Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI SINGKAT TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol merupakan Pahlawan Nasional yang berasal dari


daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol adalah tokoh penting
dalam perang Padri, yakni perang besar yang melibatkan kaum Padri yang berasal
dari kalangan ulama dan kaum Adat yang berasal dari rakyat kerajaan Pagaruyung.
10 Biografi Pahlawan Nasional Indonesia Singkat & Daerahnya

Sebab Perang Padri adalah kaum Padri yang berasal dari ulama ingin agar
hukum di kerajaan Pagaruyung sesuai dengan syariah islam sementara kaum adat
tidak sepakat akan hal tersebut.
Ini kemudian memunculkan pertentangan antara kaum padri dan kaum adat.
Yang pada akhirnya kaum Padri kemudian menyerang wilayah Pagaruyung tahun
1815. Kaum Adat kemudian bekerja sama dengan Belanda untuk melawan kaum
Padri. Belanda kemudian meminta wilayah darek atas kerjasama ini.

Tuanku Imam Bonjol memimpin kaum Padri melawan Belanda dan kaum adat.
Pertempuran ini cukup menguras kekuatan Belanda yang sedang berupaya
memadamkan perang di wilayah lain seperti di Jawa.

Belanda sempat mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol. namun
perjanjian damai itu dirusak oleh Belanda juga dengan menyerang wilayah Pagari
Sikek.
Di tahun 1833, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol bersatu
dengan kaum Adat melawan Belanda. Mereka bahu membahu melakukan
perlawanan dengan Belanda.

Belanda kemudian melakukan pengepungan terhadap benteng kaum Padri di


Bonjol dimana Tuanku Imam Bonjol bertahan. Belanda kemudian mengirimkan
pasukan besar yang berasal dari luar daerah seperti Batavia. Sebagian besar pasukan
Belanda terdiri dari kaum pribumi yang berasal dari luar daerah.

Pada tahun 1837, Selama beberapa bulan pasukan Belanda dengan kekuatan ribuan
pasukan terus mengepung pertahanan kaum Padri di Bonjol. Hal ini membuat kaum
Padri dan Tuanku Imam Bonjol semakin terdesak.

Pengepungan ini membuat pria kelahiran Bonjol, 1772 ini menyerah di bulan
oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditahan dan diasingkan ke Cianjur,
Jawa Barat. Setelah ia dibawa ke Ambon dan diasingkan ke Minahasa, Sulawesi
Utara. Di tempat terakhir itu, Tuanku Imam Bonjol wafat pada tanggal 8 November
1864. Ia dimakamkan ditempat pengasingannya tersebut.

Pemerintah Indonesia kemudian mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional


Indonesia melalui SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973 tertanggal tanggal 6
November 1973.
Biografi Teungku Chik di Tiro
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1
Januari 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, 31 Januari 1891)
adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir. Teungku Cik Di
Tiro lahir dan besar di lingkungan yang sangat ketat menjalankan
agama Islam. Meski pada zaman itu belum ada sekolah, pria yang
bernama asli Muhammad Saman ini dikenal sebagai anak yang
sangat haus akan ilmu. Beliau berguru pada banyak orang,
termasuk kedua orang tuanya sendiri. Bahkan pada usia 40 tahun,
beliau masih berguru di Lamkrak, daerah Aceh Besar.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain
itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai
tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan
kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup
berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama
dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal
dengan Perang Sabil

Memimpin perjuangan

Pada 1880, ketika pasukan Belanda dipimpin Jenderal Karen van der Heyden telah
menaklukkan daerah Aceh Besar, pejuang Aceh yang bersembunyi di kaki Gunung Seulawah
datang berkumpul di Gunung Biram, Lamtamot. Mereka memikirkan langkah yang harus
diambil: menyerah atau melawan. Hasil pertemuan itu adalah mereka meminta bantuan
dengan mengirim utusan ke daerah Pidie.

Ketika utusan Gunung Biram tiba di Pidie, mereka mendapat kesan dari ulama dan
uleebalang Pidie bahwa pusat pimpinan ulama Pidie adalah di Tiro. Mereka kemudian
menemui Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut, paman Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman. Kepadanyalah utusan Gunung Biram menyampaikan amanat yang
dibawanya itu
Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah
Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus
segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang
pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga
membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda.
Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.

Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi
sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di
Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan
bersedia memimpin perang di Aceh Besar

Di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dalam perang sabil, satu
persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini
diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan
Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain.
Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini
konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang
masih dikuasainya.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun
1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. [3] Selama ia memimpin
peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu Abraham Pruijs van der Hoeven
(1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886) dan
Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya
meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong
BIOGRAFI TEUKU UMAR
Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat pada tahun
1854. Beliau adalah putra seorang ulee balang (bangsawan)
bernama Teuku Ahmad Mahmud. Umar memiliki dua orang
saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.

Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas,


pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman
sebayanya. Dia juga memiliki sifat yang keras dan pantang
menyerah dalam menghadapi berbagai masalah, demikian
dikutip dari buku Pahlawan-Pahlawan Indonesia Sepanjang
Masa oleh Didi Junaidi.

Perjuangan Teuku Umar


Teuku Umar mulai ikut berjuang pada tahun 1873, saat usianya masih 19 tahun. Pada awalnya, dia
berjuang di daerah Meulaboh kemudian melanjutkan perjuangannya ke Aceh Barat. Di usia
mudanya, Teuku Umar sudah diangkat menjadi kepala desa (keuchik) di daerah barat daya
Meulaboh.

Sebagai panglima perang Teuku Umar dikenal cerdik dan pandai bersiasat. Sejak menikah dengan
Cut Nyak Dien pada tahun 1880, perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan semakin kuat dan
hebat
Keduanya berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Pihak
Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Namun pada tahun 1884,
perang kembali pecah di antara keduanya.

Pada tahun 1893, Teuku Umar mencari cara agar dirinya bisa memperoleh senjata dari pihak
Belanda. Akhirnya, Teuku Umar bersiasat untuk berpura-pura menjadi kaki tangan Belanda. Istrinya,
Cut Nyak Dien, sempat bingung, marah, dan malu terhadap keputusan suaminya.

Di saat yang sama, Gubernur Van Teijn, juga mempunyai maksud dan tujuan untuk memanfaatkan
Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Kemudian, Teuku Umar masuk dalam
dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1884, Teuku Umar dianugerahi gelar Teuku
Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk tentara kesatuan berjumlah 250 orang dengan
senjata lengkap.

Selama bekerjasama dengan Teuku Umar, pasukan Belanda mendapatkan keuntungan.


Salah satunya adalah tunduknya pos-pos pertahanan Aceh pada Belanda. Namun, peperangan
tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar pernah
memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh.

Sebagai kompensasi atas keberhasilan itu, Teuku Umar meminta untuk menambah 17 orang
panglima dan 120 orang prajurit, termasuk panglaot sebagai tangan kanannya dan permintaan
tersebut dikabulkan oleh Gubernur Deykerhoff yang menggantikan Gubernur Van Teijn. Dengan
begitu, Teuku Umar bisa mempelajari siasat perang Belanda, sambil mengganti setiap orang Belanda
di unit yang ia kuasai dengan pasukan Aceh.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar secara terus terang menyatakan keluar dari dinas militer
Belanda. Ketika berbalik membela Aceh, Teuku Umar, membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir
peluru, dan uang sebanyak 18.000 dolar, serta peralatan perang lainnya.

Perjuangan Teuku Umar mendapatkan dukungan dari Panglima Polem Muhammad Daud bersama
400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dengan siasat ini, Teuku Umar dan pasukannya
berhasil menyerang pos-pos Belanda. Dalam pertempuran tersebut, di pihak Belanda sebanyak 25
orang tewas dan 190 orang luka-luka.

Atas kejadian ini Belanda sangat marah dengan pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar. Operasi
besar-besaran dilakukan Belanda untuk menangkap Teuku Umar dan pasukannya. Namun, usaha
Belanda itu sia-sia. Semua itu disebabkan perlengkapan perang terbaik yang dimiliki Belanda ada di
tangan mereka. Belanda benar-benar kewalahan.

Pasukan Aceh terus melakukan perlawanan, hingga akhirnya mereka berhasil menduduki Banda
Aceh dan Meulaboh. Sementara itu, Belanda terus-menerus mengganti jenderalnya untuk
menghadapi pasukan Aceh, namun usaha tersebut tetap belum berhasil.

Jenderal Van Heutz akhirnya menggunakan akal licik untuk memata-matai pasukan Teuku Umar. Ia
menyuruh seorang rakyat Aceh yang bernama Teuku Leubeh untuk mengorek informasi pasukan
Aceh. Akhirnya, Belanda mengetahui siasat perang pasukan Teuku Umar.

Setelah mempelajari strategi dan taktik perang pasukan Teuku Umar, akhirnya Belanda
mengerahkan seluruh kekuatan pasukannya untuk menyerang dan menangkap Teuku Umar di
Meulaboh. Teuku Umar pun gugur dalam pertempuran tersebut pada tanggal 11 Februari 1899.

Biografi Teuku Umar tersebut dikutip dari buku Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap oleh
Minawati; buku Ensiklopedia Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa oleh Tim Grasindo; dan buku
Ensiklopedi Pahlawan: Semangat Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia oleh R Toto Sugiarto.

Penghargaan Teuku Umar

Atas perjuangan beliau melawan penjajah Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar pahlawan
nasional. Gelar ini diberikan sesuai SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.

Nama Teuku Umar diabadikan sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di
kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385).
Namanya juga diabadikan sebagai nama Universitas Teuku Umar di Meulaboh.

Gambar Teuku Umar pernah digunakan dalam mata uang negara pada tahun 1986, pemerintah
Indonesia melalui Bank Indonesia mengeluarkan kertas nominal lima ribu rupiah untuk menghargai
dan menghormati jasa Teuku Umar.

Anda mungkin juga menyukai