Anda di halaman 1dari 11

TUGAS RESUME

“RETENSIO PLASENTA, ATONIA UTERI, ROBEKAN JALAN LAHIR, KELAINAN


PEMBEKUAN DARAH”

Nama : Indah Tirtya

Nim : 2007170

Kelas : NR4

MK : Komplikasi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir

A. RETENSIO PLASENTA

a) Pengertian Retensio Plasenta


Retensi plasenta adalah kondisi tidak keluarnya plasenta dalam waktu 30 menit setelah
melahirkan bayi. Retensi plasenta adalah komplikasi langka yang hanya mempengaruhi
sekitar 2 hingga 3 persen dari semua kelahiran yang terjadi ketika sebagian dari plasenta
tertinggal di dalam rahim setelah kelahiran bayi. Seharusnya retensi plasenta tidak bisa
dianggap sepele karena jika dibiarkan, maka bisa saja menimbulkan komplikasi yang
berbahaya bagi ibu yang melahirkan.
Berikut ini berbagai jenis dari retensi plasenta, yaitu:
 Plasenta adhesiva, yaitu kegagalan mekanisme separasi fisiologis akibat
tertanamnya plasenta dalam rahim.
 Plasenta akreta, yaitu plasenta yang tertanam hingga sebagian lapisan otot rahim.
 Plasenta inkreta, yaitu plasenta yang tertanam hingga keseluruhan lapisan otot
rahim.
 Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta akibat mulut rahim yang
menyempit.

b) Faktor Risiko Retensio Plasenta


Faktor risiko retensi plasenta adalah riwayat operasi caesar sebelumnya, kelahiran prematur
di bawah 34 minggu, bayi lahir mati, kelainan uterus, partus lama, dan riwayat retensi
plasenta pada persalinan sebelumnya.

c) Penyebab Retensio Plasenta


Persalinan terdiri dari fase laten, ketika serviks dilatasi hingga 3 sentimeter; lalu fase aktif,
yang berlanjut hingga serviks 10 sentimeter dan saatnya mendorong bayi keluar. Hal ini
diikuti pengeluaran plasenta, ketika plasenta dilahirkan selama kontraksi uterus.
Proses ini terjadi dalam waktu 15 hingga 30 menit setelah persalinan, baik melalui vagina
maupun melalui bedah caesar. Kadang-kadang, bagian dari plasenta dapat dipertahankan di
dalam rahim karena sebagian telah tumbuh melalui otot rahim atau "tertangkap" di dalam
sudut rahim saat berkontraksi. Ketika plasenta tidak dapat dikeluarkan secara utuh atau tidak
terjadi dalam 30 hingga 60 menit kelahiran bayi, hal ini dikenal retensi plasenta.

d) Gejala Retensio Plasenta


Tanda paling umum dari plasenta yang tertinggal adalah plasenta gagal dilahirkan secara
spontan dalam waktu 30 dan 60 menit setelah melahirkan.
Jika bagian plasenta belum keluar sempurna beberapa hari atau minggu setelah melahirkan,
maka dapat timbul gejala gejala, seperti demam, perdarahan terus-menerus keluar dari
vagina, kram dan nyeri, dan dapat mengalami infeksi sehingga timbul demam dan keluar
cairan sekret berbau busuk

e) Diagnosis Retensio Plasenta


Diagnosis awal dapat dicurigai dengan memeriksa kelengkapan plasenta yang telah keluar.
Kotiledon plasenta sewaktu lahir harus dihitung secara seksama untuk menghindari
tertinggalnya bagian plasenta. Hal ini masih sering luput karena kecilnya dan tidak
terlihatnya seluruh bagian yang kecil. Ketika ini terjadi, seorang wanita akan sering
mengalami gejala segera setelah melahirkan. Kemudian, dibutuhkan pemeriksaan penunjang
berupa ultrasound untuk melihat kondisi rahim dan memastikan apakah ada bagian plasenta
yang tertinggal.

f) Penanganan Retensio Plasenta


Prosedur pelaksanaan yang harus dilakukan adalah membuang potongan plasenta yang
tersisa di dalam rahim. Segera setelah persalinan, bagian yang tertinggal ini harus diambil
secara manual atau menggunakan instrumen untuk membantu. Sebaiknya tindakan
ekstraksi sisa plasenta menggunakan bantuan ultrasound untuk memandu prosedur, jika
tertunda satu atau dia munggu kemudian.

g) Pencegahan Retensio Plasenta


Beberapa penelitian menyarankan teknik seperti pijat uterus, obat-obatan seperti oksitosin,
dan menerapkan tekanan yang dikenal sebagai traksi tali pusat terkontrol ke plasenta dapat
membantu mencegah retensi plasenta. Namun, tidak satupun dari ini telah terbukti secara
ilmiah untuk secara efektif mencegah retensi plasenta. Hal ini bisa terjadi kepada siapapun.

B. ATONIA UTERI
a) Pengetian Atonia Uteri

Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. ( APN,2008). Menurut (Prawirohardjo,2009)
atonia uteri adalah uterus gagal berkontaksi dengan baik setelah persalinan.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi
uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.
Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis
dikontrol oleh kontraksi serabut- serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah
yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-
serabut miometrium tidak berkontraksi. Batasan atonia uteri adalah uterus yang tidak
berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.

b) Penyebab Atonia Uteri


Ada beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh atonia uteri ( APN,2008 ) adalah :
 Pembesaran Uterus yang berlebihan waktu hamil ( hamil kembar, hidramnion, janin
besar ).
 Kala satu dan atau dua yang memanjang

 Persalinan cepat ( partus presipitatus )


 Persalinan yang di induksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi)
 Infeksi Intra partum
 Multiparitas tinggi
 MGS04 yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi.
 Menejemen Aktif kala III yang salah

c) Manifestasi Klinis:
 Uterus tidak berkontraksi dan lunak
 Perdarahan segera setelah plasenta lahir .

d) Tanda dan gejala atonia uteri


Menurut (Prawirohardjo,2009) ada beberapa tanda dan gejala yamg khas pada atonia
uteri antara lain :
 Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi
pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin
sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
 Konsistensi Rahim lunak
 Fundus uteri naik
 Terdapat tanda- tanda syok
 Nadi cepat dan lemah
 Tekanan darah rendah
 Pucat
 Keringat/kulit terasa dingin serta lembab
 Pernafasan cepat
 Gelisah, bingung atau kehilangan kesadaran
e) Diagnosa
Diagnosa ditegakan bila setelah plasenta lahir darah banyak keluar dan uterus tidak
berkontraksi segera setelah plasenta lahir. Perlu diperhatikan bahwa saat atonia uteri
didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500- 1000 ml yang sudah
keluar dari pembuluh darah dan masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan
dalam kalkulasi pemberian darah pengganti (Prawirohardjo ,2009).

f) Pencegahan atonia uteri.


Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi resiko perdarahan post
partum lebih dari 40 %. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi perdarahan dalam
persalinan. Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan perdarahan yaitu cara kerjanya
yang cepat , tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti pada
ergometrin ( APN,2008).

g) Penanganan Atonia Uteri


Perdarahan yang perlahan dan berlanjut atau perdarahan tiba-tiba merupakan suatu
kegawatan dan harus segera ditangani. Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan untuk menangani perdarahan secara cepat dan tepat.
1) Penanganan Umum (Depkes RI,2012):
a) Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan
gawat darurat.
b) Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital(TNSP).
c) Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda - tanda syok tidak
terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu tersebut dapat
memburuk dengan cepat.
d) Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian cairan
cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.
e) Pastikan bahwa kontraksi uterus baik:
f) Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah yang
terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif. berikan 10
unit oksitosin IM
g) Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
h) Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina, dan
perineum.
i) Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
j) Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadar
Hemoglobin:
k) Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia berat):berilah
sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg
per oral sekali sehari selama 6 bulan;
l) Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg ditambah
asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
2) Penanganan Khusus Atonia Uteri( APN,2008 )
a) Masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir ( Maksimal 15 detik)
b) Bersihkan bekuan darah dan atau selaput ketuban dari vagina dan lubang servik.
c) Pastikan kandung kemih kosong. Jika penuh lakukan kateterisasi.
d) Segera lakukan kompresi bimanual interna. Caranya :
i. Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut
masukan tangan secara obstektrik (menyatukan kelima ujung jari ) melalui
introitus kedalam vagina ibu.
ii. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada fornik anterior , tekan dinding
anterior uterus kearah tangan luar yang menahan dan mendorongdinding
posterior uterus kearah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan dan
belakang.
iii. Tekan kuat uterus diantara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka ( pada implantasi plasenta
) di dinding uterus dan juga merangsang myometrium untuk berkontraksi.
iv. Evaluasi keberhasilan
1. Jika Uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang terus lakukan KBI
selama 2 menit, kemudian perlahan- lahan keluarkan tangan dan pantau ibu
secara melekat pada kala IV.
2. Jika uterus berkontraksi dan perdarahan masih berlangsung periksa ulang
perineum, vagina dan servik apakah terjadi laserasi.
3. Jika uterus tidak berkontarksi dalam 5 menit, ajarkan keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual eksterna kemudian lakukan langkah-langkah
penanganan atonia uteri selanjutnya dan minta keluarga untuk
mempersiapkan rujukan.

e) Kompresi Bimanual Eksterna Caranya :


i. Letakan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus uteri
dan diatas simpisis pubis.
ii. Letakan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang corpus uteri
sejajar dengan dinding depan corpus uteri. Usahakan untuk
mencakup/memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
iii. Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan
belakang agar pembuluh darah didalam anyaman myometrium dapat dijepit
secara manual. Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu
uterus untuk berkontraksi.
f) Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600-1000 mcg per rektal. Jika ibu
menderita hipertensi jangan diberikan ergometrin karena dapat menaikan tekanan
darah ibu.
g) Pasang infus (gunakan jarum berdiameter besar ukuran 16 atau 18 ), berikan larutan
RL 500 cc yang mengandung 20 unit oksitoksin.
h) Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
i) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit segera rujuk ibu.
j) Sambil membawa ibu ke tempat rujukan terus lakukan tindakan KBI atau pasang
tampon kondom kateter.
Cara pemasangan kondom kateter:
i. Siapkan alat ( kondom, benang, kateter DC no 24, jegul, klem ovarium,
speculum sim 2 bh, sarung tangan, set infus, cairan, bengkok )
ii. Posisikan ibu dengan posisi litotomi
iii. Masukan kateter kedalam kondom dan ikat dengan benang dengan ikatan yang
kuat.
iv. Dengan bantuan speculum sim dan klem ovarium, masukan kondom kateter
kedalam cavum uteri.
v. Bagian luar kateter disambungkan dengan ujung tali infus dan difiksasi dengan
benang. Alirkan cairan ( normal saline ) grojok melalui kateter kedalam
kondom di cavum uteri sampai seluruh cavitas penuh yang ditandai dengan
terhentinya aliran. Jika telah penuh masukan jegul kedalam vagina untuk
menfiksasi.Observasi perdarahan dan kontraksi uterus selama pemasangan
kondom kateter24-48 jam sambil diberikan drip oksitosin untuk
mempertahankan kontraksi uterus ( minimal 6 jam pasca tindakan dan
dilindungi triple regimen antibiotic selama 7 hari sebagai berikut (Amoxilin
500 mg setiap 6 jam , metronidazole 500 mg setiap 6 jam dan gentamicin 80
mg tiap 8 jam ). Jika terjadi perbaikan cairan normal saline dikurangi secara
bertahap 20 ml setiap 10-15 menit.
k) Tetap berikan infus cairan sampai ibu tiba di tempat rujukan
i. Infus 500 ml pertama dengan oksitosin 20 unit dihabiskan dalam waktu 10 menit
ii. Berikan tambahan 500ml/jam hingga tiba ditempat rujukan atau hingga jumlah
cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter dan kemudian lanjutkan dalam jumlah
125cc/jam
iii. Jika cairan infus tidak cukup infuskan 500 ml (botol kedua) cairan infus dengan
tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi.
l) Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan tindakan kompresi, lakukan
ligase arteria uterine dan ovarika
m) Jika tindakan tersebut diatas tetap tidak berhasil dan perdarahan mengancam nyawa
lakukan tindakan histerektomi.

C. ROBEKAN JALAN LAHIR / ROBEKAN PERINEUM


a) Pengertian Robekan Jalan Lahir
Robekan perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara
spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan pada perinemum atau
jalan lahir. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi
pada hampir semua primipara dantidak jarang pada persalinan berikutnya.

b) Pembagian Robekan Perineum


Robekan perineum dibagi dalam tingkatan - tingkatan sebagai
berikut:
i. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lendir vagina denganatau
tanpa mengenai kulit perineum.
ii. Tingkat II : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan ototperinea
transversalis, tetapi tidak mengenai springter ani.
iii. Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perineum dan ototspringter ani.
iv. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum.

c) Risiko Robekan Perineum


Keluarnya bayi melalui jalan lahir sebagian besar menyebabkan robekan
pada vagina dan perineum. Meski tidak tertutup kemungkinan robekan itu
memang sengaja dilakukan untuk memperlebar jalan lahir. Risiko yang
ditimbulkan karena robekan perineum adalah perdarahan, dengan perdarahan
yang hebat ibu akan mengalami kondisi tidak berdaya, lemah, tekanan darah
turun, anemia dan berat badan turun.

d) Penanganan Robekan Perineum


Bila dijumpai robekan perineum segera dilakukan penjahitan luka dengan
baik lapis demi lapis, dengan menghindari robekan terbuka ke arah vagina
karena dapat tersumbat oleh bekuan darah yang akan menyebabkan
kesembuhan luka menjadi lebih lama.
Tujuan penjahitan robekan perineum adalah untuk menyatukan kembali
jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu. Penjahitan
dilakukan dengan cara jelujur menggunakan benang catgut kromik. Dengan
memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan laserasi, dan mengulangi
pemberian anestesi jika masih terasa sakit. Penjahitan dimulai satu cm dari
puncak luka. Jahit sebelah dalam ke arah luar, dari atas hingga mencapai bawah
laserasi. Pastikan jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka telah dijahit.
Ikat benang dengan membuat simpul dalam vagina. Potong ujung benang dan
sisakan 1,5 cm. Kemudian melakukan pemeriksaan ulang pada vagina dan anus
untuk mengetahui terabanya jahitan pada rectum karena bisa menyebabkan
fistula danbahkan infeksi.

e) Pengobatan Robekan Perineum


Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan perineum adalah dengan
memberikan antibiotik yang cukup. Perawatan luka perineum pada ibu setelah
melahirkan berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga
kebersihan, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan
perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Mencegah kontaminasi dengan rectum
b. Menangani dengan lembut jaringan luka
c. Membersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau
f) Komplikasi Robekan Perineum
Risiko komplikasi yang mungkin terjadi jika robekan perineum
tidak segera diatas, yaitu :
a) Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan
dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan
yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting.
Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital,
mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan
lanjutan dan menilai tonus otot.8
b) Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada
vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing
luka, maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat
menekan kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan
panggul, sehingga terjadi iskemia.8
c) Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena
adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai
dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa
iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan
varikositas vulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.
Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan
memungkinkan banyak darah yang hilang. Dalam waktu yang singkat,
adanya pembengkakan biru yang tegang pada salah satu sisi introitus di
daerah rupture perineum.
d) Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada kala nifas.
Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh
sehingga menimbulkan infeksi.

D. KELAINAN PEMBEKUAN DARAH


a) Pengertian gangguan pembekuan darah
Gangguan atau kelainan pembekuan darah adalah kondisi saat terjadinya gangguan
dalam proses koagulasi alias pembekuan darah. Normalnya, darah akan mulai membeku
setelah terjadinya cedera untuk mencegah kamu mengalami kehilangan darah dalam jumlah
besar. Beberapa kondisi tertentu dapat memengaruhi kemampuan darah untuk membeku dan
menggumpal dengan baik, sehingga bisa mengakibatkan perdarahan berat atau berlangsung
lama.

Trombosit adalah fragmen sel yang ada dalam darah yang membantu proses pembekuan
darah dengan berkumpul di area cedera. Mereka bergabung dengan protein dalam plasma
darah untuk membentuk bekuan darah dan mencegah kebocoran dan cedera. Hal ini
membuat koagulasi menjadi pertahanan alami yang penting terhadap cedera. Namun,
beberapa orang mengalami gangguan ini dapat mengakibatkan pembekuan terlalu banyak
atau terlalu sedikit.

b) Penyebab Gangguan Pembekuan Darah

Agar darah bisa menggumpal dengan baik, maka sel tubuh kamu membutuhkan platelet dan
protein yang disebut sebagai faktor pembeku. Gangguan pembekuan darah terjadi ketika
kamu tidak memiliki cukup platelet atau protein pembeku maupun keduanya tidak bekerja
dengan baik.

Kebanyakan kasus gangguan koagulasi adalah kondisi genetik yang diwariskan dari
orangtua ke anak. Namun, kondisi medis tertentu seperti penyakit hati, juga bisa
menyebabkan gangguan pembekuan darah. Hal ini dikarenakan gangguan ini bisa
disebabkan oleh berbagai faktor.

Gangguan pembekuan darah juga bisa disebabkan oleh:

 Defisiensi vitamin K.
 Efek samping obat-obatan tertentu, misalnya anti-koagulan (yang memang bekerja
menghambat proses pembekuan darah).

c) Faktor Risiko Gangguan Pembekuan Darah

Berada dalam posisi tubuh yang sama seperti duduk selama berjam-jam bisa menyebabkan
perlambatan aliran darah yang meningkatkan risiko gangguan pembekuan darah. Sementara
itu, beberapa faktor risiko lainnya yaitu:

 Usia. Seperti bayi baru lahir karena kekurangan vitamin K, atau orang dewasa yang
lebih tua pada hemofilia A.
 Riwayat keluarga dengan kondisi tersebut.
 Berjenis kelamin laki-laki.
 Memiliki kondisi medis lainnya, seperti kanker, penyakit autoimun, atau penyakit hati.
 Transfusi darah.
 Obesitas.
 Infeksi.
 Konsumsi obat-obatan, seperti antibiotik, pengencer darah, atau interferon alfa.
 Melewati pembedahan.
 Obat berbasis hormon, seperti pil KB.
 Kehamilan dan melahirkan.
 Kurang aktivitas fisik, dan duduk dalam waktu lama.
 Menggunakan perangkat medis yang meningkatkan aliran darah.
d) Gejala Gangguan Pembekuan Darah

Gejala yang timbul dari gangguan pembekuan darah akan bervariasi tergantung dari kondisi
penyebabnya. Namun, gejala umumnya termasuk:

 Mudah memar tanpa alasan jelas.


 Perdarahan menstruasi berat.
 Sering mimisan.
 Berdarah terus-terusan dari luka kecil.
 Perdarahan yang merembes ke persendian.
 Ada darah dalam urin atau tinja.
 Pendarahan berat setelah melahirkan.
 Pendarahan di bawah kulit.
 Bengkak di sekitar tubuh.
 Perdarahan tali pusar pada bayi baru lahir.

Beberapa penyebab juga dapat menyebabkan gejala tambahan. Misalnya, penyakit hati dapat
menyebabkan gejala kelelahan, kelemahan, dan kehilangan nafsu makan.

Selain itu, orang-orang dapat mengalami gejala berbeda tergantung pada keberadaan dan
lokasi bekuan darah. Misalnya, gumpalan darah di dekat jantung atau paru-paru dapat
menyebabkan nyeri dada, sesak nafas, atau ketidaknyamanan di sekitar tubuh bagian atas.
Gejala-gejala tersebut bisa mengindikasikan serangan jantung atau emboli paru.

Sementara itu, gejala trombosis vena dalam biasanya meliputi rasa sakit, bengkak, dan
perubahan warna kulit di sekitar area bekuan darah, seperti kaki.

e) Diagnosis Gangguan Pembekuan Darah

Untuk mendiagnosis gangguan pembekuan darah, lakukan anamnesa seputar gejala yang
dialami dan riwayat kesehatan. Dan juga dapat melakukan sejumlah pemeriksaan fisik dasar,
hal yang ditanyakan:

 Kondisi kesehatan yang kamu miliki saat ini.


 Obat-obatan (resep, nonresep, suplemen, ataupun obat herbal) yang kamu
pernah/sedang gunakan.
 Cedera atau terjatuh belakangan ini.
 Berapa lama perdarahan tersebut telah berlangsung.
 Apa yang sedang kamu lakukan sebelum perdarahan itu terjadi.

Berdasar informasi ini, kemudian dapat melakukan tes darah untuk meresmikan diagnosis.
yaitu:
 Tes darah lengkap, untuk mengetahui jumlah sel darah merah dan sel darah putih.
 Tes agregasi platelet, untuk mengetahui seberapa baik platelet kamu menggumpal
bersama.
 Tes waktu perdarahan, untuk dapat menentukan seberapa lama darah kamu
menggumpal.

f) Penanganan Gangguan Pembekuan Darah

Penanganan akan direncanakan berdasarkan jenis gangguan pembekuan darah yang kamu
alami dan keparahan kondisinya. Gangguan darah tidak bisa disembuhkan total, tetapi
terapi pengobatan dapat meredakan gejalanya. Pengobatan terhadap gangguan koagulasi
mungkin melibatkan resep suplemen zat besi, transfusi darah, injeksi pengganti faktor
(khususnya untuk kasus hemofilia).

Perlu diketahui, perawatan biasanya bertujuan untuk mengelola gejala dan mengurangi
risiko komplikasi. Dokter mungkin merekomendasikan satu atau lebih obat yang berupa:

 Obat anti-fibrinolitik untuk mengobati pendarahan setelah melahirkan atau operasi.


 Pil KB untuk mengurangi perdarahan menstruasi.
 Desmopresin.
 Obat imunosupresif.
 Suplemen vitamin K.
 Pengencer darah untuk mengurangi risiko pembekuan pada orang dengan kondisi
gangguan pembekuan darah.
 Inhibitor trombin atau trombolitik.

Dokter juga dapat merekomendasikan perawatan lain, seperti terapi penggantian faktor. Hal
ini melibatkan faktor pembekuan yang hilang menggunakan donor darah atau penggantian
dari laboratorium.

g) Komplikasi

Komplikasi atau efek samping gangguan pembekuan darah dapat menyebabkan perdarahan
di dalam dan luar tubuh. Tubuh dapat kehilangan banyak darah karena beberapa jenis
gangguan ini. Dalam kondisi lainnya, menyebabkan kamu mudah memar atau mengalami
perdarah di organ tertentu, misalnya di otak.

h) Pencegahan

Meluruskan kaki, melakukan pergerakan ringan, hingga berjalan-jalan akan sangat


membantu mencegah terjadinya perlambatan aliran darah yang memicu terjadinya
pembekuan darah. Pencegahan lainnya, yaitu dengan menjaga berat badan ideal. Sebab,
salah satu faktor risiko terjadinya trombosis adalah obesitas atau kelebihan berat badan.
Selain itu, memeriksa riwayat keluarga apakah ada yang pernah terkena gangguan
pembekuan darah juga harus dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai