilakukan berbagai
upaya perbaikan kurikulum mulai dari MGMP masih saja terdapat kelemahan. Jika hal ini
dibiarkan terus tanpa mencari strategi yang tepat akan menyebabkan kegagalan perbaikan
kualitas proses dan hasil belajar[8]. Hal ini menyebabkan tujuan pendidikan nasional abad 21
tidak tercapai.
Salah satu model pembelajaran yang dapat menjawab permasalahan di atas adalah model
pembelajaran berbasis proyek. Project based learning merupakan pembelajara kreatif dan
inovatif yang berpusat pada peserta didik (student centered) dan menempatkan guru sebagai
motivator dan fasilitator, di mana peserta didik diberi peluang bekerja secara mandiri ataupun
kelompok untuk mengkonstruksi belajarnya. Model project based learning merupakan
pembelajaran inovatif yang menempatkan guru sebagai motivator dan fasilitator[9]. Guru dapat
mengarahkan peserta didik pada permasalahan secara nyata kemudian penyelesaiannya
melibatkan kerja proyek untuk bertindak maupun berpikir kritis. Dalam penelitian Yance
menyimpulkan bahwa model project based leraning dapat meningkatkan hasil belajar fisika
pada ranah afektif, kognitif dan psikomotorik[10]. Sebanding dengan penelitian Condliffe yang
menyimpulkan bahwa model project based learning mampu memberikan dan keterampilan
kolaborasi[11]. Pembelajaran fisika dengan model project based learning memberikan ruang
bebas bagi peserta didik untuk membangun pengetahuan dan mengembangkan keterampilannya.
Pembelajaran dengan model project based learning dapat memecahkan permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari karena peserta didik dapat secara langsung menemukan konsep melalui
praktikum. Menurut Brigili dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik dituntut
berpartisipasi aktif untuk menciptkan solusi inovatif melalui pengalaman yang dialaminya[12].
Hal ini akan membuat peserta didik lebih berpikir kritis dan kreatif dalam pembelajaran.
Pembelajaran model project based learning yang diadaptasi dari Mergendoller,et al[13]
meliputi: (1) perencaaan proyek (project planning), (2) pelaksanaan proyek (project launch), (3)

16
penyelidikan terbimbing dan pembuatan produk (guided inquiry and product creation), dan (4)
kesimpulan proyek (project conclusion).
Pembelajaran model project based learning mendorong peserta didik melakukan
penyelidikan secara kolaboratif. Peserta didik dapat membuat proyek yang menantang untuk
mencari solusi dari permasalahan nyata dalam kehidupan dengan berinteraksi dengan
lingkungannya. Model project based learning sangat efektif untuk mengajarkan peserta didik
melakukan proses yang kompleks mulai dari perencanaan, komunikasi, pemecahan masalah, dan
pengambilan keputusan[14]. Pembelajaran model project based learning membuat peserta didik
aktif sehingga sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 menghadapi abad 21.
Langkah-langkah pembelajaran dalam project based learning yang dikembangkan oleh
Lucas dalam Badar, 2014 terdiri dari[15]: (1) Pertanyaan esensial. Topik yang diambil sesuai
dengan dunia nyata dan dimulai dengan investigasi mendalam. Pertanyaan esensial diajukan
untuk memancing pengetahuan, tanggapan, kritik dan ide peserta didik mengenai tema proyek
yang akan diangkat; (2) Perencanaan proyek. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan
aktivitas yang mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial dengan cara mengintegrasikan
berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk
membantu penyelesaian proyek; (3) Membuat jadwal. Guru dan peserta didik secara kolaboratif
menyusun jadwal dalam menyelesaikan proyek. Jadwal disusun untuk mengetahui berapa lama
waktu yang dibutuhkan dalam mengerjakan proyek. (4) Memonitor perkembangan proyek
peserta didik. Guru bertanggung jawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta
didik selama menyelesaikan proyek. (5) Penilaian hasil kerja peserta didik. Penilaian dilakukan
untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi
kemajuan masing-masing peserta didik memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang
sudah dicapai peserta didik, membantu guru dalam menyusun strategi berikutnya; (6) Evaluasi.
Pada akhir proses pembelajaran, guru dan peserta didik melakukan refleksi terhadao aktivitas
dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun
kelompok.
Pembelajaran fisika di sekolah seharusnya dapat membantu peserta didik memecahkan
persoalan yang nyata bukan hanya menguasai teori saja. Oleh karena itu diperlukan model
project based learning yang efektif daoat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Menurut Carind and Sun (dalam Sarjono, 2017)[16] kemampuan berpikir kritis meliputi:
(1) Mengamati atau mengobservasi; (2) Mengklasifikasi; (3) Mengukur; (4) Mengumpulkan dan
mengorganisir data; (5) Menginferensi; (6) Menghipotesis atau membuat dugaan sementara; (7)
Merancang percobaan atau eksperimen atau memecahkan masalah; (8) Mengoperasional suatu
definisi; (9) Meformulasikan suatu model. Fisika merupakan dasar teknologi untuk menciptakan
peralatan-peralatan sehari-hari. Oleh karena itu pembelajaran fisika hendaknya menjadikan
peserta didik dapat terjun ke dunia nyata untuk mengembangkan potensinya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.

17
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, peneliti tertatarik melakukan
metanalisis terhadap jurnal tesis pendidikan dan penelitian tentang model pembelajaran project
based learning. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh model pembelajaran project
based learning terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasil dari metanalisis ini
diharapkan dapat memeberikan keseragaman pandangan atas temuan secara menyeluruh.

Jurnal Berfikir Kritis 11

Salah satu tujuan pendidikan abad 21 adalah membangun kemampuan intelegensi siswa
dalam pembelajaran agar mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
nyata. Bell (2010) menyatakan bahwa pada abad 21, siswa dituntut untuk memiliki keterampilan
berkolabirasi dan berkomunikasi dalam tim sehingga mampu bersaing di dunia kerja.
Keberhasilan siswa dalam mengkosntruk pengetahuannya tidak hanya dari pencapaian tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan, tetapi siswa juga harus mampu menerapkan konsep
pengetahuan yang diperoleh di sekolah untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari secara relevan, berarti, dan kontekstual. Oleh karena itu, guru harus
mampu memberikan pengalaman belajar yang dapat melatih siswa dalam memecahkan
permasalahan yang dijumpai dalam kehidupan nyata melalui proses pembelajaran di sekolah.
Tan (2004) menjelaskan bahwa pembelajaran yang kontekstual, melatih kemampuan berpikir
kritis, menguasai teknologi, kooperatif dan berkolaborasi sangat dipelukan dalam memecahkan
masalah abad 21.
Project Based Learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang
mengembangkan keterampilan yang dituntut di abad 21 ini. Ledward dan Hirata (2011)
menjelaskan bahwa melalui proyek, siswa akan terlatih menghadapi dunia kerja yang
membutuhkan kemampuan mereka dalam mengakses, mesintesis, mengomunikasikan infomasi,
dan bekerja sama memecahkan masalah yang kompleks. Sejalan dengan pendapat di atas, Bell
(2010) juga menjelaskan bahwa Project-Based Learning (PjBL) adalah salah satu pendekatan
inovatif dalam pembelajaran yang mengajarkan multstrategi yang kritis untuk keberhasilan
siswa pada abad 21 ini.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dibutuhkan strategi pembelajaran yang mampu
meningkatkan motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa melalui kegiatan
pembelajaran kimia yang menekankan aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis
siswa adalah Project Based Learning (PjBL). Melalui kegiatan proyek yang diintegraskan
dengan kearifan lokal masyarakat setempat, siswa akan memperoleh pengalaman belajar yang
tidak hanya mampu melatih keterampilan kominikasi dan kolaborasi yang dibutuhkan pada abad
21 ini, namun juga mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran
kimia, khususnya materi koloid.

18
Jurnal Berfikir Kritis 12

Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk bekerja bersama-sama dan untuk


memecahkan masalah merupakan hal penting dalam pendidikan. The ATCS21 (Assessing and
Teaching 21st Century Skills) Project proposes ways of thinking; tools for working; ways of
working; and ways of living in the world as the skills needed for the 21st century (Care, Griffin,
& Wilson, 2017). Salah satu aspek ways of thinking adalah berpikir kritis. Banyak peneliti
seperti Dewey, Glaser dan Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif dan
logis (Gotoh, 2016). The Association of American Colleges and Universities (AACU) defines
critical thinking As a habit of mind characterized by the comprehensive exploration of issues,
ideas, artifacts, and events before accepting or formulating an opinion or conclusion
(McCuen@aacu.org, 2014).
Peneliti mendefinisikan berpikir kritis sebagai sekumpulan kemampuan yang berperan
dalam memecahkan masalah dengan logis dan reflektif, dan keduanya saling terkait dalam
proses penyelesaian masalah secara metakognitif. Metacognitive regulation is the regulation of
cognition and learning experiences through a set of activities that help people control their
learning (Flavell, 1979). Metakognisi ini meliputi proses memilih, mencari, bertanya, membagi,
menyusun hipotesis, dan proses pembuatan keputusan (Sumarmi, 2012). Berpikir kritis yang
merupakan kemampuan metakognitif dapat dikembangkan. Mengembangkan metakognisi
berarti mengembangkan berpikir kritis. Metakognisi didapat pada tiap-tiap mata pelajaran
Mengembangkan berpikir kritis peserta didik dapat dilakukan melalui penggunaan model
pembelajaran yang tepat. Grant menyatakan bahwa model pembelajaran yang tepat digunakan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis adalah model pembelajaran Project Based
Learning (Grant, 2002). Model pembelajaran ini mempunyai keunggulan; meningkatkan
motivasi, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, meningkatkan kolaborasi, dan
meningkatkan kemampuan mengelola sumber (Sumarmi, 2012).
Project based learning merupakan pembelajaran yang berawal dari pertanyaan mendasar
yang diakhiri dengan sebuah produk. Project based learning bersumber dari Project Method
yang dicetuskan oleh Kilpatrick (Krajcik & Blumenfeld, 2006). Dalam project based learning,
pembelajaran menggunakan sintaks (1) peserta didik mengajukan pertanyaan mendasar; (2)
peserta didik menyusun proyek; (3) peserta didik merencanakan proyek; (4) peserta didik
mengerjakan proyek; (5) guru melakukan monitoring; (6) evaluasi (DeFillippi, 2001). Dalam
setiap sintaks model ini, peserta didik merupakan pusat pembelajaran dan memiliki keleluasaan
dalam belajar.
Project based learning berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mampu
meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik. Penelitian yang dilakukan Oktavianto (2017)
menyatakan bahwa Project Based Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir spasial.
Hal ini dapat terjadi karena (1) peserta didik menjadi tertantang untuk menyelesaikan masalah
nyata, (2) peserta didik semakin aktif dalam pembelajaran, (3) kinerja peserta didik selama

19
pelaksanaan proyek lebih teratur, (4) peserta didik memiliki keleluasaan dalam penyelesaian
proyek, dan (5) peserta didik bersemangat dalam berkompetisi menghasilkan proyek terbaik
(Oktavianto, 2017). Kelima hal tersebut diharapkan dapat pula memberi dampak penggunaan
Project Based Learning terhadap kemampuan berpikir kritis.
Hasil penelitian tentang pengaruh dan penerapan project based learning terhadap
keterampilan berpikir kritis telah banyak dilakukan di berbagai bidang studi. Project based
learning dapat berpengaruh positif terhadap kemampuan yang dibutuhkan untuk kehidupan
Abad 21, salah satunya kemampuan berpikir kritis (Bell, 2010). Mengajarkan kemampuan
berpikir kritis sejalan dengan mengajarkan kemampuan penyelesaian masalah, keduanya dapat
dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran project based learning (Snyder & Snyder,
2008). Project based learning terbukti berhasil dalam meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berpikir kritis peserta didik (Angel, Duffey, & Belyea, 2000).
Project based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis disebabkan oleh
berbagai faktor. Project based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis karena
model ini meningkatkan motivasi peserta didik (Blumenfeld et al., 1991). Model ini membuat
peserta didik lebih dapat memaknai pengetahuannya, sehingga keterampilan berpikir kritisnya
meningkat (Wals & Jickling, 2002). Objek yang dijadikan material project based learning yang
kontekstual dan berada di sekitar lingkungan peserta didik akan memberi dampak meningkatnya
kemampuan berpikir kritis peserta didik (Kurubacak, 2007). Berpikir kritis didapatkan oleh
peserta didik karena motivasi peserta didik meningkat, peserta didik lebih mudah memaknai
materi dan didukung oleh materi yang kontekstual.

Jurnal Berfikir Kritis 13

Memasuki era revolusi industri 4.0 pada abad ke-21, semua aktivitas manusia di dominasi
oleh produk berteknologi tinggi, seakan-akan setiap manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Hal
tersebut membuktikan bahwa sains dan teknologi berkembang sangat pesat, sehingga dampaknya
tidak bisa dihindari namun harus dihadapi dan dikuasai. Pada abad ke-21 tuntutan kerja
menginginkan para pekerja yang memiliki berbagai keterampilan yang harus dikuasai. Keterampilan
abad ke-21 tersebut meliputi: kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas dan
inovasi, kolaborasi, komunikasi, literasi informasi, literasi media, literasi teknologi, fleksibilitas dan
kemampuan beradaptasi, kepemimpinan dan tanggung jawab, inisiatif, produktivitas, akuntabilitas,
serta interaksi sosial dan lintas budaya. ( 1Archambault et.al,2010; 2 Fajri et.al, 2020; 3 Kendra &
Vihar, 2020; 4Laar et.al, 2020; 5Rayna & Striukova, 2020). Sementara itu, 6Zubaidah (2019)
mengemukakan bahwa keterampilan abad ke-21 yaitu terdiri dari keterampilan berpikir kreatif,
keterampilan berpikir kritis (critical thinking & problem solving), kolaborasi (collaboration),
komunikasi (communication) dan kreativitas (creativity & innovation) yang dikenal dengan 4C.
Keterampilan tersebut sangat mungkin untuk di berdayakan secara sengaja melalui proses
pendidikan.

20
Dalam dunia pendidikan pengembangan keterampilan abad ke 21 telah diupayakan.
Beberapa upaya tersebut diterapkan melalui perubahan kurikulum nasional menjadi kurikulum 2013
berbasis pembelajaran abad ke-21, sehingga tercipta generasi yang unggul dan handal dalam
menghadapi era globalisasi. Hal tersebut sejalan dengan peraturan UU RI No. 20 Tahun 12003
bahwa pendidikan berfungsi untuk membentuk dan mengembangkan watak serta peradaban yang
bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ( 7Salma, 2017). Hal ini juga sesuai dengan
kebijakan kementrian pendidikan dan kebudayaan tahun 2016 bahwa standar kompetensi lulusan
siswa pada tingkat SMA/SMK harus memiliki kemampuan berpikir, bertindak kreatif, kritis,
produktif, mandiri, kolaboratif dan komunikati ( 8Ismayani, 2016). Oleh karenanya, upaya untuk
menanamkan dan melatih keterampilan berpikir siswa sangat penting untuk diperhatikan dalam
kurikulum sekolah. Namun pada kenyataannya, proses pembelajaran di Indonesia masih sangat
sedikit yang secara sengaja mengarahkan peserta didik dalam meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Sebagai akibatnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih cukup rendah.
Keterampilan berpikir kreatif adalah suatu kemampuan untuk memberikan solusi dalam
memecahkan suatu masalah, sehingga dapat menciptakan sesuatu yang baru atau sesuatu yang
berbeda dari yang lain (12Marliani, 2015). Dengan berpikir kreatif, siswa mampu memandang dunia
dari berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan solusi-solusi baru untuk menyelesaikan suatu
masalah dalam kehidupan nyata (13Sumarni, 2019). Selain itu, berpikir kritis merupakan suatu aspek
kognitif yang berfungsi untuk mengidentifikasi suatu masalah sehingga dapat menemukan suatu
solusi dan menghasilkan sebuah keputusan atau pertimbangan yang diolah secara logis dalam
memecahkan suatu masalah tersebut 2(14Khoiriyah, 2018). Maka dari itu, Keterampilan berpikir
kritis sangat penting dalam mengembangkan kemampuan kogntif dan menyimpan informasi secara
efektif (15Herzon, 2018). Rendahnya kemampuan berpikir kreatif dan kritis antara lain disebabkan
oleh kegiatan pembelajaran Biologi yang dilaksanakan selama ini masih terbatas melalui pemberian
ceramah, diskusi dan praktikum yang masih berpatokan kepada pengarahan guru (Teacher Centered
Learning).
Adapun pembelajaran PjBL adalah suatu aktivitas berpikir yang dapat meningkatkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi ( 22Rahayu dkk, 2017). Model pembelajaran PjBL memiliki
kelebihan dalam meningkatkan kebiasaan belajar dan memotivasi siswa untuk berpikir secara
orisinal dalam memecahkan suatu masalah dalam kehidupan nyata. Pada pembelajaran proyek guru
sebagai fasilitator, berkolaborasi dengan siswa dalam membuat pertanyaan yang bermanfaat dan
tugas yang bermakna, sehingga dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sosial serta
menilai siswa dari pengalaman belajarnya. (23Efstratia, 2014).
Selain itu, PjBL dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa ( 24Warsono, 2016).
3 Pada saat pembuatan proyek siswa harus terlibat dalam penyelesaian masalah, mengambil
keputusan, atau aktivitas investigasi, sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk mandiri
dalam menghasilkan suatu produk dan presentasi yang realistis ( 25Mihardi et.al, 2013). Dengan
demikian, Pembelajaran berbasis proyek (PjBL) sangat ideal dalam mewujudkan tujuan pendidikan
abad ke-21 karena bersifat kontekstual, sehingga dapat memberdayakan kemampuan berpikir kreatif
dan kreatif siswa.

21
Jurnal Berfikir Kritis 14

Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan fundamental pada pembelajaran


abad ke-21 (P21 2007a). Berpikir kritis merupakan kemampuan seseorang dalam menganalisis
sebuah ide atau gagasan secara logis, sistematis, reflektif dan produktif yang digunakan untuk
membantu dalam megevaluasi, membuat, serta mengambil sebuah keputusan sehingga berhasil
dalam memecahkan suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Model pembelajaran Project
Based Learning merupakan model pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis (Grant, 2002). Mengajarkan kemampuan berpikir kritis sejalan dengan
mengajarkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Keduanya dapat dilakukan secara
bersamaan dengan menerapkan model pembelajaran Project Based Learning (Snyder dan
Snyder, 2008).
Dalam model pembelajaran Project Based Learning terdapat beberapa masalah yang
perlu diselesaikan. Pemecahan masalah tersebut dapat memberikan pengaruh positif pada siswa
karena mengajarkan pengalaman dalam konteks nyata yang diperlukan untuk belajar dan
membangun pengetahuan yang bermakna sehingga siswa menjadi terbiasa untuk berlatih
berpikir kritis. Dalam model pembelajaran ini, guru memiliki peran sebagai fasilitator dan
motivator. Guru kemudian mengevaluasi proyek hasil kerja peserta didik yang akan ditampilkan
di depan kelas (Musa, Mufti, Latiff, dan Amin, 2012).
Berdasarkan pengalaman mengajar dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti
selama kegiatan PPP (Program Pengelolaan Pembelajaran) di SMK Negeri 2 Boyolangu
Tulungagung, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan
khususnya pada kelas XI di sekolah tersebut cenderung menerapkan model pembelajaran
konvensional yang berpusat pada guru dengan urutan ceramah, tanya jawab, dan penugasan
yang menyebabkan kurangnya kreatifitas dan keaktifan siswa dalam proses belajar sehingga
kurang melatih siswa dalam memahami, menyerap, dan merespon suatu materi dan
permasalahan. Dengan adanya keaktifan bertanya, menjawab pertanyaan, mengemukakan ide
dan kreatifitas dalam menyelesaikan permasalahan dapat melatih siswa untuk memiliki
kemampuan berpikir kritis. Banyak siswa belum mampu dalam mengemukakan gagasan atau ide
yang dimilikinya karena dalam penerapan model pembelajaran konvensional, tugas proyek
dikerjakan secara individu. Siswa belum mampu dan merasa kesulitan dalam menentukan
sendiri produk yang akan mereka buat untuk direalisasikan pada pemecahan suatu masalah
ketika diberikan tugas proyek untuk membuat perencanaan produk usaha.
Hasil yang diharapkan dengan diterapkannya model pembelajaran Project Based
Learning pada mata pelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan adalah agar siswa mampu
mengembangkan kemampuan berpikir kritis sehingga dapat menguasai kompetensi dasar
peluang usaha dan perencanaan produk usaha. Proyek yang diberikan merupakan penerapan dari
materi dan pokok bahasan yang telah disampaikan pada proses pembelajaran. Pada akhirnya

22
siswa akan memahami inti dan konsep dari materi tersebut dengan adanya proyek yang telah
mereka lakukan sehingga akan mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis.

Jurnal Berfikir Kritis 15

Situasi pendidikan abad 21 sebagai abad pengetahuan atau The Age of Knowledge adalah
sebuah masa dimana guru dan siswa sama-sama menjadi pebelajar. Saingan guru bukan lagi
hanya televisi tetapi juga ‘guru-guru lain yang ada di media sosial’ .Project based learning
memberikan siswa kesempatan membangun keterampilan abad 21 seperti kolaborasi,
komunikasi, berpikir kritis dan penggunaan teknologi yang akan bermakna-guna di dalam dunia
kerja dan kehidupan nyata (Larmer & Mergendoller, 2010). Siswa juga dapat mempresentasikan
proyek terhadap komunitas diluar kelas. Proyek dapat juga memotivasi siswa dengan motivasi
rendah, serta yang berpandangan serta memandang belajar membosankan dan tidak berguna,
untuk melihat makna dan nilai dari pembelajaran (Buck Institute for Education, 2010). Sesuai
perkembangan jaman project based learning sekarang dapat dirancang menggunakan atau
menggabungkan teknologi informasi, teknologi komputer, internet teknologi dan multimedia
(Chang, 2009).

Jurnal Berfikir Kritis 16

Model PjBL memfasilitasi peserta didik untuk membuat produk dalam rangka
menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata. Proyek pembuatan produk dapat dilakukan
secara individu maupun kelompok. Model project based learning dinilai cocok dengan
karakteristik peserta didik pada tingkat mahasiswa karena pelaksanaan proyek menuntut
tanggungjawab yang tinggi. Peserta didik membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi
untuk dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kehidupan nyata. Dalam pelaksanaan proyek peserta didik dituntut untuk mampu memahami
konsep dengan baik sekaligus menghasilkan produk yang berhubungan dengan konsep tersebut.
Dalam PjBL, Peserta didik dimungkinkan untuk memilih sendiri proyek yang akan dikerjakan,
selain itu kegiatan pembelajaran diatur untuk belajar aktif dan kerja sama tim [5].

Jurnal Berfikir Kritis 17

Pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dan
arus globalisasi yang semakin hebat memunculkan berbagai macam persaingan. Salah satu cara
yang ditempuh dalam menghadapi persaingan di bidang pendidikan yakni melalui peningkatan
mutu pendidikan. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tersebut, Pemerintah berusaha
melakukan perbaikan-perbaikan agar mutu pendidikan meningkat, diantaranya perbaikan
kurikulum dengan disahkannya Permendiknas nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar
dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, kurikulum

23
dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir pembelajaran yang berpusat pada guru
menjadi pembelajaran berpusat pada siswa, pola pembelajaran yang aktif dan kritis, agar
tercapai tujuan dalam kurikulum 2013 yakni untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, proaktif, kreatif,
inovatif dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara dan peradaban dunia dapat tercapai.
Guru berperan penting dalam memajukan dan mengembangkan pendidikan. Seorang
guru memikul tanggung jawab besar dalam proses pendidikan karena dari pembelajaran yang
diberikan oleh guru di sekolah siswa dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri.
Potensi yang ada dalam diri siswa dapat menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran.
Para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus dihargai
kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Oleh
karena itu, dalam proses pembelajaran perlu adanya suasana yang terbuka, akrab dan saling
menghargai. Sebaliknya perlu menghindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan
ketegangan dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif,
tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kebosanan (Dasim Budimansyah, 2002).
Perubahan kurikulum 2013 juga membahas mengenai model pembelajaran yang digunakan.
Model pembelajaran yang disarankan dalam kurikulum 2013 adalah model pembelajaran Project
Based Learning, Discovery Learning, dan Problem Based Learning.
Sedangkan kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan dalam bernegara karena dalam keseharian siswa sering menghadapi masalah-masalah
sosial atau masalah-masalah yang berkaitan dengan kewarganegaraan, dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut siswa tidak hanya mengandalkan kemampuan kognitif, tetapi harus
ada kemampuan lain yakni berpikir kritis. Mengingat pentingnya berpikir kritis dimiliki, maka
guru diharapkan mampu melaksanakan proses pembelajaran dengan baik untuk menumbuhkan
kemampuan berpikir kritis.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian, keterampilan berpikir kritis dapat ditingkatkan
dengan model pembelajaran. Namun demikian, tidak semua model pembelajaran secara otomatis
dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Hanya model pembelajaran tertentu yang akan
meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran yang dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis, paling tidak mengandung tiga proses, yakni (a) penguasaan materi,
(b) internalisasi, dan (c) transfer materi pada kasus yang berbeda. Penguasaan siswa atas materi,
dapat cepat atau lambat dan dapat dalam atau dangkal. Kecepatan atau kelambatan dan
kedalaman atau kedangkalan penguasaan materi dari siswa sangat tergantung pada cara guru
melaksanakan proses pembelajaran; termasuk dalam menggunakan model pembelajaran yang
sesuai dengan karakter materi pembelajaran yang dipelajari.
Internalisasi merupakan proses pengaplikasian materi yang sudah dikuasai dalam frekuensi
tertentu, sehingga apa yang telah dikuasai, secara pelan-pelan terpateri pada diri siswa, dan jika

24
diperlukan akan muncul secara otomatis. Mengaplikasikan suatu pengetahuan yang dikuasai
amat penting artinya bagi pengembangan kerangka pikir. Akan lebih penting lagi apabila
aplikasi dilakukan pada berbagai kasus atau konteks yang berbeda. Sehingga terjadi proses
transfer of learning, dengan transfer of learning akan terjadi proses penguatan critical thinking.
Trianto (2007:19) menjelaskan bahwa proses pembelajaran akan lebih bermakna jika guru hanya
memandu siswa pada tahap awal dalam menguasai pembelajaran, selanjutnya siswa memiliki
tanggung jawab belajar sendiri tentang materi dalam pembelajaran. Peserta didik lebih aktif dan
siswa lebih dominan dalam pembelajaran, sehingga guru hanya membantu dalam proses
pembelajaran awal, siswa menggali pemahaman dan materi pembelajarannya sendiri. Berpikir
kritis merupakan hal yang sangat penting karena berpikir kritis dapat menumbuhkan
kemampuan siswa dalam mengambil keputusan rasional tentang apa yang harus dilakukan (Nur,
2011:17).
Proses berpikir kritis dapat digambarkan seperti metode ilmiah. Steven (1991)
mengutarakan bahwa berpikir kritis adalah metode tentang penyelidikan ilmiah, yaitu:
mengidentifikasi masalah, merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data-data yang
relevan, menguji hipotesis secara logis dan evaluasi serta membuat kesimpulan yang reliable.
Krulik dan Rudnick (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi masalah. Termasuk di dalam
berpikir kritis adalah mengelompokan, mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis
informasi. Berpikir kritis memuat kemampuan membaca dengan pemahaman dan
mengidentifikasi materi yang diperlukan dengan yang tidak ada hubungan. Hal ini juga berarti
dapat menggambarkan kesimpulan dengan sempurna dari data yang diberikan, dapat
menentukan ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam kelompok data. Berpikir kritis adalah
analitis dan reflektif.
Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk
membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau
melakukan sesuatu. Dari definisi Ennis tersebut dapat diungkapkan beberapa hal penting.
Berpikir kritis difokuskan ke dalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah
pada sebuah tujuan. Tujuan dari berpikir kritis akhirnya memungkinkan kita untuk membuat
keputusan.
Matindas Juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak terlalu membedakan
antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada perbedaan besar antara keduanya yakni
bahwa berpikir kritis dilakukan untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya
dibutuhkan untuk membuat kesimpulan. Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula
pemikiran logis yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.
Zamroni dan Mahfudz (2009:29) menjelaskan enam argumen yang menjadi alasan
pentingnya keterampilan berpikir kritis dikuasai siswa. Pertama perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat akan menyebabkan informasi yang diterima siswa

25
semakin banyak dan beragam, baik sumber maupun esensi informasinya. Oleh karena itu siswa
dituntut untuk memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah informasi yang baik dan benar
sehingga dapat memperkaya khazanah pemikiran. Kedua, siswa merupakan kekuatan yang
berdaya tekan tinggi (people power) oleh karena itu agar kekuatan itu dapat terarah ke arah yang
semestinya (selain komitmen yang tinggi terhadap moral) maka mereka perlu dibekali
kemampuan yang memadai. Ketiga, siswa adalah warga masyarakat yang kelak akan menjalani
kehidupan yang semakin kompleks. Hal ini menuntut mereka memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi secara kritis. Selanjutnya hal penting mengenai berpikir
kritis keempat, adalah berpikir kritis merupakan kunci menuju berkembang kreativitas yang
muncul karena melihat fenomena-fenomena atau permasalahan yang kemudian akan menuntut
kita untuk berpikir kreatif. Kelima, banyak pekerjaan yang langsung atau tidak langsung
membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Keenam, setiap saat manusia dihadapkan pada
pengambilan keputusan, mau ataupun tidak, sengaja atau tidak akan memerlukan kemampuan
berpikir kritis.
Menurut Ruland (2003:3) berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada suatu
standar yang disebut universal intelektual standart. Universal intelektual standart adalah
standarisasi yang harus diaplikasi dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas
pemikiran dalam merumuskan masalah, isu-isu atau situasi-situasi tertentu. Universal intelektual
standart meliputi: kejelasan (Clarity), keakuratan, ketelitian, keseksamaan (accuracy), ketepatan
(Precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth). Kemampuan dalam berpikir
kritis akan memberikan arahan yang lebih tepat dalam berpikir dan membantu lebih akurat
dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan lainnya. Oleh sebab itu kemampuan berpikir
kritis sangat diperlukan dalam pemecahan masalah atau pencarian solusi.
Berpikir kritis dapat ditingkatkan melalui empat cara yakni: pertama dengan
menggunakan model pembelajaran, kedua pemberian tugas yang mengkritisi, ketiga penggunaan
cerita dan yang keempat penggunaan model pertanyaan Socrates. Model pembelajaran dapat
meningkatakan kemampuan berpikir kritis namun tidak semua model pembelajaran dapat
meningkatkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan berpikir kritis paling tidak
mengandung tiga proses antara lain, pertama penguasaan materi, kedua internalisasi dan ketiga
transfer materi pada kasus yang berbeda (Zamroni dan Mahfudz, 2009:30).
Menurut Potter, (2010: 6) ada tiga alasan keterampilan berpikir kritis diperlukan.
Pertama, adanya ledakan informasi. Saat ini terjadi ledakan informasi yang datangnya dari
puluhan ribu web mesin pencari di intrnet. Informasi dari berbagai sumber tersebut bisa jadi
banyak yang ketinggalan zaman, tidak lengkap, atau tidak kredibel. Untuk dapat menggunakan
informasi ini dengan baik, perlu dilakukan evaluasi terhadap data dan sumber informasi tersebut.
Kemampuan untuk mengevalusi dan kemudian memutuskan untuk menggunakan informasi
yang benar memerlukan keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, maka keterampilan
berpikir kritis sangat perlu dikembangkan pada siswa. Kedua, adanya tantangan global. Saat ini

26
terjadi krisis global yang serius, terjadi kemiskinan dan kelaparan di mana-mana. Untuk
mengatasi kondisi yang krisis ini diperlukan penelitian dan pengembangan keterampilan-
keterampilan berpikir kritis. Ketiga, adanya perbedaan pengetahan warga negara. Sejauh ini
mayoritas orang di bawah 25 tahun sudah bisa meng-online-kan berita mereka. Beberapa
informasi yang tidak dapat diandalkan dan bahkan mungkin sengaja menyesatkan, termuat di
internet. Supaya siswa tidak tersesat dalam mengambil informasi yang tersedia begitu banyak,
maka perlu dilakukan antisipasi. Siswa perlu dilatih untuk mengevaluasi keandalan sumber web
sehingga tidak akan menjadi korban informasi yang salah atau bias.
Sedangkan menurut Dede Rosyada (2004:170) kemampuan berpikir kritis (critical
thinking) adalah menghimpun berbagai informasi lalu membuat sebuah kesimpulan evaluatif
dari berbagai informasi tersebut. Inti dari kemampuan berpikir kritis adalah aktif mencari
berbagai informasi dan sumber, kemudian informasi tersebut dianalisis dengan pengetahuan
dasar yang telah dimiliki peserta didik untuk membuat kesimpulan. Begitu pula menurut Bhisma
Murti (2009:1), berpikir kritis meliputi penggunaan alasan yang logis, mencakup ketrampilan
membandingkan, mengklasifikasi, melakukan pengurutan, menghubungkan sebab dan akibat,
mendeskripsikan pola, membuat analogi, menyusun rangkaian, peramalan, perencanaan,
perumusan hipotesis, dan penyampaian kritik.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa menurut para ahli,
antara lain (a) Kondisi fisik, menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik adalah
kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Ketika kondisi
fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan pada situasi yag menuntut pemikiran yang
matang untuk memecahkan suatu masalah maka kondisi seperti ini sangat mempengaruhi
pikirannya. Ia tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak
memungkinkan untuk bereaksi terhadap respon yanga ada. (b) Motivasi, Kort (1987)
mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal dan eksternal. Motivasi adalah upaya
untuk menimbulkan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga seseorang agar mau
berbuat sesuatu atau memperlihatkan perilaku tertentu yang telah direncanakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk memberi
motivasi pada diri demi mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi terlihat dari kemampuan atau
kapasitas atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko, menjawab pertanyaan, menentang
kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik, mempergunakan kesalahan sebagai
kesimpulan belajar, semakin cepat memperoleh tujuan dan kepuasan, mempeerlihatkan tekad
diri, sikap kontruktif, memperlihatkan hasrat dan keingintahuan, serta kesediaan untuk
menyetujui hasil perilaku. (c) Kecemasan, keadaan emosional yang ditandai dengan kegelisahan
dan ketakutan terhadap kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini (2000) kecemasan
timbul secara otomatis jika individu menerima stimulus berlebih yang melampaui untuk
menanganinya (internal, eksternal). Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat; 1) konstruktif,
memotivasi individu untuk belajar dan mengadakan perubahan terutama perubahan perasaan

27
tidak nyaman, serta terfokus pada kelangsungan hidup; 2) destruktif, menimbulkan tingkah laku
maladaptif dan disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi
seseorang dalam berpikir. (d) Perkembangan intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan
mental seseorang untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan, menghubungkan satu hal
dengan yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap stimulus. Perkembangan intelektual
tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan usia dan tingkah perkembanganya. Menurut Piaget
dalam Purwanto (1999) semakin bertambah umur anak, semakin tampak jelas kecenderungan
dalam kematangan proses.

Jurnal Berfikir Kritis 19

Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 ayat 1 tahun


2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk
mencapai tujuan tersebut, pendidikan dapat dilakukan salahsatunya di jenjang sekolah formal
seperti sekolah. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah tersusun secara sistematis untuk
mencapai tujuan yang diharapkan (Sholeh, 2018).
Pendidikan hendaknya memiliki sistem pembelajaran yang menekankan pada proses
dinamis yang didasarkan pada upaya meningkatkan keingintahuan siswa tentang dunia (Ihsan,
2010:11). Oleh karena itu sistem pembelajaran yang diterapkan dalam pendidikan harus
dirancang semenarik mungkin agar minat siswa untuk belajar meningkat dan kemampuan
berpikir kritis siswa dapat terbentuk dengan baik. John Dewey (Fisher, 2009:2) menyebutkan
bahwa berpikir kritis sebagai pertimbangan yang aktif, presistent (terus-menerus) dan teliti
mengenai sebuah keyakinan atau pengetahuan yang diterima begitu melalui alasan-alasan yang
mendukung dan kesimpulan-kesimpulan yang berkelanjutan yang menjadi kecenderungan.

Jurnal Berfikir Kritis 20

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah masalah lemahnya
pelaksanaan proses pembelajaran yang diterapkan para guru di sekolah dasar. Proses
pembelajaran yang terjadi selama ini kurang mampu mengembangkan kemampuan berpikir
peserta didik. Pelaksanaan proses kemampuan manghafal, mengingat dan menimbun informasi
tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari (Susanto, 2015: 165).
Menurut Ennis (dalam Susanto, 2015: 121), berpikir kritis adalah suatu berpikir dengan tujuan
membuat keputusan masuk akal tentang apa yang diyakini atau dilakukan. Berpikir kritis
merupakan kemampuan menggunakan logika. Logika merupakan cara berpikir untuk
mendapatkan pengetahuan yang disertai pengkajian kebenaran berdasarkan pola penalaran

28
tertentu. Adapun enam unsur dasar berpikir kritis menurut Ennis yaitu Focus (fokus), Reason
(alasan), Inference (menyimpulkan), (situasi), Clarity (kejelasan) dan Overview (pandangan
menyeluruh).
Project Based Learning adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep
dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan
pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainnya, memberi peluang siswa bekerja secara
otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa
yang bernilai dan realistik. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Project Based
Learning adalah model pembelajaran yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan menantang
atau sebuah permasalahan yang merlibatkan siswa untuk pemecahan masalah dan akhirnya
menghasilkan sebuah produk karya yang bernilai. Jadi model pembelajaran Project Based
Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang tepat karena model ini berbasis
masalah dan melibatkan siswa dalam menghasilkan sebuah produk karya sebagai media
pembelajaran untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh model pembelajaran Project Based
Learning terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, penting dilakukan suatu penelitian. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Project Based Learning
pada mata pelajaran IPA terhadap kemampuan berpikir kritis siswa Kelas VI SD Negeri
Margorejo VI Surabaya.

Jurnal Berfikir Kritis 21


Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
melakukan pemecahan masalah dan berpikir secara kritis adalah dengan mendesain
pembelajaran di kelas. Penggunaan model pembelajaran yang memfasilitasi mahasiswa untuk
dapat mengonstruksi pemahamannya sendiri dalam pembelajaran matematika di tingkat
perguruan tinggi. Pembelajaran dapat dilakukan dengan melibatkan mahasiswa secara langsung
untuk mengembangkan kemampuan tersebut salah satunya adalah model project based learning
(PjBL).
Model PjBL memfasilitasi peserta didik untuk membuat produk dalam rangka
menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata. Proyek pembuatan produk dapat dilakukan
secara individu maupun kelompok. Model project based learning dinilai cocok dengan
karakteristik peserta didik pada tingkat mahasiswa karena pelaksanaan proyek menuntut
tanggungjawab yang tinggi. Peserta didik membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi
untuk dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kehidupan nyata. Dalam pelaksanaan proyek peserta didik dituntut untuk mampu memahami
konsep dengan baik sekaligus menghasilkan produk yang berhubungan dengan konsep tersebut.
Dalam PjBL, Peserta didik dimungkinkan untuk memilih sendiri proyek yang akan dikerjakan,
selain itu kegiatan pembelajaran diatur untuk belajar aktif dan kerja sama tim [5].

29
Beberapa hasil kajian empiris yang menyebutkan bahwa model project based learning
efektif dalam meningkatkan hasil belajar. Hasil penelitian Filcik, Bosch, Pederson, & Haugen
yang menunjukkan bahwa model pembelajaran tersebut efektif ditinjau dari aspek pengetahuan
konseptual [6]. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozdemir dan Beres menyebutkan bahwa
model pembelajaran berbasis project efektif dalam meningkatkan hasil belajar matematika
peserta didik [7] [8]. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian yang
menggunakan model project based learning. Penerapan model PjBL dilaksanakan untuk
menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa pendidikan matematika FKIP UNIB pada matakuliah statistika dasar. Tahapan PjBL
yang digunakan yaitu: (1) fase pra proyek, (2) identifikasi masalah, (3) Desain Proyek, (4)
Mengumpulkan dan mengolah informasi, (5) menyusundraft produk, (6) menilai produk, (7)
mempresentasi produk.

Jurnal Berfikir Kritis 22

Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah


melalui revisi kurikulum. Revisi kurikulum terakhir yang telah dilakukan menghasilkan
Kurikulum 2013 (K-13) yang telah diimplementasi secara bertahap baik jenjang pendidikan
dasar maupun pendidikan menengah. Penerapan K-13 ini diperkuat dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), dan Standar Proses.
Dalam Standar Proses dinyatakan bahwa karakteristik pembelajaran menurut K-13
dengan: “.....memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, ....” [1]. Dengan kata lain, proses pembelajaran dilaksanakan dengan
menciptakan lingkungan pembelajaran (learning environment) yang dapat memberikan
kesempatan kepada setiap siswa agar mereka dapat mengembangkan ide-ide dan kreativitas
yang dilakukan secara mandiri sesuai dengan bakat dan minat. Oleh sebab itu, sistem
pembelajaran yang dijelaskan dalam Standar Isi mengarah pada pembelajaran berpusat pada
siswa.
Pembelajaran berpusat pada siswa (students centered learning) adalah suatu pendekatan
dalam pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk memilih bahan pelajaran apa
yang dipelajari dan menentukan bagaimana dan mengapa bahan pelajaran tersebut dipelajari [2].
Dengan demikian, aktivitas pembelajaran seharusnya fokus pada kebutuhan siswa dari pada
kebutuhan guru. Menurut Prins [3] aktivitas pembelajaran demikian akan terwujud jika guru
sebagai perancang dan pelaksana pengajaran seharusnya menerapkan pengajaran berpusat pada
siswa (student-centered instruction).
Collin dan O’Brien [4] menyatakan bahwa jika pengajaran berpusat pada siswa
diterapkan, maka meningkatkan motivasi/minat siswa untuk belajar meningkat, retensi

30
pengetahuan lebih besar, pemahaman lebih mendalam, dan menunbuhkan sikap lebih positip
terhadap materi pelajaran yang diajarkan. Sebaliknya, praktek pembelajaran yang terjadi di
jenjang pendidikan dasar maupun menengah cenderung pada teacher-centered instruction yang
tidak memberikan pengalaman belajar aktif, tidak menugaskan siswa untuk memecahkan
masalah bersifat open-ended dan permasalahan yang membutuhkan proses berfikir kritis atau
kreatif.
Secara umum, proses pembelajaran yang berlangsung selama 90 menit cenderung
didominasi oleh guru meskipun guru telah berupaya mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam
pembelajaran dengan ngajak siswa untuk untuk mengerjakan jawaban soal di papan tulis.
Meskipun demikian, tidak ada siswa secara spontan/sukarela untuk bersedia mengerjakannya
kecuali ditunjuk oleh guru.
Siswa hanya menerima materi yang disampaikan dan tidak memanfaatkan kesempatan
untuk bertanya, namun ketika guru yang bertanya kepada siswa, hanya sedikit siswa yang dapat
memberikan jawaban beserta alasannya. sehingga dapat dikatakan pengembangan kemampuan
berpikir siswa masih kurang, sedangkan fisika merupakan salah satu cabang IPA yang
mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam mempelajari fisika
siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya kemampuan
berpikir kritis.
Rendahnya kedua aspek tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan model pembelajaran
yang kurang tepat. Salah satu model pembelajaran yang dianjurkan untuk digunakan dalam
pembelajaran kurikulum 2013 adalah model project based learning. Model project based
learning memberikan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi peserta didik.
Menurut Scott [6] model project based learning merupakan model pembelajaran yang ideal
untuk memenuhi tujuan pendidikan abad 21, karena menggunakan prinsip 4c yaitu critical
thinking, communications, collaboration, dan creativity dengan pembelajaran terstruktur dalam
konteks dunia nyata. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Yunus [7] yang
menyimpulkan bahwa model project based learning berpengaruh terhadap hasil belajar fisika
dan kemampuan berpikir kritis, karena melalui pembelajaran berbasis proyek siswa dilibatkan
untuk menyelesaikan suatu proyek yang mengarah pada pengaplikasian secara proses berpikir
kritis. Selanjutnya hasil penelitian Roziqin [8] menyatakan bahwa model project based learning
berpengaruh signifikan terhadap minat belajar siswa pada pembelajaran siswa, model project
based learning membuat siswa lebih tertarik dan terlibat aktif dalam pembelajaran fisika. Hal ini
disebabkan model project based learning berorientasi pada aktivitas-aktivitas yang mendukung
terjadinya pemahaman konsep, prinsip, dan prosedur dalam konteks kehidupan sehari-hari.

31
Jurnal Berfikir Kritis 23
Pendidikan di abad 21 bertujuan untuk membangun kemampuan intelegensi siswa dalam
pembelajaran agar mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Membentuk
intelegensi dalam dunia nyata tidak hanya dengan sekedar tahu, namun dapat memecahkan
permasalahan yang dihadapi di sekitar lingkungan secara berarti, relevan dan kontekstual.
Pembelajaran siswa yang kontekstual, dapat melatih berpikir kritis, menguasai teknologi,
kooperatif, dan berkolaborasi sangat diperlukan dalam memecahkan masalah. Tujuan yang ingin
dicapai oleh siswa sangat beragam, misalnya keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan psikomotor, dan keterampilan proses. Dalam kurikulum pembelajaran juga bertujuan
meningkatkan kualitas dalam imajinasi dan kreativitas; memperoleh nilai-nilai kemanusiaan,
mengembangkan potensi seseorang, mengembangkan pemikiran kritis, dan mengembangkan pribadi
yang berkomitmen dan bertanggung jawab (Zhou, 2005). Tuntutan kurikulum saat ini mengharapkan
siswa memiliki kecakapan kognitif, kemampuan dalam dunia nyata, dan berakhlak mulia serta lebih
aktif dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran nantinya guru sebagai sumber informasi
utama akan berubah menjadi pembelajar yang lebih ideal dengan permasalahan yang real dan
berorientasi pada siswa sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan terlibat
aktif dalam mencari informasi.
Pembelajaran yang mengarah pada belajar mandiri agar siswa dapat mengkonstruk
pengetahuannnya masih sangat kurang. Hal ini yang dijumpai peneliti pada saat observasi di
SMAN 1 Batu, pembelajaran mandiri belum dilakukan sepenuhnya dan pengelolaan
keterampilan dalam berpikir kritis belum terprogram secara sengaja. Siswa masih tergantung
pada guru yang berperan sebagai sumber informasi utama, hal ini menimbulkan kebosanan dan
kurang memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa. Walaupun pembelajaran sudah
diarahkan melalui Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang bertujuan agar pembelajaran tidak
terpusat pada guru, dan didalamnya terdapat bahan diskusi dan soal-soal, namun selalu saja guru
yang masih banyak berperan untuk menyelesaikan soal-soal yang disajikan dalam LKS tersebut.
Kurangnya keterlibatan siswa secara total dalam pembelajaran dikarenakan siswa kurang
berusaha dalam menemukan informasi sendiri, dan hal ini mengurangi makna dari pembelajaran
aktif dan efektif. Para siswa cenderung belajar untuk dapat menjawab soal-soal ulangan dengan
menghafal materi pelajaran bukan memahami, menganalisis suatu permasalahan, dan
memecahkan masalah yang mungkin dihadapi sehari-hari, sehingga cara berpikir kritisnya
kurang terlatih. Akibatnya dari segi kognitif juga kurang, terbukti pada rata-rata perolehan nilai
hasil belajar pada kompetensi sebelumnya masih kurang dari standart kompetensi minimal, tak
jarang guru harus melakukan remedial.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembelajaran yang
efektif dalam membentuk siswa agar dapat belajar mandiri tanpa melupakan aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik, salah satunya adalah dengan menggunakan pembelajaran berbasis
proyek. Project Based Learning (PjBL) dinyatakan oleh Thomas, (2000) dan Kamdi (2007)
sebagai pembelajaran berbasis proyek yang merupakan pendekatan pembelajaran inovatif, yang
32
menekankan pada belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus
pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi,
melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna
yang lain, memberi kesempatan kepada pebelajar bekerja secara otonom untuk mengkonstruk
pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya yaitu menghasilkan produk nyata.
Dijelaskan oleh Tinker (1992) dalam Colley (2008), bahwa pembelajaran proyek identik
dengan pembelajaran berbasis sains, yaitu sesuatu yang dikerjakan oleh para ilmuwan. Siswa
yang terlibat dalam proyek secara menyeluruh akan memilih topik, memutuskan pendekatan,
melakukan eksperimen, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan hasil proyek yang
dikerjakan. Krajcik, Czerniak dan Berger (2008), menyatakan pembelajaran berbasis proyek
sebagai pembelajaran berbasis sains memiliki beberapa fitur yang fundamental, dimana dalam
proses pembelajaran saat ini dapat melalui beberapa tahapan mulai dari tahapan menanya,
mengapresiasi, menganalisis, mengasosiasi dan menyimpulkan.

Jurnal Berfikir Kritis 24


Masalah yang sering dihadapi sekolah yaitu lemahnya proses pembelajaran, siswa
kurang didorong mengembangkan kemampuan berpikir, diarahkan menghafalkan informasi.
Tuntutan kurikulum mengharapkan siswa memiliki kecakapan kognitif, kemampuan dunia
nyata, dan berakhlak mulia serta aktif diproses pembelajaran. Guru sebagai sumber informasi
utama akan berubah menjadi pembelajar yang lebih ideal dengan permasalahan real, berorientasi
pada siswa sehingga mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, terlibat aktif mencari informasi
(1). Pembelajaran kontekstual, melatih berpikir kritis, menguasai teknologi, kooperatif dan
berkolaborasi diperlukan memecahkan masalah abad 21 (2). Salah satu model pembelajaran
yang mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar sesuai hakikat konstruktivisme model
pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah, berpikir kritis, sehingga akan meningkatkan hasil belajar siswa (3).
Hasil observasi di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya menunjukkan: siswa menganggap
fisika abstrak, sulit dipahami, tidak penting dipelajari, sehingga berdampak kemampuan berpikir
kritis siswa rendah pada pelajaran fisika. Aktivitas dan hasil belajar fisika relatif kurang, guru
sering terkendala memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapatnya pada proses
pembelajaran. Indikasi rendahnya motivasi berprestasi siswa seperti kurang semangatnya siswa
mengikuti pembelajaran, kurangnya rasa ingin tahu terhadap materi pelajaran, rendahnya
aktivitas bertanya dan menyampaikan pendapat, dan rendahnya membaca sumber informasi
materi pelajaran, berlatih soal dan mengulangi materi yang telah diajarkan guru.

Jurnal Berfikir Kritis 25

33
Pendidik dituntut kreatif dan inovatif dalam menerapkan strategi pembelajaran. Hal ini
untuk memenuhi tuntutan agar siswa mempunyai sejumlah keterampilan yang dituntut era abad
21, yaitu mempunyai keterampilan berpikir kritis, kreatif, memiliki kemampuan memecahkan
masalah, dan membuat keputusan.
Masyarakatdi era abad 21 ini dengan ciri globalisasi, kemajuan iptek, dan kemampuan
menerima arus informasi yang padat dan cepat.Tentuini memerlukan generasi yang mampu
menghadapi segala tantangan serta siap menyesuaikan diri dengan situasi baru tersebut. Oleh
karenaitu, pendidik mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan generasi yang memiliki
kemampuan antara lain manusia melek teknologi dan melek pikir, yang mampu “think globally
but act locally”, pembangunan generasi masa depan merupakan syarat dari upaya pembaruan
pendidikan. (Tirtahardja & Sulo 2005). Pemerintah Indonesia berupaya memperbarui dan
menerapkan kurikulum yang mempunyai prinsip fleksibilitas, bahwa pendidikan pada saat ini
harus menyesuaikan dengan karakteristik siswa abad 21.
Dalam pembelajaran sangat diperlukan interaksi positif antara guru dan siswa yang
menyenangkan, dan tidak membosankan. Dalam suatu pembelajaran diperlukan pendekatan.
Pendekatan merupakan titik tolak dalam memandang sesuatu, suatu filsafat atau keyakinan yang
tidak selalu mudah membuktikannya (Mulyono, 2016). Oleh karena itu, perlu adanya alternatif
atau inovasi baru dari pendidik dalam proses pembelajaran. bahwa proses pembelajaran sangat
dominan dengan cara konvensional yang hanya duduk, dengar, dan diam, yang kadang-kadang
diselingi beberapa pertanyaan. Siswa juga kurang mampu menyerap informasi yang didapatkan
dari guru. Hal ini diperkuat dengan perolehan nilai yang jauh dari harapan. Sebenarnya para
siswa memiliki potensi untuk menguasai konsep dan keterampilan berpikir, sebagaimana
dikemukakan Yustyan, et al., (2015) bahwa pada dasarnya siswa memiliki keterampilan dalam
penguasaan konsep dan keterampilan berpikir yang baik, seperti halnya keterampilan berpikir
kritis dalam belajar, tetapi terkadang keterampilan tersebut tidak dapat berkembang dengan baik.
Menurut (Kemendikbud; 2017) bahwaProject Based Learning (PjBL) adalah suatu
model pembelajaran yang menggunakan suatu proyek dalam proses pembelajaran, dan berpusat
pada siswa (Student centered). Model PjBL memberikan kebebasan kepada para siswa untuk
merencanakan aktivitas belajar mereka, melaksanakan proyek secara kolaboratif, dan pada
akhirnya menghasilkan produk kerja yang dapat dipresentasikan kepada orang lain
(Kemendikbud; 2017). Project Based Learning (PjBL) adalah pembelajaran inovatif yang
mendorong para siswauntuk melakukan penyelidikan bekerja secara kolaboratif dalam meneliti
dan membuat proyek yang menerapkan pengetahuan mereka dari menemukan hal-hal baru,
mahir dalam penggunaan teknologi dan mampu menyelesaikan suatu permasalahan. Suranti et
al., (2016).
Pembelajaran yang dilakukan guru tentu diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar
dan perilaku siswa. Perilaku siswa terdiri dari dua dimensi, yaitu types of content behavior

34
(pengetahuan fakta, konsep, teori, prinsip, dan prosedur), dan type of mental behavior
(kemampuan memahami, memecahkan masalah, berpikir kritis dan kreatif) yang merupakan
perilaku mental tingkat tinggi (the higher forms of mental behavior) (Rusyana, 2014).
Pernyataan ini bermakna bahwa proses pembelajaran siswa harus mencapai pada perubahan
perilaku baik itu perilaku yang berkaitan dengan materi pelajaran, seperti pemahaman konsep,
maupun perilaku yang berkaitan dengan mental anak, seperti keterampilan berpikir kritis,
sehingga mampu terbangun prilaku mental tingkat tinggi untuk menghadapi tantangan-tantangan
pada abad 21.
Berpikir Kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus pada
memutuskan apa yang diyakini atau dilakukan Keterampilan berpikir kritis merupakan
pemikiran yang bersifat selalu ingin tahu terhadap informasi yang ada untuk mencapai suatu
pemahaman yang mendalam. (Yustyan, et al., 2015). Keterampilan berpikir kritis dapat
mendukung tercapainya tujuan pembelajaran biologi yang tercantum dalam standar isi yang
diantaranya adalah memupuk sikap ilmiah yaitu tidak mudah percaya tanpa ada dukungan, hasil
observasi empiris, memahami konsep-konsep biologi dan penerapannya untuk menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan berpikir kritis menurut Facione (Yustyan et
al. 2015) meliputi interpretation, analysis, inferensi, evaluation, explanation, and self-
regulation.

35

Anda mungkin juga menyukai