Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam berdarah, chikungunya, demam kuning (yellow fever) dan infeksi zika

adalah salah satu penyakit akibat virus yang ditularkan melalui vektor (nyamuk) dan

merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Kejadian Demam

Berdarah Dengue (DBD) pada beberapa tahun terakhir secara global telah tumbuh

secara dramatis, sekitar setengah dari populasi dunia beresiko terkena penyakit demam

berdarah (WHO, 2017). Perkembangbiakan dan penyebaran yang mudah

menyebabkan penyakit demam berdarah sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa

(KLB) yang berdampak negatif pada kualitas hidup dan ekonomi masyarakat serta

dapat menyebabkan kematian (Riskesdas, 2013).

Di Indonesia setiap tahun masih terjadi kasus DBD, berdasarkan data dari

Kemenkes RI (2017) kasus demam berdarah terhitung sejak Januari hingga Mei tercatat

sebanyak 17.877 kasus dengan angka kematian sebanyak 115 jiwa. Angka kesakitan

atau Incidence Rate (IR) di 34 Provinsi pada tahun 2016 mencapai 78.85 per 100 ribu

penduduk dan IR pada tahun 2015 mencapai 50.75 per 100 ribu penduduk. Angka ini

masih lebih tinggi dari target IR nasional yaitu 49 per 100 ribu penduduk. Berdasarkan

data dari Dinas Kesehatan Banjarmasin (2016), kasus DBD di Provinsi Kalimantan

Selatan sebanyak 3.359 kasus dengan jumlah korban yang meninggal 22 orang.

1
2

Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever merupakan penyakit

re-emerging disease dan endemis di seluruh negara beriklim tropis di dunia dan

merupakan penyakit yang di akibatkan oleh virus dengue melalui vektor nyamuk. Virus

dengue termasuk virus Single-Stranded RNA yang mempunyai 4 serotipe nya tipe

DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 dan tergolong Arthropod-Bone Virus, Genus

Flavivirus, family Flaviviridae. Vektor virus ini adalah nyamuk betina spesies Aedes

sp, dengan vektor utama yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Aedes aegypti sebagai vektor utama dari penularan penyakit DBD yang menempati

habitat domestik terutama penampungan air di dalam rumah, sedangkan Aedes

albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon, drum, ban bekas yang terdapat

di luar (peridomestik) (WHO, 2004). Aedes aegypti mempunyai kebiasaan aktif

menghisap darah pada siang hari (diurnal) dengan dua puncak gigitan yaitu jam 08:00-

09:00 dan jam 16:00-17:00 (Hadi & Koesharto, 2006).

Di Indonesia, salah satu cara untuk mengendalikan vektor larva Aedes yaitu

melalui pengendalian kimiawi dengan menggunakan Larvasida. Larvasida adalah suatu

zat atau senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh larva serangga seperti

nyamuk. Saat ini larvasida yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan larva

Aedes adalah temefos (Abate). Pemakaian temefos (Abate) dalam waktu lama dapat

mendorong berkembangnya populasi Aedes aegypti menjadi lebih cepat resisten

(Shinta & Supratman, 2007). Beberapa penelitian telah melaporkan tentang resistensi

insektisida, salah satunya penelitian yang dilakukan Raharjo (2006) di beberapa daerah

di kota Bandung menyimpulkan bahwa larva Aedes aegypti telah resisten terhadap
3

temefos. Selain itu dalam penelitian Hubullah dan Joni (2015) terjadi resistensi larva

Aedes aegypti terhadap temefos dikota Tasikmalaya.

Pengendalian vektor DBD terdapat empat metode, salah satunya adalah metode

kontrol biologis dengan menggunakan bahan-bahan alami misalnya dari tumbuhan

(WHO, 2012). Insektisida hayati atau menggunakan tumbuhan untuk mengendalikan

hama serangga telah banyak digunakan oleh masyarakat tradisional zaman dahulu dan

diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang

mengandung bahan kimia (bioaktif) yang toksik terhadap serangga namun mudah

terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman

bagi manusia. Insektisida hayati juga bersifat selektif yang hanya membunuh larva dan

aman bagi manusia (Dharmagadda, 2005).

Menurut Astriani (2016), banyak tanaman yang tumbuh di Indonesia dan

berpotensi sebagai larvasida alami untuk Aedes aegypti salah satunya adalah tanaman

beluntas (Pluchea Indica L.). Pada daun tersebut terkandung zat-zat aktif yaitu

alkaloid, steroid, tannin dan fenol hidrokuinon (Ardiansyah, 2003). Selain daunnya,

akar tanaman ini juga mengandung zat aktif flavonoid dan tanin (Setiawan dalam

Susetyarini, 2009). Muaja (2013) mengatakan bahwa Flavonoid dan tanin pada kadar

tertentu memiliki potensi toksisitas serta dapat menyebabkan kematian larva.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti ekstrak

akar beluntas (Pluchea Indica L.) sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti.
4

1.2. Batasan Masalah

Pada penelitian ini hanya membatasi pada pemeriksaan efektifitas ekstrak akar

beluntas (Pluchea Indica L.) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti Instar III.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang di uraikan diatas, maka dapat di

rumuskan masalah penelitian yaitu “apakah ekstrak akar beluntas (Pluchea Indica L.)

efektif sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti?”

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas ekstrak akar beluntas

(Pluchea Indica L.) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui nilai LC50 ekstrak akar beluntas (Pluchea Indica L.) terhadap larva

Aedes aegypti.

2. Mengetahui konsentrasi efektif dari ekstrak akar beluntas (Pluchea Indica L.)

terhadap larva Aedes aegypti.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat ekstrak akar

beluntas (Pluchea Indica L.) sebagai larvasida Aedes aegypti sehingga dapat

digunakan sebagai alternatif penggunaan biolarvasida yang alami dan dapat


5

diaplikasikan oleh masyarakat dalam membasmi larva Aedes aegypti sebagai usaha

menurunkan angka kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.

1.5.2. Manfaat Teoritis

Menambah informasi dan literatur dalam bidang parasitologi tentang

efektifitas ekstrak akar beluntas (Pluchea Indica L.) sebagai larvasida Aedes

aegypti.

Anda mungkin juga menyukai